2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
Perkembangan rafinasi
1. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 1
Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi
di Indonesia
Agus Pakpahan, Rudi Wibowo dan Erwidodo
Abstract
Sugar is an example of agricultural products that almost always create
controversy issues. Sugar is also an example of how developed and developing
countries put heavy intervention on it. World surpluses of sugar have not induced
the developed and developing countries reduced their own production voluntarily. In
fact, large countries in both developed and developing countries such as European
Union and India, respectively, becoming sugar exporters.
Recent developments in Indonesian sugar industry and trade policy in
Indonesia have induced new economic environments. Significant deviation between
raw sugar price in international market and price of sugar in domestic market has
opened new opportunities for investment. One of them is investment in refined sugar
industry.
This paper shows that refined sugar industry development should be put in a
wider context and in a longer perspective. It should be seen as an instrument to spur
process of change in sugar industry and promote it to more efficient and productive
industry in the future. Raw sugar import, as source of input of sugar-refined
industry should be seen as a temporally short run source. In order to capture
agglomeration economies, the location of refined sugar industry should be examined
carefully. Farmers should be placed in shareholders position to maintain trust, and
community support toward more efficient sugar industry. Leaders of company,
government and all institutions to meet future challenges should practice civic
entrepreneurships. Therefore, it is required a blue print for sugar policy development
including beyond sugar issues.
2. 2 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
PENDAHULUAN
Gula merupakan komoditas yang paling banyak mendapat intervensi
pemerintah. Sejarah perkembangan industri pergulaan juga tidak terlepas
dari sejarah politik, ekonomi, dan pemerintahan hampir di setiap negara.
Bahkan perkembangan industri gula berskala besar ini juga telah melahirkan
zaman perbudakan. Sejarah mengenal “The Triangle Trade”, yaitu Barbados,
England dan Afrika Barat. Dari Barbados dibawa gula dan molasses ke
England; dari England diangkut senjata dan barang dagangan lainnya ke
Afrika Barat; dan dari Afrika diangkut para budak ke Barbados dan
kepulauan di sekitarnya. 1 Adapun Indonesia mengalami Tanam Paksa, yang
mendatangkan banyak keuntungan untuk Belanda 2 .
Dewasa ini, posisi Indonesia adalah sebagai negara importir gula
terbesar kedua dunia setelah Rusia. Karena itu, Indonesia merupakan pasar
yang besar bagi dunia yang sedang dalam kondisi surplus. Selama lima
tahun terakhir, dunia memiliki stok akhir gula berkisar sekitar 32-36 juta ton.
Stok gula yang berjumlah besar ini menekan harga gula dunia sampai pada
tingkat yang sangat rendah. Harga gula mentah (raw sugar) pada 10 Maret
mencapai US ¢ 6.22lb. Sedangkan harga rata-rata gula putih pada Januari
2004 berkisar US ¢ 12.81/kg atau sekitar Rp 1088/kg, belum termasuk biaya
angkut, handling, bea masuk dan lain-lain. Namun, harga gula putih di pasar
domestik Uni Eropa dan Amerika Serikat, pada periode yang sama masing-
masing US¢ 66.61/kg dan US¢ 45.12/kg. Harga gula di Indonesia pada
Januari berkisar Rp 4000/kg. 3 Dengan harga gula di Indonesia pada tingkat
tersebut, maka impor gula menjadi bisnis yang menarik.
Persoalan impor gula ini merupakan subyek pembahasan yang
menarik. Dalam kaitannya dengan ini, terdapat tiga kelompok pemikiran.
Pertama, kelompok yang memandang bahwa Indonesia sebaiknya
mengimpor saja gula ini, kemudian merestrukturisasi serta merelokasi
pabrik-pabrik gula yang sebagian besar berada di Jawa ke luar Jawa.
Bersamaan dengan proses ini efisiensi dan produktifitas industri gula
ditingkatkan. Kedua, kelompok pemikiran yang memandang bahwa impor
gula harus dibatasi atau dikontrol dan dalam pada itu efisiensi dan industri
gula dalam negeri ditingkatkan. Ketiga, kelompok pemikiran yang melihat
bahwa impor itu sendiri selain perlu dikontrol juga dimanfaatkan untuk
1 Lihat antara lain S. Miller,”The High Price of Sugar”, Newsweek, Special Issue, Fall/Winter 1991.
2 Lihat Noel Deerr (1949),”The History of Sugar”,Chapman and Hall Ltd, London.
3 Secara periodic mingguan Sugar Observer menampilkan perkembangan harga gula di dalam negeri dan luar
negeri.
3. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 3
memperoleh dana dan dana tersebut digunakan untuk merevitalisasi industri
pergulaan di dalam negeri.
Lahirnya SK Menperindag No. 643, 23 September 2002, memper-
lihatkan bahwa kelompok pemikiran ketiga yang diterapkan sebagai
landasan Kebijakan tersebut. Dengan Kebijakan ini, perusahaan produsen
gula yang bekerjasama dengan para petani tebu dan mengolah minimal 75 %
tebu petani sebagai bahan bakunya, memperoleh kesempatan untuk
mengimpor gula putih. Kesempatan yang diberikan ini membuka peluang
untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan dari impor ini, selain akan
memperbaiki “cash-flow” perusahaan gula, juga untuk digunakan sebagai
sumber investasi bagi peningkatan efisiensi dan produktifitas pabrik gula
yang dimiliki para importir produsen tersebut 4 .
Perkembangan selanjutnya adalah muncul pemikiran bahwa impor
gula mentah dipandang menguntungkan oleh para produsen gula mengingat
kapasitas produksi yang tersedia belum dapat dipenuhi oleh tebu yang
dihasilkan petani. Selain itu, kekurangan persediaan gula di dalam negeri
juga memunculkan keinginan investor untuk menanamkan modalnya untuk
memproduksi gula rafinasi, mengingat produksi gula yang dilakukan oleh
importir produsen adalah plantation white sugar. Industri makanan dan
minuman pada umumnya memerlukan gula rafinasi ini. Murahnya harga
raw sugar di pasar dunia relatif terhadap harga gula di dalam negeri
merupakan rangsangan utama. Alasan lain yang sering juga dikemukakan
adalah dengan membangun industri rafinasi di Indonesia maka akan terbuka
lapangan kerja baru, nilai tambah, dan akan mendorong berkembangnya
struktur industri gula di dalam negeri yang lebih adaptif dan inovatif.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran terhadap
berkembangnya keinginan membangun industri gula rafinasi di Indonesia.
Analisis yang dikembangkan diharapkan dapat memberikan gambaran yang
lebih luas tentang isu tersebut dan mencari jalan keluar yang tepat.
Mengingat Indonesia masih kekurangan gula, maka investasi tersebut
penting. Tetapi apakah investasi tersebut akan menguntungkan baik dalam
perspektif keseluruhan maupun dalam jangka panjang? Tulisan ini mencoba
menjawabnya dengan memulai pembahasan pada aspek perilaku gula dalam
konteks global.
4 Sampai saat ini posisi SK 643 masih banyak yang menggugat, terutama dari kalangan yang merasa dirugikan oleh
adanya pengendalian impor gula melalui mekanisme importir terdaftar dan kalangan yang melihat hal ini sebagai
bagian kebijakan yang tidak efisien.
4. 4 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
PERILAKU PASAR GLOBAL
Harga gula dunia cenderung fluktuatif, dengan koefisien variasi harga
yang cukup besar. Namun demikian, memang terdapat kecenderungan harga
yang menurun, yang juga berlaku untuk semua komoditas pertanian primer.
Trend yang sebaliknya hanya terjadi pada komoditas hasil olahan.
Yang perlu lebih dicermati selain masalah harga ini adalah
kecenderungan perubahan Kebijakan, khususnya Kebijakan Uni Eropa dan
Amerika Serikat terhadap subsidi, proteksi dan dukungan lainnya yang
diberikan kepada para petani dan industri pergulaan di negara tersebut 5 .
Kedua negara ini merupakan produsen gula yang besar, bahkan Uni Eropa
merupakan negara eksportir terbesar kedua setelah Brazil, dengan volume
ekspornya pada tahun 2002/2003 mencapai 5.8 juta ton. Selanjutnya,
Kebijakan Jepang pun perlu diperhitungkan mengingat Jepang juga
merupakan negara yang banyak mengurangi impor gula ini.
Kasus meningkatnya harga gula di pasar dunia yang terjadi pada
tahun 1974 dan 1980, memberikan pelajaran bahwa Amerika Serikat
menerapkan strategi mengurangi impor gula dan meningkatkan produksi
High Fructose Corn Syrups (HFCS) 6 . Pada tahun 1974 Amerika Serikat
mengimpor gula sekitar 5 juta ton dan berkurang menjadi 0.69 juta ton pada
tahun 1987. Pada tahun 2002-2003, impor gula Amerika Serikat sedikit
meningkat menjadi 1.4 juta ton. Dengan peristiwa kenaikan harga gula di
pasar dunia, Jepang mengurangi impor gulanya dari 3.34 juta ton pada tahun
1974 menjadi 1.45 juta ton pada tahun 2002/2003. Berbeda dengan Amerika
Serikat yang meningkatkan produksi HFCS, Jepang mengambil strategi
mengendalikan permintaan melalui peningkatan harga gula. Karena itu
harga gula di Jepang merupakan harga gula tertinggi dibandingkan dengan
harga gula di negara lainnya.
Berkurangnya impor gula oleh Amerika Serikat dan Jepang merupakan
indikator bahwa kedua negara ini tidak ingin menggantungkan keperluan
gulanya terhadap pasar dunia. Amerika Serikat menerapkan strategi
5 Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum dan menjadi bahan perdebatan dalam berbagai Pertemuan
internasional seperti WTO dan lain-lain. Namun, gula ini memang sangat istimewa. Uni Eropa menerapkan
kebijakan: kuota produksi, kontrol impor, dan subsidi ekspor. Jepang melakukan jaminan harga minimum,
pengendalian impor raw sugar, bea masuk sangat tinggi untuk impor gula rafinasi, pengenaan tariff untuk impor
komoditas yang mengandung gula, dan pengenaan kuota serta kontrol untuk impor substitusi gula. Amerika
Serikat juga mengintervensi gula melalui, antara lain, Food and Agricultural Act 1977, yang memberikan bantuan
bagi petani dan produsen gula.
6 Pada tahun 1975 produksi HFCS kurang dari satu juta ton, meningkat menjadi lebih dari 8 juta ton pada tahun
2000. Keistimewaan HFCS ini merupakan substitusi gula yang baik untuk industri minuman yang memerlukan
gula dalam bentuk cair.
5. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 5
meningkatkan produksi HFCS, sedangkan Jepang menerapkan strategi
mengendalikan permintaan domestik. Sedangkan Uni Eropa masih tetap
meproduksi gulanya melebihi kebutuhan gula domestiknya. Hal ini
menunjukkan bahwa negara maju bukanlah sebagai pasar gula yang besar yang
menyerap produksi gula dunia, bahkan sebaliknya sebagaimana yang diperlihatkan
oleh Uni Eropa.
Pasar gula dunia yang besar berada di negara-negara berkembang.
Apakah negara-negara maju akan mengurangi subsidi dan proteksi terhadap
produsen gula di negaranya sebagaimana yang banyak dituntut dalam
berbagai perundingan, merupakan hal yang perlu terus dicermati.
Negara-negara berkembang, dalam hal pergulaan ini tampaknya
mengikuti strategi yang dijalankan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hal
ini diperlihatkan dengan jelas oleh RRC dan India. India telah berhasil
mengubah posisinya dari negara net importir gula menjadi negara net
eksportir gula pada tahun 2000/2001. Pada tahun 1998/99 India masih
mengimpor gula sekitar 1.07 juta ton; dan pada tahun 2002/2003 mengekspor
sekitar 1 juta ton. Sedangkan RRC pada tahun 2002/2003 mengimpor sekitar
17 % dari kebutuhan gula domestiknya.
Perkembangan harga gula dunia yang rendah selama lima tahun
terakhir ini telah memukul negara-negara produsen gula, termasuk produsen
di negara berkembang seperti Thailand. Informasi yang diperoleh
menunjukkan bahwa Thailand menilai bahwa ekspor gula perlu dicermati
mengingat dengan harga yang terjadi akhir-akhir ini keuntungan yang
diperoleh makin menipis, atau bahkan ekspor gula sudah dipandang
kegiatan yang kurang menguntungkan. Salah satu alternatif yang akan
ditempuh Thailand adalah mengembangkan industri alkohol bersumber dari
tebu sebagaimana yang telah dikembangkan di Brazil sejak tahun 1970-an.
Alternatif “Beyond Sugar” kelihatannya sudah banyak disiapkan oleh negara-
negara produsen gula, termasuk produsen gula di negara-negara
berkembang.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa walaupun harga gula di
pasar internasional beberapa tahun terakhir ini relatif rendah, hal ini tidak
berarti bahwa harga gula rendah tersebut tidak mengandung resiko akan
meningkat pada waktu yang akan datang. Produksi gula yang rentan
terhadap perubahan faktor alam seperti kekeringan atau banjir, hama dan
penyakit merupakan faktor resiko dan ketidak-pastian yang harus tetap
diperhitungkan. Demikian pun halnya dengan peluang terjadinya
perubahan Kebijakan yang akan diberlakukan di negara-negara maju,
6. 6 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
khususnya dalam kaitannya dengan penurunan subsidi dan proteksi
terhadap industri gulanya, akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
harga gula di pasar dunia. Harga pasar dunia yang rendah selama ini juga
tidak membuat negara maju menjadi pasar yang menyerap produksi gula
dunia, melainkan yang terjadi adalah negara-negara berkembang pangsanya
dalam menyerap gula dunia semakin besar.
Oleh karena itu, pengembangan industri gula di Indonesia, termasuk
industri gula rafinasi perlu memperhatikan hal tersebut, yaitu: (1) resiko
fluktuasi dan kenaikan harga bahan baku (raw sugar) baik akibat faktor alam
maupun perubahan Kebijakan dan (2) pergeseran pasar gula dunia dari
negara-negara maju ke negara-negara berkembang, dengan segala
implikasinya.
STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI
Kebijakan yang berlaku di Indonesia dewasa ini memisahkan antara
gula rafinasi dan gula konsumsi. Segmen pasar gula rafinasi adalah industri
makanan dan minuman sedangkan segmen pasar gula putih adalah
konsumen langsung. Mengingat gula rafinasi dan gula putih ini keduanya
layak dikonsumsi langsung, maka secara teknis atau pun dipandang dari
sudut kesehatan segmentasi pasar untuk kedua produk tersebut landasannya
kurang kuat.
Sebelum tahun 1968, Indonesia memproduksi tiga jenis gula disesuaikan
dengan jenis bahan baku, pasar dan kemampuan pabrik gula yang ada.
Untuk tebu yang diproduksi pada jenis tanah yang kekuarangan fosfat, tebu
diolah untuk menghasilkan raw sugar. Bahkan raw sugar ini lah yang diekspor
ke Jepang. Pabrik-pabrik gula yang lain mengolah gula putih atau semi
rafinasi. Sejak tahun 1968, dengan alasan untuk memenuhi konsumsi gula
nasional, maka kebijaksaan yang diterapkan seluruh tebu diolah menjadi
plantation white sugar. Untuk pabrik-pabrik gula milik BUMN, hal ini berlaku
hingga sekarang.
Strategi jangka panjang industri pergulaan adalah menghasilkan gula
dengan biaya yang mampu bersaing dengan produsen gula di negara lain.
Selanjutnya, industri gula yang dibangun harus mampu memanfaatkan
pertambahan nilai sejalan dengan penciptaan atau pengembangan jenis
produk baru yang memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Tabel 1
berikut memberikan gambaran biaya produksi di negara-negara lain, yang
dapat diperbandingkan dengan biaya produksi di Indonesia.
7. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 7
Apabila rata-rata biaya produksi gula putih di Indonesia adalah Rp
3200/kg atau US cent 17.07/pound untuk kategori gula putih, maka terdapat
selisih US cent 5.88/pound terhadap produsen dengan biaya minimal dan
selisih US cent 3.54 terhadap produsen dari negara-negara eksportir utama
untuk periode 1998/99. Persoalannya adalah bahwa kecenderungan biaya
produksi gula putih di negara-negara pengekspor utama adalah menurun,
sebagai ilustrasi biaya rata-rata menurun dari US cent 14.23/pound pada
tahun 1994/95 menjadi US cent 13.53/pound, menurun hampir 5 % dalam
periode 4 tahun. Namun, apabila biaya produksi per kilogram gula untuk PG
Gempol Krep pada tahun 1992 dipakai acuan, yaitu Rp 1700/kg atau US cent
9.07/pound, maka produksi gula Indonesia masih bersaing. Pada kondisi tahun
1999, di Indonesia terdapat sekitar 10 PG milik BUMN yang tergolong
kedalam PG yang mampu bersaing dengan gula impor dan seluruhnya
terdapat di Jawa Timur, dan dua perusahaan gula swasta di Lampung.
Harga gula rafinasi dari bahan baku bit sekitar dua kali lebih mahal
daripada harga gula putih yang dibuat dari tebu. Harga gula rafinasi di
negara pengekspor utama adalah US$ 0.54/kg, atau Rp 4590/kg.
Perhitungan harga gula rafinasi dari bahan baku bit ini jauh lebih mahal
daripada harga gula putih yang dibuat dari tebu. Harga gula rafinasi yang
akan dibangun di Indonesia yang bersumber dari bahan baku raw sugar
tentunya harus lebih rendah dari harga gula rafinasi di atas. Perhitungan ini
akan sangat menentukan viabilitas dari industri gula rafinasi.
Gula rafinasi dalam posisi Indonesia perlu ditempatkan dalam posisi
diversifikasi produk. Diversifikasi produk ini, selain akan membuat product
line berkembang, juga akan menciptakan nilai tambah dalam artian nilai per
unit sumberdaya menjadi lebih tinggi serta menjadi captive market untuk
industri gula rafinasi di dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan industri
makanan dan minuman yang selama ini mengimpor gula rafinasi, apabila
mampu bersaing dengan gula rafinasi yang diimpor. Di samping itu, di
hadapan konsumen, terjadi lebih banyak pilihan, apakah konsumen akan
membeli gula putih “white sugar” atau “refined sugar”.
8. 8 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
Tabel 1. Rata-rata biaya produksi gula tebu, gula bit, dan HFCS
(US cent/pound)
Kategori 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99
Raw cane sugar
Produsen Biaya rendah 7.43 8.10 8.18 7.78 7.58
Eksportir Utama 10.37 10.60 10.72 10.52 9.73
Gula putih tebu
Produsen biaya rendah 11.02 11.75 11.84 11.41 11.19
Eksportir Utama 14.23 14.48 14.61 14.38 13.53
Gula bit (rafinasi)
Produsen biaya rendah 21.31 23.16 23.09 21.21 22.67
Eksportir Utama 25.47 26.87 25.90 23.56 24.75
HFCS
Produsen Utama 13.45 16.78 13.57 12.86 11.76
Harga pasar
Jagung 102.8 162.6 128.8 112.4 93.8
Raw cane sugar 13.53 12.23 11.21 10.71 7.05
Sumber: D. Mitchell,”Sugar Policies: opportunity for change”, World Bank Policy Research
Working Paper 3222, February 2004.
Industri gula rafinasi, secara langsung juga akan mendorong
kompetisi dalam hal kualitas gula yang sekarang ini dihasilkan oleh industri
gula di dalam negeri. Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas gula oleh
produsen gula “plantation white sugar” tidak dapat dielakkan apabila gulanya
ingin tetap menjadi pilihan konsumen. Atas dasar pemikiran ini,
pengembangan industri gula rafinasi akan menjadi bagian yang penting
dipandang dari sudut kualitas gula dan kesehatan konsumen sebagai
dampak tidak langsung dari tersedianya gula yang makin berkualitas di
pasar.
9. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 9
Hal lainnya yang perlu dikaitkan langsung dengan gula rafinasi ini
adalah dalam jangka pendek akan berkembang penciptaan kesempatan kerja
baru di Indonesia. Kesempatan kerja ini walaupun merupakan hal yang
sangat penting, tetapi tetap tidak boleh terlepas dari asas efisiensi dan
produktivitas. Hal ini penting karena dalam jangka panjang produksi gula ini
tidak terlepas dari persaingan dengan gula yang dihasilkan oleh produsen
lain. Sebagai gambaran, Tabel 2 menyajikan jumlah pekerja dalam industri
gula di negara produsen gula dunia yang dikelompokkan dalam produsen
dengan biaya rendah, tinggi dan produsen lainnya.
Tabel 2. Produksi Raw Sugar per Pekerja dalam Industri Gula
Negara Tenaga Kerja Produksi Raw Sugar Produksi Raw
Langsung (growers (Gula Mentah) Rata- Sugar/Pekerja
dan pabrik) Rata 1999-2000
Produsen biaya rendah (orang) (ton) (ton/orang)
Brazil 1.100.000 19.485.000 17.7
Guyana 18.000 293.072 16.3
Afrika Selatan 130.000 2.589.667 19.9
Produsen biaya tinggi
Fiji 40.500 336.333 8.3
Kenya 69.000 485.333 7.0
Mauritius 65.000 529.299 8.1
Produsen lainnya
Malawi 17.000 200.667 11.8
Mexico 300.000 5.069.233 16.9
Sumber: D. Mitchell,”Sugar Policies: opportunity for change”, World Bank Policy Research
Working Paper 3222, February 2004.
Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa satu orang pekerja dalam
industri gula di Brazil menghasilkan 17.7 ton raw sugar, atau 2.5 lebih banyak
dari setiap pekerja di Kenya. Mengingat industri gula rafinasi ini tidak dapat
terlepas dari industri raw sugar, maka posisi industri ini harus langsung
dikaitkan dengan posisi efisiensi dan produktivitas industri raw sugar, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.
10. 10 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
ISU KEBIJAKAN INDUSTRI GULA RAFINASI
Pengertian kebijakan dalam tulisan ini adalah bersifat analisis, bukan
kebijakan dalam arti keputusan pemerintah yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Pengembangan industri gula rafinasi perlu
ditempatkan dalam konteks strategi jangka panjang sebagaimana diuraikan
di atas dan dengan ketegasan apakah bahan baku gula tersebut akan diisi
secara bebas tergantung dari pasar, ataukah akan direncanakan berdasarkan
suatu tujuan tertentu dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip industri
yang efisien. Ketegasan kebijakan ini sangat penting untuk membangun
kepastian bagi para investor dan membangun harapan pasar yang positif.
Dalam setiap pilihan selalu mengandung suatu dilemma. Dalam kasus
pilihan mengembangkan gula rafinasi hanya ada satu hal yang besar yaitu
apakah bahan baku berupa raw sugar akan digantungkan pada impor jenis
gula ini atau akan diisi secara bertahap melalui peningkatan produksi raw
sugar di dalam negeri.
Dari pengalaman negara-negara maju dan dari kecenderungan jangka
panjang pergulaan dunia dapat dipelajari hal sebagai berikut:
(1) Negara maju mengurangi impor gulanya dengan trend impor yang
menurun, yaitu dari hampir 80 % pada tahun 1970 menjadi mendekati
40 % pada tahun 2000. Artinya, Kebijakan negara-negara maju adalah
meningkatkan produksi gula dalam negerinya lebih besar daripada
menggantungkan kepada gula impor. Walaupun liberalisasi
perdagangan diterapkan oleh negara-negara maju, peluang ekspor
gula dari negara berkembang ke negara maju tidak akan banyak
berubah, selain karena alasan produksi gula sudah tinggi, alasan
kecenderungan pengurangan konsumsi gula per kapita akan semakin
meningkat. Data menunjukkan bahwa konsumsi gula negara maju
sudah berkurang dengan laju -1.2 % pada periode 1980-an dan -0.1 %
pada 1990-an (Mitchell, 2004). Artinya, harapan dapat mengekspor
pasar gula rafinasi ke negara-negara maju sifatnya tipis.
(2) Negara-negara berkembang mengalami trend yang berbeda, yaitu
konsumsi gula meningkat dengan laju 2.6 % pada periode 1990-an
(Mitchell, 2004). Artinya adalah bahwa pasar gula rafinasi untuk
negara-negara berkembang relatif terbuka, tinggal apakah gula
rafinasi produksi Indonesia dapat bersaing.
Selain ketergantungan yang akan tercipta apabila dalam jangka
panjang gula rafinasi ini diisi oleh impor raw sugar, juga multiplier effects dari
11. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 11
strategi tersebut akan lemah. Tebu diketahui bukan hanya sebagai penghasil
gula, tetapi juga dapat menghasilkan fiber, energi, bahan baku industri
terkait, pakan ternak, pupuk, dan produk-produk lainnya. Batang tebu
mengandung: total gula 15.43 %, sukrosa 14.10 %, fiber 12.21 %, abu 0.54 %,
lain-lain 0.82 %; total bahan kering 29 % dan air 71 %. Adapun ujung tebu-
daun mengandung: total gula 2.18%, fiber 19.8%, abu 2.31 %, lain-lain 2.43 %,
total bahan kering 26 % dan air 74 % 7 . Karena itu menggantungkan bahan
baku gula rafinasi terhadap impor merupakan kehilangan yang besar, karena
dalam jangka panjang akan menekan industri dalam negeri dan akibatnya
mengurangi kesempatan tumbuhnya industri lain dalam kerangka proses
kreasi “added value-chain”.
Indonesia menghadapi dua masalah besar pada masa mendatang,
selain masalah pangan, termasuk protein. Pertama, pemenuhan kebutuhan
energi dan kedua kerusakan lingkungan, khususnya kerusakan hutan.
Minyak bumi Indonesia dapat dikatakan ketersediannya kalau tidak disebut
sudah habis, sudah tidak lagi menjadi andalan utama. Defisit kebutuhan
kayu per tahun ditaksir lebih dari 30 juta m3, yang selama ini menyebabkan
terjadinya illegal logging yang merusak hutan dan moral ekonomi. Tebu
memiliki karakter yang dapat mensubstitusi dari kebutuhan energi dan fiber
ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2002 bagas yang dihasilkan Indonesia
mencapai 3.1 juta ton, 1.6 juta ton dari jumlah tersebut dihasilkan di Jawa
Timur. Total jumlah bagas tersebut setara dengan 1.5 juta ton pulp. Apabila
pabrik pulp ini ukurannya 450 ribu ton, maka bagas yang dihasilkan di Jawa
Timur setara dengan hampir 4 pabrik pulp. Jumlah bagas yang dihasilkan
tersebut setara dengan panen Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 600 ribu
hektar per tahun 8 .
7Lihat M.C. Herrera, “Cane, Sugar and the Environment”, Industrial Promotion, GEPLACEA.
8Sebagai ilustrasi perbandingan karakter serat bagas tebu dengan tanaman lainnya:
Material Panjang serat Rasio panjang terhadap lebar
(mm)
Tebu
Fibre 1.5 70
Pith 0.3 5
Vessel segments 1.0 9
Padi 1.4 170
Pinus 3.5 100
Lihat G.B. Singhs dan S. Solomon (eds). 1995. Sugar Cane—Agro–industrial alternatives. Oxford & IBH
Publishing Co, New Delhi. Buku ini menguraikan secara lengkap tebu sebagai bahan baku industri
dalam spektrum “cluster” yang luas dan mendalam.
12. 12 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
Atas dasar pemikiran tersebut, maka Kebijakan industri gula rafinasi
harus dibangun atas kerangka yang terintegrasi dengan pengembangan
industri berbasis tebu dan dalam kerangka pembangunan wilayah. Oleh
karena itu pula, proses pengembangan industri gula rafinasi tidak dapat
dilaksanakan tanpa kerangka Kebijakan tersebut, mencakup:
(1) Seleksi lokasi dimana pabrik gula rafinasi akan dibangun. Kriteria
yang dipakai dalam hal ini adalah maksimisasi agglomeration economies,
yaitu manfaat yang dibangkitkan dari adanya industri gula rafinasi
terhadap perkembangan dan pertumbuhan struktur dan kultur
ekonomi masyarakat di suatu wilayah.
(2) Pentahapan (periodization) dari pemenuhan bahan baku industri gula
rafinasi perlu dibuat sebagai jadwal yang harus dilaksanakan, yaitu
Kebijakan rasio pemenuhan bahan baku raw sugar dari impor dengan
produksi raw sugar di dalam negeri. Pengalaman Amerika Serikat
dalam mengurangi impor gula dan menggantinya dengan HFCS
sebesar 3.6 juta ton atau 72 % dalam periode 1974-2002, dapat
dijadikan pelajaran. Indonesia perlu menetapkan pola seperti ini.
(3) Konsolidasi atau restrukturisasi perusahaan pergulaan agar terbuka
peluang berkembangnya agglomeration economies dan revitalisasi
industri pergulaan itu sendiri. Apabila ini dapat dilakukan maka
pengembangan gula rafinasi dapat dipandang sebagai kesempatan,
bukan ancaman.
(4) Peningkatan kapasitas riset dan pengembangan pergulaan perlu
mendapat perhatian, mengingat kerangka dasar dari Kebijakan
pergulaan ini adalah menempatkan pengembangan gula rafinasi
sebagai “pintu masuk” untuk perubahan struktur industri berbasis
tebu. Artinya, Indonesia harus menyiapkan diri agar dapat memasuki
wilayah “beyond sugar”. Hal ini memerlukan R&D yang kuat dan
lengkap.
(5) Meningkatkan produktivitas dan efisiensi perkebunan tebu baik milik
petani maupun milik perusahaan perkebunan. Semua yang diuraikan
di atas pada akhirnya akan berkembang apabila produktivitas dan
efisiensi perkebunan tebu dapat ditingkatkan.
13. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 13
POSISI PETANI
Kebijakan pergulaan Indonesia pada umumnya dan kebijakan
pengembangan industri gula rafinasi pada khususnya tidak boleh terlepas
dari kepentingan petani tebu. Pemikiran ini dilandasi oleh argumen bahwa
produksi tebu itu sendiri sudah mencapai sekitar 65 % - 70 % dari biaya
produksi gula sebagaimana tergambar dalam bagi hasil antara petani dan
pabrik gula sekarang ini. 9 Dengan pola petani sebagai penghasil tebu, biaya
tersebut tidak dipikul oleh perusahaan gula. Dampak positif pola non-
integrasi vertical ini dapat dilihat, antara lain, dalam kasus PG Gempol Krep.
99 % bahan baku tebu yang diolah oleh PG Gempol Krep dihasilkan olah
petani. Unit cost per kilogram gula di PG Gempol Krep pada tahun 2002
mencapai Rp 1700 10 . Value chain dari tebu-raw sugar- plantation white sugar
atau refined sugar akan sangat ditentukan oleh biaya produksi di perkebunan
ini mengingat pangsa biaya pada tingkat kebun ini relatif besar. Oleh karena
itu, posisi petani akan sangat menentukan perkembangan industri pergulaan
mendatang, termasuk industri gula rafinasi.
Sejak awal kerangka restrukturisasi industri pergulaan nasional harus
merancang posisi petani. Hal yang sangat strategis adalah menempatkan
petani sebagai share holders. Kepentingan utama dalam pemikiran ini adalah
bahwa petani perlu mengamankan investasinya yang besar tersebut dalam
wujud pabrik gula yang efisien. Untuk itu petani perlu mendapatkan ruang
agar memiliki akses terhadap pengendalian pabrik gula. Berapa besar saham
petani dalam pabrik gula dan mekanisme apa yang harus dibangun, perlu
ditelaah secara mendetail. Untuk memberikan ilustrasi mengenai hal ini,
kasus US Crystal Sugar Company di Amerika Serikat. Dalam kasus ini sekitar
1300 orang petani membeli perusahaan US Crystal Sugar Company dengan
harga US $ 80 juta pada tahun 1972. Dengan kerangka ini bukan hanya
efisiensi dan kemajuan industri gula akan terwujud, tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah dukungan social masyarakat terhadap pabrik gula sebagai
dasar kemampuan bersaing dalam dunia global. Hambatan sosial-psikologis
tentu ada dalam mewujudkan Kebijakan ini, tetapi manfaatnya akan lebih
besar dari biayanya.
Dalam Seminar Gula Rafinasi yang diselenggarakan di Jakarta pada 18
Februari 2004, dapat diketahui bahwa petani tidak menolak pemikiran
pengembangan industri gula rafinasi. Yang diharapkan para petani bahwa
9
Di Indonesia, kesepakatan bagi-hasil antara petani dengan pabrik gula berkisar antara 65-66%,
sedangkan di Thailand 70 % untuk petani dan 30 % merupakan bagian bagi pabrik gula.
10
Informasi ini disampaikan oleh Administratur PG Gempol Krep melalui wawancara langsung.
14. 14 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
pengembangan industri gula rafinasi tidak mengancam akan terjadinya
penurunan tingkat kesejahteraan petani. Kekhawatiran ini dilandasi oleh
alasan bahwa tidak ada jaminan masuknya gula illegal dan berbagai
penyimpangan tidak terkait dengan potensi penyimpangan dalam
pelaksanaan impor bahan baku untuk menghasilkan gula rafinasi. Dengan
petani memiliki akses terhadap kontrol industri gula rafinasi, maka akan
terbuka kesempatan untuk menumbuhkan trust petani terhadap industri
gula ini. Hal ini merupakan proses pendidikan publik yang sangat penting
mengingat permasalahan trust inilah yang sangat lemah dalam dunia
pergulaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Gula merupakan komoditas yang menempati posisi istimewa untuk
seluruh negara penghasil gula dunia selama ini, termasuk perjalanan
sejarahnya. Setiap negara mencoba mencari solusi masing-masing dalam hal
mengatasi setiap permasalahan yang terkait dengan gula ini. Walaupun
banyak dorongan untuk melakukan liberalisasi pasar gula dunia, dalam
prakteknya hampir setiap negara memproteksi dan memberikan subsidi bagi
produsen gula di dalam negerinya. Bahkan harga gula yang rendah yang
terjadi di pasar dunia tidak memberikan indikasi yang kuat bahwa negara-
negara produsen gula dunia, khususnya negara-negara maju akan
menggantungkan kebutuhan gulanya dari pasar dunia. Hal yang sebaliknya
terjadi, negara-negara maju mengurangi impor gula dengan tingkat
pengurangan hingga hampir separuh dari posisi impor gula pada tahun 1970,
yaitu dari sebelumnya hampir mencapai 80 % menjadi 40 % pada tahun
2000. Sebaliknya negara-negara berkembang mengimpor lebih banyak gula
dari pasar dunia dengan posisi dari sekitar 20 juta ton pada tahun 1970
menjadi hampir 40 juta ton pada tahun 2000; atau meningkat sebesar 100 %.
Oleh karena itu, pasar gula negara-negara berkembanglah yang akan terus
meningkat mengingat laju konsumsi gula di negara-negara berkembang juga
terus meningkat dengan laju sekitar 2.6 % selama dekade 90-an. Posisi
Indonesia tergolong dalam kelompok ini dan menjadikan Indonesia sebagai
negara pengimpor gula terbesar kedua dunia.
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana telah disampaikan pada
bagian terdahulu dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut:
(1) Pengembangan industri gula rafinasi perlu ditempatkan dalam
kerangka strategi dan Kebijakan industri pergulaan yang lebih luas
15. Isu Pengembangan Industri Gula Rafinasi di Indonesia 15
dan lebih komprehensif. Sudut pandang yang dapat dilakukan dalam
konteks ini adalah melihat pengembangan industri gula rafinasi
sebagai instrumen atau alat pendorong untuk terjadinya perubahan
dalam struktur dan kultur industri pergulaan nasional.
(2) Perubahan struktur dan kultur industri pergulaan nasional perlu
diarahkan sebagai landasan untuk mengatasi krisis industri pergulaan
Indonesia. Dalam jangka panjang, basis utamanya adalah peningkatan
kapasitas produksi “beyond sugar” yang berbasis pada perkebunan
tebu.
(3) Investasi industri gula rafinasi perlu dirancang agar dapat
mengembangkan iklim terciptanya agglomeration economies, yaitu
berkembangnya industri-industri berbasis tebu dalam suatu wilayah
sebagai akibat kedekatannya secara spasial dengan investasi industri
gula rafinasi yang akan ditanamkan.
(4) Agar agglomeration economies tersebut tercipta, maka diperlukan
Kebijakan yang menjamin bahwa rasio bahan baku industri gula
rafinasi secara bertahap akan meningkat proporsinya yang bersumber
dari produksi lokal. Hal ini juga diperlukan sebagai antisipasi
terhadap resiko dan ketidakpastian pasokan bahan baku dari impor.
(5) Rancang bangun struktur industri gula rafinasi perlu membuka
kesempatan petani menjadi share holders sebagai proses membangun
trust semua pihak dan sebagai bagian integral dalam membangun
struktur dan kultur daya saing dalam menghadapi pasar global.
(6) Untuk mewujudkan rancang bangun industri gula rafinasi dan
industri gula pada umumnya diperlukan pengembangan sumberdaya
manusia yang tidak hanya mampu mengelola perusahaan dan pabrik
gula yang efisien dan efektif, tetapi juga mampu membangun kultur
baru dalam industri tersebut. Karena itu, wawasan entrepreneurship
pemilik dan pengelola perusahaan perlu dikembangkan ke arah
wawasan baru, yaitu civic entrepreneurship.
(7) Secara keseluruhan diperlukan reformasi industri pergulaan nasional
sebagai landasan untuk melakukan revitalisasi industri ini. Industri
gula rafinasi dapat dijadikan sebagai alat untuk memulai hal tersebut.
16. 16 Agro-Ekonomika N0.2 Tahun XXXIV Oktober 2004
Industri pergulaan Indonesia secara garis besar memiliki potensi yang
feasible yang untuk dapat berjaya kembali. Hal yang diperlukan untuk
mewujudkan hal tersebut adalah strategi yang tepat yang didukung oleh
Kebijakan yang konsisten dan diilaksanakan secara konsekuan.