Dokumen tersebut membahas anatomi dan fisiologi otot ekstraokuler yang berperan dalam gerakan mata, termasuk otot levator palpebrae superior, empat otot rektus, dan dua otot oblikus. Juga dibahas anatomi tulang orbita dan sambungan saraf otot-otot tersebut.
Cara Menggugurkan Kandungan usia kehamilan 2 bulan +6287776558899
Miastenia Gravis Okular - FDI.pdf
1. SARI PUSTAKA
Oktober 2022
MIASTENIA GRAVIS OKULAR
Oleh:
Fadiah Gazzani Rahman
Pembimbing:
Dr. dr. Batari Todja Umar, Sp.M(K)
Dr. dr. Yunita, Sp.M(K), M.Kes
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNHAS
MAKASSAR
2022
2. 2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………… 2
BAB I ……………………………………………………………...……. 3
PENDAHULUAN ………………………………………………..……. 2
EPIDEMIOLOGI ……………………………………………………... 3
BAB II …………………………………………………………….….... 5
TEORI …………………………………………………………….....…. 5
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT EKSTRAOKULAR .…... 5
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUTAN NEUROMUSKULAR 16
3. PATOMEKANISME MIASTENIA GRAVIS ……………….... 19
4. MANIFESTASI KLINIS ……………………………………….. 21
5. KLASIFIKASI ……………………………………………..…… 24
6. DIAGNOSIS ……………………………………………..…….... 26
1) Anamnesis …………………………………………………. 26
2) Pemeriksaan Fisik …………………………………………. 26
7. PEMERIKSAAN KHUSUS ……………………………..……… 28
1) Ice Pack Test ………………………………………………. 28
2) Sleep Test ………………………………………………….. 29
3) Tes Edrofonium/ Tensilon …………………………………. 30
4) Tes Neostigmin ……………………………………………. 31
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG ……………………………….. 32
1) Tes Serologi ………………………………………………… 32
2) Tes Elektrofisiologi ………………………………………… 33
3) Pemeriksaan Radiologi …………………………………….. 33
9. DIAGNOSIS BANDING ……………………………………….. 34
10. PENATALAKSANAAN ……………………………………….. 35
11. PROGNOSIS …………………………………………………… 36
BAB III …………………………………………………………………. 37
KESIMPULAN ………………………………………………………… 37
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 39
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan neurologik autoimun yang ditandai
oleh adanya gangguan pada transmisi di sambungan neuromuskular
(neuromuscular junction/ NMJ). Miastenia gravis bermanifestasi sebagai
kelemahan otot yang dapat melibatkan otot-otot pernapasan dan dapat
menyebabkan krisis miastenia, yang merupakan keadaan darurat medis. Miastenia
gravis merupakan gangguan paling umum yang mempengaruhi sambungan
neuromuskular dari otot rangka. Presentasi klasik merupakan kelemahan fluktuatif
yang lebih menonjol pada sore hari. Biasanya melibatkan otot-otot mata,
tenggorokan, dan ekstremitas. Miastenia gravis dianggap sebagai contoh klasik
penyakit autoimun yang dimediasi antibodi. Berkurangnya transmisi impuls listrik
yang melintasi sambungan neuromuskular karena pembentukan autoantibodi
terhadap protein membran postsinaptik spesifik menyebabkan kelemahan pada
otot. 1,2
Miastenia gravis menyebabkan sejumlah besar komplikasi, termasuk krisis
miastenia, kelumpuhan pernapasan akut yang memerlukan perawatan intensif, serta
efek samping akibat pengobatan jangka panjang seperti infeksi oportunistik dan
keganasan limfoproliferatif. Miastenia gravis, mirip dengan gangguan autoimun
lainnya, terjadi pada individu yang rentan secara genetik. Faktor pencetus termasuk
kondisi seperti infeksi, imunisasi, operasi, dan obat-obatan.1
Sebagian besar pasien dengan miastenia gravis mengalami abnormalitas
neuro-oftalmik. Walaupun penyakit ini merupakan gangguan sistemik, 50% pasien
memiliki tanda dan gejala okular saat onset.3
EPIDEMIOLOGI
Insiden miastenia gravis diyakini mengalami peningkatan secara global
dalam tujuh dekade terakhir. Miastenia gravis adalah gangguan transmisi
neuromuskular didapat yang paling umum, dengan insiden 1,7 sampai 30 per satu
juta populasi per tahun. Prevalensinya adalah 150 hingga 250 per satu juta,
mencerminkan tingkat kematian penyakit yang rendah. Diperkirakan 700.000 orang
4. 4
hidup dengan miastenia gravis di seluruh dunia, dengan jumlah antara 36.000
hingga 60.000 tinggal di Amerika Serikat.2
Terdapat distribusi usia bimodal dengan dua puncak insiden: puncak
pertama pada dekade kedua hingga ketiga kehidupan, dan yang kedua puncaknya
pada dekade ketujuh sampai kedelapan. Wanita mendominasi pada miastenia gravis
onset dini (didefinisikan dengan onset <50 tahun) sedangkan pria mendominasi
dengan penyakit onset lambat (>50 tahun). Miastenia gravis masa kanak-kanak
cukup jarang di populasi barat tetapi lazim di negara-negara Asia, dengan
keterlibatan sekitar 50% pasien berusia kurang dari 15 tahun, yang biasanya hadir
dengan gejala kelemahan otot ekstraokular.1,4
Miastenia gravis memiliki kecenderungan untuk melibatkan otot-otot
ekstraokular dan levator palpebra. Sekitar 85% pasien pada awalnya akan
mengalami gejala yang berkaitan dengan otot-otot ekstraokular, palpebra, ataupun
keduanya, sehingga disebut miastenia gravis okular. Dilaporkan bahwa 23,3% -
80% pasien dengan miastenia gravis okular akan berkembang menjadi miastenia
gravis generalisata dalam 2 tahun setelah muncul gejala. Distribusi usia dan jenis
kelamin pasien dengan miastenia okular mencerminkan demografi miastenia gravis
umum dengan dominasi wanita dengan onset sebelum usia 40 tahun dan laki-laki
pada usia yang lebih tua. Miastenia okular lebih sering terjadi pada populasi Asia
dengan predileksi pada onset usia remaja.2,5
5. 5
BAB II
TEORI
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT EKSTRAOKULAR
Otot-otot ekstraokular terletak di dalam rongga orbita. Otot ini berfungsi
dalam gerakan mata terkonjugasi, mempertahankan posisi tatapan primer, dan fusi
motorik – mempertahankan elemen visual yang sesuai dalam bidang binokular pada
lokus retina yang sesuai. Selain itu, mata harus dapat mengikuti objek bergerak
(smooth pursuit) dan mencapai perubahan fiksasi yang cepat (saccades). Hal ini
dicapai dengan sistem kontrol okulomotor yang sangat kompleks.6
Tulang orbit, yang melindungi mata ini berbentuk seperti piramid. Margin
orbital terdiri dari os frontalis di superior, processus zygomaticus os frontal dan
processus frontal os zygomatic di sisi lateral, zygoma dan os maxilla di inferior,
dan processus frontal os maxilla, os lakrimal dan proscessus maxilla os frontal pada
margin medial. (Gambar 1). Orbit memiliki atap tulang tebal yang terdiri dari tulang
frontal dan sebagian dari ala minor ossis sphenoidalis. Dinding lateral terdiri dari
tulang zygomatic dan ala major ossis sphenoidalis. Lantai yang relatif tipis terdiri
dari os maxilla, bagian kecil dan bervariasi dari os palatina, dan os zygomatic.
Dinding medial tipis terdiri dari os maxilla, lakrimal, ethmoid, dan sphenoid.
Dengan adanya susunan konfigurasi tulang penyusun ini, akan melindungi bola
mata dari cedera langsung pada wajah, terutama jika tidak ada fraktur tulang.6
6. 6
Gambar 1. Tampakan anterior tulang orbita. Dinding medial kedua orbit sejajar (garis
vertikal biru). Dindingnya berbentuk piramida dengan puncaknya mengarah ke belakang. f, os
frontal; lws, lesser wing of the sphenoid (ala minor ossis sphenoidalis); gws, greater wing of the
sphenoid (ala major ossis sphenoidalis); m, os maxilla; l, os lacrimal; e, os ethmoid.6
Dinding medial sejajar satu sama lain, sedangkan bidang dinding lateral
pada setiap orbit berjarak 45° dari bidang sagital yang dibentuk oleh dinding medial
(Gambar 1 dan 2). Geometri tulang orbital mengharuskan kedua bola mata adduksi
sebagian saat pandangan primer. Apeks orbit tulang memiliki tiga foramen utama,
yaitu foramen optik, dan fisura orbital superior dan inferior. Saraf dan pembuluh
darah ke sebagian besar struktur di dalam orbita masuk melalui foramen ini.6
7. 7
Gambar 2. Geometri orbita. Dinding medial kedua orbit sejajar. Dinding lateral miring
45° relatif terhadap dinding medial. Dinding lateral kedua orbit membentuk sudut 90°. Saraf optik
muncul pada sudut 22,5 ° dari dinding medial. Mata pada posisi pandangan primer menghasilkan
adduksi bola mata sebesar 22,5°.6
Terdapat tujuh otot ekstraokuler pada bola mata, yaitu otot levator palpebrae
superior, empat otot rektus, superior, medial, inferior, dan lateral; dan dua otot
oblik, inferior dan superior. Otot levator palpebrae superior yang berinsersi ke
dalam kelopak mata atas dan berfungsi mengangkat fissura palpebra.7
Otot levator palpebra superior adalah otot berbentuk segitiga tipis yang
muncul dari aspek inferior ala minor ossis sphenoidalis, di atas dan di depan kanalis
optikus, dan dipisahkan oleh perlekatan otot rektus superior (Gambar 3). Beberapa
serabut tendineusnya berjalan lurus ke dalam kelopak mata atas untuk menempel
pada permukaan anterior tarsus, sedangkan sisanya menjalar dan menembus
orbicularis oculi untuk melewati kulit kelopak mata atas. Selubung jaringan ikat
dari permukaan yang berdekatan dari levator palpebrae superioris dan rektus
superior menyatu seperti yang terlihat pada Gambar 4.7
8. 8
Gambar 3. Common tendinous ring7
Gambar 4. Isi orbita, tampakan sagital7
Enam otot lainnya yang berfungsi menggerakkan bola mata, diantaranya
empat otot rektus, superior, medial, inferior, dan lateral; dan dua otot oblik, inferior
dan superior (Gambar 5). Keempat otot rektus berorigo pada annulus Zinn
(tendinous ring), dimana pada struktur ini juga dilewati oleh nervus optic, kedua
cabang dari nervus oculomotorius, nervus abducens dan nasociliar, serta arteri
ophtalmica (Gambar 6). Otot rektus ini berjalan sepanjang dinding orbita, lalu
berinsersi ke bagian anterior dari ekuator bola mata. Insersi otot rektus medial,
rektus inferior, rektus lateral, dan rektus superior, secara berurutan terletak semakin
9. 9
menjauh dari limbus membentuk spiral imajiner yang disebut Spiral of Tillaux
(Gambar 7).6,7,8
Gambar 5. Otot ekstraokuler mata kanan dari tampakan atas8
Gambar 6. Annulus Zinn8
10. 10
Gambar 7. Spiral of Tillaux8
Gambar 8. Otot pada mata kiri, tampakan lateral7
Otot rektus superior sedikit lebih besar dari rektus lainnya. Otot ini berasal
dari annulus Zinn, di atas dan lateral kanal optik. Otot ini berjalan ke depan dan ke
samping (dengan sudut kira-kira 25° terhadap bidang median mata pada posisi
11. 11
primer) untuk berinsersi di bagian atas sklera, kira-kira 8 mm dari limbus. Insersi
sedikit miring, margin medial lebih anterior dari margin lateral. Otot rektus superior
berperan dalam pergerakan ke atas (elevasi) dan medial (adduksi). Untuk
mendapatkan gerakan ke atas saja, otot harus berfungsi dengan oblik inferior.
Rektus superior juga menyebabkan intorsi mata (yaitu rotasi medial). Karena
ligamen memanjang dari rektus superior ke levator palpebrae superioris, sehingga
elevasi bola mata juga menyebabkan elevasi kelopak mata atas.7
Rektus inferior muncul dari cincin tendinus komunis, di bawah kanal optik.
Ia berjalan di sepanjang dasar orbita dalam arah yang sama dengan rektus superior
(yaitu ke depan dan ke samping) dan berinsersi secara oblik ke dalam sklera di
bawah kornea, kira-kira 6,5 mm dari limbus. Pergerakan utama rektus inferior
adalah menggerakkan mata mengarah ke bawah (depresi), dan rotasi lateral. Untuk
mendapatkan gerakan ke bawah saja, rektus inferior harus bekerja dengan oblik
superior. Perpanjangan fibrosa dari rektus inferior ke tarsus inferior kelopak mata
menyebabkan kelopak mata bawah tertekan ketika otot berkontraksi.7
Rektus medial sedikit lebih pendek dari rektus lainnya tetapi merupakan
otot terkuat. Otot ini berjalan secara horizontal ke depan sepanjang dinding medial
orbita, di bawah otot oblikus superior, kemudian berinsersi ke permukaan medial
sklera, kira-kira 5,5 mm dari limbus dan sedikit anterior dari rektus lainnya. Otot
ini menggerakkan bola mata ke arah medial (adduksi). Dua rektus medial yang
bekerja bersama bertanggung jawab atas konvergensi mata. Rektus lateral berjalan
secara horizontal ke depan sepanjang dinding lateral orbita untuk berinsersi ke
permukaan lateral sklera, kira-kira 7 mm dari limbus. Otot ini berfungsi
menggerakkan bola mata kearah lateral (abduksi).5
Selain otot rectus, otot ekstraokuler juga disusun oleh otot oblikus, oblikus
superior dan oblikus inferior. Otot oblikus superior berasal dari berasal dari
periosteum tulang sfenoid di bagian superomedial foramen optic berjalan sepanjang
dinding superomedial orbita, lalu melewati struktur troklea yang merupakan bagian
dari os frontal, kemudian melewati bagian bawah otot rektus superior, sebelum
akhirnya berinsersi ke bagian posterior dari ekuator bola mata pada kuadran
superotemporal. Otot ini melakukan gerakan intorsi pada bola mata. Otot oblikus
inferior berasal dari cekungan dangkal di lempeng orbita tulang maksila, di sudut
12. 12
anteromedial lantai tulang orbita dekat fossa lakrimalis. Otot tersebut memanjang
ke posterior, lateral dan superior lalu masuk ke sklera di kuadran posterior inferior
temporal. Otot ini melakukan gerakan ekstorsi.7,9
Otot ekstraokular mendapat suplai darah dari arteri oftalmik cabang
muskular superior, muskular inferior, lakrimal dan supraorbital serta dari arteri
maksilaris cabang infraorbital. Arteri oftalmik cabang muskular lateral memberikan
suplai darah untuk otot rektus lateral, otot rektus superior dan otot oblik superior.
Arteri oftalmik cabang muskular medial memberikan suplai darah untuk otot rektus
medial, rektus inferior dan oblik inferior. Arteri lakrimalis memberikan suplai darah
untuk otot rektus lateral dan otot rektus superior. Arteri supraorbital memberikan
suplai darah untuk otot rektus superior dan oblik superior. Arteri supraorbital
memberikan suplai darah untuk otot rektus inferior dan otot oblik inferior. Sistem
vena pada otot ekstraokular terdiri dari vena oftalmik superior dan vena oftalmik
inferior. Vena oftalmik superior mendapat aliran darah dari otot ekstraokular bagian
superior dan medial. Vena oftalmik inferior mengalirkan 4 darah dari otot
ekstraokular bagian lateral dan inferior. Kedua vena tersebut akan bergabung dan
membentuk sinus kavernosa.9,10
13. 13
Gambar 9. Vaskularisasi mata10
Otot ekstraokular mendapat inervasi dari tiga nervus kranial, yaitu nervus
kranial III, IV, dan VI. Nervus kranial III (nervus okulomotor) memiliki dua cabang
yaitu cabang superior dan inferior. Cabang superior memberi inervasi kepada otot
rektus superior dan otot levator palpebral superior. Cabang inferior memberi
inervasi kepada otot rektus medial, rektus inferior, dan oblik inferior. Sedangkan
otot oblikus superior diinnervasi oleh nervus kranial IV (nervus troklear). Nervus
kranial VI (nervus abdusens) memberi inervasi kepada otot rektus lateral.9,10
14. 14
Gambar 10. Persarafan Mata10
Kontraksi otot ekstraokular akan menentukan arah pandangan. Terdapat
tujuh posisi arah pandangan, yaitu satu posisi primer dan enam posisi kardinal.
Setiap posisi kardinal menggambarkan fungsi kontraksi masing-masing otot,
contohnya pada gerak abduksi mata kanan menggambarkan fungsi kontraksi otot
rektus lateral mata kanan, dan fungsi otot-otot lainnya yang telah disebutkan diatas.
Otot-otot bola mata bekerja dengan terkoordinasi. Otot agonis adalah otot primer
yang menggerakan mata ke arah tertentu. Otot sinergis adalah otot-otot pada sebuah
mata yang bekerja sama untuk menghasilkan gerak bola mata ke arah tertentu. Otot
antagonis adalah otot pada sebuah mata yang bergerak berlawanan.6,9
15. 15
Otot ekstraokular memiliki aksi primer, sekunder dan tersier. Aksi primer
akan menghasilkan efek utama kontraksi otot terhadap posisi bola mata. Aksi
sekunder dan tersier akan menghasilkan efek tambahan terdahap posisi primer bola
mata. Otot-otot rektus horizontal adalah penggerak horizontal murni di sekitar
sumbu vertikal sehingga memiliki aksi horizontal primer. Otot-otot rektus vertikal
memiliki arah tarikan yang tidak sepenuhnya vertikal terhadap aksi utamanya,
tetapi memiliki sudut tarikan 23° terhadap sumbu visual (atau garis tengah mata).
Hal ini menimbulkan torsi. Intorsi merupakan aksi sekunder dari rektus superior,
extorsi adalah aksi sekunder dari rektus inferior dan adduksi adalah aksi tersier
kedua otot. Otot oblik cenderung miring 51° ke sumbu visual (atau midplane mata),
sehingga torsi adalah aksi utama mereka. Rotasi vertikal (depresi / elevasi) adalah
aksi sekunder otot oblik, dan abduksi adalah aksi tersiernya.9,11
Gambar 11. Gerak Primer, Sekunder, dan Tersier Otot Ekstraokular9
Tabel 1. Aksi Otot Ekstraokuler9
Otot Primer Sekunder Tersier
Rektus Medial Adduksi - -
Rektus Lateral Abduksi - -
Rektus Inferior Depresi Ekstorsi Adduksi
Rektus Superior Elevasi Intorsi Adduksi
Oblik Inferior Ekstorsi Elevasi Abduksi
Oblik Superior Intorsi Depresi Abduksi
16. 16
Gerak kedua bola mata secara bersamaan disebut gerak binokular. Gerakan
mata ke arah yang sama disebut versi. Gerakan mata ke arah yang berlawanan
disebut vergensi. Dekstroversi adalah gerakan kedua mata ke kanan pasien.
Levoversi adalah gerakan kedua mata ke kiri pasien. Elevasi adalah rotasi ke atas
dari kedua mata. Depresi adalah rotasi ke bawah kedua mata. Dekstrosikloversi
adalah kedua mata berputar sehingga bagian superior dari meridian vertikal kornea
bergerak ke kanan pasien. Levosikloversi adalah pergerakan kedua mata sehingga
bagian superior dari meridian vertikal kornea berputar ke kiri pasien. Istilah Yoke
Muscle digunakan untuk menggambarkan 2 otot (1 otot di setiap mata) yang
merupakan penggerak utama masing-masing mata ke posisi pandangan tertentu,
contohnya ketika otot rektus lateral kanan dan otot rektus medialis kiri secara
serentak dipersarafi dan berkontraksi maka akan menghasikan gerakan
dekstroversi.
Setiap otot ekstraokular di satu mata memiliki otot yoke di mata lainnya.
Konsep otot yoke digunakan untuk mengevaluasi kontribusi setiap otot ekstraokular
terhadap pergerakan mata. Hukum korespondensi motor Hering menyatakan bahwa
ketika mata bergerak ke arah pandangan tertentu, persarafan simultan
mengakibatkan pasangan ototnya memiliki kekuatan kontraksi yang sama.
Konvergensi adalah pergerakan kedua mata ke arah nasal. Divergensi adalah
pergerakan kedua mata ke arah temporal. Otot rektus medial adalah Yoke Muscle
untuk konvergensi, dan otot rektus lateral adalah Yoke Muscle untuk divergensi.
Insiklovergensi adalah rotasi kedua mata sehingga bagian superior dari setiap
meridian kornea vertikal berputar secara nasal. Eksiklovergensi adalah rotasi kedua
mata sedemikian rupa sehingga kutub superior dari setiap meridian kornea vertikal
berputar ke arah temporal. Gerakan vergensi vertikal yaitu 1 mata bergerak ke atas
dan yang lainnya ke bawah.8,9
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUTAN NEUROMUSKULAR
Tautan neuromuskular pada dasarnya membentuk hubungan listrik-kimia-
listrik antara saraf dan otot (Gambar 12). Neurotransmitter kimia pada tautan ini
adalah asetilkolin (ACh). Komponen dari tautan neuromuskular ini terdiri dari:12
17. 17
a) Prasinaptik (prejunctional) yang mengandung vesikel sinaptik (berisi
asetilkolin) dan mitokondria.
b) Celah sinaptik yang mengandung lamina basalis dimana enzim
asetilkolinesterase memiliki peran untuk menghidrolisis Asetilkolin.
c) Postsinaptik atau postjunctional
Gambar 12. Anatomi tautan neuromuscular normal12
Setiap neuron motorik berjalan dari kornu ventral medulla spinalis atau ke
tautan neuromuskular sebagai akson besar bermielin (Gambar 13 A). Saat neuron
motorik mendekati otot, neuron bercabang-cabang untuk menghubungkan ke
banyak sel otot dan mengumpulkannya menjadi kelompok fungsional yang dikenal
sebagai unit motorik (Gambar 13 B). Struktur ujung saraf berbeda dari bagian akson
lainnya. Saat ujung saraf mencapai serat otot, struktur mielin hilang dan membentuk
cabang terminal terhadap permukaan otot, dan ditutupi oleh sel Schwann.(lihat
Gambar 13 C). Saraf dipisahkan dari permukaan otot oleh celah kira-kira 50 nm,
yang disebut celah sinaptik (synaptic cleft). Saraf dan otot ditahan dalam
keselarasan yang ketat oleh filamen protein yang disebut lamina basal yang
membentang di antara saraf dan pelat ujung. Permukaan otot sangat bergelombang,
dengan invaginasi yang dalam pada celah junctional—celah primer dan sekunder
(primary cleft and secondary cleft)—di antara lipatan membran otot. Saluran
18. 18
natrium, yang menyebarkan gelombang depolarisasi, terletak di bagian dalam
lipatan (lihat Gambar 13 D ).12,13
Gambar 13. Struktur tautan neuromuskular (A) Saraf motoric; (B) Saat saraf mendekati
serat ototnya; (C) Setiap otot hanya menerima satu sinapsis; (D) Terminal saraf, yang ditutupi oleh
sel Schwann.13
Transmisi neuromuskular terjadi dengan mekanisme yang cukup sederhana
dan mudah. Ujung saraf memiliki vesikel yang berkumpul di bagian menuju
permukaan tautan, sedangkan mikrotubulus, mitokondria, dan struktur pendukung
lainnya terletak di sisi yang berlawanan. Saraf mensintesis asetilkolin dari kolin dan
asetat oleh asetil koenzim A (CoA), dan menyimpannya ke dalam vesikel. Selama
potensial aksi saraf, natrium dari luar mengalir melintasi membran, dan tegangan
depolarisasi yang dihasilkan membuka saluran kalsium, yang memungkinkan
masuknya ion kalsium ke dalam saraf dan menyebabkan pelepasan asetilkolin ke
dalam celah yang memisahkan saraf dari otot (celah sinaptik). Reseptor asetilkolin
19. 19
di ujung otot merespons dengan membuka saluran masuknya ion natrium ke dalam
otot untuk mendepolarisasi otot. Potensi end-plate yang dibuat dilanjutkan di
sepanjang membran otot dengan membuka saluran natrium yang ada di seluruh
membran otot untuk memulai kontraksi otot. Asetilkolin segera terlepas dari
reseptor dan dihancurkan oleh enzim, asetilkolinesterase, yang juga terdapat di
dalam celah sinaptik.13
3. PATOMEKANISME MIASTENIA GRAVIS OKULAR
Miastenia gravis dianggap sebagai contoh klasik dari suatu penyakit
autoimun yang dimediasi antibodi. Penyakit ini juga dilihat sebagai contoh dari
reaksi hipersensitivitas tipe II, dimana terdapat autoantibodi jenis IgG yang bereaksi
terhadap antigen dari intraselular maupun ekstraselular, dan berujung pada
kerusakan organ. Sebagian besar pasien miastenia gravis memiliki autoantibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AChRs), dan sebagian kecil bersifat seropositif
terhadap antibodi yang menyerang Muscle-specific kinase (MuSK), low-density
lipoprotein receptor-related protein 4 (Lrp4), dan agrin. Antibodi-antibodi ini akan
mengganggu transmisi kolinergik antara terminal saraf dan serat otot melalui proses
destruksi, pemblokiran fungsional AChRs, ataupun merusak kelompok AChR di
membran postsinaptik. Antibodi-antibodi ini juga akan menjadi dasar dalam
penentuan subgrup dari penyakit dan membantu menggambarkan varian fenotipik.2
Pada pasien dengan miastenia gravis okular, antibodi yang paling banyak
ditemukan adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChRs). Antibodi AChR
sebagian besar berasal dari subkelas IgG1 dan IgG3. Antibodi ini merusak dan
mengganggu fungsi reseptor dengan cara mengikat, memblokade, ataupun
memodulasi aktivitasnya. Mekanisme yang paling sering adalah antibodi ini
berikatan dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaptik dan mengaktivasi
sistem komplemen, yang selanjutnya akan menyebabkan pembentukan membrane
attack complex (MAC) dan menyebabkan kerusakan membran postsinaptik dan
destruksi pada lipatan sinaptik yang mengandung reseptor asetilkolin dan protein
terkait, termasuk pintu-pintu ion sodium bertegangan. Mekanisme lainnya, yaitu
antibodi ini menghalangi asetilkolin untuk berikatan dengan reseptornya sehingga
20. 20
pintu-pintu ion tidak akan terbuka. Ion sodium tidak dapat masuk ke dalam otot
sehingga tidak akan timbul aksi potensial.1,2,14,15
Antibodi terhadap muscle-specific kinase (MuSK) ditemukan pada 7-10%
kasus dari seluruh pasien dengan miastenia gravis dan ditemukan pada 40% pasien
yang bersifat seronegatif terhadap antibodi AChR. Antibodi ini berasal dari
subkelas IgG4 dan tidak akan menyebabkan aktivasi komplemen. Antibodi pada
MuSK akan berikatan dengan kompleks protein Agrin-Lrp4-MuSK di sambungan
neuromuskular (NMJ), yang memiliki fungsi utama dalam menjaga distribusi
reseptor asetilkolin dan pengelompokannya pada sambungan neuromuskular.
Inhibisi pada kompleks protein ini akan menurunkan jumlah reseptor asetilkolin di
membran postsinaptik.1,2,14,15
(A) (B)
Gambar 14. Transmisi sambungan neuromuskular pada (A) orang normal dan
(B) pasien Miastenia Gravis
21. 21
Gambar 15. Target autoantibodi pada kanal ion di tautan neuromuscular.15
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis utama pada pasien dengan miastenia gravis adalah adanya
kelemahan otot yang mudah lelah, memberat dengan aktivitas, dan membaik
dengan istirahat. Selain aktivitas fisik atau olahraga, kelemahan otot pada pasien
dapat menjadi lebih jelas dengan beberapa faktor, seperti kehamilan, stres
emosional, infeksi, konsumsi alkohol yang berlebihan, cahaya ultraviolet, suhu
ekstrim, penyakit tiroid, serta beberapa jenis obat-obatan tertentu. Sebagian besar
pasien miastenia gravis akan mengalami abnormalitas neurooftalmik. Walaupun
penyakit ini merupakan penyakit sistemik, sebagian besar pasien akan memiliki
tanda dan gejala okular saat onset.2,3,9
Manifestasi okular paling sering tampak pada palpebra. Keterlibatan otot
levator palpebra menyebabkan timbulnya ptosis, baik unilateral maupun bilateral.
Kelemahan otot bilateral biasanya bersifat asimetris. Ptosis dapat ditemukan
memberat setelah pasien melihat ke arah atas dalam waktu lama, yang dikenal
sebagai tes kelelahan kelopak mata (lid fatigability test).3,16
Tanda klinis lain yang dapat ditemukan adalah Cogan’s lid twitch, yaitu
adanya kedutan pada palpebra mata yang mengalami ptosis saat pasien secara cepat
mengalihkan pandangan ke atas setelah diminta untuk melirik ke bawah selama 15
detik. Ketika dilakukan elevasi manual pada kelopak mata yang ptosis, terjadi
penurunan kekuatan otot levator palpebra pada mata kontralateral sehingga otot
22. 22
mengalami relaksasi dan timbul ptosis yang lebih berat. Hal ini berkaitan dengan
penerapan hukum Hering. Manifestasi lain yang dapat ditemukan pada palpebra
adalah retraksi palpebra unilateral dan kelemahan pada otot orbicularis oculi.
Retraksi palpebra dapat terlihat bersamaan dengan ptosis pada mata kontralateral
sebagai manifestasi hukum Hering. Kelelahan pada otot orbicularis dapat
menyebabkan mata sedikit terbuka secara tidak sengaja saat pasien mencoba untuk
menutup mata, yang disebut sebagai “peek sign”.9,16,19
Gambar 16. Myasthenia gravis. A, Pasien
dengan miastenia gravis dan ptosis yang
lebih berat di kiri daripada di kanan. B,
Pembukaan manual kelopak mata kiri
menghasilkan ptosis sisi kanan yang lebih
berat (ptosis yang ditingkatkan) yang
merupakan manifestasi dari hukum Hering
tentang persarafan yang sama.9
Gambar 18. Peek-sign pada Myastenia Gravis19
23. 23
Keterlibatan otot-otot ekstraokular menyebabkan timbulnya diplopia.
Kelemahan ringan pada otot ekstraokular sudah dapat menimbulkan diplopia
simptomatik. Otot ekstraokular yang paling sering terkena adalah otot rektus medial
kemudian diikuti otot rektus superior. Apabila otot rektus medial terkena maka akan
menyebabkan kemampuan adduksi menurun dan timbul strabismus inkomitan.
Apabila otot yang terlibat lebih banyak, maka dapat ditemukan adanya oftalmoplegi
eksternal, tetapi tidak ditemukan adanya keterlibatan pupil.3,16
85% kasus miastenia gravis okular akan berkembang menjadi miastenia
gravis generalisata. Dapat terjadi kelemahan otot bulbar, yang ditandai oleh adanya
kesulitan dalam mengunyah atau sering tersedak, disfagia, suara serak, dan
disartria. Keterlibatan otot-otot wajah menyebabkan wajah tidak berekspresi,
keterlibatan otot leher menyebabkan sindrom dropped-head. Otot-otot ekstremitas
juga dapat terlibat, lebih sering pada ekstremitas atas daripada ekstremitas bawah.
Keterlibatan otot-otot pernapasan, seperti otot-otot interkostalis dan diafragma,
ditemukan pada 15-20% kasus. Hal ini menjadi tanda adanya krisis miastenia yang
merupakan keadaan darurat dan memerlukan perawatan yang lebih intensif.1,2,3
Tabel 2. Gangguan otot pada myasthenia gravis ocular17
Otot Temuan Klinis
Levator palpebrae superioris Ptosis unilateral atau bilateral
Rektus superior, inferior, medial dan
lateral, oblikus superior dan inferior
Ophtalmoplegia unilateral atau
bilateral, tidak nyeri, pupil-spared
Orbicularis oculi “Peek” sign; ektopion, kelemahan
orbikularis
24. 24
Gambar 17. Abnormalitas motilitas ocular akibat kelemahan otot periokular multipel
pada kedua mata. A, B, Ptosis kelopak mata kanan progresif selama pandangan ke depan
berkelanjutan dari kelemahan levator palpebra kanan yang mudah lelah. C, Pandangan ke atas.
Ada gerakan superior yang tidak lengkap dari kedua mata, lebih buruk di mata kanan. D, Pada
pandangan lateral kiri kiri, ada deviasi miring dengan gerakan medial mata kanan tidak lengkap
dan abduksi mata kiri tidak lengkap. E, Pada pandangan lateral kanan, gerakan kedua mata tidak
lengkap karena kelemahan otot rektus lateral kanan dan rektus medial kiri.19
5. KLASIFIKASI
Beberapa sistem penilaian tanda-tanda miastenia atau keadaan global pasien
telah diusulkan termasuk klasifikasi Osserman, skala miastenia gravis composite
(MGC), dan skor kuantitatif miastenia gravis (QMG). Namun, saat ini yang paling
banyak diterima adalah Klasifikasi Klinis MG Foundation of America (MGFA)
yang membagi MG menjadi lima kelas utama dan beberapa subkelas sebagai
berikut:20
Tabel 3. Klasifikasi MGFA
Derajat I - Kelemahan pada otot okular
- Kekuatan semua otot lainnya normal
Derajat II - Kelemahan ringan pada otot lain selain otot okular
- Dapat juga mengalami kelemahan otot okular
25. 25
IIa - Utamanya melibatkan otot ekstremitas, otot aksial, atau
keduanya
- Keterlibatan otot orofaringeal dapat terjadi walaupun jarang
IIb - Utamanya melibatkan otot orofaring, otot respirasi, atau
keduanya
- Dapat juga terdapat keterlibatan otot ekstremitas, otot
aksial, atau keduanya, dengan intensitas yang sama atau
lebih rendah
Derajat III - Kelemahan sedang pada otot lain selain otot okular
- Dapat juga mengalami kelemahan otot okular
IIIa - Utamanya melibatkan otot ekstremitas, otot aksial, atau
keduanya
- Keterlibatan otot orofaringeal dapat terjadi walaupun jarang
IIIb - Utamanya melibatkan otot orofaring, otot respirasi, atau
keduanya
- Dapat juga terdapat keterlibatan otot ekstremitas, otot
aksial, atau keduanya, dengan intensitas yang sama atau
lebih rendah
Derajat IV - Kelemahan yang berat pada otot lain selain otot okular
- Dapat juga mengalami kelemahan otot okular
IVa - Utamanya melibatkan otot ekstremitas, otot aksial, atau
keduanya
- Keterlibatan otot orofaringeal dapat terjadi walaupun jarang
IVb - Utamanya melibatkan otot orofaring, otot respirasi, atau
keduanya
- Dapat juga terdapat keterlibatan otot ekstremitas, otot
aksial, atau keduanya, dengan intensitas yang sama atau
lebih rendah
Derajat V - Terintubasi, dengan ataupun tanpa ventilasi mekanik.
26. 26
6. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis myasthenia gravis okuar, diperlukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada MG.
1) Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya kelemahan/kelumpuhan otot yang berulang
setelah aktivitas dan membaik setelah istirahat. Pasien biasanya datang dengan
kombinasi penurunan kelopak mata unilateral, bilateral, atau bergantian yang
berfluktuasi tanpa rasa sakit serta dapat kombinasi dengan diplopia. Tersering
menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai
kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-jari),
kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervus kranialis, dapat pula
mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak. Gejala dan
tanda sistemik yang berhubungan dengan MG meliputi: disartria, disfagia, dispnea,
suara serak, dan kelemahan otot pengunyahan dan ekstensor leher, badan, dan
tungkai.5,9,17
2) Pemeriksaan Fisik
Beberapa pemeriksaan ptosis pada MG okular dapat ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan sebagai berikut:
a) Margin-Reflex Distance (MRD). Margin-Reflex Distance dibagi menjadi
2 yakni MRD 1 dan MRD 2, dimana MRD 1 diperiksa saat pasien
memfiksasi pandangannya kemudian diukur jarak antara margin kelopak
mata atas dari refleks kornea sedangkan MRD 2 diukur jarak antara margin
kelopak mata bawah dari refleks kornea. Pada ptosis, didapatkan kelopak
mata atas tampak jatuh atau posisi lebih rendah dari pemeriksaan MRD 1
dengan penilaian mild ptosis tampak margin kelopak mata atas turun
sebanyak 2 mm, moderate ptosis dimana kelopak mata atas turun sebanyak
3 mm dan severe ptosis tampak kelopak mata atas turun sebanyak 4 mm
atau lebih.9
27. 27
Gambar 19. Penilaian MRD 1 pada pasien ptosis.
b) Fisura Inter Palpebra. Dilakukan pemeriksaan untuk mengukur jarak
antara margin kelopak mata atas dan kelopak mata bawah. Dikatakan
normal jika margin kelopak mata atas terletak sekitar 2 mm di bawah
limbus.atas sedangkan margin kelopak mata bawah normal terletak sekitar
1 mm di atas limbus bawah.9
Gambar 20. Pengukuran fisura inter palpebra
c) Levator Function Test. Fungsi levator diperkirakan dengan mengukur
jarak perubahan posisi margo palpebra superior saat melihat ke bawah
kemudian ke atas. Derajat ptosis diukur dengan membandingkan antara
kelopak mata yang ptosis dengan kelopak sebelahnya yang normal.
Perbedaan derajat ptosis ringan (1-2 mm), sedang (3-4 mm), dan berat
(lebih dari 4 mm).9
28. 28
Gambar 21. Pemeriksaan fungsi levator
d) Cogan’s Lid Twitch. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta pasien
menatap downward selama 10-15 detik dan kemudian kembali ke
pandangan primary gaze. Mekanisme terjadinya cogan’s lid twitch
sepenuhnya belum dipahami, namun kedutan diperkirakan berhubungan
dengan kelelahan otot dan diikuti dengan pemulihan otot levator yang
terjadi secara cepat. Sensitivitas pemeriksaan ini sebesar 75% dan
spesifisitas 99% untuk MG. Tanda Cogan bukan merupakan
patognomonik untuk MG karena pada sindrom Miller-Fisher, penyakit
miopati dan lesi dorsal dari midbrain.9
7. PEMERIKSAAN KHUSUS
1) Ice Pack Test
Salah satu pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan ialah ice pack test.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan ice pack pada kelopak mata
selama 2 sampai 5 menit kemudian dilakukan evaluasi apakah ada
perbaikan ptosis. Prinsip tes ini yakni pendinginan dapat memperbaiki
transmisi neuromuskuler, sehingga pada pasien ptosis, penempatan es di
kelopak mata akan memperbaiki ptosis. Es dapat ditempatkan di dalam
29. 29
gloves atau dibungkus handuk dan diletakkan secara lembut di atas kelopak
mata selama 2 menit untuk ptosis atau 5 – 10 menit untuk oftalmoparesis.
Tes dikatakan positif, saat pasien tidak lagi memiliki gejala ptosis MG
dimana pada kebanyakan kasus klinis didapatkan rata-rata tes dilakukan
selama 2 menit. Saat es diaplikasikan selama lebih dari 2 menit pada
kelopak mata maka tes dapat menjadi semakin tidak nyaman untuk pasien
dan penurunan suhu pada fiber otot di bawah 22°C akan mengurangi
kekuatan kontraktil dari otot itu sendiri dan menciptakan potensi false-
negative.3,9,21
Gambar 22. Ice pack test positif pada MG. (A) Ptosis asimetris; (B) Pengaplikasian ice
pack; (C) Perbaikan pada ptosis3
2) Sleep Test
Pemeriksaan non-farmakologi lain yang juga mudah dilakukan selain ice
pack test ialah sleep test. Sleep test dilakukan berdasarkan prinsip gejala
MG dimana ptosis memburuk sewaktu adanya kelelahan otot dan membaik
sewaktu beristirahat. Untuk sleep test, pasien dimasukkan ke dalam ruangan
30. 30
yang gelap dan sunyi, dan memberikan instruksi untuk menutup mata
selama 30 menit, kemudian dievaluasi perbaikan ptosis.17,21
3) Tes Edrofonium/Tensilon
Tes endrofonium atau tes tensilon merupakan tes memasukan endrofonium
klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat (short acting)
yang bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan hanya
dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat diukur
secara objektif. Endrofoinum bekerja dengan menghambat dan
berkompetisi dengan asetilkolinesterase yang bekerja pada tautan
neuromuscular. Edrophonium adalah penghambat asetilkolinesterase kerja
singkat dengan onset kerja dalam 10 sampai 30 detik setelah pemberian
secara intravena, ditandai dengan perbaikan fungsi otot yang biasanya
hilang dalam 5 menit. Dosis awal diberikan 2 mg, jika tidak ada respons
positif setelah 45 detik, diberikan dosis tambahan 2 mg hingga maksimum
10 mg. Setelah hasil positif diperoleh, tidak diperlukan injeksi lebih lanjut.
Efek samping yang mungkin terjadi termasuk salivasi, berkeringat, mual,
dan fasikulasi. Efek samping yang serius namun jarang ditemukan seperti
bradikardia, henti jantung, hipotensi, sinkop, kejang, muntah, serangan
iskemik sementara, kegagalan napas. Tes edrofonium relatif
dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat asma bronkhial dan
disritmia jantung. Hampir 8% pasien anak dengan juvenile MG gagal
merespon dengan edrofonium.9,17,22
31. 31
Gambar 23. Paresis oculomotor sisi kanan dengan defisit elevasi dan ptosis (A)
merespon positif terhadap 9mg edrophonium klorida intravena; (B), menunjukkan bahwa
penglihatan ganda disebabkan oleh manifestasi okular dari myasthenia gravis.22
4) Tes Neostigmin
Neostigmin merupakan penghambat asetilkolinesterase yang bekerja lebih
lama (long acting) selama 10-30 menit, yang dapat digunakan sebagai
alternatif tes endrofonium untuk penegakan diagnosis. Kebanyakan
neostigmine membantu pada pasien anak. Efek kerja neostigmine dimulai
pada 10-20 menit, dengan puncak efek kerja dari neostigmine mencapai 30
menit setelah pemberian secara injeksi intramuskular, Durasi dari efek
neostigmine bertahan sampai beberapa jam. Dosis pemberian pada dewasa
1.5 mg, diberikan secara intramuskular pada otot deltoid. Keuntungan dari
neostigmine disbanding endofornium yakni durasi efek lebih panjang
dimana mempermudah dalam pemeriksaan diplopia, gerakan bola mata.
Efek samping tes ini ialah ketidaknyamanan perut, salivasi, bronchorrhea,
dan diare. Tes ini juga dapat positif pada sindrom Lambert-Eaton, botulism,
sindrom Miller-Fisher, amyotropic lateral sclerosis atau glioma
brainstem.9,21
32. 32
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Tes Serologi
Salah satu pemeriksaan serologi yang mendukung penegakan diagnosis
myasthenia gravis ialah pemeriksaan antibody anti-AChR. Tes antibody
anti-AChR sangat spesifik, dan dapat mengkonfirmasi diagnosis pada
pasien dengan temuan klinis klasik. Hal ini ditemukan pada empat per
lima pasien dengan MG generalisata dan hanya pada setengah dari
pasien dengan MG okular murni. Sisanya, sekitar 5% sampai 10%, akan
menunjukkan antibodi anti-MuSK. Hanya dalam beberapa kasus
sporadis, antibodi anti-AChR dan anti-MuSK ditemukan pada pasien
yang sama. 3% sampai 50% dari pasien yang tersisa yang seronegatif
terhadap salah satu dari antibodi ini akan menunjukkan antibodi anti-
LRP4. Antibodi anti- striated muscle terdapat pada 30% pasien MG.
Parameter ini lebih berguna sebagai penanda serologi untuk timoma,
terutama pada pasien yang lebih muda.1
Pada MG juvenile, antibody AChR tidak umum ditemukan, terutama
dengan onset cepat, sehingga dapat membatasi nilainya dalam
penegakkan diagnosis. Titer antibody postif terutama pada MG
generalisata (67%0 dan MG ocular (44%) pada anak-anak. Seronegative
ditemukan pada MG juvenile 44% pada prepubertal, 18% pada
peripubertal, dan 0% pada onset postpubertal. Antibody AChR memiliki
spesifisitas yang tinggi, dengan kurang dari 1% false-positif.9
Protein terkait reseptor lipoprotein 4 (LRP-4) memediasi pensinyalan
agrin ke MuSK. LRP4-Ab mungkin patogen pada sekitar 2% pasien
MG. Lebih lanjut, LRP4-Ab terdapat pada hingga 23% pasien
amyotrophic lateral sclerosis (ALS), persentase pasien dengan
gangguan neuroimun lainnya, dan hingga 20% subjek dengan MuSK-
MG (sebagaimana didefinisikan oleh kriteria serologis dan klinis).
Dengan demikian, deteksi anti-LRP4-Ab tidak dapat menjadi parameter
diagnostik langsung, tidak seperti AChR-Ab atau MuSK-Ab;
pemeriksaan ini memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk mengarahkan
ke diagnosis MG.1
33. 33
2) Tes Elektrofisiologi
Pemeriksaan ini relevan pada pasien yang seronegatif untuk tes antibodi.
Tes yang umum digunakan untuk MG adalah tes stimulasi saraf
berulang (RNS; Repetitive nerve stimulation) dan elektromiografi serat
tunggal (SFEMG; single-fiber electromyography). Kedua tes ini menilai
keterlambatan konduksi di tautan neuromuskular. Studi konduksi saraf
rutin biasanya dilakukan untuk menentukan fungsi saraf dan otot
sebelum melakukan tes ini.1
- Tes RNS: Tes ini dilakukan dengan merangsang saraf pada 2-3Hz.
Stimulasi saraf berulang menghabiskan ACh di tautan
neuromuskular, dan menghasilkan potensi postsinaptik rangsang
yang rendah (EPSP; Excitatory postsynaptic potential). Penurunan
10% atau lebih dalam EPSP antara stimulus pertama dan kelima
adalah tanda diagnostik untuk MG.1
- SFEMG: Pemeriksaan ini merekam potensial aksi (AP) dari serat
otot individu, dan dengan demikian memungkinkan untuk
merekam AP secara bersamaan dari dua serat otot yang dipersarafi
oleh satu neuron motorik . Perbedaan antara waktu timbulnya
kedua potensial aksi ini disebut "jitter". Pada MG, "jitter" akan
meningkat karena transmisi tautan neuromuskular berkurang.
Pemeriksaan ini yang paling sensitif di antara tes diagnostik untuk
MG.1
3) Pemeriksaan Radiologi (Thymoma Imaging)
Timoma ditemukan pada hingga 15% pasien MG, sebagian besar pada
mereka yang terdeteksi AChR-Ab. Beberapa gambaran klinis dan
serologis merupakan prediktif positif dan negatif untuk thymoma
(misalnya, di MuSK-MG, thymoma terlihat hanya pada kasus tunggal;
dengan adanya antibodi striasional, sangat mungkin diikuti dengan
thymoma). Namun, tidak ada yang dapat benar-benar memastikan
thymoma ini, sehingga diperlukan pencitraan timus pada semua pasien
MG, terutama yang terduga kuat memiliki thymoma. Pemeriksaan CT
34. 34
scan atau MRI harus dilakukan pada pasien dengan MG untuk menilai
thymoma.22
9. DIAGNOSIS BANDING
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ptosis merupakan gejala khas
pada myasthenia gravis ocular. Berdasarkan gejala ptosis dapat ditemukan beberapa
pembanding diagnosa, sebagai berikut: a) Ptosis neurogenik disebabkan oleh defek
inervasi seperti pada parese N.III dan Sindrom Horner, b) Ptosis aponeurotik atau
involusi yang disebabkan adanya defek dari aponeurosis levator, c) Ptosis mekanik
disebabkan efek gravitasi dikarenakan adanya massa atau luka.5
Gambar 24. a) Ptosis Neurogenik, b) Ptosis pada MG okular, c) Ptosis Aponeurotik, d)
Ptosis Mekanik
Tabel 4. Diagnosis Banding Miastenia Gravis
Penyakit Tampilan Klinis Pembeda
Botulisme Keterlibatan fungsi otonomik dan
pupil
Sindrom miastenia kongenital Onset pada bayi dan anak-anak,
seronegative, tidak merespon
terhadap imunoterapi
Cranial nerve palsy Klinis sesuai dengan area yang
dipersarafi
Sindrom Guillain-Barre Pola asenden pada kelemahan otot,
keterlibatan fungsi otonom,
35. 35
arefleksia, tanda dan gejala
sensoris
Inflammatory myopathies Tanpa kelemahan otot ocular
kecuali miositosis orbital
10. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana myasthenia gravis okular bergantung pada tingkat keparahan
gejala. Myasthenia gravis okular ringan (misalnya, ptosis atau diplopia intermiten)
dapat dikelola dengan terapi nonfarmakologis seperti patching, pemasangan lid
crutch pada kacamata, dan taping pada kelopak mata yang terkena.17
Terapi farmakologis untuk ptosis harus dilakukan jika pasien tidak
mengalami perbaikan gejala yang nyata dengan terapi nonfarmakologi. Perbaikan
ptosis dengan bedah dapat dipertimbangkan jika pasien menunjukkan gejala stabil,
dan gagal dalam perawatan konservatif dan farmakologis.17
Inhibitor kolinesterase seperti piridostigmin (Mestinon, Valeant) tetap
menjadi pengobatan lini pertama untuk menghilangkan gejala. Ptosis sebagian
besar dapat diobati dengan penggunaan kolinesterase; namun, gejala diplopia
mungkin hanya sedikit atau tidak ada respons. Benatar, dkk. Pada tahun 2016
melaporkan uji coba acak pasien dengan myasthenia gravis okular yang diobati
secara bersamaan dengan piridostigmin dan prednison. Data dari penelitian
menunjukkan bahwa pemberian piridostigmin saja tidak dapat membuat remisi
penyakit.17,23
Selain piridostigmin, pengobatan potensial lain untuk myasthenia okular
adalah terapi kortikosteroid. Kortikosteroid dosis rendah dan sedang telah terbukti
memperbaiki diplopia pada myasthenia okular dan ada beberapa bukti anekdotal
yang mendukung penggunaan steroid untuk mengurangi frekuensi kerusakan pada
MG Generalisata. Namun, adanya efek samping jangka panjang dari kortikosteroid
dapat membatasi penggunaannya untuk MG kronis.17
Penelitian historis epidemiologis telah menunjukkan bahwa perkembangan
myasthenia ocular (OMG) menjadi MG generalisata (GMG) adalah 60% sebelum
penggunaan imunosupresan, dibandingkan dengan 30% setelah pengenalan terapi
imunosupresan.24
36. 36
Uji coba EPITOME (Efficacy of Prednisone for the Treatment of Ocular
Myasthenia) adalah uji coba terkontrol secara acak yang ditetapkan untuk menilai
keamanan dan menentukan risiko dan manfaat dari terapi steroid dosis rendah dan
tinggi untuk mencegah perkembangan OMG menjadi GMG. Percobaan ini mampu
menunjukkan keamanan terapi steroid dosis rendah, tetapi tidak dapat
menghasilkan bukti yang cukup untuk penggunaan terapi steroid dosis tinggi dalam
menunda perkembangan penyakit karena sedikitnya sampel. Rekomendasi saat ini
menganjurkan penggunaan inhibitor cholinesterase, diikuti dengan penggunaan
steroid dosis rendah jika pengobatan cholinesterase saja tidak mengontrol gejala
secara memadai.17
11. PROGNOSIS
Prognosis OMG umumnya baik dengan penggunaan kombinasi
kortikosteroid jangka pendek dengan atau tanpa piridostigmin. Regimen steroid-
sparing jangka panjang (misalnya, azathioprine) juga berguna pada OMG. Pada
sebagian besar pasien yang mengembangkan OMG menjadi GMG menurun dengan
penggunaan terapi kombinasi ini. MG terbatas pada otot ekstraokular pada 69%
pasien, di mana 54% dalam keadaan sembuh, 33% membaik, dan 13% menetap.
Diketahui pula sebanyak 31% pasien berkembang menjadi GMG. Untuk pasien
dengan diplopia yang resisten terhadap terapi farmakologis, terapi oklusi
merupakan pilihan. Jika deviasi okular besar atau tidak dapat diobati dengan
tindakan konservatif, maka operasi strabismus dapat direkomendasikan setelah
pengukuran misalignment okular stabil selama 6 bulan. Prognosis setelah operasi
strabismus pada OMG bervariasi, tetapi beberapa laporan telah menunjukkan 50%
tingkat remisi dan lainnya melaporkan prognosis jangka panjang yang lebih buruk.
Demikian pula, ptosis persisten pada MG dapat diperbaiki dengan pembedahan,
tetapi hasilnya bervariasi. Potensi manfaat operasi harus dipertimbangkan terhadap
peningkatan risiko kekambuhan setelah operasi dan potensi memburuknya MG atau
kegagalan pernapasan dengan obat anestesi.17
37. 37
BAB III
KESIMPULAN
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan autoimun yang mempengaruhi
sambungan neuromuskular. Ini bermanifestasi sebagai kelemahan otot umum yang
dapat melibatkan otot-otot pernapasan dan dapat menyebabkan krisis miastenia,
yang merupakan keadaan darurat medis. Miastenia gravis merupakan gangguan
paling umum yang mempengaruhi sambungan neuromuskular (NMJ) dari otot
rangka. Presentasi klasik merupakan kelemahan fluktuatif yang lebih menonjol
pada sore hari. Biasanya melibatkan otot-otot mata, tenggorokan, dan
ekstremitas. Berkurangnya transmisi impuls listrik melintasi sambungan
neuromuskular karena pembentukan autoantibodi terhadap protein membran
postsinaptik spesifik akibatnya menyebabkan kelemahan otot. Berbagai macam
kondisi dapat memicu MG, seperti infeksi, imunisasi, operasi, dan obat-obatan.1
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan transmisi neuromuskular didapat
yang paling umum, dengan insiden 8 sampai 10 per juta per tahun. Prevalensinya
adalah 150 hingga 250 per juta, mencerminkan tingkat kematian penyakit yang
rendah. Diperkirakan 700.000 orang hidup dengan MG di seluruh dunia, dengan
antara 36.000 hingga 60.000 tinggal di Amerika Serikat. Terdapat distribusi usia
bimodal dengan dua puncak insiden: puncak pertama pada dekade kedua hingga
ketiga kehidupan, dan yang kedua puncaknya pada dekade ketujuh sampai
kedelapan. Wanita mendominasi pada MG onset dini (didefinisikan dengan onset
<50 tahun) sedangkan pria mendominasi dengan penyakit onset lambat (>50 tahun).
MG masa kanak-kanak cukup jarang di populasi barat tetapi lazim di negara-negara
Asia, dengan keterlibatan sekitar 50% pasien berusia kurang dari 15 tahun, yang
biasanya hadir dengan gejala kelemahan otot ekstraokular.1,4
Klasifikasi Miastenia Gravis menurut The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of the Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi
miastenia gravis menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass sedangkan
klasifikasi menurut Osserman dibagi menjadi 4 tipe. Diagnosis dari MG dapat
ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa tes khusis seperti tes
ice pack, antibodi, neurofisiologi, tes endrofonium, tes es kotak dan radiologi.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, miastenia
38. 38
gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan neurologis lainnya.
Antikolinesterase dan imunomodulator merupakan penatalaksanaan utama pada
MG. Penatalaksanaan dapat digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat
memulihkan kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang yang dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.17,20
39. 39
DAFTAR PUSTAKA
1. Myasthenia Gravis - StatPearls - NCBI Bookshelf.
2. Dresser L, Wlodarski R, Rezania K, Soliven B. Myasthenia Gravis:
Epidemiology, Pathophysiology and Clinical Manifestations. Journal of
Clinical Medicine. MDPI. 2021.
3. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course,
Section 5 : Neuro-Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2020-2021. Hal. 323-326.
4. Harrison TB, Roche WP. IX Neurological System. Conn’s Current Therapy
2022. 2022.
5. Al-Haidar M, Benatar M, Kaminski HJ. Ocular Myasthenia. Vol. 36,
Neurologic Clinics. W.B. Saunders; 2018. p. 241–51.
6. Mcloon L. The Extraocular Muscles. Adler's Physiology of the Eye, Chapter
7, 182-207
7. Standring S, Fas H, Frcs H. Orbit and accessory visual apparatus. Gray's
Anatomy, Chapter 44, 2021. 769-789.e1
8. Demer JL. Anatomy and Physiology of the Extraocular Muscles and
Surrounding Tissues. Ophthalmology, 11.1, 1190-1194.e1
9. Tariq Bhatti M. 2020-2021 Basic and Clinical Science Course, Section 5:
Neuro-Ophthalmology. 2020;
10. Frank H. Ear in Netter Atlas of Human Anatomy: Classic Regional Anatomy
Approach. 2022. 121-126
11. Klonisch SH, Klonisch T, Peeler J. Sobotta Clinical Atlas of Human Anatomy.
2022. 481-500
12. 6 – Repetitive Nerve Stimulation. Electromyography and Neuromuscular
Disorders: Clinical-Electrophysiologic-Ultrasound Correlations. 2020.
13. Jeevendra Martyn JA, Jonsson M. Neuromuscular Physiology and
Pharmacology.
14. Damato V, Viegas S, Vincent A. Myasthenia gravis and related disorders. In:
The Autoimmune Diseases. Elsevier; 2019. p. 1011–33.
15. Romi F, Hong Y, Gilhus NE. Pathophysiology and immunological profile of
myasthenia gravis and its subgroups. Vol. 49, Current Opinion in Immunology.
Elsevier Ltd; 2017. p. 9–13.
16. Nair AG, Chhablani PP, Venkatramani DV, Gandhi RA. Ocular myasthenia
gravis: A review. Indian Journal of Ophthalmology. 2014.
17. Smith S v., Lee AG. Update on Ocular Myasthenia Gravis. Vol. 35, Neurologic
Clinics. W.B. Saunders; 2017. p. 115–23.
18. Fortin E, Cestari DM, Weinberg DH. Ocular myasthenia gravis: An update on
diagnosis and treatment. Vol. 29, Current Opinion in Ophthalmology.
Lippincott Williams and Wilkins; 2018. p. 477–84.
19. Guptill JT, Sanders DB. Disorders of Neuromuscular Transmission.
40. 40
20. Catalin J, Silviana J, Claudia B. Clinical Presentation of Myasthenia Gravis.
In: Thymus. IntechOpen; 2020.
21. Hwang JM. SECTION VI Amblyopia, Strabismus, and Eye Movements
Myasthenia gravis in children.
22. Rousseff RT. Diagnosis of myasthenia gravis. Vol. 10, Journal of Clinical
Medicine. MDPI; 2021.
23. Benatar M, McDermott MP, Sanders DB, Wolfe GI, Barohn RJ, Nowak RJ, et
al. Efficacy of prednisone for the treatment of ocular myasthenia (EPITOME):
A randomized, controlled trial. Muscle Nerve. 2016 Mar 1;53(3):363–9.
24. Wong SH, Plant GT, Cornblath W. Does Treatment of Ocular Myasthenia
Gravis With Early Immunosuppressive Therapy Prevent Secondarily
Generalization and Should It Be Offered to All Such Patients?