Tradisi Rampogan Macan merupakan acara adat Jawa kuno dimana ratusan orang berusaha membunuh harimau atau macan menggunakan tombak di alun-alun kerajaan. Acara ini diselenggarakan antara abad ke-18 hingga 19 di Surakarta dan Yogyakarta sebagai tradisi bangsawan, dan kemudian menyebar ke kabupaten-kabupaten Jawa Timur.
1. GladiatorAla Jawa : "RampoganMacan"
Senin, 03 Desember 2012 |
Ada satu tradisi jawa kuno yang saat ini mungkin sudah asing di telinga kita.
Tradisi itu bernama “Rampogan Macan” atau ada juga yang menyebutnya
dengan “Rampokan”. Rampogan ini kemungkinan berasal dari kata Rampog
yang sering diartikan sebagai “rayahan” atau “rebutan” dimana ratusan orang
berebut untuk membunuh harimau atau macan menggunakan tombak. Antara
macan dan harimau memang orang Jawa sering salah menyebut keduanya
adalah sama walau sebenarnya adalah hewan yang berbeda.
2. Rampogan di Alun - alun Kraton Surakarta, 1865
Awal pertama kali diadakannya Rampogan ini tidak jelas sejak kapan, ada yang
memperkirakan sudah sejak zaman hindu budha. Namun yang pasti acara ini
menjadi begitu dikenal dan sering diselenggarakan pada abad 18 – 19. Pada
awalnya sering dilakukan di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta
dan merupakan tradisi para ningrat. Di Kesunanan Surakarta nampaknya sudah
mulai ada sejak jaman Amangkurat II. Acara di laksanakan di alun – alun
utara yang biasanya diadakan untuk menyambut tamu agung. Tamu agung
ini biasanya adalah para pembesar dari penjajah Belanda seperti Gubernur
Jenderal. Pada awalnya yang sering diadu dalam Rampogan Macan ini
adalah Macan dengan Banteng.
Tercatat ialah Paku Buwono X yang sangat gemar mengadakan acara
Rampogan Macan ini. Macan dan hewan – hewan liar lainnya memang sengaja
3. dipelihara dalam kandang – kandang di sudut alun – alun. Hewan liar ini
adalah hasil buruan atau tangkapan dan nantinya akan dipagelarkan
dalam acara Rampogan.
Rampogan di Alun - alun Kraton Surakarta, 1865
Acara biasanya mulai dilaksanakan pada pagi hari dan puncak acara berupa
pertarungan antara Macan dan Banteng pada siang hari. Awal acara pada pagi
harinya setelah para pembesar datang dan berkumpul maka para prajurit bersiap
– siap di tengah alun – alun dengan membentuk formasi mengelilingi arena
pertarungan. Para prajurit lengkap dengan baju perangnya dengan tombak yang
panjang berbaris dalam 4 - 5 lapis barisan secara rapat. Para pembesar
menyaksikan dari sebuah panggung yang dinamakan pagelaran. Biasanya
Sultan atau Sunan akan duduk berdampingan dengan Gubernur Jenderal.
Sedang masyarakat jelata dari berbagai lapisan dan etnis menonton berdesakan
diluar arena dengan terkadang sampai menaiki pohon – pohon agar dapat
leluasa menyaksikan pertarungan.
4. Rampogan di Alun - alun Kediri, 1885
Setelah semuanya siap maka kandang macan akan ditaruh di tengah arena dan
seorang abdi dalem yang pemberani seraya berjoget (tayungan) akan
menghampiri dan menaiki kandang serta membuka tutup kandang. Terkadang
setelah kandang dibuka tidak serta merta sang macan akan segera mengamuk
memasuki arena. Tak jarang sang macan malah bermalasan – malasan atau
terheran – heran karena cahaya yang menyilaukan dan banyaknya manusia.
Oleh karena itu biasanya prajurit akan menakut – nakutinya dengan api, tusukan
tombak dan berbagai cara agar macan mengamuk. Begitu pula dengan banteng
yang digiring ke alun – alun, agar ia mau mengamuk biasanya diberi dengan air
campuran cabe rawit agar badannya kepanasan dan mengamuk
.
Banteng yang gerakkannya kurang gesit dibanding macan ini biasanya malah
lebih sering memenangkan pertarungan karena badannya yang lebih besar dan
tanduk banteng biasanya dikerik lebih dahulu sehingga menjadi sangat runcing.
Tak jarang pula sang macan dapat memenangkan pertarungan walau dengan
5. luka – luka yang dideritanya. Walau begitu nasib sang macan akan sama saja
pada akhirnya.
Akhir hidup sang harimau, mati dengan luka - luka tusukan
Macan yang masih hidup akan di bunuh beramai – ramai dengan cara ditombak
oleh prajurit yang ada. Macan yang berlari kesana kemari akan terus ditombak
dari segala penjuru sampai akhirnya kelelahan dan kehabisan darah lantas mati.
Namun tidak jarang sang macan dapat menembus barikade prajurit lantas lari
keluar dari arena. Walau nampak menegangkan namun inilah momen yang
sering dinanti. Macan yang lari ini tidak jelas akan menuju kemana dan para
penonton akan ketakutan tunggang langgang berlarian kesegala penjuru. Para
prajurit yang pemberani akan terus mengejar sampai dapat dan biasanya macan
memang pasti menemui ajalnya. Inilah puncak acara Rampogan Macan dimana
banyak terdapat simbolisasi dalam acara ini.
6. Simbolisasi memang sesuatu hal yang sangat akrab dilakoni oleh orang Jawa.
Simbolisasi ini pula yang dapat melanggengkan hegemoni kekuasan pihak
kerajaan. Macan yang mati terluka dengan ribuan hujaman tombak sering
digunakan sebagai penggambaran tokoh pewayangan Abimanyu ketika menjadi
Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa
dan akhirnya gugur dengan terluka parah. Urutan acara yang dibuat sedemikian
rupa juga sering diluputi hal magis juga membuat sekat – sekat keagungan dari
sebuah kekuasaan Sultan yang memunyai batas dengan rakyatnya. Acara
pagelaran macan ini juga ingin menunjukkan bahwa adanya kemurahan hati dari
Sultan bahawa macan yang buas ini dapat ditundukkan oleh kekuasaannya dan
masyarakat jelata boleh melihatnya secara langsung dan beramai – ramai.
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa macan mempresentasikan kekuasaan
kolonial Belanda dan Banteng adalah bangsa pribumi. Oleh karena tunduknya
kekuasaan pribumi terhadap penjajah maka perasaan emosional ini
dilampiaskan dalam bentuk Rampogan Macan dimana diharapkan banteng akan
menjadi pemenang seperti biasanya dan macan yang buas akan ditumpas
bersama - sama. Walau memang sebenarnya pertarungan hewan liar ini ada
banyak macamnya.
7. Rampogan Macan di Alun - alun Tulungagung, 1901
Seperti disebutkan diatas bahwa Rampogan Macan adalah tradisi para ningrat
yang biasanya dilaksanakan oleh perintah Sultan maka di Jawa Timur pada
akhir abad ke 19 hal ini banyak dilakukan di alun – alun kadipaten (kabupaten)
yang diselenggarakan oleh para bupati. Rampogan Macan pada masa itu
didaerah Jawa Timur nampaknya lebih banyak merupakan pembantaian
terhadap macan ketimbang pertarungan antara macan dan banteng.
8. Rampogan Macan di Kediri, 1885
Tercatat kota Kediri dan Blitar yang paling sering mengadakan acara ini walau
di kabupaten lain juga pernah mengadakannya. Disini walau sebagaian besar
acara adalah sama seperti yang diadakan di Alun – alun Kraton namun bukan
prajurit yang berhadapan dengan sang macan namun para pemberani dari
berbagai kalangan baik priyayi maupun pembesar seperti lurah, demang, bekel
dan lain – lain. Yang duduk dipanggung adalah Bupati dan Residen (pihak
belanda). Acara biasanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal atau
orang Jawa menyebutnya Bakda. Disini macan biasanya bukan merupakan
peliharaan sang Bupati namun lebih merupakan tangkapan para penduduk yang
sering mengganggu atau memang sengaja dipersiapkan untuk acara ini.
Biasanya pada bulan puasa para penduduk beramai – ramai menjebak harimau
bila tidak memiliki tangkapan sebelumnya.
9. Kandang – kandang macan disini lebih rumit dalam hal pembuatannya dan cara
membukanya. Kandang biasanya terbuat dari pohon aren dan ketika diletakkan
di tengah alun – alun memiliki semacam tali yang bila ditarik akan langsung
membuat kandang itu terbuka berantakan. Namun sebelumnya terdapat
pengunci yang dibuka oleh seorang kepala desa yang disebut Gandek. Ia beraksi
selayaknya abdi dalem di acara Rampogan ala Kraton.
Rampogan Macan di Alun - alun Blitar, 1880
Puncak acara adalah sama seperti acara di alun – alun Kraton namun uniknya
adalah para penombak adalah orang – orang yang kurang terlatih tidak seperti
prajurit kraton. Sehingga banyak juga yang lari ketakutan atau ketika sudah
berhadapan maka tidak banyak berbuat apa – apa. Seringkali mereka lebih
banyak mengedepankan alasan magis dimana tombak mereka kalah pamor
dengan sang macan. Tombak yang biasanya juga merupakan senjata pusaka
setelah keris ini lantas dijual atau digadaikan bila dirasa memalukan saat acara
10. Rampogan.
Acara yang dilaksanakan di kadipaten lebih bermakna ruwatan atau mengusir
roh jahat. Dimana harimau dijadikan perlambang roh jahat yang mati dan
hilang diusir beramai – ramai lewat pembantaian.
Penangkapan harimau Jawa di Banten, 1910
Acara ini lantas tidak pernah lagi dilakukan oleh karena dua hal. Pertama,
populasi harimau dan macan Jawa yang semakin menyusut tajam. Kedua,
pemerintah Belanda akhirnya melarang acara ini pada tahun 1905. Saat ini
tradisi Rampogan Macan memang sudah tidak pernah dapat disaksikan lagi dan
hanya dapat disaksikan dalam lakon pewayangan. Harimau Jawa pun sudah
punah sejak tahun 1980-an dan dinyatakan secara resmi punah pada 1996
dengan habitat terakhir di Taman Nasional Meru Betiri di Jember. Walau
kadang banyak masyarakat mengatakan sering melihat jejak dan
penampakannya didaerah hutan – hutan gunung di pulau Jawa. Nampaknya
11. masyarakat terkecoh dengan saudara harimau jawa (Panthera tigris sondaica)
yaitu macan seperti macan kumbang atau tutul (Panthera pardus melas) yang
sebenarnya juga sangat – sangat jarang terlihat bila tidak dikatakan punah.
Selain tradisi Rampogan Macan, memang harimau jawa punah karena
perburuan besar – besaran dimana tidak adanya aturan yang melindungi
perburuan serta makin terdesaknya habitat harimau yang sebenarnya merupakan
binatang penjelajah.
1865-1905
Blitar, Kediri, Tulungagung, Surakarta,
Yogyakarta.
Tugas Deskripsi dan opini
Tugas Kelompok
Wawan Rembug
Babagan : Tradisi RampoganMacan
Paraga wawan rembug :
1. Nama :
12. Kelas :
No absen :
2. Nama :
Kelas :
No absen :
3. Nama :
Kelas :
No absen :
4. Nama :
Kelas :
No absen :
5. Nama :
Kelas :
No absen :
13. Isi wawan rembug :
Rangkuman gegambarantradisi rampogan macan
rikala semana (deskripsi dan gambar). BAHASA
NGOKO.
Panemu tumrap siswa/siswi.Opini siswa/siswi
1. Nama :
Panemu /opini : min 3 baris
2. Nama :
Panemu/opini: min 3 baris
3. Nama :
Panemu /opini : min 3 baris
4. Nama :