4. Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat
terlihat pada bangunan masjid, makam, istana.
Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri
sebagai berikut:
a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang
bersusun semakin ke atas semakin kecil dari
tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah
atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya
ditambah dengan kemuncak untuk memberi
tekanan akan keruncingannya yang disebut
dengan Mustaka.
5. Gambar 1. Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia
6. b. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya
bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang
ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau
bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat.
Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
7. c. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah
barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat
keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan
Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon),
Masjid Kudus dan sebagainya. Selain bangunan masjid
sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat
pada bangunan makam.
9. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada
bangunan makam terlihat dari:
makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat
yang keramat.
makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan
Jirat atau Kijing,nisannya juga terbuat dari batu.
di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut
dengan cungkup atau kubba.
dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan
antara makam dengan makam atau kelompok-kelompok
makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung
(beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar
(tidak beratap dan tidak berpintu).
Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut
masjid makam dan biasanya makam tersebut adalah makam
para wali atau raja. Contohnya masjid makam Sendang Duwur di
Tuban.
10.
11. Masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha
berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di
Indonesia. Misalnya seni hias dan seni arca. Seni hias
yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia
menunjukkan adanya akulturasi antara budaya lokal
Indonesia dengan Hindu-Buddha. Masuknya pengaruh
Hindu-Buddha juga berpangaruh pada seni arca di
Indonesia. Seni arca Indonesia yang sederhana
berkembang menjadi seni arca yang mempunyai kualitas
yang lebih baik. Arca yang sebelumnya merupakan
perwujudan dari nenek moyang berubah menjadi
perwujudan raja ataupun dewa. Pembuatan arca seperti
ini berlangsung sampai zaman kerajaan Tumapel-
Singosari.
12. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau
hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam
berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula
Sinkretisme, agar didapat keserasian, misalnya ragam hias.
ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir.
Gambar 3. Kera yang disamarkan
13.
14. Indonesia telah mengenal sistem kalender sebelum datangnya
pengaruh Hindu-Buddha dari India. Pada saat itu, kalender
Indonesia menggunakan penghitungan satu pekan. Satu pekan
terdiri atas lima dan tujuh hari. Kedua penghitungan itu digunakan
bersama-sama. Dengan berkembangnya kalender India, kedua
kalender itu dipadukan menjadi kalender Saka yang dilengkapi
dengan hari pasaran (pon, wage,kliwon, legi, dan pahing). Ketika
pengaruh agama dan budaya Islam masuk ke Indonesia,
penanggalan Islam berupa kalender Hijriah pun ikut masuk.
Kalender Hijriah menggunakan penghitungan peredaran bulan
(lunar system). Penggunaan kalender Hijriah awalnya menimbulkan
masalah di kalangan masyarakat Indonesia dikarenakan pemakaian
kalender Hijriah tidak sama dengan kalender yang selama ini
dipergunakan, yaitu kalender Saka yang menggunakan
penghitungan peredaran matahari (solar system). Akibatnya
muncul usaha untuk memperbarui kalender dengan
menggabungkan kedua sistem kalender tersebut.
15. Perwujudan akulturasi daam sistem kalender jelas terlihat
pada zaman Mataram Islam. Raja Mataram Sultan Agung
pada saat itu memutuskan bahwa negara Mataram secara
resmi tidak menggunakan kalender Saka, tetapi juga tidak
menggunakan kalender Hijriah. Namun, yang dipergunakan
adalah kalender Saka yang diperbarui. Dalam kalender itu,
angka tahunnya meneruskan angka tahun Saka, tetapi
penghitungan kalender mengambil dari kalender Hijriah,
yaitu sistem bulan. Kalender baru ini berlaku pada tanggal 8
Juli 1633, bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1403 H. Jadi,
kalender baru dimulai pada tanggal 1 Suro 1555 dan tahun itu
disebut tahun Jawa.
16. Bidang Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar
semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut,
penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu.
Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang
banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia.
Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun
memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur
bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari
kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa
Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf
Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal
sebagai huruf Jawi.
17.
18.
19. Tradisi lokal Jawa mengalami akulturasi dengan
budaya dan agama Islam. Misalnya, pada hari setelah
kematiannya selama tujuh hari, dan pada hari-hari
peringatan selamatannya, biasanya pihak keluarga
mengadakan acara tahlilan yang berisi pembacaan
zikir dan tahlil. Maksud dan tujuan tradisi tersebut
adalah untuk mendoakan arwah orang yang telah
meninggal supaya diterima di sisi Allah. Di sinilah
terjadi akulturasi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha,
dan Islam. Doa-doa yang dibacakan dalam bahasa
Arab,tradisi selamatan merupakan tradisi Hindu-
Buddha, sedang peringatannya itu merupakan
pengaruh budaya lokal.