Tantangan industrialisasi perikanan untuk membangun wilayah2016
1. TANTANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN
UNTUK MEMBANGUN WILAYAH
SUGENG BUDIHARSONO
Disampaikan pada Seminar Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung
Pembangunan Ekonomi Wilayah yang diselenggarakan oleh Direktorat Kelautan dan
Perikanan, Bappenas di Jakarta, 23 November 2016
2. INDUSTRIALISASI PERIKANAN
o Menurut KKP (2011) Industrialisasi Kelautan dan
Perikanan adalah proses perubahan sistem produksi hulu
dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas,
dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan,
melalui modernisasi yang didukung dengan arah
kebijakan terintegrasi antara kebijakan ekonomi makro,
pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi,
IPTEK dan SDM untuk kesejahteraan rakyat.
o Pengertian ‘industri’ mengacu pada Undang-undang 5
Tahun 1984 Tentang Perindustrian sebagai berikut:
“Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan
mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi
untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun
dan perekayaan industri.”
3. PERKEMBANGAN INDUSTRIALISASI
PERIKANAN DI DUNIA
o Industrialisasi Perikanan Pertama (1870-an – 1950).
Industrialisasi pertama dimulai sejak diperkenalkannya kapal
ikan uap dengan alat tangkap trawl di Laut Utara pada tahun
1875, terutama di negara-negara Eropa.
o Industrialisasi Perikanan Kedua di negara maju dimulai sejak
tahun 1950 dan khususnya karena diperkenalkannya ZEE pada
tahun 1970-an. Di negara-negara berkembang industrialisasi
perikanan dimulai pada era ini, khususnya sebagai hasil
kebijakan FAO, adanya transfer teknologi dari negara maju ke
negara berkembang.
o Munculnya regime batas negara dalam pengelolaan perikanan,
1970-an – 1980-an
10. PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA 2009-2014
Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Aceh 38.048,00 46.811,00 34.451,00 41.557,00 34.438,00 301.938,00
Bali 141.384,00 107.495,00 119.371,00 155.950,00 153.575,00 117.363,00
Banten 35.503,00 86.777,00 91.741,00 87.134,00 82.311,00 103.060,00
Bengkulu 14.182,00 18.628,00 33.806,00 44.916,00 9.628,00 31.296,00
DI Yogyakarta 17.682,00 39.582,00 44.542,00 50.260,00 980,00 98.923,00
DKI Jakarta 2.909,00 50.365,00 34.142,00 8.054,00 3.729,00 177.308,00
Gorontalo 52.331,00 72.281,00 100.103,00 111.934,00 120.861,00 92.626,00
Jambi 25.620,00 31.905,00 34.369,00 37.268,00 15.936,00 43.134,00
Jawa Barat 442.012,00 622.961,00 695.104,00 778.999,00 546.051,00 916.306,00
Jawa Tengah 144.650,00 175.995,00 242.865,00 261.736,00 235.136,00 547.946,00
Jawa Timur 507.790,00 634.279,00 715.865,00 927.974,00 778.455,00 1.047.099,00
Kalimantan Barat 15.205,00 27.200,00 29.972,00 37.084,00 51.127,00 108.567,00
Kalimantan Selatan 46.043,00 63.462,00 76.902,00 91.029,00 32.575,00 110.364,00
Kalimantan Tengah 14.988,00 24.733,00 31.772,00 42.579,00 10.198,00 59.226,00
Kalimantan Timur 72.611,00 147.504,00 171.718,00 291.112,00 304.036,00 422.834,00
Kepulauan Bangka Belitung 2.077,00 2.490,00 6.474,00 8.108,00 1.540,00 96.125,00
Kepulauan Riau 5.026,00 16.818,00 7.257,00 25.281,00 16.018,00 36.438,00
Lampung 106.990,00 98.074,00 119.228,00 120.744,00 93.333,00 175.544,00
Maluku 53.110,00 275.754,00 612.505,00 477.484,00 590.370,00 508.732,00
Maluku Utara 2.950,00 51.690,00 67.799,00 122.900,00 98.943,00 104.219,00
Nusa Tenggara Barat 182.838,00 214.971,00 381.410,00 547.059,00 700.054,00 877.282,00
Nusa Tenggara Timur 499.698,00 349.705,00 379.399,00 401.582,00 1.847.980,00 1.982.850,00
Papua 2.375,00 2.338,00 29.784,00 6.908,00 2.353,00 5.383,00
Papua Barat 14.113,00 21.749,00 4.157,00 61.086,00 75.678,00 67.821,00
Riau 38.897,00 44.383,00 61.337,00 68.794,00 23.735,00 162.069,00
Sulawesi Barat 25.342,00 29.800,00 40.315,00 48.514,00 54.208,00 69.726,00
Sulawesi Selatan 865.899,00 1.357.366,00 1.633.274,00 2.235.007,00 2.583.550,00 3.101.883,00
Sulawesi Tengah 728.161,00 744.279,00 781.378,00 929.215,00 1.317.890,00 1.218.635,00
Sulawesi Tenggara 217.800,00 404.123,00 647.836,00 712.597,00 1.004.751,00 1.038.631,00
Sulawesi Utara 26.127,00 75.287,00 151.549,00 212.160,00 240.758,00 439.649,00
Sumatera Barat 84.260,00 102.617,00 131.554,00 181.360,00 53.436,00 193.090,00
Sumatera Selatan 184.796,00 217.397,00 291.375,00 404.922,00 109.649,00 404.625,00
11. Jumlah Unit Pengolahan Ikan Berdasarkan
Jenis Pengolahannya pada Tahun 2010
114 556
23.876
10.952
8.056
2.912
1.323 381
2.745
9.202
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
PengalenganPem
bekuan
Penggaram
an
Pem
indanganPengasapan
PeragianPereduksian
Pengolahan
Surim
i
Produk
Segar
Lainnya
12. Perkembangan Produksi Ikan Olahan
Tahun 2007-2011
3,42
3,67
4,04 4,20
3,90
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
2007 2008 2009 2010 2011
Produksi(jutaanton)
13. Jumlah Unit Pemasaran Hasil
Perikanan Pada Tahun 2010
5.031 9.076
327.817
124.311
12.217
1.597
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
Pengumpul Pedagang
Besar
Pengecer Restoran Catering Hotel
17. Quo Vadis Industrialisasi Perikanan di Indonesia?
Kata kunci Industrialisasi Perikanan di Indonesia agar maju dan
dapat menjadi engine of growth dari suatu wilayah antara lain:
Mengintegrasikan dengan sumber daya lokal yang ada
Dapat meningkatkan daya saing wilayah
Industrialisasi perikanan meliputi seluruh proses agribisnis (up-stream,
middle stream dan down stream)
Menggabungkan antara vertical value chain dan horizontal value chain
Peningkatan produktifitas melalui kreatifitas dan inovasi di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi
Perubahan pendekatan pembangunan dari ekonomi tradisional ke
pengembangan ekonomi lokal/daerah (PEL). Pembangunan sektor
perikanan melalui industrialisasi perikanan adalah bagian dari
pembangunan wilayah (dari sektoral ke wilayah).
Pendekatan klaster (Porterian Cluster), kalau tidak bisa jejaring klaster
Pengembangan industrialisasi perikanan sebagai bagian pembangunan
wilayah jangan hanya single commodity development tapi harus terpadu
dengan sektor lainnya.
18. OKTAGONAL SUMBER DAYA LOKAL
Modal
Intelektual
Modal
Manusia
(otot)
Modal Sosial
Modal/Sumber
Daya Buatan
Modal/Sumber
Daya Alam
Modal
Spiritual
Lokasi
Strategis
Modal
Finansial
20. DAYA SAING
Competitiveness as the set of institutions, policies, and factors that
determine the level of productivity of a country (Schwab and Porter,
2007)
Pendefinisian daya saing tergantung dimana lokasi daya saing
tersebut didefinisikan, apakah di aras mikro (perusahaan) atau di
aras makro (nasional).
Diantara kedua konsep daya saing tersebut, muncul konsep daya
saing daerah, yang mendapatkan perhatian yang besar pada
beberapa tahun terakhir, hal ini disebabkan karena daerah
merupakan kunci dalam organisasi dan tata kelola pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan kesejahteraan.
Meyer-Stamer (2003), daya saing daerah didefinisikan sebagai
kemampuan suatu wilayah untuk meningkatkan pendapatan yang
tinggi dan penghidupan masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut
pada standar kehidupan yang tinggi. Sedangkan Huggins (2003)
menyatakan bahwa daya saing daerah yang sejati hanya terjadi ketika
pertumbuhan berkelanjutan dicapai pada tingkat tenaga kerja yang
meningkatkan standar kehidupan.
21. Teori Daya Saing Negara
Factor
Driven
• Mengandalkan SDA
& lingkungan alam
• Tenaga kerja yg
murah & melimpah
Investment
Driven
• Perusahaan fokus
pada peningkatan
investasi di bidang
teknologi, pabrik,
infrastruktur
Innovation
Driven
• Penciptaan
teknologi & metode
terbaru
• Pengembangan
industri dlm
berinovasi
Wealth
Driven
• Perusahaan mulai
kehilangan daya
saing kompetitifnya
krn berbagai alasan
(mis: tdk berinovasi
krn terlalu fokus
mempertahankan
posisi perusahaan)
Porter (1990) membagi tahapan pembangunan baik negara maupun daerah
berdasarkan keunggulan kompetitifnya ke dalam 4 fase:
Meningkat (advance) Menurun (decline)
Tiga tahap pertama melibatkan peningkatan keunggulan
kompetitif suatu bangsa secara bertahap dan umumnya
berkaitan dg kemakmuran ekonomi yg semakin meningkat
Bangsa di tahap
keempat mengandalkan
kemakmurannya, yg pd
akhirnya akan menurun
21
23. PELD
Berkelanjutan
Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat
Kinerja Wilayah
Kesenjangan antar wilayah
PDRB
Produktivitas
Tenaga kerja
Laju penyerapan
tenaga kerja
Penelitian
dan
Pengembang
an Teknologi
Infrastruktur
dan modal
manusia
Investasi UMKM
Kelembagaan
dan modal
sosial
Struktur
Ekonomi
Struktur Sosial
Kegiatan
Inovatif
Pusat
Pengambilan
Keputusan
Aksesibilitas
wilayah
Ketrampilan
angkatan kerja
Lingkungan Identitas Wilayah
Tujuan dan Sasaran
Kategori
Dasar
Faktor
Pembangunan
Penentu
Keberha-
silan
Sumber
daya
alam
Modifikasi
Konsep Daya
Saing Daerah
“Imre Lengyel”
24. TOPI
DAYA SAING
DAERAH
REGIONAL TRANSFERS
NILAI TAMBAH BRUTO NON-PASAR
NILAI TAMBAH BRUTO-PASAR
Jumlah Upah Jumlah Keuntungan
Pasar Lokal Pasar Ekspor
Perusahaan A
Perusahaan B
Sektor x
Sektor y
Sektor z
Input Wilayah
• Komposisi sektoral
• Spesialisasi
• Distribusi Perusahaan
• Kepemilikan (FDI)
Output Wilayah
• Produktifitas wilayah
• Unit labour cost
• Keuntungan
• Market shares
Outcome Wilayah
PDRB/Tenaga Kerja
Jumlah orang yang bekerja
Modal
Tenaga Kerja Lahan
Infrastruktur dasar
dan Aksesibilitas
LingkunganKualitas tempat
Sumber Daya Manusia
Lingkungan ProduktifKelembagaan
Teknologi
Keinovasian
Kewirausahaan
Internasionalisasi
Modal sosial
Insfrastruktur
pengetahuan Penduduk dan
migrasi
Budaya
25. HUBUNGAN INOVASI DENGAN DAYA SAING DAERAH
Keterampilan
Perusahaan
Inovasi/Kreatifitas
Persaingan
Investasi
H. M. Treasury. 2004
Masuknya perusahaan
baru akan
meningkatkan
persaingan
Meningkatnya pesaingan
akan memberikan insentif
untuk investasi usaha
Investasi modal fisik
akan meningkatkan
kapasitas inovasi
perusahaan
Keterampilan akan
meningkatkan kapasitas
perusahaan dalam
mengembangkan dan
menggunakan teknologi
baru
Peningkatan persaingan
mendorong
inovasi/kreatifitas dan
sebaliknya
Ketrampilan manajemen
akan meningkatkan
kewirausahaan dan
keunggulan bisnis.
Perusahaan baru akan
meningkatkan permintaan
terhadap keterampilan
26. Peran Inovasi dalam PEL
TRIPLE HELIX INNOVATION (GOLDEN TRIANGLE)
Inovasi dan Kewirausahaan
KPK dan
Agropark
yang Berdaya
Saing
AKADEMIA
DUNIA
USAHA
PEMERINTAH
Kunci Produksi
Kunci
Penyetabil
Interaksi
Kunci Pengetahuan
Pengajaran dan Pelatihan Riset dan Pengembangan
Farinha dan Fereira
27. b. Komponen Inovasi dan Evolusinya
Perguruan Tinggi
dan Litbang
Dunia Usaha/
Dunia Industri
Pemerintah Masyarakat/CSO
berbasis media
dan budaya
Lingkungan/
Masyarakat
(CSO) berbasis
Lingkungan
Keterangan:
Triple Helix: PT dan Litbang, DuDi dan Pemerintah
Quadruple Helix: PT dan Litbang, DuDi, Pemerintah dan CSO berbasis media dan budaya
Quintuple Helix: PT dan Litbang, DuDi, Pemerintah, CSO berbasis media dan budaya dan Lingkungan
28. c. Quintuple Helix of Innovation
Hasil dari quintuple helix of innovation adalah eco-innovation, dan eco-innovatioan
dalam serial cascading dengan meminimal limbah sampai mendekati 0 disebut Blue
29. PERBEDAAN ANTARA PEL DAN EKONOMI
TRADISIONAL
NO PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL EKONOMI TRADISIONAL
1. Pendekatan kewilayahan Pendekatan sektoral
2. Pembangunan secara bottom-up yang
diintegrasikan dengan pendekatan top
down
Pendekatan top-down, pemerintah
pusat yang memutuskan bagaiman
dan dimana dilakukan intervensi
3. Terdesentralisasi dan kerjasama antara
pemerintah daerah dan dunia usaha
Dikelola oleh pemerintah pusat
4. Fokus pada maksimisasi potensi ekonomi
setempat
Fokus kepada industri besar dan
insentif finansial untuk menciptakan
suatu kegiatan ekonomi
Andres Rodrigues-Pose
30. PERBEDAAN ANTARA PEL DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
No PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL PENGEMBANGAN EKONOMI
MASYARAKAT
1. Fokus utama pada pengembangan
ekonomi dan kerja yang layak
Fokus kepada isu sosial seperti
kemiskinan dan eksklusi sosial
2. Digagas oleh berbagai kalangan luas
(pusat, provinsi dan kabupaten/kota)
seperti pemerintah, dunia usaha,
organisasi masyarakat madani, dan
donor
Digagas oleh beragam aktor, seperti
LSM atau organisasi internasional
3. Mencakup berbagai pendekatan,
melibatkan pelaku usaha lokal,
masyarakat, dan kelompok sosial dan
politik
Berusaha melibatkan kelompok
termarjinalkan dan masyarakat miskin
Andres Rodrigues-Pose
31. PRASYARAT PEL
PEL adalah proses multistakeholder, sehingga merupakan proses yang
melibatkan stakeholder kunci, terutama dunia usaha dan pemerintah daerah,
dalam seluruh tahapan PEL.
Adanya komitmen yang kuat dari Bupati/Walikota dalam PEL, yang
diimplementasikan terutama dengan adanya program/kegiatan serta
anggarannya setiap tahunnya dalam rentang waktu yang lama.
Strong leadership (khususnya dari Bupati/Walikota amat diperlukan dalam
membangunan komitmen. Aplikasinya adalah tersediannya anggaran untuk
PEL dari seluruh SKPD yang terlibat sampai waktu yang ditentukan.
Membangun komitmen antara pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi
dan organisasi masyarakat madani yang kuat.
Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa PEL bukan “proyek” dari
pemerintah pusat namun dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat. Pemerintah hanya memfasilitasi saja.
Perubahan mindset terutama dalam hal: kedisiplinan, kebersihan, moral yang
baik (tidak korupsi), keamanan, kesopansantunan, keramahtamahan, dll.
Perlu merubah mindset stakeholder daerah bahwa PEL merupakan milik dan
merupakan kebutuhan bagi daerah.
32. KLASTER
Klaster adalah konsentrasi geografis dari perusahaan
yang saling berhubungan, pemasok, penyedia
layanan, dan lembaga-lembaga yang terkait dalam
bidang tertentu yang ada di suatu negara atau
wilayah.
Klaster muncul karena mereka berusaha
meningkatkan produktivitas sehingga perusahaan
dapat bersaing.
Pengembangan dan peningkatan kluster merupakan
agenda penting bagi pemerintah, perusahaan, dan
lembaga lainnya.
Kata kuncinya adalah: DAYA SAING
33. MANFAAT KLASTER
Membantu produsen kecil mencapai skala
ekonomi
Melakukan kegiatan bersama
Meningkatkan kapasitas produsen melalui
transfer pengetahuan dan ketrampilan serta
menarik tenaga kerja untuk masuk kedalam
klaster
Meningkatkan posisi tawar, melalui kelompok
pelobi yang progresif
Menciptakan lingkungan yang kreatif untuk
mendorong tumbuhnya inovasi dan kerjasama
Memperluas jaringan dan meningkatkan akses
terhadap sumber informasi
34. PROSES PENGEMBANGAN KLASTER
Sosialisasi pengembangan klaster kepada stakeholder kunci
Identifikasi komoditas unggulan
Melakukan survei lapangan untuk memvalidasi dan
mengumpulkan data untuk mengidentifikasi ketersediaan
bahan mendtah dan keterkaitannya dengan usaha lainnya.
Mencari local champion
Mengevaluasi komoditas unggulan
Menetapkan komoditi unggulan bahwa komoditi tersebut dan
komoditi lainnya yang terkait dapat dikembangkan melalui
klaster atau jaringan klaster.
Menetapkan manajemen klaster
Menetapkan AD/ART klaster
Menyusun rencana bisnis klaster
Implementasi pengembangan klaster
36. KLASTER WINE DI KALIFORNIA
Educational, Research, & Trade
Organizations (e.g. Wine Institute,
UC Davis, Culinary Institutes)
Growers/Vineyards
Sources: California Wine Institute, Internet search, California State Legislature. Based on research by MBA
1997 students R. Alexander, R. Arney, N. Black, E. Frost, and A. Shivananda.
Wineries/Processing
Facilities
Grapestock
Fertilizer, Pesticides,
Herbicides
Grape Harvesting
Equipment
Irrigation Technology
Winemaking Equipment
Barrels
Labels
Bottles
Caps and Corks
Public Relations and
Advertising
Specialized Publications
(e.g., Wine Spectator, Trade
Journal)
Food Cluster
Tourism ClusterCalifornia
Agricultural Cluster
State Government Agencies
(e.g., Select Committee on Wine
Production and Economy)
37. KASUS PENGEMBANGAN KLASTER BOROBUDUR
Tilik Ndeso
Hotel
Restauran
Pertanian
Wisata lainnya
Gerabah
Toko Sovenir
Penampilan
Kesenian
40. CURRICULUM VITAE
1. Nama : Dr. Ir. Sugeng Budiharsono
2. Tempat/tgl lahir : Cirebon, 13 Juli 1960
3. Pendidikan/ short
courses
: Sarjana Pertanian, IPB, 1983
Doktor Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan,
IPB, 1995
Short course on Local Economic Development, ITC ILO, Turin,
Italia, 2009
Short course on Local Governance and Rural Development,
Wageningen University and Research, CDI, Netherlands, 2010
Short course on Market Access for Sustainable Development,
Wageningen University and Research, CDI, Netherlands, 2013
4. Pengalaman
Pekerjaan
: Gerson Lehrman Group Council Member
Dosen pasca sarjana Universitas Indonesia, 2006 – sekarang
dan Institut Pertanian Bogor, 2001 – sekarang
Chief Technical Advisor for Local Economic Development,
BAPPENAS, 2006-2014
Pengajar pada International short course on Local Economic
Development, Wageningen University and Research CDI The
Netherlands, di Johannesburg, South Africa.