Cerita rakyat dari Desa Legok Sirah mengisahkan tentang seorang wanita bernama Suti yang dulu merupakan makhluk gaib bernama kuntilanak. Suaminya Sanusi memaku kepala Suti agar tidak bisa terbang lagi. Anak Suti kemudian mencabut paku itu dan Suti bisa terbang lagi. Suti membebaskan teman-temannya yang juga dipakukan kepalanya oleh suami masing-masing. Para suami akhirnya menyad
1. Suara Karya
Sabtu, 07 Juli 2007
Paku di Kepala Istri Sanusi
Cerpen: Gita Nuari
Cerita dari Desa Legok Sirah,
84 tahun yang lalu.
Yuni sangat terkejut setelah menemukan sebuah paku berukuran tujuh senti meter
menancap di kepala ibunya sewaktu dia sedang mencarikan kutu. Lalu sang anak
menyampaikan penemuannya itu kepada ibunya, "Ada paku di kepala Ibu!" Sang ibu tak
sekejut anaknya.
"Bisa kamu cabut, Yun?" perintah sang ibu akhirnya. Yuni yang diberi tugas tampak serius
memeriksanya. Perempuan yang bersuamikan Sanusi, seorang petani itu menunggu dengan
harap-harap cemas. Sebab dia tahu, karena paku itulah dirinya tidak bisa lagi pergi ke dunia
gaib sebagai makhluk yang bernama kuntilanak. Sanusi yang sempat kehilangan istrinya,
berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan istrinya kembali. Maka pada suatu
malam Sanusi berhasil menangkap istrinya di atas pohon asam yang ada di belakang
rumahnya dan langsung memantekkan sebuah paku ke kepala istrinya sehingga tidak bisa
terbang lagi. Dan ini kali adalah kesempatan yang kesekian bagi istrinya untuk bisa pergi
lagi ke alam gaib yang pernah dia jalani sebelumnya.
"Kayaknya pakunya panjang, Mak. Apa tidak sakit kalau dicabut?"
Istri Sanusi itu termenung sejenak, lalu berkata: "Emak rasa tidak, Yun. Coba dicabut saja."
"Yuni coba ya, Mak," kata Yuni, putri bungsu keluarga Sanusi yang memiliki dua orang
anak itu berusaha mencabut paku dari kepala ibunya. Namun setelah paku itu berhasil
dicabut, tiba-tiba sang ibu terbang sambil meninggalkan tawa menuju arah pohon asam di
belakang rumahnya lalu menghilang di rimbun dedaunan. Menyaksikan ibunya bisa
terbang, Yuni langsung pingsan. Yunar, kakak Yuni yang terakhir tahu kejadian itu
langsung berlari menemui ayahnya di sungai yang sedang mencuci sayuran yang baru dia
petik di ladang. Sanusi sangat terkejut setelah mendengar pengaduan anak lelakinya kalau
ibunya sudah bisa terbang lagi. Tanpa banyak tanya Sanusi berlari menuju rumahnya.
Didapatkan Yuni masih tergeletak. Buru-buru Sanusi menyadarkan Yuni dengan memberi
minyak wangi. Yuni perlahan siuman. Lalu menceritakan ibunya telah hilang.
"Pasti ada yang mencabut paku di kepala Emak kalian!" tuding Sanusi geram. Sang anak
tertunduk.
"Yuni menyesal, Pak," aku Yuni dengan suara lemah.
"Apa yang harus disesali kalau sudah begini," tukas sang ayah.
"Makanya, apa-apa yang aneh di keluarga kita segeralah diberitahukan. Jangan mengambil
keputusan sendiri, sehingga antara anak dan Bapak tidak saling menyalahkan!"
"Maaf, Bapak tidak sempat memberitahukan kalau di kepala Emak kalian ada paku yang
tidak boleh kalian cabut," terang Sanusi sambil merasakan sesal di hati.
"Jadi sekarang bagaimana, Pak?" tanya Yunar yang kesal sekali terhadap ayahnya.
"Kita harus menangkap Emak kalian lagi, lalu memakunya kembali."
"Bagaimana caranya, bukankah kita sendiri tidak bisa terbang seperti Emak?"
"Kita harus cari akal"
* * *
2. Menjelang gelap malam, Yunar, dengan paku dan batu di tangan, sudah berada di
perkebunan karet yang tidak jauh dari rumahnya. Yunar berharap dirinya dapat menangkap
ibunya di antara pohon-pohon karet yang tegak berdiri di sekelilingnya. Sedang Yuni yang
dibantu oleh beberapa tetangganya memilih berjaga-jaga di bawah pohon asam yang ada di
belakang rumahnya. Karena ke pohon itulah dia melihat ibunya terbang dan menghilang di
situ. Lain halnya Sanusi, dia mengawasi istrinya dari bawah pohon mangga yang tengah
berbuah lebat. Sebab dahulu sewaktu dia belum bisa menangkap istrinya, dia sering melihat
istrinya memetik buah mangga itu bersama kelelawar-kelelawar. Dan sebagian buah yang
dipetiknya sering dijatuhkan ke halaman rumah dengan maksud untuk dimakan oleh anak-anaknya
yang waktu itu masih kecil-kecil.
"Untuk apa?" tegur Sanusi waktu itu karena menganggap perbuatan istrinya bukan
perbuatan seorang ibu tapi perbuatan kuntilanak.
"Aku memberi makan anak-anakku," terdengar istrinya menyahut.
"Malam begini bukan waktunya memberi makan anak dengan makanan asam. Kau akan
menyiksa anak-anakmu sendiri!" kata Sanusi. Sang istri tak menyahut, justru dia melesat
terbang ke pepohonan yang lebih tinggi. Dua ekor tupai dan seekor burung yang sudah mati
dilemparkan dari atas pohon ke pintu dapur.
"Itu bisa kamu panggang. Beri makan anak-anak kita," kata istrinya memohon dari atas
pohon. Sanusi menolak karena tiga binatang buruan itu telah menjadi bangkai semua.
Dari pengalamam itu, Sanusi jadi lebih hafal dimana istrinya suka berdiam. Namun hari itu
tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan istri Sanusi. Para tetangga yang turut mencari
akhirnya kembali pulang dengan tangan hampa.
Akan tetapi, dibalik kecemasan di antara mereka, ada pula yang mensyukuri dapat
dicabutnya paku dari kepala istri Sanusi, yaitu seorang perempuan yang bernama Emar,
istri Leman, seorang penambang pasir di kampungnya. Emar berharap atas lepasnya Suti,
yaitu istri Sanusi, akan ada perubahan nasib terhadap dirinya. Karena dirinyapun tak beda
dengan istri Sanusi yang ingin lepas bebas seperti dahulu kala.
"Suti, datanglah kepadaku," bisik Emar sambil memandangi awan hitam yang berarak di
antara bulan sabit yang terjebak oleh cuaca buruk melalui jendela rumahnya malam itu.
"Ayo Suti, tolong temanmu ini. Aku tersiksa, Suti. Aku tersiksa" lemah suara Emar karena
khawatir suaranya akan terdengar oleh suaminya yang tengah menunggu dirinya di
pembaringan. Sedang Suti sudah mendengar suara temannya itu dari atas pohon waru.
"Sabar Emar, semua teman-temanku akan kubebaskan dari belenggu kaum lelaki yang
serakah. Mereka akan bertekuk lutut nanti. Selama ini mereka hanya bisa memeras kita dan
memperbudak kita. Mereka tak punya pikiran. Mereka gauli kita meski kita dalam keadaan
sakit. Mereka terlalu menguasai kita. Kita harus balas. Dan sekaranglah waktunya. Dengan
bebasnya aku, kalian semua akan kubawa ke tempat kita dulu. Tunggu saja, pada saatnya
nanti kalian pasti lepas dari jerat mereka"
"Terima kasih, Suti. Terima kasih," balas Emar sambil menutup daun jendela dan terus
menghampiri suaminya di pembaringan. Malam itu Emar memberi kehangatan tubuhnya
untuk terakhir kali kepada suaminya. Sebab pada malam berikutnya Suti benar-benar
datang menemui Emar yang menunggu di belakang rumahnya. Tanpa menunggu waktu
lama, Suti sudah dapat mencabut paku yang ada di kepala teman dekatnya itu. Setelah paku
dicabut, tubuh Emar seakan bersayap. Badannya jadi ringan. Dan akhirnya Emar bisa
terbang bersama Suti menembus kepekatan malam.
3. Tampaknya seperti dendam kesumat, kedua perempuan yang sudah bisa terbang dan
menghilang itu akhirnya mendatangi para kaumnya yang senasib. Dicabutinya paku-paku
yang ada di kepala mereka masing-masing. Dan pada akhirnya para perempuan yang
memiliki suami dari suku asli penduduk kampung itu semuanya dapat terlepas dari jerat
paku yang dipantek oleh para suami mereka. Lalu mereka beterbangan layaknya kelelawar-kelelawar
penghuni lautan malam hari. Mereka kembali menempati tempat tinggal mereka
yang lama seperti pohon-pohon besar yang ada di lereng-lereng bukit.
"Aduh, bagaimana ini! Paku di kepala istriku ada yang mencabutnya," teriak Leman
setibanya di hadapan teman-temannya yang sedang membantu mencari istri Sanusi sebagai
orang pertama yang pakunya lepas dari kepalanya. Teman-teman Leman pada terkejut
termasuk Sanusi sendiri.
"Jangan-jangan istri kita juga sudah tidak ada di rumah?" kata Lengger penuh
kekhawatiran. Tanpa dikomando, para suami, serempak berlari menuju ke rumah mereka
untuk melihat keberadaan istri mereka masing-masing. Obor yang mereka bawa berlari
apinya cukup berkobar seakan menggambarkan perasaan hatinya yang teramat cemas. Dan
lari mereka seperti srigala hutan yang tengah mengejar mangsanya. Mereka berpikir, kalau
Suti sudah bisa lepas, urusannya akan jadi runyam. Contohnya sudah ada, yaitu istri Leman
yang kedapatan sudah bisa terbang seperti Suti. Maka mereka para suami, berusaha untuk
menyelamatkan istri-istri mereka dari hari pembebasan yang tengah dikibarkan oleh Suti,
istri Sanusi itu.
"Apa aku bilang, istriku pun lenyap.Ini pakunya!" teriak Matarwi keluar dari dalam
rumahnya sambil memperlihatkan sebuah paku kepada teman-temannya yang belum
sempat melihat keberadan istrinya. Matarwi kembali masuk ke dalam rumah yang diikuti
oleh beberapa temannya. Matarwi melongok ke kolong-kolong tempat tidur siapa tahu
istrinya bersembunyi di kolong tempat tidur. Tak ada. Teman-teman Matarwi akhirnya
pada panik termasuk Lengger yang sudah curiga lebih awal tadi. Lalu mereka berlarian
menuju ke rumah mereka masing-masing guna mencari istrinya.
"Menii Menii. Jangan pergi" suara Lengger cukup keras keluar dari dalam rumahnya
sambil memegang sebuah paku yang dia temukan di atas tempat tidurnya. Anak-anak
mereka bertangisan memanggil-manggil ibunya. Dan malam itu para suami telah
kehilangan istri mereka masing-masing.
"Kita tidak akan mendapat istri sebaik mereka lagi," rintih Jagur sedih.
"Benar, kita akan kesusahan sepanjang hidup tanpa kehadirannya di sisi kita. Mereka begitu
baik dan telaten mengurusi kita," sesal Dayut sambil menangis.
"Tapi mengapa mereka tega meninggalkan kita secara berbarengan? Apakah mereka
dendam pada kita yang kedudukannya sangat terbalik dimana kita selalu mengandalkan
tenaga dan pikirannya untuk urusan rumah tangga?" tanya Toyo.
"Sekarang kita harus berani mengaku bahwa kita yang salah. Karena, selain kita memasung
istri kita, kita juga terlalu memperbudaknya. Di sinilah kekeliruan kita memperlakukan
mereka," ujar Leman. Setelah mereka menyadari kekeliruannya, akhirnya satu persatu
membubarkan diri untuk kembali mencari istrinya mereka masing-masing.
Malam kembali sunyi. Lolong srigala dari atas bukit melengking menyusup ke relung-relung
jiwa yang ditinggalkan. Para suami dan anak merasa kehilangan buah hatinya.
Hingga pada akhirnya, anak-anak di kampung itu menuntut bapak-bapaknya untuk bisa
mengembalikan kembali ibu-ibu mereka yang telah pergi. Tapi para suami mengambil
4. keputusan yang sama sekali janggal. Para suami tiba-tiba memantek kepalanya sendiri-sendiri
dengan sebatang paku dan berharap bila kelak paku yang tertancap di kepalanya itu
dicabut oleh anak-anaknya, mereka akan dapat terbang untuk menyusul istri-istri mereka
yang telah pergi.
"Cepat cabut paku yang ada di kepala Bapak ini, Seno" pinta Lengger kepada anaknya
setelah dia memaku kepalanya sendiri dengan sebuah paku hingga berdarah-darah. Seno
amat terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bapaknya teramat deras. Spontan
anak itu menjerit dan berlari keluar rumah.
"Tolong, Bapakku bunuh diri! Tolong Bapakku bunuh diriii" * * *
* Depok, Januari 2006/2007