arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasuarvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh
1. Republika
Minggu, 10 Juni 2007
Tak Bisa Pulang
Cerpen: EH Kartanegara
Malam mulai larut dan kampung pun sudah sangat sepi. Angin malam menghembuskan
hawa dingin mengandung embun, tapi punggung lelaki itu tarasa basah dan lengket oleh
keringat.
Tiga jam lebih dia berkeliling di desa itu, jalan kaki memasuki kampung demi kampung,
mencari rumah emaknya, ya emaknya sendiri, perempuan yang melahirkan dan
membesarkan dia bersama tiga saudara kandungnya di desa itu, Desa Girimulyo.
"Benar di sini kampung Girimukti, Desa Girimulyo, tapi setahu saya tak ada yang bernama
Mak Turah," jawab seorang lelaki terakhir yang dia tanya beberapa menit berselang.
"Mak Turah, istri Pak Putut. Putut Kintir yang sudah lama meninggal," kata dia dengan
perasaan putus asa.
"Saya asli orang sini, tapi rasanya tak ada yang bernama Mak Turah, juga Pak...."
"Pak Putut Kintir."
"Ya...," ujar lelaki itu seraya merapatkan kain sarung yang dipakainya sebagai kerudung
untuk menahan hawa dingin. "Maaf, Nak ini sebenarnya siapa, dari mana dan mau ke
mana?"
Sudah capai dia, sejak pertama tiba selepas Maghrib, entah sudah berapa kali dia
memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya ke desa itu. Setiap orang
di desa sepertinya berhak mengetahui urusan pribadi orang lain: "Sampeyan ini siapa, dari
mana dan mau ke mana?" Lagu kuno yang masih saja diputar berulang-ulang.
Seandainya dia tadi lekas menemukan alamat yang tepat, ceritanya tentu tak seruwet
sekarang. Ketika memasuki gerbang desa yang ditandai pohon beringin yang konon
berumur ratusan tahun, dia yakin benar memasuki kampung halamannya sendiri. Dengan
yakin pula dia bilang pada tukang ojek yang menghampirinya: "Kemuning."
Setelah berputar-putar di desa itu dan, aneh, beberapa orang yang ditanya tak seorang pun
tahu nama Mak Turah, akhirnya dia datang ke rumah Pak RT. "Sudah tujuh tahun lebih
saya menjadi RT di sini, dan saya sendiri juga asli orang sini, tapi setahu saya ada tiga
nama Turah," kata Pak RT sambil membuka buku daftar nama warganya.
"Turah istri Pak Gondo, bekas lurah, Turah bakul singkong yang sudah meninggal empat
tahun lalu, terus satu lagi Turah Ngaturah, sudah dua tahun di Arab Saudi jadi TKW."
Tak salah, Pak RT di desa adalah orang yang paling hapal di luar kepala semua nama,
alamat, pekerjaan, anggota keluarga, bahkan riwayat hidup para warganya. Jangankan
warga yang masih hidup, entah tinggal menetap atau merantau, nama warga yang telah mati
pun dia hapal. Sungguh mustahil rasanya kalau dia sampai tak kenal Mak Turah, istri Putut
Kintir, yang punya anak lelaki sulung bernama Sulani, yang sudah sepuluh tahun lebih
merantau ke kota dan sekarang pulang ke kampungnya karena menerima kabar emaknya
meninggal.
"Sulani?" bisik Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. Jika benar-benar mengenal Sulani,
2. mustahil rasanya dia harus mengaduk-aduk ingatannya begitu dalam.
Setelah mengucap terima kasih, dia mengambil tas punggunya, lalu jalan kaki
meninggalkan rumah Pak RT tanpa tahu entah mau menuju ke mana lagi. Tawaran Pak RT
untuk mengantarnya, dia jawab, "Tak usah Pak RT, terima kasih."
Dia menyusuri jalan desa yang di kanan dan kirinya ditumbuhi tananam perdu yang
meranggas. Suasana di sekitarnya kadang gelap, dan kadang berubah temaram oleh
pantulan cahaya sepotong bulan yang sembunyi di balik awan. Jalan itu kadang terasa
mendaki, berbatu-batu, kadang menurun dan berbelok. Dia rasakan ayukan kakinya makin
lama makin pelan seakan sedang menghitung langkahnya sendiri.
"Sampeyan ini siapa, dari mana dan mau ke mana?" pertanyaan banyak orang tentang
dirinya masih terngiang-ngiang di telinganya. Dia heran, mengapa orang-orang itu bertanya
begitu. Pertanyaan seperti itu, dia pikir, hanya pantas ditujukan buat orang asing; orang
yang bukan berasal dari desa itu. "Lha, aku ini 'kan orang desa ini, masak dianggap orang
asing," kata dia dalam hati. Tiba-tiba dia merasa pantas untuk tersinggung diperlakukan
sebagai orang asing.
Dia tahu benar bahwa desa itu telah jauh berubah. Dulu pun ketika memutuskan untuk
meninggalkan desa tempat dia dilahirkan, karena dia tahu betul bahwa desa itu telah
berubah. Sungai sudah mengering dan tak ada lagi sepetak tanah yang bisa ditanami padi,
jagung, atau singkong. Bahkan untuk memberi makan dua atau tiga ekor kambing saja,
orang perlu berjalan jauh ke desa tetangga di balik bukit sekadar mendapatkan sekeranjang
rumput atau dedaunan.
Hanya karena keajaiban saja, orang bisa bertahan hidup di desa itu. Bukan mengada-ada
bahwa orang harus makan batu dan tanah galian yang keras untuk hidup. Di sela-sela perut
perbukitan yang telah gersang dan mengering masih menyimpan bebatuan. Orang-orang
menggangsirnya untuk mencari batu-batu lalu dijual kepada para tengkulak bahan
bangunan. Sisa-sisa tanah galian kering dan keras juga dijual untuk bahan campuran
membuat batu bata.
"Sul, jadi ikut aku ke kota?" tanya Marjani, tetangga dan teman sepermainan di masa kecil
dulu.
"Hemm... bagaimana ya... Aku tunggu izin emak," kata Sulani ragu. "Kalau mau ikut, aku
berangkat lusa."
Sudah lama Sulani memendam keinginan merantau ke kota seperti banyak lelaki lain di
desa itu. Tak penting lagi kerja apa di kota. "Yang penting berangkat saja dulu, nanti di
sana banyak pekerjaan," kata beberapa teman yang sudah lebih dulu merantau ke kota.
Nyatanya, mereka sudah pada kerja dan membawa pulang penghasilan ke desa. Bahkan
beberapa di antara mereka yang bisa membangun rumah, membeli sebidang tanah, atau
sepeda motor. Banyak pula yang tak mau lagi pulang ke desa.
Suatu hari desa geger karena Mak Turah berulang kali pingsan. Sulani, anak sulungnya
yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga, sudah beberapa hari dikabarkan hilang.
Benar-benar hilang atau menghilang entah ke mana, tak ada yang tahu. "Tak ada lagi lelaki
di rumah ini. Bapaknya mati, dan sekarang anaknya tak jelas berada di mana," gumam Mak
Turah di antara tangisnya.
Beberapa tahun kemudian barulah tersiar kabar bahwa Sulani menjadi pemulung di kota.
"Saya 'kan berteman dengan dia sejak kecil. Masak saya lupa padanya," kata Bero, tetangga
3. Mak Turah, yang menjadi kuli bangunan di kota. "Saya yakin, dia benar Sulani. Saya
ketemu dia sedang mengumpulkan sisa-sisa kayu untuk selanjutnya diangkut dengan
gerobak. Katanya, dia baru mau pulang kalau sudah kaya."
Dia belum kaya ketika mendengar kabar emaknya meninggal. Berbekal uang seadanya, dia
putuskan pulang ke desa untuk melayat. Namun sekarang dia merasakan keganjilan yang
tak sepenuhnya dipahami. "Tak seorang pun di sini mengenalku, dan rasanya desa ini juga
bukan desaku yang dulu," bisiknya dalam hati disertai keyakinan bahwa dirinya tak akan
berubah menjadi batu.***
Denpasar, April 2007