SlideShare a Scribd company logo
1 of 3
Republika 
Minggu, 10 Juni 2007 
Tak Bisa Pulang 
Cerpen: EH Kartanegara 
Malam mulai larut dan kampung pun sudah sangat sepi. Angin malam menghembuskan 
hawa dingin mengandung embun, tapi punggung lelaki itu tarasa basah dan lengket oleh 
keringat. 
Tiga jam lebih dia berkeliling di desa itu, jalan kaki memasuki kampung demi kampung, 
mencari rumah emaknya, ya emaknya sendiri, perempuan yang melahirkan dan 
membesarkan dia bersama tiga saudara kandungnya di desa itu, Desa Girimulyo. 
"Benar di sini kampung Girimukti, Desa Girimulyo, tapi setahu saya tak ada yang bernama 
Mak Turah," jawab seorang lelaki terakhir yang dia tanya beberapa menit berselang. 
"Mak Turah, istri Pak Putut. Putut Kintir yang sudah lama meninggal," kata dia dengan 
perasaan putus asa. 
"Saya asli orang sini, tapi rasanya tak ada yang bernama Mak Turah, juga Pak...." 
"Pak Putut Kintir." 
"Ya...," ujar lelaki itu seraya merapatkan kain sarung yang dipakainya sebagai kerudung 
untuk menahan hawa dingin. "Maaf, Nak ini sebenarnya siapa, dari mana dan mau ke 
mana?" 
Sudah capai dia, sejak pertama tiba selepas Maghrib, entah sudah berapa kali dia 
memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya ke desa itu. Setiap orang 
di desa sepertinya berhak mengetahui urusan pribadi orang lain: "Sampeyan ini siapa, dari 
mana dan mau ke mana?" Lagu kuno yang masih saja diputar berulang-ulang. 
Seandainya dia tadi lekas menemukan alamat yang tepat, ceritanya tentu tak seruwet 
sekarang. Ketika memasuki gerbang desa yang ditandai pohon beringin yang konon 
berumur ratusan tahun, dia yakin benar memasuki kampung halamannya sendiri. Dengan 
yakin pula dia bilang pada tukang ojek yang menghampirinya: "Kemuning." 
Setelah berputar-putar di desa itu dan, aneh, beberapa orang yang ditanya tak seorang pun 
tahu nama Mak Turah, akhirnya dia datang ke rumah Pak RT. "Sudah tujuh tahun lebih 
saya menjadi RT di sini, dan saya sendiri juga asli orang sini, tapi setahu saya ada tiga 
nama Turah," kata Pak RT sambil membuka buku daftar nama warganya. 
"Turah istri Pak Gondo, bekas lurah, Turah bakul singkong yang sudah meninggal empat 
tahun lalu, terus satu lagi Turah Ngaturah, sudah dua tahun di Arab Saudi jadi TKW." 
Tak salah, Pak RT di desa adalah orang yang paling hapal di luar kepala semua nama, 
alamat, pekerjaan, anggota keluarga, bahkan riwayat hidup para warganya. Jangankan 
warga yang masih hidup, entah tinggal menetap atau merantau, nama warga yang telah mati 
pun dia hapal. Sungguh mustahil rasanya kalau dia sampai tak kenal Mak Turah, istri Putut 
Kintir, yang punya anak lelaki sulung bernama Sulani, yang sudah sepuluh tahun lebih 
merantau ke kota dan sekarang pulang ke kampungnya karena menerima kabar emaknya 
meninggal. 
"Sulani?" bisik Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. Jika benar-benar mengenal Sulani,
mustahil rasanya dia harus mengaduk-aduk ingatannya begitu dalam. 
Setelah mengucap terima kasih, dia mengambil tas punggunya, lalu jalan kaki 
meninggalkan rumah Pak RT tanpa tahu entah mau menuju ke mana lagi. Tawaran Pak RT 
untuk mengantarnya, dia jawab, "Tak usah Pak RT, terima kasih." 
Dia menyusuri jalan desa yang di kanan dan kirinya ditumbuhi tananam perdu yang 
meranggas. Suasana di sekitarnya kadang gelap, dan kadang berubah temaram oleh 
pantulan cahaya sepotong bulan yang sembunyi di balik awan. Jalan itu kadang terasa 
mendaki, berbatu-batu, kadang menurun dan berbelok. Dia rasakan ayukan kakinya makin 
lama makin pelan seakan sedang menghitung langkahnya sendiri. 
"Sampeyan ini siapa, dari mana dan mau ke mana?" pertanyaan banyak orang tentang 
dirinya masih terngiang-ngiang di telinganya. Dia heran, mengapa orang-orang itu bertanya 
begitu. Pertanyaan seperti itu, dia pikir, hanya pantas ditujukan buat orang asing; orang 
yang bukan berasal dari desa itu. "Lha, aku ini 'kan orang desa ini, masak dianggap orang 
asing," kata dia dalam hati. Tiba-tiba dia merasa pantas untuk tersinggung diperlakukan 
sebagai orang asing. 
Dia tahu benar bahwa desa itu telah jauh berubah. Dulu pun ketika memutuskan untuk 
meninggalkan desa tempat dia dilahirkan, karena dia tahu betul bahwa desa itu telah 
berubah. Sungai sudah mengering dan tak ada lagi sepetak tanah yang bisa ditanami padi, 
jagung, atau singkong. Bahkan untuk memberi makan dua atau tiga ekor kambing saja, 
orang perlu berjalan jauh ke desa tetangga di balik bukit sekadar mendapatkan sekeranjang 
rumput atau dedaunan. 
Hanya karena keajaiban saja, orang bisa bertahan hidup di desa itu. Bukan mengada-ada 
bahwa orang harus makan batu dan tanah galian yang keras untuk hidup. Di sela-sela perut 
perbukitan yang telah gersang dan mengering masih menyimpan bebatuan. Orang-orang 
menggangsirnya untuk mencari batu-batu lalu dijual kepada para tengkulak bahan 
bangunan. Sisa-sisa tanah galian kering dan keras juga dijual untuk bahan campuran 
membuat batu bata. 
"Sul, jadi ikut aku ke kota?" tanya Marjani, tetangga dan teman sepermainan di masa kecil 
dulu. 
"Hemm... bagaimana ya... Aku tunggu izin emak," kata Sulani ragu. "Kalau mau ikut, aku 
berangkat lusa." 
Sudah lama Sulani memendam keinginan merantau ke kota seperti banyak lelaki lain di 
desa itu. Tak penting lagi kerja apa di kota. "Yang penting berangkat saja dulu, nanti di 
sana banyak pekerjaan," kata beberapa teman yang sudah lebih dulu merantau ke kota. 
Nyatanya, mereka sudah pada kerja dan membawa pulang penghasilan ke desa. Bahkan 
beberapa di antara mereka yang bisa membangun rumah, membeli sebidang tanah, atau 
sepeda motor. Banyak pula yang tak mau lagi pulang ke desa. 
Suatu hari desa geger karena Mak Turah berulang kali pingsan. Sulani, anak sulungnya 
yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga, sudah beberapa hari dikabarkan hilang. 
Benar-benar hilang atau menghilang entah ke mana, tak ada yang tahu. "Tak ada lagi lelaki 
di rumah ini. Bapaknya mati, dan sekarang anaknya tak jelas berada di mana," gumam Mak 
Turah di antara tangisnya. 
Beberapa tahun kemudian barulah tersiar kabar bahwa Sulani menjadi pemulung di kota. 
"Saya 'kan berteman dengan dia sejak kecil. Masak saya lupa padanya," kata Bero, tetangga
Mak Turah, yang menjadi kuli bangunan di kota. "Saya yakin, dia benar Sulani. Saya 
ketemu dia sedang mengumpulkan sisa-sisa kayu untuk selanjutnya diangkut dengan 
gerobak. Katanya, dia baru mau pulang kalau sudah kaya." 
Dia belum kaya ketika mendengar kabar emaknya meninggal. Berbekal uang seadanya, dia 
putuskan pulang ke desa untuk melayat. Namun sekarang dia merasakan keganjilan yang 
tak sepenuhnya dipahami. "Tak seorang pun di sini mengenalku, dan rasanya desa ini juga 
bukan desaku yang dulu," bisiknya dalam hati disertai keyakinan bahwa dirinya tak akan 
berubah menjadi batu.*** 
Denpasar, April 2007

More Related Content

Viewers also liked

Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)Arvinoor Siregar SH MH
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Arvinoor Siregar SH MH
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Arvinoor Siregar SH MH
 
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)Arvinoor Siregar SH MH
 
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)Arvinoor Siregar SH MH
 

Viewers also liked (12)

Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
 
Anting (ratna indraswari ibrahim )
Anting (ratna indraswari ibrahim )Anting (ratna indraswari ibrahim )
Anting (ratna indraswari ibrahim )
 
Serpih persahabatan (eni muslihah)
Serpih persahabatan (eni muslihah)Serpih persahabatan (eni muslihah)
Serpih persahabatan (eni muslihah)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
 
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
 
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Pintu yang terkunci (azizah hefni)Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
 
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
 
Tentang musim (lan fang)
Tentang musim (lan fang)Tentang musim (lan fang)
Tentang musim (lan fang)
 
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
 
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
 
Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Sepatu tuhan (ugoran prasad)Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Sepatu tuhan (ugoran prasad)
 

Similar to Tak bisa pulang (eh kartanegara)

Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxBackLinking
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxBackLinking
 
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)Andri Goodwood
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiTito Aloysius
 
Bangau menenun songket
Bangau menenun songketBangau menenun songket
Bangau menenun songketRohana Mazelan
 
fieldnotes juli 2013
fieldnotes juli 2013fieldnotes juli 2013
fieldnotes juli 2013Nia Mawardi
 
Rumputeki online-edisi-mei-2010
Rumputeki online-edisi-mei-2010Rumputeki online-edisi-mei-2010
Rumputeki online-edisi-mei-2010rumputeki
 
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluPart 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluAbdul Rahman Masruhim
 
Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)
Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)
Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)Arvinoor Siregar SH MH
 

Similar to Tak bisa pulang (eh kartanegara) (10)

Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docx
 
Garwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docxGarwo Omah Dowo.docx
Garwo Omah Dowo.docx
 
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
 
Bangau menenun songket
Bangau menenun songketBangau menenun songket
Bangau menenun songket
 
fieldnotes juli 2013
fieldnotes juli 2013fieldnotes juli 2013
fieldnotes juli 2013
 
Rumputeki online-edisi-mei-2010
Rumputeki online-edisi-mei-2010Rumputeki online-edisi-mei-2010
Rumputeki online-edisi-mei-2010
 
Rahasia kumari (agus dermawan t)
Rahasia kumari (agus dermawan t)Rahasia kumari (agus dermawan t)
Rahasia kumari (agus dermawan t)
 
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlaluPart 2 luka luka hidup yang telah berlalu
Part 2 luka luka hidup yang telah berlalu
 
Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)
Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)
Tasbih dari gunung slamet (sigit emwe)
 

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Tak bisa pulang (eh kartanegara)

  • 1. Republika Minggu, 10 Juni 2007 Tak Bisa Pulang Cerpen: EH Kartanegara Malam mulai larut dan kampung pun sudah sangat sepi. Angin malam menghembuskan hawa dingin mengandung embun, tapi punggung lelaki itu tarasa basah dan lengket oleh keringat. Tiga jam lebih dia berkeliling di desa itu, jalan kaki memasuki kampung demi kampung, mencari rumah emaknya, ya emaknya sendiri, perempuan yang melahirkan dan membesarkan dia bersama tiga saudara kandungnya di desa itu, Desa Girimulyo. "Benar di sini kampung Girimukti, Desa Girimulyo, tapi setahu saya tak ada yang bernama Mak Turah," jawab seorang lelaki terakhir yang dia tanya beberapa menit berselang. "Mak Turah, istri Pak Putut. Putut Kintir yang sudah lama meninggal," kata dia dengan perasaan putus asa. "Saya asli orang sini, tapi rasanya tak ada yang bernama Mak Turah, juga Pak...." "Pak Putut Kintir." "Ya...," ujar lelaki itu seraya merapatkan kain sarung yang dipakainya sebagai kerudung untuk menahan hawa dingin. "Maaf, Nak ini sebenarnya siapa, dari mana dan mau ke mana?" Sudah capai dia, sejak pertama tiba selepas Maghrib, entah sudah berapa kali dia memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya ke desa itu. Setiap orang di desa sepertinya berhak mengetahui urusan pribadi orang lain: "Sampeyan ini siapa, dari mana dan mau ke mana?" Lagu kuno yang masih saja diputar berulang-ulang. Seandainya dia tadi lekas menemukan alamat yang tepat, ceritanya tentu tak seruwet sekarang. Ketika memasuki gerbang desa yang ditandai pohon beringin yang konon berumur ratusan tahun, dia yakin benar memasuki kampung halamannya sendiri. Dengan yakin pula dia bilang pada tukang ojek yang menghampirinya: "Kemuning." Setelah berputar-putar di desa itu dan, aneh, beberapa orang yang ditanya tak seorang pun tahu nama Mak Turah, akhirnya dia datang ke rumah Pak RT. "Sudah tujuh tahun lebih saya menjadi RT di sini, dan saya sendiri juga asli orang sini, tapi setahu saya ada tiga nama Turah," kata Pak RT sambil membuka buku daftar nama warganya. "Turah istri Pak Gondo, bekas lurah, Turah bakul singkong yang sudah meninggal empat tahun lalu, terus satu lagi Turah Ngaturah, sudah dua tahun di Arab Saudi jadi TKW." Tak salah, Pak RT di desa adalah orang yang paling hapal di luar kepala semua nama, alamat, pekerjaan, anggota keluarga, bahkan riwayat hidup para warganya. Jangankan warga yang masih hidup, entah tinggal menetap atau merantau, nama warga yang telah mati pun dia hapal. Sungguh mustahil rasanya kalau dia sampai tak kenal Mak Turah, istri Putut Kintir, yang punya anak lelaki sulung bernama Sulani, yang sudah sepuluh tahun lebih merantau ke kota dan sekarang pulang ke kampungnya karena menerima kabar emaknya meninggal. "Sulani?" bisik Pak RT seperti kepada dirinya sendiri. Jika benar-benar mengenal Sulani,
  • 2. mustahil rasanya dia harus mengaduk-aduk ingatannya begitu dalam. Setelah mengucap terima kasih, dia mengambil tas punggunya, lalu jalan kaki meninggalkan rumah Pak RT tanpa tahu entah mau menuju ke mana lagi. Tawaran Pak RT untuk mengantarnya, dia jawab, "Tak usah Pak RT, terima kasih." Dia menyusuri jalan desa yang di kanan dan kirinya ditumbuhi tananam perdu yang meranggas. Suasana di sekitarnya kadang gelap, dan kadang berubah temaram oleh pantulan cahaya sepotong bulan yang sembunyi di balik awan. Jalan itu kadang terasa mendaki, berbatu-batu, kadang menurun dan berbelok. Dia rasakan ayukan kakinya makin lama makin pelan seakan sedang menghitung langkahnya sendiri. "Sampeyan ini siapa, dari mana dan mau ke mana?" pertanyaan banyak orang tentang dirinya masih terngiang-ngiang di telinganya. Dia heran, mengapa orang-orang itu bertanya begitu. Pertanyaan seperti itu, dia pikir, hanya pantas ditujukan buat orang asing; orang yang bukan berasal dari desa itu. "Lha, aku ini 'kan orang desa ini, masak dianggap orang asing," kata dia dalam hati. Tiba-tiba dia merasa pantas untuk tersinggung diperlakukan sebagai orang asing. Dia tahu benar bahwa desa itu telah jauh berubah. Dulu pun ketika memutuskan untuk meninggalkan desa tempat dia dilahirkan, karena dia tahu betul bahwa desa itu telah berubah. Sungai sudah mengering dan tak ada lagi sepetak tanah yang bisa ditanami padi, jagung, atau singkong. Bahkan untuk memberi makan dua atau tiga ekor kambing saja, orang perlu berjalan jauh ke desa tetangga di balik bukit sekadar mendapatkan sekeranjang rumput atau dedaunan. Hanya karena keajaiban saja, orang bisa bertahan hidup di desa itu. Bukan mengada-ada bahwa orang harus makan batu dan tanah galian yang keras untuk hidup. Di sela-sela perut perbukitan yang telah gersang dan mengering masih menyimpan bebatuan. Orang-orang menggangsirnya untuk mencari batu-batu lalu dijual kepada para tengkulak bahan bangunan. Sisa-sisa tanah galian kering dan keras juga dijual untuk bahan campuran membuat batu bata. "Sul, jadi ikut aku ke kota?" tanya Marjani, tetangga dan teman sepermainan di masa kecil dulu. "Hemm... bagaimana ya... Aku tunggu izin emak," kata Sulani ragu. "Kalau mau ikut, aku berangkat lusa." Sudah lama Sulani memendam keinginan merantau ke kota seperti banyak lelaki lain di desa itu. Tak penting lagi kerja apa di kota. "Yang penting berangkat saja dulu, nanti di sana banyak pekerjaan," kata beberapa teman yang sudah lebih dulu merantau ke kota. Nyatanya, mereka sudah pada kerja dan membawa pulang penghasilan ke desa. Bahkan beberapa di antara mereka yang bisa membangun rumah, membeli sebidang tanah, atau sepeda motor. Banyak pula yang tak mau lagi pulang ke desa. Suatu hari desa geger karena Mak Turah berulang kali pingsan. Sulani, anak sulungnya yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga, sudah beberapa hari dikabarkan hilang. Benar-benar hilang atau menghilang entah ke mana, tak ada yang tahu. "Tak ada lagi lelaki di rumah ini. Bapaknya mati, dan sekarang anaknya tak jelas berada di mana," gumam Mak Turah di antara tangisnya. Beberapa tahun kemudian barulah tersiar kabar bahwa Sulani menjadi pemulung di kota. "Saya 'kan berteman dengan dia sejak kecil. Masak saya lupa padanya," kata Bero, tetangga
  • 3. Mak Turah, yang menjadi kuli bangunan di kota. "Saya yakin, dia benar Sulani. Saya ketemu dia sedang mengumpulkan sisa-sisa kayu untuk selanjutnya diangkut dengan gerobak. Katanya, dia baru mau pulang kalau sudah kaya." Dia belum kaya ketika mendengar kabar emaknya meninggal. Berbekal uang seadanya, dia putuskan pulang ke desa untuk melayat. Namun sekarang dia merasakan keganjilan yang tak sepenuhnya dipahami. "Tak seorang pun di sini mengenalku, dan rasanya desa ini juga bukan desaku yang dulu," bisiknya dalam hati disertai keyakinan bahwa dirinya tak akan berubah menjadi batu.*** Denpasar, April 2007