Laporan Human Rights Watch menemukan bahwa penyandang disabilitas psikososial di Indonesia sering dipasung dan mengalami kekerasan di berbagai institusi. Mereka dipaksa tinggal di fasilitas yang tidak layak dan sehat serta mengalami kekerasan fisik dan seksual. Pemerintah Indonesia belum berhasil menghentikan praktik pasung atau meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai di masyarakat.
Kesehatan Jiwa Indonesia oleh Human Rights Watch (2.0, dengan highlight)
1. Catatan pengupload (Anta Samsara): Highlight kuning pada huruf adalah asli dari
Kriti Sharma, penulis laporan Human Rights Watch tentang isu ini, dalam email
yang dikirimkan pada tanggal 21 Maret 2016.
*** Untuk mengunduh video, rekaman mentah, dan foto:
http://www.hrw.org/id/video-photos/video/2016/03/18/287839
Indonesia: Menangani Kesehatan Jiwa dengan Cara Dipasung
Penyandang Disabilitas Psikososial Menerima Pengekangan dan Kekerasan
(Jakarta, 21 Maret 2016) – Penyandang disabilitas psikososial di Indonesia seringkali
dipasung atau dipaksa menjalani pengobatan di institusi tempat mereka
mengalami kekerasan, demikian Human Rights Watch dalam laporan yang dirilis hari
ini.
Laporan 74 halaman, “Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas
Psikososial di Indonesia” menguraikanbagaimana orang dengan kondisi
kesehatan jiwa seringkali berakhir dengan dirantai atau dikurung di institusi yang penuh
sesak dan sangat tidak sehat, tanpa persetujuan mereka, karena stigma dan minimnya
perawatan kesehatan jiwa dan dukungan pelayanan berbasis masyarakat. Di
institusi itu mereka menghadapi kekerasan fisik dan seksual, menjalani pengobatan
paksa termasuk terapi elektro-syok, diisolasi, dibelenggu, dan dipaksa
menerima kontrasepsi.
“Pemasungan orang dengan kondisi kesehatan jiwa adalah tindakan ilegal di
Indonesia, tapi ini masih jadi praktik brutal danberkembang luas,” kata Kriti Sharma,
peneliti hak disabilitas dari Human Rights Watch dan penulis laporan ini.
“Orangmenjalani hidupnya selama bertahun-tahun dengan dirantai, diikat di balok kayu,
atau dikurung di kandang kambing karena keluarga tak tahu lagi yang harus dilakukan.
Sementara pemerintah tidak melakukan pekerjaan dengan baik untuk menawarkan
alternatif yang manusiawi.”
Human Rights Watch mewawancarai 72 orang penyandang disabilitas psikososial,
termasuk anak-anak, serta 10 anggota keluarga, pengasuh, pekerja profesional
kesehatan jiwa, kepala institusi, pejabat pemerintah, dan pembela hak-hak disabilitas.
Human Rights Watch mengunjungi 16 institusi di Jawa dan Sumatra termasuk rumah
sakit jiwa, panti sosial, dan pusat pengobatan keagamaan, dan mendokumentasikan
175 kasus di lima provinsi di mana mereka saat ini masih dipasung atau dikurung atau
baru saja dibebaskan.
Lebih dari 57.000 orang di Indonesia dengan kondisi kesehata jiwa pernah dipasung—
dibelenggu atau dikurung di ruang tertutup—setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Dan berdasarkan data pemerintah terbaru yang tersedia, sekitar 18.800orang
masih dipasung. Meski pemerintah melarang pasung sejak tahun 1977, dalam
praktiknya, keluarga, paranormal, danpetugas institusi terus
membelenggu penyandang disabilitas psikososial, terkadang selama bertahun-tahun.
Dalam satu kasus, ayah dari perempuan penyandang disabilitas psikososial mengatakan kepada Human
Rights Watch bahwa dia mengunci putrinya di sebuah kamar setelah berkonsultasi dengan paranormal karena
anaknya merusak tanaman tetangga. Ketika dia mencoba menggali jalan keluar dari ruangan itu, orang tuanya
mengikat tangannya di belakang punggung. Dia telanjang di atas serakan kotoran, makan, tidur, kencing
dan buang hajat di ruangan tersebut selama 15 tahun sebelum akhirnya dilepaskan.
Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah untuk menghentikan praktik ini. Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Sosial telah memulai kampanye anti-pasung. Undang-
undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 mengharuskan pelayanan kesehatan jiwa terintegrasi ke dalam
pelayanan kesehatan umum. Tim dari pejabat pemerintah, tenaga medis, dan petugas di institusi
pemerintah betugas membebaskan orang dari pasung. Namun, sebagian pula karena faktor negara yang
begitu terdesentralisasi, pelaksanaan bebas pasung di tingkat daerahsangatlah lamban.
2. Dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 600 hingga 800
psikiater—satu orang menangani 300.000 hingga 400.000 orang—dan 48 rumah sakit
jiwa, lebih dari separuhnya di 4 dari 34 provinsi. Data pemerintah menunjukkan,
anggaran kesehatan 2015 adalah 1,5 persen dari total anggaran pendapatan dan
belanja negara, serta 90 persen orang yang menginginkan akses pelayanan
kesehatan jiwa tak bisa mendapatkannya karena minimya pelayanan.
Pemerintahmencanangkan sistem jaminan kesehatan nasional, termasuk pelayanan
kesehatan jiwa, berlaku sepenuhnya pada 2019.
Langkanya fasilitas dan pelayanan seringkali mengabaikan hak-hak dasar para
penyandang disabilitas psikososial dan sangat berperan memicu
kekerasan terhadap mereka, menurut Human Rights Watch. “Bayangkan hidup di
neraka, seperti itulah sayadi sini,” kata Asmirah, perempuan 22
tahun penyandang disabilitas psikososial tentang pusat pengobatan keagamaan di
Brebes tempat dia dipaksa tinggal di sana.
Menurut undang-undang Indonesia, relatif gampang memaksa orang
penyandang disabilitas psikososial dimasukkan kesebuah institusi. Human Rights
Watch menemukan 65 kasus penahanan sewenang-wenang di institusi—
tak seorang pun yang diwawancarai di institusi-institusi ini sukarela tinggal di sana.
Kasus paling lama yang didokumentasikan Human Rights Watch adalah tujuh tahun
di sebuah panti sosial dan 30 tahun di sebuah rumah sakit jiwa.
Di beberapa fasilitas, kondisi penghuni yang berdesak-desakan dan kurangnya
kebersihan adalah masalah serius, memicu penyebaran kutu dan kudis. Di Panti Laras
2, institusi pelayanan sosial di pinggiran ibukota Jakarta, Human Rights Watch
mengamati hampir 90 perempuan tinggal dalam sebuah ruangan yang selayaknya
hanya bisa menampung tak lebih dari 30 orang.
“Di banyak institusi ini, tingkat kebersihan pribadi berkembang mengerikan sebab
orang tak dibolehkan keluar atau mandi,”ujar Sharma. “Orang dipaksa rutin untuk tidur,
makan, kencing dan buang hajat di ruang yang sama.”
Di 13 dari 16 institusi yang dikunjungi Human Rights Watch, orang dipaksa rutin minum
obat atau menerima “penyembuhan” alternatif seperti diberi ramuan herbal yang
dianggap “mujarab”, dipijat secara kasar, dibacakan ayat-ayat Alquran di dekat
telinga. Di tiga dari enam rumah sakit jiwa yang didatangi, Human Rights Watch
mendokumentasikan penggunaan terapi elektrokonvulsif tanpa anestesi dan tanpa
persetujuan pasien. Dalam satu kasus, perawatan itu dilakukan terhadap anak-anak.
Human Rights Watch menemukan isolasi paksa diterapkan secara rutin, termasuk
sebagai hukuman karena pasien menolakperintah, berkelahi, atau ketahuan melakukan
aktivitas seksual.
Human Rights Watch mendokumentasikan kasus kekerasan fisik dan seksual. Di tujuh
institusi yang dikunjungi, petugas laki-laki bisa masuk semaunya
ke bagian penampungan atau bangsal perempuan, atau diberi tanggung jawab
menangani bangsalperempuan—menempatkan perempuan dan gadis
menghadapi risiko tinggi kekerasan seksual. Di pusat pengobatan, pria dan perempuan
dirantai berdekatan satu sama lain, mendorong perempuan tak punya pilihan melarikan
diri jika dilecehkan. Di tiga institusi, Human Rights Watch menemukan
bukti petugas memberikan suntikan kontrasepsi kepada perempuan tanpa persetujuan
atau sepengetahuan mereka.
Pemerintah Indonesia harus segera memerintahkan inspeksi dan pengawasan
rutin ke semua institusi pemerintah danswasta, serta mengambil tindakan terhadap
fasilitas yang mempraktikan pasung atau melakukan
kekerasan terhadappenyandang disabilitas psikososial. Indonesia harus
mengambil langkah-langkah atau kebijakan untuk menjamin penyandangdisabilitas
psikososial dapat membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka dan
mewajibkan persetujuan secara bebasuntuk tindakan pengobatan.
3. Pemerintah harus mengamandemen Undang-undang Kesehatan Jiwa 2014, guna
memastikan penyandang disabilitas psikososial memiliki hak setara dengan orang
Indonesia lain. Pemerintah juga harus merevisi dan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Penyandang Disabilitas, meninjau pasal-pasalnya selaras dengan
Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang diratifikasi Indonesia
pada 2011.
Pemerintah harus mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dan dukungan berbasis
masyarakat secara sukarela danterjangkau yang berkonsultasi dengan penyandang
disabilitas psikososial itu sendiri, serta melatih pekerja kesehatan jiwadari perawat
hingga psikiater, menurut Human Rights Watch.
“Memikirkan seseorang hidup bersama kotoran dan air kencing selama 15 tahun dalam
ruang terkunci, terisolasi, dan tak diberi perawatan apapun merupakan
hal mengerikan,” ujar Sharma. “Banyak orang mengatakan kepada saya
‘Ini bagai hidup di neraka.’ Begitulah yang terjadi.”
Informasi lengkap laporan ini, sila lihat:
“Hidup di
Neraka”: https://www.hrw.org/embargo/287537/e2df81d8a0a628c6f2d882530e6d16cc
Tersedia sesudah embargo: https://www.hrw.org/node/287537/
Laporan lain tentang hak-hak disabilitas: https://www.hrw.org/topic/disability-rights
Laporan lain Human Rights
Watch tentang Indonesia: https://www.hrw.org/asia/indonesia
Informasi lebih lanjut, sila kontak:
Di Jakarta, Kriti Sharma (Inggris, Hindi, Prancis): +62-897-
2743468 or sharmak@hrw.org. Twitter @ks7s
Di Jakarta, Andreas Harsono (Inggris, Indonesia): +62-815-950-9000 (mobile)/;
or harsona@hrw.org. Twitter: @andreasharsono
Di New York, Shantha Rau Barriga (Inggris, Jerman, Kanada): +1 917-361-5245;
or shantha.barriga@hrw.org. Twitter @ShanthaHRW
Kutipan:
Kamu bisa melempar batu sesuka kamu di Jawa dan kamu bisa melemparnya
ke orang yang dipasung. Seperti itulah gambaran umumnya di sini.
— Yeni Rosa Damayanti, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Jakarta.
Bahkan ketika seorang menderita diare, mereka tak mengizinkannya ke toilet;
mereka melakukannya di saluran dalam penampungan. Bau. Mereka pernah
memberi kami obat kudis tapi sudah kehabisan.
— Sinta, 36, perempuan penyandang disabilitas psikososial, pusat rehabilitasi
Galuh, Bekasi.
Mereka memijat saya secara paksa. Mereka memegang saya kuat-kuat.
Seorang memegang kaki dan yang lain memegang tangan. Rasanya seperti ada
4. orang yang mencambuk saya. Mereka menggosok badan saya sampai seluruh
badan saya memar-memar. Itu bukanlah pijat. Itu penyiksaan. Saya tidak tahu
apa yang mereka lakukan, tapi rasanya sakit sekali. Saya tak bisa berjalan
setelahnya.
— Kasmirah, 43, perempuan penyandang disabilitas
psikososial, menggambarkan pengalamannya diobati seorang kiai danasistennya,
Kebon Pedes.
Banyak orang berusaha kabur, dan jika tertangkap, ditaruh di ruang isolasi
selama tiga hari. Ada banyak yang berusaha kabur.
— Endra, 42, pria penyandang disabilits psikososial, tinggal di sebuah
panti sosial di Sukabumi.
Saat saya mandi, petugas pria melihat saya. Anggota petugas pria bahkan
mengganti pakaian perempuan jika diperlukan. Seorang petugas laki-laki
meraba vagina saya tadi pagi. Mereka melakukannya untuk bersenang-senang.”
— Tasya, 25, perempuan penyandang disabilitas psikososial, tinggal di sebuah pusat
pengobatan di Brebes.
Mereka menaruh listrik pada pelipis dan dahi; rasanya sakit sekali. Saya sadar
saat mereka melakukan ini. Saya bisa melihat semua. Mereka mengikat tangan
saya di tempat tidur…. Dokter memberi saya efek kejut. Mereka tidak
memberikan suntikan. Itu berlangsung setengah jam. Saya tidak paham apa
yang mereka lakukan; tak ada seorang pun yang peduli untuk menjelaskan
kepada saya apa yang terjadi. Tidak juga keluarga saya. Saya tidak sanggup
berkata apa-apa, tapi hati saya menolak. Jika saya menolak, keluarga saya
akan memukul saya. Mereka telah melakukan sebelumnya. Mereka
menganggap saya gila.
— Carika, 29, perempuan penyandang disabilitas psikososial, Jawa Tengah.