1. Cerita ini menceritakan tentang seorang ibu bernama Nadia yang merasa cemburu karena perhatian putrinya Anjeli lebih tertuju pada televisi daripada dirinya.
2. Nadia berusaha merebut perhatian Anjeli dengan mendongengkan kisah-kisah tradisional, namun televisi terus menjadi idola utama Anjeli.
3. Cerita berakhir dengan Anjeli yang masih menagih janji Nadia untuk mendongengkan cerita
1. Suara Pembaruan
Minggu, 01 Juli 2007
Dongeng untuk Anjeli
Cerpen: Willy Hangguman
Telepon di atas meja kerja Nadia berdering. "Mami, jangan lupa dongengnya?" terdengar
suara mungil se- orang anak perempuan.
"Tentu, Anjeli. Mami mempunyai dongeng yang istimewa," Nadia berjanji kepada putri
sulungnya, Anjeli. Hari itu Anjeli genap enam tahun dan dia minta kado didongengi.
"Dongeng tentang apa, Mami?"
"Pondik."
"Apa itu?"
"Dongeng dari Manggarai, Flores, dari kampung Opa Yulman."
"Pondik itu, siapa?"
"Seorang laki-laki Manggarai yang dianggap bodoh, namun sebenarnya cerdas."
"Cepat pulang, ya, Mami! Anjeli sudah tak sabar ingin dengar ceritanya."
Hati Nadia pengap oleh rasa bahagia. Anjeli ternyata rindu pada dongengnya. Selama ini
dia selalu merasa cemburu pada pesawat televisi yang ada di ruang keluarga. Anjeli suka
cuek pada dirinya saat duduk di depan pesawat televisi. Malah dia lebih mentaati acara
televisi daripada perintah orangtuanya. Televisi telah menjadi idolanya yang dengan sabar
mendongeng untuknya. Televisi tak pernah mengeluh capek saat mendongeng. Tidak
seperti ibunya yang suka mengeluh capek pulang kerja. Begitu juga bapaknya. Nadia
merasa diejek televisi karena berhasil merebut Anjeli.
Nadia makin terkejut karena anaknya makin dikuasai oleh televisi. Ceritanya, suatu hari,
seusai pulang taman kanak-kanak Anjeli menunjukkan gambar-gambar yang dibuatnya di
sekolah dengan penuh semangat kepadanya.
"Mami, lihat ini," katanya sambil menunjukkan tiga lembar kertas gambar yang sangat
ramai dengan pesta warna. Nadia memperhatikan gambar-gambar itu.
"Oi, anak mama ternyata sudah pandai menggambar," Nadia memuji.
"Bagus nggak, Ma?"
"Bagus sekali," dia memuji lalu menarik anak perempuan itu, memeluknya erat-erat,
mencium kedua pipinya.
Setelah anaknya pergi bermain, Nadia memperhatikan kembali gambar-gambar yang dibuat
oleh anaknya. Dia tersentak, televisi telah berhasil mengajarinya dengan gambar-gambar
dari negeri asing, dari negeri televisi, dari negeri maya. Ada Doraemon, Satria Baja Hitam,
Hercules dan Xena. Dia tidak menggambar ayam, bebek, kucing, dan burung. Dia tidak
melukis Gatotkaca dan Anoman. Rasa cemburu dan geram mengguncang-guncangkan hati
Nadia karena televisi telah berhasil merebut anaknya. Ingin dia mencampakkan pesawat
2. televisi dari rumahnya. Namun itu tidak mungkin. Orang kota seperti dirinya membutuhkan
televisi, sama seperti membutuhkan nasi dan sayur. Televisi telah menjadi bagian dari
hidupnya, identitas dirinya.
Televisi telah berhasil menggusur dirinya dalam merebut hati Anjeli. Televisi memang
penuh pesona. Dia menyadari televisi selalu lebih sabar dan ramah kepada Anjeli
dibandingkan dengan dirinya. Televisi tak pernah marah, bila Anjeli tidak mengganti
seragamnya setelah pulang sekolah. Dengan tangan terbuka dia mengatakan, "Datanglah
kepadaku, dengarlah dongeng-dongengku sepuas-puasnya, Anjeli. Saya tidak peduli
engkau belum mandi. Kalau engkau mendengarku sampai lupa makan, sampai lupa belajar,
sampai lupa pekerjaan rumah yang ditugaskan Guru Omar Bakrii, sampai lupa ibu dan
bapakmu juga, saya tidak marah. Saya siap menjadi orangtuamu.
"Ibumu, ayahmu telah membawa saya tinggal di rumah ini dan mendapat ruang penting
dalam rumah, ruang keluarga. Saya merasa sangat terhormat, bisa menjadi bagian penting
dari keluargamu. Saya hanya bisa berterima kasih dengan menawarkan mimpi-mimpi
kepadamu. Nontonlah sekuat-kuatnya dan sepuas-puasnya. Dengarlah sekuat-kuatnya. Saya
tidak mengenal lelah. Saya juga siap dibangunkan kapan saja untuk mendongeng. Kamu
terlalu baik pada saya, Anjeli." Nadia sakit hati mendengar televisi mengejeknya.
Nadia pernah mencoba merebut anaknya dari pelukan televisi dengan dongeng Malin
Kundangii, suatu kisah anak durhaka. Malin Kundang yang sudah sukses, tidak mau
mengakui ibu kandungnya di depan istrinya yang cantik karena ibunya hanyalah seorang
perempuan desa biasa. Anjeli tertarik. Nadia merasa bahagia.
"Anjeli sayang sama Mama, nggak?" tanya Nadia setelah mengakhiri dongennya.
"Sayang. Anjeli nggak mau jadi anak durhaka, Ma," jawab Anjeli. Matanya berkaca-kaca.
Dulu, Malin Kundang juga membuat air mata Nadia berlinang karena terharu ketika ibunya
mendongenginya. Bila ada paman atau bibinya yang datang ke rumahnya, Nadia selalu
merengek minta didongengi. Bahagia rasanya bila omanya datang. Omanya pandai
mendongeng. Dongengnya macam-macam. Nadia biasanya minta untuk tidur bersama
omanya agar bisa menikmati dongeng yang lezat.
Sekarang, dia ingin mewariskan pengalaman masa kecilnya untuk putrinya sendiri, Anjeli.
Dia tahu dongeng itu banyak manfaatnya bagi Anjeli. Dongeng menyiapkan ruang
imajinasi untuk petualangan anaknya. Di ruang imajinasi itulah anaknya bisa bermain,
mengembangkan pikirannya.
Televisi telah menyandera anak-anak kota besar, termasuk Anjeli, untuk tidak mau
bermain, kecuali duduk takluk di depannya. Nadia sempat menolak rencana suaminya
untuk membeli home theater yang mampu memanjakan mata dan telinga dengan gambar-
gambar dan bunyi yang terasa live, di mana penontonnya merasa ikut terlibat dalam
peristiwa yang sedang ditayangkan di layar televisi. Dia menyadari, kenikmatan menonton
akan membuat Anjeli makin betah mendengar dongeng dari televisi dan malas bermain.
Kelak dia juga akan malas membaca. Televisi akan menjadi idola Anjeli. Nadia merasa
sangat khawatir.
"Televisi tidak boleh menguasai anakku. Aku akan merebut dari pelukannya," geram hati
Nadia. Dia mencemaskan anaknya menjadi manusia square eyes, menjadi manusia malang
seperti Chips Gordon yang diperankan Jim Carrey dalam film The Cable Guy.
Nadia menyadari tidak mudah menjadi orangtua di zaman televisi. Pada masa kecilnya di
Ruteng, tak ada televisi. Jangankan pesawatnya, kata televisi belum sampai ke sana. Ketika
3. ayah Nadia membeli sebuah radio, rasanya bahagia luar biasa. Benda berbentuk seperti
kotak itu mampu menangkap suara dari RRI Jakarta dan RRI Makassar, bahkan suara dari
benua lain seperti BBC London, Hilversum Belanda, Deutche Welle Jerman, dan Radio
Australia dari Melbourne, Australia. Benda itu membuat Nadia terkagum-kagum pada
radio.
Pernah dia berpikir, mereka yang berbicara dan menyanyi di radio tentu tinggal di dalam
kotak kecil itu. Dia berusaha keras mengintip mereka. Ketika ayahnya membuka bagian
belakang radio untuk mengganti batu baterei, barulah dia yakin tak ada yang menghuni
kotak tersebut. Namun dia tetap tidak mengerti bagaimana kotak itu bisa menangkap
pembicaraan orang di belahan dunia lain, menangkap suara merdu Titik Sandora dan
Muchsin Alatas di akhir tahun 60-an, dan musik ngak-ngik-ngok The Beatles dari
Liverpool sana. Pada masa itu tak banyak keluarga di kota kecil itu memiliki radio.
Keluarga Nadia termasuk beruntung.
Gedung bioskop juga belum ada di sana waktu itu. Namun sesekali penduduknya bisa juga
menikmati film. Pater Klisan, seorang pastor misionaris dari Eropa, sering menghibur
penduduk kota itu dengan film. Dialah satu-satunya yang memiliki proyektor di kota itu,
mungkin juga di kabupaten itu sampai awal tahun 70-an. Bila ingin memutar film, biasanya
dipakai sebuah gedung yang sehari-harinya digunakan sebagai gedung sekolah dasar. Sejak
zaman Belanda dan Jepang gedung itu memang sudah dipakai untuk sekolah. Bangunan itu
pernah pula dimanfaatkan sebagai gedung kesenian, tempat main drama. Kota kecil itu
sempat memiliki kelompok teater. Belakangan kegiatannya terbengkalai. Namun
panggungnya masih bagus. Rumah Nadia tidak jauh dari situ.
Biasanya, bila ada pemutaran film, Nadia dan teman-temannya telah menyelinap ke gedung
sebelum acara pemutaran film dilaksanakan. Bersembunyi di bawah kolong panggung
teater. Begitu malam tiba, mereka keluar dari sarang persembunyian, bergabung dengan
penonton lain yang masuk ke sana dengan membayar karcis masuk. Layarnya dari kain
putih biasa yang dibentangkan begitu saja. Kesannya darurat. Namun itu sudah lebih dari
cukup untuk penonton di kota kecil tersebut waktu itu.
Masuk ke sana bukan masuk ke "gua yang gelap" gedung bioskop modern seperti sekarang.
Lampu listrik dari motor disel menyala terang benderang ketika penonton masuk ruang
bioskop darurat itu. Listrik untuk masyrakat belum menyala di sana waktu itu. Orang
menggunakan lampu gas atau teplok untuk penerangan.
Di gedung bioskop darurat itu, tidak ada nomor kursi. Siapa cepat, dia mendapat tempat
duduk. Orang selalu berebut duduk di depan, dekat layar. Pater Klisan biasanya berada di
tengah penonton, kira-kira tiga meter jaraknya dari layar. Bila film siap diputar, maka akan
terdengar suaranya menggelegar: "Lampu!" Seseorang yang ditugasi mematikan lampu
segera melaksanakan tugasnya. Dan, proyektor pun berputar.
Terkadang, saat asyik menonton, tiba-tiba film putus. "Lampu," teriak Pater Klisan.
Penonton tak marah bila film tiba-tiba putus. Mereka menikmatinya sebagai bagian dari
tontonan. Mereka menunggu dengan sabar sampai film bisa diputar kembali. Semuanya
berjalan dengan begitu menyenangkan. Film yang diputar biasanya tentang cowboy atau
kisah orang-orang kudus seperti riwayat hidup Maria Goretti yang rela mati demi
mempertahankan keperawanannya. Kadang diputar pula film tentang Perang Dunia II.
Masa kanak-kanak yang indah itu sudah berlalu. Kini Nadia tinggal di kota metropolitan
dengan tantangan hidup yang lain pula. Dia melihat jarum jam dinding. Pukul empat sore.
Dia buru-buru mengemas diri. Sore itu dia harus membawa oleh-oleh dongeng untuk
anaknya. Hatinya sudah sampai di rumah saat duduk di belakang setir mobil. Lalu
4. mobilnya bergerak meninggalkan tempat parkir yang lapang dan asri di kampus tempat dia
mengajar. Lalu lintas sedang merayap. Dia tahu Anjeli sudah tidak sabar untuk mendengar
dongeng Pondik. Dia sendiri juga sudah tidak sabar untuk mendongeng.
Nadia memutar radio kesayangannya untuk menghibur diri di tengah kemacetan lalu lintas.
Saat itu Jakarta sedang dilanda demonstrasi mahasiswa. Beberapa ruas jalan di pusat kota
ditutup dan mobil-mobil yang sedang merayap pulang harus mencari jalan masing-masing.
Dan, kini Nadia ikut merasakan dampaknya. Dia baru tiba di rumah pukul sembilan malam.
Di ruang keluarga, dia mendapatkan Anjeli telah bertekuk lutut di depan layar televisi.
Meskipun Anjeli telah tertidur, televisi masih terus mendongeng dengan penuh sabar.
Kotak ajaib itu sedang menayangkan kerusuhan di suatu tempat. Dengan penuh bangga
televisi itu menunjukkan Anjeli gambar-gambar orang mengacung-acungkan golok, parang,
dan tombak, siap membunuh sesamanya. Sementara itu, Mbak Sum, pembantu rumah
tangga mereka yang bertugas mengasuh Anjeli, menikmati kekerasan di televisi itu sambil
menikmati kacang rebus.
Pesawat televisi itu tersenyum bangga ketika mengetahui Nadia muncul. Nadia membalas
dengan senyum kecut. Dia melabrak Mbak Sum karena membiarkan anaknya menyaksikan
kekerasan dan tragedi itu. Nadia menyadari anaknya tidak mudah mencerna berita itu,
sebab Anjeli bukan miniatur dari orang dewasa dalam memandang dunia. Dia langsung
merampas anaknya dari pelukan televisi. Anjeli terbangun. Saat membuka matanya, Anjeli
mendapatkan ibunya telah pulang.
"Mami, mana dongengnya," Anjeli merengek. Permintaan itu menyejukkan hati Nadia. Dia
merasa lega karena anaknya masih menagih janji dongengnya. Lalu dia memeluk anak itu
dengan dongengnya. ***
Catatan kaki:
i "Guru Omar Bakri" adalah salah satu judul lagu Iwan Fals.
ii "Malin Kundang" cerita anak durhaka dari Sumatra Barat.