2. Definisi Sistem Penyiaran
Dari dua unsur kata “penyiaran dan sistem” dapat disimpulkan
bahwa sistem penyiaran adalah rangkaian penyelenggaraan
penyiaran yang teratur dan menggambarkan interaksi
berbagai elemen di dalamnya seperti tata nilai, institusi,
individu, broadcaster, dan program siaran.
Sistem penyiaran melingkupi pula prosedur dan klasifikasi
yang tersimpul dalam aturan main, seperti undang-undang.
Ruang lingkup lahirnya wacana sistem penyiaran yang semakin
luas dan kompleks karena adanya pendanaan dan supervise
publik atas media siaran radio dan televisi
(Masduki, 2006: 3-4).
3. Dua teori penting yang digagas oleh Joseph R.
Dominick Dalam sistem penyiaran
1. The scarcity theory atau teori keterbatasan yang
mencatat bahwa gelombang elektromagnetik
bersifat terbatas. Keterbatasan ini hanya mampu
digunakan oleh stasiun penyiaran secara terbatas
sehingga hanya segelintir orang yang bisa
menggunakannya. Dari sekian banyak calon
pengguna frekuensi, negara harus menyeleksi
pengguna frekuensi yang dianggap mampu
mengelola dan bertanggung jawab terhadap publik.
4. Dua teori penting yang digagas oleh Joseph R.
Dominick Dalam sistem penyiaran
2. The pervasive presence theory yang mengasumsikan
bahwa media penyiaran sangat dominan
pengaruhnya kepada masyarakat, melalui pesan
yang begitu massif dan masuk pada wilayah pribadi
sehingga perlu diatur agar semua kepentingan
masyarakat bisa terwadahi dan terlindungi. Teori ini
mengharuskan peran negara melalui proses yang
demokratis dalam membuat regulasi yang mengatur
isi media penyiaran.
5. Menurut Dominick ada tiga model kepemilikkan
media penyiaran:
Pemilik media Tujuan Regulasi Pendanaan Program
Government Agency
(Penguasa)
Mobilization
(Mobilisasi sosial
politik)
Strong (Ketat) Government (Dana
Pemerintah)
Ideological/ Cultural
(Ideologisasi)
Government
Corporation (Publik)
Education/ Cultural
Enlightment
(Pendidikan, Budaya,
dan Penyadaran)
Moderate (Sedang) License Fee/ Tax
Government
Advertising (Pajak,
Iuran dan Dana
Pemerintah)
Cultural/ Educational/
Entertainment
(Budaya, Pendidikan,
dan Hiburan)
Private (Swasta) Profit (Mencari
Untung)
Weak (Lemah) Advertising
(Periklanan)
Entertainment
(Hiburan)
Sumber: Dominick dalamMasduki, 2006: 6
6. Karakteristik media penyiaran dapat dibagi menjadi tiga bagian seperti
dalam tabel berikut ini:
1. Lembaga Penyiaran Komersial. Pelakunya swasta (non-pemerintah),
berbentuk perseroan terbatas. Lembaga
penyiaran komersial yang ditujukan untuk komunitas
tertentu yaitu pelakunya swasta, yayasan, kampus, LSM,
dan lainnya.
2. Lembaga penyiaran Publik. Pelakunya Negara dan
swasta.
3. Lembaga penyiaran Komunitas berdasarkan batasan
geografis dan identitas atau minat yang sama, yakni
pelakunya swasta, LSM, dan Kampus.
7. Menurut McQuail yang dikutip Masduki (2006: 12), media
penyiaran dikontrol pada dua wilayah dan alasan, yaitu:
1. Wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural
(political and moral/ cultural reason),
2. Wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena
alasan ekonomi dan teknologi (technical and economic reason).
Aturan yang pertama menunjukkan bahwa isi siaran perlu diatur
karena sangat mudah mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak,
khususnya yang belum memiliki kerangka referensi yang kuat
seperti usia muda atau remaja.
Dalam hal ini, unsur kultural dalam pengaturan media penyiaran
perlu diatur karena efeknya yang begitu besar terhadap khalayak
8. Di Negara Indonesia system penyiaran telah diatur dalam
Undang-Undang ;
UU sebagai landasan pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan
penyiaran untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dan
ditaatinya kode etik siaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan
sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya
bagi kepentingan publik.
media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi
publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam- macam bentuk,
mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll.
9. Undang-undang penyiaran yang akhirnya lahir pada 2002
memuat pasal-pasal yang mendorong terjadinya
demokratisasi penyiaran.
1. UU memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga
pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia.
KPI, menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan
keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak
mewakili kepentingan industry penyiaran, pemerintah, ataupun
partai politik.
2. System penyiaran televisi tidak lagi berpusat di Jakarta. UU
penyiaran mengusung gagasan desentralisasi penyiaran televisi,
dimana tidak lagi dikenal adanya stasiun televise nasional yang
mampu menjangkau penonton diseluruh Indonesia secara
langsung dari Jakarta. Dalam system baru ini, tidak lagi ada
stasiun televise nasional melainkan system jaringan televise
secara nasional.
10. 3. Izin penyiaran diberikan melalui proses terbuka dan melibatkan
publik. Bila dimasa Orde Baru stasiun televisi dapat memperoleh
izin dari para pemegang kekuasaan melalui proses tertutup,
menurut UU 2002, izin baru dapat diperoleh melalui proses
terbuka yang melibatkan publik.
4. TVRI dan RRI yang semula adalah lembaga penyiaran pemerinah
diubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik. Kedua
lembaga tersebut ditarik keluar dari jajaran Departemen
Penerangan dan tidak berada dibawah kekuasaan Presiden. TVRI
dan RRI diharapkan menjadi media yang independen dan netral
yang melulu menempatkan kepentingan public diatas segalanya.
5. UU penyiaran memperkenalkan kehadiran lembaga penyiaran
komunitas (LPK). Sebagimana tertuang dalam UU tersebut, LPK
adalah lembaga penyiaran yang didirikan oleh komunitas
tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya
pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk
melayani kepentingan komunitasnya.
11. Undang-undang penyiaran yang akhirnya lahir pada 2002
memuat pasal-pasal yang mendorong terjadinya
demokratisasi penyiaran.
1. UU memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga
pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia.
KPI, menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan
keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak
mewakili kepentingan industry penyiaran, pemerintah, ataupun
partai politik.
2. System penyiaran televisi tidak lagi berpusat di Jakarta. UU
penyiaran mengusung gagasan desentralisasi penyiaran televisi,
dimana tidak lagi dikenal adanya stasiun televise nasional yang
mampu menjangkau penonton diseluruh Indonesia secara
langsung dari Jakarta. Dalam system baru ini, tidak lagi ada
stasiun televise nasional melainkan system jaringan televise
secara nasional.
12. Pada pasal 6 UU penyiaran No 32/2002 disebutkan bahwa :
1. Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.
2. Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang
digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
3. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan
pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan
membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
4. Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi
penyiaran
Sistem Penyiaran
Berdasarkan pada pasal 6 UU No 32/2002
.
13. Pada pasal 6 UU penyiaran No 32/2002 disebutkan bahwa :
1. Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.
2. Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang
digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
3. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan
pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan
membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
4. Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi
penyiaran
Sistem Penyiaran
Berdasarkan pada pasal 6 UU No 32/2002
.
14. Sistem Penyiaran Berdasarkan
Fourth Theories Of The Press
.
Media massa tidaklah berada di ruang hampa, sehingga hubungan antara
media massa dengan institusi lain, seperti pemerintah menarik banyak
perhatian. Salah satu yang pertama mengupayakan hubungan antara
media massa dan masyarakat politik adalah Four Theories of the Press by
Siebert, Peterson, and Schramm. Empat teori normatif yang yang
dimaksud pers oleh Siebert mencakup semua media kom massa, termasuk
televisi, radio dan suratkabar (Altschull, 1984: 1).
15. The authoritarian theory.
.
Dalam pandangan Siebert, sistem negara otoriter memberlakukan kontrol
pemerintahan langsung terhadap media massa. Sistem ini berlaku pada
masyarakat prademokrasi, di mana pemerintahan hanya terdiri dari kelas
penguasa (rulingclass) yang elit dan terbatas. Media dalam sistem ini tidak
bisa menyajikan apapun yang bisa mengancam kemapanan otoritas, dan
penyerangan dalam bentuk apapun terhadap nilai dan pandangan politik
yang berlaku. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menghukum
siapapun yang mempertanyakan ideologi negara (Altschull, 1984:36).
16. The libertarian theory.
.
.
The Libertarian Theory disebut juga teori pers bebas. Berkebalikan dengan
teori pers otoriter, pandangan liberal berdasar gagasan bahwa individu
haruslah memiliki kebebasan untuk mempublikasikan apapun yang
dikehendakinya. Gagasan ini bisa ditelusur sampai pendapat pemikir John
Milton di abad ke-17 bahwa manusia sesunggunya memiliki kemampuan
untuk memilih gagasan dan nilai yang terbaik bagi dirinya
17. The Soviet theory
.
.
Teori ini bertalian dengan ideologi tertentu; yaitu komunis. Siebert
menemukan akar teori ini pada Revolusi Soviet tahun 1917 berdasarkan
pemikiran Marx dan Engels. Organisasi media dalam sistem ini dimiliki
secara privat dan dimaksudkan untuk melayani kepentingan kelas pekerja
(Altschull,1984: 145). Perlu digarisbawahi perbedaan antara sistem pers
Soviet dan Otoriter. Media massa dalam sistem Soviet memiliki kekuasaan
untuk mengatur diri sendiri dalam hal isi media. Juga bahwa sistem ini
organisasi media memiliki tanggung jawab tertentu untuk memenuhi
harapan khalayaknya.
18. The social responsibility theory
.
.
Teori ini muncul pada akhir tahun 1940an di Amerika, berangkat dari
kesadaran bahwa sistem pasar telah gagal memenuhi janji bahwa
kebebasan pers akan mampu menyajikan kebenaran. Atas hal itu,
Commission on Freedom of the Press menawarkan model di mana media
memiliki kewajiban tertentu terhadap masyarakat. Kewajiban ini
dinyatakan dalam pernyataan informativeness, truth, accuracy, objectivity,
and balance” (Siebert, 1963: 34). Tujuan dari sistem tanggung jawab sosial
ini adalah bahwa media itu plural, yang merefleksikan perbedaan dalam
masyarakat dan akses terhadap berbagai pandangan yang ada (Siebert,
1963: 102).
19. 3 pilar sistem penyiaran yang akan menjadi fokus analisis
untuk mencernati pemikiran tersebut dalam perumusan
RUU penyiaran:
.
1. Otoritarisme
Sistem otoriter adalah keinginan untuk mengatur masyarakat oleh negara melalui
pemerintah. Sistem otoriter menilai diperlukan pemerintah yang dominan untuk mengatur
masyarakat karena mayoritas masyarakat tidak cukup memiliki kemampuan mengatur
dirinya sendiri. Sistem komunikasi otoriter menempatkan intervensi pemerintah secara
total pada media penyiaran.
2. Neoliberalisme
Neoliberalisme mulai diperkenalkan tahun 1970-an, dirumuskan dan dipropagandakan
sejak 1940-an. Tesis neoliberalisme, yaitu:
Keutamaan pembangunan ekonomi
Pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan
Pasar bebas tanpa restriksi
Pilihan-pilihan individual bukan kolektif
Pemangkasan regulasi pemerintah
Pembelaan model pembangunan sosial-evolusioner yang berjangkar dari pengalaman
dunia barat dapat ditetapkan ke seluruh dunia.
20. 3. Demokratisasi
Ada 3 hipotesis yang mungkin terjadi dalam suatu proses transisi politik di
Indonesia. Transisi ini sangat berpengaruh terhadap demokratisasi atau
setidaknya kebijakan penyiaran. Pertama, tranformasi ke rezim otoritarian
lain setelah rezim otoriter Orde baru runtuh. Kedua, tranformasi ke rezim
yang demokratis. Ketiga, tranformasi ke rezim totalitarian. Kriteria sistem
penyiaran yang demokratis dapat ditelusuri pada paradigma demokrasi, di
mana sebuah sistem yang demokratis memiliki multi kekuatan politik yang
berkompetisi dalam sebuah wadah institusi.
Gagasan mengenai sistem penyiaran yang demokratis harus meliputi:
Independensi dalam penyelenggaraan penyiaran baik isi, regulator
maupun perizinan teknis
Pluralitas pemilikan media, yakni media publik, komersial hingga
komunitas
Desentralisasi atau penguatan peran lokal dalam berbagai bentuknya.