FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN
TOTAL QUALITY MANAGEMENT PADA INSTANSI PEMERINTAH YANG TELAH MENERAPKAN ISO 9001:2008
STUDI KASUS:
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Faktor Penghambat TQM di Badan POM
1. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN
TOTAL QUALITY MANAGEMENT PADA INSTANSI
PEMERINTAH YANG TELAH MENERAPKAN ISO 9001:2008
STUDI KASUS:
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI
TESIS
Ali Yudhi Hartanto
NPM 1206185053
FAKULTAS EKONOMI
MAGISTER MANAJEMEN KONSENTRASI OPERASI
UNIVERSITAS INDONESIA
JULI 2014
2. i Universitas Indonesia
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN
TOTAL QUALITY MANAGEMENT PADA INSTANSI
PEMERINTAH YANG TELAH MENERAPKAN ISO 9001:2008
STUDI KASUS:
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Manajemen
Ali Yudhi Hartanto
NPM 1206185053
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
KEKHUSUSAN OPERASI
UNIVERSITAS INDONESIA
JULI 2014
3. ii Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Ali Yudhi Hartanto
NPM : 1206185053
Tanda Tangan :
Tanggal : 11 Juli 2014
4. iii Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Ali Yudhi Hartanto
NPM : 1206185053
Program Studi : Magister Manajemen
Judul Tesis : Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Total Quality
Management Pada Instansi Pemerintah Yang Telah
Menerapkan ISO 9001:2008 Studi Kasus: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bahan persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Manajemen pada Program Studi Magister Manajemen Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ir. Muslim Efendi Harahap, MSIE, MBA ( )
Ketua Penguji : Dr. Setyo Hari Wijanto ( )
Anggota Penguji : Rizqiah Insanita, MM ( )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 11 Juli 2014
5. iv Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman, Islam
serta segala doa dimohonkan kepadaNya dan shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, cahaya di atas cahaya, manusia
teladan sepanjang zaman sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir
berjudul “Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Total Quality Management Pada
Instansi Pemerintah Yang Telah Menerapkan ISO 9001:2008 Studi Kasus: Badan
Pengawas Obat Dan Makanan RI”.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat adanya
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Ir. Muslim Efendi Harahap, MSIE, MBA selaku dosen pembimbing
penulisan karya akhir yang memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis dalam rangka menyelesaikan karya khir ini.
2. Bapak Dr. Setyo Hari Wijanto dan Ibu Rizqiah Insanita, MM selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan berharga bagi penulis terhadap
penulisan tesis ini.
3. Ibu Dr. Tengku Ezni Balqiah selaku selaku ketua program Magister
Manajemen Universitas Indonesia.
4. Seluruh dosen dan pegawai Program Magister Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia yang telah memberikan seluruh
dedikasinya untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
5. Bapak Drs. Djoko Triyono, Apt, MM dan Ibu M. Linda Sitanggang, Apt,
Ph.D serta Ibu Dra. Dewi Prawitasari, Apt, M.Si atas perkenannya
memberikan dukungan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister.
6. Seluruh rekan-rekan di MM UI terutama kelas F-121 dan MO-121 dan
khususnya teman diskusi penyusunan tesis Azhar, Reiny, Ira, Iria, Utha
dan Crispina atas kebersamaan dan perjuangan selama perkuliahan.
6. v Universitas Indonesia
7. Keluarga terkasih, Farida Kurniawati, Alvina Lintang Dharmastuti dan
Aditya Iqbal Dharmapradana atas cinta dan kebahagiaan yang dimiliki
serta kesabaran menantikan penulis menyelesaikan pendidikan.
8. Rekan-rekan Inspektorat Badan POM, Inspektur, Auditor dan teman di
Sub Bagian Tata Usaha, Sdr. Nunik, Nina, Devi, Ibu Ana, Pak Agus, Pak
Joko, Dodi, Willy dan Abi atas bantuan dan pengertiannya untuk selalu
menyelesaikan dengan hasil sangat baik setiap penugasan kantor.
Penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Mohon maaf atas segala kesalahan yang telah penulis
perbuat baik disengaja maupun tidak disengaja selama menyelesaikan studi di
Magister Manajemen Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa manusia adalah tempat khilaf dan salah sehingga tidak
ada suatu ciptaan makhluk yang sempurna, oleh karenanya kritik dan saran yang
membangun bagi kesempurnaan karya akhir tetap diharapkan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 11 Juli 2014
Nama : Ali Yudhi Hartanto
NPM : 1206185053
7. vi Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN HAK CIPTA KARYA ILMIAH
SIVITAS AKADEMIKA UNIVERSITA INDONESIA
Karya ilmiah ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang-Undang
Karya ilmiah yang berjudul :
Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Total Quality Management Pada Instansi
Pemerintah Yang Telah Menerapkan ISO 9001:2008 Studi Kasus: Badan
Pengawas Obat Dan Makanan RI.
Dengan penulis Ali Yudhi Hartanto (Fakultas Ekonomi)
Yang diumumkan pertama kali kepada publik melalui sidang Tesis pada tanggal
23 Juni 2014 di Jakarta, merupakan karya ilmiah milik Ali Yudhi Hartanto
sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia yang Hak Ciptanya dilindungi
Undang-Undang.
Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
Pasal 35 ayat (4) dan Penjelasannya bahwa
“Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta”
Pendaftaran Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak
ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal itu berarti suatu
Ciptaan baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi.
8. vii Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Ali Yudhi Hartanto
NPM : 1206185053
Program Studi : Magister Manajemen
Fakultas : Ekonomi
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
FAKTO-FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN TOTAL QUALITY
MANAGEMENT PADA INSTANSI PEMERINTAH YANG TELAH
MENERAPKAN ISO 9001:2008 STUDI KASUS: BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN RI
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database) merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 11 Juli 2014
Yang menyatakan
(Ali Yudhi Hartanto)
9. viii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Ali Yudhi Hartanto
Program Studi : Magister Manajemen
Judul : Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Total Quality
Management Pada Instansi Pemerintah Yang Telah
Menerapkan ISO 9001:2008 Studi Kasus: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI
Pembimbing : Ir. Muslim Efendi Harahap, MSIE, MBA
Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai organisasi pelayanan publik telah mendapatkan
sertifikasi ISO 9001:2008. Kemudian dirasakan bahwa ISO 9001:2008 lebih menitikberatkan
pembuktian kepatuhan terhadap standar dan belum mengakomodasi kebutuhan Badan POM akan
pemenuhan ekspektasi pelanggan serta peningkatan kinerja organisasi secara berkelanjutan. Oleh
karenanya penerapan TQM, konsep manajemen kualitas yang lebih luas penting untuk
dikembangkan. Meskipun disadari penerapannya di sektor publik memerlukan adaptasi dan
modifikasi. Penelitian bertujuan mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam
implementasi TQM sebagai pengembangan dari penerapan ISO 9001:2008 serta
mempertimbangkan strategy improvement yang dapat dilakukan. Penelitian mereplikasi model
yang dikembangkan Ngai dan Cheng (1995), menggunakan kuesioner dengan bentuk pertanyaan
tertutup dengan jawaban skala likert lima poin. Responden ditentukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling. Data dari 266 responden kemudian dilakukan uji reliabilitas, uji
validitas, uji korelasi, dan uji regresi berganda dengan menggunakan bantuan software SPSS versi
14. Penelitian mendapatkan hasil faktor hambatan dengan koefisien regresi infrastruktur -0,401,
manajerial -0,338, dan organisasional -0,229 bersama-sama mempengaruhi penerapan TQM
dengan koefisien korelasi majemuk sebesar 0,708 dengan R square senilai 0,501. Kenaikan nilai
faktor hambatan akan diikuti penurunan nilai penerapan TQM. Sehingga model penelitian ini
berhasil mengidentifikasi faktor penghambat penerapan TQM di Badan POM.
Kata Kunci : Badan POM, Faktor Hambatan, TQM, ISO 9001:2008, SPSS v 14.
10. ix Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Ali Yudhi Hartanto
Study Program : Magister of Manajement
Title : Factors Barrier That Influences Implementation of Total
Quality Management In Government Agencies That Have
Implemented ISO 9001:2008 Case Study: National Agency
of Drug and Food Control In Indonesia.
Consellor : Ir. Muslim Efendi Harahap, MSIE, MBA
The National Agency for Drug and Food Control (NADFC) as a public service organizations have
obtained ISO 9001:2008 certification. And then felt that ISO 9001:2008 emphasizes adherence to
proof of compliance with standards and not yet accommodate the needs to fulfillment of customer
expectations and sustainable organizational performance improvement. Therefore the
implementation of TQM, the concept of a broader quality management essential to develop.
Although it was realized that the implementation in the public sector require adaptation and
modification. The study aims to understand what factors that become barriers on implementing the
concept of TQM and consider the improvement strategy to do. Research replicate the model
developed by Ngai and Cheng (1995), using a questionnaire with closed-form questions with
answers five-point Likert scale. Respondents determined using purposive sampling technique.
Data from 266 respondents were then conducted a reliability test, validity test, correlation test,
linearity test, and regression test using SPSS statistical software version 14. Obtain research
results the infrastructure, managerial, and organizational barrier factors jointly affect the
implementation of TQM with correlation coefficient of 0.708 with a compound R square of 0.501.
Infrastruktur coefficiean regression -0,401, managerial -0,338, and organisational -0,229. The
increase in the value of barriers factor would be followed by decrease in the value of the
implementation of TQM. So that the model is able to identify barriers factor the implementation of
TQM in the NADFC.
Key Words : Badan POM, Barriers Factor, TQM, ISO 9001:2008, SPSS v 14.
11. x Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…...……………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………… iv
HALAMAN PERNYATAAN HAK CIPTA KARYA ILMIAH……...…... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………... vii
ABSTRAK………………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI…………………………………...…………………………… x
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. xiii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………... xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………... xv
I. PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………. 1
1.2 Identifikasi Masalah……………………………………………. 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………...…… 3
1.4 Pembatasan Masalah ………………………………...............… 4
1.5 Metodologi Penelitian………………………………………….. 4
1.5.1 Tempat Penelitian………………………………………. 4
1.5.2 Tahap-Tahap Penelitian ................................................... 5
1.5.3 Desain Penelitian……………………………………….. 5
1.5.4 Teknik sampling………………………………………... 5
1.5.5 Jenis Data …….………….....................………………... 6
1.5.6 Metode Pengumpulan Data……………………………... 6
1.5.7 Analisis Data……………………………………………. 6
1.6 Sistematika Penulisan 6
2 TINJAUAN PUSTAKA...…………………………………………… 8
2.1 Konsep Kualitas………………………………………………... 8
2.1.1 Pengertian Kualitas……………………………………... 8
2.1.2 Kualitas di Sektor Pelayanan Publik……………………. 9
2.2 Internasional Standard Organization seri (ISO) 9000………….. 11
2.2.1 Pengertian ISO 9001:2008……………………………… 11
2.2.2 Prinsip-prinsip Manajemen Kualitas Berdasarkan ISO
9001:2008………………………………………………. 13
2.2.3 Persyaratan Standar dari Sistem Manajemen Kualitas
ISO 9001:2008…………………………………………. 15
2.2.4 Manfaat Penerapan Sistem Manajemen Kualitas ISO
9001:2008………………………………………………. 16
2.3 ISO 9000 dan TQM………………….........……………………. 18
2.4 Manajemen Kualitas Total (TQM)……………………………... 23
2.4.1 Definisi TQM…………………………………………… 23
2.4.2 TQM di Sektor Pelayanan Publik…………...………….. 26
2.4.3 Hambatan dalam Implementasi TQM………………….. 29
12. xi Universitas Indonesia
3 PROFIL BADAN POM……………………………………………... 34
3.1 Latar Belakang…………………………………………………. 34
3.2 Visi dan Misi…………………………………………………… 37
3.3 Gambaran Umum Tugas Pokok dan Fungsi…………………… 38
3.4 Struktur Organisasi ……………………………………………. 41
3.5 Budaya Organisasi..........……………………………………….. 41
3.6 Pernyataan Kebijakan Mutu……………………………………. 42
3.7 Ruang Lingkup ISO 9001:2008………………………………... 42
3.7.1 Lokasi ………………………………………………….. 42
3.7.2 Pelayanan……………………………………………….. 42
3.7.3 Proses…………………………………………………… 43
3.7.4 Standar………………………………………………….. 43
4 METODE PENELITIAN…………………………………………… 45
4.1 Tempat Penelitian………………………………………………. 45
4.2 Desain Penelitian……………………………………………….. 45
4.3 Definisi Operasional dan Hipotesis……………………………. 46
4.3.1 Faktor Penerapan TQM………………………………… 46
4.3.2 Faktor Budaya dan Pegawai……………………………. 47
4.3.3 Faktor Infrastruktur…………………………………….. 48
4.3.4 Faktor Managerial ……………………………………… 49
4.3.5 Faktor Organisasional…………………………………... 50
4.4 Pengumpulan Data……………………………………………... 51
4.4.1 Kuesioner……………………………………………….. 51
4.4.2 Teknik Sampling………………………………………... 52
4.4.3 Jumlah Data…………………………………………….. 53
4.4.4 Jenis data………………………………………………... 53
4.5 Metode Analisis Data…………………………………………... 54
4.5.1 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas………………………. 54
4.5.2 Korelasi…………………………………………………. 55
4.5.3 Regresi Berganda……………………………………….. 56
5 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN…………………………. 59
5.1 Pengolahan Data……………………………………………….. 59
5.2 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas………………………………. 60
5.2.1 Faktor Penerapan TQM………………………………… 60
5.2.2 Faktor Hambatan Budaya dan Pegawai………………… 61
5.2.3 Faktor Hambatan Infrastruktur…………………………. 62
5.2.4 Faktor Hambatan Manajerial …………………………... 63
5.2.5 Faktor Hambatan Organisasional………………………. 63
5.3 Analisis Korelasi ………………………………………………. 64
5.3.1 Korelasi antara Faktor Hambatan Budaya dan Pegawai
dengan Penerapan TQM………………………. 65
5.3.2 Korelasi antara Faktor Hambatan Infrastruktur dengan
Penerapan TQM………………………………………… 65
5.3.3 Korelasi antara Faktor Hambatan Manajerial dengan
Penerapan TQM………………………………………… 66
13. xii Universitas Indonesia
5.3.4 Korelasi antara Faktor Hambatan Organisasional dengan
Penerapan TQM……………………………..........…... 66
5.4 Analisis Regresi………………………………………………… 66
5.4.1 Uji Multikolinearitas……………………………………. 66
5.4.2 Analisis Regresi Linier Pengaruh Faktor Hambatan
terhadap Penerapan TQM………………………………. 67
5.5 Pembahasan…………………………………………………….. 70
6 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 75
6.1 Kesimpulan…………………………………………………….. 75
6.2 Saran …………………………………………………………… 76
DAFTAR PUSTAKA....…………………………………………………… 79
14. xiii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian…………………………………….. 5
Gambar 2.1 Big Quality yang Dipengaruhi Konsep QCDSM………… 8
Gambar 2.2 Model Penerapan ISO 9001:2008………………………... 15
Gambar 3.1 Logo Badan POM............................................................... 34
Gambar 3.2 Pengawasan Post-Market Badan POM............................... 35
Gambar 3.3 Pengujian Sampel Obat dan Makanan................................ 39
Gambar 3.4 Sosialisasi Pengawasan Badan POM.................................. 40
Gambar 3.5 Struktur Organisasi Badan POM…………………………. 41
Gambar 3.6 Business Process Badan POM RI………………………... 43
Gambar 4.1 Penerapan TQM Pelayanan Publik………………………. 46
Gambar 4.2 Faktor Budaya dan Pegawai……………………………… 47
Gambar 4.3 Faktor Infrastruktur ……………………………………… 48
Gambar 4.4 Faktor Manajerial ………………………………………... 50
Gambar 4.5 Faktor Organisasional …………………………………… 51
15. xiv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kesesuaian Faktor Hambatan dalam Penerapan TQM… 32
Tabel 5.1 Responden Rate………………………………………………... 59
Tabel 5.2 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas Faktor Penerapan TQM
di Pelayanan Publik……………………………….......... 61
Tabel 5.3 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas Faktor Budaya dan
Pegawai…………………………………………………... 61
Tabel 5.4 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas Faktor Hambatan
Infrastruktur………………………………………………. 62
Tabel 5.5 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas Faktor Hambatan
Manajerial………………………………………………… 63
Tabel 5.6 Uji Reliabilitas dan Uji Validitas Faktor Hambatan
Organisasional……………………………………………. 64
Tabel 5.7 Korelasi antara Faktor Hambatan dengan Penerapan
TQM……………………………………………………… 64
Tabel 5.8 Uji Multikolinearitas Faktor Hambatan dengan Penerapan
TQM…………………………………………................. 67
Tabel 5.9 Hasil Anova Faktor Hambatan dengan Penerapan TQM
……………………………………………………………. 68
Tabel 5.10 Model Summary Faktor Hambatan dengan Penerapan
TQM……………………………………………………… 68
Tabel 5.11 Koefisien Faktor Hambatan dengan Penerapan TQM…… 69
17. 1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM) terbentuk
pada tanggal 31 Desember 2001 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi dan Tata Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2005.
Badan POM mempunyai visi menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang
inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.
Sejalan dengan visi tersebut, dan dalam upaya meningkatkan perlindungan
kesehatan masyarakat dari risiko produk Obat dan Makanan yang tidak memenuhi
syarat, palsu, substandar dan ilegal, Badan POM berupaya memperkuat sistem
pengawasan obat dan makanan yang komprehensif dan menyeluruh.
Pengawasan obat dan makanan tidak dapat dilakukan secara parsial hanya pada
produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi harus dilakukan secara
komprehensif dan sistematik, mulai dari kualitas bahan yang digunakan, cara-cara
produksi, distribusi, penyimpanan, sampai produk tersebut siap dikonsumsi oleh
masyarakat. Pada seluruh mata rantai tersebut, harus ada sistem yang memiliki
mekanisme yang dapat mendeteksi kualitas produk sehingga secara dini dapat
dilakukan pengamanan jika terjadi degradasi mutu, produk substandar,
kontaminasi dan hal-hal lain yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Selain melaksanakan fungsi perlindungan kesehatan masyarakat, Badan POM
juga mendukung perkuatan ekonomi nasional melalui peningkatan pemenuhan
standar dan ketentuan yang berlaku secara internasional bagi produk obat dan
makanan yang dihasilkan oleh industri obat dan makanan dalam negeri.
Bimbingan teknis bagi pelaku usaha bidang Obat dan Makanan merupakan
kontribusi yang diberikan Badan POM.
18. 2
Universitas Indonesia
Disamping program pengawasan obat dan makanan, Badan POM juga
menyelenggarakan tugas kepemerintahan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan. Program ini merupakan kegiatan internal berupa kegiatan tata
hubungan kerja (tahubja), komunikasi, informasi, edukasi, penataan sumber daya
manusia aparatur, pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintahan, dan lain-lain.
Untuk mendukung konsistensi pelaksanaan kegiatan pengawasan obat dan
makanan, maka sejak tahun 2010 Badan POM telah mengajukan untuk
mendapatkan sertifikasi ISO 9001:2008. Akhirnya, pada tahun 2011 Badan POM
memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008 yang diterbitkan oleh United Registrar of
System (URS) UK. Seluruh unit Badan POM baik di pusat maupun daerah telah
mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008 ini.
Setelah penerapan ISO 9001:2008 selama 4 (empat) tahun ini, dirasakan bahwa
sertifikasi ISO 9001:2008 lebih menitikberatkan pada pembuktian kepatuhan
terhadap standar operasi baku (SOP) yang telah disusun. Penurunan nilai Indeks
Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dihasilkan dari survei internal selama 3 tahun
terakhir dan pemenuhan CAPA yang masih sebatas formalitas untuk memperbaiki
temuan hasil audit survailance dan audit internal merupakan inidikasi bahwa ISO
9001:2008 Badan POM belum sepenuhnya mengakomodasi pemenuhan
ekspektasi pelanggan dan peningkatan kinerja organisasi.
Lebih lanjut, studi Magd dan Curry (2003) menyimpulkan, apabila organisasi
hendak mempertahankan keunggulan kompetitifnya dan meningkatkan kualitas
dari sistem yang dibangun, maka direkomendasikan untuk menerapkan ISO 9000
sebagai dasar untuk mengembangkan TQM. Kedua sistem tersebut apabila
diimplementasikan akan membimbing organisasi mencapai keberhasilan dan
mendapatkan keunggulan kompetitif-nya. Kedua pendekatan sistem kualitas
tersebut saling melengkapi satu dengan lainnya.
Dalam penerapannya, ISO 9000 dapat diterapkan terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan untuk menciptakan stabilitas dan konsistensi dalam operasi perusahaan,
baru kemudian organisasi dapat menerapkan TQM yang dapat memacu motivasi
19. 3
Universitas Indonesia
pegawai, operasi yang efektif dan mencapai keberhasilan kinerja organisasi
(Magd dan Curry, 2003 dan To, Lee dan Yu, 2011).
Pengembangan manajemen kualitas dari ISO 9001:2008 menuju TQM
membutuhkan usaha yang tidak sedikit. Proses adaptasi dan modifikasi diperlukan
agar TQM dapat diterapkan disektor pelayanan publik. Penelitian ini melakukan
adaptasi atas variabel yang mewakili penerapan TQM pada sektor pelayanan
publik. Penelitian ini menggunakan konsep penelitian Anderson et al (1995) dan
Rungtusanathan et al (1998) dalam Douglas (2004) dengan 7 (tujuh) variabel
berupa visionary leadership, internal and external cooperation, learning, process
management, continous improvement, employee fulfilment, dan customer
satisfaction.
Selanjutnya, faktor yang diduga berpotensi menghambat penerapan TQM terdiri
dari 4 (empat) model konstruksi yang disari dari 17 (tujuh belas) dan terdiri dari
faktor budaya dan pekerja, infratruktur, manajerial dan organisasional. Empat
model konstruksi dimaksud berupa hambatan budaya dan pegawai, hambatan
infrastruktur, hambatan manajerial dan hambatan organisasional sebagaimana
dikemukakan Ngai dan Cheng (1995) dalam Wijaya (2009).
1.2. Identifikasi Masalah
Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: Sertifikasi ISO 9001:2008 lebih
menitikberatkan pada pembuktian kepatuhan terhadap standar dan belum
mengakomodasi kebutuhan Badan POM akan pemenuhan ekspektasi pelanggan
serta peningkatan kinerja organisasi secara berkelanjutan. Oleh karena itu
kebutuhan akan penerapan TQM sektor publik di Badan POM menjadi penting.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
§ Mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam implementasi TQM
sebagai pengembangan dari penerapan ISO 9001:2008.
§ Mempertimbangkan Strategy Improvement yang dapat dilakukan.
20. 4
Universitas Indonesia
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya :
a. Dengan mengetahui faktor yang berpotensi menjadi penghambat penerapan
TQM, diharapkan Badan POM dapat menyusun langkah-langkah untuk
mengantisipasi, mengelola dan menyusun program untuk mengeliminasi
kegagalan penerapan TQM dan meningkatkan peluang keberhasilan
penerapan TQM.
b. Bagi organisasi pelayanan publik, dapat menjadi acuan informasi penerapan
TQM.
c. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai salah satu sumber informasi
yang dapat memperkaya dunia pustaka terutama yang berkaitan dengan
pelaksanaan TQM pada organisasi pelayanan publik.
1.4. Pembatasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian yang berjudul ”Prediksi
Faktor Penghambat Penerapan Total Quality Management pada Instansi
Pemerintah yang Telah Menerapkan ISO 9001:2008, Studi Kasus: Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI” dibatasi pada potensi faktor hambatan
penerapan TQM model konstrusi Ngai dan Cheng (1995) di Badan POM.
Penelitian dilaksanakan pada periode waktu bulan Maret sampai dengan Mei
tahun 2014.
1.5. Metodologi Penelitian
1.5.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kantor Pusat)
dengan satuan kerja yang terdiri dari satuan kerja Sekretariat Utama; Kedeputian
Pengawasan Produk Terapetik dan Napza; Kedeputian Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; Kedeputian Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; Pusat Penyidikan Obat dan Makanan;
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional; Pusat Informasi Obat dan Makanan;
Pusat Riset Obat dan Makanan dan Inspektorat Badan POM.
21. 5
Universitas Indonesia
1.5.2. Tahap-Tahap Penelitian
Berikut adalah bagan yang menunjukkan alur penelitian yang akan dilakukan:
Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian
1.5.3. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus di
Kantor Badan POM. Diharapkan dengan melakukan penelitian ini dapat dilakukan
prediksi faktor-faktor yang berpotensi menghambat penerapan TQM.
1.5.4. Teknik Sampling
Responden dipilih dalam pengumpulan data ditentukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling. Pemilihan dan penentuan sampel berdasarkan kriteria
dan tujuan tertentu.
22. 6
Universitas Indonesia
1.5.5. Jenis Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui studi kasus.
Sedangkan pembahasan dilakukan dengan memanfaatkan data primer dan data
sekunder yang berupa data kuantitatif.
1.5.6. Metode Pengumpulan Data
Data Primer diperoleh dengan menyebarkan kuesioner. Pengumpulan data
menggunakan daftar isian atau daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun
sedemikian rupa sehingga responden hanya mengisi atau menandainya dengan
mudah dan cepat. Kuesioner didesain sedemikian rupa dengan menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami, singkat dan jelas. Penggunaan
bahasa menghindari kalimat dan kata bermakna ganda, serta menghindari dari bias
kepentingan pribadi (Sudjana, 2002 dalam Wijaya, 2009).
Kuesioner didesain terdiri dari tiga bagian yaitu: pertama terkait dengan identitas
responden, kedua terkait dengan pertanyaan dan pernyataan yang berhubungan
dengan penerapan TQM di Badan POM dan ketiga berupa pertanyaan dan
pernyataan responden tentang faktor penghambat penerapan TQM.
Bentuk pertanyaan dalam kuesioner adalah bentuk tertutup. Jawaban pertanyaan
telah disediakan dalam bentuk skala likert lima poin (1=sangat tidak setuju,
2=tidak setuju, 3=netral, 4=setuju, 5=sangat setuju).
1.5.7. Analisis Data
Data yang yang diperoleh kemudian diuji secara statistik dengan uji reliabilitas,
uji validitas, uji korelasi, dan uji regresi berganda. Pengolahan data dilaksanakan
dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 14.
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan di dalam karya akhir ini terdiri dari 5 bab, yaitu :
BAB 1 Pendahuluan
Bab ini memberikan ulasan yang berisi permasalahan yang akan di
23. 7
Universitas Indonesia
bahas. Terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 Tinjauan Penelitian
Bab ini memberikan ulasan mengenai konsep kualitas, konsep
international standard organization (ISO) 9000, keterkaitan ISO
9001:2008 dengan manajemen kualitas total, konsep manajemen
kualitas total (TQM). Selanjutnya diuraikan juga penelitian-
penelitian terdahulu tentang permasalahan ini.
BAB 3 Profil Badan POM
Bab ini memberikan ulasan mengenai Badan POM. Memaparkan
dasar hukum terbentuknya Badan POM, tugas pokok dan fungsi
(TUPOKSI) organisasi, visi, misi, tujuan dan sasaran strategis,
budaya kerja dan sertifikasi ISO 9001:2008 di Badan POM.
BAB 4 Metode Penelitian
Bab ini memberikan ulasan tentang sumber data, populasi dan
sampel penelitian yang akan diambil. Membahas pula model
penelitian yang diterapkan, pengukuran variabel, dan metode
analisis data yang digunakan.
BAB 5 Analisis dan Pembahasan
Bab ini membahas analisis data yang diperoleh dari rekapitulasi
penilaian responden. Kemudian dibandingkan dengan teori faktor
yang menghambat penerapan TQM, sehingga diperoleh faktor-
faktor yang berpengaruh dan menghambat.
BAB 6 Kesimpulan dan Saran
Bab ini akan menyampaikan kesimpulan hasil penelitian dan saran
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan, dalam hal ini Badan POM dan instansi pemerintah
pemberi layanan publik yang akan menerapkan TQM.
24. 8
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kualitas
2.1.1. Pengertian Kualitas
Banyak definisi yang telah diungkapkan untuk menjabarkan arti dari
mutu/kualitas. Salah satunya adalah pengertian mutu dari pengaruh Jepang yaitu
mutu merupakan Big Quality yang dipengaruhi oleh konsep QCDSM dan
disajikan pada Gambar 2.1 (Ulya, 2004, p.9).
Keterangan:
Q Quality/Kualitas : Yang meliputi kualitas produk/jasa/aktivitas/
pekerjaan sehari-hari.
C Cost/Biaya : Yang meliputi kualitas harga dan biaya.
D Delivery/Pengiriman : Yang meliputi kualitas tepat waktu, tempat dan
jumlah.
S Safety/Keamanan : Yang meliputi kualitas keselamatan/kenyamanan.
M Morale/Moral : Yang meliputi kualitas mental/moral karyawan.
Gambar 2.1. Big Quality yang Dipengaruhi Konsep QCDSM
Kualitas Kelas Dunia
Kualitas
Desain Produk
Pemenuhan
Servis/Jasa
Biaya
Biaya Efektif
Harga Efektif
Pengiriman
Desain Produk
Pemenuhan
Servis/Jasa
Keamanan
Biaya Efektif
Harga Efektif
Moral Harga yang efektif
25. 9
Universitas Indonesia
Sumber: Diolah kembali dari Ulya (2004, p.9)
Goetsh dan Davis (2000) menyatakan bahwa mutu merupakan konsep yang
mudah untuk divisualisasikan akan tetapi sulit untuk didefinisikan. Walaupun
tidak ada definisi tentang mutu yang bisa diterima secara universal, namun
berdasarkan kesamaan elemen antara definisi-definisi yang ada, maka mutu dapat
didefinisikan sebagai berikut:
“Quality is a dynamic associated with products, services, people, processes,
and environment that meets or exceeds expectations” (Ulya, 2004, p.10).
2.1.2. Kualitas di Sektor Pelayanan Publik
Parasuraman di dalam Kotler (2000) menyampaikan dimensi kualitas jasa terdiri
dari:
a. Reliability (Keandalan), merupakan kemampuan untuk melakukan pelayanan
sesuai dengan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
b. Responsiveness (Ketanggapan), merupakan kemauan untuk menolong
pelanggan dan kesediaan untuk melayani pelanggan dengan baik.
c. Assurance (Jaminan), merupakan pengetahuan, kesopanan dan kepercayaan
diri petugas serta sifat yang dapat dipercaya.
d. Emphaty (Empati), merupakan rasa peduli untuk memberikan perhatian
secara individual kepada pelanggan.
e. Tangible (Bukti langung), merupakan meliputi fasilitas fisik, perlengkapan
karyawan dan sarana komunikasi.
Namun, Caster (1995) dalam bukunya Quality in Public Services –
Managers’Choices mengemukakan pendapat bahwa kualitas dalam pelayanan
publik bukanlah hal yang mudah. Layanan jasa/servis tidak seperti barang
manufaktur, dimana definisi kualitas proses relatif mudah, yang melibatkan
transaksi individu dan mempunyai standar baku, sementara layanan jasa/servis
yang paling rutin sekalipun akan sangat berbeda. Sementara, kualitas dalam
pelayanan publik melekat pada layanan itu sendiri. Kritik terhadap pelayanan
publik di masa lalu yang terlalu menitikberatkan pada penanganan individu yang
menganggap seolah-olah pelayanan jasa/servis merupakan bagian mesin pada
sabuk ban berjalan.
26. 10
Universitas Indonesia
Lebih lanjut, Caster (1995) menyampaikan layanan jasa/servis berbeda dengan
barang, dan pelayanan publik berbeda dari layanan jasa/servis yang disediakan
oleh swasta yang mengutamakan keuntungan dan pangsa pasar (dan akuntabilitas
kepada pemegang saham). Pelayanan publik tidak hanya berhubungan dengan
konsumen secara langsung, akan tetapi dengan seluruh masyarakat pengguna.
Definisi kualitas pelayanan publik harus memperhatikan perbedaan ini. Caster
(1995) mengemukakan 4 (empat) poin untuk membahas definisi kualitas pada
pelayanan publik berupa :
a. Dimensi kualitas dapat didefinisikan dalam tiga cara, dimensi technical (apa),
dimensi the-non technical (bagaimana) dan dimensi environmental (di mana).
Sebagian besar karakteristik kualitas dapat dianalisis dengan dimensi ini yang
berlaku untuk proses kualitas seluruh produksi layanan, dari input sampai ke
outcome.
b. Gagasan bahwa kualitas berkaitan erat dengan kepuasan menjadi sangat
penting, akan tetapi tetap memiliki keterbatasan. Pengakuan bahwa terdapat
kesenjangan antara harapan, persepsi atau pengalaman dengan kenyataan
telah membangun tiga dimensi kualitas, ditafsirkan dan, akhirnya,
dilaksanakan.
c. Untuk menjembatani kesenjangan (gap) dan sebagian sifat pelayanan publik,
terdapat kebutuhan untuk melaksanakan dialog dan negosiasi antara pihak-
pihak penyedia pelayanan publik dengan pelanggan dan masyarakat secara
luas. Hal ini memperlihatkan adanya ‘perdagangan’ antara karakteristik
kualitas, serta perbedaan antara standar kualitas yang ideal dan realistis.
Pengambilan keputusan pada organisasi pelayanan publik yang demokratis
dan partisipatif atas bagaimana kualitas layanan didefinisikan menjadi
memiliki legitimasi yang lebih besar serta memiliki kepemilikan dan
komitmen.
d. Meskipun tidak ada batasan tertentu antara kualitas layanan jasa/servis dan
karakteristik lain seperti keadilan, efisiensi atau biaya, sangat disarankan
bahwa faktor-faktor ini dipisahkan dari gagasan kualitas.
Hal ini untuk menghindari definisi kualitas menjadi sangat luas. Sebagian lagi
karena karakteristik tersebut dapat saling melengkapi dan saling tergantung,
27. 11
Universitas Indonesia
atau berdiri sendiri tanpa tergantung satu dengan lainnya. Karakteristik yang
berbasis pada nilai yang berbeda akan menghasilkan kebijakan dan
membutuhkan tindakan program yang berbeda pula.
Eicher (2001) lebih lanjut mengatakan bahwa kualitas dalam organisasi pelayanan
publik harus mempertimbangkan sejumlah fitur khas. Setiap organisasi pelayanan
publik memiliki misi yang unik dan harus mendefinisikan kebutuhan yang
berbeda dari berbagai pemangku kepentingan termasuk pelanggan, pemerintah
pusat dan daerah, partai politik, dan organisasi lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Namun, perbedaan ini tidak berarti bahwa esensi dari praktek manajemen
yang baik, seperti ISO 9001:2000, tidak bisa diterapkan pada sektor pelayanan
publik (To, Lee dan Yu, 2011).
Swiss dan James (1992) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan;
pertama dan yang terpenting adalah pelanggan adalah penentu akhir dari kualitas;
kedua, kualitas harus dibangun ke dalam produk awal dalam proses produksi
(hulu) bukannya ditambahkan pada di akhir (hilir); ketiga, mencegah variabilitas
adalah kunci untuk menghasilkan kualitas tinggi; keempat, kualitas dihasilkan dari
pegawai yang bekerja dalam sistem; kelima, kualitas membutuhkan perbaikan
terus-menerus dari input dan proses; keenam, peningkatan kualitas membutuhkan
partisipasi pegawai yang kuat; dan ketujuh, kualitas membutuhkan komitmen total
organisasi.
2.2. Internasional Standard Organization seri (ISO) 9000
2.2.1. Pengertian ISO 9001:2008
Standar ISO 9000 pertama kali diperkenalkan pada tahun 1987 oleh organisasi
internasional untuk standardisasi, yang berbasis di Genewa, Swiss. ISO 9000
adalah bagian dari seri standar yang mendefinisikan prinsip-prinsip manajemen
mutu, mencantumkan persyaratan sertifikasi, dan memberikan pedoman tentang
bagaimana membangun sistem untuk mengelola prosedur, proses kualitas dan
produk atau jasa. ISO 9000 menyajikan dasar yang kuat untuk memastikan
kualitas produk dan jasa bagi pelanggan serta proses yang menciptakan mereka
28. 12
Universitas Indonesia
(Najmi dan Kehoe, 2001; Heras et al., 2002 dan Abraham, 2000 dalam Magd dan
Curry, 2003; To, Lee dan Yu, 2011).
Standar ISO 9000 didasarkan pada konsep bahwa karakteristik minimum tertentu
dari sistem manajemen mutu yang digunakan sebagai standar, memberikan
keuntungan bagi pemasok dan pelanggan, dan fokus pada proses dari kualitas
produk. Tujuan dari standar ini adalah untuk memberikan sistem mutu yang
efektif mencerminkan praktek-praktek perusahaan untuk memproduksi barang dan
jasa yang sesuai dengan kebutuhan. Memfasilitasi perdagangan global dan
meningkatkan efektivitas dari organisasi serta meningkatkan kualitas pelayanan
umum, dari perspektif pelanggan eksternal dan internal (Van der Wiele et al.,
2000 dan Halis dan Oztas, 2001 dalam Magd dan Curry, 2003; To, Lee dan Yu,
2011).
Untuk dapat bertahan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, adopsi sistem
manajemen mutu berdasarkan pada model ISO 9001/2/3: 1994 yang bertujuan
untuk mencapai kepuasan pelanggan dengan mencegah ketidaksesuaian, tidak
cukup. Sebaliknya, sistem yang lebih proaktif, yang didorong oleh kepuasan
pelanggan, harus diperkenalkan. Oleh karena itu, Organisasi Internasional untuk
Standardisasi (ISO) menerbitkan seri baru standar ISO 9000 pada tanggal 15
Desember 2000 (ISO 2000) sebagai ISO 9000:2000 (Oztas dan Ulusay, 2000; Ho,
2001).
Dalam perjalanannya, seri standar ISO 9000 telah mengalami revisi sebanyak 3
(tiga) kali dalam dua dekade terakhir. Pertama pada tahun 1994, kemudian revisi
dengan perubahan besar pada tahun 2000 dan terakhir sekali dengan revisi minor
pada tahun 2008. Revisi kedua standar ISO 9000 diluncurkan pada akhir tahun
2000 dalam upaya untuk menyelaraskan semua standar dan menghapus bias
manufaktur dari ISO 9000:1994. ISO 9000:2000 didasarkan pada prinsip
manajemen delapan kualitas yang mencerminkan praktek manajemen terbaik (To,
Lee dan Yu, 2011; Cargill, 2001; Russell, 2000 dan Beckford, 2002 dalam Magd
dan Curry, 2003).
29. 13
Universitas Indonesia
Standar yang direvisi telah dikembangkan menggunakan struktur-proses dengan
basis yang lebih sederhana dan terdiri dari 20 elemen ISO 9001:1994. Standar
revisi difokuskan pada tanggung jawab manajemen, manajemen sumber daya,
realisasi produk dan pengukuran, analisis dan perbaikan (Zuckerman, 2001;
McAdam dan Fulton, 2002 dalam Magd dan Curry, 2003).
ISO 9001: 2000 (dan 2008), dimaksudkan untuk lebih terlihat struktural dan
mudah digunakan dan memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama,
menekankan orientasi proses dan mengadopsi serta membangun dengan baik
pendekatan manajemen, yaitu berupa – plan – do – check – act – model, untuk
terus menerus meningkatkan kinerja sistem. Kedua, menitikberatkan pentingnya
delapan prinsip-prinsip manajemen mutu. Menggunakan empat blok dari
tanggung jawab manajemen, manajemen sumber daya, manajemen proses,
pengukuran, analisis dan perbaikan (To, Lee dan Yu, 2011; Ho, 2001 dalam Magd
dan Curry, 2003).
Mengenai efektivitas ISO 9001:2000, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
adopsi berhubungan secara positif dengan kinerja dalam organisasi yang diteliti.
Oleh karena itu, sebagian peneliti berpendapat bahwa hanya dengan mengadopsi
dan mempertahankan sertifikasi ISO 9001:2000/2008 saja tidak cukup. Organisasi
pelayanan publik harus mempertimbangkan ISO 9001:2000/2008 sebagai praktek
manajemen strategis yang dapat mencapai kinerja organisasi yang unggul.
Semakin banyak sumber daya dan komitmen organisasi publik yang ditujukan
untuk menerapkan prinsip-prinsip ISO 9001:2000/2008 maka kinerja yang lebih
baik dapat dicapai (To, Lee dan Yu, 2011).
2.2.2. Prinsip-prinsip Manajemen Kualitas Berdasarkan ISO 9001:2008
Gaspersz (2001) menjelaskan delapan prinsip manajemen kualitas dalam ISO
9001:2000 yang digunakan oleh manajemen sebagai suatu kerangka kerja
(framework) yang akan membawa organisasi menuju peningkatan kinerja.
Prinsip-prinsip ini diturunkan dari pengalaman kolektif dan pengetahuan dari para
ahli internasional yang berpartisipasi dalam komite teknik ISO/TC 176, yang
30. 14
Universitas Indonesia
bertanggungjawab untuk mengembangkan dan mempertahankan standar-standar
ISO 9000.
Gaspersz (2001) menerangkan delapan prinsip manajemen kualitas yang
tercantum dalam ISO 9000:2000 dan dalam ISO 9004:2000 berupa:
· Prinsip pertama fokus pada pelanggan, organisasi tergantung pada pelanggan
mereka. Oleh karena itu manajemen harus memahami, memenuhi dan
melebihi kebutuhan dan ekspektasi pelanggan sekarang dan akan datang.
· Prinsip kedua kepemimpinan, pemimpin menetapkan kesatuan tujuan dan
arah dari organisasi. Mereka harus menciptakan dan memelihara lingkungan
internal agar pegawai terlibat secara penuh dalam mencapai tujuan organisasi.
· Prinsip ketiga keterlibatan pegawai, pegawai pada semua tingkatan
merupakan faktor yang sangat penting dari suatu organisasi dan keterlibatan
pegawai secara penuh akan memungkinkan kemampuannya digunakan untuk
manfaat organisasi.
· Prinsip keempat pendekatan proses, suatu hasil yang diinginkan akan tercapai
secara lebih efisien apabila aktivitas dan sumber-sumber daya yang berkaitan
dikelola sebagai suatu proses. Proses didefinisikan sebagai integrasi
sekuensial dari pegawai, material, metode, mesin dan peralatan dalam suatu
lingkungan guna menghasilkan nilai tambah bagi pelanggan. Suatu proses
mengkonversi input terukur ke dalam output terukur melalui sejumlah
langkah sekuensial yang terorganisasi.
· Prinsip kelima pendekatan sistem terhadap manajemen, pengidentifikasian,
pemahaman dan pengelolaan dari proses-proses yang saling berkaitan sebagai
suatu sistem akan memberikan kontribusi pada efektifitas dan efisiensi
organisasi dalam mencapai tujuannya.
· Prinsip ke enam peningkatan terus-menerus, peningkatan terus-menerus
didefinisikan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya terus-menerus
meningkatkan efektifitas dan/atau efisiensi organisasi untuk memenuhi
kebijakan dan tujuan dari organisasi. Peningkatan terus-menerus
membutuhkan langkah-langkah konsolidasi yang progresif, menanggapi
31. 15
Universitas Indonesia
perkembangan kebutuhan dan ekpektasi pelanggan dan akan menjamin suatu
evolusi dinamik dari sistem manajemen kulitas.
· Prinsip ketujuh pendekatan faktual dalam pembuatan keputusan, keputusan
yang efektif adalah yang berdasarkan pada analisis data dan informasi untuk
menghilangkan akar penyebab masalah. Sehingga masalah-masalah kualitas
dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Keputusan manajemen
organisasi, seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kinerja organisasi dan
efektivitas implementasi sistem manajemen kualitas.
· Prinsip kedelapan hubungan pemasok yang saling menguntungkan, suatu
organisasi dan pemasoknya adalah saling tergantung saling menguntungkan
yang akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan nilai
tambah.
2.2.3. Persyaratan Standar dari Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001:2008
Gambar 2.2. Model Penerapan ISO 9001:2008
Sumber: www.isosh.com
Gambar 2.2 diatas melukiskan konseptual persyaratan ISO 9001:2008 yang
bersifat umum dan kemudian dirinci dalam internasional standar sebagai “model
32. 16
Universitas Indonesia
process”. Model ini merefleksikan integrasi dari 4 elemen utama yaitu klausul 5,
6, 7 dan 8.
2.2.4. Manfaat Penerapan Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001:2008
Jones et al (1997) dalam Magd dan Curry (2003) mengidentifikasi tiga alasan
untuk sertifikasi ISO:
a. Developmental (keinginan untuk memperbaiki proses internal perusahaan,
keinginan untuk meningkatkan kinerja kompetitif secara keseluruhan di
organisasi).
b. Non-developmental (kebutuhan pelanggan utama, keinginan untuk tidak
menjadi tertinggal dari proses tender atau pasar di masa yang akan datang,
realisasi bahwa hal tersebut semakin menjadi kebutuhan bisnis, pemasaran
dan alat publik relasi), dan
c. Alasan campuran (merupakan kombinasi dari alasan developmental dan non-
developmental).
Gaspersz (2001) juga mengemukakan beberapa manfaat yang telah diperoleh
perusahaan dengan menerapkan ISO 9001:2000 sebagai berikut:
· Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan kualitas
yang terorganisasi dan sistemik.
· Perusahaan yang telah tersertifikasi ISO 9001:2000 diizinkan untuk
mengiklankan pada media massa bahwa sistem manajemen kualitas dari
perusahaan itu telah diakui secara internasional. Hal ini berarti meningkatkan
citra perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar global.
· Audit sistem manajemen kualitas dari perusahaan yang telah sertifikasi ISO
9001:2000 dilakukan secara periodik sehingga pelanggan tidak perlu
melakukan audit sistem kualitas. Hal ini menghemat biaya dan mengurangi
duplikasi audit sistem kualitas oleh pelanggan.
· Perusahaan yang telah memperoleh ISO 9001:2000 secara otomoatis terdaftar
di lembaga registrasi, sehingga apabila pelanggan potensial ingin mencari
pemasok yang memiliki sertifikat ISO 9001:2000 akan menghubungi
lembaga registrasi, maka hal itu berarti terbuka kesempatan pasar baru.
33. 17
Universitas Indonesia
· Meningkatkan kualitas dan produktifitas dari manajemen melalui kerjasama
dan komunikasi yang lebih baik, sistem pengendalian yang konsisten, serta
pengurangan dan pencegahan pemborosan karena operasi internal menjadi
lebih baik.
· Meningkatkan kesadaran kualitas dalam perusahaan.
· Memberikan pelatihan secara sistematik kepada seluruh pegawai dan manajer
organisasi yang terdefinisi secara baik.
· Terjadi perubahan positif dalam hal kultur kualitas dari anggota organisasi,
karena manajemen dan pegawai terdorong untuk mempertahankan sertifikasi
ISO 9001: 2000.
To, Lee dan Yu (2011) menginformasikan bahwa Dr Lawrence Eicher - Sekretaris
Jenderal ISO - mengindikasikan empat faktor yang mendorong minat organisasi
dalam menerapkan ISO 9001:2000 di sektor publik:
a. Pengenalan terhadap tender yang kompetitif bagi kontrak pengadaan telah
dihasilkan dari layanan ini.
b. Bagi pelayanan publik, menjadi semakin dituntut dan semakin cerdas tentang
arti kualitas layanan.
c. Penekanan dalam manajemen sektor publik telah bergeser dari lembaga
tradisional yang menentukan prioritsnya sendiri dibandingkan dengan
pendekatan yang berfokus pada pelanggan, dan.
d. Pengembangan umum dari manajemen mutu di sektor manufaktur dan jasa
swasta berarti bahwa pelayanan yang disediakan sektor publik tidak bisa
menjauhkan diri dari gerakan kualitas.
Umumnya organisasi yang menerapkan standar ISO 9000, mencapai peningkatan
kualitas dan efisiensi, meningkatkan komunikasi, keunggulan kompetitif,
peningkatan pangsa pasar, mengurangi biaya dan prosedur saham yang lebih
tinggi (Najmi dan Kehoe, 2001 dalam Magd dan Curry, 2003). Namun, alasan
yang paling penting untuk mendapatkan sertifikasi ISO 9000 adalah dari pihak
eksternal, yaitu, perusahaan mencoba untuk melakukannya baik karena tuntutan
dari mitra dan pemasok atau sebagai alat marketing (Rayner dan Porter, 1991;
Askey dan Dale, 1994; Vloeberghs dan Bellens, 1996; Ebrahimpour et al., 1997;
34. 18
Universitas Indonesia
Brown et al., 1998; Anderson et al., 1999; Casadesus et al., 1999; Hughes et al.,
2000; Martinez Fuentes et al., 2000; Withers dan Ebrahimpour, 2000 dalam
Martinez -Lorente dan Martinez-Costa, 2004).
2.3. ISO 9000 dan TQM
Lee dan Palmer (1999) mengemukakan, TQM dan ISO 9000 merupakan
pendekatan kualitas yang paling lazim. Seri standar ISO 9000 merupakan sistem
formal untuk mengevaluasi kemampuan organisasi untuk secara konsisten
merancang, memproduksi dan memberikan produk dan layanan yang berkualitas.
Manajemen kualitas total (TQM) dipandang sebagai konsep yang relatif baru dan
cara bagi organisasi untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan mereka,
akan tetapi mungkin juga menjadi kunci untuk kelangsungan hidup dan mencapai
keunggulan kompetitif dalam lingkungan ketidakpastian yang dihadapi dunia
bisnis saat ini. Namun, terdapat beberapa pandangan dalam literatur mengenai
keduanya, ISO 9000 dan TQM dapat melengkapi atau bertentangan satu sama lain
(Magd dan Curry, 2003).
Beberapa peneliti menguji konsep ISO 9000 dan konsep TQM pada khususnya,
sementara yang lain melihat ISO 9000 sebagai ritual dari TQM yang tidak harus
dipisahkan. Dalam memeriksa ISO 9000 dan TQM, Laszlo (1996) menekankan
bahwa ISO 9000 dan TQM adalah pendekatan yang sama sekali berbeda.
Penerapan ISO 9000 diasosiasikan terkait dengan lini pegawai, sedangkan TQM
lebih berhubungan dengan manajemen puncak (Magd dan Curry, 2003).
Selain itu, fokus dari ISO 9000 adalah pada membuktikan kepatuhan terhadap
standar dan memperoleh sertifikasi, sedangkan TQM berfokus pada perbaikan
terus-menerus dan mencapai dan mempertahankan kepuasan pelanggan.
Selanjutnya, Yung (1997) mengklaim bahwa konsep TQM lebih luas dan lebih
dalam dari ISO 9000. TQM diidentifikasi digunakan internal organisasi dan
cenderung digunakan untuk melampaui kepuasan pelanggan, sedangkan ISO 9000
hanya untuk kebutuhan penilaian eksternal dalam rangka mencapai kepuasan
pelanggan. Untuk melanjutkan pemeriksaan yang efektif dari ISO 9000 dan TQM,
penting untuk membandingkan pendekatan proses/sistem penilaian ISO 9000;
35. 19
Universitas Indonesia
panduan jaminan kualitas, pelatihan, dokumentasi, dan audit pendaftaran (Magd
dan Curry, 2003).
Dilain pihak, sejumlah peneliti mempercayai bahwa ISO 9001:2000 lebih dekat
dengan konsep TQM seperti Malcolm Baldrige atau penghargaan kualitas
nasional lainnya. Hal ini didukung dengan studi yang telah dilakukan Tamini dan
Sebastianelli (1998) yang meyakini bahwa ISO 9001:2008 mendekati konsep
TQM (Amar dan Zain, 2002).
Studi McNary (1997) menunjukkan bahwa beberapa komponen dari sistem seri
ISO 9000 bekerja bersama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan
konsistensi sebagaimana yang hendak dicapai dengan sertifikasi ISO-nya. Dan
studi Magd dan Curry (2003) menyimpulkan, bahwa apabila organisasi hendak
mempertahankan keunggulan kompetitifnya dan meningkatkan kualitas dari
sistem yang dibangun, maka direkomendasikan untuk menerapkan ISO 9000
sebagai dasar untuk mengembangkan TQM. Kedua sistem tersebut apabila
diimplemetasikan akan membimbing organisasi mencapai keberhasilan dan
mendapatkan keunggulan kompetitif-nya. Kedua pendekatan sistem kualitas
tersebut saling melengkapi satu dengan lainnya.
Terkait TQM, sistem Deming (1993) memberikan pengetahuan mendalam atas
peta baru teori yang oleh Wich digunakan untuk memahami dan mengoptimalkan
organisasi dimana kita bekerja, dan dengan demikian memberikan kontribusi ke
seluruh negeri. Sistem ini memiliki empat bidang yang memberikan pemahaman
yang saling terkait. Hal itu adalah pengetahuan tentang sistem, pengetahuan
tentang variasi, teori pengetahuan, dan pengetahuan tentang psikologi. Menurut
McNary (1997), berdasarkan uraian proses ISO 9000 dan sistem Deming, jelas
bahwa komponen proses ISO 9000 bekerja sama untuk saling mendukung untuk
mencapai keteguhan tujuan sertifikasi. Hal ini pada gilirannya memungkinkan
organisasi untuk mendapatkan pengetahuan tentang sistem, yang membentuk
dasar bagi sistem pengetahuan yang mendalam (Magd dan Curry, 2003).
Standar revisi ISO 9000 adalah satu langkah maju menuju TQM, kepuasan
pelanggan tidak hanya mencapai jaminan kualitas produk. Namun, McAdam dan
36. 20
Universitas Indonesia
Jackson (2002), Lau et al (1999), McAdam dan McKeown (1999), Corigan (1994)
dan Henkoff (1993) menyimpulkan bahwa ISO 9000 dan TQM harus melengkapi
satu sama lain untuk mencapai tujuan dari organisasi (Magd dan Curry, 2003).
Arora (1996) menggambarkan ISO 9000 sebagai pilar dalam pendekatan
perusahaan untuk TQM karena elemen penting seperti pelatihan, pengendalian
proses statistik (SPQ) dan komitmen manajemen. Dia menambahkan bahwa ISO
9000 adalah bagian penting dari TQM.
Untuk mendukung klaim mereka, Lai (1996) menyebutkan bahwa TQM adalah
sebuah pendekatan untuk kualitas yang melampaui ISO 9000. Lai menambahkan
bahwa ISO 9000 dan TQM adalah juga alternatif yang berbeda satu sama lain, dan
tidak saling bertentangan. ISO 9000 membangun fondasi yang kuat untuk
lingkungan TQM, menekankan kebutuhan pelanggan, keterlibatan karyawan, dan
melakukan perbaikan terus menerus (Magd dan Curry, 2003).
McAdam dan McKeown (1999) menemukan mayoritas organisasi dalam
penelitian mereka berkembang dari ISO untuk TQM dan ISO dianggap menjadi
langkah penting menuju perjalanan TQM. Bahkan, perusahaan yang ingin tetap
kompetitif dan meningkatkan sistem mutu, merekomendasikan penggunaan ISO
9000 sebagai dasar untuk sistem yang jauh lebih luas dari TQM. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa ISO 9000 merupakan bagian penting dari
TQM, dan penerapan kedua pendekatan bersama-sama akan menyebabkan
keberhasilan organisasi dan keunggulan kompetitif. Jelas bahwa kedua
pendekatan cenderung saling melengkapi. Menurut Bohlen (2003), ISO 9000
dapat diimplementasikan pertama untuk menciptakan konsistensi stabilitas dalam
pekerjaan organisasi, kemudian dapat menerapkan TQM untuk meningkatkan
motivasi karyawan dan efisiensi operasional, dan mencapai keberhasilan
organisasi secara keseluruhan dan kinerja (Magd dan Curry, 2003).
Martinez-Lorente dan Martinez-Costa (2004) mengemukakan dalam penelitiannya
terdapat sekelompok kecil peneliti telah menyelesaikan efek gabungan dari TQM
dan ISO 9000 dan mereka setuju dalam menunjukkan bahwa implementasi TQM
mengarah ke hasil yang lebih baik dalam aspek-aspek dari sertifikasi ISO 9000
37. 21
Universitas Indonesia
(Terziovski et al., 1997). Namun, salah satu manfaat yang timbul dari standar
adalah bahwa hal itu merupakan langkah pertama yang baik menuju sistem TQM,
menciptakan kesadaran tentang kualitas antara pekerja dan iklim yang baik untuk
menerapkannya (Taylor, 1995; Tummala dan Tang, 1996; Baena Lopez, 1998;
Skrabec, 1999; Sun, 2000; Escanciano et al., 2001).
Bahkan ada kelompok lain dari peneliti yang menegaskan bahwa sertifikasi ISO
9000 memiliki dampak yang lebih dari pada menerapkan sistem TQM (Brecka,
1994; Meegan dan Taylor, 1997; Huang et al., 1999; Hughes et al., 2000; Sun,
2000; Gotzamanis dan Tsiotras, 2002 dalam Martinez - Lorente dan Martinez –
Costa, 2004). Akhirnya Martinez - Lorente dan Martinez - Costa (2004)
berpendapat bahwa sertifikasi ISO 9000:1994 termasuk dalam elemen deskripsi
yang bisa setara dengan prinsip-prinsip TQM.
Kedua sistem memiliki elemen umum yang sama. Ini adalah alasan mengapa
banyak peneliti menganggap ISO 9000 sebagai langkah pertama menuju TQM
(Taylor, 1995; Tummala dan Tang, 1996; Baena Lopez, 1998; Skrabec , 1999;
Sun, 2000; Escanciano et al., 2001 dalam Martinez - Lorente dan Martinez –
Costa, 2004). Beberapa elemen umum yang dikemukakan oleh Martinez - Lorente
dan Martinez – Costa (2004) adalah:
a. Manajemen arus proses ISO 9000 pada dasarnya adalah daftar norma-norma
tentang bagaimana mengelola proses (Lee et al., 1999). Sebuah aplikasi yang
baik dari ISO 9000 dapat menyebabkan proses lebih terkontrol, meskipun
pengendalian proses statistik bukan merupakan prasyarat dari ISO.
b. Informasi dan pengumpulan data. Kedua model menyiratkan memperoleh
data tentang kualitas. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa ISO 9000
tidak memerlukan analisis data dan TQM hanya membutuhkan pengumpulan
data jika tujuannya menganalisis dan menggunakan hasilnya untuk
meningkatkan kualitas (Tummala dan Tang, 1996; Lee at al., 1999;
Gotzamanis dan Tsiotras, 2001).
c. Penggunaan alat statistik ISO 9000 mencakup persyaratan ini (klausul 4.20)
tetapi perusahaan mungkin mendapatkan sertifikasi tanpa menerapkan dan
alat statistik (Lee et al., 1999).
38. 22
Universitas Indonesia
d. Dapat diterima bahwa sebuah perusahaan sertifikat ISO 9000 mungkin telah
menjadi bagian dari cara untuk mencapai TQM. Namun, itu hanya bagian
pertama dari perjalanan dan bukan akhir. Karena itu terdapat persyaratan
TQM yang ISO 9000 tidak dapat memenuhinya (Martinez - Lorente dan
Martinez - Costa, 2004).
e. Perbaikan berkelanjutan. Ini adalah salah satu pilar TQM (Deming, 1982).
ISO 9000 memperkenalkan perbaikan hanya melalui pencegahan dan koreksi
ketidaksesuaian. Ini adalah fokus pasif, bertentangan dengan TQM pro - aktif
(Lee et al., 1999; Scheuerman, 1999).
f. Fokus pelanggan. ISO 9000 hanya membutuhkan penerapan satu set prosedur
yang difokuskan pada pemenuhan desain spesifikasi. Pelanggan adalah raja
dalam lingkungan TQM. Semuanya dilakukan untuk mencoba mendapatkan
kepuasan pelanggan (Lee et al., 1999).
g. Pengembangan pegawai dan partisipasi. ISO 9000 tidak memberikan
kepentingan khusus untuk hal ini (Tummala dan Tang, 1996; Gotzamani dan
Tsiotras, 2001).
Dalam penelitiannya, Martinez - Lorente dan Martinez – Costa (2004) juga
mengemukakan unsur-unsur ISO 9000 yang berlawanan dengan TQM seperti:
a. Exsessive birokrasi, birokrasi ini dapat mengakibatkan demotivasi dan
kegelisahan di kalangan karyawan.
b. Kurangnya fleksibilitas (Gotzamani dan Tsiotras, 2001); pelaksanaan yang
benar dari norma dapat menghambat perubahan penting dari proses bertujuan
untuk perbaikan terus-menerus.
c. ISO 9000 dapat memaksa perusahaan untuk membuat kontrol pada produk
yang diterima dari pemasok ketika TQM melakukan kontrol dan set up dari
hubungan dengan pemasok berdasarkan saling percaya.
d. ISO 9000 dapat memaksa perusahaan untuk membuat kontrol yang
berlebihan untuk produk antara dan akhir. Penekanan TQM pada pencegahan
dan tidak inspeksi, bagaimanapun, ISO 9000 memberikan pentingnya
pemeriksaan (Tummala dan Tang, 1996).
39. 23
Universitas Indonesia
Sebagian besar dari mereka setuju dalam menyatakan bahwa dimensi yang paling
berpengaruh adalah seperti yang diungkapkan oleh Powell (1995) yang
menyatakan sebagai intangible, faktor perilaku seperti kepemimpinan,
keterampilan dan budaya organisasional, komitmen eksekutif, organisasi terbuka
dan pemberdayaan. Dow et al (1999) mencapai kesimpulan yang sama. Mereka
menemukan bahwa hanya tiga dimensi TQM - komitmen pegawai, visi bersama
dan fokus pelanggan - memiliki hubungan positif dengan kualitas produk.
Anderson dan sohal (1999) menemukan bahwa dimensi TQM yang paling penting
adalah kepemimpinan dan fokus pelanggan. Samson dan Terziovski (1999)
mengidentifikasi sebagai yang paling penting adalah variabel kepemimpinan,
manajemen tenaga kerja dan fokus pelanggan (Martinez-Lorente dan Martinez-
Costa, 2004).
2.4. Manajemen Kualitas Total (TQM)
2.4.1. Definisi TQM
Meskipun istilah TQM telah digunakan secara luas, istilah lain juga digunakan
untuk menyatakan sesuatu – perhatian fokus pelanggan untuk terus meningkatkan
kualitas dan melibatkan seluruh organisasi dalam upaya ini (Leitch dan John,
1993). Jeffries et al. (1996) mendefinisikan TQM sebagai cara yang komprehensif
dan terpadu dalam pengelolaan organisasi dalam rangka memenuhi kebutuhan
pelanggan secara konsisten dan mencapai perbaikan terus-menerus dalam setiap
aspek kegiatan organisasi. Ho (1999) mendefinisikan, TQM mensyaratkan bahwa
setiap orang dalam organisasi, termasuk pelanggan dan pemasok, terlibat dalam
perbaikan terus-menerus untuk tujuan memenuhi ekspektasi pelanggan dan
sebuah persyaratan yang tersirat dengan komitmen penuh dari manajemen puncak.
Hal ini menjadi jelas bahwa TQM adalah filosofi manajemen yang fokus pada
pelanggan yang bertujuan perbaikan terus-menerus dari proses dan manajemen
organisasi melalui kendali statistik, desain prosedur, penyebaran kebijakan dan
teknik manajemen sumber daya manusia (Au dan Choi, 1999 dalam Magd dan
Curry, 2003).
40. 24
Universitas Indonesia
Oakland (1993) dalam Magd dan Curry (2003) memperluas definisi tentang TQM
sebagai:
"... pada dasarnya merupakan cara perencanaan, pengorganisasian dan
memahami setiap kegiatan organisasi dan tergantung pada masing-masing
individu pada setiap tingkat. Bagi sebuah organisasi untuk menjadi benar-benar
efektif, setiap bagian harus bekerja sama menuju tujuan yang sama, mengakui
bahwa setiap orang dan setiap kegiatan mempengaruhi dan pada gilirannya
dipengaruhi oleh orang lain"
W.E. Deming, menegaskan bahwa kualitas dimulai dari manajemen puncak dan
merupakan kegiatan yang strategis, filosofi dasar Deming adalah bahwa kualitas
dan meningkatnya produktivitas sebagai 'proses variabilitas' (ketidakpastian
proses) yang menurun. Dalam 14 kuncinya untuk kualitas perbaikan, Deming
menekankan perlunya metode kendali statistik, partisipasi, pendidikan,
keterbukaan dan perbaikan tujuan. Deming, menawarkan 14 kunci untuk
memandu transformasi organisasi untuk menuju kualitas total. 14 kunci tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan keteguhan tujuan untuk perbaikan produk dan jasa (Create
constancy of purpose for the improvement of product and services).
2. Mengadopsi filosofi baru (Adopt the new philosophy).
3. Menghentikan ketergantungan pada inspeksi massa (Cease dependence on
mass inspection).
4. Mengakhiri praktek menghargai bisnis hanya pada harga saja (End the
practice of awarding business on prace tag alone).
5. Terus-menerus meningkatkan sistem produksi dan jasa (Improve constantly
and forever the the system of production and service).
6. Melembagakan program pelatihan (Institute training and retraining).
7. Melembagakan kepemimpinan (Institute leadership).
8. Mengusir rasa takut (Drive out fear).
9. Meruntuhkan penghalang diantara staf (Break down barriers between staff
area).
10. Menghilangkan slogan, desakan dan target untuk angkatan kerja (Eliminate
slogans, exhortations, and targets for the workforce).
41. 25
Universitas Indonesia
11. Menghilangkan numerik kuota (Eliminate numerical quotas).
12. Menghilangkan hambatan untuk kebanggaan pengerjaan (Remove barriers to
pride of workmanship).
13. Lembaga program yang kuat pendidikan dan pelatihan kembali (Institute a
vigorous program of education and retraining).
14. Keterlibatan semua orang bekerja untuk mencapai tujuan (Take action to
accomplish the transformation) (Slack et al., 2007; Reeg, 1992; Walton,
1986).
Salah satu aspek yang paling kuat muncul dari TQM adalah konsep internal
pelanggan dan pemasok dalam negeri. Ini adalah pengakuan bahwa setiap orang
adalah pelanggan dalam organisasi dan mengkonsumsi barang atau jasa yang
disediakan oleh pemasok internal lainnya, dan semua orang juga merupakan
pemasok internal barang dan jasa bagi pelanggan internal lainnya. Implikasi dari
hal ini adalah bahwa kesalahan dalam pelayanan yang diberikan dalam suatu
organisasi akan mempengaruhi produk atau jasa yang mencapai pelanggan
eksternal. Jadi, salah satu cara terbaik untuk memastikan bahwa pelanggan
eksternal puas adalah untuk membangun gagasan bahwa setiap bagian dari
organisasi memberikan kontribusi untuk kepuasan pelanggan eksternal dengan
memenuhi sendiri pelanggan internal. TQM menggunakan konsep ini dengan
menekankan bahwa setiap proses dalam operasi memiliki tanggung jawab untuk
mengelola hubungan pelanggan - pemasok intern ini. Mereka melakukan ini
terutama dengan mendefinisikan sejelas mungkin apa yang mereka sendiri dan
kebutuhan pelanggan mereka berada. Dalam efek ini berarti mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan 'bebas dari kesalahan' layanan - kualitas, kecepatan,
kehandalan dan fleksibilitas yang dibutuhkan oleh pelanggan internal. Latihan
ulangan apa harus terjadi untuk seluruh operasi dan pelanggan eksternal (Slack et
al., 2007).
TQM memberikan konsep keseluruhan yang mendorong perbaikan terus-menerus
dalam suatu organisasi. Filosofi TQM menekankan perspektif yang luas yang
sistematis, terpadu, konsisten, organisasi yang melibatkan semua orang dan segala
sesuatu. Berfokus terutama pada kepuasan total bagi pelanggan internal dan
42. 26
Universitas Indonesia
eksternal dalam lingkungan manajemen yang berusaha melakukan perbaikan
terus-menerus dari semua sistem dan proses (Ho, 2001 dalam Magd dan Curry,
2003).
Beberapa penulis telah berusaha untuk mendefinisikan dimensi kunci yang
merupakan TQM termasuk: Ahire (1996), Dale et al. (1994) dan Flynn et al.
(1994). Baru-baru ini, Martines Lorente et al (2000) merasionalisasikan menjadi
delapan dimensi:
1. Top management support.
2. Workforce management.
3. Employees attitudes.
4. Employee behaviour.
5. Customer relationship.
6. Supplier relationship.
7. Product design process, and
8. Process flow management (Martinez-Lorente dan Martinez-Costa,
2004).
Lebih jauh Leitch dan John (1993) menyampaikan manfaat TQM dalam dua cara
(1) efek pada pelanggan eksternal yang tercermin dari kinerja organisasi secara
keseluruhan, dan (2) efek pada pelanggan internal tercermin dari kondisi operasi
internal. "Kinerja organisasi secara keseluruhan" didefinisikan sebagai kualitas,
produktivitas, ketepatan waktu, kepuasan pelanggan, layanan pelanggan, dan
biaya.
2.4.2. TQM di Sektor Pelayanan Publik
Penerapan TQM secara meluas akhirnya sampai ke organisasi pemerintah yang
merupakan sektor publik (Leitch, 1992). Pengembangan TQM di Amerika Serikat
bahkan telah disahkan oleh Presiden Bush, dengan pernyataan:
"Menegaskan kembali kepemimpinan kami akan memerlukan komitmen yang
kuat untuk manajemen kualitas total dan prinsip perbaikan terus-menerus ....
43. 27
Universitas Indonesia
prinsip-prinsip peningkatan kualitas berlaku ... ke sektor publik maupun
perusahaan swasta" (Carr dan Littman, 1992 dalam Swiss dan James, 1992).
Organisasi pemerintah menyadari bahwa penerapan TQM melalui peningkatan
kualitas merupakan cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas dan pelayanan
publik. Pelayanan publik yang memadai dalam anggaran terbatas selalu menjadi
perhatian pemerintah, perhatian untuk menemukan cara yang lebih baik untuk
meningkatkan produktivitas dan pelayanan publik juga telah tumbuh (Leitch,
1992; Leitch dan John, 1993).
Sebagai cara untuk meningkatkan kualitas dalam perencanaan dan evaluasi proses
kerja, gerakan menuju TQM masih relatif baru di sektor publik. Meskipun
beberapa telah mencobanya, hanya segelintir dari sekitar 80.000 organisasi
federal, negara, dan lembaga pemerintah lokal di Amerika Serikat telah berhasil
dalam menerapkan prinsip-prinsip TQM untuk menghilangkan pemborosan
sumber daya yang terbatas, memberdayakan karyawan, dan secara efektif
menangani pengaduan masyarakat tentang ketepatan waktu dan kualitas layanan
(Loomba dan Spencer, 1997).
TQM tetap jauh lebih sulit untuk diterapkan pada pelayanan publik, karena
pelayanan publik lebih padat karya, dan hasil layanan mereka sering diproduksi
dan dikonsumsi secara bersamaan. Hal ini membuat keseragaman output menjadi
lebih sulit, dan itu juga berarti bahwa pelanggan akan mengevaluasi layanan tidak
hanya pada hasil tetapi juga pada perilaku dan bahkan penampilan dari orang yang
menyampaikannya. Beberapa keterbatasan kegunaan TQM untuk lembaga sektor
publik adalah penekanan pada produk daripada layanan, pada kelompok
konsumen didefinisikan dengan baik, pada input dan proses daripada hasil (Swiss
dan James, 1992).
Lebih jauh, Swiss dan James (1992) mengemukakan alasan bahwa dalam bentuk
yang belum diubah atau bentuk klasik, TQM terlihat tidak cocok dengan
lingkungan pemerintah. Penggunaan TQM dalam pemerintahan memiliki
beberapa masalah besar, modifikasi cukup untuk pelayanan, ketidakpekaan dalam
mengidentifikasikan pelanggan pemerintah, penekanan yang berlebihan pada
44. 28
Universitas Indonesia
input dan proses, dan intensitas tuntutan manajemen tingkat atas yang jarang
dapat dipenuhi oleh budaya pemerintah. Swiss (1992) juga menyatakan bahwa
TQM tidak cocok dengan lingkungan pemerintah dan bahwa ia memerlukan
modifikasi jika ingin digunakan dalam pemerintahan. Swiss mengidentifikasi 4
(empat) masalah besar ketika berusaha untuk menerapkan TQM versi standar:
a. Mendefinisikan pelanggan pemerintah, isu-isu mengenai identifikasi
pelanggan, konflik jika tidak kontradiksi antara harapan pelanggan.
b. Jasa versus produk, Swiss percaya bahwa aplikasi TQM untuk layanan
bermasalah karena layanan lebih tenaga kerja itensive dan dapat tidak
memiliki keseragaman output, yang berarti bahwa pelanggan akan
mengevaluasi layanan tidak hanya pada hasil tetapi juga pada perilaku dan
bahkan penampilan orang yang menyampaikannya.
c. Berfokus pada input dan proses, dan TQM fokus pada proses akan
menyebabkan perpindahan tujuan dalam organisasi pelayanan pemerintah.
Dengan perpindahan tujuan ia berarti bahwa tujuan pelayanan organisasi akan
dapat digantikan oleh penekanan birokrasi dan menerapkan aturan-aturan
prosedural.
d. Budaya pemerintah, TQM harus dimulai dari bagian atas organisasi dan harus
mendapatkan dukungan penuh manajemen puncak serta partisipasi, Swiss
(1992) berpendapat bahwa atribut utama dari pemerintah adalah perpindahan
yang relatif tinggi di manajemen puncak membuat budaya "lemah" pada
sebagian besar bisnis dan, oleh karena itu, kurang memungkinkan untuk
mempertahankan keteguhan dari tujuan yang dipersyaratkan oleh TQM.
Untuk dapat berhasil diterapkan, penerapan TQM ke sektor publik memerlukan
adaptasi terlebih dahulu sebelum benar-benar dapat diterapkan.
a. Proses adaptasi diperlukan karena TQM secara umum diterapkan di dunia
industri manufacturing dan hampir seluruhnya diaplikasikan pada produksi
assembly line dan berbagai prosesnya. Jika penerapan TQM memperhatikan
lingkup operasi sektor publik yang spesifik dan dimodifikasikan sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kharakteristik sektor publik, maka TQM dapat
memberikan kontribusi yang berguna kepada manajemen (Swiss 1992).
45. 29
Universitas Indonesia
b. TQM merupakan produk dari kontrol kualitas statistik dan teknik industri,
dan hampir semua aplikasi awal adalah untuk pekerjaan perakitan dan proses
lainnya. Jika diperkenalkan dengan penyesuaian dengan kepekaan terhadap
lingkungan pemerintahan, TQM dapat memberikan kontribusi yang baik
untuk manajemen publik kontemporer (Swiss dan James, 1992).
2.4.3. Hambatan dalam Implementasi TQM
Penelitian yang dilakukan oleh Tamini dan Sebastianelli (1998), menemukan
beberapa faktor yang bekerja melawan implementasi TQM. Hambatan utama
yang dikutip oleh sampel termasuk tidak terhubungnya kompensasi manajemen
untuk mencapai tujuan kualitas dan kurangnya pelatihan di berbagai bidang
seperti diskusi kelompok, teknik komunikasi, keterampilan peningkatan kualitas,
identifikasi masalah dan teknik pemecahan masalah.
Adebanjo dan Kehoe (1998), yang mempelajari penerapan TQM dalam organisasi
manufaktur Inggris, masalah kualitas diidentifikasi sebagai tercantum di bawah
ini: (1) Manajemen puncak tidak menuntut pengukuran sistematis tingkat
kepuasan pelanggan dan program pelatihan; (2) Kurangnya program pelatihan
untuk keterampilan pekerja dan keterlibatan dalam aktifitas peningkatan kualitas;
(3) Organisasi tidak menempatkan pentingnya kasus barang dikembalikan atau
berhubungan kasus tersebut kepada pelanggan; (4) Banyak organisasi tidak
melibatkan pemasok ketika membuat perbaikan untuk produk dan pada umumnya
pemasok mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan organisasi; (5)
Fasilitator kerja sama tim dan teknik team building tidak cukup; (6) Evaluasi
pekerja tidak memiliki pendekatan yang sistematis dan karenanya perkiraan
kenaikan gaji yang tidak sepadan dengan fungsi pekerjaan; (7) Apresiasi atas
kontribusi para pekerja tidak jelas.
Penelitian lain menemukan beberapa faktor penghambat penerapan TQM seperti
yang dikemukakan oleh Master (1996) menemukan faktor-faktor berikut
memberikan kontribusi yang mengarah ke implementasi TQM tidak efektif: (1)
Kurangnya komitmen manajemen; (2) Pemahaman lemah terkait manajemen
mutu; (3) Ketidakmampuan untuk mengubah budaya organisasi; (4) Kurangnya
46. 30
Universitas Indonesia
akurasi dalam perencanaan kualitas; (5) Tidak adanya pelatihan yang
berkesinambungan dan pendidikan; (6) Sumber daya tidak mencukupi.
Beberapa perusahaan memiliki pengalaman menghadapi masalah yang cukup
besar pada fase pengenalan, pengembangan dan pengukuran peningkatan TQM.
Hambatan umum untuk pelaksanaan dan pengembangan program TQM adalah (1)
Perencanaan yang buruk, tidak adanya startegi sering memberikan kontribusi
terhadap peningkatan kualitas efektif; (2) Kurangnya komitmen manajemen,
program implementasi yang berkualitas akan berhasil hanya jika manajemen
puncak sepenuhnya berkomitmen melampaui pengumuman publik; (3) Resistensi
dari angkatan kerja, pegawai sering tidak bersedia untuk merangkul TQM untuk
berbagai alasan; (4) Kurangnya pelatihan yang tepat, ada bukti bahwa kurangnya
pemahaman dan pelatihan yang tepat ada di semua tingkat organisasi; (5) Kerja
sama tim, sebagian besar program TQM menempatkan penekanan besar pada
kerja tim dan kelompok pemecahan masalah; (6) penggunaan off program, banyak
eksekutif belajar melalui kesalahan mereka bahwa proses mutu harus disesuaikan
dengan, tidak diadaptasi oleh organisasi. Perusahaan yang memperkenalkan off
packages shelft sering menemukan bahwa mereka tidak memenuhi kebutuhan
mereka. Pada akhirnya, program-program berkualitas yang dikemas baik benar-
benar ditolak; (7) Kegagalan untuk mengubah filosofi organisasi, banyak
perusahaan menemukan bahwa transisi kinerja melalui kontrol manajemen
terhadap kinerja melalui orang-orang yang sulit untuk dicapai; (7) Kurangnya
sumber daya yang disediakan, banyak kualitas departemen yang overworkerd dan
understafed, mereka gagal untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan
untuk mencapai hasil yang signifikan; dan (8) Kurangnya pengukuran yang efektif
dari peningkatan kualitas, TQM berpusat memonitor karyawan dan proses, dan
menetapkan sasaran yang mengantisipasi kebutuhan pelanggan sehingga dia
terkejut dan senang (Whalen dan Rahim, 1994).
Hambatan serupa juga dirasakan dalam menerapkan TQM di Indonesia. Studi
penerapan TQM di Indonesia pada perusahaan manufactur yang telah menerapkan
ISO 9001:2008 yang dilakukan Ammar dan Zain (2002) telah menemukan 11
faktor yang dipandang sebagai hambatan terhadap keberhasilan pelaksanaan TQM
47. 31
Universitas Indonesia
dalam organisasi manufaktur di Indonesia. 11 (sebelas) faktor tersebut adalah: (1)
Sumber daya manusia (tingkat cukup pendidikan, kurangnya keterampilan); (2)
Manajemen (kurangnya pemahaman tentang manajemen mutu); (3) Sikap
terhadap kualitas (sulit untuk mengubah pola pikir karyawan yang berkaitan
dengan kualitas); (4) Budaya organisasi (asimilasi miskin budaya kerja yang
berkualitas); (5) Hubungan antar divisi (ada perbedaan yang sangat luas pendapat
antara kualitas dan départemen produksi pada banyak hal organisasi terkait); (6)
Bahan (bahan baku tidak sesuai dengan spesifikasi); (7) Mesin (buruknya kondisi
mesin yang digunakan dalam proses produksi); (8) Peralatan; (9) Informasi
(kurangnya informasi mengenai kualitas); (10) Metode (tidak semua kegiatan
untuk mengontrol kualitas produk memiliki metode standar atau dilakukan dengan
cara yang konsisten); dan (11) pelatihan.
Studi pada industri jasa juga mengemukakan 6 (enam) permasalahan dalam
penerapan TQM berupa kepemimpinan, kontrol dan pengelolaan perubahan,
hambatan untuk perubahan, komunikasi, budaya pegawai, dan monitoring
perubahan (Huq, 2005).
Arvinder dan Spencer (1997) mengajukan survei sejenis pada organisasi
pemerintah dan menemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam
penerapan TQM berupa budaya organisasi, struktur organisasi dan kebijakan
manajemen. Beberapa temuan penting dari penelitian lapangan ini adalah bahwa
hambatan terbesar untuk pelaksanaan TQM terletak dalam budaya lembaga,
struktur organisasi, dan kebijakan manajemen. Untuk TQM harus dilembagakan
dalam setiap instansi pemerintah, pegawai di semua tingkatan perlu dilatih,
diberdayakan, dan dihargai untuk kerja tim. Di atas semua, manajemen lembaga
perlu menciptakan lingkungan yang mendorong untuk belajar, komunikasi
terbuka, kerja tim, untuk mencapai kinerja organisasi yang lebih baik melalui
TQM.
Whale dan Rahim, 1994 menyampaikan, secara umum penerapan dan
pengembangan TQM di sektor publik menunjukkan beberapa hambatan yang
terjadi seperti perencanaan yang buruk; kurangnya komitmen dari manajemen;
perlawanan dari karyawan; kurangnya pelatihan yang sesuai; kepuasan bekerja
48. 32
Universitas Indonesia
dalam tim, kegagalan untuk mengubah filosofi organisasi, kurangnya sumberdaya
yang tersedia, kurangnya pengukuran yang efektif atas peningkatan kualitas. Rago
(1994) menyampaikan bahwa lingkungan pemerintahan dengan budaya politik
dan kebutuhan yang tak terpenuhi dari persediaan yang tidak terbatas kepada
pelanggan yang menciptakan masalah nyata untuk penerapan TQM.
Keterlibatan kepemimpinan merupakan aspek penting dari keberhasilan, tidak
hanya para pemimpin perlu memastikan bahwa mereka menjelaskan tujuan dari
inisiatif organisasi TQM mereka, tetapi mereka juga perlu untuk mengadopsi
filosofi pribadi baru dan menunjukkan perubahan pikiran set mereka saat mereka
terlibat langsung dalam transformasi budaya (Kluse, 2009).
Secara lebih mendetail, Ngai dan Cheng (1995) mengidentifikasi dimensi-dimensi
yang dapat berpotensi sebagai faktor penghambat penerapan TQM. Faktor-faktor
tersebut yaitu faktor budaya dan pekerja, faktor infrastruktur organisasi, faktor
manajerial dan faktor organisasional. Model faktor hambatan penerapan TQM
Ngai dan Cheng (1995) dalam Wijaya (2009) merupakan faktor yang lebih
komprehensif apabila dibandingkan dengan faktor hambatan penerapan TQM
yang diajukan oleh peneliti lainnya. Sebagaimana diinformasikan pada Tabel 2.1,
faktor hambatan Ngai dan Cheng (1995) lebih terstruktur untuk menjelaskan
faktor-faktor yang dapat menghambatan penerapan TQM.
Tabel 2.1. Kesesuaian Faktor Hambatan dalam Penerapan TQM
Faktor Unsur
Kesesuaian Unsur Hambatan dengan
Peneliti Lainnya
Hambatan
budaya dan
pekerja
Kesulitan mengubah budaya Master (1996), Whalen dan Rahim
(1994), Ammar dan Zain (2002), Huq
(2005); Arvinder dan Spencer (1997)
Penolakan terhadap perubahan Whalen dan Rahim (1994), Ammar dan
Zain (2002), Huq (2005)
Kurang komitmen dan
keterlibatan pekerja
Whalen dan Rahim (1994)
Ketidak percayaan pekerja
terhadap kualitas
-
49. 33
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. (Lanjutan)
Faktor Unsur
Kesesuaian Unsur Hambatan dengan
Peneliti Lainnya
Hambatan
infrastruktur
Kurang pengetahuan tentang
sistem kualitas
Master (1996), Ammar dan Zain (2002)
Tidak ada sistem umpan balik
pelanggan
-
Kurangnya pelatihan bertema
kualitas
Whale dan Rahim (1994), Adebanjo
dan Kehoe (1998), Tamini dan
Sebastianelli (1998), Master (1996),
Ammar dan Zain (2002)
Tidak adanya penghargaan -
Tidak mengembangkan
pengukuran kualitas
Whale dan Rahim (1994), Adebanjo
dan Kehoe (1998), Ammar dan Zain
(2002), Huq (2005)
Tidak ada keahlian manajemen
kualitas
Tamini dan Sebastianelli (1998)
Hambatan
manajerial
Kurangnya komitmen
manajemen puncak
Whale dan Rahim (1994), Master
(1996)
Tidak adanya visi dan misi -
Tingginya turn over eksekutif
kunci
-
Kurangnya sifat kepemimpinan Huq (2005)
Hambatan
organisasional
Ketidakefektifan komunikasi
organisasi
Tamini dan Sebastianelli (1998),
Ammar dan Zain (2002), Huq (2005)
Adanya territorialism -
Adanya politik organisasi Rago (1994)
Sumber: Diolah kembali dari Model Ngai dan Cheng (1995) dengan peneliti lainnya
Disamping model faktor hambatan Ngai dan Cheng (1995), masih terdapat ruang
untuk melanjutkan penelitian sejenis dengan menambahkan variabel lain berupa:
perencanaan kualitas (Master 1996, Whalen dan Rahim 1994), sumber daya
(Master 1996; Whalen dan Rahim 1994), informasi (Ammar dan Zain, 2002),
struktur organisasi (Arvinder dan Spencer, 1997), identifikasi masalah dan teknik
pemecahan masalah, (Tamini dan Sebastianelli, 1998) dan tidak melibatkan
suplier (Adebanjo dan Kehoe, 1998).
50. 34
Universitas Indonesia
BAB 3
PROFIL BADAN POM
5.1. Latar Belakang
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM) terbentuk
pada tanggal 31 Desember 2001 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi dan Tata Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2005.
Pengawasan obat dan makanan di Indonesia yang merupakan bagian integral dari
pembangunan kesehatan, harus dapat mengantisipasi perubahan lingkungan
strategis yang senantiasa berubah secara dinamik. Perubahan-perubahan tersebut,
baik yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada sistem
pengawasan obat dan makanan, harus dapat diantisipasi secara cepat dan tepat.
Dalam upaya meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat dari risiko
produk obat dan makanan yang tidak memenuhi syarat, palsu, substandar dan
ilegal, Badan POM berupaya memperkuat sistem pengawasan obat dan makanan
yang komprehensif dan menyeluruh.
Gambar 3.1. Logo Badan POM
Sumber: www.pom.go.id
Salah satu fungsi strategis Badan POM adalah untuk melindungi kesehatan
masyarakat dari obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu. Hal ini sejalan dengan agenda meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui program reformasi kesehatan masyarakat dalam
upaya pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal dalam mencapai
target MDGs (Millennium Development Goals).
51. 35
Universitas Indonesia
Tugas kepemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan mempunyai
lingkup yang luas dan kompleks, menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat
banyak dengan sensitivitas publik yang tinggi serta berimplikasi luas pada
keselamatan dan kesehatan konsumen. Untuk itu pengawasan tidak dapat
dilakukan secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat,
tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistematik, mulai dari kualitas
bahan yang digunakan, cara-cara produksi, distribusi, penyimpanan, sampai
produk tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat. Sejalan dengan kebijakan pasar
global, pengawasan harus dilakukan mulai dari produk masuk di-entry point
sampai beredar di pasar. Pada seluruh mata rantai tersebut harus ada sistem yang
memiliki mekanisme yang dapat mendeteksi kualitas produk sehingga secara dini
dapat dilakukan pengamanan jika terjadi degradasi mutu, produk substandar,
kontaminasi dan hal-hal lain yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Gambar 3.2. Pengawasan Post-Market Badan POM
Sumber: www.pom.go.id
Untuk menyelenggarakan tugas kepemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan tersebut diperlukan institusi dengan infrastruktur pengawasan yang kuat,
memiliki integritas dan kredibilitas profesional yang tinggi serta memiliki
52. 36
Universitas Indonesia
kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum, maka pemerintah memberi
mandat kepada Badan POM untuk melaksanakan tugas tersebut.
Selain melaksanakan fungsi perlindungan kesehatan masyarakat, Badan POM
juga mendukung perkuatan ekonomi nasional melalui peningkatan pemenuhan
standar dan ketentuan yang berlaku secara internasional bagi produk obat dan
makanan yang dihasilkan oleh industri obat dan makanan dalam negeri.
Bimbingan teknis bagi pelaku usaha bidang obat dan makanan merupakan
kontribusi Badan POM bagi peningkatan daya saing produk dalam negeri untuk
dapat mengambil peran dalam perdagangan regional dan global.
Dewasa ini dan di masa depan pengawasan obat dan makanan akan menghadapi
lingkungan strategis yang sangat dinamis. Globalisasi ekonomi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kesepakatan-kesepakatan regional seperti
harmonisasi Association of South East Asia Nations (ASEAN), ASEAN Free
Trade Area (AFTA), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) mempunyai
konsekuensi dan implikasi yang signifikan pada sistem pengawasan obat dan
makanan (SISPOM). Produk obat dan sediaan farmasi lainnya serta makanan akan
lebih mudah masuk dan keluar dari satu negara ke negara lainnya tanpa hambatan
(barrier) yang minimal. Realitas ini mengharuskan Indonesia memiliki SISPOM
yang efektif dan efisien, untuk melindungi kesehatan dan keselamatan seluruh
rakyat Indonesia terhadap produk-produk yang berisiko terhadap kesehatan. Pada
saat yang sama, SISPOM harus memiliki basis yang kuat agar mampu menjadi
penapis terhadap mutu obat dan makanan produksi indonesia yang diekspor ke
berbagai negara.
Dengan jumlah penduduk yang terbesar di ASEAN dan wilayah kepulauan yang
terluas, Indonesia sudah sepatutnya memiliki SISPOM yang terbaik di ASEAN,
baik mencakup human capital, sistem operasional maupun infrastrukturnya.
Dalam konteks ini perlu dilakukan penguatan kompetensi dan kapabilitas Badan
POM sehingga memiliki kinerja yang berkelas dunia (world class). Badan POM
ke depan akan dibangun menjadi institusi yang memiliki basis ilmu pengetahuan
(knowledge-base) yang kuat dengan jaringan nasional maupun internasional yang
dinamis dan kohesif. Bersamaan dengan itu, Badan POM melakukan
53. 37
Universitas Indonesia
pemberdayaan publik (public empowerment) agar masyarakat memiliki kesadaran
dan kemampuan untuk mencegah dan melindungi diri sendiri terhadap risiko dari
obat dan makanan yang tidak memenuhi standar yang berlaku (Dokumen Renstra,
2010).
5.2. Visi dan Misi
Pernyataan Visi
Dalam menghadapi dinamika lingkungan dengan segala bentuk perubahannya,
maka segenap jajaran Badan POM bercita-cita untuk mewujudkan suatu keadaan
ideal bagi masyarakat Indonesia, yaitu:
MENJADI INSTITUSI PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN YANG
INOVATIF, KREDIBEL DAN DIAKUI SECARA INTERNASIONAL
UNTUK MELINDUNGI MASYARAKAT
Misi Badan POM adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan
dilaksanakan untuk mewujudkan visi Badan POM. Pernyataan misi merupakan
gambaran tentang kegiatan utama.
Pernyataan Misi
Misi Badan POM didefinisikan sebagai tujuan mulia organisasi untuk:
1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional.
2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten.
3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini.
4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan.
5. Membangun organisasi pembelajar (Learning Organization).
Pernyataan Tujuan
Sesuai dengan visi dan misi Badan POM, tujuan utama pembangunan pengawasan
Obat dan Makanan tahun 2010-2014 adalah meningkatnya efektivitas
perlindungan masyarakat dari produk obat dan makanan yang berisiko terhadap
kesehatan serta meningkatnya daya saing produk obat dan makanan.
54. 38
Universitas Indonesia
Berdasarkan tujuan tersebut disusun indikator tujuan sebagai berikut:
a. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melindungi dirinya sendiri dari
Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan;
b. Meningkatnya kepatuhan sarana produksi dan sarana disribusi obat dan
makanan terhadap standar dan ketentuan yang berlaku (Dokumen Renstra,
2010)
5.3. Gambaran Umum Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan Keputusan PresidenNomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2005, maka kedudukan, tugas, fungsi,
susunan organisasi dan tata kerja Badan POM sebagai berikut :
Kedudukan
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) adalah lembaga
pemerintah non departemen yang dibentuk untuk melaksanakan tugas
Pemerintah tertentu dari Presiden.
2. Badan POM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan POM dikoordinasikan oleh Menteri
Kesehatan.
4. Badan POM dipimpin oleh Kepala.
Tugas
BPOM mempunyai tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan POM menyelenggarakan fungsi:
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat
dan makanan.
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM.
55. 39
Universitas Indonesia
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi
pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.
e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian,
keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Kegiatan yang dilaksanakan Badan POM antara lain sebagai berikut:
a. Standardisasi berupa kegiatan: merancang standar produk terapetik dan
perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT); standar obat tradisional,
suplemen makanan dan kosmetik; dan standar makanan.
b. Pengawasan pre-market berupa kegiatan: persetujuan pemasaran produk
terapetik; persetujuan pemasaran obat tradisional, suplemen makanan dan
kosmetik; persetujuan pendaftaran pangan olahan.
c. Pengawasan Post-market berupa kegiatan:
Gambar 3.3. Pengujian Sampel Obat dan Makanan
· Sampling dan pengujian laboratorium produk terapetik, narkotika dan
psikotropika, obat tradisional, suplemen makanan, kosmetik, pangan,
garam beryodium, pangan jajanan anak sekolah (PJAS), tepung terigu,
kemasan pangan.
56. 40
Universitas Indonesia
· Pemeriksaan terhadap industri farmasi; sarana produksi obat tradisional,
industri kosmetik; dan sarana produksi pangan.
· Pemeriksaan di tingkat sarana distribusi, dilakukan pengawasan
terhadap: obat palsu dan obat tanpa izin edar; pemasukan bahan baku
obat dan obat impor; surveilan keamanan produk terapetik; pengawasan
promosi/iklan dan penandaan obat; sarana pengelola narkotika,
psikotropika dan prekursor; iklan rokok; label rokok, distribusi bahan
berbahaya, iklan obat tradisional, kosmetika dan suplemen makanan,
sarana distribusi obat tradisional, kosmetika dan suplemen makanan,
dan sarana distribusi pangan.
· Penyidikan tindak pidana obat dan makanan.
d. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan unit layanan pengaduan
konsumen (ULPK).
Gambar 3.4. Sosialisasi Pengawasan Badan POM
Sumber: www.pom.go.id
e. Penelitian dan pengembangan penunjang pengawasan obat dan makanan.
f. Riset keamanan, khasiat dan mutu obat dan makanan dan pengembangan obat
asli indonesia (Dokumen Renstra, 2010).
57. 41
Universitas Indonesia
5.4. Struktur Organisasi
Gambar 3.5. Struktur Organisasi Badan POM
Sumber: Dokumen Renstra Badan POM (2010)
5.5. Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati
dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugas. Nilai-
nilai luhur yang hidup dan tumbuh kembang dalam organisasi menjadi semangat
SekretariatUtama
Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Inspektorat
1. Biro Perencanaan dan
Keuangan
2. Biro Kerjasama Luar Negeri
3. Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat
4. Biro Umum
Pusat
Penyidikan
Obat dan
Makanan
Pusat
Pengujian
Obat dan
Makanan
Pusat Riset
Obat dan
Makanan
Pusat
Informasi Obat
dan Makanan
Deputi I
Bidang Pengawasan Produk
Terapetik dan Napza
1. Direktorat Penilaian Obat dan
Produk Biologi
2. Direktorat Standardisasi
Produk Terapetik dan PKRT
3. Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik
dan PKRT
4. Direktorat Pengawasan
Distribusi Produk Terapetik
dan PKRT
5. Direktorat Pengawasan
Narkotika, Psikotropika dan
zat Adiktif
Deputi II
Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik dan Produk
Komplemen
1. Direktorat Penilaian Obat
Tradisional, Suplemen Makanan
dan Kosmetik
2. Direktorat Standardisasi Obat
Tradisional, Kosmetik dan
Produk Komplemen
3. Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Obat Tradisional,
Kosmetika dan Produk
Komplemen
4. Direktorat Obat Asli Indonesia
Deputi III
Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan Dan Bahan Berbahaya
1. Direktorat Penilaian Keamanan
Pangan
2. Direktorat Standardisasi
Produk Pangan
3. Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Produk Pangan
4. Direktorat Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan
5. Direktorat Pengawasan Produk
dan Bahan Berbahaya
Balai Besar/Balai POM
58. 42
Universitas Indonesia
bagi seluruh anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya.
· PROFESIONAL, Menegakkan profesionalisme dengan integritas,
objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi.
· KREDIBILITAS, Dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat luas, nasional
dan internasional.
· CEPAT TANGGAP, Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.
· KERJASAMA TIM, Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan
komunikasi yang baik.
· INOVATIF, Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan
teknologi terkini (Dokumen Renstra, 2010).
5.6. Pernyataan Kebijakan Mutu
Badan POM RI berkomitmen untuk melindungi masyarakat dari obat dan
makanan yang beresiko terhadap kesehatan dan secara terus menerus
meningkatkan pengawasan serta memberikan pelayanan kepada seluruh
pemangku kepentingan (Manual Mutu, 2011).
5.7. Ruang Lingkup ISO 9001:2008
Merujuk pada dokumen Manual Mutu Badan POM (2011), Badan POM
menerapkan sistem manajemen mutu mencakup:
5.7.1. Lokasi
Kantor Pusat, alamat Jln. Percetakan Negara No. 23 Jakarta 10560 Indonesia.
5.7.2. Pelayanan
Kegiatan pengawasan obat dan makanan di seluruh wilayah Republik Indonesia
baik yang dilakukan oleh kantor pusat BPOM RI maupun Balai Besar/Balai POM.
59. 43
Universitas Indonesia
5.7.3. Proses
Semua proses manajemen yang ada di BPOM RI baik yang dilakukan oleh Kantor
Pusat BPOM RI maupun Balai Besar / Balai POM RI dan yang tertuang dalam
peta proses bisnis.
Keseluruhan proses kegiatan di Badan POM terangkum dalam 15 kelompok
proses, sebagaimana digambarkan pada Gambar 3.6 diatas.
Business Process Map BPOM
Planning
&
Financial
Support
Gambar 3.6. Business Proses Badan POM RI
Sumber: Manual Mutu Badan POM
5.7.4. Standar
Standar yang digunakan untuk penerapan sistem manajemen adalah ISO
9001:2008 dengan pengecualian:
a. Sistem laboratorium baik kantor pusat maupun Balai Besar/Balai POM
merujuk pada ketentuan standar ISO/IEC 17025:2005.
60. 44
Universitas Indonesia
b. Sistem NRA Assessment BPOM merujuk pada standar WHO Quality System
Requirement for National GMP Inspectorates (TRS 902 Annex 8, 2002).
c. Sistem PIC/S BPOM merujuk pada ketentuan standar PIC/s Quality System
Requirement for Pharmaceutical Inspectorate (PI 0023).
d. Sistem riset dan pengembangan merujuk pada persyaratan akreditasi pranata
penelitian dan pengembangan (KNAPPP 02:2007).
61. 45
Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
9.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Badan POM (Kantor Pusat) dengan satuan kerja yang
terdiri dari Sekretaris Utama; Kedeputian Pengawasan Produk Terapetik dan
Napza; Kedeputian Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk
Komplemen; Kedeputian Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya;
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan; Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Nasional; Pusat Informasi Obat dan Makanan; Pusat Riset Obat dan Makanan dan
Inspektorat Badan POM.
9.2. Desain penelitian
Dalam penelitian ini desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus di
Kantor Badan POM. Diharapkan dengan melakukan penelitian ini dapat diketahui
faktor-faktor yang menghambat penerapan TQM di Badan POM.
Penelitan ini mengadopsi konsep atau menggunakan istilah penerapan TQM, yaitu
penerapan konsep-konsep TQM dengan 7 (tujuh) variabel yang dikemukakan
dalam penelitian Anderson et al (1995) dan Rungtusanathan et al (1998) dalam
Douglas (2004). Kemudian diadopsi sebagai faktor penerapan TQM pada
organisasi pelayanan sektor publik.
Skema penelitian ini mengadopsi pula penelitian sejenis di Indonesia mengenai
potensi hambatan penerapan TQM pada perusahaan yang memiliki sertifikat ISO
9000 yang telah dilakukan oleh Wijaya pada tahun 2009. Selanjutnya skema
digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang berpotensi dapat menghambat
penerapan TQM pada sektor pelayanan publik.
Penelitian dilaksanakan untuk menguji 4 (empat) model konstruksi yang disari
dari 17 (tujuh belas) faktor yang diduga berpotensi menghambat penerapan TQM.
Empat model konstruksi dimaksud berupa hambatan budaya dan pegawai,