SlideShare a Scribd company logo
1 of 36
ORDE BARUSEBAGAI LANDASAN FABULADAN SJUZET
     KAJIAN FORMALISME RUSIA DALAM NOVEL ENTROK
                KARYA OKKY MADASARI




               MAKALAH SEMINAR TESIS
              disusun sebagai tugas mata kuliah
                       Seminar Tesis




                           Oleh:
                    Alfian Rokhmansyah
                       1301021400003




        PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SUSASTRA
               PROGRAM PASCASARJANA
              UNIVERSITAS DIPONEGORO
                       SEMARANG
                            2012
1




                                     BAB I

                               PENDAHULUAN




1.1   Latar Belakang

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang

menggantikan Orde Lamaatau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru

berlangsung dari tahun 1966–1998. Dalam jangka waktu tersebut banyak peristiwa

yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah Orde Baru. Pada masa Orde Baru

kekuasaan sering digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan uang. Tidak hanya

Presiden dan pejabat tinggi negara, orang-orang yang mempunyai jabatan di daerah

pun memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sehingga terjadi

praktik penyalahgunaan kekuasaan yangberujung dengan korupsi. Bahkan aparat

keamanan yang seharusnya bertugas untuk melindungi, ikut melakukan praktik

penyalahgunaan kekuasaan dengan cara memeras uang rakyat dengan dalih sebagai

uang keamanan.

      Fakta sejarah ini termuat dalam novel Entrokkarya Okky Madasari. Pengarang

mengambil fakta sejarah pada zaman Orde Baru di Indonesa pada era tahun 1950–

1999 sebagai latar dalam novelnya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan

kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru dengan teknik penceritaan

tertentu yang menyebabkan pembaca dapat merasakan kejadian yang terjadi pada

masa Orde Baru.




                                        1
2




     Pengarang tentunya menyadari bahwa isi novelnya mempunyai kedekatan

dengan fakta sejarah, yaitu masa Orde Baru. Banyak peristiwa yang terjadi pada

masa Orde Baru diangkat dalam novel Entrok, misalnya peristiwa pemboman stupa

di Borobudur, kemenangan partai kuning (Golkar) pada pemilu awal di Indonesia,

dan praktik-praktik pemerasan terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai

kekuasaan.

     Novel Entrok karya Okky Madasari menunjukkan bahwa kejadian-kejadian

dalamkehidupan manusia umumnya dapat dimanfaatkan oleh pengarang sebagai

bahan mentah dalam proses pembuatan suatu karya sastra. Hal ini menyebabkan

karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan

pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Dengan kata

lain, pengarang membawa kebenaran yang nantinya akan diyakini oleh pembaca.

Salah satu usaha pengarang untuk meyakinkan pembacanya adalah dengan

mendekati kebenaran yang diambil dari realitas dalam masyarakat.

     Realitas kehidupan manusia dapat dijadikan bahan dalam proses kreatif

sehingga dapat terbentuk suatu rangkaian cerita.Menurut Jefferson (melalui

Nuryatin, 2005:11), realitas kehidupan manusia yang dijadikan bahan mentah yang

kemudian diolah oleh pengarang, menurut kaum formalis dinamakan sebagai fabula

(cerita), sedangkan karya sastra yang merupakan hasil olahan fabula dinamakan

sjuzet (alur). Proses pengolahan fakta cerita (fabula) menjadi sebuah alur (sjuzet)

dinamakan defamiliarisasi.

     Dalam novel Entrok, yang dapat disebut fabula adalah peristiwa-peristiwa yang

terjadi pada masa Orde Baru. Fakta-fakta pada peristiwa tersebut merupakan bahan
3




mentah yang digunakan Okky Madasari dalam menyusun novel Entrok. Dengan

menggunakan teknik penceritaan tertentu, pengarang mendefamiliarisasikan fakta

cerita menjadi sebuah sjuzet.

     Dalam novel Entrok, pengarang menghadirkan cerminan kehidupan sebuah

keluarga yang harus berhadapan dengan kerasnya zaman yang dikuasai oleh senjata.

Marni dan keluarganya harus tunduk dan patuh kepada para penguasa Orde Baru.

Setiap minggu, Marni harus merelakan sebagian dari penghasilannya untuk diberikan

kepada para tentarayang meminta uang keamanan. Marni terpaksa harus

menyerahkan uang yang ia dapatkan dengan susah payah kepada para tentara karena

tidak ingin mendapat sanksi politik yaitu dicap sebagai PKI. Bukan hanya

memberikan uang keamanan, setiap pemilu digelar Marni juga harusmembayar

sumbangan kampanye yang cukup besar kepada Pak Lurah untuk mendanai

kampanye partai pemerintah.

     Dengan memanfaatkan kedudukan mereka sebagai penguasa, para tentara bisa

dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, termasuk meminta semua

warga disebuah desa merelakan rumah dan tanahnya untuk dijadikan sebuah kolam

raksasa. Ketidakberdayaan masyarakat menghadapi penguasa Orde Baru membuat

kehidupan mereka menjadi terpuruk dan pada akhirnya mereka hanya menjadi

korban para penguasa Orde Baru.
4




1.2   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini

adalah:

1)    fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel Entrok;

2)    praktik hegemoni pada masa Orde Barudalam novel Entrok.



1.3   Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan

untuk:

1)    mengungkap fakta-fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel

      Entrok;

2)    mengungkap praktik hegemoni pada masa Orde Barudalam novel Entrok.



1.3.2 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuannya, hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis.

Manfaat teoretis dari hasil penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan

referensi tambahan bagi para pembaca dan pembelajar ilmu sastra, khususnya bagi

mereka yang ingin mempelajari teori formalisme Rusia dan sosiologi sastra. Adapun

manfaat praktisnya adalah memberikan informasi mengenai fakta yang digunakan

sebagai landasan fabula dalam novel Entrok dan memberikan informasi mengenai

hegemoni pada masa Orde Baru.
5




1.4   Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitiankepustakaan yang data-datanya diperoleh dari

hasil studi kepustakaan. Objek material penelitian ini adalah novel Entrokkarya Okky

Madasari. Objek formal penelitian ini adalahfakta sebagai landasan fabula dan

hegemoni pada masa Orde Baru. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teoriformalisme Rusia dan hegemoni, sedangkan pendekatan yang digunakan

adalah pendekatanobjektif dan sosiologi sastra. Sesuai rumusan permasalahan dan

tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada fakta-fakta yang

digunakan pengarang sebagai landasan fabula dan hegemoni yang ada pada masa

Orde Baru.



1.5   Landasan Teoretis

1.5.1 Formalisme Rusia

Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab

ini dirintis oleh sejumlah ahli linguistik dan ahli sastra di Rusia. Hal ini didasarkan

pada keyakinan para formalis bahwa studi seperti itu sangat mungkin dan memang

pantas dilakukan. Kaum formalis yakin bahwa studi-studi mereka akan

meningkatkan kemampuan pembaca untuk membaca teks-teks sastra dengan cara

yang tepat. Kaum formalis cenderung untuk mengkaji teks sastra secara formal, yaitu

dalam kaitannya dengan struktur bahasa.

      Victor Shklovsky mendominasi fase awal Formalisme. Victor Shklovsky

mengambil suatu pendekatan bersahaja, mencoba teknik-teknik yang dipergunakan

oleh para sastrawan untuk menghasilkan efek-efek yang khusus. Shklovsky
6




menyebut salah satu konsepnya sebagai defamiliarisasi(ostranenie) yang berarti

membuat aneh atau proses menjadikan sesuatu itu luar biasa sifatnya. Shklovsky

mengemukakan bahwa kita tidak pernah dapat memelihara kesegaran persepsi kita

atas objek-objek; tuntutan eksistensi „normal‟ itu diperlukan agar merekamenjadi

sejumlah besar yang „diotomatisasikan‟(Selden, 1991:5).

     Skhlovsky (1989:19) mengungkapkan bahwa teknik seni adalah membuat

objek-objek menjadi „tidak biasa‟ dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar

untuk menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi karena proses

persepsi adalah suatu tujuan estetik dan harus diperpanjang.

     Kaum formalis lebih memusatkan perhatian pada „keganjilan‟ teks sastra dalam

upaya    menampilkan       kekhasan     karya     sastra.      Konsep     defamilarisasi

dandeotomatisasimerupakan      dua    konsep    yang    digunakan       kaum   formalis

untukmempertentangkan karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan sehari-hari.

Apa yang sudah biasa dan secara otomatis diserap, dalam karya sastra dipersulit atau

ditunda pemahamannya sehingga terasa asing, ganjil, atau aneh. Tujuannya agar

pembaca lebih tertarik pada bentuksdan lebih menyadari hal-hal di sekitarnya.

     Realitas dalam penyusunan karya sastra bersifat sekunder. Realitas dimasukkan

dalam karya sastra oleh seniman pada saat memproses karyanya. Realitas merupakan

salah satu komponen karya sastra, bukan sebagai rujukan karya sastra. Apabila karya

sastra terlihat seperti merujuk pada realitas tertentu, maka hal itu sekadar kesan

sampingan dari fungsi estetik saja (Jefferson melalui Nuryatin, 2005:10)

     Kaum Formalis berupaya mengkaji karya sastra genre fiksi dan mencoba

lebihmemadukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem
7




yang padu dan menyeluruh. Mereka tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya

objek pengkajian, juga tidak lagi terpaku pada sarana-sarana yang „mengganjilkan‟

atau „mengasingkan‟ karya sastra.

      Menurut Jefferson (melalui Nuryatin, 2005:10-11) pengkajian sastra kaum

formalis berdasar pada perbedaan antara peristiwa di satu pihak dengan penciptaan di

pihak lain, yaitu antara fabula dengan sjuzet. Konsep ini dikembangkan oleh

Shklovsky.     Fabulamerupakan       bahan    dasar    yang    berupa    jalan   cerita

menurutkronologi peristiwa, sedangkan sjuzet merupakan sarana untuk menjadikan

jalan cerita menjadi ganjil atau aneh.

                  Distinguishing between the concepts of fabula (or story) that is, the
             temporal-causal sequence of narrated events which comprise the raw
             materials of the work, and sjuzet (or plot) as the way in which these
             materials are formally manipulated (Bennett, 2003:19).


      Perbedaan antara “cerita” denga “alur” diberi tempat penting dalam teori

naratif kaum formalis Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya “alur” (sjuzet) yang

sungguh-sungguh bersifat kesastraan, sedangkan “cerita” (fabula) hanya sebagai

bahan mentah yang menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet bukan

hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua sarana yang

digunakan untuk menyela dan menunda penceritaan, serta yang ditujukan untuk

menarik perhatian pembaca terhadap bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet

didasarkan pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah pembaca dari cara

memandang peristiwa-peristiwa sebagaihal yang khas dan sudah lazim (Selden,

2005:33-34).
8




      Istilah-istilah teknis yang bermacam-macam diperkenalkan dan digunakan oleh

Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain untuk membedakan faktor-faktor

utama yang konstruktif dalam sebuah karya sastra. Perbedaan antara konsep “cerita”

(fabula) dan “alur” (sjuzet) mendapat tempat yang sangat penting di dalam teori

naratif formalis Rusia. Fabula didefinisikan sebagai deskripsi rangkaian peristiwa,

atau lebih tepatnya sebagai penggambaran rangkaian kejadian dalam tatanan yang

urut dan relasi-relasi kausal. Konsep fabula digunakan sebagai lawan konsep sjuzet

yang biasanya diterjemahkan sebagai “plot” atau “strukturnaratif”. Menurut kaum

formalis, “alur” (sjuzet) adalah cara penyajian materi semantikdalam teks tertentu,

sedangkan “cerita” (fabula) hanyalah materi bagi formasi plot (Fokkema, 1998:23-

24)



1.5.2 Teori Hegemoni

Dalam bahasa Yunani kuno, hegemoni disebut eugemonia. Secara literal hegemoni

berarti kepemimpinan. Kata ini sering digunakan dalam dunia politik untuk

menunjuk pada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci, hegemoni

merupakan sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomis dan etika-

politis. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk politis,

kultural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat yang ada (Faruk, 2010:132).

      Menurut    Gramsci,   hegemoni     bukanlah   hubungan     dominasi    dengan

menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan

kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas

dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan
9




persetujuan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan

sistem aliansi melalui perjuangan politik dan deologis (Simon, 2004:22).

     Gramsci mengembangkan konsep hegemoni untuk menggambarkan suatu

kondisi di mana supremasi kelompok sosial dicapai tidak hanya melalui “dominasi”

atau “pemerintah” tetapi juga melalui persetujuan atas dasar sukarela dari kelas yang

didominasi (Litowitz, 2000:515). Konsep hegemoni Gramsci lebih lanjutdapat

dielaborasikan melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas. Supremasi

kelas merupakan keunggulan kelas sosial untuk mempertahankan kekuasaan bagi

pihak penguasa. Penguasa memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa

negara (pemerintah).

     Supremasi sebuah kelompok terwujud dalam dua bentuk, yaitu dominasidan

kepemimpinan intelektual dan moral. Di satu pihak, sebuah kelompok sosial

mendominasi kelompok-kelompok oposisi untukmenghancurkanatau menundukkan

mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan senjata.Di pihak lain,

kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah

kelompok sosial dapat dan bahkan harus menerapkan kepemimpinan sebelum

memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kepemimpinan tersebut merupakan salah

satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu.

Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktikkan

kekuasaan, tetapi bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh di tanggannya,

dia masih harus terus memimpin juga.

           ... that the supremacy of a social group manifests itself in two ways, as
           “domination” and as “intellectual and moral leadership”. A social
           group dominates antagonistic groups, which it tends to “liquidate”, or to
           subjugate perhaps even by armed force; it leads kindred and allied
10




           groups. A social group can, and indeed must, already exercise
           “leadership” before winning governmental power (this indeed is one of
           the principal conditions for the winning of such power); it subsequently
           becomes dominant when it exercises power, but even if it holds it firmly
           in its grasp, it must continue to “lead” as well (Gramsci, 1992:57-58).

     Dari kutipan tersebut, dapat diketahui adanya hubungan yang didukung oleh

kesatuan   dua   konsep   menurut   Gramsci    yaitu   kepemimpinan(direction)dan

dominasi(dominance). Hubungan dua konsep tersebut menyiratkan tiga hal. Pertama,

dominasi dijadikan atas seluruh musuh dan hegemoni dilakukan kepada segenap

sekutu-sekutu. Kedua, hegemoni adalah suatu prakondisi untukmenaklukkan

aparatus negara atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemerintahan. Ketiga,

sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas ini, baik

pengarahan maupun dominasi terus berlanjut.

     Kepemimpinan dan dominasimenjadi dua hal penting dalam teori hegemoni

Gramsci.   Konsep    hegemoni    yang   dikembangkan     Gramsci    berpijak   pada

kepemimpinan yang sifatnya intelektual dan moral. Kepemimpinan ini terjadi karena

adanya kesetujuan dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang

memimpin. Kesetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam

menanamkan ideologi kelompoknya. Akan tetapi, jika penanaman ideologi itu gagal,

kelas atas akan melakukan tindakan dominasi yang bersifat represif melalui aparatus

negara.

     Gramsci tidak hanya menggunakan istilah hegemoni untuk menggambarkan

aktifitas kelas penguasa, tetapi dia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan

pengaruh yang diberikan oleh kekuatan-kekuatan progresif. Halini dapat dilihat

bahwa hegemoni seharusnya didefinisikan sebagai hal yang dilakukan bukan saja
11




oleh kelas penguasa, tetapi juga proses di mana kelompok-kelompok sosial yang

progresif, regresif, dan reformis, meraih kekuasaan untuk memimpin, memperluas

kekuasaan, dan mempertahankannya (Brown, 2009:2).

        Hegemoni tidak pernah dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus diperjuangkan

terus    menerus.   Untuk    mempertahankan     hegemoni    kelompok    sosial   yang

menghegemoni akanterus berusaha untuk mempertahankan hegemoninya. Hal ini

menuntut kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dari

semua kelas yang berkuasa dalam kelompok masyarakat sipil dan membuat

kompromi-kompromi yang diperlukan untuk menyesuaikansistem aliansi yang ada

dengan kondisi yang senantiasa berubah serta aktivitas kekuatan oposisi (Simon,

2004:45-46).



1.6     Metode Penelitian

Untuk melaksanakan penelitian ini digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan

objektif dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan objektif merupakan pendekatan

yang ditekankan pada analisis karya sastra sebagai sebuah bentuk yang otonom.

Pendekatan objektif ini digunakan sebagai pendekatan dalam mengungkap fakta

yang digunakan sebagai landasan fabuladalam novel Entrok. Dalam analisis

menggunakan pendekatan objektif ini, teori yang digunakan sebagai pisau adalah

teori formalisme Rusia, yaitu konsep mengenai fabula dan sjuzet.

        Pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada

hubungan antara karya sastra dengan realitas kehidupan masyarakat. Pendakatan ini
12




digunakan untuk menganalisis praktik hegemoni pada masa Orde Baru yang terdapat

dalam novel Entrok dengan bantuan teori hegemoni.

         Tahap penelitian yang harus ditempuh ada dua tahap. Tahap pertama,

melakukan kajian terhadap novel untuk menentukan bagian-bagian cerita yang

merupakan defamiliarisasi dari fakta yang dijadikan landasan fabula. Pada tahap ini,

digunakan teori formalisme Rusia, khususnya pandangan Victor Shklovsky, dan

pendekatan objektif dibantu sosiologi sastra hingga diketahui fakta-fakta yang

dijadikan landasan fabula. Tahap kedua, melakukan kajian terhadap gambaran-

gambaran praktik hegemoni yang terdapat dalam novel Entrok yang sesuai dengan

fakta.



1.7      Sistematika Penulisan

Secara sistematis hasil penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:

         Bab I memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teoretis, metode penelitian, serta

sistematikan penulisan laporan penelitian.

         Bab II memuat kajian pustaka dan landasan teoretis.

         Bab III memuat paparan analisis yang dilakukan berdasarkan rumusan masalah

dan data yang diperoleh.

         Bab IV berisi simpulan dari analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya.
13




                                     BAB II

                                   ANALISIS




2.1   Fakta yang Digunakan sebagai LandasanFabula dalam Novel Entrok

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang

menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pemerintah

Orde Baru lahir secara situasional setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Sejak adanya upaya penumpasan pemberontakan G30S, kaum intelektual, sejumlah

tokoh ABRI, dan rakyat yang jenuh dengan kondisi kehidupan di bawah rezim Orde

Lama, bersama-sama berjuang menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya

Orde Baru kemudian ditandai oleh keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret

(Supersemar) yang diberikan oleh Presien Soekarno kepada Letjen Soeharto untuk

memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah pada masa itu (Kurnia, 2004:152)

      Dalam     novel   Entrokdigambarkan   kehidupan   seorang   ibu   dan   anak

perempuannya yang hidup pada masa Orde Baru tersebut. Penggambaran fakta

sejarah ini oleh pengarang dalam novel menunjukkan bahwa sastra merupakan

cerminan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep Damono (1978:9), bahwa sastra

merupakan cermin kehidupan masyarakat serta menghubungkan pengalaman tokoh-

tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan

asal-usulnya.

      Pernyataan Damono tersebutsejalan dengan prinsip utama kaum formalis

Rusia, yang menyatakan bahwa kesusastraan itu mendefamiliarisasi kenyataan dan



                                       13
14




mendefamiliarisasi kesusastraan itu sendiri. Hal itu memperlihatkan bahwa kajian

formalis Rusia atas karya sastra tidak melepaskan hubungan antara karya sastra

dengan kenyataan (Selden, 1991:10-11).

     Dapat dirunut lebih jauh, bahwa sjuzet pada dasarnya dapat merupakan

defamiliarisasi dari fakta yang merupakan landasan dari fabula. Menurut kaum

formalis Rusia, sjuzet di dalam prosa pada dasarnya merupakan defamiliarisasi

fabula. Fabula sebagai “cerita” yang didefamiliarisasi dalam sjuzet tidak muncul

secara tiba-tiba, melainkan ada suatu penyebab tertentu. Salah satu hal yang

menyebabka munculnya fabula adalah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan

(fakta). Hal itu menunjukkan bahwa fakta dapat dijadikan landasan munculnya

fabula.

     Fakta yang menjadi fabula dalam novel Entrok adalah peristiwa-peristiwa yang

terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini ditunjukkan dari peristiwa-peristiwa yang

tercantum dalam novel. Peristiwa-peristiwa dalam novel sangat berhubungan erat

dengan fakta-fakta yang ada dalam kehidupan nyata. Berikut ini diberikan beberapa

contoh fakta peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru yang digunakan sebagai

landasan fabula.

2.1.1 Pemilihan umum pada masa Orde Baru

Pada pemilihan umum (pemilu) pertama masa Orde Baruyang diselenggarakan pada

tahun 1971, partai Golongan Karya (Golkar) memperoleh kemangan mutlak, yaitu

mendapat 227 kursi atau 64,7% suara, partai NU mendapat 58 kursi (16,5%),

Parmusi 24 kursi (6,8%), PNI 20 kursi (5,7%), PSII 10 kursi (2,8%), Parkindo 7
15




kursi (2%), dan Partai Katolik 3 kursi (0,9%) dari 351 kursi DPR yang disediakan

(Kasiyanto, 1999:5).

     Peristiwa pemilu pertama ini digunakan oleh pengarang sebagai landasan

fabula dalam novel. Berikut kutipan dalam novel yang menunjukkan kesamaan

antara peristiwa yang terjadi dalam novel dengan fakta peristiwa pemilu pertama.

                Putaran waktu kuhitung sekat-sekat yang berasal dari kegiatan
           sekolah. Setengah tahun berlalu kuhitung dengan setiap rapor yang
           kuterima setiap kuartal. Rapor kuartal ketiga kelas satu SD menandakan
           akan berakhirnya tahun 1970. Aku mulaimelihat ada yang berbeda di
           desa Singget, juga di sekolahku. Banyak umbul-umbul dipasang,
           warnanya kuning bergambar beringin.
                Di kelas, Bu Lastri bercerita tentang adanya pemilu. Katanya ini
           pemilu pertama setalah negara gonjang-ganjing. Ini pemilu yang sesuai
           aturan, pemilu yang akan membawa ketentraman.Bu Lastri menunjukkan
           kertas warna kuning bergambar beringin, sama seperti umbum-umbul
           yang dipasang di gapura dan depan balai desa (Madasari, 2010:60).

                Partai beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai
           lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia
           pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak
           Ratmadi, kepala sekolahku. Orang bilang dia abangan. Di rumahnya ada
           gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu, gambar itu
           dipasang di dinding rumahnya. Lalu tentara datang dan meminta gambar
           itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan memindahkan gambar itu ke
           dinding kamarnya (Madasari,2010:66).

     Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa fakta mengenai pelaksaan pemilu

pertama pada masa Orde Baru dan kemenangan partai beringin (Golkar) digunakan

sebagai landasan fabula oleh pengarang. Defamiliarisasi (penganehan) yang

dilakukan oleh pengarang yaitu dengan membuat rangkaian jalan cerita yang dapat

menggambarkan peristiwa saat pemilu pertama masa Orde Baru itu akan

diselenggarakan dan suasana saat kemenangan partai bergambar beringin (Golkar).

     Pemilu kedua pada masa Orde Baru berlangsung pada tahun 1977. Pada pemilu

kedua terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Penyederhanaan partai
16




pada pemilu kedua tersebut terjadi karena mulai diberlakukannya peraturan tentang

penyederhanaan partai. Sesuai dengan ketetapan MPR dalam rangka penyederhanaan

sistem kepartaian di Indonesia, pada 1973 diadakan penyederhanaan partai politik.

Empat partai politik Islam,yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti, bergabung dalam

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan lima partai politik lainnya yaitu

PNI, IPKI, Katolik, Parkindo, dan Murba bergabungmenjadi Partai Demokrasi

Indonesia (PDI) (Kasianto, 1999:25).

     Hasil dari pemilu tahun 1977, Golkar memperoleh kemenangan mutlak seperti

pada pemilu pertama. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344

suara atau 90,93%. Dari suara yang sahtersebut, Golkar meraih 39.750.096 suara

(62,11%) dan mendapat 323 kursi, PPP meraih 18.743.491 (29,9%) mendapat 99

kursi, dan PDI meraih 5.504.757 (8,60%) mendapat 29 kursi (Preencechinty, 2009).

     Fakta mengenai pelaksanaan pemilu kedua masa Orde Baru digunakan oleh

pengarang sebagai landasan fabula dalam novel, sebagaimana kutipan berikut ini.

               Tak ada lagi partai-partai penuh tulisan Arab, katanya sekarang
           menjadi satu dalam gambar bintang. Lalu katanyapartai-partai orang
           abangan semuanya menjadi gambar merah, bergambar kepala banteng.
           Tapi itu bukan partai kami. Bukan partai yang wajib dicoblos orang-
           orang di Singget. Karena kami orang-orang negara, orang-orang yang
           mendukung pemerintah. Kami semua orang-orang partai kuning.
           Mencoblos gambar beringin (Madasari,2010:78).

                Coblosan dilaksanakan beberapa hari kemudian. Tanggal 2 Mei
           1977. Semua orang ramai-ramai datang ke balai desa. Sama seperti yang
           kulihat lima tahun sebelumnya, orang-orang mencoblos kertas dengan
           paku didalam bilik bertirai. Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti
           sudah menjadipakem, halaman desa sudah dipersiapkan untuk
           gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, gong akan ditabuhdan
           orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan
           partai pemerintah (Madasari,2010:86).
17




     Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa fakta tentang penyederhanaan sistem

kepartaian di Indonesia dan pelaksaan pemilu kedua masa Orde Baru dilakukan.

Defamiliarisasi (penganehan) yang dilakukan oleh pengarang yaitu dengan membuat

narasi mengenai penyederhanaan sistem kepartaiandi Indonesia dan penggambaran

pelaksanaa pemilu ke dua masa Orde Baru.



2.1.2 Pembunuhan Misterius

Peristiwa lain pada masa Orde Baru yang digunakan sebagai landasan fabula adalah

peristiwa pembunuhan misterius. Pembunuhan misterius ini dilakukan terhadap

orang-orang yang dianggap mengganggu keamanaan dan meresahkan masyarakat

seperti perampok, preman, dan sebagainya.

     Adanya pembunuhan misterius yang terjadi pada masa Orde Baru berawal dari

keluhan masyarakat karena makin meluas dan seriusnya gangguan keamanan.

Berdasarkan keluhan tersebut, pemerintahan Soeharto memberi jawaban dengan

menghabisi para pengganggu keamanandengan membunuh mereka secara rahasia

serta diluar jalur hukum. Sampai tahun 1984, LBH Jakarta melaporkan bahwa

ditemukan 5000 orang yang menjadi korban operasi militer atau yang disebut dengan

pembunuhan misterius. Dalam pembunuhan tersebut, tidak ada satupun pelaku yang

ditangkap atau diadili. Meskipun bersifat misterius, semua orang tahu bahwa pelaku

dari peristiwa tersebut adalah aparat resmi negara. Dalam buku semi-otoboigrafi

yang terbit pada 1989, Soeharto mengakui bahwa dialah yang menjadi inisiator

pembunuhan misterius tersebut (Susilo, 2009:33).
18




     Peristiwa pembunuhan misterius yang terjadi pada masa Orde Baru digunakan

sebagai landasan fabula sebagai penggambaran peristiwa pada masa Orde Baru.

Berikut kutipan dalam novel yang menunjukkan penggunaan fakta mengenai

pembunuhan misterius.

                Siang ini kami duduk di pawon sambil makan rujak yang kubeli di
           pasar. Aku bercerita tentang kematian Mali dan orang pasar itu. Dia
           terkejut dan sepertinya agak marah.
                “Disana juga banyak yang mati. Mayat dimana-mana. Di pasar, di
           jalan, di lapangan. Semua orang ketakukan.”
                “Aduh Gusti! Yuk, hati-hati disana. Di kota orang jahat lebih
           banyak.”
                “Justru katanya mayat-mayat itu penjahat, maling, rampok. Katanya
           mereka dibunuh biar kapok. Tapi kok bisa sebanyak itu.”
                “Lha disini yang mati juga katanya maling, tukang meras.”
                “Ya sama kalau begitu. Nggak di kota, nggak di desa. Lha iya kalau
           mereka benar maling, lha kalau bukan?”
           (Madasari,2010:131-132).

                Di pengajian ini, kami juga membahas tentang mayat-mayat itu.
           Tubuh-tubuh tak bernyawa yang katanya maling, rampok, gali,
           pembunuh, atau preman. Mereka mati begitu saja, tanpa penyebab yang
           jelas. Mayatnya bergelimpangan di tempat-tempat yang mudah dilihat
           orang. Kami menyebut ini semua pembunuhan. Pembunuhan yang penuh
           misteri. Polisi tak pernah mencari tahu siapa pelakunya. Berlebihkah
           kalau kami sedikit berprasangka? (Madasari,2010:136)


     Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa pengarang menggambarkan adanya

pembunuhan misterius yang terjadi di masyarakat. Banyak orang memperbincangkan

masalah tersebut. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa banyak terjadi pembunuhan

misterius terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pengganggu keamanan.

Mayat-mayat ditemukan di tempat-tempat yang sering dikunjungi warga. Tidak ada

yang mengetahui alasan dan pelaku pembunuhan tersebut, bahkan pihak

keamananpun tidak berusaha mengusut kasus tersebut. Hal ini menimbulkan

kecurigaan dari sebagian kalangan masyarakat yang mengindikasi bahwa pemerintah
19




terlibat dengan peristiwa tersebut sehingga aparat keamanan tidak mengusut dan

terkesan membenarkan perbuatan tersebut.



2.1.3 Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 1984 di

Tanjung Priok. Dalam kerusuhan massal tersebut. umat Islam berhadapan langsung

dengan aparat militer yang bersenjata. Puluhan orang tewas dalam peristiwa tersebut.

Dalam novel Entrok, peristiwa ini digambarkan sebagai berikut.

           1984

               Pertengahan September peristiwa besar terjadi di ibukota. Tentara
           menembak orang-orang yang sedang pengajian. Banyak yang mati. Lebih
           banyak lagi yang dipenjara. Orang-orang itu melawan Negara. Panser-
           panser datang lalu tentara masuk masjid dengan sepatu tingginya. Semua
           orang mengamuk, yang didalam masjid bertahan, yang baru datang
           menyerang. Lalu meletuslah bunyi tembakan-tembakan itu.
           (Madasari, 2010:135-136).


     Dari kutipandi atas, terilhat adanya peristiwa kerusuhan antara umat Islam

dengan anggota militer. Para anggota militer memasuki masjid tanpa melepas sepatu

mereka. Orang-orang yang datang ke masjid menyerang anggota militer yang

kemudian terjadi tembakan.

     Pengarang tidak secara langsung menggambarkan tragedi Tanjung Priok.

Pengarang bahkan tidak mencantumkan waktu dan tempat kejadian perkara, hanya

dicantumkan keterangan tempat “di ibukota”yang menunjukkan lokasi Jakarta dan

keterangan waktu “pertengahan September”dan tahun “1984”. Akan tetapi, fakta

yang ditemukan pada pertengahan September 1984 adalah kerusuhan massal yang

melibatkan umat Islam dengan militer di Tanjung PriokJakarta.
20




     Peristiwa Tanjung Priok sesungguhnya klimaks dari serangkaian kekecewaan

umat Islam atas sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru. Dalam tragedi tersebut,

ratusan orang diterjang peluru dari segala arah oleh militer. Mereka yang luka-luka

dan berusaha melarikan diri ditembaki dan ditusuk oleh sangkur. Mereka yang

bertiarap dan bersembunyi di pinggir jalan dihujani peluru dari atas truk militer.

Pemerintah awalnya menyebutkan 9 orang meninggal dan 53 orang luka-luka,

kemudian pemerintah merevisi jumlah yang meninggal menjadi 18 orang dan diralat

lagi menjadi 40 orang (Wardaya, 2008:139).



2.1.4 Peledakan Stupa Candi Borobudur

Peristiwa lain yang digunakan sebagai landasan fabula adalah peristiwa peledakan

stupa di Candi Borobudur. Peristiwa peledakan di Candi Borobudur terjadi pada

tanggal 15 Januari 1985. Pelaku dari peledakan tersebut disinyalir bukanlah dari

kalangan pemerintah, tetapi berasal dari umat Islam.

     Dalam peristiwa peledakan tersebut memang terbukti umat Islam sebagai

pelakunya. Abdulkadir Ali Alhabsyi dan Husein Ali Alhabsy ditangkap beberapa

saat setelah kejadian. Merekadisebut sebagai pelaku peledakan di Candi Borobudur.

Abdulkadir divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20

tahun, meski kemudian ia mendapatkan remisi setelah menjalani hukuman selama 10

tahun. Husein sendiri dihukum seumur hidup sebelum kemudian mendapat grasi dari

Presiden BJ Habibie. Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan

Borobudur dan menuding Mohammad Jawadsebagai dalangnya (Joe, 2009).
21




     Dalam persidangan, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap

Candi Borobudur tersebut merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-

kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok, yang menewaskan puluhan nyawa umat

Islam. Albdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan

ketidakpuasannya atas peristiwa berdarah tersebut. Namun, keterangan itu sempat

diragukan karena Ibrahim, orang yang disebut Husein sebagai dalangnya, tidak

pernah dapat ditemukan oleh aparat, bahkan hingga kini(Joe, 2009).

     Dalam novel Entrok, peristiwa pengeboman stupa di Candi Borobudur terlihat

pada kutipan berikut.

           Magelang, Januari 1985

           Malam telah larut. Semua orang telah berkelana dalam mimpi masing-
           masing.
                BUUM!
                Bunyi itu mengagetkan kami. Besar dan mengguncang. Bergetar
           seperti gempa bumi! Tapi mengglegar ditelinga seperti geledek. Baru
           pertama kali aku mendengar bunyi seperti itu. Kami keluar kehalamn
           rumah. Diarah barat, terlihat sedikitnyapercikan api lalu berganti asap
           tebal. Jelas ini bukan gempa bumi. Kami bergegas berlari menuju sumber
           suara itu.
                Disinilah asalnya. Candi Borobudur, bangunan megah yang menjadi
           simbol kebanggaan itu ternyata keagungan dan kemeganhan itu hanya
           ilusi! Bangunan itu tak cukup kokoh melawan guncangan. Mahakarya
           yang tercipta ratusan tahun lalu takluk dalam hitungan menit pada karya
           cipta manusia modern yang memang dibuat untuk merusak:bom. Tujuh
           stupa yang selama ratusan tahun berdiri kokoh dibawah terik matahari
           dan hujan kini hanya tinggal menjadi puing (Madasari,2010:138).

               “Dimana Saudara waktu ada ledakan?”
               “Kami tidur di rumah. Lalu ke sana saat ada bunyi ledakan”
               Aku tersenyum kecut. Apakah tentara-tentara ini mengira kami
           orang-orang yang meledakan candi? Lelucon yang sangat tidak lucu
           (Madasari,2010:145).
22




      Pada kutipan pertama di atas, digambarkan mengenai peristiwa pengeboman di

Candi Borobudur yang terjadi pada Januari 1985 yang menghancurkan tujuh stupa.

Kutipankedua di atas, merupakan penggambaran bahwa yang dituduh melakukan

pengeboman stupa di Candi Borobudur adalah orang Islam. Hal ini terihat dari

penggambaran kecurigaan tentara terhadap dosen dan mahasiswa yang sedang

melakukan praktik lapangan, mengajar guru-guru mengaji ditangkap karena dicurigai

terlibat dalam kasus peledakan stupa di Borobudur. Secara tidak langsung aparat

keamanan pada masa itu mencurigai umat Islam sebagai pelaku peledakan.



2.2   Praktik Hegemoni pada Masa Orde Barudalam Novel Entrok

Permasalahan Hegemoni selalu berhubungan dengan ideologi yang dianut oleh

seseorang atau kelompok masyarakat. Permasalahan hegemoni secara tidak langsung

memberikan dampak bagi suatu perubahan sosial dalam suatu kelompok masyarakat.

Hal tersebut diungkapkan oleh Okky Madasari dalam novel Entrok. Di dalam novel

tersebut, Okky Madasari memberikan gambaran tentang praktik hegemoni yang

dilakukan oleh pengusa terhadap masyarakat pada masa Orde Baru.

      Pada subbab ini, akan diuraikan praktik hegemoni pada masa Orde Baru yang

dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat dalam novel Entrok. Analisis praktik

hegemoni dalam subbab ini dibagi menjadi dua, yaitu praktik hegemoni penguasa

terhadap keluarga Marni dan terhadap masyarakat umum.

      Konsep hegemoni dalam novel Entrok karya Okky Madasari terlihat dari

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap

masyarakat kecil. Penguasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang-orang yang
23




mempunyai jabatan atau kedudukan seperti ketua RT, kepada desa, camat, bupati,

militer, dan presiden. Berikut ini disajikan beberapa contoh praktik hegemoni yang

dilakukan oleh penguasa pada masa Orde Baru.



2.2.1 Praktik Hegemoni Penguasa Orde Baruterhadap Keluarga Marni

      Penguasa Orde Baru menghegemoni masyarakat untuk mematuhi semua yang

diperintahkan. Kehidupan masyarakat pada masa Orde Baru tidak lepas dari campur

tangan militer atau ABRI. ABRI sebagai salah satu penguasa Orde Baru mempunyai

kedudukan cukup penting dalam pemerintahan. Akan tetapi, kedudukan tersebut

sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan kekuasaan

yang dilakukan oleh ABRI berdampak buruk kepada kehidupan masyarakat, karena

masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi korban para penguasa tersebut.

      Dalam novel Entrok karya Okky Madasari, praktik hegemoni terlihat saat

ABRI memanfaatkan kedudukannya sebagai penguasa untuk mendapatkan uang dari

Marni dengan dalih sebagai uang keamanan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan

berikut ini.

                    Dulu aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam
               datang kerumah kami. Kata Ibu. Untuk keamanan. Lalu kenapa ibu selalu
               memberikan uang kepada mereka? Tanyaku lagi. Namanya keamanan ya
               bayar, jawab Ibu. Orang-orang berseragam sering datang kerumah.
               Mereka selalu datang pada hari senin dua minggu sekali. Kadang-kadang
               ada juga yang datang dilura hari itu. Katanya cuma kebetulan lewat atau
               cuma mampir. Tapi sudah tahualah Ibu apa yang harus dilakukannya
               setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau bukan menyerahkan
               setumpuk uang.
                    Diam-diam aku iri kepada orang-orang berseragam loreng itu.
               Mereka tinggal datang ke rumah, dan Ibu langsung memberi banyak
               uang. Tanpa banyak omong, tanpa banyak cerita (Madasari,2010:53).
24




     Dari kutipan di atas terlihat adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan

oleh orang-orang berseragam loreng terhadap Marni. Setiap dua minggu sekali,

Marni harus menyerahkan hasil jerih payahnya kepada orang-orang berseragam

dengan alasan sebagai uang keamanan. Pada dasarnya tugas utama dari orang-orang

berseragam loreng tersebut adalah untuk memberi pengamanan kepada masyarakat

tanpa memungut biaya karena meraka sudah mendapatkan gaji dari pemerintah.

Akan tetapi, Marni hanyalah masyarakat kecil yang tidak bisa menolak keinginan

dari penguasa tersebut.

     Marni pernah memberikan perlawanan terhadap hegemoni yang dilakukan oleh

orang-orang berseragam loreng. Marni menolak memberikan uang keamanan karena

ia merasa tidak berbuat kesalahan sehingga tidak perlu diamankan. Akan tetapi,

suaminya meminta Marni menuruti perintah orang-orang berseragam loreng itu

karena menolak keinginan penguasa maka mereka akan dicap sebagai PKI dan akan

dipenjara. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini.

               “Kamu jangan seenaknya, Ni. Mau kamu dicap PKI, dipenjara kaya
           Pak Tikno?”
               “Halah! Aku bukan PKI! Aku Cuma mau cari makan. Tidak
           mencuri. Tidak merampok. Apa aku sala? Terus mereka seenak udele
           meras orang. Dulu ngambil panik. Sekarang datang minta duit!”
               “Tapi mereka petugas, Ni. Orang yang mengamankan kita!”
               “Hasyah! Prek!”
               “Kowe prak-prek-prak-prek terus! Mau nanggung kalau kita nanti
           dicap PKI? Mau kalau kita semua dipenjara?” (Madasari,2010:71-72).


     Presepsi bahwa siapapun yang tidak menuruti perintah penguasa akan dianggap

melawan negara dan dicap sebagai PKI ditanamkan oleh penguasa untuk

menghegemoni masyarakat. Penanaman pandangan tersebut berhasil memengaruhi

masyarakat sehingga mereka mau tunduk kepada penguasa.
25




     Pada masa Orde Baru, PKI menjadi sebuah kata ampuh untuk menundukkan

masyarakat. Hal tersebut terjadi karena pada masa itu siapapun yang dianggap

sebagai komunis akan mendapatkan sanksi kriminal dari pemerintah yaitu menjadi

tahanan politik. Para pemberontak itu juga akan mendapatkan sanksi nonkriminal

dengan penambahan kode ET (Eks-Tapol) pada KTP mereka. Siapapun yang

mempunyai tanda tersebut selamanya akan dianggap sebagai PKI dan tidak bisa

mendapatkan pekerjaan di manapun.

               “Nduk, kamu kan pernah kuliah. Belum ada lho orang di singget
           yang seperti kamu. Apa kamu nggak pengin kerja, Nduk? Jadi itu… bu
           guru. ”
               ...
               “Tapi bagaimana ceritanya, Bu, bekas dipenjara bisa kerja?”
               “Lho kan ndak semua orang tahu, to. Yang tahu itu kan Cuma orang-
           orang balai desa dan Kodim. ”
               “Semua orang pasti tahu Bu. ”
               ...
               “Ini Bu, lihat. Tulisan ini. Tulisan ini tidak ada di KTP Ibu. Hanya di
           KTP ku yang ada. ”
               “Tulisan apa itu? Sama saja dengan tulisan yang lain-lain. ”
               “Tapi tulisan ini hanya ada di KTP ku Bu. Ini ciri untuk orang yang
           pernah dipenjara seperti aku. ”
               “Seperti PKI?” aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat cirri di
           KTP nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan hidup enak.
           Selamanya bakal jadi kere(Madasari,2010:274-275).

     Dari kutipandi atas, terlihat Marni menyuruh anaknya untuk mencari

pekerjaan. Akan tetapi, Rahayu tidak bisa menuruti kemauan ibunya tersebut. Tidak

ada yang mau memberikan pekerjaan kepada bekas tahanan. Tanda ET yang tertera

pada KTP Rahayu merupakan bukti kalau ia pernah menjadi tahanan politik dan

selamanya akan dicap PKI.

     Pada masa Orde Baru pemberian label PKI menjadi hal yang mengerikan bagi

masyarakat karena mereka menyakini siapapun yang dianggap PKI selamanya akan
26




mengalami kesusahan. Tidak hanya menjadi tahanan politik dan penambahan ET di

KTP-nya, tetapisiapapun yang dianggap PKI akan mendapat sanksi sosial berupa

cemooh serta diasingkan dari masyarakat.

     Sanksi sosial tersebut tidak hanya diberikan kepada PKI tetapi juga kepada

semua anggota keluarganya. Hal tersebut menjadikan paradigma masyarakat untuk

berhati-hati bila bersentuhan dengan masalah hukum karena hukum yang berlaku

pada masa itu adalah hukum yang ditetapkan oleh para penguasa Orde Baru.



2.2.2 Praktik Hegemoni Penguasa Orde Baru terhadap Masyarakat

Dalam novel Entrok karya Okky Madasari konsep hegemoniterlihat dalam dominasi

yang dilakukan oleh penguasa kepada masyarakat pada masa Orde Baru. Dominasi

tersebut sangat berkaitan erat dengan ideologi sebuah kelompok tertentu. Penguasa

sengaja menanamkan ideologi mereka terhadap masyarakat agar masyarakat patuh

kepada mereka.

     Penanaman ideologi penguasa terhadap masyarakat dalam novel Entrok karya

Okky Madasari sukses membuat partai kuning bergambar beringin memenangkan

pemilu pada masa Orde Baru. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

               Di kelas, Bu Lastri bercerita tentang akan adanya pemilu. Katanya
           ini pemilu pertama setelah negara gonjang-ganjing. Ini pemilu yang
           sesuai aturan, pemilu yang akan membawa ketentraman. Bu Lastri
           menunjukkan kertas warna kuning bergambar beringin, sama seperti
           umbum-umbul yang dipasang di gabura dan depan balai desa.
               Apa yang dikatakan Bu Lastri kukatakan pada Ibu dan Bapak.
           Mereka berdua, orang yang buta huruf yang hanya tahu pasar harus tahu
           pemilu. Mereka harus ikut dan tidak salah pilih (Madasari,2010:60-61).
27




       Kutipan diatas menunnjukkan bahwa Bu Lastri berusaha menanamkan

ideologinya kepada murid-muridnya agar mereka tahu masalah pemilu dan partai

mana yang harus dipilih. Pada dasarnya sasaran utama dari penanaman ideologi

tersebut bukanlah murid-miridnya. Akan tetapi, orang tua murid yang diharapkan

nantinya akan memilih partai kuning bergambar beringin tidak salah pilih partai lain.

Hal tersebut membuahkan hasil karena pada pemilu pertama yang dilakukan pada

tahun 1971 tersebut partai kuning bergambar beringin memenangkan pemilu.

Kemenangan yang diperoleh oleh partai Golkar tidak hanya pada pemilu pertama,

tetapi pada pemilu-pemilu berikutnya.

     Praktik hegemoni tidak hanya dilakukan kepada warga pribumi, tetapi juga

kepada warga keturunan Tionghoa. Keberadaan warga Tionghoa pada masa Orde

Baru sangat dibatasi. Kesenian barongsai, perayaan Hari Raya Imlek, pemakaian

bahasa Mandarin, dan pergi ke klenteng dilarang oleh pemerintah. Warga Tionghoa

yang masih melakukanhal-hal tersebut akan mendapatkan sanksi dari pemerintah

seperti yang dialami oleh Koh Cahyadi.

               “Hus! Kalau tidak tahu apa-apa jangan sembarangan omong.
           Klenteng, tari naga, sampeyan tahu tidak, itu simbol-simbol PKI.
           Maknya dilarang. Ini singkek sudah tahu dilarang masih nekat.”
           (Madasari,2010:182).


     Singkek yang dimaksud dalam kutipan diatas adalah Koh Cahyadi, warga

keturunan Tionghoa. Koh Cahyadi ditangkap karena ia ketahuan pergi ke klenteng

dan menyumbang untuk kesenian barongsai.

     Selain Koh Cahyadi, dalam novel Entrokpraktik hegemoni juga dilakukan

kepada warga keturunan Tionghoa lainnya. Warga Tionghoa pada masa itu
28




diwajibkan untuk mengganti kepercayaan mereka agar dianggap mempunyai agama.

Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini.

               “Sst! Jangan bilang siapa-siapa. Orang-orang seperti kami ini, yang
           sebenarnya lebih percaya abu leluhur daripada salib, setiap minggu pergi
           ke gereja. Mengaku beragama Kristen atau Katolik. Agar dianggap punya
           agama.”(Madasari,2010:109).

     Dari kutipan diatas terlihat keberhasilan penguasa menghegemoni warga

Tionghoa untuk berpindah kepercayaan. Meskipun warga keturunan Tionghoa

tesebut berpindah kepercayaan, tetapi pada dasarnya penguasa tidak sepenuhnya

memenangkan ideologi mereka. Warga Tionghoa lebih percaya kepada abu leluhur

daripada salib. Meskipun demikian, mereka tidak bisa melawan hegemoni penguasa

tersebut dan hanya bisa patuh menerima hegemoni tersebut.

     Pada masa Orde Baru, agama tradisional warga Tionghoa dilarang. Akibatnya

agama Konghuchu kehilangan pengakuan dari pemerintah (Susilo, 2009:67).

Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru Presiden Soeharto adalah melalui

penekanan terhadap warga Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa di

berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati

mereka terhadap komunis. Walaupun demikian, Presiden Soeharto bersahabat akrab

dengan Lee Kuan Yew yang pernah menjadi Perdana Menteri Singapura yang

beretnis Tionghoa.

     Pemerintah pada masa Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang

populasinya ketika itu mencapai kurang lebih lima juta jiwa dari keseluruhan rakyat

Indonsia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Indonesia.

Padahal, kebanyakan dari mereka berprofesi sebabagai pedagang yang bertolak

belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme yang mengharamkan
29




perdagangan. Warga Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Mereka

memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
30




                                          BAB III

                                    SIMPULAN




      Kajian formalisme Rusia yang diterapkan dalam penelitian ini ternyata dapat

digunakan untuk menyusuri fakta yang digunakan sebagai landasan fabula untuk

membangun sjuzet dari sebuah novel. Fakta-fakta diolah oleh pengarang sehingga

menjadi sebuah sjuzet yang telah melalui defamiliarisasi. Dalam novel Entrok karya

Okky Madasari, fakta-fakta yang berupa peristiwa pada masa Orde Baru digunakan

sebagai landasan fabula yang kemudian diolah melalui defamiliarisasi menjadi

sjuzet.

      Dari   penggunaan     fakta-fakta    peristiwa   sebagai   landasan   fabula   ini

menunjukkan bahwa karya sastra dapat dijadikan sebuah miniatur sejarah yang telah

mengalami defamiliarisasi agar muncul kesan fiktif. Padahal dalam karya sastra

tersebut mengandung fakta-fakta sejarah. Sebagaimana terlihat dari fakta-fakta

peristiwa yang terjadi selama Orde Baru dan praktik-praktik hegemoni yang

dilakukan oleh pemerintah pada masa itu, diungkapkan dalam novel melalui sjuzet

yang didefamiliarisasikan sehingga pembaca seakan ikut dalam peristiwa yang

disajikan oleh pengarang.




                                            30
31




                              DAFTAR PUSTAKA




Abrams, M.H. 1971. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical
    Tradition. London: Oxford University Press.

_______. 2009. A Glossary of Literary Terms, Eighth Edition. Boston: Thomson
     Wadsworth.

Bennett, Tony. 2003. Formalism and Marxism; Second Edition.New York:
     Routledge.

Bertens, Hans. 2001. Literary Theory: The Basic. London And New York:
     Routledge.

Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni.
     Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.

Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism, Second Edition.New Jersey: Prentice
      Hall.

Brown, Trent. 2009. “Gramsci and Hegemony”dalam International Journal of
    Socialist.Renewal.http://links.org.au/node/1260 (diakses 25 April 2012)

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas.
    Jakarta:Depdikbud.

Eagleton, Terry. 2006. Literary Theory: An Introduction, Second Edition.
     Minneapolis: The University Of Minnesota Press.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Media Pressindo.

Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta:
     Gramedia.

Gramsci, Antonio. 1992. Selections From The Prison Notebooks of Antonio
    Gramsci.Quentin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (ed.). New York:
    International Publishers.

Holub, Renate. 1992. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism.
     London & New York: Routledge.
32




Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
     Widia.

Joe.      2009.      Bom      Borobudur,     Petaka   di     Kuil     Syailendra.
       http://dekade80.blogspot.com/2009/05/bom-borobudur-petaka-di-kuil-
       syailendra.html (diakses 26 September 2012).

Kasiyanto, M.J. 1999.Mengapa Orde Baru Gagal?. Jakarta:Yayasan Tri Mawar dan
     CV Cakra Media.

Kurnia, Anwar. 2004. Kronik Sejarah. Jakarta:Ghalia Indonesia Priting.

Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
     Graha Ilmu.

Litowitz, Douglas. 2000. “Gramci, Hegemony, and Law” jurnal Brigham Young
     University         Review.        Vol        2000           No.2         (2000)
     p.515.http://lawreview.byu.edu/archives/2000/2/lit.pdf (diakses 25 April 2012)

Lodge, David and Nigel Wood (ed.). 2000. Modern Criticism and Theory: A Reader;
     Second Edition. UK: Pearson Education Limited.

Luxemburg, Jan van,et.al. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick
    Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta:Gramedia.

McNally, Mark and John Scwarzmantel (ed.). 2009. Gramsci and Global Politics:
    Hegemony and Resistance. London & New York: Routledge.

Nuryatin, Agus. 2005. Formalisme Rusia: Mengolah Fakta dalam Fiksi. Semarang:
     Rumah Indonesia.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
      Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Preencechinty.       2009.       Pemilu         Indonesia       Masa          Orde
     Baru.http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru
     (diakses 26 Juni 2012)

Rice, Philip dan Patricia Waugh (ed.). 1989. Modern Literary Theory: A
     Reader.Great Britain: Edward Arnold.

Sassoon, Anne Showstack. 2000. Gramsci and Contemporary Politics: Beyond
     Pessimism of The Intellect. London & New York: Routledge.

Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan
     oleh Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada Univeristy Press.
33




Selden, Raman et.al. 2005.A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory, Fifth
     Edition. Great Britain: Pearson Longman.

Shklovsky, Victor. 1989. “Art and Technique” dalam Modern Literary Theory: A
     Reader.Rice, Philip dan Patricia Waugh (ed.). Great Britain: Edward Arnold.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh
    Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Susilo, Tufik Adi. 2009. Soeharto Biografi Singkat 1921-2008. Yogyakarta:Garasi
      Haouse Of Book.

Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Wardaya, Baskara T. 2008. Menguak Misteri Kesuksesan Soeharto. Yogyakarta:
    Galang Press.
34




                           SINOPSIS NOVELENTROK

                           KARYA OKKY MADASARI




     NovelEntrokmengambil latar tempat di daerah Madiun pada tahun 1950-1999.

Cerita bermula pada tahun 1950-an, ketika Marni hidup bersama ibunya yang biasa

dipanggil “Simbok” tanpa asuhan dan nafkah dari seorang ayah. Pada masa ini, Marni

adalah seorang gadis kecil yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Hal ini

disebabkan karena sulitnya perekonomian pada masa itu,sedangkan Simbok bekerja di

pasar hanya sebagai tukang potong ubi pada orang-orang yang berjualan ubi di pasar.

     Marni tumbuh menjadi perempuan pekerja keras yang setiap hari menukar

keringatnya demi sepeser uang. Kehidupan ekonomi Marni semakin meningkat drastis,

danhal tersebut berdampak besar bagi anak dan suaminya. Marni mengembangkan

usahanya dari keuntungannya berjualan, yaitu meminjamkan uang dengan imbalan

pembayaran komplit bunga sepuluh persen dan juga bisa dicicil. Rahayu, anak Marni,

sudah tidak lagi mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu dialami ibunya. Ia

bersekolah di tempat yang bagus bersama dengan anak-anak pegawai.

       Meskipun kehidupan ekonomi Marni semakin meningkat, tetapi hal tersebut

tidak selalu berjalan mulus. Marni yang sepanjang hidupnya bekerja keras demi

mendapatkan uang selalu mendapat masalah dengan masyarakat sekitar karena

dianggap sebagai lintah darat yang sangat merugikan. Selain itu, masyarakat juga

beranggapan kekayaan yang diperoleh Marni bukan dari keringatnya sendiri tapi dari

hasil memelihara tuyul.Selain mendapat masalah dengan masyarakat, Marni juga
35




terlibatmasalah dengan “penguasa berbaju loreng” yang selalu memanfaatkan

kekuasaannya untuk mendapatkan uang dari Marni.

     Konflik-konflik sosial pada masa Orde Baru dimunculkan oleh pengarang

dalam novel ini. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh

keotoriteran penguasa Orde Baru dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat

yang tidak mempunyai jabatan apapun.

     Marni dan keluarganya merasakan penindasan yang didasari penanaman

ideologi hegemoni oleh penguasa Orde Baru melalui tindakan-tindaka represif yang

dilakukan oleh aparatus negara. ABRI yang seharusnya menjadi aparatus negara

yang menjaga perdamaian negara malah ikut menindas masyarakat dengan

kekuasaan yang dimilikinya. Pemerasan oleh penguasa seperti lurah, ABRI, dan

Polisi, dirasakan oleh masyarakat di desa Marni. Setiap akan diadakan Pemilu, Marni

selalu dimintai bantuan yang jumlahnya diluar akal sehat.

     Selama hidupnya Marni dan keluarganya tidak pernah lepas dari masalah

dengan para pemegang kekuasaan. Selain meminta uang keamanan, mereka juga

datang untuk meminta sumbangan kampanye yang akan digunakan untukpesta saat

merayakan kemenangan partai pemerintah. Marni hanya menuruti semua kemauan

orang-orang yang berkuasa karena ia tidak ingin mendapatkan sanksi dan dicap

sebagai PKI. Akan tetapi, pada akhirnya Marni harus menerima kenyataan pahit.

Rahayu, putri semata wayang Marni, terlibat masalah dengan para penguasa yang

mengakibatkan ia dipenjara dan dicap sebagai PKI.

More Related Content

What's hot

Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahMari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahDebby Zalina
 
Materi M5KB1 - Nihon Bungaku
Materi M5KB1 - Nihon BungakuMateri M5KB1 - Nihon Bungaku
Materi M5KB1 - Nihon BungakuPPGHybrid1
 
Modul sejarah sastra Indonesia
Modul sejarah sastra IndonesiaModul sejarah sastra Indonesia
Modul sejarah sastra IndonesiaInunks Peihhcc
 
Kelompok 4 sastra indo di masa jepang
Kelompok 4 sastra indo di masa jepangKelompok 4 sastra indo di masa jepang
Kelompok 4 sastra indo di masa jepangMitha Ye Es
 
Tutorial 3
Tutorial 3Tutorial 3
Tutorial 3firo HAR
 
Bahasa Indonesia - Pengertian Novel
Bahasa Indonesia - Pengertian Novel Bahasa Indonesia - Pengertian Novel
Bahasa Indonesia - Pengertian Novel hanakamilah4
 
Bab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonial
Bab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonialBab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonial
Bab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonialfiro HAR
 
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Marliena An
 
KAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADU
KAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADUKAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADU
KAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADUMomee Rain
 
Meluruskan Sejarah Sastra Indonesia
Meluruskan Sejarah Sastra IndonesiaMeluruskan Sejarah Sastra Indonesia
Meluruskan Sejarah Sastra IndonesiaAnjrah Lelono Broto
 
contoh olahan karya novel "Tok Guru"
contoh olahan karya novel "Tok Guru"contoh olahan karya novel "Tok Guru"
contoh olahan karya novel "Tok Guru"KPM- ex KPLI students
 
Sejarah kesusasteraan melayu tradisional
Sejarah kesusasteraan melayu tradisionalSejarah kesusasteraan melayu tradisional
Sejarah kesusasteraan melayu tradisionalMohdRainie
 
Bab-6-persoalan-malaysia-sentrik
Bab-6-persoalan-malaysia-sentrikBab-6-persoalan-malaysia-sentrik
Bab-6-persoalan-malaysia-sentrikfiro HAR
 
Bab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerBab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerDek Matang
 
Pengertian prosa dan jenis prosa
Pengertian prosa dan jenis prosaPengertian prosa dan jenis prosa
Pengertian prosa dan jenis prosaPungki Ariefin
 
Skmk, sastera kepahlawanan.
Skmk, sastera kepahlawanan.Skmk, sastera kepahlawanan.
Skmk, sastera kepahlawanan.jimoh370
 

What's hot (19)

Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahMari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramah
 
Materi M5KB1 - Nihon Bungaku
Materi M5KB1 - Nihon BungakuMateri M5KB1 - Nihon Bungaku
Materi M5KB1 - Nihon Bungaku
 
Modul sejarah sastra Indonesia
Modul sejarah sastra IndonesiaModul sejarah sastra Indonesia
Modul sejarah sastra Indonesia
 
Kelompok 4 sastra indo di masa jepang
Kelompok 4 sastra indo di masa jepangKelompok 4 sastra indo di masa jepang
Kelompok 4 sastra indo di masa jepang
 
Tutorial 3
Tutorial 3Tutorial 3
Tutorial 3
 
Bahasa Indonesia - Pengertian Novel
Bahasa Indonesia - Pengertian Novel Bahasa Indonesia - Pengertian Novel
Bahasa Indonesia - Pengertian Novel
 
Aliran aliran-karya-sastra
Aliran aliran-karya-sastraAliran aliran-karya-sastra
Aliran aliran-karya-sastra
 
Bab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonial
Bab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonialBab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonial
Bab 5 -pensejarahan-perspektif-kolonial
 
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
 
KAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADU
KAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADUKAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADU
KAJIAN NOVEL TANGISAN BULAN MADU
 
3. historiografi modern
3. historiografi modern3. historiografi modern
3. historiografi modern
 
Meluruskan Sejarah Sastra Indonesia
Meluruskan Sejarah Sastra IndonesiaMeluruskan Sejarah Sastra Indonesia
Meluruskan Sejarah Sastra Indonesia
 
contoh olahan karya novel "Tok Guru"
contoh olahan karya novel "Tok Guru"contoh olahan karya novel "Tok Guru"
contoh olahan karya novel "Tok Guru"
 
Sejarah kesusasteraan melayu tradisional
Sejarah kesusasteraan melayu tradisionalSejarah kesusasteraan melayu tradisional
Sejarah kesusasteraan melayu tradisional
 
Historiografi
HistoriografiHistoriografi
Historiografi
 
Bab-6-persoalan-malaysia-sentrik
Bab-6-persoalan-malaysia-sentrikBab-6-persoalan-malaysia-sentrik
Bab-6-persoalan-malaysia-sentrik
 
Bab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerBab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporer
 
Pengertian prosa dan jenis prosa
Pengertian prosa dan jenis prosaPengertian prosa dan jenis prosa
Pengertian prosa dan jenis prosa
 
Skmk, sastera kepahlawanan.
Skmk, sastera kepahlawanan.Skmk, sastera kepahlawanan.
Skmk, sastera kepahlawanan.
 

Similar to ORDE BARU DAN HEGEMONI

FORMALISME RUSIA.pptx
FORMALISME RUSIA.pptxFORMALISME RUSIA.pptx
FORMALISME RUSIA.pptxmella63
 
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarahWildan Insan Fauzi
 
New historicism aliran sastra
New historicism aliran sastraNew historicism aliran sastra
New historicism aliran sastraKhoirun Nif'an
 
Pendekatan Pengkajian Sastra.ppt
Pendekatan Pengkajian Sastra.pptPendekatan Pengkajian Sastra.ppt
Pendekatan Pengkajian Sastra.pptTiaBronte
 
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarahwifauzi
 
Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)
Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)
Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)Lailin Luthfiana
 
Afinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptx
Afinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptxAfinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptx
Afinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptxDinaAngreani
 
KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”
KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”
KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”Armadira Enno
 
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka RusminiPotret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusminiahmad bahtiar
 
Sejarah Peminatan.pptx
Sejarah Peminatan.pptxSejarah Peminatan.pptx
Sejarah Peminatan.pptxPutriSoniaAyu
 
Bahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastraBahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastraNisha Komik
 
PENELITIAN SEJARAH.pptx
PENELITIAN SEJARAH.pptxPENELITIAN SEJARAH.pptx
PENELITIAN SEJARAH.pptxrnoviandani
 
Postkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksiPostkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksiAjengIlla
 
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarahWildan Insan Fauzi
 
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra IndonesiaPeriodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra IndonesiaDedi Irawan
 
Ba sejarah sebagai ilmu dan seni
Ba sejarah sebagai ilmu dan seniBa sejarah sebagai ilmu dan seni
Ba sejarah sebagai ilmu dan seninayagian
 

Similar to ORDE BARU DAN HEGEMONI (20)

FORMALISME RUSIA.pptx
FORMALISME RUSIA.pptxFORMALISME RUSIA.pptx
FORMALISME RUSIA.pptx
 
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
 
New historicism aliran sastra
New historicism aliran sastraNew historicism aliran sastra
New historicism aliran sastra
 
Pendekatan Pengkajian Sastra.ppt
Pendekatan Pengkajian Sastra.pptPendekatan Pengkajian Sastra.ppt
Pendekatan Pengkajian Sastra.ppt
 
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah1. sastra dalam pembelajaran sejarah
1. sastra dalam pembelajaran sejarah
 
BUKU - Negara menata Ummat full.pdf
BUKU - Negara menata Ummat full.pdfBUKU - Negara menata Ummat full.pdf
BUKU - Negara menata Ummat full.pdf
 
Buku ajar puisi
Buku ajar puisiBuku ajar puisi
Buku ajar puisi
 
Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)
Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)
Berbagai pendekatan-dalam-pengkajian-sastra(1)
 
Afinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptx
Afinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptxAfinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptx
Afinitas, tradisi dan pengaruh dalam sastra banding.pptx
 
KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”
KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”
KEARSIPAN & DOKUMENTASI : BUKU “RAKYAT DAN NEGARA”
 
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka RusminiPotret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini
 
Periodisasi sejarah sastra indonesia
Periodisasi sejarah sastra indonesiaPeriodisasi sejarah sastra indonesia
Periodisasi sejarah sastra indonesia
 
Sejarah Peminatan.pptx
Sejarah Peminatan.pptxSejarah Peminatan.pptx
Sejarah Peminatan.pptx
 
Bahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastraBahan presentasi mata kuliah teori sastra
Bahan presentasi mata kuliah teori sastra
 
Sejarah sastra
Sejarah sastraSejarah sastra
Sejarah sastra
 
PENELITIAN SEJARAH.pptx
PENELITIAN SEJARAH.pptxPENELITIAN SEJARAH.pptx
PENELITIAN SEJARAH.pptx
 
Postkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksiPostkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksi
 
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
4. diskursus hubungan sastra dan sejarah
 
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra IndonesiaPeriodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia
 
Ba sejarah sebagai ilmu dan seni
Ba sejarah sebagai ilmu dan seniBa sejarah sebagai ilmu dan seni
Ba sejarah sebagai ilmu dan seni
 

More from Alfian Rokhmansyah

Structuralism and poststructuralism
Structuralism and poststructuralismStructuralism and poststructuralism
Structuralism and poststructuralismAlfian Rokhmansyah
 
Perbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin deman
Perbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin demanPerbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin deman
Perbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin demanAlfian Rokhmansyah
 
Kajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorban
Kajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorbanKajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorban
Kajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorbanAlfian Rokhmansyah
 
Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]
Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]
Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]Alfian Rokhmansyah
 
Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]
Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]
Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]Alfian Rokhmansyah
 
Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]
Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]
Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]Alfian Rokhmansyah
 
Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]
Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]
Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]Alfian Rokhmansyah
 

More from Alfian Rokhmansyah (9)

Structuralism and poststructuralism
Structuralism and poststructuralismStructuralism and poststructuralism
Structuralism and poststructuralism
 
Perbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin deman
Perbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin demanPerbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin deman
Perbandingan Cerita Jaka tarub dan Malin deman
 
Kajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorban
Kajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorbanKajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorban
Kajian bandingan novel dan film perempuan b erkalung sorban
 
Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]
Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]
Segi hiburan dalam seni popular_ [sapardi djoko damono]
 
Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]
Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]
Seni populer dan estetika [toeti heratynoerhadi]
 
Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]
Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]
Seni populer dan segi sosial ekonominya [s budhisantoso]
 
Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]
Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]
Estetika dan nilai sastra massa [apsanti djokosujatno]
 
Presentasi skripsi alfian
Presentasi skripsi alfianPresentasi skripsi alfian
Presentasi skripsi alfian
 
Shklovsky "Art as Technique"
Shklovsky "Art as Technique"Shklovsky "Art as Technique"
Shklovsky "Art as Technique"
 

ORDE BARU DAN HEGEMONI

  • 1. ORDE BARUSEBAGAI LANDASAN FABULADAN SJUZET KAJIAN FORMALISME RUSIA DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI MAKALAH SEMINAR TESIS disusun sebagai tugas mata kuliah Seminar Tesis Oleh: Alfian Rokhmansyah 1301021400003 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SUSASTRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012
  • 2. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Orde Lamaatau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966–1998. Dalam jangka waktu tersebut banyak peristiwa yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah Orde Baru. Pada masa Orde Baru kekuasaan sering digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan uang. Tidak hanya Presiden dan pejabat tinggi negara, orang-orang yang mempunyai jabatan di daerah pun memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sehingga terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan yangberujung dengan korupsi. Bahkan aparat keamanan yang seharusnya bertugas untuk melindungi, ikut melakukan praktik penyalahgunaan kekuasaan dengan cara memeras uang rakyat dengan dalih sebagai uang keamanan. Fakta sejarah ini termuat dalam novel Entrokkarya Okky Madasari. Pengarang mengambil fakta sejarah pada zaman Orde Baru di Indonesa pada era tahun 1950– 1999 sebagai latar dalam novelnya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru dengan teknik penceritaan tertentu yang menyebabkan pembaca dapat merasakan kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru. 1
  • 3. 2 Pengarang tentunya menyadari bahwa isi novelnya mempunyai kedekatan dengan fakta sejarah, yaitu masa Orde Baru. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru diangkat dalam novel Entrok, misalnya peristiwa pemboman stupa di Borobudur, kemenangan partai kuning (Golkar) pada pemilu awal di Indonesia, dan praktik-praktik pemerasan terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuasaan. Novel Entrok karya Okky Madasari menunjukkan bahwa kejadian-kejadian dalamkehidupan manusia umumnya dapat dimanfaatkan oleh pengarang sebagai bahan mentah dalam proses pembuatan suatu karya sastra. Hal ini menyebabkan karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Dengan kata lain, pengarang membawa kebenaran yang nantinya akan diyakini oleh pembaca. Salah satu usaha pengarang untuk meyakinkan pembacanya adalah dengan mendekati kebenaran yang diambil dari realitas dalam masyarakat. Realitas kehidupan manusia dapat dijadikan bahan dalam proses kreatif sehingga dapat terbentuk suatu rangkaian cerita.Menurut Jefferson (melalui Nuryatin, 2005:11), realitas kehidupan manusia yang dijadikan bahan mentah yang kemudian diolah oleh pengarang, menurut kaum formalis dinamakan sebagai fabula (cerita), sedangkan karya sastra yang merupakan hasil olahan fabula dinamakan sjuzet (alur). Proses pengolahan fakta cerita (fabula) menjadi sebuah alur (sjuzet) dinamakan defamiliarisasi. Dalam novel Entrok, yang dapat disebut fabula adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru. Fakta-fakta pada peristiwa tersebut merupakan bahan
  • 4. 3 mentah yang digunakan Okky Madasari dalam menyusun novel Entrok. Dengan menggunakan teknik penceritaan tertentu, pengarang mendefamiliarisasikan fakta cerita menjadi sebuah sjuzet. Dalam novel Entrok, pengarang menghadirkan cerminan kehidupan sebuah keluarga yang harus berhadapan dengan kerasnya zaman yang dikuasai oleh senjata. Marni dan keluarganya harus tunduk dan patuh kepada para penguasa Orde Baru. Setiap minggu, Marni harus merelakan sebagian dari penghasilannya untuk diberikan kepada para tentarayang meminta uang keamanan. Marni terpaksa harus menyerahkan uang yang ia dapatkan dengan susah payah kepada para tentara karena tidak ingin mendapat sanksi politik yaitu dicap sebagai PKI. Bukan hanya memberikan uang keamanan, setiap pemilu digelar Marni juga harusmembayar sumbangan kampanye yang cukup besar kepada Pak Lurah untuk mendanai kampanye partai pemerintah. Dengan memanfaatkan kedudukan mereka sebagai penguasa, para tentara bisa dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, termasuk meminta semua warga disebuah desa merelakan rumah dan tanahnya untuk dijadikan sebuah kolam raksasa. Ketidakberdayaan masyarakat menghadapi penguasa Orde Baru membuat kehidupan mereka menjadi terpuruk dan pada akhirnya mereka hanya menjadi korban para penguasa Orde Baru.
  • 5. 4 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel Entrok; 2) praktik hegemoni pada masa Orde Barudalam novel Entrok. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengungkap fakta-fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel Entrok; 2) mengungkap praktik hegemoni pada masa Orde Barudalam novel Entrok. 1.3.2 Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuannya, hasil penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis dari hasil penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi tambahan bagi para pembaca dan pembelajar ilmu sastra, khususnya bagi mereka yang ingin mempelajari teori formalisme Rusia dan sosiologi sastra. Adapun manfaat praktisnya adalah memberikan informasi mengenai fakta yang digunakan sebagai landasan fabula dalam novel Entrok dan memberikan informasi mengenai hegemoni pada masa Orde Baru.
  • 6. 5 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitiankepustakaan yang data-datanya diperoleh dari hasil studi kepustakaan. Objek material penelitian ini adalah novel Entrokkarya Okky Madasari. Objek formal penelitian ini adalahfakta sebagai landasan fabula dan hegemoni pada masa Orde Baru. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teoriformalisme Rusia dan hegemoni, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatanobjektif dan sosiologi sastra. Sesuai rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada fakta-fakta yang digunakan pengarang sebagai landasan fabula dan hegemoni yang ada pada masa Orde Baru. 1.5 Landasan Teoretis 1.5.1 Formalisme Rusia Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab ini dirintis oleh sejumlah ahli linguistik dan ahli sastra di Rusia. Hal ini didasarkan pada keyakinan para formalis bahwa studi seperti itu sangat mungkin dan memang pantas dilakukan. Kaum formalis yakin bahwa studi-studi mereka akan meningkatkan kemampuan pembaca untuk membaca teks-teks sastra dengan cara yang tepat. Kaum formalis cenderung untuk mengkaji teks sastra secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa. Victor Shklovsky mendominasi fase awal Formalisme. Victor Shklovsky mengambil suatu pendekatan bersahaja, mencoba teknik-teknik yang dipergunakan oleh para sastrawan untuk menghasilkan efek-efek yang khusus. Shklovsky
  • 7. 6 menyebut salah satu konsepnya sebagai defamiliarisasi(ostranenie) yang berarti membuat aneh atau proses menjadikan sesuatu itu luar biasa sifatnya. Shklovsky mengemukakan bahwa kita tidak pernah dapat memelihara kesegaran persepsi kita atas objek-objek; tuntutan eksistensi „normal‟ itu diperlukan agar merekamenjadi sejumlah besar yang „diotomatisasikan‟(Selden, 1991:5). Skhlovsky (1989:19) mengungkapkan bahwa teknik seni adalah membuat objek-objek menjadi „tidak biasa‟ dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar untuk menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi karena proses persepsi adalah suatu tujuan estetik dan harus diperpanjang. Kaum formalis lebih memusatkan perhatian pada „keganjilan‟ teks sastra dalam upaya menampilkan kekhasan karya sastra. Konsep defamilarisasi dandeotomatisasimerupakan dua konsep yang digunakan kaum formalis untukmempertentangkan karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan sehari-hari. Apa yang sudah biasa dan secara otomatis diserap, dalam karya sastra dipersulit atau ditunda pemahamannya sehingga terasa asing, ganjil, atau aneh. Tujuannya agar pembaca lebih tertarik pada bentuksdan lebih menyadari hal-hal di sekitarnya. Realitas dalam penyusunan karya sastra bersifat sekunder. Realitas dimasukkan dalam karya sastra oleh seniman pada saat memproses karyanya. Realitas merupakan salah satu komponen karya sastra, bukan sebagai rujukan karya sastra. Apabila karya sastra terlihat seperti merujuk pada realitas tertentu, maka hal itu sekadar kesan sampingan dari fungsi estetik saja (Jefferson melalui Nuryatin, 2005:10) Kaum Formalis berupaya mengkaji karya sastra genre fiksi dan mencoba lebihmemadukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem
  • 8. 7 yang padu dan menyeluruh. Mereka tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya objek pengkajian, juga tidak lagi terpaku pada sarana-sarana yang „mengganjilkan‟ atau „mengasingkan‟ karya sastra. Menurut Jefferson (melalui Nuryatin, 2005:10-11) pengkajian sastra kaum formalis berdasar pada perbedaan antara peristiwa di satu pihak dengan penciptaan di pihak lain, yaitu antara fabula dengan sjuzet. Konsep ini dikembangkan oleh Shklovsky. Fabulamerupakan bahan dasar yang berupa jalan cerita menurutkronologi peristiwa, sedangkan sjuzet merupakan sarana untuk menjadikan jalan cerita menjadi ganjil atau aneh. Distinguishing between the concepts of fabula (or story) that is, the temporal-causal sequence of narrated events which comprise the raw materials of the work, and sjuzet (or plot) as the way in which these materials are formally manipulated (Bennett, 2003:19). Perbedaan antara “cerita” denga “alur” diberi tempat penting dalam teori naratif kaum formalis Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya “alur” (sjuzet) yang sungguh-sungguh bersifat kesastraan, sedangkan “cerita” (fabula) hanya sebagai bahan mentah yang menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua sarana yang digunakan untuk menyela dan menunda penceritaan, serta yang ditujukan untuk menarik perhatian pembaca terhadap bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet didasarkan pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah pembaca dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagaihal yang khas dan sudah lazim (Selden, 2005:33-34).
  • 9. 8 Istilah-istilah teknis yang bermacam-macam diperkenalkan dan digunakan oleh Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain untuk membedakan faktor-faktor utama yang konstruktif dalam sebuah karya sastra. Perbedaan antara konsep “cerita” (fabula) dan “alur” (sjuzet) mendapat tempat yang sangat penting di dalam teori naratif formalis Rusia. Fabula didefinisikan sebagai deskripsi rangkaian peristiwa, atau lebih tepatnya sebagai penggambaran rangkaian kejadian dalam tatanan yang urut dan relasi-relasi kausal. Konsep fabula digunakan sebagai lawan konsep sjuzet yang biasanya diterjemahkan sebagai “plot” atau “strukturnaratif”. Menurut kaum formalis, “alur” (sjuzet) adalah cara penyajian materi semantikdalam teks tertentu, sedangkan “cerita” (fabula) hanyalah materi bagi formasi plot (Fokkema, 1998:23- 24) 1.5.2 Teori Hegemoni Dalam bahasa Yunani kuno, hegemoni disebut eugemonia. Secara literal hegemoni berarti kepemimpinan. Kata ini sering digunakan dalam dunia politik untuk menunjuk pada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci, hegemoni merupakan sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomis dan etika- politis. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat yang ada (Faruk, 2010:132). Menurut Gramsci, hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan
  • 10. 9 persetujuan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan deologis (Simon, 2004:22). Gramsci mengembangkan konsep hegemoni untuk menggambarkan suatu kondisi di mana supremasi kelompok sosial dicapai tidak hanya melalui “dominasi” atau “pemerintah” tetapi juga melalui persetujuan atas dasar sukarela dari kelas yang didominasi (Litowitz, 2000:515). Konsep hegemoni Gramsci lebih lanjutdapat dielaborasikan melalui penjelasannya tentang basis dari supremasi kelas. Supremasi kelas merupakan keunggulan kelas sosial untuk mempertahankan kekuasaan bagi pihak penguasa. Penguasa memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah). Supremasi sebuah kelompok terwujud dalam dua bentuk, yaitu dominasidan kepemimpinan intelektual dan moral. Di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untukmenghancurkanatau menundukkan mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan senjata.Di pihak lain, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus menerapkan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kepemimpinan tersebut merupakan salah satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktikkan kekuasaan, tetapi bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh di tanggannya, dia masih harus terus memimpin juga. ... that the supremacy of a social group manifests itself in two ways, as “domination” and as “intellectual and moral leadership”. A social group dominates antagonistic groups, which it tends to “liquidate”, or to subjugate perhaps even by armed force; it leads kindred and allied
  • 11. 10 groups. A social group can, and indeed must, already exercise “leadership” before winning governmental power (this indeed is one of the principal conditions for the winning of such power); it subsequently becomes dominant when it exercises power, but even if it holds it firmly in its grasp, it must continue to “lead” as well (Gramsci, 1992:57-58). Dari kutipan tersebut, dapat diketahui adanya hubungan yang didukung oleh kesatuan dua konsep menurut Gramsci yaitu kepemimpinan(direction)dan dominasi(dominance). Hubungan dua konsep tersebut menyiratkan tiga hal. Pertama, dominasi dijadikan atas seluruh musuh dan hegemoni dilakukan kepada segenap sekutu-sekutu. Kedua, hegemoni adalah suatu prakondisi untukmenaklukkan aparatus negara atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemerintahan. Ketiga, sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas ini, baik pengarahan maupun dominasi terus berlanjut. Kepemimpinan dan dominasimenjadi dua hal penting dalam teori hegemoni Gramsci. Konsep hegemoni yang dikembangkan Gramsci berpijak pada kepemimpinan yang sifatnya intelektual dan moral. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya kesetujuan dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang memimpin. Kesetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Akan tetapi, jika penanaman ideologi itu gagal, kelas atas akan melakukan tindakan dominasi yang bersifat represif melalui aparatus negara. Gramsci tidak hanya menggunakan istilah hegemoni untuk menggambarkan aktifitas kelas penguasa, tetapi dia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan pengaruh yang diberikan oleh kekuatan-kekuatan progresif. Halini dapat dilihat bahwa hegemoni seharusnya didefinisikan sebagai hal yang dilakukan bukan saja
  • 12. 11 oleh kelas penguasa, tetapi juga proses di mana kelompok-kelompok sosial yang progresif, regresif, dan reformis, meraih kekuasaan untuk memimpin, memperluas kekuasaan, dan mempertahankannya (Brown, 2009:2). Hegemoni tidak pernah dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus diperjuangkan terus menerus. Untuk mempertahankan hegemoni kelompok sosial yang menghegemoni akanterus berusaha untuk mempertahankan hegemoninya. Hal ini menuntut kegigihan untuk mempertahankan dan memperkuat otoritas sosial dari semua kelas yang berkuasa dalam kelompok masyarakat sipil dan membuat kompromi-kompromi yang diperlukan untuk menyesuaikansistem aliansi yang ada dengan kondisi yang senantiasa berubah serta aktivitas kekuatan oposisi (Simon, 2004:45-46). 1.6 Metode Penelitian Untuk melaksanakan penelitian ini digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang ditekankan pada analisis karya sastra sebagai sebuah bentuk yang otonom. Pendekatan objektif ini digunakan sebagai pendekatan dalam mengungkap fakta yang digunakan sebagai landasan fabuladalam novel Entrok. Dalam analisis menggunakan pendekatan objektif ini, teori yang digunakan sebagai pisau adalah teori formalisme Rusia, yaitu konsep mengenai fabula dan sjuzet. Pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada hubungan antara karya sastra dengan realitas kehidupan masyarakat. Pendakatan ini
  • 13. 12 digunakan untuk menganalisis praktik hegemoni pada masa Orde Baru yang terdapat dalam novel Entrok dengan bantuan teori hegemoni. Tahap penelitian yang harus ditempuh ada dua tahap. Tahap pertama, melakukan kajian terhadap novel untuk menentukan bagian-bagian cerita yang merupakan defamiliarisasi dari fakta yang dijadikan landasan fabula. Pada tahap ini, digunakan teori formalisme Rusia, khususnya pandangan Victor Shklovsky, dan pendekatan objektif dibantu sosiologi sastra hingga diketahui fakta-fakta yang dijadikan landasan fabula. Tahap kedua, melakukan kajian terhadap gambaran- gambaran praktik hegemoni yang terdapat dalam novel Entrok yang sesuai dengan fakta. 1.7 Sistematika Penulisan Secara sistematis hasil penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut: Bab I memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teoretis, metode penelitian, serta sistematikan penulisan laporan penelitian. Bab II memuat kajian pustaka dan landasan teoretis. Bab III memuat paparan analisis yang dilakukan berdasarkan rumusan masalah dan data yang diperoleh. Bab IV berisi simpulan dari analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya.
  • 14. 13 BAB II ANALISIS 2.1 Fakta yang Digunakan sebagai LandasanFabula dalam Novel Entrok Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pemerintah Orde Baru lahir secara situasional setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejak adanya upaya penumpasan pemberontakan G30S, kaum intelektual, sejumlah tokoh ABRI, dan rakyat yang jenuh dengan kondisi kehidupan di bawah rezim Orde Lama, bersama-sama berjuang menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya Orde Baru kemudian ditandai oleh keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan oleh Presien Soekarno kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah pada masa itu (Kurnia, 2004:152) Dalam novel Entrokdigambarkan kehidupan seorang ibu dan anak perempuannya yang hidup pada masa Orde Baru tersebut. Penggambaran fakta sejarah ini oleh pengarang dalam novel menunjukkan bahwa sastra merupakan cerminan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep Damono (1978:9), bahwa sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat serta menghubungkan pengalaman tokoh- tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Pernyataan Damono tersebutsejalan dengan prinsip utama kaum formalis Rusia, yang menyatakan bahwa kesusastraan itu mendefamiliarisasi kenyataan dan 13
  • 15. 14 mendefamiliarisasi kesusastraan itu sendiri. Hal itu memperlihatkan bahwa kajian formalis Rusia atas karya sastra tidak melepaskan hubungan antara karya sastra dengan kenyataan (Selden, 1991:10-11). Dapat dirunut lebih jauh, bahwa sjuzet pada dasarnya dapat merupakan defamiliarisasi dari fakta yang merupakan landasan dari fabula. Menurut kaum formalis Rusia, sjuzet di dalam prosa pada dasarnya merupakan defamiliarisasi fabula. Fabula sebagai “cerita” yang didefamiliarisasi dalam sjuzet tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan ada suatu penyebab tertentu. Salah satu hal yang menyebabka munculnya fabula adalah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan (fakta). Hal itu menunjukkan bahwa fakta dapat dijadikan landasan munculnya fabula. Fakta yang menjadi fabula dalam novel Entrok adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini ditunjukkan dari peristiwa-peristiwa yang tercantum dalam novel. Peristiwa-peristiwa dalam novel sangat berhubungan erat dengan fakta-fakta yang ada dalam kehidupan nyata. Berikut ini diberikan beberapa contoh fakta peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru yang digunakan sebagai landasan fabula. 2.1.1 Pemilihan umum pada masa Orde Baru Pada pemilihan umum (pemilu) pertama masa Orde Baruyang diselenggarakan pada tahun 1971, partai Golongan Karya (Golkar) memperoleh kemangan mutlak, yaitu mendapat 227 kursi atau 64,7% suara, partai NU mendapat 58 kursi (16,5%), Parmusi 24 kursi (6,8%), PNI 20 kursi (5,7%), PSII 10 kursi (2,8%), Parkindo 7
  • 16. 15 kursi (2%), dan Partai Katolik 3 kursi (0,9%) dari 351 kursi DPR yang disediakan (Kasiyanto, 1999:5). Peristiwa pemilu pertama ini digunakan oleh pengarang sebagai landasan fabula dalam novel. Berikut kutipan dalam novel yang menunjukkan kesamaan antara peristiwa yang terjadi dalam novel dengan fakta peristiwa pemilu pertama. Putaran waktu kuhitung sekat-sekat yang berasal dari kegiatan sekolah. Setengah tahun berlalu kuhitung dengan setiap rapor yang kuterima setiap kuartal. Rapor kuartal ketiga kelas satu SD menandakan akan berakhirnya tahun 1970. Aku mulaimelihat ada yang berbeda di desa Singget, juga di sekolahku. Banyak umbul-umbul dipasang, warnanya kuning bergambar beringin. Di kelas, Bu Lastri bercerita tentang adanya pemilu. Katanya ini pemilu pertama setalah negara gonjang-ganjing. Ini pemilu yang sesuai aturan, pemilu yang akan membawa ketentraman.Bu Lastri menunjukkan kertas warna kuning bergambar beringin, sama seperti umbum-umbul yang dipasang di gapura dan depan balai desa (Madasari, 2010:60). Partai beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak Ratmadi, kepala sekolahku. Orang bilang dia abangan. Di rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu, gambar itu dipasang di dinding rumahnya. Lalu tentara datang dan meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya (Madasari,2010:66). Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa fakta mengenai pelaksaan pemilu pertama pada masa Orde Baru dan kemenangan partai beringin (Golkar) digunakan sebagai landasan fabula oleh pengarang. Defamiliarisasi (penganehan) yang dilakukan oleh pengarang yaitu dengan membuat rangkaian jalan cerita yang dapat menggambarkan peristiwa saat pemilu pertama masa Orde Baru itu akan diselenggarakan dan suasana saat kemenangan partai bergambar beringin (Golkar). Pemilu kedua pada masa Orde Baru berlangsung pada tahun 1977. Pada pemilu kedua terjadi penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Penyederhanaan partai
  • 17. 16 pada pemilu kedua tersebut terjadi karena mulai diberlakukannya peraturan tentang penyederhanaan partai. Sesuai dengan ketetapan MPR dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia, pada 1973 diadakan penyederhanaan partai politik. Empat partai politik Islam,yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti, bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan lima partai politik lainnya yaitu PNI, IPKI, Katolik, Parkindo, dan Murba bergabungmenjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) (Kasianto, 1999:25). Hasil dari pemilu tahun 1977, Golkar memperoleh kemenangan mutlak seperti pada pemilu pertama. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93%. Dari suara yang sahtersebut, Golkar meraih 39.750.096 suara (62,11%) dan mendapat 323 kursi, PPP meraih 18.743.491 (29,9%) mendapat 99 kursi, dan PDI meraih 5.504.757 (8,60%) mendapat 29 kursi (Preencechinty, 2009). Fakta mengenai pelaksanaan pemilu kedua masa Orde Baru digunakan oleh pengarang sebagai landasan fabula dalam novel, sebagaimana kutipan berikut ini. Tak ada lagi partai-partai penuh tulisan Arab, katanya sekarang menjadi satu dalam gambar bintang. Lalu katanyapartai-partai orang abangan semuanya menjadi gambar merah, bergambar kepala banteng. Tapi itu bukan partai kami. Bukan partai yang wajib dicoblos orang- orang di Singget. Karena kami orang-orang negara, orang-orang yang mendukung pemerintah. Kami semua orang-orang partai kuning. Mencoblos gambar beringin (Madasari,2010:78). Coblosan dilaksanakan beberapa hari kemudian. Tanggal 2 Mei 1977. Semua orang ramai-ramai datang ke balai desa. Sama seperti yang kulihat lima tahun sebelumnya, orang-orang mencoblos kertas dengan paku didalam bilik bertirai. Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadipakem, halaman desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, gong akan ditabuhdan orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai pemerintah (Madasari,2010:86).
  • 18. 17 Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa fakta tentang penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dan pelaksaan pemilu kedua masa Orde Baru dilakukan. Defamiliarisasi (penganehan) yang dilakukan oleh pengarang yaitu dengan membuat narasi mengenai penyederhanaan sistem kepartaiandi Indonesia dan penggambaran pelaksanaa pemilu ke dua masa Orde Baru. 2.1.2 Pembunuhan Misterius Peristiwa lain pada masa Orde Baru yang digunakan sebagai landasan fabula adalah peristiwa pembunuhan misterius. Pembunuhan misterius ini dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanaan dan meresahkan masyarakat seperti perampok, preman, dan sebagainya. Adanya pembunuhan misterius yang terjadi pada masa Orde Baru berawal dari keluhan masyarakat karena makin meluas dan seriusnya gangguan keamanan. Berdasarkan keluhan tersebut, pemerintahan Soeharto memberi jawaban dengan menghabisi para pengganggu keamanandengan membunuh mereka secara rahasia serta diluar jalur hukum. Sampai tahun 1984, LBH Jakarta melaporkan bahwa ditemukan 5000 orang yang menjadi korban operasi militer atau yang disebut dengan pembunuhan misterius. Dalam pembunuhan tersebut, tidak ada satupun pelaku yang ditangkap atau diadili. Meskipun bersifat misterius, semua orang tahu bahwa pelaku dari peristiwa tersebut adalah aparat resmi negara. Dalam buku semi-otoboigrafi yang terbit pada 1989, Soeharto mengakui bahwa dialah yang menjadi inisiator pembunuhan misterius tersebut (Susilo, 2009:33).
  • 19. 18 Peristiwa pembunuhan misterius yang terjadi pada masa Orde Baru digunakan sebagai landasan fabula sebagai penggambaran peristiwa pada masa Orde Baru. Berikut kutipan dalam novel yang menunjukkan penggunaan fakta mengenai pembunuhan misterius. Siang ini kami duduk di pawon sambil makan rujak yang kubeli di pasar. Aku bercerita tentang kematian Mali dan orang pasar itu. Dia terkejut dan sepertinya agak marah. “Disana juga banyak yang mati. Mayat dimana-mana. Di pasar, di jalan, di lapangan. Semua orang ketakukan.” “Aduh Gusti! Yuk, hati-hati disana. Di kota orang jahat lebih banyak.” “Justru katanya mayat-mayat itu penjahat, maling, rampok. Katanya mereka dibunuh biar kapok. Tapi kok bisa sebanyak itu.” “Lha disini yang mati juga katanya maling, tukang meras.” “Ya sama kalau begitu. Nggak di kota, nggak di desa. Lha iya kalau mereka benar maling, lha kalau bukan?” (Madasari,2010:131-132). Di pengajian ini, kami juga membahas tentang mayat-mayat itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa yang katanya maling, rampok, gali, pembunuh, atau preman. Mereka mati begitu saja, tanpa penyebab yang jelas. Mayatnya bergelimpangan di tempat-tempat yang mudah dilihat orang. Kami menyebut ini semua pembunuhan. Pembunuhan yang penuh misteri. Polisi tak pernah mencari tahu siapa pelakunya. Berlebihkah kalau kami sedikit berprasangka? (Madasari,2010:136) Dua kutipan di atas, menunjukkan bahwa pengarang menggambarkan adanya pembunuhan misterius yang terjadi di masyarakat. Banyak orang memperbincangkan masalah tersebut. Dari kutipan di atas, terlihat bahwa banyak terjadi pembunuhan misterius terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pengganggu keamanan. Mayat-mayat ditemukan di tempat-tempat yang sering dikunjungi warga. Tidak ada yang mengetahui alasan dan pelaku pembunuhan tersebut, bahkan pihak keamananpun tidak berusaha mengusut kasus tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari sebagian kalangan masyarakat yang mengindikasi bahwa pemerintah
  • 20. 19 terlibat dengan peristiwa tersebut sehingga aparat keamanan tidak mengusut dan terkesan membenarkan perbuatan tersebut. 2.1.3 Peristiwa Tanjung Priok Peristiwa Tanjung Priok merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 1984 di Tanjung Priok. Dalam kerusuhan massal tersebut. umat Islam berhadapan langsung dengan aparat militer yang bersenjata. Puluhan orang tewas dalam peristiwa tersebut. Dalam novel Entrok, peristiwa ini digambarkan sebagai berikut. 1984 Pertengahan September peristiwa besar terjadi di ibukota. Tentara menembak orang-orang yang sedang pengajian. Banyak yang mati. Lebih banyak lagi yang dipenjara. Orang-orang itu melawan Negara. Panser- panser datang lalu tentara masuk masjid dengan sepatu tingginya. Semua orang mengamuk, yang didalam masjid bertahan, yang baru datang menyerang. Lalu meletuslah bunyi tembakan-tembakan itu. (Madasari, 2010:135-136). Dari kutipandi atas, terilhat adanya peristiwa kerusuhan antara umat Islam dengan anggota militer. Para anggota militer memasuki masjid tanpa melepas sepatu mereka. Orang-orang yang datang ke masjid menyerang anggota militer yang kemudian terjadi tembakan. Pengarang tidak secara langsung menggambarkan tragedi Tanjung Priok. Pengarang bahkan tidak mencantumkan waktu dan tempat kejadian perkara, hanya dicantumkan keterangan tempat “di ibukota”yang menunjukkan lokasi Jakarta dan keterangan waktu “pertengahan September”dan tahun “1984”. Akan tetapi, fakta yang ditemukan pada pertengahan September 1984 adalah kerusuhan massal yang melibatkan umat Islam dengan militer di Tanjung PriokJakarta.
  • 21. 20 Peristiwa Tanjung Priok sesungguhnya klimaks dari serangkaian kekecewaan umat Islam atas sejumlah kebijakan pemerintah Orde Baru. Dalam tragedi tersebut, ratusan orang diterjang peluru dari segala arah oleh militer. Mereka yang luka-luka dan berusaha melarikan diri ditembaki dan ditusuk oleh sangkur. Mereka yang bertiarap dan bersembunyi di pinggir jalan dihujani peluru dari atas truk militer. Pemerintah awalnya menyebutkan 9 orang meninggal dan 53 orang luka-luka, kemudian pemerintah merevisi jumlah yang meninggal menjadi 18 orang dan diralat lagi menjadi 40 orang (Wardaya, 2008:139). 2.1.4 Peledakan Stupa Candi Borobudur Peristiwa lain yang digunakan sebagai landasan fabula adalah peristiwa peledakan stupa di Candi Borobudur. Peristiwa peledakan di Candi Borobudur terjadi pada tanggal 15 Januari 1985. Pelaku dari peledakan tersebut disinyalir bukanlah dari kalangan pemerintah, tetapi berasal dari umat Islam. Dalam peristiwa peledakan tersebut memang terbukti umat Islam sebagai pelakunya. Abdulkadir Ali Alhabsyi dan Husein Ali Alhabsy ditangkap beberapa saat setelah kejadian. Merekadisebut sebagai pelaku peledakan di Candi Borobudur. Abdulkadir divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20 tahun, meski kemudian ia mendapatkan remisi setelah menjalani hukuman selama 10 tahun. Husein sendiri dihukum seumur hidup sebelum kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie. Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawadsebagai dalangnya (Joe, 2009).
  • 22. 21 Dalam persidangan, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap Candi Borobudur tersebut merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan- kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok, yang menewaskan puluhan nyawa umat Islam. Albdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan ketidakpuasannya atas peristiwa berdarah tersebut. Namun, keterangan itu sempat diragukan karena Ibrahim, orang yang disebut Husein sebagai dalangnya, tidak pernah dapat ditemukan oleh aparat, bahkan hingga kini(Joe, 2009). Dalam novel Entrok, peristiwa pengeboman stupa di Candi Borobudur terlihat pada kutipan berikut. Magelang, Januari 1985 Malam telah larut. Semua orang telah berkelana dalam mimpi masing- masing. BUUM! Bunyi itu mengagetkan kami. Besar dan mengguncang. Bergetar seperti gempa bumi! Tapi mengglegar ditelinga seperti geledek. Baru pertama kali aku mendengar bunyi seperti itu. Kami keluar kehalamn rumah. Diarah barat, terlihat sedikitnyapercikan api lalu berganti asap tebal. Jelas ini bukan gempa bumi. Kami bergegas berlari menuju sumber suara itu. Disinilah asalnya. Candi Borobudur, bangunan megah yang menjadi simbol kebanggaan itu ternyata keagungan dan kemeganhan itu hanya ilusi! Bangunan itu tak cukup kokoh melawan guncangan. Mahakarya yang tercipta ratusan tahun lalu takluk dalam hitungan menit pada karya cipta manusia modern yang memang dibuat untuk merusak:bom. Tujuh stupa yang selama ratusan tahun berdiri kokoh dibawah terik matahari dan hujan kini hanya tinggal menjadi puing (Madasari,2010:138). “Dimana Saudara waktu ada ledakan?” “Kami tidur di rumah. Lalu ke sana saat ada bunyi ledakan” Aku tersenyum kecut. Apakah tentara-tentara ini mengira kami orang-orang yang meledakan candi? Lelucon yang sangat tidak lucu (Madasari,2010:145).
  • 23. 22 Pada kutipan pertama di atas, digambarkan mengenai peristiwa pengeboman di Candi Borobudur yang terjadi pada Januari 1985 yang menghancurkan tujuh stupa. Kutipankedua di atas, merupakan penggambaran bahwa yang dituduh melakukan pengeboman stupa di Candi Borobudur adalah orang Islam. Hal ini terihat dari penggambaran kecurigaan tentara terhadap dosen dan mahasiswa yang sedang melakukan praktik lapangan, mengajar guru-guru mengaji ditangkap karena dicurigai terlibat dalam kasus peledakan stupa di Borobudur. Secara tidak langsung aparat keamanan pada masa itu mencurigai umat Islam sebagai pelaku peledakan. 2.2 Praktik Hegemoni pada Masa Orde Barudalam Novel Entrok Permasalahan Hegemoni selalu berhubungan dengan ideologi yang dianut oleh seseorang atau kelompok masyarakat. Permasalahan hegemoni secara tidak langsung memberikan dampak bagi suatu perubahan sosial dalam suatu kelompok masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Okky Madasari dalam novel Entrok. Di dalam novel tersebut, Okky Madasari memberikan gambaran tentang praktik hegemoni yang dilakukan oleh pengusa terhadap masyarakat pada masa Orde Baru. Pada subbab ini, akan diuraikan praktik hegemoni pada masa Orde Baru yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat dalam novel Entrok. Analisis praktik hegemoni dalam subbab ini dibagi menjadi dua, yaitu praktik hegemoni penguasa terhadap keluarga Marni dan terhadap masyarakat umum. Konsep hegemoni dalam novel Entrok karya Okky Madasari terlihat dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap masyarakat kecil. Penguasa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang-orang yang
  • 24. 23 mempunyai jabatan atau kedudukan seperti ketua RT, kepada desa, camat, bupati, militer, dan presiden. Berikut ini disajikan beberapa contoh praktik hegemoni yang dilakukan oleh penguasa pada masa Orde Baru. 2.2.1 Praktik Hegemoni Penguasa Orde Baruterhadap Keluarga Marni Penguasa Orde Baru menghegemoni masyarakat untuk mematuhi semua yang diperintahkan. Kehidupan masyarakat pada masa Orde Baru tidak lepas dari campur tangan militer atau ABRI. ABRI sebagai salah satu penguasa Orde Baru mempunyai kedudukan cukup penting dalam pemerintahan. Akan tetapi, kedudukan tersebut sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh ABRI berdampak buruk kepada kehidupan masyarakat, karena masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi korban para penguasa tersebut. Dalam novel Entrok karya Okky Madasari, praktik hegemoni terlihat saat ABRI memanfaatkan kedudukannya sebagai penguasa untuk mendapatkan uang dari Marni dengan dalih sebagai uang keamanan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Dulu aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam datang kerumah kami. Kata Ibu. Untuk keamanan. Lalu kenapa ibu selalu memberikan uang kepada mereka? Tanyaku lagi. Namanya keamanan ya bayar, jawab Ibu. Orang-orang berseragam sering datang kerumah. Mereka selalu datang pada hari senin dua minggu sekali. Kadang-kadang ada juga yang datang dilura hari itu. Katanya cuma kebetulan lewat atau cuma mampir. Tapi sudah tahualah Ibu apa yang harus dilakukannya setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau bukan menyerahkan setumpuk uang. Diam-diam aku iri kepada orang-orang berseragam loreng itu. Mereka tinggal datang ke rumah, dan Ibu langsung memberi banyak uang. Tanpa banyak omong, tanpa banyak cerita (Madasari,2010:53).
  • 25. 24 Dari kutipan di atas terlihat adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang berseragam loreng terhadap Marni. Setiap dua minggu sekali, Marni harus menyerahkan hasil jerih payahnya kepada orang-orang berseragam dengan alasan sebagai uang keamanan. Pada dasarnya tugas utama dari orang-orang berseragam loreng tersebut adalah untuk memberi pengamanan kepada masyarakat tanpa memungut biaya karena meraka sudah mendapatkan gaji dari pemerintah. Akan tetapi, Marni hanyalah masyarakat kecil yang tidak bisa menolak keinginan dari penguasa tersebut. Marni pernah memberikan perlawanan terhadap hegemoni yang dilakukan oleh orang-orang berseragam loreng. Marni menolak memberikan uang keamanan karena ia merasa tidak berbuat kesalahan sehingga tidak perlu diamankan. Akan tetapi, suaminya meminta Marni menuruti perintah orang-orang berseragam loreng itu karena menolak keinginan penguasa maka mereka akan dicap sebagai PKI dan akan dipenjara. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini. “Kamu jangan seenaknya, Ni. Mau kamu dicap PKI, dipenjara kaya Pak Tikno?” “Halah! Aku bukan PKI! Aku Cuma mau cari makan. Tidak mencuri. Tidak merampok. Apa aku sala? Terus mereka seenak udele meras orang. Dulu ngambil panik. Sekarang datang minta duit!” “Tapi mereka petugas, Ni. Orang yang mengamankan kita!” “Hasyah! Prek!” “Kowe prak-prek-prak-prek terus! Mau nanggung kalau kita nanti dicap PKI? Mau kalau kita semua dipenjara?” (Madasari,2010:71-72). Presepsi bahwa siapapun yang tidak menuruti perintah penguasa akan dianggap melawan negara dan dicap sebagai PKI ditanamkan oleh penguasa untuk menghegemoni masyarakat. Penanaman pandangan tersebut berhasil memengaruhi masyarakat sehingga mereka mau tunduk kepada penguasa.
  • 26. 25 Pada masa Orde Baru, PKI menjadi sebuah kata ampuh untuk menundukkan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena pada masa itu siapapun yang dianggap sebagai komunis akan mendapatkan sanksi kriminal dari pemerintah yaitu menjadi tahanan politik. Para pemberontak itu juga akan mendapatkan sanksi nonkriminal dengan penambahan kode ET (Eks-Tapol) pada KTP mereka. Siapapun yang mempunyai tanda tersebut selamanya akan dianggap sebagai PKI dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan di manapun. “Nduk, kamu kan pernah kuliah. Belum ada lho orang di singget yang seperti kamu. Apa kamu nggak pengin kerja, Nduk? Jadi itu… bu guru. ” ... “Tapi bagaimana ceritanya, Bu, bekas dipenjara bisa kerja?” “Lho kan ndak semua orang tahu, to. Yang tahu itu kan Cuma orang- orang balai desa dan Kodim. ” “Semua orang pasti tahu Bu. ” ... “Ini Bu, lihat. Tulisan ini. Tulisan ini tidak ada di KTP Ibu. Hanya di KTP ku yang ada. ” “Tulisan apa itu? Sama saja dengan tulisan yang lain-lain. ” “Tapi tulisan ini hanya ada di KTP ku Bu. Ini ciri untuk orang yang pernah dipenjara seperti aku. ” “Seperti PKI?” aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat cirri di KTP nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan hidup enak. Selamanya bakal jadi kere(Madasari,2010:274-275). Dari kutipandi atas, terlihat Marni menyuruh anaknya untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, Rahayu tidak bisa menuruti kemauan ibunya tersebut. Tidak ada yang mau memberikan pekerjaan kepada bekas tahanan. Tanda ET yang tertera pada KTP Rahayu merupakan bukti kalau ia pernah menjadi tahanan politik dan selamanya akan dicap PKI. Pada masa Orde Baru pemberian label PKI menjadi hal yang mengerikan bagi masyarakat karena mereka menyakini siapapun yang dianggap PKI selamanya akan
  • 27. 26 mengalami kesusahan. Tidak hanya menjadi tahanan politik dan penambahan ET di KTP-nya, tetapisiapapun yang dianggap PKI akan mendapat sanksi sosial berupa cemooh serta diasingkan dari masyarakat. Sanksi sosial tersebut tidak hanya diberikan kepada PKI tetapi juga kepada semua anggota keluarganya. Hal tersebut menjadikan paradigma masyarakat untuk berhati-hati bila bersentuhan dengan masalah hukum karena hukum yang berlaku pada masa itu adalah hukum yang ditetapkan oleh para penguasa Orde Baru. 2.2.2 Praktik Hegemoni Penguasa Orde Baru terhadap Masyarakat Dalam novel Entrok karya Okky Madasari konsep hegemoniterlihat dalam dominasi yang dilakukan oleh penguasa kepada masyarakat pada masa Orde Baru. Dominasi tersebut sangat berkaitan erat dengan ideologi sebuah kelompok tertentu. Penguasa sengaja menanamkan ideologi mereka terhadap masyarakat agar masyarakat patuh kepada mereka. Penanaman ideologi penguasa terhadap masyarakat dalam novel Entrok karya Okky Madasari sukses membuat partai kuning bergambar beringin memenangkan pemilu pada masa Orde Baru. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Di kelas, Bu Lastri bercerita tentang akan adanya pemilu. Katanya ini pemilu pertama setelah negara gonjang-ganjing. Ini pemilu yang sesuai aturan, pemilu yang akan membawa ketentraman. Bu Lastri menunjukkan kertas warna kuning bergambar beringin, sama seperti umbum-umbul yang dipasang di gabura dan depan balai desa. Apa yang dikatakan Bu Lastri kukatakan pada Ibu dan Bapak. Mereka berdua, orang yang buta huruf yang hanya tahu pasar harus tahu pemilu. Mereka harus ikut dan tidak salah pilih (Madasari,2010:60-61).
  • 28. 27 Kutipan diatas menunnjukkan bahwa Bu Lastri berusaha menanamkan ideologinya kepada murid-muridnya agar mereka tahu masalah pemilu dan partai mana yang harus dipilih. Pada dasarnya sasaran utama dari penanaman ideologi tersebut bukanlah murid-miridnya. Akan tetapi, orang tua murid yang diharapkan nantinya akan memilih partai kuning bergambar beringin tidak salah pilih partai lain. Hal tersebut membuahkan hasil karena pada pemilu pertama yang dilakukan pada tahun 1971 tersebut partai kuning bergambar beringin memenangkan pemilu. Kemenangan yang diperoleh oleh partai Golkar tidak hanya pada pemilu pertama, tetapi pada pemilu-pemilu berikutnya. Praktik hegemoni tidak hanya dilakukan kepada warga pribumi, tetapi juga kepada warga keturunan Tionghoa. Keberadaan warga Tionghoa pada masa Orde Baru sangat dibatasi. Kesenian barongsai, perayaan Hari Raya Imlek, pemakaian bahasa Mandarin, dan pergi ke klenteng dilarang oleh pemerintah. Warga Tionghoa yang masih melakukanhal-hal tersebut akan mendapatkan sanksi dari pemerintah seperti yang dialami oleh Koh Cahyadi. “Hus! Kalau tidak tahu apa-apa jangan sembarangan omong. Klenteng, tari naga, sampeyan tahu tidak, itu simbol-simbol PKI. Maknya dilarang. Ini singkek sudah tahu dilarang masih nekat.” (Madasari,2010:182). Singkek yang dimaksud dalam kutipan diatas adalah Koh Cahyadi, warga keturunan Tionghoa. Koh Cahyadi ditangkap karena ia ketahuan pergi ke klenteng dan menyumbang untuk kesenian barongsai. Selain Koh Cahyadi, dalam novel Entrokpraktik hegemoni juga dilakukan kepada warga keturunan Tionghoa lainnya. Warga Tionghoa pada masa itu
  • 29. 28 diwajibkan untuk mengganti kepercayaan mereka agar dianggap mempunyai agama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini. “Sst! Jangan bilang siapa-siapa. Orang-orang seperti kami ini, yang sebenarnya lebih percaya abu leluhur daripada salib, setiap minggu pergi ke gereja. Mengaku beragama Kristen atau Katolik. Agar dianggap punya agama.”(Madasari,2010:109). Dari kutipan diatas terlihat keberhasilan penguasa menghegemoni warga Tionghoa untuk berpindah kepercayaan. Meskipun warga keturunan Tionghoa tesebut berpindah kepercayaan, tetapi pada dasarnya penguasa tidak sepenuhnya memenangkan ideologi mereka. Warga Tionghoa lebih percaya kepada abu leluhur daripada salib. Meskipun demikian, mereka tidak bisa melawan hegemoni penguasa tersebut dan hanya bisa patuh menerima hegemoni tersebut. Pada masa Orde Baru, agama tradisional warga Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghuchu kehilangan pengakuan dari pemerintah (Susilo, 2009:67). Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru Presiden Soeharto adalah melalui penekanan terhadap warga Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun demikian, Presiden Soeharto bersahabat akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah menjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa. Pemerintah pada masa Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih lima juta jiwa dari keseluruhan rakyat Indonsia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Indonesia. Padahal, kebanyakan dari mereka berprofesi sebabagai pedagang yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme yang mengharamkan
  • 30. 29 perdagangan. Warga Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Mereka memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
  • 31. 30 BAB III SIMPULAN Kajian formalisme Rusia yang diterapkan dalam penelitian ini ternyata dapat digunakan untuk menyusuri fakta yang digunakan sebagai landasan fabula untuk membangun sjuzet dari sebuah novel. Fakta-fakta diolah oleh pengarang sehingga menjadi sebuah sjuzet yang telah melalui defamiliarisasi. Dalam novel Entrok karya Okky Madasari, fakta-fakta yang berupa peristiwa pada masa Orde Baru digunakan sebagai landasan fabula yang kemudian diolah melalui defamiliarisasi menjadi sjuzet. Dari penggunaan fakta-fakta peristiwa sebagai landasan fabula ini menunjukkan bahwa karya sastra dapat dijadikan sebuah miniatur sejarah yang telah mengalami defamiliarisasi agar muncul kesan fiktif. Padahal dalam karya sastra tersebut mengandung fakta-fakta sejarah. Sebagaimana terlihat dari fakta-fakta peristiwa yang terjadi selama Orde Baru dan praktik-praktik hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu, diungkapkan dalam novel melalui sjuzet yang didefamiliarisasikan sehingga pembaca seakan ikut dalam peristiwa yang disajikan oleh pengarang. 30
  • 32. 31 DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1971. The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition. London: Oxford University Press. _______. 2009. A Glossary of Literary Terms, Eighth Edition. Boston: Thomson Wadsworth. Bennett, Tony. 2003. Formalism and Marxism; Second Edition.New York: Routledge. Bertens, Hans. 2001. Literary Theory: The Basic. London And New York: Routledge. Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra. Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism, Second Edition.New Jersey: Prentice Hall. Brown, Trent. 2009. “Gramsci and Hegemony”dalam International Journal of Socialist.Renewal.http://links.org.au/node/1260 (diakses 25 April 2012) Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:Depdikbud. Eagleton, Terry. 2006. Literary Theory: An Introduction, Second Edition. Minneapolis: The University Of Minnesota Press. Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Media Pressindo. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Gramedia. Gramsci, Antonio. 1992. Selections From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci.Quentin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (ed.). New York: International Publishers. Holub, Renate. 1992. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. London & New York: Routledge.
  • 33. 32 Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Joe. 2009. Bom Borobudur, Petaka di Kuil Syailendra. http://dekade80.blogspot.com/2009/05/bom-borobudur-petaka-di-kuil- syailendra.html (diakses 26 September 2012). Kasiyanto, M.J. 1999.Mengapa Orde Baru Gagal?. Jakarta:Yayasan Tri Mawar dan CV Cakra Media. Kurnia, Anwar. 2004. Kronik Sejarah. Jakarta:Ghalia Indonesia Priting. Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Litowitz, Douglas. 2000. “Gramci, Hegemony, and Law” jurnal Brigham Young University Review. Vol 2000 No.2 (2000) p.515.http://lawreview.byu.edu/archives/2000/2/lit.pdf (diakses 25 April 2012) Lodge, David and Nigel Wood (ed.). 2000. Modern Criticism and Theory: A Reader; Second Edition. UK: Pearson Education Limited. Luxemburg, Jan van,et.al. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta:Gramedia. McNally, Mark and John Scwarzmantel (ed.). 2009. Gramsci and Global Politics: Hegemony and Resistance. London & New York: Routledge. Nuryatin, Agus. 2005. Formalisme Rusia: Mengolah Fakta dalam Fiksi. Semarang: Rumah Indonesia. Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Preencechinty. 2009. Pemilu Indonesia Masa Orde Baru.http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru (diakses 26 Juni 2012) Rice, Philip dan Patricia Waugh (ed.). 1989. Modern Literary Theory: A Reader.Great Britain: Edward Arnold. Sassoon, Anne Showstack. 2000. Gramsci and Contemporary Politics: Beyond Pessimism of The Intellect. London & New York: Routledge. Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada Univeristy Press.
  • 34. 33 Selden, Raman et.al. 2005.A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory, Fifth Edition. Great Britain: Pearson Longman. Shklovsky, Victor. 1989. “Art and Technique” dalam Modern Literary Theory: A Reader.Rice, Philip dan Patricia Waugh (ed.). Great Britain: Edward Arnold. Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Diterjemahkan oleh Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Susilo, Tufik Adi. 2009. Soeharto Biografi Singkat 1921-2008. Yogyakarta:Garasi Haouse Of Book. Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Wardaya, Baskara T. 2008. Menguak Misteri Kesuksesan Soeharto. Yogyakarta: Galang Press.
  • 35. 34 SINOPSIS NOVELENTROK KARYA OKKY MADASARI NovelEntrokmengambil latar tempat di daerah Madiun pada tahun 1950-1999. Cerita bermula pada tahun 1950-an, ketika Marni hidup bersama ibunya yang biasa dipanggil “Simbok” tanpa asuhan dan nafkah dari seorang ayah. Pada masa ini, Marni adalah seorang gadis kecil yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena sulitnya perekonomian pada masa itu,sedangkan Simbok bekerja di pasar hanya sebagai tukang potong ubi pada orang-orang yang berjualan ubi di pasar. Marni tumbuh menjadi perempuan pekerja keras yang setiap hari menukar keringatnya demi sepeser uang. Kehidupan ekonomi Marni semakin meningkat drastis, danhal tersebut berdampak besar bagi anak dan suaminya. Marni mengembangkan usahanya dari keuntungannya berjualan, yaitu meminjamkan uang dengan imbalan pembayaran komplit bunga sepuluh persen dan juga bisa dicicil. Rahayu, anak Marni, sudah tidak lagi mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu dialami ibunya. Ia bersekolah di tempat yang bagus bersama dengan anak-anak pegawai. Meskipun kehidupan ekonomi Marni semakin meningkat, tetapi hal tersebut tidak selalu berjalan mulus. Marni yang sepanjang hidupnya bekerja keras demi mendapatkan uang selalu mendapat masalah dengan masyarakat sekitar karena dianggap sebagai lintah darat yang sangat merugikan. Selain itu, masyarakat juga beranggapan kekayaan yang diperoleh Marni bukan dari keringatnya sendiri tapi dari hasil memelihara tuyul.Selain mendapat masalah dengan masyarakat, Marni juga
  • 36. 35 terlibatmasalah dengan “penguasa berbaju loreng” yang selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan uang dari Marni. Konflik-konflik sosial pada masa Orde Baru dimunculkan oleh pengarang dalam novel ini. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh keotoriteran penguasa Orde Baru dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tidak mempunyai jabatan apapun. Marni dan keluarganya merasakan penindasan yang didasari penanaman ideologi hegemoni oleh penguasa Orde Baru melalui tindakan-tindaka represif yang dilakukan oleh aparatus negara. ABRI yang seharusnya menjadi aparatus negara yang menjaga perdamaian negara malah ikut menindas masyarakat dengan kekuasaan yang dimilikinya. Pemerasan oleh penguasa seperti lurah, ABRI, dan Polisi, dirasakan oleh masyarakat di desa Marni. Setiap akan diadakan Pemilu, Marni selalu dimintai bantuan yang jumlahnya diluar akal sehat. Selama hidupnya Marni dan keluarganya tidak pernah lepas dari masalah dengan para pemegang kekuasaan. Selain meminta uang keamanan, mereka juga datang untuk meminta sumbangan kampanye yang akan digunakan untukpesta saat merayakan kemenangan partai pemerintah. Marni hanya menuruti semua kemauan orang-orang yang berkuasa karena ia tidak ingin mendapatkan sanksi dan dicap sebagai PKI. Akan tetapi, pada akhirnya Marni harus menerima kenyataan pahit. Rahayu, putri semata wayang Marni, terlibat masalah dengan para penguasa yang mengakibatkan ia dipenjara dan dicap sebagai PKI.