SlideShare a Scribd company logo
1 of 24
TUGAS BAHASA INDONESIA
MENGUBAH CERPEN MENJADI DIALOG
D
I
S
U
S
U
N
O
L
E
H
YENAWATI
IX-2
SMP YOS SUDARSO
2012
Cerpen
Kutukan di Balik Cinta
SHEILA dikenal dengan julukan “Nona berbaju hitam”. Ia sendiri tidak suka julukan itu, tetapi tidak dapat
menghindar, sebab pada kenyataannya, sejak kecil hingga usianya yang keduapuluh tiga, semua pakaiannya
mempunyai dasar warna hitam. Ia sendiri tidak terlalu mengerti mengapa ayahnya begitu keras menetapkan aturan,
bahwa semua pakaiannya harus berdasar warna hitam. Ia sampai bosan melihat warna hitam. Terlebih lagi, ia sudah
sedemikian jenuhnya diperolok oleh kawan-kawannya. Ada yang memanggilnya Si Hitam, Nona Hitam, bahkan Black
Widow dan sebagainya. Kan sangat keterlaluan! Maka tidak heran, ketika jiwa pemberontakannya mencapai titik
puncaknya, ia pun meletus.
Letusannya dalam bentuk: suatu hari ia membeli pakaian serba-putih, topi putih, sepatu putih, lalu dari
butik, ia langsung berangkat kuliah. Seisi ruang kuliahnya pun heboh!
Untuk pertama kalinya, Sheila merasakan kemenangan dalam dirinya. Ia sangat puas. Walaupun demikian,
ketika waktunya pulang, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa, dan membungkus pakaian
pemberontakannya. Dengan senandung riangan, ia pun tiba di rumah. Itulah ketika ia mendengar suara tangisan
rebut di dalam. Tidak tahu apa yang terjadi, Sheila segera bergegas naik. Ibunya dan seisi rumah sedang menangis
histeris.
“Ada apa? Ada apa sih?” serunya.
“Ayahmu, Sheila, ayahmu, tiba-tiba saja tak sadarkan diri.”
“Sudah dipanggilkan dokter?”
Sheila segera masuk dan mendapati ayahnya terbaring kakau. Didapatinya ia masih bernapas, tetapi napas
yang tidak biasa. Napas yang sangat dalam dan lambat.
“Ayah,” bisiknya.
Ayahnya tidak bergerak.
Dokter yang kemudian datang, memeriksanya dengan cermat, segera menganjurkan opname di rumah sakit.
“Ada gangguan di dalam otak,” katanya singkat.
Selama satu minggu penuh, ayah Sheila, Lerau, dirawat di rumah sakit. Selama itu, dalam perawatan saraf, ia
berangsur-angsur sembuh.
Pada hari ketujuh, ketika Sheila mengunjunginya, Lerau memanggilnya.
“Ada pantangan yang kau langgar; maka ayah kena akibatnya.”
“Pantangan? Pantangan apa, Ayah?”
“Apakah kau hari itu tidak memakai pakaian hitam?”
“Yaaaah, saya pikir….saya jenuh, Ayah.”
“Ya itulah. Kenapa kau begitu…. Kan ayah sudah berpesan begitu keras. Kini kau tahu akibatnya bukan?
Ayahlah yang menanggung.”
“Maafkansaya, Ayah.saya sungguh tidak tahu kalau akan begini. Kenapa ayah tidak mengatakannya sejak
dulu. Ada apa sih sebenarnya? Kenapa mesti segala pakaian hitam itu, dan kenapa akibatnya bisa sampai begini jika
dilanggar?”
“Memang semua itu kesalahan Ayah.”
“Ayah memakai ilmu hitam ya? Untuk apa?”
“Yaaah, sudah lewat sebenarnya, itu adalah kesalahan masa lalu, tetapi akibatnya masih berlangsung
sampai sekarang. Besok Ayah akan pulang. Besok Ayah akan membukaka segalanya. Tetapi sementara itu, kau
berjanji tidak akan begitu saja melanggar pantangan itu, bukan?”
“Baiklah, Ayah. Maafkan Sheila, sekali lagi, dan segera sembuhlah. Kami semua menunggu Ayah di rumah.”
Di rumah, Sheila segera saja menemui ibunya, minta penjelasannya. Ibu Sheila, Naila, hanya menggelengkan
kepalanya dengan mata sayu.
“Jika ayahmu memutuskan untuk menceritakannya kepadamu, itu baik. Biarlah dia yang menceritakannya.”
***
LERAU baru saja akan mengakhiri evakuasinya di gua itu sebab sudah menjelang senja ketika matanya
tertumbuk kepada sesuatu yang berpendar agak dalam dari situs tempat ia bekerja seharian. Tadi ia tidak
melihatnya sebab matahari masih terang, tapi begitu senja, dan gua menjadi gelap, sinar pendar itu jadi tampak. Ia
menyadari, tidak mungkin baginya menahan staf panggilannya sebab mereka sudah lelah. Lagi pula, ia ingin
menyelidikinya sendirian sebelum terkacaukan oleh tangan banyak orang. Maka disuruhnya mereka pulang, lalu
dengan bekal lampu baterainya, ia masuk ke daerah lebih dalam.
Ketika ia sudah ada di dalam, pendar itu hilang sebab terkena sinar lampu, tetapi Lerau sudah mengingat
letaknya. Sebagai seorang ahli purbakala, Lerau hafal dengan sinar pendar semacam itu.
Hati-hati, dengan kausnya dibersihkannya debu daerah itu, kemudian dengan menggunakan sarung tangan,
digalinya sedikit demi sedikit. Jerih payahnya tidak sia-sia. Di bawah lapisan tanah lembut itu, tampak sepasang
mayat yang masih utuh terbungkus balsam. Lerau mendekatkan lampunya. Ia memperkirakan usia kedua mayat itu
ratusan tahun. Dengan napas lega, Lerau berdiri. Akan merupakan pekerjaan sangat berarti bagi timnya esok dan
minggu-minggu mendatang. Kemudian matanya tertumbuk pada sebuah benda yang digenggam oleh salah satu
mayat itu. Perlahan-lahan dibukanya jari-jari yang membeku itu untuk melepaskannya dari benda yan
digenggamnya. Benda itu ternyata sebuah lempeng keramik.
Di bawah sinar lampunya, lempeng berwarna putih kebiruan itu berisikan tulisan kuno. Dimasukkannya
lempeng itu ke dalam kantongnya, kemudian ditatanya daerah itu untuk persiapan esok hari.
Setibanya di kemah, dipelajarinya lempeng itu. Ia mempunyai banyak kamus tentang tulisan kuno. Tulisan
pada lempeng itu ternyata sebuah mantra; dan seperti biasanya, matra itu mengandung sejenis perjanjian; kurang
lebih isinya, dengan ucapan tertentu, kuasa di belakang lempeng itu akan memberikan kemampuan tertentu kepada
pemiliknya dengan imbalan yang setara.
Sepanjang malam Lerau berusaha mengetahui kemampuan apa yang dijanjikan olehnya dan imbalannya,
tetapi ia tidak berhasil mendapatkannya.
Keesokan harinya, sementara anak buahnya melanjutkan penggalian atas mayat-mayat itu, Lerau
melewatkan waktu dengan berbincang-bincan dengan tokoh-tokoh tua desa itu. Selama dua hari ia masuk keluar
desa, akhirnya berhasil menemukan maknanya.
Mayat-mayat yang dikuburkan di gua itu adalah mayat seorang wanita dan pria yang terkena kutuk Kuasa
yang menaungi desa itu karena kedapatan hidup dalam suatu perkawinan, padahal keduanya bersaudara. Namun,
setelah kutukan itu jatuh, dan keduanya mati, barulah terungkap bahwa sebenarnya mereka hanyalah korban dari
permainan sebuah mantra yang kurang dipahami keduanya.
Diceritakan, kedua orang itu menemukan sebuah lempeng mantra tersebut. Oleh hasrat yang besar ingin
mengetahui makna tulisan dalam lempeng itu, mereka pun mempelajari tulisan kuno didalamnya. Mereka berhasil,
dan dengan tidak sengaja, sambil memegang lempeng tersebut mereka membacakan mantra itu. Ternyata bacaan
itu menyebabkan keduanya jatuh cinta di luar kekuasaan mereka, tidak meyadari bahwa keduanya bersaudara.
Maka diam-diam mereka pun menikah dan hidup seperti suami-istri, sampai keadaan mereka terungkap oleh tetua
desa. Tetua itu memutuskan menguburkan mereka berdampingan dan menyertakan lempeng mantra itu supaya
tidak lagi menimbulkan korban yang lain.
Lerau termangu-mangu. Mantra itu bermakna menimbulkan rasa cinta dalam diri seseorang. Ia tertawa
dalam hati. Ia tidak percaya takhayul semacam itu; tetapi baaimanapun ini harta kekayaan zaman purba yang harus
dihargainya sebagai seorang ahli purbakala.
Dalam tulisan latin dan dibaca apa adanya maka ia berbunyi: LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU
TIVA.
Yang belum diketahuinya adalah imbalan apa jika permintaanya terkabul. Karena pengetahuan akan kisah
itu tudak banyak dimiliki penduduk desa, maka hal imbalan tetap tidak terungkap baginya. Lerau berpikir, biarlah
pengetahuan ini cukup untuk kelanjutan pekerjaannya. Ia akan menyelidiki lagi di perpustakaan purba di kota.
Ketika Lerau keluar dari rumah toko desa yang sudah tua itu, ia berpapasan dengan seorang gadis desa yang
baru saja selesai menimba air.
“Hai, ada gadis secantik ini, aku tidak mengetahuinya?” pikirnya.
Gadis itu sungguh cantik. Lerau tidak langsung pulang, tetapi sengaja singgah di sumur.
“Selamat siang,” tegurnya.
Gadis itu memandangnya dengan heran
“Boleh saya minta sedikit air?”
“Oh, tentu. Untuk apa?”
“Minum, saya sangat haus.”
“Ah, tidak baik minum air mentah. Jika Anda memang hendak minum, mari singgah di rumah saya, saya
sajikan air masak.”
Pucuk dicinta ulam tiba! Lerau segera saja menerima undangan itu. Demikianlah, maka ia pun singgah di
rumah gadis itu.
Gadis itu bernama Naila, anak tetua desa, pemimpin upacara adat; semacam pendeta desa begitulah.
Dalam waktu singkat kedua insane itu sudah akrab. Naila menanyakan maksud kedatangan Lerau, dan Lerau
menjelaskan hal-hal tentang kepurbakalaan serta penelitiannya. Pembicaraan tersebut tiba pada lempeng keramik
bertuliskan mantra itu. Naila, seorang guru sekolah desa itu, tentu saja tertarik, sebab itu bisa menjadi bahan cerita
bagi murid-muridnya kelak. Maka ia melihat benda itu.
“Awas, kalau kena sihirnya, saya tidak tanggung!” gurau Lerau.
Lempeng itu sudah dicuci bersih dan tampak indah mengkilat. Ditimang-timang Naila keramik itu, lalu
tibalah ia pada huruf-huruf kuno itu.
“Lucu sekali huruf-huruf ini. Kau bisa membacanya tentunya ya?”
“Mula-mula tidak, kemudian saya lihat di kamus tentang tulisan kuno, setelah ditulis ulang dalam tulisan
latin ini mudah diucapkan, tetapi arti keseluruhannya tidak ada dalam kamus. Hanya dari kisah tokoh tua desa ini
saja diperkirakan artinya.”
“Bagaimana dibacanya?”
“Tidak takut kena sihirnya?”
“Orang zaman modern begini, mana ada segala macam mantra bisa bertuah.” Keduanya tertawa ramai.
Lerau menuliskannya di kertas bagi Naila, kemudian mereka membacanya bersama:
“LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA.”
“Lucu ya bunyinya? Apa ya artinya?”
“Lafatu ukhurul vita – ufutu lakharu tiva. Sepertinya huruf-hurufnya Cuma dipertukarkan saja. Dan, ternyata
makananya semacam ada pertukaran, antara pemilik mantra dengan kuasa di belakangnya. Besok saya ceritakan
lebih jauh, sekarang terlalu siang. Lagi pula, kau tentu akan mengajar anak-anak, bukan? Kan sudah tiba saatnya
sekolah. ”
“Oh, kau betul, kapan-kapan deh kita bertemu lagi.”
Naila segera bersiap dan Lerau pun kembali ke kemah.
Malam itu kedua insan itu tidak dapat tidur. Lerau, karena masih ingat kisah cinta kedua insane yang
membaca mantra itu bersama secara tidak sengaja, dan Naila… ia tidak tahu mengapa. Naila belum tahu makna
mantra itu, memang. Tetapi, ada sesuatu dalam hatinya yang bergerak. Ada sesuatu dalam diri Lerau yang sangat
memikatnya.
Tidak seorang pun tahu apa pengaruh mantra itu sesungguhnya. Tetapi sejak hari itu, Lerau dan Naila seolah
tidak terpisahkan. Belakangan, masing-masing memang mengaku mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagi
Naila, hal itu merupakan masalah besar, sebaba sebagai putri seorang tetua agama, pendeta, ia tidak bisa
sembarangan jatuh cinta, lebih-lebih kepada seorang laki-laki asing. Naila tahu itu. Tetapi ia juga tidak dapat
mengelak bahwa ia sudah jatuh cinta kepada Lerau.
“Mantra itu memang kita ucapkan bersama, bukan?” kata Lerau.
“Ya, tetapi waktu itu aku tidak mengerti maknanya.”
“Nah, katakana saja, kita sama-sama terlibat cinta karena telah sama-sama membacanya. Lalu…?”
“Lalu…? Sayangku, aku anak seorang pendeta. Aku tidak sembarang jatuh cinta kepada orang asing.”
“Katamu, kita hidup di zaman modern.”
“Yaaah, itu kan kita. Ayahku kan masih menjabat pendeta.”
“Aku akan resmi melamarmu.”
“Kau berani menanggung akibatnya?”
“Untuk cintaku, aku sanggup.”
“Baiklah, aku juga sanggup. Mari kita menghadap ayah.”
Kedua insan itu mengguncangkan seisi rumah ayah Naila, Pendeta Agung Usuru. Tetapi , Pendeta Usuru
cukup bijak, ia bisa mengerti perasaan putrinya. Hanya saja, setelah Naila selesai mengungkap perasaannya sesudah
Lerau mengajukan lamarannya, ia termenung lama sekali.
“Kalian hidup di dunia modern, kalian akan sulit menerima hal-hal semacam ini. Itu aku tahu. Tetapi, aku
masih terikat oleh sumpahku sebagai Pendeta Kepala. Mestinya Naila harus dinikahkan dengan putra salah seorang
Pendeta di sini; mungkin itulah salahku, aku tidak segera mempertemukanmu dengan salah satu dari mereka, kau
sudah keburu jatuh cinta dengan Lerau. Beri aku semalam untuk merenungkan hal ini. Aku harus menanyakannya
kepada Kuasa yang kepadanya aku mengabdi.”
Lerau pulang ke kemah dengan separuh lega. Setidaknya secara prinsip Usuru tidak mentah-mentah
menolaknya. Ia tidak tahu siapa atau apa Kuasa majikan Usuru, tetapi ia akan tahu besok.
Keesokan harinya, ketika kedua insan itu menghadap Usuru, dilihatnya wajah Usuru yang muram. Lerau
menjadi gelisah. Ada yang tidak beres rupanya.
“Nak Lerau, Naila, apakah kalian jatuh cinta secara tidak wajar?”
Untuk sesaat mereka berdua hening; ngeri.
“Ceritakan saja, sebab aku harus tahu, karena apa yang kulihat semalam, adalah semacam tuntutan dari
kuasa yang lain kepadamu.”
Lerau pun menceritakan hal-ihwal ditemukannya keramik berisi mantra itu, ihwalnya membaca bersama
mantra itu.
“Tetapi kami membacanya bukan karena ada maksud tertentu, sekedar ingin tahu saja. Naila tidak tahu
maknanya ketika itu.”
“Lagi pula, terus terang, saya jatuh cinta kepada Naila pada pandangan pertama saya melihat Naila, dan itu
jauh sebelum saya terpengaruh mantra apapun.”
“Naila juga Ayah, terus terang, ketika Lerau minta air minum, Naila langsung menawarkannya air masak,
sebenarnya juga….”
“Aku tahu, aku tahu, itulah muda-mudi zaman sekarang. Boleh aku lihat barang itu?”
Lerau memberikan keramik itu kepada Usuru. Usuru hendak mengambilnya dari tangan Lerau, keitka tiba-
tiba ia menjerit. Matanya nyalang, dengan wajah ngeri. Tangannya terhenti di atas tangan Lerau, seolah-olah ada
kekuatan yang mencegahnya menyentuh keramik itu; kemudian tubuhnya mengejang sambil tetap berdiri kaku!
Naila menjerit menyaksikan adegan itu, ketakutan menyergapnya. Ia menjatuhkan diri dalam pelukan Lerau,
sementara Lerau, yang menyaksikan kejadian luar biasa itu, segera bermaksud menarik kembali tangannya. Namun
maksudnya tidak kesampaian, sebab Naila yang menjatuhkan diri dalam pelukannya menyebabkan keramik itu
terpental dari tangannya, lalu jatuh di lantai, hancur berkeping-keping. Baru pada saat itu Usuru kembali sadar.
Seluruh tubuhnya penuh keringat dingin.
“ Untung Naila memecahkannya benda itu hamper saja merenggut nyawaku!” kata Usuru masih terengah-
engah. Kemudian orang tua itu duduk untuk menenangkan diri.
“Ayah tidak apa-apa?”
“Sekarang tidak. Jika benda itu tidak hancur, mungkin saja sekarang ini aku sudah binasa secara
mengerikan!”
“Maafkan saya Pak, saya….”
Usuru : “Oh, itu bukan salahmu. Kuasa di belakang mantra itu menuntut suatu korban sebab kalian telah
mengucapakannya. Lepas dari kalian mengucapkan dengan maksud tertentu atau tidak, mantra itu telah bekerja.
Dan ia menuntut imbalan. Ayah tidak mau mengatakan bahwa kalian jatuh cinta karena telah mengucapkan mantra
itu, tetapi kenyataannya kalian sama-sama jatuh cinta, bukan? Bagaimanapun, mantra itu telah bekerja. Karena
kalian tidak paham imbalan yang dituntutnya, Ayahlah yang hampir saja membayarnya. Buat Ayah, mati tidaklah
menakutkan, tetapi bahwa Ayah akan mati seraya menelan kemarahan Sang Kuasa…. hmmm…. kalau ada cari mati
yang lain, bahkan lebih agung?”
“Maafkan saya Pak, sekali lagi…”
“Aku mengerti. Tidak usah merasa bersalah. Bukankah aku masih selamat? Namun masalahnya kini jadi lain.
Bagaimanapun imbalan itu harus ada yang membayar.”
“Dengan memutuskan cinta kami?”
“Ayah tidak berkata demikian. Ayah tahu kamu tidak akan mau, bukan? Kita cari cara lain. Itu saja. Jadi Ayah
akan minta satu malam lagi, besok kita akan tahu jawabannya.
Dan, jawaban itu adalah jawaban yang mengerikan. Imbalan atas bekerjanya mantra itu adalah ‘darah dan
empedu’ pengantin perempuan, sehari setelah upacara pernikahan berlangsung!”
“Tetapi itulah pembunuhan!”
“Tidak. Tidak harus demikian. Mari lihat.”Usuru membawa mereka ke ruang pemujaan. Disan terpampang
beberapa gambar memperlihatkan seorang perempuan terbaring di altar dan sebilah pisau ditikam ke hatinya.
Gambar berikutnya memperlihatkan perempuan itu bangun dengan segar dan hidup.
Dalam pemujaan kami, ada mantra khusus untuk persembahan darah dan empedu. Perempuan yang sudah
dimantrai seperti itu, ketika ditikam hatinya, hanya mengeluarkan darah dan empedu, tetapi tidak mati. Lukanya
segera menutup lagi, sama sekali tidak ada cacatnya; bahkan ia tidak akan merasakan apa-apa.”
“Ayah mempercayai itu?”
“Tentu saja, Nak. Ayahlah yang memantrainya.”
“Ayah bermaksud memantrai Naila lalu menikam hati Naila, dan Ayah mau berkata bahwa Naila tak akan
merasa apa-apa, dan bahwa Naila akan tetap hidup tak bercacat?”
“Ya.”
Kedua muda-mudi itu terdiam dengan mulut ternganga heran dan ngeri. Heran, sebab di zaman modern ini
masih ada upacara semacam itu, dan ngeri sebab mereka sama sekali tidak bisa begitu saja percaya.
Untuk dapat mengendapkan hal itu, keduanya lalu minta izin untuk berjalan-jalan keluar. Lerau bermaksud
menyelidiki kepercayaan semacam itu di antara anggota masyarakat desa.
Ketika malam tiba, Naila mengajak Lerau bermalam, sebab mereka harus membicarakannya masak-masak.
“Kalau dipikir, pernah kan kau dengar di Filipina, dukun yang mengoperasi tanpa pisau, Cuma dengan jari-
jari tangannya dan berhasil dengan sempurna. Hal-hal semacam itu toh bisa terjadi di dunia modern ini.”
“Ya, tetapi jika taruhannya nyawamu, aku tidak akan memperbolehkan.”
“Tetapi ayah tidak akan mengizinkan tanpa upacara semacam itu.”
“Kan sebetulnya kita tidak berurusan dengan mantra itu? Kita kan hanya bergurau?”
“Bagaimanapun kita sekarang saling mencintai, ya kan?”
Lerau memeluk Naila.
“Soalnya, aku tidak mau kehilangan kau.”
Menjelang fajar, akhirnya Nailalah yang mengambil keputusan.
“Aku percaya penuh kepada Ayah. Aku yakin ia tidak akan begitu saja mengorbankan aku. Lagi pula, bagiku
lebih baik mati sungguh daripada tidak bisa menikah denganmu.”
“Lalu kalau kau mati, aku bagaimana?”
“Ah, jangan dibicarakn sekarang. Kita yakin sajalah. Kalau kau memang mencintaiku, kau mesti percaya pada
ku.”
Lerau tidak menjawab. Dan itulah keputusan mereka ketika keduanya pagi itu juga menghadap Usuru.
Maka Usuru meyiapkan altar, dan selama sehari suntuk, ia mengurung diri dalam ruang pemujaannya.
Sementara itu, istri Usuru meyiapkan upacara perkawinan.
Ketika senja tiba, kedua insan itu mulailah didandani sebagai pengantin. Upacara itu berlangsung khidmat
dan singkat saja, kemudian keduanya memasuki kamar pengesok malam, sesuai janji mereka, Naila akan membayar
imbalan mantra di atas altar yang telah dipersiapkan Usuru.
Maka semalam dan sehari penuh, kedua pengatin baru itu menikmati malam pengantin mereka dengan hati
penuh was-was. Lerau bagaikan anak kecil yang tidak mau kehilangan miliknya, sedetik pun ia tidak mau berpisah
dari Naila. Makan pun ia minta diantar ke kamar saja. Ia ingin menikmati saat-saat terakhir memiliki Naila; seolah-
olah sesudah malam itu Naila akan betul-betul mati.
Maka tibalah malam itu.
Dengan pakaian serba hitam, Naila berjalan menuju altar, diiringi Lerau dan kawan-kawannya, lalu sebarisan
pemuda-pemudi desa yang bersimpati kepada keduanya. Semuanya memenuhi ruang pemujaan, bahkan sampai ke
halaman Usuru. Bau dupa memenuhi seluruh tempat, menambah perasaan ngeri.
Ketika terdengar denting lonceng kecil, Usuru memberi isyarat kepada Naila untuk berbaring. Dengan pisau
yang sangata tajam dan runcing, dikoyaknya pakaian Naila tepat di atas daerah daerah hati dengan koyakan
bersilang kemudian ia menaruh sehelai daun suatu tanaman di daerah itu.
Suasananya sangat sunyi. Hanya bunyi api dari perapian ruang pemujaan saja mengiringi uapacara seram
itu. Usuru kemudian berlutut sambil memegang tongkat pemujaan, menghadap api. Diserahkannya pisau itu kepada
pendeta lain. Pendeta ini mengangkat pisaunya, lalu mendekati Naila.
Pada saat itulah tiba-tiba Lerau melomopati Naila, menerka pendeta yang sedang mengangkat pisaunya
sehingga keduanya berguling-guling. Sejenak suasana menjadi kacau. Kemudian tiba-tiba barisan pemuda-pemudi
dan kawan-kawan Lerau serentak maju ke depan, mengangkat Lerau bangun, merenggut Naila dari altar, lalu
berlarian membawa keduanya. Pemuda-pemuda yang lain lagi menghalang pendeta-pendeta yang akan berusaha
mencegah pelarian mereka. Tetapi, tindakan itu ternyata tidak perlu sebab Usuru tidak memerintahkan pengejaran.
Rupanya diam-diam Lerau memperbincangkan masalah itu dengan kawan-kawannya dan pemuda-pemuda
desa itu. Mereka, yang sudah memasuki zaman modern, sama tidak percayanya dengan Lerau dan menganggap
upacara itu suatu kekonyolan besar. Maka mereka bersepakat menolong Lerau.
Mereka membawa Naila dan Lerau ke perkemahan. Lerau tampak lega hatinya melihat Naila didukung
beramai-ramai oleh pemuda-pemuda itu. Setidaknya ia masih hidup. Tetapi segera setelah Naila diletakkan di dipan,
mereka melihat suatu kenyataan yang tak dapat dipercaya.
Naila terdiam dengan tubuh kaku di dipan itu, seperti orang mati! Berbagai cara diupayakan untuk
menyadarkannya, tetapi tidak berhasil. Maka satu-satunya jalan adalah memanggil Usuru.
Namun itu tida perlu, sebab tak lama kemudian Usuru muncul di perkemahan itu. Semua mata
memandangnya dengan cemas. Usuru membelai Naila dengan tarika napas panjang. Kemudian ia menggamit Lerau.
Ia sama sekali tidak menyesali tindakan Lerau.
“Aku telah mencoba menghubungi Sang Kuasa, dan Ia mengizinkan aku mengembalikan Naila kepadamu.
Tetapi karena dengan demikina ia masih tetap berutang kepada mantra itu, maka kau harus memenuhi dua syarat.
Pertama, jika anak yang akan lahir dari Naila seorang perempuan, mka sampai pada usianya yang ke-25, ia harus
selalu berpakaian hitam. Kedua, pada usianya yang ke-25 itu, anakmu perempuan itu harus kaubawa kemari untuk
menjalani persembahan sebagai hganti Naila.
Dan kau tidak perlu takut. Ia tidak akan mendapat cedera apapun. Aku tanggung seperti halnya Naila tadi,
sesungguhnya kau tidak perlu bertindak seperti itu, bukankah Naila sudah dilindungi. Keadaanya yang seperti
sekarang ini hasil dari perlindungan itu, yang membuatnya tak sadar dan karenanya ia tidak akan merasakan apa-
apa, sekaligus seluruh lubang di dalam tubuhnya sudah ditutup. Walaupun pisau itu menikamnya, begitu dicabut,
lukanya akan segera menutup. Tapi yang sudah berlalu biarlah berlalu.
Apakah kau bersedia memenuhi kedua syarat itu?”
Lerau tidak dapaat berbuat lain. Lagi pula, bukankah anaknya belum tentu perempuan? Usuru berkata, jika
anaknya laki-laki, semua kutukan mantra itu akan gugur.
***
“Jadi, Ayah akan membawaku ke altar di rumah kakek dan membiarkan orang tua itu menikamku? Ayah
percaya segala macam takhayul itu?” seru Sheila geram.
“Ayah maunya tidak percaya, Nak, tetapi lihatlah, kenyataannya ketika kau tidak mengenakan pakaian hitam
itu. Bukankah itu suatu bukti yang nyata?”
”Ayah, kita sudah mempunyai Allah yang hidup, Kuasa atas segala kuasa. Seharusnya kita tidak gentar
menghadapinya! Kalau Ayah sampai terkena pengaruh kuasa itu, pasti karena Ayah tidak mau menyerahkan diri
Ayah kepada Allah. Sekaranglah saatnya Ayah, lepaskanlah diri Ayah dari kungkungan kuasa mantra atau apapun itu.
Bukankah menurut Ayah, Ayah dan Ibu tidak memakai mantra itu untuk jatuh cinta beneran?”
Lerau hanya menghela napas. Naila pun hanya menunduk. Sheila bangkit. Ia telah mengambil keputusan.
“Baiklah,” katanya, “apakah ada cara sehingga kutukan itu jatuhnya ke Sheila, dan bukan ke Ayah? Sheila
ingin mengakhiri semuanya dengan kuasa dari Allah kita! Kalau saja Sheila tahu bahwa pakaian hitam itu untuk
memenuhi tuntutan kuasa gelap itu, Sheila pasti sudah berjuang sejak dahulu. Tetapi, Sheila sekarang akan
memperjuangkannya. Asal jangan Ayah yang terkena, sebab Sheila tidak bisa menuntut Ayah untuk melepaskan diri
dari kauasa mantra itu serta menyerahkan diri kepada Allah Yang Hidup.”
“Sheila, kuasa itu datangnya dari kakek. Apakah kira-kira kau berani melawannya di depan kakek?” Naila
menyela mereka.
“Bersama Allah, terhadap apapun, siapapun Sheila tidak takut.”
“Bagus Sheila, Ibu sangat bangga dengan kau. Jangan seperti Ibu lagi, yang tidak mempunyai iman dan
meyerah oleh kuasa gelap mantra itu, walaupun itu milik kakek. Besok kita ke sana. Ayah dan Ibu pasti mendukung
kamu. Memang untuk sekarang menuntut kami segera percaya kepada-Nya tidak mudah; jadi, sementara ini kami
mendukung dengan apa adanya kami saja.”
“Baik. Pada ulang tahunku yang ke-25, kita ke sana!”
***
USURU tertawa mendengar dan melihat sendiri betapa Sheila berapi-api.
“Jadi, Kakek tidak percaya padaku?”
“Bukan, bukan begitu. Sheila, zamanku dan zamanmu sungguh berbeda. Aku sangat menghargai kau. Pada
zamanku, akulah seorang pemberontak untuk segala macam upacara semacam ini. Aku berjuang melawan ayahku
dan kakekku. Kau tahu, mereka adalah pendeta turun-temurun, dan aku harus meneruskan kependetaan mereka.
Pendeta Kepala lagi. Untung anakku seorang perempuan sehingga aku tidak terbeban untuk menurunkan
kepadanya.
Rohaniawan yang pertama berkunjung di daerah ini, pertama dating kepadaku, dan aku orang pertama yang
mengikutnya dengan setia, serta memberinya izin bekerja di desa kami. Aku sangat tersentuh dengan ajarannya.
Tetapi, pada saat ayahku hendak mati, ia tidak bisa mati begitu saja sebelum menurunkan kemampuan
kependetaannya kepadaku. Dan, aku tidak bisa menerimanya jika aku mengikuti ajaran yang baru itu. Kau bisa
membayangkan, betapa perasaanku melihatnya meregang nyawa dengan sengsara sementara menunggu akan
mengatakan ya. Maka pada akhirnya, aku menerimanya. Barulah ia mati dengan damai.
Apa kau tidak heran, pada usia sebegini aku masih belum mati juga sementara orang-orang di desa ini yang
lebih muda dari aku sudah habis semua?”
Usuru membuka dadanya. Tampak sebuah bekas luka besar.
“Kau lihat ini? Kalau bukan karena ilmu itu, aku sudah mati sepuluh tahun yang lalu ketika bencana longsor
menimpa desa ini. Aku ikut dalam tim pertolongan, dan sebuah batu besar menimpaku, di sini, mengoyak dadaku
sampai terbuka.
Jangan salah sangka; aku bukannya bangga mempunyai ilmu ini dan tidak bisa mati; sesungguhnya hidup itu
tidak lebih indah daripada mati, lebih-lebih jika kau tahu kau tidak akan bisa mati. Orang menyangka mati itu
menakutkan karena mereka tidak dapat menghindari kematian. Tetapi, orang yang tidak bisa mati justru
merindukan kematian sementara ia tidak bisa mendapatkannya.
Seperti aku. Dan ayahku. Dan kakekku.
Baiklah aku tidak akan berpanjang-panjang membenarkan diriku. Kalian tinggal di sini semalam, aku akan
berbicara dengan Yang punya Kuasa malam ini, dan esok kita teruskan diskusi kita. Bagaimanapun upacara untuk
Sheila baru bisa dilaksanakan esok malam.”
Demikianlah ketiganya bermalam di situ dengan berbagai macam perasaan. Kesempatan itu dipakai Sheila
untuk mengunjungi penduduk dan berbincang-bincang. Sheila mendapatkan bahwa memang sebagian penduduk
telah menjadi orang-orang percaya. Ini sangat membesarkan hatinya, dan meningkatkan tekadnya. Diajaknya
mereka berkumpul malam itu dalam suatu persekutuan doa. Ia toh membutuhkan dukungan dari sesame orang
percaya.
Esok malamnya, barulah Usuru muncul. Wajahnya tampak seperti bersinar.
“Aku punya program sendiri dengan Kuasa yang di belakangku. Aku tidak akan menceritakannya kepadamu,
sebab pasti akan bertentangan dengan ajaran iman Sheia. Aku juga tahu, Sheila pasti sudah punya program sendiri
berdasarkan imannya. Aku tidak ingin tahu itu. Tetapi yang jelas, mala ini kalian semua akan membuktikan kuasa
yang mana yang lebih besar.”
“Asal bukan ayah yang terkena akibatnya,” kata Sheila.
“Tentu tidak. Ini hanya anatar kau, Sheila, dan aku, Usuru. Dan ini bukan menyangkut perkara dua manusia
melainkan antara dua Kuasa. jadi apapun yang terjadi janganlah menghubungkannya antara cucu dengan kakek.”
Lerau bangkit berdiri.
“Bapak tidak hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan Sheila mati, bukan?”
“Oh tidak, sama sekali tidak. Tidak akan ada pengaruh atas Sheila. Jika ia menang kuasaku akan lenyap; dan
itu pun sudah merupakan keinginanku; sebaliknya jika aku menang, aku akan tetap dengan kuasaku; walaupun itu
sebenarnya tidak terlalu aku harapkan.”
Mereka bertiga menuju altar.
“Terlebih dahulu aku hendak memberitahukan satu hal kepada kalian. Apapun yang akan tampak terjadi,
kalian tidak boleh melakukan tindakan intervensi macam yang dilakukan Lerau 25 tahun yang lalu, atau akibatnya
akan sangat mengerikan. Kalian percaya saja. Baik kepada Allah Sheila, maupun kepada kuasaku. Yang jelas, sekali
lagi aku jamin, tak satu pun akibat buruk akan menimpa Sheila.”
Kemudian Usuru membimgbing tangan Sheila.
“Sheila, silakan.”
Usuru mengatur sehingga Sheila mengenakan pakaina serba hitam. Pakaian yang sama yang dikenakan Naila
25 tahun yang lalu – masih ada bekas robekan sbersilang di daerah hatinya.
Sheila berbaring di altar.
Empat pendeta muda mengelilingi altar, membawa dupa berasap tebal, harum, tetapi menyesakkan napas.
Usuru meletakkan daun tertentu – daun yang sama – di atas robekan pakaian hitam Sheila.
Lerau dan Naila bertelut di luar daerah altar. Mereka tidak tahu mesti memohon kepada siapa.
Suasana sangat sunyi mencekam.
Usuru mengambil pisau yang sangat tajam dan runcing – pisau yang sama – yang dibawakan oleh
pembantunya dan sebuah baki perak.
Ia berlutut di samping altar dengan pisau terdekap di dadanya. Lama sekali ia berlutut – atau terasa sangat
lama – bagi semua yang hadir.
Kemudian terdengar denting lonceng kecil bernada tinggi. Bunyinya lembut, tetapi di dada Lerau dan Naila
bagaikan lonceng raksasa yang berdentang memekakkan telinga.
Usuru bangkit perlahan-lahan. Ia mengangkat tinggi pisaunya, dengan kedua belah tangannya sambil
memandang kilauan pisau itu oleh cahaya lampu minyak di sekeliling altar.
Asap dupa semakin tebal mengepul, seolah-olah hendak membungkus tubuh Sheila yang terbaring di atas
altar.
Seolah-olah tidak merasakn lelah, Usuru masih saja memegang hulu pisau itu dengan kedua belah
tangannya di atas kepalanya.
Tiba-tiba Usuru memejam.
Kedua tangannya perlahan-lahan turun sampai ke dadanya. Pisaunya tertuju ke arah robekan silang yang
tertutup daun di pakaian hitam yang dikenakan Sheila, seolah-olah ia sedang membidiknya dengan sangat berhati-
hati.
Asap semakin tebal. Tubuh Usuru dan Sheila seperti terbungkus oleh pekatnya asap.
Lama sekali.
Sunyi.
Tiba-tiba, asap dupa itu menghilang dengan cepat seolah-olah terhisap oleh sesuatu di ruang pemujaan.
Ketika ruang itu kembali jernih, tampaklah bayang-bayang Usuru tegak di samping altar dengan pisau
tergenggam oleh satu tangan, menggantung di samping tubuhnya. Wajahnya yang semula terkesan bercahaya, kini
tampak gelap, atau kelabu.
Kemudian terdengar denting jatuhnya pisau ke lantai, dan bersamaan dengan itu tubuh Usuru ambruk
bagaikan runtuh di dalam jubahnya!
Sheila membuka matanya. Dilihatnya Usuru sudah tidak ada. Ketika ia menoleh ke bawah altar, ia menjerit.
Di antara jubah kebesaran kependetaan Usuru itu, teronggok sekumpulan tulang dan debu! Itulah sisa-sisa
kebesaran Usuru. Itulah kematian yang begitu dirindukan Usuru, yang selama ini datangnya selalu ditunda oleh
suatu kuasa di luar kekuasaannya sendiri. Kini kuasa itu lenyap. Maka kematiannya yang semestinya sudah
menjeputnya bertahun-tahun sebelumnya, menjemputnya dengan tiba-tiba.
Sheila bangkit perlahan-lahan. Lerau dan Naila ikut bangkit. Ketiganya saling berpelukan. Ketiganya kini tahu
betul, kepada siapa mereka hendak mengbdikan hidup sebab mereka telah diberi kesempatan menyaksikan sendiri.
Namun, mereka juga yakin, sungguh lebih berbahagia mereka yang boleh yakin tanpa harus melihat sendiri.
***TAMAT***
Kutukan di Balik Cinta
Di ruang tamu
Lerau : “Sheila, dengar ya nak, kamu harus selalu memakai pakaian warna hitam sampai umur 25.”
Sheila : “Kok gitu, yah?”
Lerau : “Nanti kalau kamu sudah besar ayah baru kasih tahu. Kamu harus janji dulu.”
Sheila : “ Iya deh yah. Sheila janji”
Narator: “Karena selalu memakai pakaian warna hitam, Sheila sampai bosan melihat warna hitam. Apalagi Sheila
sejak kecil sudah mendapat banyak julukan, seperti Si Hitam, Nona Hitam, bahkan Black Widow dan sebagainya.
Maka tidak heran, ketika jiwa pemberontakannya mencapai titik puncaknya, ia pun meletus.”
***
Saat Sheila berumur 23 tahun
Di toko pakaian
(Sheila menenteng baju putih, celana putih, topi putih, dan sepatu putih menuju kasir)
Sheila : “Mbak, ni boleh langsung dipakai?” (meletakkan barang-barang di meja kasir)
Penjaga kasir : “Oh, boleh. Tapi dihitung dulu ya (menghitung harga pakaian). Fitting room nya ada di sana
(menunjuk letak Fitting room). Silakan (memberikan kantong isi pakaian). Terima kasih (Sheila mengambil
kantong).”
(Sheila berjalan menuju Fitting room)
Tak lama kemudian
(Sheila keluar dari Fitting room dan berjalan menuju kampus)
***
Narator: “Saat di kampus, seisi ruang kuliah Sheila heboh. Untuk pertama kalinya, Sheila merasakan kemenangan
dalam dirinya. Ia sangat puas. Walaupun demikian, ketika waktunya pulang, ia mengganti pakaiannya dengan
pakaian yang biasa, dan membungkus pakaian pemberontakannya. Dengan senandung riangan, ia pun tiba di
rumah.”
Sheila : “Aku pulang.” (melepaskan sepatunya)
(Mbak Wati tergopoh-gopoh lari menuju Sheila)
Wati : “Non, Tuan masuk rumah sakit. Nyonya nyuruh Mbak untuk segera pergi.”
Sheila : “(Terkejut) Ayah kenapa, Mbak? Kok masuk rumah sakit?” (memakai sepatu)
Wati : “Mbak kurang tahu, Non. Tadi Tuan tiba-tiba pingsan, entah kenapa.”
Sheila : “Oh, yaudah, makasih ya Mbak. Sheila pergi dulu.”
Sheila tiba di rumah sakit
(Sheila masuk ruang ayahnya dirawat)
Sheila : “Bu, ayah kenapa?”
Naila : “Entahlah. Kata dokter ada gangguan di dalam otak ayah. Harus diopname.”
Narator: “Selama satu minggu ayah Sheila, Lerau, dirawat fi rumah sakit. Selama itu, dalam perawatan saraf, ia
berangsur-angsur sembuh. Pada hari ketujuh, ketika Sheila mengunjunginya, Lerau memanggilnya.”
Lerau : “Sheila, apakah kamu melanggar pantangan yang ayah bilang?”
Sheila : “Pantangan? Pantangan apa, Ayah?” (berjalan mendekati ayah)
Lerau : “Apakah kamu hari itu tidak memakai pakaian hitam?”
Sheila : “Iya, yah. Habis bosan sih pakai hitam melulu.”
Lerau : “Ya itulah. Kenapa kau begitu. Kan ayah sudah berpesan begitu keras. Kini kau tahu akibatnya bukan?
Ayahlah yang menanggung.”
Sheila : “Maafkan Sheila, yah. Sheila tidak tahu mengenai hal ini. Kenapa ayah tidak mengatakannya sejak dulu.
Ada apa sih sebenarnya? Kenapa mesti segala pakaian hitam itu. Dan kenapa akibatnya bisa sampai begini jika
dilanggar?”
Lerau : “Memang semua itu kesalahan Ayah.”
Sheila : “Ayah memakai ilmu hitam ya? Untuk apa?”
Lerau : “Yaaah, sudah lewat sebenarnya, itu adalah kesalahan masa lalu, tetapi akibatnya masih berlangsung
sampai sekarang. Besok Ayah akan pulang. Besok Ayah akan membukaka segalanya. Tetapi sementara itu, kau
berjanji tidak akan begitu saja melanggar pantangan itu, bukan?”
Sheila : “Baiklah, Ayah. Maafkan Sheila, sekali lagi, dan segera sembuhlah. Kami semua menunggu Ayah di rumah.
Sheila pulang dulu ya.” (mengambil tas dan berjalan keluar)
Lerau : “Iya. Hati-hati ya (melihat Sheila berjalan keluar). Hah, mantra itu benar-benar berkhasiat.”
***
Flash back
Narator: “Lerau baru saja akan mengakhiri evakuasinya di gua itu sebab sudah menjelang senja ketika matanya
tertumbuk kepada sesuatu yang berpendar agak dalam dari situs tempat ia bekerja seharian. Tadi ia tidak
melihatnya sebab matahari masih terang, tapi begitu senja, dan gua menjadi gelap, sinar pendar itu jadi tampak.”
Lerau : Apa itu? Apa sebaiknya aku pergi menyelidikinya. Tapi staf penggalian udah pada capek. Apa ku periksa
sendiri aja ya? Yah, lebih baik begitu, mending ku periksa dulu sebelum terkacaukan oleh tangan banyak orang.
Lerau : “Kalian pulang saja dulu. Makasih ya.”
Staf : “Baik, pak.” (meningalkan gua)
(Lerau mengambil senter dan berjalan mendekati pendar cahaya)
(Lerau membersihkan debu daerah itu dengan kausnya)
(Lerau menggali sedikit demi sedikit dengan sarung tangan)
Lerau : Apa itu mayat? (mendekatkan lampunya) Dua mayat ini pasti udah berumur ratusan tahun. Mmm, apa
yang digenggam tangan mayat itu? (mendekati mayat dan mebuka tangannya pelan-pelan) Lempeng keramik?
Tulisan kuno apa ini diatasnya? Sudah lah nanti di perkemahan baru cari artinya saja. (memasukkan lempeng ke
dalam kantong) Ah, besok ada pekerjaan baru untuk timku. (berjalan keluar gua)
Narator: “Setibanya di kemah, dipelajarinya lempeng itu. Ia mempunyai banyak kamus tentang tulisan kuno. Tulisan
pada lempeng itu ternyata sebuah mantra; dan seperti biasanya, matra itu mengandung sejenis perjanjian; kurang
lebih isinya, dengan ucapan tertentu, kuasa di belakang lempeng itu akan memberikan kemampuan tertentu kepada
pemiliknya dengan imbalan yang setara. Dalam tulisan latin dan dibaca apa adanya maka ia berbunyi: LAFATU
UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA. Sepanjang malam Lerau berusaha mengetahui kemampuan apa yang
dijanjikan olehnya dan imbalannya, tetapi ia tidak berhasil mendapatkannya. Keesokan harinya, sementara anak
buahnya melanjutkan penggalian atas mayat-mayat itu, Lerau melewatkan waktu dengan berbincang-bincan dengan
tokoh-tokoh tua desa itu.”
Lerau : “Numpang tanya, Kek. Apa Kakek tahu mengenai mayat yang terkubur dalam gua itu?”
Kakek : “Oh itu. Mayat yang disana itu sepasang kekasih yang terkena kutuk Kuasa yang menaungi desa itu karena
kedapatan hidup dalam suatu perkawinan, padahal keduanya bersaudara. Ceritanya nih begini, dua orang itu
menemukan sebuah lempeng bermantra, karena ingin mengetahui makna tulisan kunonya, mereka mempelajari
tulisan kuno didalamnya. Mereka berhasil, dan sambil memegang lempeng tersebut mereka membacakan mantra
itu. Ternyata bacaan itu menyebabkan keduanya jatuh cinta di luar kekuasaan mereka, tidak meyadari bahwa
keduanya bersaudara. Maka mereka menikah diam-diam dan hidup seperti suami-istri, sampai keadaan mereka
terungkap oleh tetua desa. Tetua memutuskan menguburkan mereka berdampingan dan menyertakan lempeng
mantra itu supaya tidak lagi menimbulkan korban yang lain.”
Lerau : Hahahaha. Mana mungkin mantra itu bisa menimbulkan rasa cinta. Konyol banget deh. Tapi,
bagaimanapun juga ini harta kekayaan zaman purba. Sebagai seorang ahli zaman purba, aku harus menghargainya.
Lerau : “Makasih ya kek atas infonya. Saya pamit dulu ya.” (bangkit dari tempat duduk)
Kakek : “Oh, sama-sama.”
(Lerau keluar dari rumah tokoh desa yang sudah tua dan berjalan menuju perkemahan)
Di perjalanan
(Naila sedang menimba air di sumur)
Lerau : Wah, gadis itu sungguh cantik, sapa dulu aja.
(Lerau jalan menuju sumur)
Lerau : “Selamat siang.”
(Naila memandang Lerau dengan heran)
Lerau : “Boleh saya minta sedikit air?”
Naila : “Oh, tentu. Untuk apa?”
Lerau : “Minum, saya sangat haus.”
Naila : “Ah, tidak baik minum air mentah. Jika Anda memang hendak minum, mari singgah di rumah saya, saya
sajikan air masak.”
Lerau : “Baiklah kalau begitu. Maaf merepotkan.”
(Berjalan menuju rumah Naila)
(Masuk rumah Naila)
Naila : “Kalau boleh tahu, nama Anda siapa ya? Sepertinya Anda bukan orang desa ini? Silakan duduk.”
Lerau : “(Duduk di kursi) Nama saya Lerau. Saya memang bukan orang desa ini. Nama kamu siapa?”
Naila : “(Menyajikan air putih) Nama saya Naila. (duduk di kursi) Saya anak tetua desa, pemimpin upacara adat,
semacam pendeta desa begitulah. Boleh saya tahu maksud kedatangan Anda kesini?”
Lerau : “Saya sedang melakuakn peneltian di gua sana. Pekerjaan mu apa?”
Naila : “Saya kerja sebagai guru SD. Penelitian? Penelitian apa? Apa sudah mendapatkan sesuatu?”
Lerau : “Ya, biasalah penelitian untuk mencari benda-benda zaman purbakala. Kemarin kami menemukan mayat di
dalam gua itu dan lempeng keramik bertulikan mantra ini.” (mengelurakan lempeng keramkik dari dalam sakunya)
Naila : “(Terkejut) Mayat? Kok bisa ada di dalam gua? (mengambil lempeng keramik)”
Lerau : “Katanya sih di kubur oleh tetua desa karena ketahuan nikah padahal bersaudara.”
Naila : “Oh. (menunjuk huruf pada keramik) Huruf-huruf apa ini? Kau tentunya bisa membacanya bukan?”
Lerau : “Mula-mula tidak, kemudian saya lihat di kamus tentang tulisan kuno, setelah ditulis ulang dalam tulisan
latin ini mudah diucapkan, tetapi arti keseluruhannya tidak ada dalam kamus. Hanya dari kisah tokoh tua desa ini
saja diperkirakan artinya.”
Naila : “Bagaimana dibacanya?”
Lerau : “Tidak takut kena sihirnya?”
Naila : “Orang zaman modern begini, mana ada segala macam mantra bisa bertuah. Betul tidak? Hahaahaha.”
Lerau : “Betul itu. Hahaha. Aku juga tidak percaya.”
(Lerau menuliskan bahasa latinnya di kertas dan menunjukkannya pada Naila)
Lerau dan Naila : “LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA.”
Naila : “Lucu ya bunyinya? Apa ya artinya?”
Lerau : “Lafatu ukhurul vita – ufutu lakharu tiva. Sepertinya huruf-hurufnya Cuma dipertukarkan saja. Dan,
ternyata makananya semacam ada pertukaran, antara pemilik mantra dengan kuasa di belakangnya. Besok saya
ceritakan lebih jauh, sekarang terlalu siang. Lagi pula, kau tentu akan mengajar anak-anak, bukan? Kan sudah tiba
saatnya sekolah. ”
Naila : “Oh, kau betul, kapan-kapan deh kita bertemu lagi.”
(Lerau kembali ke kemah)
(Naila bersiap-siap ke sekolah)
Narator: “Sejak hari itu, Lerau dan Naila seolah tidak terpisahkan. Belakangan, masing-masing memang mengaku
mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagi Naila, hal itu merupakan masalah besar, sebaba sebagai putri
seorang tetua agama, pendeta, ia tidak bisa sembarangan jatuh cinta, lebih-lebih kepada seorang laki-laki asing.
Naila tahu itu. Tetapi ia juga tidak dapat mengelak bahwa ia sudah jatuh cinta kepada Lerau. Karena itu, mereka
pergi menghadap ayah Naila, Pendeta Agung Usuru. Tetapi , Usuru cukup bijak, ia bisa mengerti perasaan putrinya.
Hanya saja, setelah Naila selesai mengungkap perasaannya sesudah Lerau mengajukan lamarannya, ia termenung
lama sekali. Akhirnya, Usuru meminta semalam untuk merenungkan hal ini. Ia harus menanyakannya kepada Kuasa
yang kepadanya aku mengabdi.”
(Lerau pulang ke rumah)
Keesokan harinya
Usuru : “Nak Lerau, Naila, apakah kalian jatuh cinta secara tidak wajar?”
Tidak ada yang menjawab
Usuru : “Ceritakan saja, sebab aku harus tahu, karena apa yang kulihat semalam, adalah semacam tuntutan dari
kuasa yang lain kepadamu.”
Lerau : “(Mengeluarkan lempeng keramik dari dalam saku) Saya menemukan ini di dalam gua bersama dua mayat.
Dan kami membaca tulisan di atas lempeng ini bersamaan. Tetapi kami membacanya bukan karena ada maksud
tertentu, sekedar ingin tahu saja. Naila tidak tahu maknanya ketika itu. Lagi pula, terus terang, saya jatuh cinta
kepada Naila pada pandangan pertama saya melihat Naila, dan itu jauh sebelum saya terpengaruh mantra apapun.”
Naila : “Naila juga Ayah, terus terang……”
Usuru : “Aku tahu, aku tahu, itulah muda-mudi zaman sekarang. (hendak mengambil keramik itu dari tangan Lerau)
Aaaaaaaaaaaa. (mata nyalang, dengan wajah ngeri dan tangan terhenti di atas tangan Lerau. Kemudian tubuhnya
mengejang sambil tetap berdiri kaku)
Naila : “(Ketakutan) Aaaaaaaaaaaa. (menjatuhkan diri dalam pelukan Lerau dan menyebabkan keramik terpental
dari tangan Lerau)
PRAANG!!!
(Keramik hancur berkeping-keping)
(Usuru sadar kembali)
Usuru : “(Terengah-engah) Hhh..hhhhh…hhhh… Untung Naila memecahkannya benda itu hamper saja merenggut
nyawaku!” (duduk di bangku)
Naila : “Ayah tidak apa-apa?”
Usuru : “Sekarang tidak. Jika benda itu tidak hancur, mungkin saja sekarang ini aku sudah binasa secara
mengerikan!”
Lerau : “Maafkan saya Pak, saya….”
Usuru : “Oh, itu bukan salahmu. Kuasa di belakang mantra itu menuntut suatu korban sebab kalian telah
mengucapakannya. Lepas dari kalian mengucapkan dengan maksud tertentu atau tidak, mantra itu telah bekerja.
Dan ia menuntut imbalan. Ayah tidak mau mengatakan bahwa kalian jatuh cinta karena telah mengucapkan mantra
itu, tetapi kenyataannya kalian sama-sama jatuh cinta, bukan? Bagaimanapun, mantra itu telah bekerja. Karena
kalian tidak paham imbalan yang dituntutnya, Ayahlah yang hampir saja membayarnya. Buat Ayah, mati tidaklah
menakutkan, tetapi bahwa Ayah akan mati seraya menelan kemarahan Sang Kuasa…. hmmm…. kalau ada cari mati
yang lain, bahkan lebih agung?”
Lerau : “Maafkan saya Pak, sekali lagi…”
Usuru : “Aku mengerti. Tidak usah merasa bersalah. Bukankah aku masih selamat? Namun masalahnya kini jadi
lain. Bagaimanapun imbalan itu harus ada yang membayar.”
Naila : “Dengan memutuskan cinta kami?”
Usuru : “Ayah tidak berkata demikian. Ayah tahu kamu tidak akan mau, bukan? Kita cari cara lain. Itu saja. Jadi
Ayah akan minta satu malam lagi, besok kita akan tahu jawabannya.
Keesokan harinya
Usuru : “Imbalan yang harus diberikan adalah ‘darah dan empedu’ pengantin perempuan, sehari setelah upacara
pernikahan berlangsung.”
Lerau : “Tetapi itu namanya pembunuhan!”
Usuru : “Tidak. Tidak harus demikian. Mari kita lihat di ruang pemujaan.”
(Lerau dan Naila mengikuti Usuru ke ruang pemujaan)
Di ruang pemujaan
Lerau : Gambar apa ini? Apa dulu pernah dilaksanakan pemujaan seperti ini? Apa nanti Naila juga akan di begini
kan? Dimantrai seperti itu? Ditikam hatinya dengan pisau tapi nanti bangun dengan segar dan hidup? Apakah itu
mungkin?
Usuru : “Dalam pemujaan kami, ada mantra khusus untuk persembahan darah dan empedu. Perempuan yang
sudah dimantrai seperti itu, ketika ditikam hatinya, hanya mengeluarkan darah dan empedu, tetapi tidak mati.
Lukanya segera menutup lagi, sama sekali tidak ada cacatnya, bahkan ia tidak akan merasakan apa-apa.”
Naila : “Ayah mempercayai itu?”
Usuru : “Tentu saja, Nak. Ayahlah yang memantrainya.”
Naila : “Ayah bermaksud memantrai Naila lalu menikam hati Naila, dan Ayah mau berkata bahwa Naila tak akan
merasa apa-apa, dan bahwa Naila akan tetap hidup tak bercacat?”
Usuru : “Ya.”
(Lerau dan Naila terdiam dengan mulut ternganga heran dan ngeri)
Narator: “Mereka lalu minta izin untu berjalan-jalan keluar. Lerau bermaksud menyelidiki kepercayaan semacam itu
di antara anggota masyarakat desa. Ketika malam tiba, Naila mengajak Lerau bermalam, sebab mereka harus
membicarakannya masak-masak.”
Naila : “Kalau dipikir, pernah kan kau dengar di Filipina, dukun yang mengoperasi tanpa pisau, Cuma dengan jari-
jari tangannya dan berhasil dengan sempurna. Hal-hal semacam itu toh bisa terjadi di dunia modern ini.”
Lerau : “Ya, tetapi jika taruhannya nyawamu, aku tidak akan memperbolehkan.”
Naila : “Tetapi ayah tidak akan mengizinkan tanpa upacara semacam itu.”
Lerau : “Kan sebetulnya kita tidak berurusan dengan mantra itu? Kita kan hanya bergurau?”
Naila : “Bagaimanapun kita sekarang saling mencintai, ya kan?”
(Lerau memeluk Naila)
Lerau : “Soalnya, aku tidak mau kehilangan kau.”
Narator: “Menjelang fajar, akhirnya Nailalah yang mengambil keputusan.”
Naila : “Aku percaya penuh kepada Ayah. Aku yakin ia tidak akan begitu saja mengorbankan aku. Lagi pula, bagiku
lebih baik mati sungguh daripada tidak bisa menikah denganmu.”
Lerau : “Lalu kalau kau mati, aku bagaimana?”
Naila : “Ah, jangan dibicarakn sekarang. Kita yakin sajalah. Kalau kau memang mencintaiku, kau mesti percaya
pada ku.”
Lerau tidak menjawab
Narator: “Pagi itu juga mereka menghadap Usuru dan menyampaikan keputusan mereka. Maka Usuru meyiapkan
altar, dan selama sehari suntuk, ia mengurung diri dalam ruang pemujaannya. Sementara itu, istri Usuru meyiapkan
upacara perkawinan. Ketika senja tiba, kedua insan itu mulailah didandani sebagai pengantin. Upacara itu
berlangsung khidmat dan singkat saja, kemudian keduanya memasuki kamar pengesok malam, sesuai janji mereka,
Naila akan membayar imbalan mantra di atas altar yang telah dipersiapkan Usuru. Maka semalam dan sehari penuh,
kedua pengatin baru itu menikmati malam pengantin mereka dengan hati penuh was-was. Lerau bagaikan anak kecil
yang tidak mau kehilangan miliknya, sedetik pun ia tidak mau berpisah dari Naila. Makan pun ia minta diantar ke
kamar saja. Ia ingin menikmati saat-saat terakhir memiliki Naila, seolah-olah sesudah malam itu Naila akan betul-
betul mati. Maka tibalah malam itu. Dengan pakaian serba hitam, Naila berjalan menuju altar, diiringi Lerau dan
kawan-kawannya, lalu sebarisan pemuda-pemudi desa yang bersimpati kepada keduanya. Semuanya memenuhi
ruang pemujaan, bahkan sampai ke halaman Usuru. Bau dupa memenuhi seluruh tempat, menambah perasaan
ngeri.
TING!
(Denting lonceng kecil)
(Usuru memberi isyarat kepada Naila untuk berbaring di altar)
(Usuru membuat koyakan bersilang tepat di atas daerah hati dengan pisau kemudian menaruh sehelai daun suatu
tanaman di daerah itu)
Krk. Crik. Krek.
(Bunyi apai dari perapian ruang pemujaan)
(Usuru berlutut menghadap api sambil memegang tongkat pemujaan)
(Usuru menyerahkan pisau kepada pendeta lain)
(Pendeta mengangkat pisau dan mendekati Naila)
Bruk!!
(Lerau melompati Naila dan menerkam pendeta sehingga keduanya berguling-guling)
(Barisan pemuda-pemudi dan kawan-kawan Lerau serentak maju ke depan, mengangkat Lerau bangun, merenggut
Naila dari altar, lalu berlarian membawa keduanya)
(Pemuda-pemuda yang lain berjaga-jaga menghalang pendeta-pendeta)
(Pendeta-pendeta dan Usuru tetap diam di tempat)
Narator: “Semalam Lerau diam-diam memperbincangkan masalah ini dengan kawan-kawannya dan pemuda-
pemuda desa. Mereka sama tidak percayanya dengan Lerau dan menganggap upacara itu suatu kekonyolan besar.
Maka mereka bersepakat menolong Lerau. Mereka membawa Naila dan Lerau ke perkemahan. Setelah Naila
diletakkan di dipan, Naila terdiam dengan tubuh kaku di dipan itu, seperti orang mati. Berbagai cara diupayakan
untuk menyadarkannya, tetapi tidak berhasil.”
(Usuru muncul di perkemahan)
(Semua mata memandang Usuru dengan cemas)
(Usuru mendekati Naila dan membelai rambutnya dengan tarikan napas panjang)
(Usuru menggamit Lerau)
Usuru : “Aku telah mencoba menghubungi Sang Kuasa, dan Ia mengizinkan aku mengembalikan Naila kepadamu.
Tetapi karena dengan demikina ia masih tetap berutang kepada mantra itu, maka kau harus memenuhi dua syarat.
Pertama, jika anak yang akan lahir dari Naila seorang perempuan, mka sampai pada usianya yang ke-25, ia harus
selalu berpakaian hitam. Kedua, pada usianya yang ke-25 itu, anakmu perempuan itu harus kaubawa kemari untuk
menjalani persembahan sebagai hganti Naila. Dan kau tidak perlu takut. Ia tidak akan mendapat cedera apapun. Aku
tanggung seperti halnya Naila tadi, sesungguhnya kau tidak perlu bertindak seperti itu, bukankah Naila sudah
dilindungi. Keadaanya yang seperti sekarang ini hasil dari perlindungan itu, yang membuatnya tak sadar dan
karenanya ia tidak akan merasakan apa-apa, sekaligus seluruh lubang di dalam tubuhnya sudah ditutup. Walaupun
pisau itu menikamnya, begitu dicabut, lukanya akan segera menutup. Tapi yang sudah berlalu biarlah berlalu.
Apakah kau bersedia memenuhi kedua syarat itu?”
Lerau : “Ya, baiklah, tetapi bagaimana kalau laki-laki?”
Usuru : “Jika anaknya laki-laki, semua kutukan mantra itu akan gugur.”
***
Di ruang tamu
Sheila : “Jadi, Ayah akan membawaku ke altar di rumah kakek dan membiarkan orang tua itu menikamku? Ayah
percaya segala macam takhayul itu?”
Ayah : “Ayah maunya tidak percaya, Nak, tetapi lihatlah, kenyataannya ketika kau tidak mengenakan pakaian
hitam itu. Bukankah itu suatu bukti yang nyata?”
Sheila :”Ayah, kita sudah mempunyai Allah yang hidup, Kuasa atas segala kuasa. Seharusnya kita tidak gentar
menghadapinya! Kalau Ayah sampai terkena pengaruh kuasa itu, pasti karena Ayah tidak mau menyerahkan diri
Ayah kepada Allah. Sekaranglah saatnya Ayah, lepaskanlah diri Ayah dari kungkungan kuasa mantra atau apapun itu.
Bukankah menurut Ayah, Ayah dan Ibu tidak memakai mantra itu untuk jatuh cinta beneran?”
(Lerau hanya menghela napas)
(Naila menunduk)
( Sheila bangkit)
Sheila : “Baiklah, apakah ada cara sehingga kutukan itu jatuhnya ke Sheila, dan bukan ke Ayah? Sheila ingin
mengakhiri semuanya dengan kuasa dari Allah kita! Kalau saja Sheila tahu bahwa pakaian hitam itu untuk memenuhi
tuntutan kuasa gelap itu, Sheila pasti sudah berjuang sejak dahulu. Tetapi, Sheila sekarang akan
memperjuangkannya. Asal jangan Ayah yang terkena, sebab Sheila tidak bisa menuntut Ayah untuk melepaskan diri
dari kauasa mantra itu serta menyerahkan diri kepada Allah Yang Hidup.”
Naila : “Sheila, kuasa itu datangnya dari kakek. Apakah kira-kira kau berani melawannya di depan kakek?”
Sheila : “Bersama Allah, terhadap apapun, siapapun Sheila tidak takut.”
Naila : “Bagus Sheila, Ibu sangat bangga dengan kau. Jangan seperti Ibu lagi, yang tidak mempunyai iman dan
meyerah oleh kuasa gelap mantra itu, walaupun itu milik kakek. Besok kita ke sana. Ayah dan Ibu pasti mendukung
kamu. Memang untuk sekarang menuntut kami segera percaya kepada-Nya tidak mudah; jadi, sementara ini kami
mendukung dengan apa adanya kami saja.”
Sheila : “Baik. Pada ulang tahunku yang ke-25, kita ke sana!”
***
2 tahun kemudian
Di ruang tamu rumah Usuru
Sheila : “Aku pasti akan mengalahkan Kakek! Mengalahkan Kuasa yang kakek percayai!”
(Bangkit berdiri)
Usuru : “Hahahahahahaha.”
Sheila : “Jadi, Kakek tidak percaya padaku?”
Kakek : “Bukan, bukan begitu. Ayo, duduk dulu. (Sheila duduk) Sheila, zamanku dan zamanmu sungguh berbeda.
Aku sangat menghargai kau. Pada zamanku, akulah seorang pemberontak untuk segala macam upacara semacam
ini. Aku berjuang melawan ayahku dan kakekku. Kau tahu, mereka adalah pendeta turun-temurun, dan aku harus
meneruskan kependetaan mereka. Pendeta Kepala lagi. Untung anakku seorang perempuan sehingga aku tidak
terbeban untuk menurunkan kepadanya. Rohaniawan yang pertama berkunjung di daerah ini, pertama datang
kepadaku, dan aku orang pertama yang mengikutnya dengan setia, serta memberinya izin bekerja di desa kami. Aku
sangat tersentuh dengan ajarannya. Tetapi, pada saat ayahku hendak mati, ia tidak bisa mati begitu saja sebelum
menurunkan kemampuan kependetaannya kepadaku. Dan, aku tidak bisa menerimanya jika aku mengikuti ajaran
yang baru itu. Kau bisa membayangkan, betapa perasaanku melihatnya meregang nyawa dengan sengsara
sementara menunggu akan mengatakan ya. Maka pada akhirnya, aku menerimanya. Barulah ia mati dengan damai.
Apa kau tidak heran, pada usia sebegini aku masih belum mati juga sementara orang-orang di desa ini yang lebih
muda dari aku sudah habis semua?”
(Usuru membuka pakaiannya)
Kakek : “Kau lihat ini? (menunjuk bekas luka besar di dadanya) Kalau bukan karena ilmu itu, aku sudah mati
sepuluh tahun yang lalu ketika bencana longsor menimpa desa ini. Aku ikut dalam tim pertolongan, dan sebuah batu
besar menimpaku, di sini, mengoyak dadaku sampai terbuka. Jangan salah sangka, aku bukannya bangga
mempunyai ilmu ini dan tidak bisa mati, sesungguhnya hidup itu tidak lebih indah daripada mati, lebih-lebih jika kau
tahu kau tidak akan bisa mati. Orang menyangka mati itu menakutkan karena mereka tidak dapat menghindari
kematian. Tetapi, orang yang tidak bisa mati justru merindukan kematian sementara ia tidak bisa mendapatkannya.
Seperti aku. Dan ayahku. Dan kakekku. Baiklah aku tidak akan berpanjang-panjang membenarkan diriku. Kalian
tinggal di sini semalam, aku akan berbicara dengan Yang punya Kuasa malam ini, dan esok kita teruskan diskusi kita.
Bagaimanapun upacara untuk Sheila baru bisa dilaksanakan esok malam.”
Narator: “Demikianlah ketiganya bermalam di situ dengan berbagai macam perasaan. Kesempatan itu dipakai Sheila
untuk mengunjungi penduduk dan berbincang-bincang. Sheila mendapatkan bahwa memang sebagian penduduk
telah menjadi orang-orang percaya. Ini sangat membesarkan hatinya, dan meningkatkan tekadnya. Diajaknya
mereka berkumpul malam itu dalam suatu persekutuan doa. Esok malamnya, barulah Usuru muncul. Wajahnya
tampak seperti bersinar.
Kakek : “Aku punya program sendiri dengan Kuasa yang di belakangku. Aku tidak akan menceritakannya
kepadamu, sebab pasti akan bertentangan dengan ajaran iman Sheia. Aku juga tahu, Sheila pasti sudah punya
program sendiri berdasarkan imannya. Aku tidak ingin tahu itu. Tetapi yang jelas, mala ini kalian semua akan
membuktikan kuasa yang mana yang lebih besar.”
Sheila : “Asal bukan ayah yang terkena akibatnya,”
Kakek : “Tentu tidak. Ini hanya anatar kau, Sheila, dan aku, Usuru. Dan ini bukan menyangkut perkara dua manusia
melainkan antara dua Kuasa. jadi apapun yang terjadi janganlah menghubungkannya antara cucu dengan kakek.”
(Lerau bangkit berdiri)
Lerau : “Bapak tidak hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan Sheila mati, bukan?”
Kakek : “Oh tidak, sama sekali tidak. Tidak akan ada pengaruh atas Sheila. Jika ia menang kuasaku akan lenyap, dan
itu pun sudah merupakan keinginanku, sebaliknya jika aku menang, aku akan tetap dengan kuasaku, walaupun itu
sebenarnya tidak terlalu aku harapkan. Ayo, segera ke ruang pemujaan.”
(Mereka bertiga menuju ruang pemujaan)
Di ruang pemujaan
(Usuru membimgbing tangan Sheila )
(Usuru mengambil pakaian hitam dari altar dan memberikannya kepada Sheila)
Kakek : “Sheila,pakailah ini. Ini pakaian yang dipakai ibumu 25 tahun yang lalu.”
(Sheila mengambilnya dan pergi mengganti baju)
Kakek : “Terlebih dahulu aku hendak memberitahukan satu hal kepada kalian. Apapun yang akan tampak terjadi,
kalian tidak boleh melakukan tindakan intervensi macam yang dilakukan Lerau 25 tahun yang lalu, atau akibatnya
akan sangat mengerikan. Kalian percaya saja. Baik kepada Allah Sheila, maupun kepada kuasaku. Yang jelas, sekali
lagi aku jamin, tak satu pun akibat buruk akan menimpa Sheila.”
(Sheila kembali dengan memakai pakaian hitam)
Sheila : “Apakah ini robekan yang dibuat Kakek dulu?”
(Menunjuk robekan di daerah sekitar hati)
Kakek : “Ya. Sekarang berbaringlah di altar.”
(Sheila berbaring di altar)
(Empat pendeta muda mengelilingi altar sambil membawa dupa berasap tebal dan harum)
Lerau : Bau dupa ini menyesakkan napas sekali.
(Usuru meletakkan daun di atas robekan pakaian hitam Sheila)
Lerau : Itu daun yang sama seperti dulu.
(Lerau dan Naila berlutut di luar daerah altar)
Suasana sangat sunyi mencekam.
(Pembantu berjalan mendekat membawa pisau dan baki perak)
(Usuru mengambil pisau)
(Usuru berlutut di samping meja altar dengan pisau terdekap di dadanya)
2 menit kemudian
Naila : Lama sekali ayah berlutut .
5 menit kemudian
TING!
(Bunyi denting lonceng kecil bernada tinggi)
Lerau : Ah, bunyi lonceng yang menyebalkan.
Naila : Bunyi lonceng ini menyakitkan telinga.
(Usuru bangkit perlahan-lahan)
(Usuru mengangkat tinggi pisau dengan kedua belah tangannya sambil memandang kilauan pisau itu oleh cahaya
lampu minyak di sekeliling altar)
(Asap dupa semakin tebal mengepul)
(Usuru masih memegang hulu pisau dengan kedua belah tangannya di atas kepalanya)
(Usuru memejamkan mata)
(Kedua tangan Usuru perlahan-lahan turun sampai ke dada Sheila diatas robekan silang yang tertutup daun)
(Asap semakin tebal)
(Tubuh Usuru dan Sheila terbungkus oleh pekatnya asap)
Sunyi
10 menit kemudian
(Asap dupa menghilang dengan cepat)
(Tampak bayang-bayang Usuru tegak di samping altar dengan pisau tergenggam oleh satu tangan, menggantung di
samping tubuhnya)
TRANG!
Pisau jatuh ke lantai
BRUK!
(Usuru ambruk)
(Sheila membuka matanya)
(Sheila melihat kiri kanan)
Sheila : Dimana Kakek?
(Sheila menoleh ke bawah altar)
KYAAAAAAAAA
Sheila : Ada apa ini? Kenapa di ada sekumpulan tulang dan debu di antara jubah kakek?
(Sheila bangkit perlahan-lahan)
(Lerau dan Naila bangkit)
(Ketiganya saling berpelukan)
Narator: “Itulah kematian yang begitu dirindukan Usuru, yang selama ini datangnya selalu ditunda oleh suatu kuasa
di luar kekuasaannya sendiri. Kini kuasa itu lenyap. Maka kematiannya yang semestinya sudah menjeputnya
bertahun-tahun sebelumnya, menjemputnya dengan tiba-tiba. Ketiganya kini tahu betul, kepada siapa mereka
hendak mengbdikan hidup sebab mereka telah diberi kesempatan menyaksikan sendiri. Namun, mereka juga yakin,
sungguh lebih berbahagia mereka yang boleh yakin tanpa harus melihat sendiri.”
***TAMAT***

More Related Content

What's hot (20)

Teror via email part 1
Teror via email part 1Teror via email part 1
Teror via email part 1
 
Analisis stilistika pada cerpen penglihatan karya mashdar zainal
Analisis stilistika pada cerpen penglihatan karya mashdar zainalAnalisis stilistika pada cerpen penglihatan karya mashdar zainal
Analisis stilistika pada cerpen penglihatan karya mashdar zainal
 
Ebook tuhan maha romantis bab 1
Ebook tuhan maha romantis   bab 1Ebook tuhan maha romantis   bab 1
Ebook tuhan maha romantis bab 1
 
Serial Oliv Buku 3 Bab 5 : Black valentine
Serial Oliv Buku 3 Bab 5 : Black valentineSerial Oliv Buku 3 Bab 5 : Black valentine
Serial Oliv Buku 3 Bab 5 : Black valentine
 
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
 
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
 
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
 
Sinopsis film rumah tanpa jendela
Sinopsis film rumah tanpa jendelaSinopsis film rumah tanpa jendela
Sinopsis film rumah tanpa jendela
 
Cerpen - Pelajaran Unik
Cerpen - Pelajaran UnikCerpen - Pelajaran Unik
Cerpen - Pelajaran Unik
 
Bunga Mawar Kuning Tercinta
Bunga Mawar Kuning TercintaBunga Mawar Kuning Tercinta
Bunga Mawar Kuning Tercinta
 
Sebotol Hujan untuk Sapardi - Joko Pinurbo
Sebotol Hujan untuk Sapardi - Joko PinurboSebotol Hujan untuk Sapardi - Joko Pinurbo
Sebotol Hujan untuk Sapardi - Joko Pinurbo
 
Cerita versi ku
Cerita versi kuCerita versi ku
Cerita versi ku
 
Karena Aku Melihat
Karena Aku MelihatKarena Aku Melihat
Karena Aku Melihat
 
When speak heart
When speak heartWhen speak heart
When speak heart
 
Puisi untuk ibu
Puisi untuk ibuPuisi untuk ibu
Puisi untuk ibu
 
Bahasa Indonesia - Cerpen
Bahasa Indonesia - CerpenBahasa Indonesia - Cerpen
Bahasa Indonesia - Cerpen
 
Cerpen bahasa indonesia
Cerpen bahasa indonesiaCerpen bahasa indonesia
Cerpen bahasa indonesia
 
"CERPEN"
"CERPEN""CERPEN"
"CERPEN"
 
Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba Ketika Musim Jamur Tiba
Ketika Musim Jamur Tiba
 
Lifede
LifedeLifede
Lifede
 

Viewers also liked

Kelainan pada pernafasan
Kelainan pada pernafasanKelainan pada pernafasan
Kelainan pada pernafasanYena You
 
Proposal study tour
Proposal study tourProposal study tour
Proposal study tourYena You
 
Connective words
Connective wordsConnective words
Connective wordsYena You
 
Proposal study tour
Proposal study tourProposal study tour
Proposal study tourYena You
 
PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...
PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...
PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...Rosmiluz Amaya Camargo
 

Viewers also liked (7)

Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Resensi
ResensiResensi
Resensi
 
Kelainan pada pernafasan
Kelainan pada pernafasanKelainan pada pernafasan
Kelainan pada pernafasan
 
Proposal study tour
Proposal study tourProposal study tour
Proposal study tour
 
Connective words
Connective wordsConnective words
Connective words
 
Proposal study tour
Proposal study tourProposal study tour
Proposal study tour
 
PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...
PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...
PROPUESTA PARA LA CREACION DE UNA FERRETERIA CON PRODUCTOS Y MATERIALES IDONE...
 

Similar to Mengubah Cerpen Menjadi Dialog

Similar to Mengubah Cerpen Menjadi Dialog (20)

-
  -  -
-
 
Amhy tugas
Amhy tugasAmhy tugas
Amhy tugas
 
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptxTEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
TEMA DAN PESAN DALAM CERPEN (PUISI) XI.pptx
 
Los felidas
Los felidasLos felidas
Los felidas
 
Los felidas
Los felidasLos felidas
Los felidas
 
Krakteristik balai pustaka
Krakteristik balai pustakaKrakteristik balai pustaka
Krakteristik balai pustaka
 
Laila dan majnun
Laila dan majnunLaila dan majnun
Laila dan majnun
 
Cerpe
CerpeCerpe
Cerpe
 
TARA MANGAN DANAU LIMBUNG.docx
TARA MANGAN DANAU  LIMBUNG.docxTARA MANGAN DANAU  LIMBUNG.docx
TARA MANGAN DANAU LIMBUNG.docx
 
TARA MANGAN DANAU LIMBUNG.docx
TARA MANGAN DANAU  LIMBUNG.docxTARA MANGAN DANAU  LIMBUNG.docx
TARA MANGAN DANAU LIMBUNG.docx
 
Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan Objektif pada Novel Eclair
Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan Objektif pada Novel EclairKritik Sastra Menggunakan Pendekatan Objektif pada Novel Eclair
Kritik Sastra Menggunakan Pendekatan Objektif pada Novel Eclair
 
Bangau menenun songket
Bangau menenun songketBangau menenun songket
Bangau menenun songket
 
Drop Out!
Drop Out!Drop Out!
Drop Out!
 
Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitam
 
Teror via email part 2
Teror via email part 2Teror via email part 2
Teror via email part 2
 
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
Di kampung, tak ada kunang kunang (indrian koto)
 
Analisis Cerpen
Analisis CerpenAnalisis Cerpen
Analisis Cerpen
 
Isabella
IsabellaIsabella
Isabella
 
Aa navis-robohnya surau kami
Aa navis-robohnya surau kamiAa navis-robohnya surau kami
Aa navis-robohnya surau kami
 
teks-cerita-inspiratif.pptx
teks-cerita-inspiratif.pptxteks-cerita-inspiratif.pptx
teks-cerita-inspiratif.pptx
 

Mengubah Cerpen Menjadi Dialog

  • 1. TUGAS BAHASA INDONESIA MENGUBAH CERPEN MENJADI DIALOG D I S U S U N O L E H YENAWATI IX-2 SMP YOS SUDARSO 2012
  • 2. Cerpen Kutukan di Balik Cinta SHEILA dikenal dengan julukan “Nona berbaju hitam”. Ia sendiri tidak suka julukan itu, tetapi tidak dapat menghindar, sebab pada kenyataannya, sejak kecil hingga usianya yang keduapuluh tiga, semua pakaiannya mempunyai dasar warna hitam. Ia sendiri tidak terlalu mengerti mengapa ayahnya begitu keras menetapkan aturan, bahwa semua pakaiannya harus berdasar warna hitam. Ia sampai bosan melihat warna hitam. Terlebih lagi, ia sudah sedemikian jenuhnya diperolok oleh kawan-kawannya. Ada yang memanggilnya Si Hitam, Nona Hitam, bahkan Black Widow dan sebagainya. Kan sangat keterlaluan! Maka tidak heran, ketika jiwa pemberontakannya mencapai titik puncaknya, ia pun meletus. Letusannya dalam bentuk: suatu hari ia membeli pakaian serba-putih, topi putih, sepatu putih, lalu dari butik, ia langsung berangkat kuliah. Seisi ruang kuliahnya pun heboh! Untuk pertama kalinya, Sheila merasakan kemenangan dalam dirinya. Ia sangat puas. Walaupun demikian, ketika waktunya pulang, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa, dan membungkus pakaian pemberontakannya. Dengan senandung riangan, ia pun tiba di rumah. Itulah ketika ia mendengar suara tangisan rebut di dalam. Tidak tahu apa yang terjadi, Sheila segera bergegas naik. Ibunya dan seisi rumah sedang menangis histeris. “Ada apa? Ada apa sih?” serunya. “Ayahmu, Sheila, ayahmu, tiba-tiba saja tak sadarkan diri.” “Sudah dipanggilkan dokter?” Sheila segera masuk dan mendapati ayahnya terbaring kakau. Didapatinya ia masih bernapas, tetapi napas yang tidak biasa. Napas yang sangat dalam dan lambat. “Ayah,” bisiknya. Ayahnya tidak bergerak. Dokter yang kemudian datang, memeriksanya dengan cermat, segera menganjurkan opname di rumah sakit. “Ada gangguan di dalam otak,” katanya singkat. Selama satu minggu penuh, ayah Sheila, Lerau, dirawat di rumah sakit. Selama itu, dalam perawatan saraf, ia berangsur-angsur sembuh. Pada hari ketujuh, ketika Sheila mengunjunginya, Lerau memanggilnya. “Ada pantangan yang kau langgar; maka ayah kena akibatnya.” “Pantangan? Pantangan apa, Ayah?” “Apakah kau hari itu tidak memakai pakaian hitam?” “Yaaaah, saya pikir….saya jenuh, Ayah.” “Ya itulah. Kenapa kau begitu…. Kan ayah sudah berpesan begitu keras. Kini kau tahu akibatnya bukan? Ayahlah yang menanggung.”
  • 3. “Maafkansaya, Ayah.saya sungguh tidak tahu kalau akan begini. Kenapa ayah tidak mengatakannya sejak dulu. Ada apa sih sebenarnya? Kenapa mesti segala pakaian hitam itu, dan kenapa akibatnya bisa sampai begini jika dilanggar?” “Memang semua itu kesalahan Ayah.” “Ayah memakai ilmu hitam ya? Untuk apa?” “Yaaah, sudah lewat sebenarnya, itu adalah kesalahan masa lalu, tetapi akibatnya masih berlangsung sampai sekarang. Besok Ayah akan pulang. Besok Ayah akan membukaka segalanya. Tetapi sementara itu, kau berjanji tidak akan begitu saja melanggar pantangan itu, bukan?” “Baiklah, Ayah. Maafkan Sheila, sekali lagi, dan segera sembuhlah. Kami semua menunggu Ayah di rumah.” Di rumah, Sheila segera saja menemui ibunya, minta penjelasannya. Ibu Sheila, Naila, hanya menggelengkan kepalanya dengan mata sayu. “Jika ayahmu memutuskan untuk menceritakannya kepadamu, itu baik. Biarlah dia yang menceritakannya.” *** LERAU baru saja akan mengakhiri evakuasinya di gua itu sebab sudah menjelang senja ketika matanya tertumbuk kepada sesuatu yang berpendar agak dalam dari situs tempat ia bekerja seharian. Tadi ia tidak melihatnya sebab matahari masih terang, tapi begitu senja, dan gua menjadi gelap, sinar pendar itu jadi tampak. Ia menyadari, tidak mungkin baginya menahan staf panggilannya sebab mereka sudah lelah. Lagi pula, ia ingin menyelidikinya sendirian sebelum terkacaukan oleh tangan banyak orang. Maka disuruhnya mereka pulang, lalu dengan bekal lampu baterainya, ia masuk ke daerah lebih dalam. Ketika ia sudah ada di dalam, pendar itu hilang sebab terkena sinar lampu, tetapi Lerau sudah mengingat letaknya. Sebagai seorang ahli purbakala, Lerau hafal dengan sinar pendar semacam itu. Hati-hati, dengan kausnya dibersihkannya debu daerah itu, kemudian dengan menggunakan sarung tangan, digalinya sedikit demi sedikit. Jerih payahnya tidak sia-sia. Di bawah lapisan tanah lembut itu, tampak sepasang mayat yang masih utuh terbungkus balsam. Lerau mendekatkan lampunya. Ia memperkirakan usia kedua mayat itu ratusan tahun. Dengan napas lega, Lerau berdiri. Akan merupakan pekerjaan sangat berarti bagi timnya esok dan minggu-minggu mendatang. Kemudian matanya tertumbuk pada sebuah benda yang digenggam oleh salah satu mayat itu. Perlahan-lahan dibukanya jari-jari yang membeku itu untuk melepaskannya dari benda yan digenggamnya. Benda itu ternyata sebuah lempeng keramik. Di bawah sinar lampunya, lempeng berwarna putih kebiruan itu berisikan tulisan kuno. Dimasukkannya lempeng itu ke dalam kantongnya, kemudian ditatanya daerah itu untuk persiapan esok hari. Setibanya di kemah, dipelajarinya lempeng itu. Ia mempunyai banyak kamus tentang tulisan kuno. Tulisan pada lempeng itu ternyata sebuah mantra; dan seperti biasanya, matra itu mengandung sejenis perjanjian; kurang lebih isinya, dengan ucapan tertentu, kuasa di belakang lempeng itu akan memberikan kemampuan tertentu kepada pemiliknya dengan imbalan yang setara. Sepanjang malam Lerau berusaha mengetahui kemampuan apa yang dijanjikan olehnya dan imbalannya, tetapi ia tidak berhasil mendapatkannya. Keesokan harinya, sementara anak buahnya melanjutkan penggalian atas mayat-mayat itu, Lerau melewatkan waktu dengan berbincang-bincan dengan tokoh-tokoh tua desa itu. Selama dua hari ia masuk keluar desa, akhirnya berhasil menemukan maknanya.
  • 4. Mayat-mayat yang dikuburkan di gua itu adalah mayat seorang wanita dan pria yang terkena kutuk Kuasa yang menaungi desa itu karena kedapatan hidup dalam suatu perkawinan, padahal keduanya bersaudara. Namun, setelah kutukan itu jatuh, dan keduanya mati, barulah terungkap bahwa sebenarnya mereka hanyalah korban dari permainan sebuah mantra yang kurang dipahami keduanya. Diceritakan, kedua orang itu menemukan sebuah lempeng mantra tersebut. Oleh hasrat yang besar ingin mengetahui makna tulisan dalam lempeng itu, mereka pun mempelajari tulisan kuno didalamnya. Mereka berhasil, dan dengan tidak sengaja, sambil memegang lempeng tersebut mereka membacakan mantra itu. Ternyata bacaan itu menyebabkan keduanya jatuh cinta di luar kekuasaan mereka, tidak meyadari bahwa keduanya bersaudara. Maka diam-diam mereka pun menikah dan hidup seperti suami-istri, sampai keadaan mereka terungkap oleh tetua desa. Tetua itu memutuskan menguburkan mereka berdampingan dan menyertakan lempeng mantra itu supaya tidak lagi menimbulkan korban yang lain. Lerau termangu-mangu. Mantra itu bermakna menimbulkan rasa cinta dalam diri seseorang. Ia tertawa dalam hati. Ia tidak percaya takhayul semacam itu; tetapi baaimanapun ini harta kekayaan zaman purba yang harus dihargainya sebagai seorang ahli purbakala. Dalam tulisan latin dan dibaca apa adanya maka ia berbunyi: LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA. Yang belum diketahuinya adalah imbalan apa jika permintaanya terkabul. Karena pengetahuan akan kisah itu tudak banyak dimiliki penduduk desa, maka hal imbalan tetap tidak terungkap baginya. Lerau berpikir, biarlah pengetahuan ini cukup untuk kelanjutan pekerjaannya. Ia akan menyelidiki lagi di perpustakaan purba di kota. Ketika Lerau keluar dari rumah toko desa yang sudah tua itu, ia berpapasan dengan seorang gadis desa yang baru saja selesai menimba air. “Hai, ada gadis secantik ini, aku tidak mengetahuinya?” pikirnya. Gadis itu sungguh cantik. Lerau tidak langsung pulang, tetapi sengaja singgah di sumur. “Selamat siang,” tegurnya. Gadis itu memandangnya dengan heran “Boleh saya minta sedikit air?” “Oh, tentu. Untuk apa?” “Minum, saya sangat haus.” “Ah, tidak baik minum air mentah. Jika Anda memang hendak minum, mari singgah di rumah saya, saya sajikan air masak.” Pucuk dicinta ulam tiba! Lerau segera saja menerima undangan itu. Demikianlah, maka ia pun singgah di rumah gadis itu. Gadis itu bernama Naila, anak tetua desa, pemimpin upacara adat; semacam pendeta desa begitulah. Dalam waktu singkat kedua insane itu sudah akrab. Naila menanyakan maksud kedatangan Lerau, dan Lerau menjelaskan hal-hal tentang kepurbakalaan serta penelitiannya. Pembicaraan tersebut tiba pada lempeng keramik bertuliskan mantra itu. Naila, seorang guru sekolah desa itu, tentu saja tertarik, sebab itu bisa menjadi bahan cerita bagi murid-muridnya kelak. Maka ia melihat benda itu. “Awas, kalau kena sihirnya, saya tidak tanggung!” gurau Lerau.
  • 5. Lempeng itu sudah dicuci bersih dan tampak indah mengkilat. Ditimang-timang Naila keramik itu, lalu tibalah ia pada huruf-huruf kuno itu. “Lucu sekali huruf-huruf ini. Kau bisa membacanya tentunya ya?” “Mula-mula tidak, kemudian saya lihat di kamus tentang tulisan kuno, setelah ditulis ulang dalam tulisan latin ini mudah diucapkan, tetapi arti keseluruhannya tidak ada dalam kamus. Hanya dari kisah tokoh tua desa ini saja diperkirakan artinya.” “Bagaimana dibacanya?” “Tidak takut kena sihirnya?” “Orang zaman modern begini, mana ada segala macam mantra bisa bertuah.” Keduanya tertawa ramai. Lerau menuliskannya di kertas bagi Naila, kemudian mereka membacanya bersama: “LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA.” “Lucu ya bunyinya? Apa ya artinya?” “Lafatu ukhurul vita – ufutu lakharu tiva. Sepertinya huruf-hurufnya Cuma dipertukarkan saja. Dan, ternyata makananya semacam ada pertukaran, antara pemilik mantra dengan kuasa di belakangnya. Besok saya ceritakan lebih jauh, sekarang terlalu siang. Lagi pula, kau tentu akan mengajar anak-anak, bukan? Kan sudah tiba saatnya sekolah. ” “Oh, kau betul, kapan-kapan deh kita bertemu lagi.” Naila segera bersiap dan Lerau pun kembali ke kemah. Malam itu kedua insan itu tidak dapat tidur. Lerau, karena masih ingat kisah cinta kedua insane yang membaca mantra itu bersama secara tidak sengaja, dan Naila… ia tidak tahu mengapa. Naila belum tahu makna mantra itu, memang. Tetapi, ada sesuatu dalam hatinya yang bergerak. Ada sesuatu dalam diri Lerau yang sangat memikatnya. Tidak seorang pun tahu apa pengaruh mantra itu sesungguhnya. Tetapi sejak hari itu, Lerau dan Naila seolah tidak terpisahkan. Belakangan, masing-masing memang mengaku mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagi Naila, hal itu merupakan masalah besar, sebaba sebagai putri seorang tetua agama, pendeta, ia tidak bisa sembarangan jatuh cinta, lebih-lebih kepada seorang laki-laki asing. Naila tahu itu. Tetapi ia juga tidak dapat mengelak bahwa ia sudah jatuh cinta kepada Lerau. “Mantra itu memang kita ucapkan bersama, bukan?” kata Lerau. “Ya, tetapi waktu itu aku tidak mengerti maknanya.” “Nah, katakana saja, kita sama-sama terlibat cinta karena telah sama-sama membacanya. Lalu…?” “Lalu…? Sayangku, aku anak seorang pendeta. Aku tidak sembarang jatuh cinta kepada orang asing.” “Katamu, kita hidup di zaman modern.” “Yaaah, itu kan kita. Ayahku kan masih menjabat pendeta.” “Aku akan resmi melamarmu.” “Kau berani menanggung akibatnya?”
  • 6. “Untuk cintaku, aku sanggup.” “Baiklah, aku juga sanggup. Mari kita menghadap ayah.” Kedua insan itu mengguncangkan seisi rumah ayah Naila, Pendeta Agung Usuru. Tetapi , Pendeta Usuru cukup bijak, ia bisa mengerti perasaan putrinya. Hanya saja, setelah Naila selesai mengungkap perasaannya sesudah Lerau mengajukan lamarannya, ia termenung lama sekali. “Kalian hidup di dunia modern, kalian akan sulit menerima hal-hal semacam ini. Itu aku tahu. Tetapi, aku masih terikat oleh sumpahku sebagai Pendeta Kepala. Mestinya Naila harus dinikahkan dengan putra salah seorang Pendeta di sini; mungkin itulah salahku, aku tidak segera mempertemukanmu dengan salah satu dari mereka, kau sudah keburu jatuh cinta dengan Lerau. Beri aku semalam untuk merenungkan hal ini. Aku harus menanyakannya kepada Kuasa yang kepadanya aku mengabdi.” Lerau pulang ke kemah dengan separuh lega. Setidaknya secara prinsip Usuru tidak mentah-mentah menolaknya. Ia tidak tahu siapa atau apa Kuasa majikan Usuru, tetapi ia akan tahu besok. Keesokan harinya, ketika kedua insan itu menghadap Usuru, dilihatnya wajah Usuru yang muram. Lerau menjadi gelisah. Ada yang tidak beres rupanya. “Nak Lerau, Naila, apakah kalian jatuh cinta secara tidak wajar?” Untuk sesaat mereka berdua hening; ngeri. “Ceritakan saja, sebab aku harus tahu, karena apa yang kulihat semalam, adalah semacam tuntutan dari kuasa yang lain kepadamu.” Lerau pun menceritakan hal-ihwal ditemukannya keramik berisi mantra itu, ihwalnya membaca bersama mantra itu. “Tetapi kami membacanya bukan karena ada maksud tertentu, sekedar ingin tahu saja. Naila tidak tahu maknanya ketika itu.” “Lagi pula, terus terang, saya jatuh cinta kepada Naila pada pandangan pertama saya melihat Naila, dan itu jauh sebelum saya terpengaruh mantra apapun.” “Naila juga Ayah, terus terang, ketika Lerau minta air minum, Naila langsung menawarkannya air masak, sebenarnya juga….” “Aku tahu, aku tahu, itulah muda-mudi zaman sekarang. Boleh aku lihat barang itu?” Lerau memberikan keramik itu kepada Usuru. Usuru hendak mengambilnya dari tangan Lerau, keitka tiba- tiba ia menjerit. Matanya nyalang, dengan wajah ngeri. Tangannya terhenti di atas tangan Lerau, seolah-olah ada kekuatan yang mencegahnya menyentuh keramik itu; kemudian tubuhnya mengejang sambil tetap berdiri kaku! Naila menjerit menyaksikan adegan itu, ketakutan menyergapnya. Ia menjatuhkan diri dalam pelukan Lerau, sementara Lerau, yang menyaksikan kejadian luar biasa itu, segera bermaksud menarik kembali tangannya. Namun maksudnya tidak kesampaian, sebab Naila yang menjatuhkan diri dalam pelukannya menyebabkan keramik itu terpental dari tangannya, lalu jatuh di lantai, hancur berkeping-keping. Baru pada saat itu Usuru kembali sadar. Seluruh tubuhnya penuh keringat dingin. “ Untung Naila memecahkannya benda itu hamper saja merenggut nyawaku!” kata Usuru masih terengah- engah. Kemudian orang tua itu duduk untuk menenangkan diri. “Ayah tidak apa-apa?”
  • 7. “Sekarang tidak. Jika benda itu tidak hancur, mungkin saja sekarang ini aku sudah binasa secara mengerikan!” “Maafkan saya Pak, saya….” Usuru : “Oh, itu bukan salahmu. Kuasa di belakang mantra itu menuntut suatu korban sebab kalian telah mengucapakannya. Lepas dari kalian mengucapkan dengan maksud tertentu atau tidak, mantra itu telah bekerja. Dan ia menuntut imbalan. Ayah tidak mau mengatakan bahwa kalian jatuh cinta karena telah mengucapkan mantra itu, tetapi kenyataannya kalian sama-sama jatuh cinta, bukan? Bagaimanapun, mantra itu telah bekerja. Karena kalian tidak paham imbalan yang dituntutnya, Ayahlah yang hampir saja membayarnya. Buat Ayah, mati tidaklah menakutkan, tetapi bahwa Ayah akan mati seraya menelan kemarahan Sang Kuasa…. hmmm…. kalau ada cari mati yang lain, bahkan lebih agung?” “Maafkan saya Pak, sekali lagi…” “Aku mengerti. Tidak usah merasa bersalah. Bukankah aku masih selamat? Namun masalahnya kini jadi lain. Bagaimanapun imbalan itu harus ada yang membayar.” “Dengan memutuskan cinta kami?” “Ayah tidak berkata demikian. Ayah tahu kamu tidak akan mau, bukan? Kita cari cara lain. Itu saja. Jadi Ayah akan minta satu malam lagi, besok kita akan tahu jawabannya. Dan, jawaban itu adalah jawaban yang mengerikan. Imbalan atas bekerjanya mantra itu adalah ‘darah dan empedu’ pengantin perempuan, sehari setelah upacara pernikahan berlangsung!” “Tetapi itulah pembunuhan!” “Tidak. Tidak harus demikian. Mari lihat.”Usuru membawa mereka ke ruang pemujaan. Disan terpampang beberapa gambar memperlihatkan seorang perempuan terbaring di altar dan sebilah pisau ditikam ke hatinya. Gambar berikutnya memperlihatkan perempuan itu bangun dengan segar dan hidup. Dalam pemujaan kami, ada mantra khusus untuk persembahan darah dan empedu. Perempuan yang sudah dimantrai seperti itu, ketika ditikam hatinya, hanya mengeluarkan darah dan empedu, tetapi tidak mati. Lukanya segera menutup lagi, sama sekali tidak ada cacatnya; bahkan ia tidak akan merasakan apa-apa.” “Ayah mempercayai itu?” “Tentu saja, Nak. Ayahlah yang memantrainya.” “Ayah bermaksud memantrai Naila lalu menikam hati Naila, dan Ayah mau berkata bahwa Naila tak akan merasa apa-apa, dan bahwa Naila akan tetap hidup tak bercacat?” “Ya.” Kedua muda-mudi itu terdiam dengan mulut ternganga heran dan ngeri. Heran, sebab di zaman modern ini masih ada upacara semacam itu, dan ngeri sebab mereka sama sekali tidak bisa begitu saja percaya. Untuk dapat mengendapkan hal itu, keduanya lalu minta izin untuk berjalan-jalan keluar. Lerau bermaksud menyelidiki kepercayaan semacam itu di antara anggota masyarakat desa. Ketika malam tiba, Naila mengajak Lerau bermalam, sebab mereka harus membicarakannya masak-masak. “Kalau dipikir, pernah kan kau dengar di Filipina, dukun yang mengoperasi tanpa pisau, Cuma dengan jari- jari tangannya dan berhasil dengan sempurna. Hal-hal semacam itu toh bisa terjadi di dunia modern ini.”
  • 8. “Ya, tetapi jika taruhannya nyawamu, aku tidak akan memperbolehkan.” “Tetapi ayah tidak akan mengizinkan tanpa upacara semacam itu.” “Kan sebetulnya kita tidak berurusan dengan mantra itu? Kita kan hanya bergurau?” “Bagaimanapun kita sekarang saling mencintai, ya kan?” Lerau memeluk Naila. “Soalnya, aku tidak mau kehilangan kau.” Menjelang fajar, akhirnya Nailalah yang mengambil keputusan. “Aku percaya penuh kepada Ayah. Aku yakin ia tidak akan begitu saja mengorbankan aku. Lagi pula, bagiku lebih baik mati sungguh daripada tidak bisa menikah denganmu.” “Lalu kalau kau mati, aku bagaimana?” “Ah, jangan dibicarakn sekarang. Kita yakin sajalah. Kalau kau memang mencintaiku, kau mesti percaya pada ku.” Lerau tidak menjawab. Dan itulah keputusan mereka ketika keduanya pagi itu juga menghadap Usuru. Maka Usuru meyiapkan altar, dan selama sehari suntuk, ia mengurung diri dalam ruang pemujaannya. Sementara itu, istri Usuru meyiapkan upacara perkawinan. Ketika senja tiba, kedua insan itu mulailah didandani sebagai pengantin. Upacara itu berlangsung khidmat dan singkat saja, kemudian keduanya memasuki kamar pengesok malam, sesuai janji mereka, Naila akan membayar imbalan mantra di atas altar yang telah dipersiapkan Usuru. Maka semalam dan sehari penuh, kedua pengatin baru itu menikmati malam pengantin mereka dengan hati penuh was-was. Lerau bagaikan anak kecil yang tidak mau kehilangan miliknya, sedetik pun ia tidak mau berpisah dari Naila. Makan pun ia minta diantar ke kamar saja. Ia ingin menikmati saat-saat terakhir memiliki Naila; seolah- olah sesudah malam itu Naila akan betul-betul mati. Maka tibalah malam itu. Dengan pakaian serba hitam, Naila berjalan menuju altar, diiringi Lerau dan kawan-kawannya, lalu sebarisan pemuda-pemudi desa yang bersimpati kepada keduanya. Semuanya memenuhi ruang pemujaan, bahkan sampai ke halaman Usuru. Bau dupa memenuhi seluruh tempat, menambah perasaan ngeri. Ketika terdengar denting lonceng kecil, Usuru memberi isyarat kepada Naila untuk berbaring. Dengan pisau yang sangata tajam dan runcing, dikoyaknya pakaian Naila tepat di atas daerah daerah hati dengan koyakan bersilang kemudian ia menaruh sehelai daun suatu tanaman di daerah itu. Suasananya sangat sunyi. Hanya bunyi api dari perapian ruang pemujaan saja mengiringi uapacara seram itu. Usuru kemudian berlutut sambil memegang tongkat pemujaan, menghadap api. Diserahkannya pisau itu kepada pendeta lain. Pendeta ini mengangkat pisaunya, lalu mendekati Naila. Pada saat itulah tiba-tiba Lerau melomopati Naila, menerka pendeta yang sedang mengangkat pisaunya sehingga keduanya berguling-guling. Sejenak suasana menjadi kacau. Kemudian tiba-tiba barisan pemuda-pemudi dan kawan-kawan Lerau serentak maju ke depan, mengangkat Lerau bangun, merenggut Naila dari altar, lalu berlarian membawa keduanya. Pemuda-pemuda yang lain lagi menghalang pendeta-pendeta yang akan berusaha mencegah pelarian mereka. Tetapi, tindakan itu ternyata tidak perlu sebab Usuru tidak memerintahkan pengejaran.
  • 9. Rupanya diam-diam Lerau memperbincangkan masalah itu dengan kawan-kawannya dan pemuda-pemuda desa itu. Mereka, yang sudah memasuki zaman modern, sama tidak percayanya dengan Lerau dan menganggap upacara itu suatu kekonyolan besar. Maka mereka bersepakat menolong Lerau. Mereka membawa Naila dan Lerau ke perkemahan. Lerau tampak lega hatinya melihat Naila didukung beramai-ramai oleh pemuda-pemuda itu. Setidaknya ia masih hidup. Tetapi segera setelah Naila diletakkan di dipan, mereka melihat suatu kenyataan yang tak dapat dipercaya. Naila terdiam dengan tubuh kaku di dipan itu, seperti orang mati! Berbagai cara diupayakan untuk menyadarkannya, tetapi tidak berhasil. Maka satu-satunya jalan adalah memanggil Usuru. Namun itu tida perlu, sebab tak lama kemudian Usuru muncul di perkemahan itu. Semua mata memandangnya dengan cemas. Usuru membelai Naila dengan tarika napas panjang. Kemudian ia menggamit Lerau. Ia sama sekali tidak menyesali tindakan Lerau. “Aku telah mencoba menghubungi Sang Kuasa, dan Ia mengizinkan aku mengembalikan Naila kepadamu. Tetapi karena dengan demikina ia masih tetap berutang kepada mantra itu, maka kau harus memenuhi dua syarat. Pertama, jika anak yang akan lahir dari Naila seorang perempuan, mka sampai pada usianya yang ke-25, ia harus selalu berpakaian hitam. Kedua, pada usianya yang ke-25 itu, anakmu perempuan itu harus kaubawa kemari untuk menjalani persembahan sebagai hganti Naila. Dan kau tidak perlu takut. Ia tidak akan mendapat cedera apapun. Aku tanggung seperti halnya Naila tadi, sesungguhnya kau tidak perlu bertindak seperti itu, bukankah Naila sudah dilindungi. Keadaanya yang seperti sekarang ini hasil dari perlindungan itu, yang membuatnya tak sadar dan karenanya ia tidak akan merasakan apa- apa, sekaligus seluruh lubang di dalam tubuhnya sudah ditutup. Walaupun pisau itu menikamnya, begitu dicabut, lukanya akan segera menutup. Tapi yang sudah berlalu biarlah berlalu. Apakah kau bersedia memenuhi kedua syarat itu?” Lerau tidak dapaat berbuat lain. Lagi pula, bukankah anaknya belum tentu perempuan? Usuru berkata, jika anaknya laki-laki, semua kutukan mantra itu akan gugur. *** “Jadi, Ayah akan membawaku ke altar di rumah kakek dan membiarkan orang tua itu menikamku? Ayah percaya segala macam takhayul itu?” seru Sheila geram. “Ayah maunya tidak percaya, Nak, tetapi lihatlah, kenyataannya ketika kau tidak mengenakan pakaian hitam itu. Bukankah itu suatu bukti yang nyata?” ”Ayah, kita sudah mempunyai Allah yang hidup, Kuasa atas segala kuasa. Seharusnya kita tidak gentar menghadapinya! Kalau Ayah sampai terkena pengaruh kuasa itu, pasti karena Ayah tidak mau menyerahkan diri Ayah kepada Allah. Sekaranglah saatnya Ayah, lepaskanlah diri Ayah dari kungkungan kuasa mantra atau apapun itu. Bukankah menurut Ayah, Ayah dan Ibu tidak memakai mantra itu untuk jatuh cinta beneran?” Lerau hanya menghela napas. Naila pun hanya menunduk. Sheila bangkit. Ia telah mengambil keputusan. “Baiklah,” katanya, “apakah ada cara sehingga kutukan itu jatuhnya ke Sheila, dan bukan ke Ayah? Sheila ingin mengakhiri semuanya dengan kuasa dari Allah kita! Kalau saja Sheila tahu bahwa pakaian hitam itu untuk memenuhi tuntutan kuasa gelap itu, Sheila pasti sudah berjuang sejak dahulu. Tetapi, Sheila sekarang akan memperjuangkannya. Asal jangan Ayah yang terkena, sebab Sheila tidak bisa menuntut Ayah untuk melepaskan diri dari kauasa mantra itu serta menyerahkan diri kepada Allah Yang Hidup.”
  • 10. “Sheila, kuasa itu datangnya dari kakek. Apakah kira-kira kau berani melawannya di depan kakek?” Naila menyela mereka. “Bersama Allah, terhadap apapun, siapapun Sheila tidak takut.” “Bagus Sheila, Ibu sangat bangga dengan kau. Jangan seperti Ibu lagi, yang tidak mempunyai iman dan meyerah oleh kuasa gelap mantra itu, walaupun itu milik kakek. Besok kita ke sana. Ayah dan Ibu pasti mendukung kamu. Memang untuk sekarang menuntut kami segera percaya kepada-Nya tidak mudah; jadi, sementara ini kami mendukung dengan apa adanya kami saja.” “Baik. Pada ulang tahunku yang ke-25, kita ke sana!” *** USURU tertawa mendengar dan melihat sendiri betapa Sheila berapi-api. “Jadi, Kakek tidak percaya padaku?” “Bukan, bukan begitu. Sheila, zamanku dan zamanmu sungguh berbeda. Aku sangat menghargai kau. Pada zamanku, akulah seorang pemberontak untuk segala macam upacara semacam ini. Aku berjuang melawan ayahku dan kakekku. Kau tahu, mereka adalah pendeta turun-temurun, dan aku harus meneruskan kependetaan mereka. Pendeta Kepala lagi. Untung anakku seorang perempuan sehingga aku tidak terbeban untuk menurunkan kepadanya. Rohaniawan yang pertama berkunjung di daerah ini, pertama dating kepadaku, dan aku orang pertama yang mengikutnya dengan setia, serta memberinya izin bekerja di desa kami. Aku sangat tersentuh dengan ajarannya. Tetapi, pada saat ayahku hendak mati, ia tidak bisa mati begitu saja sebelum menurunkan kemampuan kependetaannya kepadaku. Dan, aku tidak bisa menerimanya jika aku mengikuti ajaran yang baru itu. Kau bisa membayangkan, betapa perasaanku melihatnya meregang nyawa dengan sengsara sementara menunggu akan mengatakan ya. Maka pada akhirnya, aku menerimanya. Barulah ia mati dengan damai. Apa kau tidak heran, pada usia sebegini aku masih belum mati juga sementara orang-orang di desa ini yang lebih muda dari aku sudah habis semua?” Usuru membuka dadanya. Tampak sebuah bekas luka besar. “Kau lihat ini? Kalau bukan karena ilmu itu, aku sudah mati sepuluh tahun yang lalu ketika bencana longsor menimpa desa ini. Aku ikut dalam tim pertolongan, dan sebuah batu besar menimpaku, di sini, mengoyak dadaku sampai terbuka. Jangan salah sangka; aku bukannya bangga mempunyai ilmu ini dan tidak bisa mati; sesungguhnya hidup itu tidak lebih indah daripada mati, lebih-lebih jika kau tahu kau tidak akan bisa mati. Orang menyangka mati itu menakutkan karena mereka tidak dapat menghindari kematian. Tetapi, orang yang tidak bisa mati justru merindukan kematian sementara ia tidak bisa mendapatkannya. Seperti aku. Dan ayahku. Dan kakekku. Baiklah aku tidak akan berpanjang-panjang membenarkan diriku. Kalian tinggal di sini semalam, aku akan berbicara dengan Yang punya Kuasa malam ini, dan esok kita teruskan diskusi kita. Bagaimanapun upacara untuk Sheila baru bisa dilaksanakan esok malam.” Demikianlah ketiganya bermalam di situ dengan berbagai macam perasaan. Kesempatan itu dipakai Sheila untuk mengunjungi penduduk dan berbincang-bincang. Sheila mendapatkan bahwa memang sebagian penduduk telah menjadi orang-orang percaya. Ini sangat membesarkan hatinya, dan meningkatkan tekadnya. Diajaknya
  • 11. mereka berkumpul malam itu dalam suatu persekutuan doa. Ia toh membutuhkan dukungan dari sesame orang percaya. Esok malamnya, barulah Usuru muncul. Wajahnya tampak seperti bersinar. “Aku punya program sendiri dengan Kuasa yang di belakangku. Aku tidak akan menceritakannya kepadamu, sebab pasti akan bertentangan dengan ajaran iman Sheia. Aku juga tahu, Sheila pasti sudah punya program sendiri berdasarkan imannya. Aku tidak ingin tahu itu. Tetapi yang jelas, mala ini kalian semua akan membuktikan kuasa yang mana yang lebih besar.” “Asal bukan ayah yang terkena akibatnya,” kata Sheila. “Tentu tidak. Ini hanya anatar kau, Sheila, dan aku, Usuru. Dan ini bukan menyangkut perkara dua manusia melainkan antara dua Kuasa. jadi apapun yang terjadi janganlah menghubungkannya antara cucu dengan kakek.” Lerau bangkit berdiri. “Bapak tidak hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan Sheila mati, bukan?” “Oh tidak, sama sekali tidak. Tidak akan ada pengaruh atas Sheila. Jika ia menang kuasaku akan lenyap; dan itu pun sudah merupakan keinginanku; sebaliknya jika aku menang, aku akan tetap dengan kuasaku; walaupun itu sebenarnya tidak terlalu aku harapkan.” Mereka bertiga menuju altar. “Terlebih dahulu aku hendak memberitahukan satu hal kepada kalian. Apapun yang akan tampak terjadi, kalian tidak boleh melakukan tindakan intervensi macam yang dilakukan Lerau 25 tahun yang lalu, atau akibatnya akan sangat mengerikan. Kalian percaya saja. Baik kepada Allah Sheila, maupun kepada kuasaku. Yang jelas, sekali lagi aku jamin, tak satu pun akibat buruk akan menimpa Sheila.” Kemudian Usuru membimgbing tangan Sheila. “Sheila, silakan.” Usuru mengatur sehingga Sheila mengenakan pakaina serba hitam. Pakaian yang sama yang dikenakan Naila 25 tahun yang lalu – masih ada bekas robekan sbersilang di daerah hatinya. Sheila berbaring di altar. Empat pendeta muda mengelilingi altar, membawa dupa berasap tebal, harum, tetapi menyesakkan napas. Usuru meletakkan daun tertentu – daun yang sama – di atas robekan pakaian hitam Sheila. Lerau dan Naila bertelut di luar daerah altar. Mereka tidak tahu mesti memohon kepada siapa. Suasana sangat sunyi mencekam. Usuru mengambil pisau yang sangat tajam dan runcing – pisau yang sama – yang dibawakan oleh pembantunya dan sebuah baki perak. Ia berlutut di samping altar dengan pisau terdekap di dadanya. Lama sekali ia berlutut – atau terasa sangat lama – bagi semua yang hadir. Kemudian terdengar denting lonceng kecil bernada tinggi. Bunyinya lembut, tetapi di dada Lerau dan Naila bagaikan lonceng raksasa yang berdentang memekakkan telinga.
  • 12. Usuru bangkit perlahan-lahan. Ia mengangkat tinggi pisaunya, dengan kedua belah tangannya sambil memandang kilauan pisau itu oleh cahaya lampu minyak di sekeliling altar. Asap dupa semakin tebal mengepul, seolah-olah hendak membungkus tubuh Sheila yang terbaring di atas altar. Seolah-olah tidak merasakn lelah, Usuru masih saja memegang hulu pisau itu dengan kedua belah tangannya di atas kepalanya. Tiba-tiba Usuru memejam. Kedua tangannya perlahan-lahan turun sampai ke dadanya. Pisaunya tertuju ke arah robekan silang yang tertutup daun di pakaian hitam yang dikenakan Sheila, seolah-olah ia sedang membidiknya dengan sangat berhati- hati. Asap semakin tebal. Tubuh Usuru dan Sheila seperti terbungkus oleh pekatnya asap. Lama sekali. Sunyi. Tiba-tiba, asap dupa itu menghilang dengan cepat seolah-olah terhisap oleh sesuatu di ruang pemujaan. Ketika ruang itu kembali jernih, tampaklah bayang-bayang Usuru tegak di samping altar dengan pisau tergenggam oleh satu tangan, menggantung di samping tubuhnya. Wajahnya yang semula terkesan bercahaya, kini tampak gelap, atau kelabu. Kemudian terdengar denting jatuhnya pisau ke lantai, dan bersamaan dengan itu tubuh Usuru ambruk bagaikan runtuh di dalam jubahnya! Sheila membuka matanya. Dilihatnya Usuru sudah tidak ada. Ketika ia menoleh ke bawah altar, ia menjerit. Di antara jubah kebesaran kependetaan Usuru itu, teronggok sekumpulan tulang dan debu! Itulah sisa-sisa kebesaran Usuru. Itulah kematian yang begitu dirindukan Usuru, yang selama ini datangnya selalu ditunda oleh suatu kuasa di luar kekuasaannya sendiri. Kini kuasa itu lenyap. Maka kematiannya yang semestinya sudah menjeputnya bertahun-tahun sebelumnya, menjemputnya dengan tiba-tiba. Sheila bangkit perlahan-lahan. Lerau dan Naila ikut bangkit. Ketiganya saling berpelukan. Ketiganya kini tahu betul, kepada siapa mereka hendak mengbdikan hidup sebab mereka telah diberi kesempatan menyaksikan sendiri. Namun, mereka juga yakin, sungguh lebih berbahagia mereka yang boleh yakin tanpa harus melihat sendiri. ***TAMAT***
  • 13. Kutukan di Balik Cinta Di ruang tamu Lerau : “Sheila, dengar ya nak, kamu harus selalu memakai pakaian warna hitam sampai umur 25.” Sheila : “Kok gitu, yah?” Lerau : “Nanti kalau kamu sudah besar ayah baru kasih tahu. Kamu harus janji dulu.” Sheila : “ Iya deh yah. Sheila janji” Narator: “Karena selalu memakai pakaian warna hitam, Sheila sampai bosan melihat warna hitam. Apalagi Sheila sejak kecil sudah mendapat banyak julukan, seperti Si Hitam, Nona Hitam, bahkan Black Widow dan sebagainya. Maka tidak heran, ketika jiwa pemberontakannya mencapai titik puncaknya, ia pun meletus.” *** Saat Sheila berumur 23 tahun Di toko pakaian (Sheila menenteng baju putih, celana putih, topi putih, dan sepatu putih menuju kasir) Sheila : “Mbak, ni boleh langsung dipakai?” (meletakkan barang-barang di meja kasir) Penjaga kasir : “Oh, boleh. Tapi dihitung dulu ya (menghitung harga pakaian). Fitting room nya ada di sana (menunjuk letak Fitting room). Silakan (memberikan kantong isi pakaian). Terima kasih (Sheila mengambil kantong).” (Sheila berjalan menuju Fitting room) Tak lama kemudian (Sheila keluar dari Fitting room dan berjalan menuju kampus) *** Narator: “Saat di kampus, seisi ruang kuliah Sheila heboh. Untuk pertama kalinya, Sheila merasakan kemenangan dalam dirinya. Ia sangat puas. Walaupun demikian, ketika waktunya pulang, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa, dan membungkus pakaian pemberontakannya. Dengan senandung riangan, ia pun tiba di rumah.” Sheila : “Aku pulang.” (melepaskan sepatunya) (Mbak Wati tergopoh-gopoh lari menuju Sheila) Wati : “Non, Tuan masuk rumah sakit. Nyonya nyuruh Mbak untuk segera pergi.” Sheila : “(Terkejut) Ayah kenapa, Mbak? Kok masuk rumah sakit?” (memakai sepatu) Wati : “Mbak kurang tahu, Non. Tadi Tuan tiba-tiba pingsan, entah kenapa.” Sheila : “Oh, yaudah, makasih ya Mbak. Sheila pergi dulu.”
  • 14. Sheila tiba di rumah sakit (Sheila masuk ruang ayahnya dirawat) Sheila : “Bu, ayah kenapa?” Naila : “Entahlah. Kata dokter ada gangguan di dalam otak ayah. Harus diopname.” Narator: “Selama satu minggu ayah Sheila, Lerau, dirawat fi rumah sakit. Selama itu, dalam perawatan saraf, ia berangsur-angsur sembuh. Pada hari ketujuh, ketika Sheila mengunjunginya, Lerau memanggilnya.” Lerau : “Sheila, apakah kamu melanggar pantangan yang ayah bilang?” Sheila : “Pantangan? Pantangan apa, Ayah?” (berjalan mendekati ayah) Lerau : “Apakah kamu hari itu tidak memakai pakaian hitam?” Sheila : “Iya, yah. Habis bosan sih pakai hitam melulu.” Lerau : “Ya itulah. Kenapa kau begitu. Kan ayah sudah berpesan begitu keras. Kini kau tahu akibatnya bukan? Ayahlah yang menanggung.” Sheila : “Maafkan Sheila, yah. Sheila tidak tahu mengenai hal ini. Kenapa ayah tidak mengatakannya sejak dulu. Ada apa sih sebenarnya? Kenapa mesti segala pakaian hitam itu. Dan kenapa akibatnya bisa sampai begini jika dilanggar?” Lerau : “Memang semua itu kesalahan Ayah.” Sheila : “Ayah memakai ilmu hitam ya? Untuk apa?” Lerau : “Yaaah, sudah lewat sebenarnya, itu adalah kesalahan masa lalu, tetapi akibatnya masih berlangsung sampai sekarang. Besok Ayah akan pulang. Besok Ayah akan membukaka segalanya. Tetapi sementara itu, kau berjanji tidak akan begitu saja melanggar pantangan itu, bukan?” Sheila : “Baiklah, Ayah. Maafkan Sheila, sekali lagi, dan segera sembuhlah. Kami semua menunggu Ayah di rumah. Sheila pulang dulu ya.” (mengambil tas dan berjalan keluar) Lerau : “Iya. Hati-hati ya (melihat Sheila berjalan keluar). Hah, mantra itu benar-benar berkhasiat.” *** Flash back Narator: “Lerau baru saja akan mengakhiri evakuasinya di gua itu sebab sudah menjelang senja ketika matanya tertumbuk kepada sesuatu yang berpendar agak dalam dari situs tempat ia bekerja seharian. Tadi ia tidak melihatnya sebab matahari masih terang, tapi begitu senja, dan gua menjadi gelap, sinar pendar itu jadi tampak.” Lerau : Apa itu? Apa sebaiknya aku pergi menyelidikinya. Tapi staf penggalian udah pada capek. Apa ku periksa sendiri aja ya? Yah, lebih baik begitu, mending ku periksa dulu sebelum terkacaukan oleh tangan banyak orang. Lerau : “Kalian pulang saja dulu. Makasih ya.” Staf : “Baik, pak.” (meningalkan gua) (Lerau mengambil senter dan berjalan mendekati pendar cahaya) (Lerau membersihkan debu daerah itu dengan kausnya)
  • 15. (Lerau menggali sedikit demi sedikit dengan sarung tangan) Lerau : Apa itu mayat? (mendekatkan lampunya) Dua mayat ini pasti udah berumur ratusan tahun. Mmm, apa yang digenggam tangan mayat itu? (mendekati mayat dan mebuka tangannya pelan-pelan) Lempeng keramik? Tulisan kuno apa ini diatasnya? Sudah lah nanti di perkemahan baru cari artinya saja. (memasukkan lempeng ke dalam kantong) Ah, besok ada pekerjaan baru untuk timku. (berjalan keluar gua) Narator: “Setibanya di kemah, dipelajarinya lempeng itu. Ia mempunyai banyak kamus tentang tulisan kuno. Tulisan pada lempeng itu ternyata sebuah mantra; dan seperti biasanya, matra itu mengandung sejenis perjanjian; kurang lebih isinya, dengan ucapan tertentu, kuasa di belakang lempeng itu akan memberikan kemampuan tertentu kepada pemiliknya dengan imbalan yang setara. Dalam tulisan latin dan dibaca apa adanya maka ia berbunyi: LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA. Sepanjang malam Lerau berusaha mengetahui kemampuan apa yang dijanjikan olehnya dan imbalannya, tetapi ia tidak berhasil mendapatkannya. Keesokan harinya, sementara anak buahnya melanjutkan penggalian atas mayat-mayat itu, Lerau melewatkan waktu dengan berbincang-bincan dengan tokoh-tokoh tua desa itu.” Lerau : “Numpang tanya, Kek. Apa Kakek tahu mengenai mayat yang terkubur dalam gua itu?” Kakek : “Oh itu. Mayat yang disana itu sepasang kekasih yang terkena kutuk Kuasa yang menaungi desa itu karena kedapatan hidup dalam suatu perkawinan, padahal keduanya bersaudara. Ceritanya nih begini, dua orang itu menemukan sebuah lempeng bermantra, karena ingin mengetahui makna tulisan kunonya, mereka mempelajari tulisan kuno didalamnya. Mereka berhasil, dan sambil memegang lempeng tersebut mereka membacakan mantra itu. Ternyata bacaan itu menyebabkan keduanya jatuh cinta di luar kekuasaan mereka, tidak meyadari bahwa keduanya bersaudara. Maka mereka menikah diam-diam dan hidup seperti suami-istri, sampai keadaan mereka terungkap oleh tetua desa. Tetua memutuskan menguburkan mereka berdampingan dan menyertakan lempeng mantra itu supaya tidak lagi menimbulkan korban yang lain.” Lerau : Hahahaha. Mana mungkin mantra itu bisa menimbulkan rasa cinta. Konyol banget deh. Tapi, bagaimanapun juga ini harta kekayaan zaman purba. Sebagai seorang ahli zaman purba, aku harus menghargainya. Lerau : “Makasih ya kek atas infonya. Saya pamit dulu ya.” (bangkit dari tempat duduk) Kakek : “Oh, sama-sama.” (Lerau keluar dari rumah tokoh desa yang sudah tua dan berjalan menuju perkemahan) Di perjalanan (Naila sedang menimba air di sumur) Lerau : Wah, gadis itu sungguh cantik, sapa dulu aja. (Lerau jalan menuju sumur) Lerau : “Selamat siang.” (Naila memandang Lerau dengan heran) Lerau : “Boleh saya minta sedikit air?” Naila : “Oh, tentu. Untuk apa?” Lerau : “Minum, saya sangat haus.” Naila : “Ah, tidak baik minum air mentah. Jika Anda memang hendak minum, mari singgah di rumah saya, saya sajikan air masak.”
  • 16. Lerau : “Baiklah kalau begitu. Maaf merepotkan.” (Berjalan menuju rumah Naila) (Masuk rumah Naila) Naila : “Kalau boleh tahu, nama Anda siapa ya? Sepertinya Anda bukan orang desa ini? Silakan duduk.” Lerau : “(Duduk di kursi) Nama saya Lerau. Saya memang bukan orang desa ini. Nama kamu siapa?” Naila : “(Menyajikan air putih) Nama saya Naila. (duduk di kursi) Saya anak tetua desa, pemimpin upacara adat, semacam pendeta desa begitulah. Boleh saya tahu maksud kedatangan Anda kesini?” Lerau : “Saya sedang melakuakn peneltian di gua sana. Pekerjaan mu apa?” Naila : “Saya kerja sebagai guru SD. Penelitian? Penelitian apa? Apa sudah mendapatkan sesuatu?” Lerau : “Ya, biasalah penelitian untuk mencari benda-benda zaman purbakala. Kemarin kami menemukan mayat di dalam gua itu dan lempeng keramik bertulikan mantra ini.” (mengelurakan lempeng keramkik dari dalam sakunya) Naila : “(Terkejut) Mayat? Kok bisa ada di dalam gua? (mengambil lempeng keramik)” Lerau : “Katanya sih di kubur oleh tetua desa karena ketahuan nikah padahal bersaudara.” Naila : “Oh. (menunjuk huruf pada keramik) Huruf-huruf apa ini? Kau tentunya bisa membacanya bukan?” Lerau : “Mula-mula tidak, kemudian saya lihat di kamus tentang tulisan kuno, setelah ditulis ulang dalam tulisan latin ini mudah diucapkan, tetapi arti keseluruhannya tidak ada dalam kamus. Hanya dari kisah tokoh tua desa ini saja diperkirakan artinya.” Naila : “Bagaimana dibacanya?” Lerau : “Tidak takut kena sihirnya?” Naila : “Orang zaman modern begini, mana ada segala macam mantra bisa bertuah. Betul tidak? Hahaahaha.” Lerau : “Betul itu. Hahaha. Aku juga tidak percaya.” (Lerau menuliskan bahasa latinnya di kertas dan menunjukkannya pada Naila) Lerau dan Naila : “LAFATU UKHURUL VITA – UFUTU LAKHARU TIVA.” Naila : “Lucu ya bunyinya? Apa ya artinya?” Lerau : “Lafatu ukhurul vita – ufutu lakharu tiva. Sepertinya huruf-hurufnya Cuma dipertukarkan saja. Dan, ternyata makananya semacam ada pertukaran, antara pemilik mantra dengan kuasa di belakangnya. Besok saya ceritakan lebih jauh, sekarang terlalu siang. Lagi pula, kau tentu akan mengajar anak-anak, bukan? Kan sudah tiba saatnya sekolah. ” Naila : “Oh, kau betul, kapan-kapan deh kita bertemu lagi.” (Lerau kembali ke kemah) (Naila bersiap-siap ke sekolah) Narator: “Sejak hari itu, Lerau dan Naila seolah tidak terpisahkan. Belakangan, masing-masing memang mengaku mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagi Naila, hal itu merupakan masalah besar, sebaba sebagai putri seorang tetua agama, pendeta, ia tidak bisa sembarangan jatuh cinta, lebih-lebih kepada seorang laki-laki asing.
  • 17. Naila tahu itu. Tetapi ia juga tidak dapat mengelak bahwa ia sudah jatuh cinta kepada Lerau. Karena itu, mereka pergi menghadap ayah Naila, Pendeta Agung Usuru. Tetapi , Usuru cukup bijak, ia bisa mengerti perasaan putrinya. Hanya saja, setelah Naila selesai mengungkap perasaannya sesudah Lerau mengajukan lamarannya, ia termenung lama sekali. Akhirnya, Usuru meminta semalam untuk merenungkan hal ini. Ia harus menanyakannya kepada Kuasa yang kepadanya aku mengabdi.” (Lerau pulang ke rumah) Keesokan harinya Usuru : “Nak Lerau, Naila, apakah kalian jatuh cinta secara tidak wajar?” Tidak ada yang menjawab Usuru : “Ceritakan saja, sebab aku harus tahu, karena apa yang kulihat semalam, adalah semacam tuntutan dari kuasa yang lain kepadamu.” Lerau : “(Mengeluarkan lempeng keramik dari dalam saku) Saya menemukan ini di dalam gua bersama dua mayat. Dan kami membaca tulisan di atas lempeng ini bersamaan. Tetapi kami membacanya bukan karena ada maksud tertentu, sekedar ingin tahu saja. Naila tidak tahu maknanya ketika itu. Lagi pula, terus terang, saya jatuh cinta kepada Naila pada pandangan pertama saya melihat Naila, dan itu jauh sebelum saya terpengaruh mantra apapun.” Naila : “Naila juga Ayah, terus terang……” Usuru : “Aku tahu, aku tahu, itulah muda-mudi zaman sekarang. (hendak mengambil keramik itu dari tangan Lerau) Aaaaaaaaaaaa. (mata nyalang, dengan wajah ngeri dan tangan terhenti di atas tangan Lerau. Kemudian tubuhnya mengejang sambil tetap berdiri kaku) Naila : “(Ketakutan) Aaaaaaaaaaaa. (menjatuhkan diri dalam pelukan Lerau dan menyebabkan keramik terpental dari tangan Lerau) PRAANG!!! (Keramik hancur berkeping-keping) (Usuru sadar kembali) Usuru : “(Terengah-engah) Hhh..hhhhh…hhhh… Untung Naila memecahkannya benda itu hamper saja merenggut nyawaku!” (duduk di bangku) Naila : “Ayah tidak apa-apa?” Usuru : “Sekarang tidak. Jika benda itu tidak hancur, mungkin saja sekarang ini aku sudah binasa secara mengerikan!” Lerau : “Maafkan saya Pak, saya….” Usuru : “Oh, itu bukan salahmu. Kuasa di belakang mantra itu menuntut suatu korban sebab kalian telah mengucapakannya. Lepas dari kalian mengucapkan dengan maksud tertentu atau tidak, mantra itu telah bekerja. Dan ia menuntut imbalan. Ayah tidak mau mengatakan bahwa kalian jatuh cinta karena telah mengucapkan mantra itu, tetapi kenyataannya kalian sama-sama jatuh cinta, bukan? Bagaimanapun, mantra itu telah bekerja. Karena kalian tidak paham imbalan yang dituntutnya, Ayahlah yang hampir saja membayarnya. Buat Ayah, mati tidaklah menakutkan, tetapi bahwa Ayah akan mati seraya menelan kemarahan Sang Kuasa…. hmmm…. kalau ada cari mati yang lain, bahkan lebih agung?” Lerau : “Maafkan saya Pak, sekali lagi…”
  • 18. Usuru : “Aku mengerti. Tidak usah merasa bersalah. Bukankah aku masih selamat? Namun masalahnya kini jadi lain. Bagaimanapun imbalan itu harus ada yang membayar.” Naila : “Dengan memutuskan cinta kami?” Usuru : “Ayah tidak berkata demikian. Ayah tahu kamu tidak akan mau, bukan? Kita cari cara lain. Itu saja. Jadi Ayah akan minta satu malam lagi, besok kita akan tahu jawabannya. Keesokan harinya Usuru : “Imbalan yang harus diberikan adalah ‘darah dan empedu’ pengantin perempuan, sehari setelah upacara pernikahan berlangsung.” Lerau : “Tetapi itu namanya pembunuhan!” Usuru : “Tidak. Tidak harus demikian. Mari kita lihat di ruang pemujaan.” (Lerau dan Naila mengikuti Usuru ke ruang pemujaan) Di ruang pemujaan Lerau : Gambar apa ini? Apa dulu pernah dilaksanakan pemujaan seperti ini? Apa nanti Naila juga akan di begini kan? Dimantrai seperti itu? Ditikam hatinya dengan pisau tapi nanti bangun dengan segar dan hidup? Apakah itu mungkin? Usuru : “Dalam pemujaan kami, ada mantra khusus untuk persembahan darah dan empedu. Perempuan yang sudah dimantrai seperti itu, ketika ditikam hatinya, hanya mengeluarkan darah dan empedu, tetapi tidak mati. Lukanya segera menutup lagi, sama sekali tidak ada cacatnya, bahkan ia tidak akan merasakan apa-apa.” Naila : “Ayah mempercayai itu?” Usuru : “Tentu saja, Nak. Ayahlah yang memantrainya.” Naila : “Ayah bermaksud memantrai Naila lalu menikam hati Naila, dan Ayah mau berkata bahwa Naila tak akan merasa apa-apa, dan bahwa Naila akan tetap hidup tak bercacat?” Usuru : “Ya.” (Lerau dan Naila terdiam dengan mulut ternganga heran dan ngeri) Narator: “Mereka lalu minta izin untu berjalan-jalan keluar. Lerau bermaksud menyelidiki kepercayaan semacam itu di antara anggota masyarakat desa. Ketika malam tiba, Naila mengajak Lerau bermalam, sebab mereka harus membicarakannya masak-masak.” Naila : “Kalau dipikir, pernah kan kau dengar di Filipina, dukun yang mengoperasi tanpa pisau, Cuma dengan jari- jari tangannya dan berhasil dengan sempurna. Hal-hal semacam itu toh bisa terjadi di dunia modern ini.” Lerau : “Ya, tetapi jika taruhannya nyawamu, aku tidak akan memperbolehkan.” Naila : “Tetapi ayah tidak akan mengizinkan tanpa upacara semacam itu.” Lerau : “Kan sebetulnya kita tidak berurusan dengan mantra itu? Kita kan hanya bergurau?” Naila : “Bagaimanapun kita sekarang saling mencintai, ya kan?” (Lerau memeluk Naila) Lerau : “Soalnya, aku tidak mau kehilangan kau.”
  • 19. Narator: “Menjelang fajar, akhirnya Nailalah yang mengambil keputusan.” Naila : “Aku percaya penuh kepada Ayah. Aku yakin ia tidak akan begitu saja mengorbankan aku. Lagi pula, bagiku lebih baik mati sungguh daripada tidak bisa menikah denganmu.” Lerau : “Lalu kalau kau mati, aku bagaimana?” Naila : “Ah, jangan dibicarakn sekarang. Kita yakin sajalah. Kalau kau memang mencintaiku, kau mesti percaya pada ku.” Lerau tidak menjawab Narator: “Pagi itu juga mereka menghadap Usuru dan menyampaikan keputusan mereka. Maka Usuru meyiapkan altar, dan selama sehari suntuk, ia mengurung diri dalam ruang pemujaannya. Sementara itu, istri Usuru meyiapkan upacara perkawinan. Ketika senja tiba, kedua insan itu mulailah didandani sebagai pengantin. Upacara itu berlangsung khidmat dan singkat saja, kemudian keduanya memasuki kamar pengesok malam, sesuai janji mereka, Naila akan membayar imbalan mantra di atas altar yang telah dipersiapkan Usuru. Maka semalam dan sehari penuh, kedua pengatin baru itu menikmati malam pengantin mereka dengan hati penuh was-was. Lerau bagaikan anak kecil yang tidak mau kehilangan miliknya, sedetik pun ia tidak mau berpisah dari Naila. Makan pun ia minta diantar ke kamar saja. Ia ingin menikmati saat-saat terakhir memiliki Naila, seolah-olah sesudah malam itu Naila akan betul- betul mati. Maka tibalah malam itu. Dengan pakaian serba hitam, Naila berjalan menuju altar, diiringi Lerau dan kawan-kawannya, lalu sebarisan pemuda-pemudi desa yang bersimpati kepada keduanya. Semuanya memenuhi ruang pemujaan, bahkan sampai ke halaman Usuru. Bau dupa memenuhi seluruh tempat, menambah perasaan ngeri. TING! (Denting lonceng kecil) (Usuru memberi isyarat kepada Naila untuk berbaring di altar) (Usuru membuat koyakan bersilang tepat di atas daerah hati dengan pisau kemudian menaruh sehelai daun suatu tanaman di daerah itu) Krk. Crik. Krek. (Bunyi apai dari perapian ruang pemujaan) (Usuru berlutut menghadap api sambil memegang tongkat pemujaan) (Usuru menyerahkan pisau kepada pendeta lain) (Pendeta mengangkat pisau dan mendekati Naila) Bruk!! (Lerau melompati Naila dan menerkam pendeta sehingga keduanya berguling-guling) (Barisan pemuda-pemudi dan kawan-kawan Lerau serentak maju ke depan, mengangkat Lerau bangun, merenggut Naila dari altar, lalu berlarian membawa keduanya) (Pemuda-pemuda yang lain berjaga-jaga menghalang pendeta-pendeta) (Pendeta-pendeta dan Usuru tetap diam di tempat) Narator: “Semalam Lerau diam-diam memperbincangkan masalah ini dengan kawan-kawannya dan pemuda- pemuda desa. Mereka sama tidak percayanya dengan Lerau dan menganggap upacara itu suatu kekonyolan besar.
  • 20. Maka mereka bersepakat menolong Lerau. Mereka membawa Naila dan Lerau ke perkemahan. Setelah Naila diletakkan di dipan, Naila terdiam dengan tubuh kaku di dipan itu, seperti orang mati. Berbagai cara diupayakan untuk menyadarkannya, tetapi tidak berhasil.” (Usuru muncul di perkemahan) (Semua mata memandang Usuru dengan cemas) (Usuru mendekati Naila dan membelai rambutnya dengan tarikan napas panjang) (Usuru menggamit Lerau) Usuru : “Aku telah mencoba menghubungi Sang Kuasa, dan Ia mengizinkan aku mengembalikan Naila kepadamu. Tetapi karena dengan demikina ia masih tetap berutang kepada mantra itu, maka kau harus memenuhi dua syarat. Pertama, jika anak yang akan lahir dari Naila seorang perempuan, mka sampai pada usianya yang ke-25, ia harus selalu berpakaian hitam. Kedua, pada usianya yang ke-25 itu, anakmu perempuan itu harus kaubawa kemari untuk menjalani persembahan sebagai hganti Naila. Dan kau tidak perlu takut. Ia tidak akan mendapat cedera apapun. Aku tanggung seperti halnya Naila tadi, sesungguhnya kau tidak perlu bertindak seperti itu, bukankah Naila sudah dilindungi. Keadaanya yang seperti sekarang ini hasil dari perlindungan itu, yang membuatnya tak sadar dan karenanya ia tidak akan merasakan apa-apa, sekaligus seluruh lubang di dalam tubuhnya sudah ditutup. Walaupun pisau itu menikamnya, begitu dicabut, lukanya akan segera menutup. Tapi yang sudah berlalu biarlah berlalu. Apakah kau bersedia memenuhi kedua syarat itu?” Lerau : “Ya, baiklah, tetapi bagaimana kalau laki-laki?” Usuru : “Jika anaknya laki-laki, semua kutukan mantra itu akan gugur.” *** Di ruang tamu Sheila : “Jadi, Ayah akan membawaku ke altar di rumah kakek dan membiarkan orang tua itu menikamku? Ayah percaya segala macam takhayul itu?” Ayah : “Ayah maunya tidak percaya, Nak, tetapi lihatlah, kenyataannya ketika kau tidak mengenakan pakaian hitam itu. Bukankah itu suatu bukti yang nyata?” Sheila :”Ayah, kita sudah mempunyai Allah yang hidup, Kuasa atas segala kuasa. Seharusnya kita tidak gentar menghadapinya! Kalau Ayah sampai terkena pengaruh kuasa itu, pasti karena Ayah tidak mau menyerahkan diri Ayah kepada Allah. Sekaranglah saatnya Ayah, lepaskanlah diri Ayah dari kungkungan kuasa mantra atau apapun itu. Bukankah menurut Ayah, Ayah dan Ibu tidak memakai mantra itu untuk jatuh cinta beneran?” (Lerau hanya menghela napas) (Naila menunduk) ( Sheila bangkit) Sheila : “Baiklah, apakah ada cara sehingga kutukan itu jatuhnya ke Sheila, dan bukan ke Ayah? Sheila ingin mengakhiri semuanya dengan kuasa dari Allah kita! Kalau saja Sheila tahu bahwa pakaian hitam itu untuk memenuhi tuntutan kuasa gelap itu, Sheila pasti sudah berjuang sejak dahulu. Tetapi, Sheila sekarang akan memperjuangkannya. Asal jangan Ayah yang terkena, sebab Sheila tidak bisa menuntut Ayah untuk melepaskan diri dari kauasa mantra itu serta menyerahkan diri kepada Allah Yang Hidup.” Naila : “Sheila, kuasa itu datangnya dari kakek. Apakah kira-kira kau berani melawannya di depan kakek?”
  • 21. Sheila : “Bersama Allah, terhadap apapun, siapapun Sheila tidak takut.” Naila : “Bagus Sheila, Ibu sangat bangga dengan kau. Jangan seperti Ibu lagi, yang tidak mempunyai iman dan meyerah oleh kuasa gelap mantra itu, walaupun itu milik kakek. Besok kita ke sana. Ayah dan Ibu pasti mendukung kamu. Memang untuk sekarang menuntut kami segera percaya kepada-Nya tidak mudah; jadi, sementara ini kami mendukung dengan apa adanya kami saja.” Sheila : “Baik. Pada ulang tahunku yang ke-25, kita ke sana!” *** 2 tahun kemudian Di ruang tamu rumah Usuru Sheila : “Aku pasti akan mengalahkan Kakek! Mengalahkan Kuasa yang kakek percayai!” (Bangkit berdiri) Usuru : “Hahahahahahaha.” Sheila : “Jadi, Kakek tidak percaya padaku?” Kakek : “Bukan, bukan begitu. Ayo, duduk dulu. (Sheila duduk) Sheila, zamanku dan zamanmu sungguh berbeda. Aku sangat menghargai kau. Pada zamanku, akulah seorang pemberontak untuk segala macam upacara semacam ini. Aku berjuang melawan ayahku dan kakekku. Kau tahu, mereka adalah pendeta turun-temurun, dan aku harus meneruskan kependetaan mereka. Pendeta Kepala lagi. Untung anakku seorang perempuan sehingga aku tidak terbeban untuk menurunkan kepadanya. Rohaniawan yang pertama berkunjung di daerah ini, pertama datang kepadaku, dan aku orang pertama yang mengikutnya dengan setia, serta memberinya izin bekerja di desa kami. Aku sangat tersentuh dengan ajarannya. Tetapi, pada saat ayahku hendak mati, ia tidak bisa mati begitu saja sebelum menurunkan kemampuan kependetaannya kepadaku. Dan, aku tidak bisa menerimanya jika aku mengikuti ajaran yang baru itu. Kau bisa membayangkan, betapa perasaanku melihatnya meregang nyawa dengan sengsara sementara menunggu akan mengatakan ya. Maka pada akhirnya, aku menerimanya. Barulah ia mati dengan damai. Apa kau tidak heran, pada usia sebegini aku masih belum mati juga sementara orang-orang di desa ini yang lebih muda dari aku sudah habis semua?” (Usuru membuka pakaiannya) Kakek : “Kau lihat ini? (menunjuk bekas luka besar di dadanya) Kalau bukan karena ilmu itu, aku sudah mati sepuluh tahun yang lalu ketika bencana longsor menimpa desa ini. Aku ikut dalam tim pertolongan, dan sebuah batu besar menimpaku, di sini, mengoyak dadaku sampai terbuka. Jangan salah sangka, aku bukannya bangga mempunyai ilmu ini dan tidak bisa mati, sesungguhnya hidup itu tidak lebih indah daripada mati, lebih-lebih jika kau tahu kau tidak akan bisa mati. Orang menyangka mati itu menakutkan karena mereka tidak dapat menghindari kematian. Tetapi, orang yang tidak bisa mati justru merindukan kematian sementara ia tidak bisa mendapatkannya. Seperti aku. Dan ayahku. Dan kakekku. Baiklah aku tidak akan berpanjang-panjang membenarkan diriku. Kalian tinggal di sini semalam, aku akan berbicara dengan Yang punya Kuasa malam ini, dan esok kita teruskan diskusi kita. Bagaimanapun upacara untuk Sheila baru bisa dilaksanakan esok malam.” Narator: “Demikianlah ketiganya bermalam di situ dengan berbagai macam perasaan. Kesempatan itu dipakai Sheila untuk mengunjungi penduduk dan berbincang-bincang. Sheila mendapatkan bahwa memang sebagian penduduk telah menjadi orang-orang percaya. Ini sangat membesarkan hatinya, dan meningkatkan tekadnya. Diajaknya mereka berkumpul malam itu dalam suatu persekutuan doa. Esok malamnya, barulah Usuru muncul. Wajahnya tampak seperti bersinar.
  • 22. Kakek : “Aku punya program sendiri dengan Kuasa yang di belakangku. Aku tidak akan menceritakannya kepadamu, sebab pasti akan bertentangan dengan ajaran iman Sheia. Aku juga tahu, Sheila pasti sudah punya program sendiri berdasarkan imannya. Aku tidak ingin tahu itu. Tetapi yang jelas, mala ini kalian semua akan membuktikan kuasa yang mana yang lebih besar.” Sheila : “Asal bukan ayah yang terkena akibatnya,” Kakek : “Tentu tidak. Ini hanya anatar kau, Sheila, dan aku, Usuru. Dan ini bukan menyangkut perkara dua manusia melainkan antara dua Kuasa. jadi apapun yang terjadi janganlah menghubungkannya antara cucu dengan kakek.” (Lerau bangkit berdiri) Lerau : “Bapak tidak hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan Sheila mati, bukan?” Kakek : “Oh tidak, sama sekali tidak. Tidak akan ada pengaruh atas Sheila. Jika ia menang kuasaku akan lenyap, dan itu pun sudah merupakan keinginanku, sebaliknya jika aku menang, aku akan tetap dengan kuasaku, walaupun itu sebenarnya tidak terlalu aku harapkan. Ayo, segera ke ruang pemujaan.” (Mereka bertiga menuju ruang pemujaan) Di ruang pemujaan (Usuru membimgbing tangan Sheila ) (Usuru mengambil pakaian hitam dari altar dan memberikannya kepada Sheila) Kakek : “Sheila,pakailah ini. Ini pakaian yang dipakai ibumu 25 tahun yang lalu.” (Sheila mengambilnya dan pergi mengganti baju) Kakek : “Terlebih dahulu aku hendak memberitahukan satu hal kepada kalian. Apapun yang akan tampak terjadi, kalian tidak boleh melakukan tindakan intervensi macam yang dilakukan Lerau 25 tahun yang lalu, atau akibatnya akan sangat mengerikan. Kalian percaya saja. Baik kepada Allah Sheila, maupun kepada kuasaku. Yang jelas, sekali lagi aku jamin, tak satu pun akibat buruk akan menimpa Sheila.” (Sheila kembali dengan memakai pakaian hitam) Sheila : “Apakah ini robekan yang dibuat Kakek dulu?” (Menunjuk robekan di daerah sekitar hati) Kakek : “Ya. Sekarang berbaringlah di altar.” (Sheila berbaring di altar) (Empat pendeta muda mengelilingi altar sambil membawa dupa berasap tebal dan harum) Lerau : Bau dupa ini menyesakkan napas sekali. (Usuru meletakkan daun di atas robekan pakaian hitam Sheila) Lerau : Itu daun yang sama seperti dulu. (Lerau dan Naila berlutut di luar daerah altar) Suasana sangat sunyi mencekam. (Pembantu berjalan mendekat membawa pisau dan baki perak)
  • 23. (Usuru mengambil pisau) (Usuru berlutut di samping meja altar dengan pisau terdekap di dadanya) 2 menit kemudian Naila : Lama sekali ayah berlutut . 5 menit kemudian TING! (Bunyi denting lonceng kecil bernada tinggi) Lerau : Ah, bunyi lonceng yang menyebalkan. Naila : Bunyi lonceng ini menyakitkan telinga. (Usuru bangkit perlahan-lahan) (Usuru mengangkat tinggi pisau dengan kedua belah tangannya sambil memandang kilauan pisau itu oleh cahaya lampu minyak di sekeliling altar) (Asap dupa semakin tebal mengepul) (Usuru masih memegang hulu pisau dengan kedua belah tangannya di atas kepalanya) (Usuru memejamkan mata) (Kedua tangan Usuru perlahan-lahan turun sampai ke dada Sheila diatas robekan silang yang tertutup daun) (Asap semakin tebal) (Tubuh Usuru dan Sheila terbungkus oleh pekatnya asap) Sunyi 10 menit kemudian (Asap dupa menghilang dengan cepat) (Tampak bayang-bayang Usuru tegak di samping altar dengan pisau tergenggam oleh satu tangan, menggantung di samping tubuhnya) TRANG! Pisau jatuh ke lantai BRUK! (Usuru ambruk) (Sheila membuka matanya) (Sheila melihat kiri kanan) Sheila : Dimana Kakek? (Sheila menoleh ke bawah altar)
  • 24. KYAAAAAAAAA Sheila : Ada apa ini? Kenapa di ada sekumpulan tulang dan debu di antara jubah kakek? (Sheila bangkit perlahan-lahan) (Lerau dan Naila bangkit) (Ketiganya saling berpelukan) Narator: “Itulah kematian yang begitu dirindukan Usuru, yang selama ini datangnya selalu ditunda oleh suatu kuasa di luar kekuasaannya sendiri. Kini kuasa itu lenyap. Maka kematiannya yang semestinya sudah menjeputnya bertahun-tahun sebelumnya, menjemputnya dengan tiba-tiba. Ketiganya kini tahu betul, kepada siapa mereka hendak mengbdikan hidup sebab mereka telah diberi kesempatan menyaksikan sendiri. Namun, mereka juga yakin, sungguh lebih berbahagia mereka yang boleh yakin tanpa harus melihat sendiri.” ***TAMAT***