1. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
“Catatan yang Hilang”
Oleh Novi Rovika
Langit muram, angin yang bertiup menelisik sebagian ruang hati terasa seperti beledu.
Suara-suara menelan kesunyian yang sedari tadi membekamnya. Tak ada harapan, seakan
ini adalah akhir sebuah pengharapan.
Pintu berderit untuk yang kedua kalinya, menghenyakkan perasaan sedih. Dia tersadar
akan nasibnya, bukan di ujung tanduk lagi tetapi lebih tepat tinggal menyerah pada
kepasrahan. Dia menggenggam selembar kertas lusuh yang tak jelas bertuliskan apa.
Tubuhnya berguncang setiap kali terdengar deritan pintu di luar, dalam pikirannya
“apakah yang ini?”
Tak kuasa rasanya setiap kali ia memaksakan perasaanya untuk menebak siapa yang
datang ke panti asuhan tua sore itu. Selama itu pula ia coba mengingat setiap perkataan
wanita paruh baya yang pernah mengantarkannya ke tempat itu.
Ia tak pernah lupa, saat itu ia berumur lima tahun, tidak ingat bagaimana ia hidup
sebelum hari itu. Yang ia ingat, saat itu tiba-tiba ia ditinggalkan oleh orang tuanya, dan
wanita separuh baya datang menghampirinya dengan senyuman penuh keteduhan. Dengan
nada rendah dan menenangkan, wanita itu mengintrograsinya dengan beberapa
pertanyaan. Melihat perawakan si ibu tua, dia merasa bahwa ibu tua itu hanya seorang ibu
yang menumpang istirahat sebentar di sebelahnya setelah menempuh perjalanan yang
cukup jauh dan bingung untuk meneruskan perjalannannya seperti halnya dia yang tengah
dirundung ketidak tahuan.
Tidak lebih dari sepuluh menit lamanya, si ibu tiba-tiba menepuk-nepuk lembut
pundaknya,
“Nak, hidup itu sulit. Tapi jangan dianggap sulit, kita itu hanya orang tak berada. Biasa
saja, tak usah cemas. Walaupun kita tidak berlebih dalam harta asal kita punya pekerti dan
hati yang tulus, orang pasti tidak akan menolak kita. Lebih dari lima puluh tahun ibu hidup,
dan separuh dari umur itu ibu habiskan sendiri. Ibu tak pernah mengeluh pada Tuhan. Ibu
malah mensyukuri setiap apa yang diberikan Tuhan, semua keputusan pasti ada
hikmahnya”.
2. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
Ibu tua menarik napas sambil tersenyum menutup mata, dan melanjutkan menolongnya.
Dia hanya bisa mendengarkan walaupun segala pikiran tengah berkecamuk dalam
pikirannya.
“Nak lapar tidak? Ibu punya sebungkus roti. Makan ya!”
Dia bahkan tidak mengerti, kalaupun si ibu tua benar-benar tidak mengenalinya, pasti
yang pertama kali ditanyakan dimana atau siapa orang tuanya. Tapi tidak. Dia hanya
mengangguk lemah.
Tanpa sedikit pun senyum dari sudut bibirnya yang mungil sebagai tanda terima kasih, ia
mengambil roti yang disodorkan si ibu tua dan memakannya. Ibu tua terlihat senang
melihatnya. Tiba-tiba ia menengadah dan memandangi wajah ibu tua itu, ternyata si ibu tua
tengah menitikan air mata. Ibu tua tersipu malu dan menyeka air mata dengan punggung
tangannya, lalu mengelus kembali kepala si anak. Dibukanya tas kain yang ia simpan di
sebelahnya, dan mengambil sesuatu dari dalam tas tersebut. Ibu itu mengambil selembar
kertas, dan menyerahkannya pada anak itu. Anak itu hanya terheran-heran tidak mengerti.
“Nak, kalau kamu lupa jalan pulang, pergilah ke tempat yang alamatnya tertera di kertas
itu. Tanyakan saja pada orang dan serahkan kertas itu” saran ibu tua.
Selama anak itu mendengarkan saran ibu tua, ia hanya menatap kertas tersebut tanpa
dia sadari ibu tua telah pergi.
Seandainya ia tidak pernah bertemu dengan ibu tua itu, entah apa yang sekarang terjadi
padanya. Mungkin saja ia sekedar hidup mengikuti kemana angin bertiup atau
membenamkan diri dalam kesendirian dan lenyap di tengah ketidak tahuan.
Dari situlah, hingga ia bisa sampai ke panti asuhan tua. Ia pernah bertanya pada ketua
panti asuhan tentang sosok ibu tua yang memberinya alamat itu berikut dengan ciri-cirinya.
Ketua panti asuhan membenarkan memang pernah ada seorang ibu yang sempat tinggal di
panti asuhan tersebut dan membantunya, tapi itu sudah lama sekali. Dulu ibu tua itu juga
pernah menitipkan sebuah catatan kecil tentang suatu hal yang dititipkan pada kepala panti
asuhan, namun catatan itu hilang beserta data mengenai setiap penghuni panti asuhan
sejak ada renovasi ruangan administrasi di panti asuhan itu.
3. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
Perasaan sedih bercampur kecewa menyelimuti hatinya. Ia pun terpaku dalam
lamunanya, teringat saat pertama kali ia melihat senyum ibu tua itu. Senyum itu bagaikan
hilang bersama angin di ujung jalan sana. Sekarang ia mencarinya. Mencari sosok ibu tua
yang senyumnya terekam di akal sehatnya. Ia mencari seseorang yang ia tak tahu siapa
namanya. Berjalan jauh tak ia temukan ibu tua itu. Bayangannya pun tak mendekat. Ia
hampir saja menyerah.
Namun di lubuk hati sana, masih melekat bayang senyum ibu tua itu. Tapi, apalah daya
bagai pungguk merindukan bulan, ia tak kenal siapa ibu tua itu. Ia tak tahu siapa namanya.
Melupakan ibu tua untuk sementara adalah pilihan terbaik baginya saat ini. Tapi ia tidak
pernah bisa.
Seiring waktu berganti, panti asuhan tua ini masih seperti dulu. Angin sore itu masih
selalu berusaha merayu hatinya. Menerpa, menggoda mengharapkan cinta. Ia tak lagi
seperti dulu, besar harapan ia menemukan ibu tua itu dan berbagi cerita, betapa rasa
penasaran itu benar-benar nyata menggerogoti hatinya.
Ia selalu penasaran mencari tahu siapa sebenarnya sosok ibu tua yang ia temui tujuh
tahun lalu. Tiba-tiba suara pintu di luar berderit lagi, sekaligus menyadarkannya dari
lamunan sesaat itu. Dan ternyata benar, dari pembicaraan yang didengarnya antara ketua
panti asuhan dengan seseorang di ruangan sebelah. Sore itu, ada seseorang yang akan
menjadikannya anak angkat. Ia hanya tesenyum lemah, dan menangis karena ingat pada
ibu tua itu. Seandainya ia sempat bertemu dengannya, maka ia tidak akan urung untuk
meninggalkan panti asuhan itu. Dia benar-benar akan mengikuti nasib tanpa kendalinya
sendiri, namun kini ia sudah bertuan. Tuan yang tak dikenali sebelumnya. Ia tidak akan
berhenti mencari ibu tua itu, dari setiap jejak yang ditinggalkannya. Hingga ia menemukan
jawaban atas tanda tanya besar dalam hatinya.
*****
4. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
Apresiasi Cerpen
1. Tema
Menceritakan seorang anak kecil yang tiba-tiba ditinggalkan oleh orang tuanya. Lalu
ada seorang ibu tua yang menghampirinya dan memberikan selembar kertas berisi sebuah
alamat panti asuhan. Namun, saat anak kecil itu mencari ibu tua, ternyata ibu tua itu sudah
tidak ada disana. Dan setelah sekian lama, rasa penasaran untuk mencari ibu tua itu terus
ia rasakan. Sehingga ia akan terus berjuang untuk menemukan jawabannya.
2. Tokoh
Pelukisan Cerita
No. Tokoh Watak Paragraf
Dialog Penceritaan Pengarang
1 Anak kecil Melankolis, Pintu berderit untuk 2
tidak mudah yang kedua kalinya,
menyerah. menghenyakkan
perasaan sedih.
Ia hanya tersenyum 19
lemah, dan menangis
karena ingat pada ibu
tua itu.
2 Ibu tua Baik, ramah, “Nak, lapar tidak? Ibu 9
peduli. punya sebungkus roti.
Makan ya!”
“Nak, kalau kamu lupa
12
jalan pulang, pergilah
ke tempat yang
alamatnya tertera di
kertas itu. Tanyakan
saja pada orang dan
serahkan kertas itu.”
5. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
3. Alur / Plot
No Maju Mundur Lembut Ledakan Tertutup Terbuka
1 Seiring waktu Seandainya ia Ia tidak akan
berganti, panti tidak pernah berhenti mencari
asuhan tua ini bertemu ibu tua itu, dari
masih seperti dengan ibu tua setiap jejak yang
dulu. Angin sore itu, entah apa ditinggalkannya.
itu masih selalu yang sekarang Hingga ia
berusaha merayu terjadi menemukan
hatinya. Menerpa, padanya. jawaban atas
menggoda Mungkin saja tanda tanya
mengharapkan ia sekedar besar dalam
cinta. Ia tak lagi hidup hatinya.
seperti dulu, mengikuti
besar harapan ia kemana angin
menemukan ibu bertiup atau
tua itu dan membenamkan
berbagi cerita, diri dalam
betapa rasa kesendirian
penasaran itu dan lenyap di
benar-benar tengah ketidak
nyata tahuan.
menggerogoti
hatinya.
4. Latar
No Tempat Waktu Suasana
1 Panti Asuhan Sore Sedih, bingung,
cemas, penuh
pengharapan.
6. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
5. Majas
No Majas Kalimat Paragraf
1 Asosiasi Angin itu masih selalu berusaha merayu hatinya. 18
2 Personifikasi Langit muram, angin yang bertiup menelisik sebagian 1
ruang hati terasa seperti beledu.
3 Hiperbola Dia tersadar akan nasibnya, bukan diujung tanduk lagi 2
tetapi lebih tepat tinggal menyerah pada kepasrahan.
4 Asosiasi Tapi, apalah daya bagai pungguk merindukan bulan, ia tak 17
kenal siapa ibu tua itu.
5 Hiperbola Ia tidak akan berhenti mencari ibu tua itu, dari setiap jejak 19
yang ditinggalkannya.
6. Sudut Pandang
Cerpen ini menggunakan sudut pandang maha kuasa, karena pengarang menceritakan
semua tingkah laku tokoh-tokohnya, baik yang dikerjakan, dipikirkan, maupun yang
dirasakan para tokoh cerita.
7. Amanat
Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan dan waktu, karena itu tidak akan pernah
bisa kembali lagi.
8. Komposisi
a) Judul : Catatan yang Hilang
b) Pengarang : Novi Rovika
c) Ilustrasi : -
d) Paragraf : 19 Paragraf
7. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
9. Prediksi Kelanjutan Cerita
Mulai hari itu, ia sudah tidak tinggal di panti asuhan itu lagi, karena ia sudah memiliki
rumah sendiri. Dalam perjalanan menuju rumahnya itu, hanya ia isi dengan diam. Entah
mengapa, tapi ia lebih menikmatinya seperti ini. Suasana pun menjadi hening. Walau diam,
hatinya tetap menangis karena kembali teringat pada ibu tua itu. Bayangnya seakan-akan
masih melekat dalam ingatannya. Ia pun memejamkan mata untuk menenangkan diri. Tak
terasa, angin yang berhembus dari jendela mobil telah mengantarnya untuk terlelap.
Beberapa jam perjalanan tak terasa sama sekali karena ia tertidur pulas di dalam
mobil. Saat ia terbangun, ternyata ia sudah sampai di rumah barunya. Bergabung dengan
keluarga baru yang membuat hidupnya menjadi baru pula.
“Nak, kamu langsung istirahat saja di kamarmu ya? Kamu pasti lelah sekali.” Tanya ibu
angkatnya.
Ia pun langsung bergegas istirahat di kamarnya agar besok ia siap memulai aktivitas
besok.
Sinar mentari masuk melalui sela-sela gordin yang terbuka. Menyinari wajanya,
membuatnya terbangun karena tak kuasa menahan silau. Pagi cerah menyambutnya hari
ini, menyuruhnya bersiap untuk pergi ke sekolah. Ia bergegas untuk mandi dan langsung
menuju meja makan untuk sarapan.
Hari pertama sekolah, ia masih merasa canggung karena baru kali ini ia melanjutkan
sekolah lagi. Setelah sekian lama ia harus berhenti sekolah karena keterbatasan biaya.
Disana ia mendapatkan teman-teman baru yang bisa mengisi kekosongan di hatinya.
Namun tetap saja, sosok ibu tua itu tidak akan pernah bisa tergantikan oleh siapapun. Ia
pun menjalani hari pertamanya sekolah dengan semangat.
Bel sekolah telah berbunyi, menandakan proses kegiatan belajar telah usai. Lantas ia
duduk di sebuah kursi dekat pos satpam sembari menunggu orang tua angkatnya datang
untuk menjemputnya pulang. Entah karena lamunannya atau apa, ia tak sengaja melihat
ibu tua yang dicarinya itu ada di seberang jalan. Kelihatannya ia sedang menunggu
kendaraan umum lewat. Namun tiba-tiba sosok ibu tua itu menghilang saat sebuah bus
melewatinya. Sontak dia pun berlari mengejar bus yang sudah melaju itu.
8. Alby Alpiansyah S.
XII TOI 1
“Ibu... Ibu... Tunggu aku...”
Teriaknya seakan-akan meminta ibu itu untuk menanggapinya. Namun bus itu melaju
semakin kencang dan meninggalkan dia yang berhenti berlari karena kelelahan mengejar
bus itu.
Dia menangis ditepi jalan karena tidak bisa bertemu dengan ibu tua itu. Setelah ia bisa
menguasai dirinya kembali, ia kembali lagi ke sekolah karena tidak ingin membuat orang
tua angkatnya khawatir.
Seandainya tadi ia bisa menghentikan bus itu dan bertemu dengan ibu tua, pasti ia
akan merasa bahagia sekali. Karena pencariannya selama ini membuahkan hasil, namun
semuanya tidak terjadi. Tetapi malah menimbulkan pertanyaan dalam hatinya.
Kapan kesempatanku untuk bertemu dengan ibu tua itu datang lagi?
10. Penilaian
Cerpen ini memiliki jalan cerita yang mudah dipahami, dengan tutur bahasa yang
sederhana dan mudah dimengerti. Namun pembaca dibuat tidak tahu tentang nama para
tokohnya dan jenis kelamin si anak kecil tersebut.