1. BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Gulma merupakan tanaman pengganggu yang dapat merugikan bagi
pertumbuhan dan hasil tanaman dan lingkungan perairan serta aspek lainnya.
Beberapa sifat umum dari gulma adalah mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri (adaptasi) yang kuat dan mempunyai daya persaingan yang
tinggi. Gulma merupakan tanaman pengganggu bagi para petani maka
diperlukan usaha untuk mengendalikannya. pengendalian gulma (control) harus
dibedakan dengan pemberantasan (eradication). Pengendalian gulma (weed
control) dapat didefinisikan sebagai proses membatasi infestasi gulma
sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan
efisien.
Dalam pengendalian gulma tidak ada keharusan untuk membunuh
seluruh gulma, melainkan cukup menekan pertumbuhan dan atau mengurangi
populasinya sampai pada tingkat dimana penurunan produksi yang terjadi tidak
berarti atau keuntungan yang diperoleh dari penekanan gulma sedapat mungkin
seimbang dengan usaha ataupun biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain
pengendalian bertujuan hanya menekan populasi gulma sampai tingkat
populasi yang tidak merugikan secara ekonomik atau tidak melampaui ambang
ekonomik (economic threshold), sehingga sama sekali tidak bertujuan menekan
populasi gulma sampai nol.
Sedangkan pemberantasan merupakan usaha mematikan seluruh
gulma yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat-alat reproduksinya,
sehingga populasi gulma sedapat mungkin ditekan sampai nol. Pemberantasan
gulma mungkin baik bila dilakukan pada areal yang sempit dan tidak miring,
sebab pada areal yang luas cara ini merupakan sesuatu yang mahal dan pada
tanah miring kemungkinan besar menimbulkan erosi. Eradikasi pada umumnya
hanya dilakukan terhadap gulma-gulma yang sangat merugikan dan pada
tempat-tempat tertentu.
2. Pengendalian gulma pada prinsipnya merupakan usaha meningkatkan
daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Keunggulan
tanaman pokok harus menjadi sedemikian rupa sehingga gulma tidak mampu
mengembangkan pertumbuhannya secara berdampingan atau pada waktu
bersamaan dengan tanaman pokok.
Pelaksanaan pengendalian gulma hendaknya didasari dengan
pengetahuan yang cukup mengenai gulma yang bersangkutan. Apakah gulma
tersebut bersiklus hidup annual, biennial ataupun perennial, bagaimana
berkembang biaknya, bagaimana sistem penyebarannya, bagaimana dapat
beradaptasi dengan lingkungan dan dimana saja distribusinya, bagaimana
bereaksi terhadap perubahan lingkungan dan bagaimana tanggapannya
terhadap perlakuan-perlakuan tertentu termasuk penggunaan zat–zat kimia
berupa herbisida.
Pengendalian gulma harus memperhatikan teknik pelaksanannya di
lapangan (faktor teknis), biaya yang diperlukan (faktor ekonomis) dan
kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara mengendalikan gulma secara hayati?
b. Apa kelebihan dan kekurangan cara pengendalian gulma secara hayati?
3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui cara pengendalian gulma
secara hayati.
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengendalian gulma secara hayati
Gulma menimbulkan kerugian-kerugian karena mengadakan persaingan
dengan tanaman pokok, mengotori kualitas produksi pertanian, menimbulkan
allelopathy, mengganggu kelancaran pekerjaan para petani, sebagai perantara atau
sumber hama dan penyakit, mengganggu kesehatan manusia, menaikkan ongkos-
ongkos usaha pertanian dan menurunkan produktivitas air.
Pengendalian hayati (biological control) adalah penggunaan biota untuk
melawan biota. Pengendalian hayati dalam arti luas mencakup setiap usaha
pengendalian organisme pengganggu dengan tindakan yang didasarkan ilmu hayat
(biologi). Berdasarkan hal ini maka penggunaan Legum Cover Crops (LCC)
kadang-kadang juga dimasukkan sebagai pengendalian hayati. Pengendalian
hayati adalah suatu taktik yang penting diantara taktik-taktik pengendalian yang
lain.
Pengendalian hayati pada gulma adalah suatu cara pengendalian dengan
menggunakan musuh-musuh alami baik hama (insekta), penyakit (patogen), jamur
dan sebagainya guna menekan pertumbuhan gulma. Hal ini biasa ditujukan
terhadap suatu species gulma asing yang telah menyebar secara luas di suatu
daerah. Pemberantasan gulma secara total bukanlah tujuan pengendalian hayati
karena dapat memusnahkan agen-agen hayati yang lain.
1. Pengendalian Alami dan Hayati
Berdasarkan campur tangan yang terjadi maka dibedakan antara
pengendalian alami dan pengendalian hayati. Perbedaan utama terletak pada
ada atau tidaknya campur tangan manusia dalam ekosistem. Dalam
pengendalian alami disamping musuh alami sebagai pengendali hayati masih
ada iklim dan habitat sebagai faktor pengendali non hayati. Sedang pada
pengendalian hayati ada campur tangan manusia yang mengelola gulma
dengan memanipulasi musuh alaminya.
Pengendalian hayati merupakan metode yang paling layak dan
sekaligus paling sulit dipraktekkan karena memerlukan derajat ketelitian tinggi
4. dan serangkaian test dalam jangka waktu panjang (bertahun-tahun) sebelum
suatu organ pengendali hayati dilepas untuk pengendalian suatu species gulma.
Dasar pengendalian hayati adalah kenyataan bahwa di alam ada musuh-musuh
alami yang mampu menekan beberapa species gulma.
2. Musuh–musuh Alami Gulma
Ada beberapa syarat utama yang dibutuhkan agar suatu makhluk dapat
digunakan sebagai pengendali alami :
a. Makhluk tersebut tidak merusak tanaman budidaya atau jenis tanaman
pertanian lainnya, meskipun tanaman inangnya tidak ada.
b. Siklus hidupnya menyerupai tumbuhan inangnya, misalnya populasi
makhluk ini akan meningkat jika populasi gulmanya juga meningkat.
c. Harus mampu mematikan gulma atau paling tidak mencegah gulma
membentuk biji/berkembang biak.
d. Mampu berkembang biak dan menyebar ke daerah-daerah lain yang
ditumbuhi inangnya.
e. Mempunyai adaptasi baik terhadap gulma inang dan lingkungan yang
ditumbuhinya.
Pengendalian hayati gulma telah dilakukan di masa pra-kemerdekaan
yaitu di lembah Palu, Sulawesi Tengah terhadap gulta eksotik yaitu kaktus
Opuntia spp. Agen hayati yang digunakan adalah kutu putih Dactylopius
opuntiae yang diimpor dari Australia (1934) dan dibiakkan secara masal di
Bogor. Pada tahun 1935 kutu putih tersebut dilepas di padang penggembalaan
yang terinvestasi berat oleh kaktus tersebut. Dalam waktu 4 tahun kaktus
tersebut hanya dijumpai secara sporadik di tepi hutan saja sehingga program ini
dinilai berhasil secara sempurna. Program yang sama kemudian dilakukan di
Lombok Timur pada tahun 1940 dengan tingkat keberhasilan yang sama.
Kalshoven (1981 cit Sosromarsono, 2006).
Walaupun tidak ada laporan resmi mengenai kasus yang nyaris
berakibat fatal, dalam tahun 1939, sejenis kepik renda asli Amerika Selatan
(Telenomaena scrupulosa) diimpor dari Australia dengan tujuan untuk
mengendalikan Lantana camara. Pada waktu itu muncul pendapat yang
5. memperkirakan bahwa kepik itu mungkin akan menjadi hama pohon jati
kemudian kepik tersebut tidak dibiakkan dan dimusnahkan. Rupanya, sejumlah
kepik renda itu berhasil menyelinap keluar dari tempat pembiakkan dan dapat
bertahan hidup dan berkembang biak pada Lantana camara yang tumbuh
bersama-sama dengan tumbuhan liar lainnya. Pada dasawarsa berikutnya kepik
renda itu memencar di seluruh daerah Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
Pada tahun 1945 kepik itu dilepas dengan sengaja di Pulau Timor
untuk pengendalian Lantana camara di padang penggembalaan tetapi hasilnya
negatif sehingga sampai saat ini peran kepik tersebut sebagai agen
pengendalian hayati gulma kkurang mendapatkan perhatian.
Ada 3 hal penting yang harus diperhatikan dalam pengendalian hayati
di Indonesia. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan yang luas terdiri dari
ribuan pulau yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi khususnya
dalam fauna musuh alami yang mempunyai potensi untuk dapat dimanfaatkan
sebagai pengendalian hayati OPT pertanian. Kedua, pengendalian hayati klasik
terutama terhadap gulma eksotik yang menggunakan herbivor eksotik harus
direncanakan dan dilaksanakan secara berhati-hati dan cermat. Kekhususan
inang agen yang digunakan adalah faktor yang tidak dapat dikompromikan.
Ketiga, pengendalian alami oleh musuh alami asli setempat harus dimanfaatkan
semaksimal mungkin yang dapat dikombinasikan dengan taktik pengendalian
dalam sistem PHT.
Di masa kemerdekaan pengendalian hayati gulma mulai mendapat
perhatian lagi sejak pertengahan 70-an dengan meningkatnya perhatian untuk
mengendalikan gulma di perairan misalnya, eceng gondok.
Mangoendihardjo et al (1977) merupakan pioner dalam inventarisasi
serangga herbivor dan jamur yang berasosiasi dengan gulma air yaitu eceng
gondok (Salvinia molesta), Pistia striatalis, Alternanthera philoxeroides,
Ludwigia spp, Scripus grossus. Sebagian besar serangga yang ditemukan
adalah herbivor umum dan sebagian lagi adalah hama tanaman budidaya.
Agen hayati eksotik juga telah dicoba untuk mengendalikan gulma
eksotik di Indonesia.Pada tahun 1970-an sejenis kumbang moncong penggerek
6. eceng gondok Neochetina eichhorniae di impor dari Florida dan di teliti
sebagai calon agen hayati pengendali eceng gondok. Pada tahun 1979,
kumbang moncong tersebut dilepaskan di Rawa Pening, Jawa Tengah dan
dilaporkan dapat mapan serta memencar secara alami di daerah lain di Jawa
Tengah.
Meskipun kumbang tersebut dapat mapan tetapi tidak dapat
mengendalikan eceng gondok secara efektif. Hal ini diduga salah satu faktor
penyebabnya terutama di sungai dan danau ialah adanya kehanyutan koloni
eceng gondok di musim hujan karena aliran air yang deras. Karena faktor
itulah populasi kumbang turun drastis dan lambat pulih sedang populasi eceng
gondok pulih secara cepat.
Pengendalian hayati gulma yang paling belakangan ialah
pengendalian Mimosa diplotricha dengan kutu loncat eksotik asal Brazil,
Heteropsylla spinulosa yang diimpor dari Australia oleh Biotrop. Pelepasan
pertama dilakukan di Sukabumi dan Bogor tahun 2003, dilaporkan bahwa kutu
loncat tersebut dapat mapan di semua tempat pelepasan namun populasinya
rendah. Salah satu sebabnya diduga bahwa terdapat parasitoid yang menyerang
kutu tersebut.
Kelebihan menggunakan cara pengendalian gulma secara hayati
adalah aman bagi lingkungan sekitar, bersifat permanen, dan perlakuan pada
tanaman mudah. Kerugian menggunakan cara pengendalian gulma secara
hayati yaitu memerlukan modal investasi yang besar.
7. BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari cara pengendalian gulma
tanaman sebagai berikut:
a. Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu proses pertumbuhan
tanaman yang dikembangkan.
b. Pengendalian hayati merupakan salah satu cara pengendalian gulma
tanaman.
c. Pengendalian mempunyai keunggulan yaitu bersifat aman bagi
lingkungan dan hasilnya permanen
d. Pengendalian gulma juga memiliki kekurangan yaitu memerlukan modal
investasi yang besar
e. Penegendalian gulma yang tepat dapat menambah jumlah produksi suatu
tanaman.
8. DAFTAR PUSTAKA
Alfi. 2013. Penegendalian gulma. Pertanian-pengendaian-gulma.html. Diakses
pada tanggal 9 desember 2013
Ronoprawiro, S. 1992. Gulma Sebagai Lawan dan Kawan Dalam Kehidupan
Manusia. Pidato Pengukuhan Jabatan Gurubesar dalam Ilmu
Pertanaian pada Fakultas Pertanian UGM. 13 Februari 1992.
Yogyakarta. 23 hal.
Soerjani, M., S. Tjitrosemito, dan Kasno. 1979. Pengendalian Terpadu Sebagai
Usaha Pengendalian Penyakit Tanaman Dalam Hubungannya Dengan
Masalah Gulma. Makalah Prasaran undangan (invited lecture) pada
Konggres Nasional ke-5, Perhimpunan Fitopatologi Indonesia di
Malang 18-20 Januari 1979. 19 hal.
Sosromarsono, S. 2006. Pengendalian Hayati Organisme Pengganggu Tanaman di
Indonesia: Pengalaman Enam Dasawarsa terakhir. Dalam
Soemadihardjo, S. dan S.D. Sastrapradja (Penyunting): Enam
Dasawarsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia, Naturindo, Bogor. Hal
155-184.
Triharso, 1978. Beberapa gatra pengendalian penyakit tanaman dan kemungkinan
penerapannya di Indonesia. Pidato pengukuhan sebagai Gurubesar
dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan pada Fakultas Pertanian UGM. 25
Nop. 1978. Yogyakarta, 33 hal
9. KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makah ini dengan baik yang berjudul “ Pengendalian Gulma dan
Pemanfaatannya”.
Penyusunan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan teman-teman serta
dosen kami. Sehingga makalah ini terselesaikan dengan tepat waktu.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karna itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Raha, November 2014
10. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................
BAB II : PEMBAHASAN...........................................................................
A. Pengendalian gulma secara hayati...............................................
B. Pengendalian secara alami dan hayati.........................................
C. Musuh- Musuh alami gulma..........................................................
BAB III : PENUTUP...................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA