SlideShare a Scribd company logo
1 of 193
Download to read offline
Subandono Diposaptono
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
Direktorat Pesisir dan Lautan
Gedung Mina Bahari II Lt. 7
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16
Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059
Mitigasi
Bencana
dan
Adaptasi
Perubahan
Iklim
Subandono
Diposaptono
Dalam 7 tahun terakhir ini bencana alam di
Indonesia datang silih berganti. Usai gempa
dan tsunami dahsyat di kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (26/12/2004) yang menewaskan
lebih dari 200.000 orang, hanya berselang tiga
bulan gempa bumi mengguncang Pulau Nias,
Sumatera Utara.
Setelah itu Yogjakarta juga dihantam gempa,
Sidoarjo meluap lumpur panasnya, pantai selatan
Jawa Barat disapu tsunami, dan di berbagai kota
direndam banjir. Lagi-lagi, gempa dan tsunami juga
menyapu Kepulauan Mentawai (25/10/2010).
Semua bencana tersebut menimbulkan
luka mendalam. Ratusan ribu orang kehilangan
nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi
lingkungan pun babak belur.
Kini, masyarakat dunia --termasuk Indonesia—
harus menghadapi perubahan iklim dengan segala
dampaknya seperti banjir, kekeringan, badai,
pergeseran musim, kenaikan muka laut, dan lain
sebagainya.
Semua fenomena tersebut membutuhkan
berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi
perubahan iklim. Dan di buku inilah Anda akan
mendapat pengalaman menarik bagaimana
menghadapi berbagai bencana tersebut.
9 789791 291033
ISBN 978-979-1291-03-3
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo
Subandono Diposaptono
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
Direktorat Pesisir dan Lautan
2011
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia
Oleh Direktorat Pesisir dan Lautan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Penulis		 : Subandono Diposaptono
Design Graphic : Amir
Cover		 : Deky Rahma Sukarno
Hak cipta dilindungi Undang-undang
dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo
Diterbitkan oleh:
Direktorat Pesisir dan Lautan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan
xvi + 176 halaman, 11,5 cm x 17,5 cm
ISBN: 978-979-1291-03-3
Sambutan
Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia
Sejarah mencatat, Indonesia sepertinya tak pernah terbe-
bas dari bencana alam. Gempa bumi dan tsunami datang
silihberganti.Halinidapatdimaklumikarenasecarageografis,
posisi Indonesia berada pada jalur cincin api (ring of fire) dan
pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Se-
lain gempa dan tsunami, posisi Indonesia di katulistiwa yang
diapit oleh dua benua besar mengakibatkan adanya dinamika
iklim yang pada banyak kejadian memicu meningkatnya ban-
jir, rob, longsor, kekeringan, abrasi, dan lain-lain.
Menyadari kita berada di daerah rawan bencana alam
itulah, pemerintah memiliki komitmen nyata bagi upaya mi-
tigasi bencana. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014. RPJM
menegaskan dan mengamanatkan penanggulangan bencana
sebagai prioritas pembangunan. Komitmen dan konsistensi
Pemerintah dalam pengurangan resiko bencana tersebut
telah diapresiasi oleh berbagai pihak. Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) baru-baru ini memberikan penghargaan ber-
gengsi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
vi
Global Champion for Disaster Risk Reduction. Apresiasi dari
masyarakat internasional ini menjadi pengingat bagi kita agar
selalu konsisten dan tetap waspada terhadap bencana alam
yang setiap saat mengintai kita.
Seiring dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan
juga telah, sedang, dan akan selalu melakukan mainstream-
ing (pengarusutamaan) mitigasi atau pengurangan risiko ben-
cana ke dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Dalam konteks pengurangan resiko bencana itulah, kami
menyambut baik terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana
dan Adaptasi Perubahan Iklim yang ditulis Subandono Di-
posaptono. Dari buku inilah masyarakat dapat belajar banyak
hal bagaimana melakukan mitigasi bencana agar kita dapat
memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya.
Buku ini juga dapat membantu kita dalam melakukan
berbagai upaya adaptasi perubahan iklim yang sekarang ini
menjadi persoalan serius bukan saja di Tanah Air, tetapi juga
segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Dengan kata
lain, iklim yang telah berubah secara global ini membutuh-
kan usaha bersama dari seluruh penduduk dunia agar masa
depan Bumi dapat lestari.
Jakarta, Desember 2011
Menteri Kelautan dan Perikanan
Sharif Cicip Sutardjo
vii
Pengantar
Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
Kami layak memberi apresiasi atas terbitnya buku berjudul
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim yang
sedang Anda baca ini. Buku yang ditulis oleh Subandono
Diposaptono ini dapat membantu kita semua memahami
berbagai pemikirannya tentang pengurangan risiko bencana
alam seperti gempa, tsunami, banjir, rob, dan perubahan
iklim di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pemahaman mengenai fenomena bencana alam tersebut
sangatlah penting untuk memberi bekal bagi masyarakat
Indonesia yang secara geografis memang berada di wilayah
rawan bencana geologis dan hidrometeorologis. Dengan
demikian setiap terjadi bencana alam kita lebih siap
menghadapinya.Bukanbersikapsebaliknya,diliputirasatakut
dan panik yang berlebihan. Sikap emosional yang berlebihan
semacam itu justru hanya menambah penderitaan.
Menghadapi gempa dan tsunami kita dapat belajar dari
Jepang. Meskipun tsunami menghajar pantai Sanriku, Jepang
viii
setinggi 10-20 meter pada 11 Maret 2011 dan memporak-
porandakan kawasan pesisir tersebut, namun jumlah korban
yang tewas tergolong minim. Hal ini disebabkan mereka su-
dah memahami berbagai hal mengenai gempa dan tsunami.
Berbagaiupayamitigasiitudisiapkanmulaidarimelindungi
kawasan strategis di sekitar pantai baik secara fisik maupun
nonfisik, membangun sistem peringatan dini, mengevakuasi
diri sebelum tsunami menerjang, hingga langkah-langkah
strategis selama masa tanggap darurat dan pascabencana
guna membantu para korban yang selamat dan memulihkan
kembali lingkungan yang hancur tersebut.
Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang peduli terhadap berbagai upaya untuk memahami
bencana alam dan perubahan iklim.
Jakarta, November 2011
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Dr. Syamsul Maarif, MSi
ix
Sekapur Sirih dari Penulis
Tujuh tahun terakhir ini bencana alam datang silih berganti.
Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa
bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR). Seluruh kota
lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus listrik dan telepon
putus total. Bandara Nabire juga mengalami kerusakan serius
sehingga jadwal penerbangan sempat ditunda.
Tepatsebulansetelahitu,gilirankawasanpesisirNanggroe
Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami
yang ditimbulkan oleh gempa tektonik yang berpusat di
Samudra Hindia dan berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih
dari 200.000 orang.
Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya
berselang sekitar tiga bulan, tepatnya 28 Maret 2005, gempa
bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Bangunan
rumah dan perkantoran di kawasan pesisir itu juga babak
belur dihantam gempa.
Lalu, sejak Mei 2006 hingga 2010 berbagai bencana me-
landa kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi Jogjakarta,
meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas Sido-
ardjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang,
banjir di DKI Jakarta, tanah longsor di Manggarai, NTT, gempa
bumi di Solok, gelombang pasang yang menghantam pesisir
di belasan provinsi yang menghadap Samudra Indonesia, dan
lain sebagainya.
Masih lekat dalam ingatan kita ketika di kegelapan malam,
Senin 25 Oktober 2010, Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua
pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi
7 meter. Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar
400 orang dan lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak
diketahui jasadnya.
Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berke-
kuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlantakkan permu-
kiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa
saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi
telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan di-
terjang tsunami
Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam.
Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana
dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak
belur. Menurut hitungan, kerugian material dan kerusakan
lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.
Selain berbagai bencana alam tersebut, masyarakat du-
nia, tak terkecuali Indonesia juga sedang diguncang isu peru-
bahan iklim. Berbagai indikator itu telah ada di depan mata
kita. Frekuensi cuaca ekstrim (banjir, kekeringan, dan badai)
misalnya, makin sering terjadi akhir-akhir ini sebagai dampak
dari perubahan iklim.
Indikator lainnya, masyarakat di berbagai daerah juga
mengalami pergeseran musim yang tentu saja mengubah
cara mereka bercocok tanam dan menangkap ikan. Di daerah
xi
lain, suhu udara kian menyengat dibandingkan dengan 20
tahun silam.
Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai
upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana dan adaptasi perubahan iklim
membuat kita dapat menyesuaikan diri dengan suasana
lingkunganyangbaruagarkitatetapdapathidupdenganaman
dan nyaman. Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan,
kami ingin menyumbangkan beberapa pemikiran ke arah itu.
Istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbe-
da dengan istilah “mitigasi” dalam terminologi bencana. “Mi-
tigasi” dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari
sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam da-
lam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi perubah-
an iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan
iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
Sebagai contoh, dalam kasus dampak asap terhadap sesak
nafas akibat kebakaran hutan. Upaya mitigasi dampak asap
dilakukan dengan memadamkan kebakaran sehingga dapat
mengurangi atau menghilangkan dampak asap terhadap
sesak nafas akibat kebakaran hutan. Sedangkan upaya
adaptasi dilakukan dengan menggunakan masker penutup
hidung sehingga dampak asap kebakaran hutan terhadap
sesak nafas dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Salah
satu contoh lain untuk memudahkan dalam memahami dan
membedakan istilah mitigasi dan adaptasi dalam perubahan
iklim adalah saat seseorang berada di ruang yang dingin
akibat menggunakan alat pendingin ruangan (air conditioner
xii
atau AC). Upaya untuk mengurangi risiko dampak kedinginan
dapat dilakukan dengan mitigasi dan adaptasi.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan menaikkan suhu
AC sehingga ruangan menjadi lebih hangat dan nyaman. Se-
mentara itu, upaya adaptasi dapat dilakukan dengan meng-
gunakan pakaian penghangat badan (jaket). Kedua kegiatan
tersebut sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/ri-
siko terhadap kedinginan yang ditimbulkan oleh AC.
Sementara itu, “mitigasi” dalam terminologi bencana di-
definisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi
risiko/dampak akibat bencana baik oleh alam maupun ma-
nusia. Jadi istilah ‘mitigasi” dalam bencana sudah mencakup
mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim. Mitigasi dan
adaptasi dalam perubahan iklim sama-sama ditujukan untuk
mengurangi dampak/risiko akibat perubahan iklim.
Padakesempatanyangbaikini,kamimenghaturkanterima
kasih kepada pengelola media massa cetak seperti Kompas,
Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Media
Indonesia, Majalah Samudra, Tempo, Gatra, dan Jurnal
Dinamika Masyarakat. Media-media tersebut telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk menuangkan berbagai
pemikiran mitigasi bencana kepada masyarakat luas.
Kami menyadari buku ini laksana setetes air di samudra
luas. Karena itu, segala masukan dan kritikan sangat berarti
bagi kami agar buku kecil ini menjadi lebih sempurna di
kemudian hari.
Jakarta, November 2011
Subandono Diposaptono
xiii
– Jika kita bertindak dan bencana terhindarkan, maka kita
mencegah penderitaan manusia yang berat.
– Jika kita bertindak dan tidak ada bencana, maka kita tidak rugi
dan mendapatkan keuntungan berupa lingkungan.
– Jika kita tidak bertindak dan terjadi bencana, akan ada tragedi
global.
– Jika kita tidak bertindak dan tidak ada bencana, akibatnya
akan tergantung semata-mata pada peruntungan.
				 (Barry Jones, 1990)
Bumi ini cukup untuk kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak
cukup untuk semua keinginan manusia.
				 (Mahatma Gandhi)
Jadikan mitigasi dan adaptasi bagian dari keseharian hidup
kita untuk mendorong iklim perubahan dan mengerem
perubahan iklim.
xiv
Daftar Isi
v Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
vii Pengantar Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana
ix Sekapur Sirih dari Penulis
1 1. Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami?
5 2. Mengakrabi Tsunami
13 3. Mitos-Mitos Tsunami
17 4. Hidup Bersama Gempa
22 5. Membangun Rumah, Menahan Gempa
27 6. Mampukah Meramal Tsunami?
35 7. Mitigasi Hindarkan Korban Gempa dan Tsunami
44 8. Saatnya Merevolusi Mitigasi Gempa dan Tsunami
48 9. Mendesak, Mitigasi Tsunami Berbasis Masyarakat
53 10. Mengenang Tsunami Aceh 2004: Belajar
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascatsunami dari
Okushiri
58 11. Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan
67 12. Membangun Selatan Jawa Pascatsunami
xv
79 13. Menghalau Banjir
85 14. Rob di Tengah Isu Pemanasan Global
90 15. Meredam Banjir Rob
96 16. Mengantisipasi Gelombang Pasang
102 17. Penambangan Pasir dan Ekologi Laut
110 18. Memanfaatkan Lumpur Sidoarjo
116 19. Meredam Abrasi dengan Tuntas
132 20. Dampak Pemanasan Global: Pulau-pulau Kecil
Terancam Tenggelam
138 21. Potensi Bencana di Indonesia dan Sosialisasinya
151 22. Meningkatkan Sinergitas Penanggulangan Bencana
di Indonesia
166 23. Merencanakan Pengelolaan Pesisir Berbasis
Mitigasi Bencana
175 Sekilas Penulis
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Sampai Kapan Berjibaku
dengan Tsunami?
I
ndonesia kembali berduka. Di kegelapan malam, Senin
(25/10/2010), Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau
di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi
sekitar 7 meter.
Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400
orang. Selain itu, lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak
diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi
tektonik berkekuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlan-
takkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan
bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan,
sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran
dientak gempa dan diterjang tsunami.
1
MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Kita memang dibuat terpana atas tragedi tsunami yang
kian sering melanda kawasan pesisir. Berdasarkan catatan
penulis, selama tahun 1600 sampai 2010, Indonesia telah
mengalami 110 kejadian tsunami. Artinya, dalam rentang
waktu tersebut, kita mengalami tsunami setiap sekitar 4
tahun. Namun, sejak tahun 1960 hingga 2010, kejadian tsu-
nami semakin meningkat. Dalam rentang 50 tahun terakhir
ini terjadi 23 tsunami atau sekitar setiap dua tahun tsunami
melanda pesisir Indonesia.
Sangatlah sulit menjelaskan secara ilmiah alasan tsu-
nami lebih kerap terjadi belakangan ini. Kita hanya paham,
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng Bumi, yak-
ni Eurasia, Indo-Australia, dan Samudra Pasifik, yang terus
bergerak dan bertumbukan. Kondisi ini sangat berpotensi
menimbulkan gempa dan tsunami.
Hingga kini, ilmu pengetahuan dan teknologi juga
belum mampu menjawab kapan gempa dan tsunami terjadi.
Tragedi itu bisa terjadi kapan saja, menyergap yang lengah.
Bagaimana kiat agar kita dapat hidup aman di daerah
rawan tsunami? Tak ada cara lain, kita harus selalu siap siaga
dalam berjibaku dengan tsunami. Strategi awal yang paling
mujarab adalah membekali diri kita dengan pengetahuan
tsunami.
Pakar dari Jepang, Prof Tomostuka Takayama dan
Dr Susumu Murata, yang berbicara di Jakarta, Rabu
(27/10/2010), menuturkan pengalaman mereka meneliti
berbagai kasus tsunami, baik di Jepang maupun Cile.
Menurut mereka, orang-orang yang selamat dari terjangan
tsunami adalah yang memiliki pengetahuan dan memori
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
tentang tsunami. Sebaliknya, orang- orang yang tidak punya
bekal pengetahuan tersebut bakal menjadi korban sia-sia
tsunami. Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi tentang
tsunami perlu terus digalakkan.
Ketika tsunami terjadi, tak banyak waktu untuk
menyelamatkan diri. Kecepatan berlari manusia sangat tidak
seimbang dengan kecepatan tsunami di daratan yang dapat
mencapai 30-40 km per jam. Dengan kecepatan sebesar
itu, manusia yang berdiri tegak dan tenang sekalipun tak
mampu bertahan dari empasan tsunami. Apalagi dalam
kondisi panik, tubuh kita mudah tergelincir, hanyut, dan
akhirnya tewas tenggelam.
Kitajagoberenang?Tampaknyakeahlianitutidakberarti
apa-apa karena arus tsunami terus menggulung selama
puluhan menit. Arus itu menyeret dan menenggelamkan
tubuh kita semakin jauh ke tengah laut.
Jadi, janganlah sekali-sekali berjibaku langsung dengan
tsunami. Begitu Bumi terasa bergetar digoyang gempa,
lekaslah berlari menjauhi pantai dan mencari tempat yang
tinggi dan aman (bukit, bangunan bertingkat yang kokoh,
atau pohon) tanpa harus menunggu peringatan. Kalau tidak
ada tempat aman, sebaiknya segera dibuat shelter atau
menara evakuasi. Shelter ini dibangun di tempat- tempat
strategis agar mudah dan cepat dijangkau masyarakat.
Begitu juga ketika air laut surut mendadak. Janganlah
tergoda pada ikan menggelepar di dasar laut yang surut.
Tinggalkan segera pantai tersebut, lalu berlindunglah ke
tempat yang aman dari jangkauan tsunami.
Bagi Anda yang sedang berada di perahu motor atau
MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
kapal, segera lajukan ke tengah laut. Langkah ini setidaknya
memiliki dua manfaat. Pertama, perahu atau kapal tersebut
tidak hanyut dan terseret ke darat sehingga tidak merusak
bangunan yang diterjangnya.
Kedua, kapal beserta awaknya dapat selamat. Hal ini
bisa terjadi karena kendati kecepatan tsunami di laut dalam
(deep sea) lebih besar daripada di laut dangkal (shallow
water), ketinggian tsunaminya masih rendah. Kapal pun
dapat melaju dengan aman dan terkendali.
Bagi kawasan pesisir yang memiliki aset ekonomi
vital, saatnya melindunginya dengan berbagai bangunan
pelindung. Bangunan semacam ini dapat meredam tsunami
yang akan menerjang permukiman dan bangunan vital
lainnya.
Tak kalah penting adalah setiap kabupaten/kota yang
rawan tsunami membuat peta risiko tsunami sebagai
landasan penataan kawasan dan pembangunan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil agar aman dari terjangan
tsunami.
Kalau saja langkah-langkah pintar tersebut dipakai,
niscaya kita tidak mudah takluk berjibaku dengan tsunami
yang setiap saat mengintai kita.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 30 Oktober 2010.
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Mengakrabi Tsunami
L
agi-lagi kita dibuat sangat prihatin. Kendati telah
puluhan kali tsunami menerjang kawasan pesisir
Indonesia, masyarakat luas masih belum memahami
fenomena itu. Itulah yang baru saja terjadi di kawasan pesisir
utara Kabupaten Serang, Banten, baru-baru ini. Ya, pada
Sabtu (5/9/2009) malam, cuaca di kawasan itu memang tak
bersahabat. Hujan dan angin bertiup kencang. Banjir rob
pun melanda kawasan tersebut.
Di tengah-tengah situasi yang tak wajar itu, beberapa
orangsengajamengembuskanisutsunami.Akibatnya,warga
pun berhamburan. Mereka panik, berlarian menyelamatkan
diri sehingga seorang warga meninggal karena kelelahan
dan tujuh orang pingsan karena panik (Kompas, 7/9/2009).
Korban sia-sia seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi
andaisajamasyarakatmengertidanpahamtentangtsunami.
2
MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Tsunami hanya terjadi jika ada gempa di dasar laut, letusan
gunung api di laut, longsoran di laut, atau benda langit
(meteor) dalam ukuran besar jatuh ke laut. Di luar penyebab
itu, Anda tak perlu cemas dan panik.
Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi
korban jiwa akibat tsunami? Berkaca pada pengalaman Je-
pang yang sering diterjang tsunami, upaya tersebut adalah
dengan melakukan mitigasi tsunami, baik secara fisik mau-
pun nonfisik.
Kedua sistem tersebut bisa saling melengkapi, bergan-
tung pada daerah rawan tsunami yang akan ditinjau. Oleh
karena itu, dalam melakukan upaya mitigasi, perlu dipertim-
bangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Pelaksa-
naannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait.
Mitigasi nonfisik
Mitigasi nonfisik yang perlu segera dilakukan adalah
pembuatan peta rawan tsunami. Langkah berikutnya mela-
kukan sosialisasi, penyadaran, pelatihan, geladi (drill), dan
memberikan penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait
dengan tsunami, mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami,
dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat-
kan diri.
Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok
daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat
penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu
dilakukan dengan cara yang lebih menarik.
Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang
benar-benar merakyat, seperti pengajian akbar, wayang
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
(golek, orang, atau kulit, Cenk Blonk), ketoprak, dangdut,
teater rakyat atau kesenian daerah yang lain. Melalui cara
penyampaian yang berakar pada budaya mereka sendiri,
tsunami bisa dengan mudah mereka pahami.
Pengalaman Departemen Kelautan dan Perikanan
dalam melakukan sosialisasi bencana gempa dan tsunami
di berbagai daerah melalui media hiburan perlu terus
digalakkan. Bukan apa-apa, daya tarik hiburan semacam ini
bisa menjadi magnet bagi ribuan warga.
Ditengah-tengahhiburanitulahkitabisamenyampaikan
penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh
mereka tentang bencana gempa dan tsunami. Dengan
demikian, mereka bisa mengenal gejala, karakteristik, ciri-
ciri, dan dampak gempa dan tsunami. Dari sini mereka
mendapatpengetahuanmengenaicara-caramenyelamatkan
diri dari bencana itu.
Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me-
reka, juru penyuluh bisa menambahkan materi nilai-nilai ke-
agamaan yang menerangkan hubungan di antara manusia,
“Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan
untuk mengurangi korban jiwa akibat
tsunami? Ada dua upaya yang bisa
dilakukan adalah dengan melakukan
mitigasi tsunami, baik secara fisik
maupun nonfisik.”
MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
alam, dan lingkungannya.
Harus diakui, kita masih sangat lemah soal sosialisasi.
Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat terhadap
tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu
menelan banyak korban jiwa dan harta benda.
Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut
seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang
menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama
setelah itu mereka menjadi korban keganasan tsunami.
Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum
memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang
mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika pesisir utara
Kabupaten Serang dilanda rob. Mereka yang tinggal di pe-
sisir berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk me-
nyelamatkan diri menghindari tsunami.
Padahal, secara ilmiah, tsunami hanya terjadi apabila
ada faktor pemicu, seperti gempa bumi di laut, meletusnya
gunung api di laut, atau longsoran tanah di laut. Seperti
pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Selain mereka
menjadi korban meninggal, pingsan, dan luka-luka saat
melarikan diri, rumah yang mereka tinggalkan juga kerap
menjadi sasaran penjarah oleh oknum yang memang ingin
mengail di air keruh.
Perlu dicatat, tidak semua gempa bumi di laut menye-
babkan tsunami. Tsunami terjadi apabila gempa di dasar laut
memiliki kekuatan lebih dari 6,5 skala Richter, pusat gempa-
nya termasuk dangkal (kurang dari 60 kilometer dari dasar
laut), dan sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan
deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Itulah mengapa
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
gempa bumi Tasikmalaya tidak menimbulkan tsunami. Jadi,
kalau ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, jangan panik,
tsunami tak akan terjadi.
Mitigasi secara nonfisik lainnya perlu dilakukan, seper-
ti memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang
yang aman. Pemerintah daerah harus konsisten dalam me-
negakkan peraturan dan tata ruang. Artinya, kalau memang
kawasan itu dianggap rawan tsunami, janganlah sekali-seka-
li memanfaatkan kawasan tersebut untuk ruang usaha atau
peruntukan lainnya.
Siapa pun yang melanggar, wajib dikenai sanksi. Sebab,
kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami mener-
jang, korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya
manusia yang beraktivitas di sana.
Mitigasi secara fisik
Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu-
payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya,
yaitu dengan menanam berbagai pohon, seperti mangrove,
cemara laut, waru laut, dan ketapang, disesuaikan dengan
kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah dilakukan,
murah, dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsu-
nami yang menjalar hingga ke daratan.
Selain itu, benda-benda yang berada di pantai, seperti
kapal dan perahu, juga bisa tertahan oleh vegetasi ini sehing-
ga jumlah korban dan kerusakan bangunan bisa diperkecil.
Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami
dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas.
Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang
10 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa
atau pohon lain yang banyak berjajar di pantai. Caranya,
lubangi batang tersebut secukupnya sehingga bisa memu-
dahkan manusia memanjat pohon ketika tsunami terjadi.
Pada ketinggian tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau
lonceng sebagai alat bantu untuk minta pertolongan atau
memberikan peringatan kepada masyarakat.
Selain itu, di sepanjang daerah rawan tsunami juga bisa
saja dibuat prasarana dan sarana pengendali, seperti mem-
bangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelombang
(break water). Cara ini memang butuh ongkos tinggi.
Namun, biaya untuk membuat tembok laut tersebut ti-
dak ada artinya dibandingkan dengan aset-aset vital bernilai
ekonomi tinggi yang ingin dilindungi, seperti kilang minyak,
industri padat modal, dan kawasan strategis lainnya. Di
Gambar 4.1 Vegetasi tanaman di pinggir pantai berfungsi meredam
kekuatan tsunami.
11
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
beberapa kawasan pantai Jepang, mereka juga memben-
tenginya dengan tembok sampai pada ketinggian yang su-
dah tidak terjangkau lagi oleh tsunami.
Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat
sehingga tahan terhadap guncangan gempa. Rumah pang-
gung, baik terbuat dari kayu maupun beton, bisa menjadi
alternatif karena tidak mudah roboh akibat terjangan tsuna-
mi. Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan
pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran tsunami.
Ditempat-tempatyangjauhdaribukitdanpenduduknya
padat perlu dibuat selter (shelter). Bangunan ini sebaiknya
bertingkatdanterbuatdaribetonyangkokohsehinggatahan
terhadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, selter
Gambar 4.2 Bukit berfungsi sebagai tempat evakuasi ketika terjadi
tsunami juga dapat melindungi tanaman dari uap air laut.
12 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan,
tempat rekreasi, dan lain-lain. Namun, ketika tsunami, selter
bisa dipakai sebagai tempat berlindung.
Jika lahan terbukanya luas tetapi tidak punya bukit,
bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya untuk
menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu
terjadi tsunami. Bukit tersebut bisa dibuat dari urukan
tanah dengan sistem terasering sehingga dapat diakses dari
berbagai arah.
Tinggi selter dan bukit buatan itu disesuaikan dengan
tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjangkau lokasi
tersebut. Usahakan bukit dan selter tersebut bisa ditempuh
oleh warga dalam waktu kurang dari 15 menit.
Melalui berbagai upaya mitigasi secara nonfisik dan
fisik seperti itu, niscaya kita lebih arif dan bijaksana dalam
menghadapi setiap tsunami. Dengan begitu, ke depan kita
senantiasa bisa hidup akrab dengan tsunami yang setiap kali
mengintai.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 8 September 2009.
13
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Mitos-Mitos Tsunami
M
engapa jumlah korban tsunami Jepang 2011
relatif kecil? Salah satu faktornya adalah karena
masyarakat Jepang memiliki pengetahuan tsu-
nami yang sangat baik. Hal ini berbeda dengan di Indonesia,
Thailand, dan Sri Lanka yang minim pengetahuan sehingga
menelan lebih banyak korban.
Pengetahuanyangbaiktentangtsunamiakanmembantu
kita selamat dari amukan si gelombang pembunuh. Lalu,
apa mitos-mitos yang selama ini berkembang di masyarakat
yang membuat mereka menjadi korban, termasuk juga di
Jepang pada tempo dulu?
Mitos Keliru
Mitos pertama adalah tsunami terjadi akibat gempa
yang kuat, sebagaimana anggapan masyarakat Mentawai.
3
14 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
PengetahuaninidiperolehdaripengalamangempaBengkulu
(2007). Gempa tersebut terasa kuat hingga ke Mentawai,
namun tsunami tak terjadi di Mentawai.
Memori inilah yang melekat di benak mereka ketika 25
Oktober 2010 Mentawai digoyang gempa dan getarannya
lemah. Mereka pun merasa tenang-tenang saja dan tidak
melakukan evakuasi. Sekitar 14 menit setelah gempa, tsu-
nami menyapu mereka yang tak sigap. Fakta menunjukkan,
hampir 10 persen tsunami yang terjadi di dunia diakibatkan
oleh gempa bumi di laut yang getaran gempanya terasa le-
mah.
Mitos kedua adalah tsunami didahului laut surut
secara mendadak. Ketika terjadi tsunami 2004, sebagian
masyarakat Sri Lanka memiliki mitos bahwa tsunami akan
didahului laut surut secara mendadak. Ternyata mereka
keliru, tsunami langsung menyapu kawasan pesisir, tidak
didahului oleh laut surut mendadak.
Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Fakta menunjuk-
kan, hampir 10 persen tsunami di dunia tidak didahului laut
surut mendadak. Hal ini juga terjadi di Papua akibat tsunami
Jepang 2011.
Mitos ketiga adalah tsunami tidak terjadi ketika getaran
gempanya kuat, di musim dingin, dan langit yang cerah. Pada
15 Juni 1896 saat terjadi gempa, langit di Sanriku (Jepang)
berawan tebal dengan cuaca sangat panas dan lembab.
Getaran gempa terasa sangat lemah. Setelah itu, Sanriku
disapu tsunami dahsyat setinggi 38 meter.
Berdasarkan peristiwa tersebut, masyarakat lalu mem-
buat persepsi sendiri: “Jika getaran gempanya lemah maka
15
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
tsunami yang terjadi besar, dan tsunami terjadi pada musim
panas ketika udara lembab dan hujan.” Ketika pengetahuan
ini diceritakan turun-temurun maka berkembanglah mitos
baru yang yang keliru: “Apabila getaran gempanya kuat
maka tsunami yang terjadi lemah (kecil), tsunami tidak ter-
jadi pada musim dingin, dan tsunami tidak terjadi di hari
cerah.”
Kemudian pada 3 Maret 1933, Sanriku dihentak gempa
kuat pada musim dingin dengan cuaca cerah. Apa yang
terjadi? Masyarakat yang menganut mitos keliru tadi tidak
melakukan evakuasi. Mereka yakin, tsunami tidak terjadi
ketika getaran gempanya kuat, di musim dingin, dan langit
yang cerah. Akibatnya korban pun berjatuhan.
Padahal tsunami dapat terjadi pada gempa yang lemah
atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apa pun. Syarat
terjadinya tsunami adalah gempa di laut berkekuatan
lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya kurang dari 60 km, dan
mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar.
Mitos keempat, gelombang pertama tsunami meru-
pakan gelombang terbesar. Akibat mitos keliru ini seorang
warga Holtekamp Jayapura menjadi korban tsunami Jepang
2011. Setelah gelombang pertama setinggi satu meter yang
menghantam Holtekamp pukul 21.15 WIT berlalu, dia ber-
maksud kembali ke rumah.
Tetapi apa daya, ia dihantam gelombang kedua setinggi
2-3 meter yang datang pada pukul 21.50 WIT. Fakta
menunjukkan, tsunami terdiri dari 1- 5 gelombang dengan
gelombang ke-2 atau ke-3 yang terbesar.
16 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Kearifan Lokal
Lalu apa kiat agar selamat dari tsunami? Belajar dari
kearifan lokal adalah hal yang penting. Masyarakat di Pulau
Simelue sudah lama memiliki tradisi smong, segera angkat
kaki ketika merasakan gempa yang terjadi di laut. Mereka
pun melakukan evakuasi menuju dataran tinggi agar tidak
tersentuh gelombang tsunami. Berkat smong itulah, kendati
kawasan pesisir Simelue luluh lantak disapu tsunami 2004
namun hampir semua masyarakatnya selamat.
KearifanlokalInamuranohidiJepangjugamenarik.Jauh
sebelum teknologi peringatan dini tsunami berkembang
seperti saat ini, seorang tokoh masyarakat, Hamaguchi,
punya kiat tersendiri. Di kegelapan malam, pada tahun
1854, kawasan Wakayama digoyang gempa.
Ia merasakan ada sesuatu yang ganjil, namun tak mung-
kin memberi tahu kepada semua penduduk pantai melaku-
kan evakuasi. Dalam sekejap, ia pun mengambil obor, menu-
ju bukit, lalu membakar sawah dan lumbung padi. Kondisi
ini memaksa penduduk berbondong-bondong ke bukit
untuk melihat kobaran api tersebut. Taktik Hamaguchi ber-
hasil. Begitu penduduk sampai di bukit, tsunami menyapu
perkampungan yang sudah ditinggalkannya itu. Mereka
akhirnya selamat dari terjangan tsunami.
Belajar dari berbagai kisah nyata tersebut, kita patut
membudayakan kearifan lokal. Dengan begitu, kita selalu
sigap dan dapat hidup tenang di bawah ancaman tsunami
yang setiap saat meneror dan membunuh siapa saja yang
lengah.
17
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Hidup Bersama Gempa
R
entetan gempa merusak yang terjadi akhir-akhir ini
kian mempertegas, Indonesia merupakan kawasan
rawan gempa.Terakhir gempa Padang, Sumatera
Barat, Rabu (30/9/2009) sore, berkekuatan 7,6 skala
Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis
(1/10/2009) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan
orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan
bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang,
pun sempat ditutup.
Suka atau tidak, gempa bumi bakal muncul di daerah-
daerah yang rawan gempa. Hal ini tidak bisa dihindari
karena secara geologis, Indonesia ada pada pertemuan
tiga lempeng bumi: Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-
Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif, kecepatan dan
arah berbeda dalam kisaran beberapa sentimeter sampai 12
4
18 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
sentimeter per tahun.
Karena itu, mitigasi gempa penting dilakukan. Hingga
kini belum ada teknologi dan pakar yang dapat meramal
kapan gempa akan terjadi meski dibantu alat monitoring
tercanggih.Pengetahuanmanusiabarusebataspemahaman
wilayah yang berpotensi terhadap bahaya gempa.
Enam upaya
Sudah banyak korban berjatuhan. Setidaknya ada enam
upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa, baik
secara fisik/struktur maupun nonfisik/nonstruktur, guna
mengurangi korban jiwa dan kerusakan.
Pertama, program riset di bidang gempa. Riset dituju-
kan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi terjadi gem-
pa; menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, keren-
tanan, dan risiko bencana; memilih teknologi mitigasi ben-
cana gempa yang tepat, efektif, dan efisien; serta memilih
teknologi retrofitting bangunan yang ada dan diperkirakan
tidak tahan gempa.
Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal,
baik secara struktur maupun kultur, mencakup jaringan
seismometer, global positioning system (GPS) pemantau
proses gempa bumi.
Ketiga, memberi pendidikan, pelatihan, penyadaran,
dan geladi bagi masyarakat dan petugas pelaksana penang-
gulangan bencana. Tujuannya, membangun kesiapsiagaan
masyarakat dan aparat pelaksana dalam melakukan mitigasi
gempa.
Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi
19
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
dan tanggap darurat dengan membuat jalur evakuasi,
membuatbangunansebagaitempatberlindung,menyiapkan
sarana-prasarana untuk membantu korban dalam situasi
tanggap darurat, serta menyiapkan makanan di tempat yang
aman dan strategis bagi korban.
Kelima, meningkatkan kelembagaan dan tata laksana
koordinasi. Unsur ini memungkinkan pemerintah mena-
ngani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan men-
dayagunakan sumber daya yang ada. Karena itu, pendirian
Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Indonesia perlu
segera didorong.
Keenam,melaksanakanrencanapengembanganwilayah
dan pembangunan yang aman. Secara spasial atau keruang-
an, sebaran bahaya, elemen yang rentan, dan potensi risiko
yang ada dapat dituangkan dalam rencana pengembangan
wilayah.
Bagi kawasan berisiko gempa, pemerintah dapat mem-
beri pengarahan untuk kegiatan mitigasi. Rumah dan ba-
ngunan harus diretrofit, dibangun agar tahan gempa, dite-
rapkan building code ketat.
Rumah tahan gempa
Kita prihatin, tiap gempa menggoyang Indonesia,
banyak bangunan luluh lantak dan menimbulkan korban
jiwa. Sebenarnya gempa tidak membunuh. Yang membunuh
adalah bangunan yang roboh yang dientak gempa.
Masalahnya, konstruksi bangunan tidak tahan gempa.
Rumah dibangun seadanya. Material yang digunakan kurang
memenuhi syarat teknis. Faktanya, dinding tembok tidak
20 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
diperkuat sloop, balok lingkar, dan kolom praktis. Kalaupun
diperkuat dengan balok lingkar dan kolom beton, ukurannya
kurang memenuhi syarat.
Selain itu, antara fondasi, sloop, balok lingkar, dan kolom
praktis kurang tersambung dengan baik. Lalu, pada bagian
atap, terutama yang terbuat dari genteng, juga sering roboh
tak kuasa menahan guncangan gempa.
Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan dan
keruntuhan bangunan adalah kurangnya pemeliharaan
bangunan. Akibatnya, bangunan mengalami pelapukan dan
tidak mampu menahan gempa.
Berdasarkan fenomena inilah mitigasi secara fisik yang
amat penting dilakukan adalah dengan membuat rumah
atau bangunan tahan gempa. Lebih baik membangun
bangunan yang kokoh walaupun ukurannya kecil daripada
membangun rumah yang besar tetapi rapuh. Setidaknya
ada 13 syarat untuk membuat bangunan tahan gempa, di
antaranya denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris,
satu kesatuan, dan seragam.
Tidak lupa, buatlah fondasi di atas tanah yang mantap.
Fondasi itu diikat secara kaku dengan sloop. Lalu, kerangka
bangunan (sloop, kolom, balok keliling, dan lainnya) kokoh
terhubungkan.
Syarat lain, gunakan kolom pemikul (kayu, beton tulang,
dan baja) untuk setiap luas dinding 12 meter persegi yang
diikat sloop dan balok keliling. Jika menggunakan bata/
batako, harus bermutu baik.
Selain itu, dinding harus diberi angkur berukuran 6
mm panjang 50 cm untuk tiap 30 cm pasangan bata yang
21
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
mengelilingitepidinding.Ingat,konstruksidindingsebaiknya
dari bahan ringan (bilik, papan, papan lapis, dan lainnya).
Bukaan-bukaan pada dinding sebaiknya simetris dan tidak
terlalu lebar.
Adukan semen pun perlu diperhatikan. Gunakan
adukan semen-pasir dengan campuran yang betul dan kuat.
Untuk beton gunakan semen, pasir, dan kerikil dengan rasio
campuran yang tepat.
Tak kalah penting, menggunakan balok keliling
(balok ring) dari kayu, beton, atau baja yang diikat kolom.
Konstruksiatapsebaiknyadarikayukeringdengankonstruksi
sambungan yang benar dan kuat.
Jangan gunakan penutup atap yang berat, tetapi
pakailah bahan ringan seperti seng, asbes, dan aluminium.
Dengan menerapkan keenam upaya mitigasi itu secara
komprehensif, niscaya kita bisa hidup akrab dengan gempa
yang terjadi setiap saat.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 2 Oktober 2009.
22 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Membangun Rumah,
Menahan Gempa
G
empa berkekuatan 7,6 skala Richter di Padang
Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009)
sore, dan 7,0 SR di Jambi pada Kamis (1/10/2009)
pagi harusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua.
Bukan apa-apa, gempa itu telah merusakkan segalanya.
Hanya dalam tempo sekejap, keindahan ranah Minang itu
meredup.
Lebih dari 800 orang tewas, ribuan terluka, dan ribuan
rumah ambruk, rata dengan tanah. Total kerugian ditaksir
lebih dari Rp 2 triliun. Daerah dengan dampak terbesar
adalah Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang
Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan
Kabupaten Pasaman Barat.
Menurut pengamatan penulis setelah melihat langsung
5
23
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
ke berbagai lokasi, konstruksi mayoritas rumah yang rusak
ternyata tidak memenuhi syarat teknis (non-engineered
housing).
Hancurnya rumah disebabkan beberapa hal. Di anta-
ranya, konfigurasi rumah. Ketidakteraturan denah meng-
akibatkan gaya puntir dan konsentrasi tegangan sehingga
menghancurkan bagian bangunan.
Selain itu, rumah yang roboh itu tidak memiliki kolom
praktis, balok keliling (ring balk), dan sloof. Tanpa hal-hal itu,
rumah mudah roboh atau ambles. Kalaupun ada, ukurannya
tidak memenuhi syarat.
Ketidaksempurnaan sambungan mengakibatkan ele-
men-elemen struktur tidak terikat baik. Mutu material, se-
perti bata, kayu, pasir, dan bahan beton yang rendah, juga
berdampak pada kualitas bangunan.
Jika kualitas pekerjaannya buruk—adukan beton salah,
campuran adukan salah, penyusunan bata sembarangan,
detail pembesian salah, sambungan kayu atau beton bu-
ruk, pengangkeran (anchoring) buruk, dan lain sebagainya,
rumah gampang roboh. Kurangnya pemeliharaan juga mem-
perlemah kekuatan bangunan.
Rumah ramah bencana
Berdasarkan fenomena tersebut, sudah saatnya kita
berbenah. Departemen Kelautan dan Perikanan telah
menginisiasi pembangunan rumah ramah bencana sejak
2006. Sampai 2008 telah dibangun sekitar 497 rumah di 18
kabupaten/kota. Rumah-rumah itu telah terbukti ampuh
dan tetap kokoh berdiri walaupun digoyang gempa. Di Kota
24 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pariaman dan Kabu-
paten Agam, misal-
nya, semua rumah itu
mampu bertahan.
Demikian juga
rumah ramah ben-
cana yang dibangun di
Kabupaten Pesisir Se-
latan. Rumah- rumah
itu tahan terhadap
gempa Bengkulu 7,4 SR, Rabu (12/9), dua tahun lalu.
Pada tahun 2009 sedang dibangun 2.236 unit rumah
nelayan ramah bencana di 55 kabupaten/kota. Di Kabupa-
ten Agam, dari 50 rumah yang sedang dibangun, 14 rumah
dindingnya roboh digoyang gempa Padang Pariaman. Pasal-
nya, dinding baru dikerjakan setinggi 1 meter dan kondisi-
nya masih basah. Kolom praktis belum dicor sehingga belum
ada ikatan yang baik antara dinding dan kolom praktis.
Ada dua tipe rumah yang dikembangkan, yakni non-
panggung dan panggung. Bagi daerah di luar rayapan tsu-
nami, rumah berbentuk nonpanggung. Adapun kawasan
yang rawan tsunami dengan kedalaman genangan tsunami
kurang dari 3 m dibuat rumah panggung.
Dibentuk panggung agar tsunami dapat leluasa lewat
sehingga mengurangi beban horizontal pada struktur. Di
hari biasa, lantai bawah dapat digunakan untuk santai,
parkir, kios, memperbaiki jaring, menimbang ikan, dan
lain sebagainya. Lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk
mengungsi saat tsunami.
Gambar 2.1 Rumah panggung untuk
daerah yang rawan tsunami.
25
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Denah bangunan sederhana, simetris, satu kesatuan,
dan seragam. Ukuran rumah rata-rata 27,5 meter persegi.
Arah bangunan dibuat sedapat mungkin sejajar dengan arah
penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus garis pantai
agar tekanan air ke bangunan lebih kecil.
Sloof dipasang di atas seluruh panjang fondasi untuk
mendukung dan meratakan beban tembok di atasnya dan
meneruskannya ke fondasi di bawahnya. Sloof juga berfung-
si mencegah naiknya air dari bawah ke atas tembok. Khusus
untuk rumah panggung, sloof dipasang untuk menghubung-
kan tiap-tiang panggung dan dapat berfungsi sebagai lateral
bracing (penguat horizontal) terhadap hantaman tsunami.
Kolom praktis dibuat untuk menguatkan tembok dan
tiangpendukung,dipasangdenganjarakmaksimum3meter,
pada pasangan tembok lurus dan pertemuan-pertemuan
tembok. Balok keliling fungsinya untuk meratakan beban
kuda-kuda dan rangka atap, rangka plafon ke dinding, atau
kolom bawahnya.
Struktur rumah panggung diperhitungkan guna menga-
tasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang
terlempar ke pantai. Tiang rumah panggung sebaiknya dari
beton dan berbentuk silinder—agar bidang sentuhan dan
benturan dengan puing yang hanyut sekecil mungkin.
Fondasi rumah panggung berbentuk telapak (foot plate)
dan terhubung kuat dengan sloof dan tiang rumah. Fondasi
diletakkan 1,5 meter di bawah permukaan tanah agar
ketahanannya lebih baik, guna menahan gerusan akibat arus
air deras. Tsunami dapat menggerus tanah hingga sedalam
1,5 meter.
26 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pola Bantul dan Klaten
Untuk membangun rumah tahan gempa dan tsunami
secara efisien dan efektif, kita layak meniru kegiatan
rekonstruksi rumah akibat gempa di Bantul dan Klaten,
model Java Reconstruction Fund (JRF).
Sekitar 6.080 rumah tahan gempa dibuat JRF tanpa
tender. Kontraktor tak dilibatkan. Masyarakat melaksanakan
dan mengawasi pembangunan rumahnya secara langsung.
Setiap kepala keluarga yang rumahnya roboh atau
rusak berat mendapat bantuan Rp 20 juta untuk membuat
rumah tahan gempa 21 m-27 m. Sebagian dari mereka
mengeluarkan uang pribadi untuk tambahan agar rumah
lebih cantik dan elok.
Agarprosespembangunanberjalansesuaistandarrumah
tahan gempa, mereka didampingi konsultan. Konsultan
pendampingmengawasipelaksanaanpembangunanrumah,
mulai dari mutu material bangunan sampai teknik-teknik
pembuatan rumah. Konsultan digaji JRF.
Kini, para korban itu sudah menikmati rumah-rumah
tahan gempa tersebut. Hidup mereka jauh lebih tenang.
Lebih dari itu, tak ada uang bantuan yang bocor karena
berbagai hal.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 20 Oktober 2010.
27
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Mampukah Meramal
Tsunami?
K
epanikan hebat melanda masyarakat Banda Aceh
ketika sirene sistem peringatan dini (early warning
system) tsunami berdering pada Selasa (5/6/2007)
pagi. Mereka berlarian mencari tempat aman agar terhindar
dari tsunami. Maklum, mereka masih trauma akibat tsunami
dahsyat yang pernah melanda kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) Desember 2004.
Nyatanya memang tidak ada gempa dan tsunami. Bukan
apa-apa, bunyi tersebut akibat dari kerusakan yang terjadi
pada alat pendeteksi tsunami.
Di tempat lain, isu-isu bakal terjadinya gempa dan tsu-
nami juga marak. Entah dari mana isu itu bertiup. Yang jelas
kini masyarakat di kawasan pesisir menanti penuh cemas
akan hadirnya bencana alam tersebut.
6
28 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Isu-isu semacam itu jelas menyesatkan. Betapa tidak,
saatinibelumadasatuteknologipunyangdapatmeramalkan
tanggal dan tempat kejadian gempa dan tsunami secara
pasti. Jangankan dalam hitungan tahun dan bulan. Dalam
bilangan hari pun belum ada ahli yang mampu meramalkan
tsunami.
Sejarah mencatat, sejak 1600 hingga Mei 2007, 108
tsunamimelandakawasanpesisirIndonesia.Artinya,tsunami
menghampiri kita setiap sekitar empat tahun. Seringnya
tsunami itu tidak terlepas dari letak Indonesia yang memang
secara alami merupakan daerah pertemuan tiga lempeng
(triple junction plate convergence) yakni Eurasia, Samudra
Pasifik, dan Indo-Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif
dengan kecepatan dan arah yang berbeda, yaitu bergerak
relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia.
Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia meru-
pakan daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Ka-
wasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua
yang sangat aktif di muka bumi. Dibandingkan dengan gem-
pa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi
gempa 10 kali lipatnya.
Proses terjadinya tsunami tidak terlepas dari teori tek-
tonik lempeng yang berkembang pesat pada akhir 1960-an.
Teori ini mengasumsikan bahwa interior bumi tersusun dari
empat lapisan; litosfer, astenosfer, mesosfer, dan inti bumi.
Litosfer merupakan lapisan terluar bumi. Lapisan ini ter-
letak pada kedalaman kira-kira sampai 100 km. Sementara
itu, astenosfer berada pada kedalaman 100 - 700 km. Beri-
kutnya, mesosfer dengan kedalaman 700 – 2.900 km dan
29
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
inti bumi berkedalaman 2.900 – 6.370 km. Lapisan astenos-
fer dan mesosfer disebut sebagai mantel bumi.
Teori tektonik lempeng mengasumsikan bahwa litosfer
terdiri dari materi agak cair dan plastis yang dapat mengalir
di bawah pengaruh suatu tegangan. Dengan demikian, seo-
lah-olah litosfer mengambang di atas mantel bumi.
Menurut teori ini, litosfer terpecah belah menjadi be-
berapa bagian yang kemudian disebut lempeng bumi. Se-
tidaknya, terdapat enam lempeng besar; Eurasia, Pasifik,
Amerika, Indo-Australia, Afrika, dan Antartika. Keenam lem-
peng tersebut bergerak dengan arah dan kecepatan yang
berbeda.
Pergerakanlempenginidisebabkanadanyaaruskonveksi
yang ditimbulkan oleh bergeraknya aliran panas dari perut
bumi. Atenosfer, lapisan bawah litosfer, merupakan batuan
setengah cair, akibat adanya arus konveksi yang terjadi di
dalam astenosfer menyebabkan atenosfer bergerak. Dapat
dimaklumi apabila litosfer yang berada di atasnya juga
bergerak. Pergerakan ini menimbulkan gesekan yang dapat
menyebabkan gempa bumi.
Terjadinya gempa diperkirakan sudah ada sejak planet
bumi kita terbentuk. Akan tetapi catatan sejarah menunjuk-
kan, manusia baru bisa melaporkan pertama kali terjadinya
gempa sekitar tahun 1800 SM.
Lalu bagaimana tsunami terjadi? Menurut Prof. Yoshiaki
Kawata, Direktur DPRI (Disaster Prevention Research Insti-
tute), Universitas Kyoto, terjadinya tsunami disebabkan oleh
pergerakan air dalam volume besar secara vertikal. Perge-
rakan itu disebabkan tiga hal.
30 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Pertama, apabila terjadi gempa di dasar laut yang
berkekuatan lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya termasuk
dangkal kurang dari 60 km dari dasar laut, dan sesar yang
terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal
dasar laut relatif besar.
Secara alami, wilayah Indonesia termasuk daerah
yang rawan tsunami yang diakibatkan oleh gempa dasar
laut. Bukan apa-apa, di situlah tempat bertemunya empat
lempeng besar; Eurasia, Indo-Australia, Samudra Pasifik,
dan Filipina. Keempat lempeng itu terus bergerak dalam
arah dan kecepatan yang berbeda. Lempeng Indo-Australia
di bagian selatan dan barat Sumatera misalnya, bergerak
rata-ata 6 cm per tahun.
Lempeng Samudra Indo-Australia tersebut bergerak
terus-menerus menghunjam lempeng benua Eurasia
(Gambar 6.1a). Bagian ujung dari lempeng benua Eurasia
tertarik turun secara berangsur-angsur dan terus-menerus
sehingga terjadi akumulasi tegangan (Gambar 6.1b).
Akibat akumulasi tegangan yang mencapai batasnya
maka terjadi gempa dan ujung lempeng benua Eurasia
melenting ke atas. Pergerakan vertikal ujung lempeng
benua Eurasia ini menimbulkan gangguan impulsif medium
laut yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami (Gambar
6.1c).
Penyebab kedua, adanya tanah longsor. Sebuah gelom-
bang tsunami dapat saja ditimbulkan oleh sebuah tanah
longsor yang berawal dari atas permukaan laut (sea level)
dan kemudian turun masuk ke dalam laut, atau oleh sebuah
tanah longsor yang terjadi seluruhnya di bawah air.
31
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Gambar 6.1. Proses terjadinya tsunami akibat gempa bumi bawah
laut.
Penyebabketiga,letusangunungberapi.Contohkonkret
adalah tsunami hebat yang pernah terjadi ketika Gunung
Krakatau meletus pada 1883.
Berdasarkan catatan, selama periode tahun 1600 sam-
pai 2006 terjadi sekitar 108 tsunami. Dari jumlah itu, sekitar
90% di antaranya disebabkan gempa tektonik, 9% akibat le-
tusan gunung api, dan hanya 1% dipicu oleh tanah longsor.
Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami
tersebar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan
Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau
Nusa Teggara, Maluku, pantai utara Papua, serta hampir
seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.
Hingga kini, sekitar 35 peristiwa tsunami menghantam
pesisir di laut Banda yang meliputi Flores, Timor, Kepulauan
Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, dan Pulau Buru. Selan-
jutnya, 32 peristiwa tsunami menerjang pesisir yang berada
di Laut Maluku termasuk Sangihe dan Halmahera.
Bukan hanya itu. Sekitar 18 kejadian tsunami melanda
pantai barat Sumatera. Sementara itu, pantai selatan Jawa,
a b c
32 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Bali, pantai utara dan selatan Lombok, Sumbawa, serta
Sumba pernah dihantam 11 kali tsunami. Lalu, Selat Makasar
pernah diterjang 9 kejadian tsunami. Sedangkan pesisir
sebelah utara Papua pernah dihantam 3 kali tsunami.
Meramal Tsunami
Lalu, mampukah kita meramal tsunami? Mengingat
mekanisme terjadinya gempa dan tsunami sangat kompleks
dan rumit maka hingga kini tsunami sulit diramalkan baik
dalam hitungan hari, minggu, bulan, maupun tahun. Yang
dapat dilakukan adalah mendeteksi terjadinya tsunami.
Adabeberapalangkah yangdilakukanuntukmendeteksi
terjadinya tsunami. Tahap awal adalah dengan menentukan
lokasi sumber gempa bumi secara cepat dan tepat. Lalu,
perlu juga menganalisis apakah gempa bumi itu berpotensi
menimbulkan tsunami. Terakhir mengonfirmasi kejadian
tsunami dengan hasil pengamatan permukaan laut.
Apabiladikehendakiinformasidinitsunamidapatdisam-
paikan dalam lima menit pertama, maka parameter gempa
bumi (waktu kejadian, lokasi, kedalaman, dan magnitude)
harus mampu ditentukan dalam tiga menit pertama. Berda-
sarkan persyaratan ini dapat dirancang konfigurasi stasiun
seismograf untuk suatu wilayah tertentu dengan memper-
hatikan sifat dan dinamika tektonik di sekitarnya.
Rancangan ini akan menunjukkan jumlah stasiun yang
harus dipasang dan sistem komunikasi data yang harus
digunakan. Untuk mendapatkan parameter gempa bumi
dengan cepat dan tepat dibutuhkan dua sistem pengolah
dan analisa data; otomatis dan interaktif.
33
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Sistem otomatis diperlukan agar hasil analisa diperoleh
dengan cepat. Namun karena kualitas data bervariasi maka
ketepatan hasil analisa perlu dievaluasi dengan cara inter-
aktif. Teknik interaktif memerlukan waktu yang relatif lebih
lama sehingga dapat digunakan sebagai konfirmasi.
Hasil analisa otomatis harus dievaluasi untuk menge-
tahui apakah gempa bumi yang terjadi berpotensi menim-
bulkan tsunami. Artinya, setidaknya ada empat syarat; pusat
gempa bumi berada di dasar laut, kedalaman gempa bumi
kurang dari 60 km dari dasar laut, magnitude gempa bumi
lebih besar dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi vertikal dasar
laut yang besar.
Jadi, jika ketiga syarat itu terpenuhi maka peringatan dini
tsunami segera dibuat. Sebelumnya ratusan ribu simulasi
tsunami dapat dilakukan dan hasilnya disimpan sebagai
”Setidaknya ada empat syarat
apakah gempa bumi yang terjadi
berpotensi menimbulkan tsunami;
pusat gempa bumi berada di dasar
laut, kedalaman gempa bumi
kurang dari 60 km dari dasar laut,
magnitude gempa bumi lebih besar
dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi
vertikal dasar laut cukup besar.”
34 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
database komputer terlebih dahulu. Begitu hiposenter dan
magnitude gempa bumi diketahui maka tinggi gelombang
tsunami dapat dengan mudah dihitung komputer tersebut
hanya dalam satu detik dan dikirimkan ke daerah rawan
tsunami. Selanjutnya, informasi semacam ini disampaikan
kepada aparat berwenang dan media massa agar segera
disiarkan kepada masyarakat pesisir.
Informasi dini itu harus dievaluasi lagi dengan data
hasil pengamatan perubahan permukaan air laut. Data ini
diperoleh dari sistem pengamatan pasang surut laut atau
peralatan lainnya.
Jika hasil pengamatan permukaan air laut mengindika-
sikan adanya tsunami, peringatan harus segera disebarluas-
kan. Sebaliknya bila tidak ada tanda-tanda perubahan per-
mukaan air laut, maka peringatan dini dapat dibatalkan.
Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif
jikamekanismekomunikasidandiseminasihasilpemantauan
terjadinya aktivitas gempa bumi dapat diterima masyarakat
secara lansung. Dengan cara ini, kepanikan berlebihan tidak
perlu terjadi. Dan yang lebih penting lagi, jika tsunami benar-
benar terjadi, jumlah korban bisa diminimalkan.
ctd
Artikel ini dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juni 2007.
35
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Mitigasi Hindarkan Korban
Gempa dan Tsunami
R
asanya belum pudar dalam ingatan kita ketika
gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir
NanggroeAcehDarussalam(NAD)pada26Desember
2004. Senin (17/7/2006) sore giliran pantai selatan Pulau
Jawa digoyang gempa dan diterjang tsunami. Ratusan orang
meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan
rumah hancur akibat bencana alam tersebut.
Indonesia berduka. Rentetan gempa berkekuatan 6,8
skala Richter (SR) lalu diikuti gempa susulan 6,1 SR yang
berpusat di Samudra Hindia (9,4o
Lintang Selatan dan 107,2o
Bujur Timur) itu melumat kawasan pesisir di Tasikmalaya,
Pangandaran, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta.
Walaupun korbannya hanya sedikit, lagi-lagi Yogyakarta
7
36 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
berduka karena sebelumnya mereka juga dihantam gempa
berkekuatan 5,9 SR.
Dibandingkan dengan gempa dan tsunami di NAD,
bencana Senin sore itu terbilang masih lebih ringan. Bukan
apa-apa, gempa yang berpusat pada kedalaman 30 km
itu hanya diikuti tsunami dengan ketinggian run-up yang
bervariasi kurang dari 10 m.
Benar, syarat terjadinya tsunami antara lain adalah
adanya gempa akibat tumbukan lempeng Indo-Australia
dengan Eurasia yang berkekuatan lebih dari 6,5 SR dan pusat
gempanya termasuk dangkal, kurang dari 60 km, sesar yang
terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal
dasar laut relatif besar. Itulah sebabnya, gempa Yogyakarta
tempo hari tidak diikuti tsunami.
Tentu saja kawasan paling parah terkena tsunami adalah
dataran landai. Apalagi kalau pantainya berbentuk teluk dan
mempunyai tanjung seperti di Pangandaran, energi tsunami
menjadi lebih kuat dibandingkan dengan pantai terbuka.
Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan
semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai
tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut
lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit.
Disamping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga
akan terkonsentrasi di ujung tanjung sebagai akibat dari
proses refraksi gelombang tsunami.
Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan jika
topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung
seperti hutan mangrove, kelapa, waru, atau hutan pantai
lainnya. Bukan apa-apa, gelombang tsunami yang besar
37
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
baik ketinggian maupun kecepatannya akan dengan leluasa
menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang
dilaluinya.
Bisa dibayangkan kalau tempat yang landai itu dipakai
untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri. Prak-
tis, ketika tsunami menerjang kawasan tersebut maka yang
terjadi adalah kerusakan parah. Semua bangunan yang be-
rada di dataran rendah tersapu habis oleh gelombang tsu-
nami.
Ironisnya, pelabuhan-pelabuhan perikanan dan per-
hubungan juga sering dibangun di ketiak-ketiak suatu teluk
atau di dekat muara sungai. Maklum, pelabuhan yang be-
rada di teluk akan lebih mudah bagi nahkoda untuk menam-
batkan kapalnya. Sebaliknya, pelabuhan yang berhadapan
langsung dengan laut luas semakin sulit bagi kapal-kapal
yang akan bersandar.
Upaya Mitigasi
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan
tsunami yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak
mampu mencegah bencana alam karena kekuatan dan
ukurannya teramat besar. Yang bisa dilakukan hanyalah
mengurangi dampak dari bencana tersebut (mitigasi).
Di Jepang misalnya, upaya mitigasi itu mampu menye-
lamatkan manusia dan harta-benda lainnya. Hal itu sangat
berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Terlihat, setiap
ada bencana disambut dengan kepanikan. Setelah itu ma-
syarakat lainnya beramai-ramai memberikan sumbangan
pangan kepada para korban.
38 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Sebaliknya, upaya mitigasi bencananya masih minim.
Padahal di sinilah kuncinya. Jumlah korban akan sangat ter-
gantung dari sampai sejauh mana kita menyiapkan tindakan
preventif guna meminimalkan dampak negatifnya. Jadi, ti-
daklah berlebihan kalau mitigasi merupakan investasi jang-
ka panjang bagi kesejahteraan umat manusia.
Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan
pesisir dari terjangan tsunami. Idealnya, menggunakan miti-
gasi yang komprehensif, yakni dengan mengombinasikan
secara fisik dan nonfisik.
Upaya fisik yang per-
lu dilakukan juga bera-
gam, tergantung kemam-
puan daerah dan kondisi
kawasan pesisirnya. Arti-
nya, di sepanjang daerah
rawan tsunami bisa saja
dibuat prasarana dan
sarana pengendali seper-
ti dengan membangun
tembok laut (sea wall)
atau pemecah gelom-
bang (break water).
Cara ini memang
butuh ongkos tinggi. Na-
mun biaya untuk mem-
buat tembok laut terse-
but tidak ada artinya
dibandingkan dengan
“Banyak cara
bisa dilakukan
untuk melindungi
kawasan pesisir
dari terjangan
tsunami. Idealnya,
menggunakan
mitigasi yang
komprehensif,
yakni dengan
mengombinasikan
secara fisik dan
nonfisik.”
39
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
aset-aset vital bernilai ekonomi tinggi yang ingin dilindungi
seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan
strategis lainnya. Di beberapa kawasan pantai Jepang juga
membentenginya dengan tembok sampai pada ketinggian
yang sudah tidak terjangkau lagi oleh tsunami.
Bagi kawasan lainnya bisa melindunginya dengan mena-
nam berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru
laut, dan lain-lain. Upaya ini tergolong murah dan terbukti
efektif dalam meredam kekuatan tsunami yang menjalar
hingga ke daratan.
Selainitu,benda-bendayangberadadipantaisepertika-
pal dan perahu bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jum-
lah korban dan kerusakan bangunan lainnya bisa diperkecil.
Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami
dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas.
Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat
sehingga tahan terhadap goncangan gempa. Rumah pang-
gung baik terbuat dari kayu maupun beton bisa menjadi al-
ternatif karena tidak mudah roboh oleh terjangan tsunami.
Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan garis
pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran gelombang
tsunami.
Ditempat-tempatyangjauhdaribukitdanpenduduknya
padat, perlu dibuat shelter. Bangunan ini sebaiknya berting-
kat dan terbuat dari beton yang kokoh sehingga tahan ter-
hadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, shelter bisa
dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan, tempat
rekreasi dan lain-lain. Namun ketika tsunami, shelter bisa
dipakai sebagai tempat berlindung.
40 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Jika lahan terbukanya luas namun tidak punya bukit,
bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya, untuk
menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu
terjadi tsunami. Bukit ini bisa dibuat dari urugan tanah de-
ngan sistem terasering sehingga dapat diakses dari berbagai
arah.
Tinggi shelter dan bukit buatan itu disesuaikan ber-
dasarkan tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjang-
kau lokasi tersebut. Usahakan bukit dan shelter tersebut
bisa ditempuh oleh warga kurang dari 15 menit.
Tak kalah pentingnya adalah mitigasi secara nonfisik
seperti memberlakukan peraturan perundangan dan tata
ruang yang aman, memberikan pendidikan dan pelatihan,
serta menyadarkan masyarakat. Pemda harus konsisten
dalam menegakkan peraturan dan tata ruang. Artinya,
kalau memang kawasan tersebut dianggap rawan tsunami,
janganlah sekali-sekali memanfaatkan kawasan tersebut
untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya.
Siapa pun yang melanggar, wajib dikenakan sanksi.
Sebab kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami
menerjang maka korban berjatuhan semakin tinggi akibat
banyaknya manusia yang beraktivitas di sana.
Masyarakat juga perlu mendapat pendidikan dan pela-
tihan terkait dengan gempa dan tsunami. Harus diakui,
kita masih sangat lemah dalam soal ini. Lihat saja faktanya,
pemahaman masyarakat terhadap tsunami masih minim.
Akibatnya, setiap tsunami selalu menelan banyak korban
jiwa dan harta benda lainnya.
Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut
41
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang
menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama
setelah itu, mereka menjadi korban keganasan tsunami.
Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum
memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang
mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika Yogyakarta
dilanda gempa bumi. Dalam kepanikan itu mereka yang
tinggal di daerah yang sangat tinggi dan sangat jauh dari
pantai berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk
menyelamatkan diri menghindari tsunami.
Padahal, secara ilmiah, tsunami tidak akan melanda
daerah yang sangat tinggi dan jauh dari pantai. Jadilah
seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab,
banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan akibat
kepadatan lalu lintas saat melarikan diri dan rumah mereka
yang ditinggalkan itu akhirnya dijarah oleh oknum yang
memang ingin mengail di air keruh.
Kedua sistem mitigasi secara fisik dan nonfisik itu bisa
saling melengkapi, tergantung pada daerah rawan tsunami
yang akan ditinjau. Oleh karena itu dalam melakukan upaya
mitigasi perlu mempertimbangkan faktor fisik, lingkungan,
dan sosial budaya. Pelaksanaannya juga harus melibatkan
berbagai instansi terkait.
Seberapabesarupayaitutidakakandapatmembebaskan
masalah bencana alam secara mutlak. Dengan demikian,
kunci keberhasilannya terletak pada keharmonisan antara
masyarakat dan alam lingkungannya.
Masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan
rawan bencana sangat besar perannya sehingga perlu di-
42 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
tingkatkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaannya terha-
dap alam dan lingkungan hidup. Mereka juga perlu punya
disi-plin tinggi terhadap peraturan dan norma-norma yang
ada.
Digalakkan Sejak Dini
Beragam upaya mitigasi tersebut sewajarnya mulai
digalakkan sejak dini. Bukan apa-apa, Indonesia memiliki
kawasan rawan tsunami yang tersebar luas. Kawasan itu
meliputi pantai yang menghadap ke Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik serta yang menghadap ke laut dimana dua
lempeng bertemu atau terdapat sesar aktif di laut.
Berdasarkan kajian ilmiah, daerah rawan tsunami meli-
puti pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan
Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara,
pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya, dan hampir
seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah pal-
ing rawan tsunami. Pasalnya, sebanyak 31 persen dari total
tsunami di Indonesia terjadi di Laut Maluku.
Rekor tinggi run-up tsunami paling besar di Indonesia
yang tercatat dalam sejarah adalah pada tahun 1883. Ketika
itu tsunaminya berasal dari meletusnya Gunung Krakatau di
Selat Sunda dengan ketinggian run-up mencapai 41 meter.
Sekitar 36.000 jiwa melayang tersapu gelombang tsunami.
Dilihat dari jumlah korbannya, maka tsunami NAD pada
Desember2004laluadalahyangtertinggidiIndonesiabahkan
dunia. Bayangkan, lebih dari 300 ribu orang meninggal dan
puluhan ribu lainnya hingga kini belum ditemukan akibat
diterjang tsunami. Menurut catatan, sepanjang tahun 1961
43
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
sampai 2006 ada sekitar 21 kejadian tsunami yang melanda
kawasan pesisir di Indonesia. Artinya tsunami menghampiri
pesisir Indonesia tiap 2,25 tahun sekali.
Untuk menangani bencana tidaklah cukup hanya de-
ngan memfokuskan tindakan pada saat dan setelah bencana
alam itu terjadi. Paradigma lama ini perlu ditambah dengan
penanganan sebelum bencana melalui pendekatan manaje-
men risiko dengan upaya-upaya pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan. Di Indonesia upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan ini kadang-kadang disebut dengan mitigasi.
Pendekatan secara terpadu (manajemen risiko dan manaje-
men krisis) itu pada hakekatnya adalah menangani bencana
mulai dari sebelum, saat, hingga sesudah terjadi bencana.
Ibarat sebuah siklus, pengelolaan bencana tsunami itu
dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), serta
pemba-ngunan. Siklus itu saling terkait satu dengan yang
lainnya dan sama pentingnya dalam menghadapi gempa
dan tsunami.
ctd
Artikel ini dimuat Jurnal Nasional edisi 19 dan 20 Juli 2006.
44 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
8
Saatnya Merevolusi Mitigasi
Gempa dan Tsunami
B
encana alam gempa dan tsunami akhir-akhir ini
datang silih berganti dalam periode yang relatif
cepat. Kita tidak tahu persis kenapa frekuensi ter-
jadinya gempa dan tsunami belakangan ini cenderung me-
ningkat dibandingkan dengan 50 tahun lalu. Berdasarkan
catatan, selama setengah abad itu kawasan pesisir Indone-
sia digoyang puluhan gempa merusak dan diterjang tsunami
sebanyak 21 kali.
Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi
fenomena alam yang tidak pasti kapan datangnya itu? Ti-
dak mudah memang mengelola bencana tersebut. Bukan
apa-apa, kesadaran masyarakat pesisir terhadap bencana
masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita
jika gempa dan tsunami menerjang. Rendahnya pemaham-
45
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
an masyarakat terhadap gempa dan tsunami itu mengaki-
batkan banyak korban dan kerugian saat diterjang bencana
alam ini.
Bencana alam tidak dapat dihilangkan karena kekuatan
dan ukurannya teramat besar. Kemampuan manusia hanya
sebatasmengurangidampakbencana.Tindakansemacamitu
biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi
pengaruh atau dampak dari satu bahaya sebelum bencana
itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas
dari suatu kegiatan atau tindakan perlindungan.
Mengadopsi Revolusi Sanitari
Tahun 1990-an menjadi tonggak penting bagi upaya
mitigasi bencana. Betapa tidak, pada era itu PBB (Perserika-
tan Bangsa-Bangsa) mendeklarasikan sebagai Dekade Inter-
nasional untuk Pengurangan Dampak Bencana Alam.
Dekade mitigasi bencana tersebut tampaknya diadopsi
dari upaya mewujudkan kesehatan umum pada pertengah-
an abad ke-19 yang dikenal sebagai Revolusi Sanitari. Se-
perti diketahui, pada masa-masa sebelum abad itu penyakit
tuberkulosis, tipus, kolera, desentri, cacar, dan aneka penya-
kit lain menjadi penyebab utama kematian seseorang.
Pada saat pemahaman terhadap penyebab timbulnya
penyakit semakin meningkat, terutama lewat upaya para
ilmuwan dan ahli epideminologi pada abad ke-19, maka
insiden epidemi dan penyakit menjadi mudah dipahami.
Menjadi jelas bahwa penyakit dapat dicegah dan secara
berangsur-angsur konsep perlindungan terhadap penyakit
dapat diterima.
46 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Tindakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko
penyakit memang memerlukan investasi besar. Sebab, ia
butuh infrastruktur misalnya membangun berbagai saluran
pembuangan air, jaringan penampungan air bersih, tempat
pembuangan sampah dan lain sebagainya.
Selain itu, setiap orang juga perlu melakukan perubah-
an-perubahan besar seperti berperilaku hidup bersih dan
sehat. Para ahli sejarah sosial menyebut, perubahan konsep
perlindungan terhadap penyakit itu sebagai Revolusi Sani-
tari.
Dari sinilah berbagai kemajuan di bidang kesehatan
terjadi seiring dengan adanya penemuan obat, perawatan,
vaksinasi, pencegahan, dan industri kesehatan. Berbagai pe-
nyakit mematikan seperti tuberkulosis, tipus, kolera, disen-
tri, dan cacar sudah bisa diantisipasi.
Wabah Penyakit
Lalu apa yang bisa dipetik dari perjalanan sejarah medis
tersebut? Sekilas fenomena bencana alam punya analogi
yang hampir sama dengan munculnya wabah penyakit
pada awal abad ke-19, yakni tidak dapat ditebak, menjadi
musibah, dan merupakan bagian dari risiko hidup sehari-
hari.
Namun “epideminologi bencana“ --suatu ilmu pengeta-
huan yang sistematis dari apa yang terjadi dalam suatu ben-
cana-- menunjukkan bahwa bencana itu sebagian besar bisa
dicegah. Ada banyak cara untuk mengurangi dan melakukan
mitigasi dari suatu kemungkinan bahaya atau kecelakaan.
Seperti halnya dalam melawan penyakit, kegiatan untuk
47
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
mengurangi bencana alam harus diperjuangkan oleh setiap
individu secara bersama-sama. Selain itu perlu juga mengu-
bah perilaku sosial dan memperbaiki kebiasaan setiap indi-
vidu agar memahami setiap bencana yang terjadi. Karena
itu mitigasi bencana harus berkembang lewat revolusi kese-
lamatan “budaya keamanan” untuk keselamatan publik.
Pemerintah seyogianya berinvestasi untuk membuat
infrastruktur baik buatan maupun alami yang lebih kuat dan
aman dari terpaan bencana. Di lain pihak, masyarakatnya
juga harus bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri.
Contoh sederhana adalah dalam membangun rumah.
Sebisa mungkin carilah lokasi yang aman dari bencana ban-
jir, longsor, gempa, dan tsunami. Tindakan ini jauh lebih
murah ketimbang menyediakan dana besar untuk membuat
konstruksi pengendali bencana alam dan membangun ru-
mah yang kuat dari serangan bencana tersebut.
Oleh karena itu upaya mengintegrasikan mitigasi ben-
cana ke dalam kegiatan perencanaan pembangunan diha-
rapkan dapat melindungi aset dan hasil-hasil pembangunan
dari ancaman bencana. Tidak ada kata terlambat untuk
memperbaiki diri. Saatnya bagi kita melakukan revolusi
mitigasi bencana agar bisa hidup aman di kawasan yang me-
mang tidak aman.
ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 23 Agustus 2006.
48 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
9
Mendesak, Mitigasi
Tsunami Berbasis
Masyarakat
S
udah puluhan kali tsunami menerjang berbagai
kawasan pesisir di Indonesia. Namun apa daya,
sampai sejauh ini masyarakat belum mampu
mengenali bencana alam tersebut secara benar dan baik.
Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan
penderitaan berkepanjangan.
Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban
jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi tsuna-
mi baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat
pesisir kita masih tradisional maka langkah-langkah mitiga-
sinya haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.
49
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Berbasis Masyarakat
Sangatlah berat kalau upaya mitigasi itu dilakukan di se-
luruh kawasan rawan bencana yang tersebar sangat luas di
penjuru Indonesia secara simultan. Kita perlu membuat pri-
oritas yaitu untuk daerah-daerah yang berbentuk teluk yang
berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang landai
dan penduduknya padat yang memang rawan bencana. Be-
tapa tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita
jika tsunami menerjangnya.
Karena itu, pembuatan peta rawan bencana tsunami
perlu segera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan
teknologi sesederhana mungkin. Sehingga mereka sadar
dan mengerti kalau tempat tinggalnya berada di daerah
rawan bencana tsunami. Tentu saja dalam pembuatan peta
ini perlu bimbingan dan fasilitator baik dari pemerintah,
perguruan tinggi/lembaga penelitian maupun LSM yang
betul-betul mengerti tentang tsunami.
Langkah berikutnya melatih dan memberi penyuluhan
tentang berbagai hal yang terkait dengan tsunami mulai dari
gejala atau ciri-ciri tsunami, dampaknya, hingga upaya me-
ngevakuasi atau menyelamatkan diri. Tak mudah memang
menyampaikan hal itu kepada mereka.
Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok
daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat
penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu
dilakukan dengan cara yang lebih menarik.
Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang benar-
benar merakyat seperti pengajian akbar, wayang (golek,
orang, atau kulit), ketoprak, dangdut atau kesenian daerah
50 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
lainnya. Melalui penyampaian yang berakar pada budaya
mereka sendiri, tsunami bisa dengan mudah mereka pa-
hami.
Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu-
payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya,
yaitu dengan menanam berbagai pohon seperti mangrove,
cemara laut, waru laut, ketapang dan lain-lain disesuaikan
dengan kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah
dapat dilakukan, murah dan terbukti efektif dalam mere-
dam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.
Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang
terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa
atau pohon lainnya yang banyak berjajar di pantai. Caranya,
lobangi secukupnya sehingga bisa memudahkan manusia
memanjat pohon ketika tsunami terjadi. Pada ketinggian
tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau lonceng sebagai
alat bantu untuk minta pertolongan atau memberi peri-
ngatan kepada masyarakat lainnya.
Masjid-masjid di pesisir juga bisa dipakai untuk mem-
beri peringatan dini melalui pengeras suara. Jadi, manakala
di kawasan tersebut ada tanda-tanda bakal terjadi tsunami,
sesegera mungkin informasi tersebut disampaikan ke warga
sekitarnya.
Selain itu, masjid-masjid itu juga perlu dibuatkan tangga
ke atap. Tujuannya, memudahkan masyarakat mengevakuasi
ke tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau tsunami.
Pelajaran Tsunami Aceh menunjukkan bahwa masjid aman
dari terjangan tsunami mengingat strukturnya yang ramah
tsunami.
51
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Dompet Mitigasi
Jelas bahwa upaya mitigasi tsunami membutuhkan kerja
keras dan dana yang tidak sedikit. Kita bisa belajar banyak
dari pengalaman Jepang, negara yang paling sering dilanda
gempa dan tsunami.
Apa yang dilakukan Jepang ketika dihajar gempa dah-
syat ratusan tahun lalu hingga tahun 1933-an? Orang-orang
terkemuka dan kaya itu berada di barisan terdepan. Artinya,
dengan uangnya sendiri, mereka membuat tembok laut
yang bisa menahan gempuran tsunami.
Jasa mereka dikenang hingga kini. Bukan apa-apa, se-
tiap tsunami terjadi, bangunan itu mampu meredam ga-
nasnya tsunami. Ribuan warga terselamatkan. Menurut
survei di Jepang, hingga tahun 1933-an itu, tidak ada upaya
dari pemerintah Jepang untuk melakukan upaya mitigasi.
Semuanya itu sudah ditangani pemuka masyarakat.
“Apa yang dilakukan Jepang ketika
dihajar gempa dahsyat ratusan tahun
lalu hingga tahun 1933-an? Orang-
orang terkemuka dan kaya itu berada
di barisan terdepan. Artinya, dengan
uangnya sendiri, mereka membuat
tembok laut yang bisa menahan
gempuran tsunami.”
52 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Fenomenasemacaminitampaknyapaskalauditerapkan
di Indonesia. Saatnyalah para pengusaha berkantong tebal
mengeluarkan dompet untuk mitigasi tsunami. Dompet-
dompet bencana di berbagai media (cetak dan elektronik)
yang berasal donor seharusnya jangan semata dialokasikan
untuk menangani pascabencana tetapi juga untuk upaya
mitigasi.
Hasil dari dompet mitigasi ini dapat dimanfaatkan un-
tuk pelatihan dan penyadaran masyarakat, penggandaan
brosur, komik dan buku-buku pedoman tentang tsunami
yang sebenarnya bahannya telah tersedia dan menumpuk
di berbagai instansi atau lembaga lain. Bisa juga dana terse-
but dipergunakan untuk menanam vegetasi pantai sehingga
dapat dipergunakan sebagai tameng tsunami di kemudian
hari.
ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 7 Desember 2006.
53
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Mengenang Tsunami Aceh 2004
Belajar Rehabilitasi
dan Rekonstruksi
Pascatsunami
dari Okushiri
T
sunami yang menghantam Pulau Okushiri, Jepang
pada 12 Juli 1993 bisa menjadi pembelajaran bagi kita
dalam rangka memulihkan kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam yang dihantam tsunami 26 Desember
2004. Bukan apa-apa, pulau kecil yang tadinya elok dan asri
itu pernah porak-poranda oleh tsunami dengan ketinggian
run-up maksimum 31 meter. Inilah rekor tsunami terbesar
di Jepang pada abad ke-20.
Bayangkan, gempa berkekuatan 7,8 skala Magnitude
(SM) di malam hari itu bukan saja menimbulkan tsunami
10
54 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
hebat. Lebih dari itu, pada beberapa wilayah di pulau
seluas 143 km2
itu malah lebih memprihatinkan lagi; terjadi
kebakaran hebat dan longsor setelah diterjang tsunami 5
menit setelah gempa.
Penyebab kebakaran itu diduga berasal dari hubungan
arus listrik pendek (konslet) beberapa kapal yang terseret
hinggaketengahkota.Kebakaranmakinmeluasketikamobil-
mobil juga mengalami hal serupa, terkena arus pendek.
Hanya dalam sekejap, keindahan pulau di sebelah barat
Hokkaido itu meredup dan menyeramkan. Menurut catatan
Pemerintah Daerah Hokkaido, sekitar 229 orang tewas,
lebih dari seribu rumah ambruk, dan 1.514 kapal mengalami
kerusakan. Total kerugian ditaksir sekitar 60 miliar yen.
Lima tahun berlalu, pulau Okushiri malah menjadi lebih
baik bahkan lebih elok dan asri daripada sebelumnya. Kesan
itulah yang penulis rasakan ketika pada Juli 1998 mendapat
kesempatan menghadiri lokakarya internasional tentang
tsunami di Okushiri.
Tetap Menawan
Lalu mengapa pulau yang menghadap Laut Jepang itu
tetap menawan walau tsunami dahsyat pernah meluluh-
lantakkannya? Jawabnya terletak pada kepiawaian mereka
dalam merehabilitasi dan merekonstruksi berbagai infra-
struktur dengan berbasis mitigasi.
Artinya, selain memulihkan kembali beragam bangunan
yang rusak, bangunan baru tersebut juga dapat menjadi
tameng tsunami di kemudian hari.
Untuk memulihkan Okushiri sebagai pulau impian ber-
55
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
basis mitigasi, pada November 1993 Pemerintah Daerah
Hokkaido membentuk sebuah komite yang diketuai pa-
kar tsunami dari Universitas Hokkaido Prof Hiroshi Saeki.
Komite tersebut beranggotakan para pakar yang tersebar
di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah lainnya
seperti Kementerian Konstruksi, Kementerian Transportasi,
serta Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.
Mereka bekerja secara lintas sektoral sesuai dengan di-
siplin ilmunya masing-masing. Seluruh pekerjaan perenca-
naan pemulihan digarap secara komprehensif. Hal itu dimu-
lai dengan menata ulang peruntukan lahan (land use) yang
berbasis mitigasi.
Lihat saja Distrik Aonae, di sisi paling selatan Okushiri.
Dataran paling rendah itu tadinya merupakan permukiman
yang rusak parah digoyang gempa, dihantam tsunami, dan
dilalap si jago merah.
Kini, kawasan tersebut sudah menjadi taman kota,
rimbun oleh aneka tanaman menghijau. Pada kondisi nor-
mal, taman tersebut digunakan sebagai tempat rekreasi. Di
kawasan tersebut juga dibangun tangga/jembatan peng-
hubung ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan
diri jika suatu saat tsunami datang lagi.
Tak ada lagi permukiman di dataran rendah tersebut.
Rumah penduduk direlokasi ke dataran yang lebih tinggi
sehingga aman dari jangkauan tsunami.
Begitu juga pelabuhannya. Atapnya dibuat dari pelat
(slab) beton yang terbuka dan berfungsi sebagai tempat
evakuasi. Di hari-hari biasa tempat evakuasi ini dapat dija-
dikan tempat santai dan menikmati semilirnya angin sepoi
56 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
pantai Aonae. Sementara itu lantai bawahnya sebagian be-
sar didesain sebagai ruang terbuka.
Bangunan sekolah dan kantor dibuat bertingkat dengan
lantai bawah terbuka sebagian. Tujuannya, untuk mengu-
rangi energi tsunami yang menghantam dinding tersebut
sehingga bangunan tetap kokoh berdiri.
Rute evakuasi ke bukit juga dibangun. Rute-rute itu
dilengkapi dengan berbagai informasi seperti arah melari-
kan diri dan ketinggian tsunami yang pernah terjadi. Sistem
komunikasi radio juga dibangun untuk diseminasi peri-
ngatan dini tsunami.
Tembok laut (sea wall) dan pemecah gelombang (break-
water) dibangun untuk meredam tsunami. Monumen dan
museum tsunami juga dibangun sebagai tetenger untuk
mengingatkan generasi berikutnya serta sebagai sarana
pendidikan gempa dan tsunami.
Begitu halnya dengan jalur penerbangan dan pelayaran
dari dan ke Okushiri terus dikaji dan dibenahi. Hasilnya,
hanya lima hari setelah tsunami, seluruh penerbangan dan
pelayaran di pulau tersebut normal kembali.
Lalu pada akhir Desember 1993 pabrik pengolahan ikan
mulai beroperasi lagi. Hal ini penting untuk memulihkan
perekonomian masyarakat lokal.
Biaya Tinggi
Semua proyek pemulihan itu memang butuh teknologi
dan biaya. Menyadari hal itu, hanya dua hari setelah tsunami
menghancurkan Okushiri, Palang Merah Cabang Hokkaido
mengampanyekan penggalangan dana ke masyarakat luas.
57
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Hasilnya, bantuan senilai 4,6 miliar yen dikucurkan
untuk memulihkan Okushiri. Selain itu pada 21 Desember
1993 juga terkumpul dana sebesar 13,2 miliar yen dari
berbagai penyumbang mulai dari pemerintah, warga, serta
industri (perikanan, pertanian, kehutanan, dan pariwisata)
Singkat kata, belum genap satu tahun setelah tsunami
dahsyat, telah diselesaikan pekerjaan perencanaan pemu-
lihan secara komprehensif di Distrik Aonae yang mengalami
dampak paling parah.
Dan lima tahun kemudian (Maret 1998) pemulihan
pascatsunami dinyatakan selesai. Setelah 13 tahun berlalu,
kini Okushiri tampil penuh pesona. Jumlah wisatawan yang
datang pun kian banyak.
Jadi, tidak ada salahnya kita meniru pengalaman mereka
untuk memulihkan kawasan pascatsunami NAD dan Nias
(2004) serta selatan Jawa (2006).
ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 27 Desember 2006.
58 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Rehabilitasi Pascatsunami
yang Ramah Lingkungan
D
uka masih menyelimuti Indonesia. Lebih dari 100
ribu orang tewas sejak tsunami 26 Desember 2004
melanda kota-kota pesisir di provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Ribuan orang lainnya tak diketahui
keberadaannya, hanyut ditelan laut.
Bukan hanya itu saja. Bencana alam tsunami terdahsyat
di abad ini juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian
di Kota Serambi Mekah. Kota-kota pesisir itu lumpuh total.
Aneka jenis bangunan tak kuasa menahan ganasnya gelom-
bang pasang akibat gempa tektonik di Samudra Hindia.
Tak ada aliran listrik dan telekomunikasi dalam beberapa
hari. Akses transportasi darat juga terputus akibat jebolnya
jembatan-jembatan dan jalan-jalan raya. Penulis yang
berada di lokasi beberapa hari setelah bencana, melihat
11
59
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
bahwa kerusakan di kawasan pesisir malah lebih parah lagi.
Pada radius 1 km dari garis pantai, rumah tersapu habis
rata dengan tanah. Di tempat-tempat tertentu, tsunami
menggerus tanah dan membentuk lautan baru. Tak ada
areal tambak yang selamat.
Konferensi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa
Bumi dan Tsunami pun digelar di Jakarta. Hasilnya, 26 ne-
gara dan lembaga internasional sepakat membantu meri-
ngankan beban Indonesia. Sekitar US$ 4 miliar terkumpul
untuk memulihkan dampak tsunami di seluruh Asia, terma-
suk NAD (Kompas, 7/1/2005).
Pertanyaannya adalah bagaimana merehabilitasi daerah
pasca tsunami yang efektif sekaligus ramah lingkungan?
Pertanyaan itu penting diutarakan di sini agar langkah-
langkah tersebut selain bisa memulihkan kawasan juga
mampu menjadi tameng tsunami di kemudian hari.
Kita tahu sudah sejak lama, secara geografis posisi In-
donesia tak beruntung. Di sepanjang barat Pulau Sumatera
sampai ke Jawa, Bali dan NTT lalu masuk ke Laut Arafura me-
rupakan daerah pertemuan tiga lempeng; Eurasia, Australia,
dan Samudra Hindia.
Lempeng-lempeng tersebut bergerak sehingga pada pe-
riode tertentu saling bertabrakan. Proses alami ini mengha-
silkan gempa tektonik. Karena terjadi di dasar laut, gempa
tersebut menimbulkan gelombang pasang (tsunami).
Tsunami yang menerjang pantai barat NAD dan Sumut
terjadi 20 menit sampai 5 jam setelah terjadinya gempa
tektonik. Kecepatan gelombang tsunaminya rata-rata 50-
100 km per jam. Di pusat gempa, kecepatan tsunami NAD
60 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
secara teoritis dapat dihitung, yaitu berkisar antara 400-800
km per jam.
Kecepatan tersebut semakin berkurang saat mendekati
pantai. Tsunami tidak hanya menerjang pantai barat NAD
dan Sumut yang berhadapan langsung dengan pusat gempa,
tetapi juga menerjang pantai timur NAD dengan dimensi
ruang, waktu, dan korban yang berbeda.
Daerah yang mengalami bencana terbesar dari tsunami
adalah Banda Aceh, Lhoknga, Calang, dan Meulaboh. Ben-
cana tersebut selain diakibatkan oleh tingginya gelombang
tsunami, juga diperparah oleh tata ruang yang kurang ramah
bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat
dengan laut. Posisi rumah sejajar dengan pantai. Tidak ada
sabuk hijau (green belt). Mangrove tinggal secuil dan hanya
tumbuh di beberapa tempat.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat bera-
gam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama,
kerusakan struktur bangunan akibat gaya hidrodinamik
gelombang. Kedua, keruntuhan struktur bangunan karena
fondasinya tergerus arus air laut yang amat deras. Ketiga,
kerusakan struktur bangunan akibat hantaman benda-ben-
da keras seperti kapal, puing-puing bangunan, dan sema-
camnya yang terbawa oleh gelombang.
Memulihkan Bencana
Dalam teori klasik manajemen penanggulangan ben-
cana, rehabilitasi merupakan salah satu komponen penting
dalam siklus manajemen penanggulangan bencana setelah
terjadinya bencana. Sesudah bencana terjadi, biasanya kor-
61
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
ban perlu ditangani dengan cepat, yaitu dengan pencarian
dan penyelamatan (search and rescue atau SAR). Kemudi-
an diperlukan pula pengobatan dan makanan serta tempat
berlindung sementara.
Tahapan tersebut disebut fase tanggap darurat (emer-
gency respond). Setelah langkah darurat itu dapat diatasi,
perlu konsolidasi jenis kerusakan, jenis bantuan, dan lain
sebagainya. Kegiatan pada fase ini lebih menyangkut pe-
ngenalan dan inventarisasi masalah, sambil terus melaku-
kan penanganan darurat.
Jika kondisi sudah dapat dikuasai dan relatif tenang,
tahap selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi baik secara
fisik maupun mental. Penduduk perlu diberi kepercayaan
diri dan memahami arti bencana alam tersebut secara logis
dan proporsional.
Apalagi setelah bencana, kepanikan sering terjadi. In-
formasi yang tak jelas kebenarannya sangat rentan dan
menambah trauma. Desas-desus sering menyesatkan dan
menghilangkan kepercayaan diri. Di sinilah, para ahli harus
bisa menjelaskan dan meyakinkan bahwa bencana itu me-
rupakan proses alam. Sepanjang sejarah, tsunami susulan
belum pernah terjadi lagi dalam waktu dekat di tempat yang
sama.
Setelah kebingungan korban diatasi, barulah dilakukan
perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang komprehen-
sif dan terintegrasi. Artinya, pemulihan itu bisa dimulai dari
pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana re-
konstruksi, dan perbaikan lingkungan.
Jadi, dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus
62 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di
kemudian hari sehingga dampaknya bisa diminimumkan.
Kalau perlu penduduk dipindahkan, bisa di sekitar lokasi
bencana (relokasi) atau ke tempat yang lebih jauh (trans-
migrasi). Walaupun pada kenyataannya hal tersebut sangat
sulit dilakukan mengingat karakteristik sosial dan budaya
masyarakat yang menginginkan tetap tinggal di pantai.
Hal itu tercermin dari korban tsunami Banyuwangi
(1994) dan Biak (1996). Walaupun telah dipindahkan ke
tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula
yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse-
but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih
lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu me-
reka, dan lain sebagainya.
Fenomena ini bertolak belakang dengan korban tsuna-
mi di Banda Aceh. Salah satu korban tsunami yang selamat,
Hamdan (50 tahun), kepada penulis mengatakan, ia dan te-
man-temannya tidak menginginkan kembali tinggal di tem-
pat semula. Oleh karena itu dalam melakukan rehabilitasi
dan rekonstruksi diperlukan perencanaan yang komprehen-
sif dengan mempertimbangkan faktor fisik, sosial budaya,
dan lingkungan.
Menghindari Tekanan
Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur
bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan
arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus
dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang
menghantam bangunan lebih kecil.
63
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Untuk shear wall (tembok penguat) dan lateral bracing
(rangka penguat) ditempatkan searah dengan penjalaran
gelombang tsunami. Tujuannya, untuk memperkokoh
bangunan terhadap gempuran tsunami.
Lantai terbawah dari bangunan bertingkat sebaiknya
dibuat terbuka sama sekali, atau dindingnya terbuat dari
bahan yang mudah retak (seperti kayu). Maksudnya agar
tsunami dapat lewat dengan leluasa sehingga mengurangi
beban horisontal pada struktur. Sementara itu, lantai-lantai
di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi.
Pondasi didesain menerus karena terbukti mempunyai
ketahanan (resistance) yang lebih baik untuk menahan
gerusanakibatarusairyangderas.Sistemstrukturbangunan
juga harus tahan gempa. Sebab, bangunan tersebut akan
terkena gempa lebih dulu sebelum gelombang tsunami
datang. Strukturnya juga diperhitungkan untuk mengatasi
benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang
terlempar pada saat tsunami menyerbu pantai.
Upaya lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dengan
membuat tata ruang yang ramah bencana. Di tempat-
tempat yang berpotensi terkena tsunami harus ditata ulang.
Tempat-tempat perlindungan (shelter) perlu dibangun untuk
evakuasi jika terjadi tsunami di pesisir yang penduduknya
padat. Modelnya bisa dilihat pada Gambar 11.1. Bangunan
tersebut berfungsi ganda, sebagai tempat pertemuan atau
rekreasi di hari-hari biasa dan tempat berlindung apabila
tsunami menerjang kawasan tersebut.
Pembangunan permukiman yang terlalu dekat de-
ngan garis pantai harus dihindari. Untuk NAD misalnya
64 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Gambar 11.2. Model mitigasi bencana tsunami.
jarak tersebut disesuaikan dengan jauh-dekatnya penetrasi
tsunami ke arah darat.
Daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan kembali
dengan mangrove atau hutan pantai seperti waru laut (Hi-
biscus tiliaceus) dan cemara (Casuarina sp), sesuai dengan
kesesuaian kawasan pesisirnya. Penanaman pohon kelapa
kurang efektif dalam meredam tsunami karena akarnya se-
rabut sehingga mudah roboh. Robohnya pohon kelapa ini
banyak dijumpai penulis saat melakukan survei pasca tsu-
nami Banyuwangi 1994 dan tsunami Biak 1996.
65
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengi-
ngat sistem perakarannya yang dapat meredam ombak,
arus, serta menahan sedimen. Beberapa warga sempat
terselamatkan akibat berpegangan di pohon mangrove.
Mangrove juga berfungsi untuk melindungi pantai dari
hempasan badai dan angin. Dalam beberapa kasus, peng-
gunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih mu-
rah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan
dalam hal meningkatkan kualitas perairan di sekitarnya.
Manfaat mangrove lainnya adalah untuk menahan in-
trusi air laut. Fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu me-
nyimpan air tanah. Kemampuan ini telah terbukti dari lahan
yang mangrovenya terjaga dengan baik memiliki kondisi air
tanah yang tidak terintrusi air laut. Sebaliknya, pada lahan
mangrove yang telah dikonversi untuk keperluan lain, air ta-
nahnya terintrusi oleh air laut.
Bagi pantai yang tidak cocok ditanami hutan mangrove
bisa dihijaukan dengan hutan pantai (waru dan cemara).
Secara keseluruhan, fungsi hutan pantai disajikan pada
Gambar 2. Terlihat bahwa hutan pantai yang berada di
deretan terdepan mengalami kerusakan akibat diterjang
langsung tsunami dan kapal-kapal atau benda keras lainnya
yang hanyut terbawa gelombang tsunami.
Sementara itu hutan yang berada di belakangnya
menahan pohon yang roboh. Dengan demikian, gelombang
tsunami beserta ikutannya yang sampai ke permukiman
penduduk bisa diredam. Di sisi lain, ekosistem hutan pantai
juga bisa menimbulkan gumuk (dune) yang berfungsi
mencegah genangan tsunami.
66 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
Peneliti tsunami asal Jepang, Kenji Harada dan Imamura
Fumihiko pada 2003 meneliti efektivitas hutan pantai untuk
meredam tsunami. Hutan pantai dengan tebal 200 meter,
kerapatan 30 pohon per 100 meter persegi, dan diameter
pohon 15 cm ternyata dapat meredam 50 persen energi
gelombang tsunami setinggi 3m.
Begitu pula di kawasan lidah pasir (sand bar) yang
panjangdanberasosiasidengansungaiyangsejajarlautyang
adadiKruengRaya,seyogianyadihijaukansemua,tidakboleh
dijadikan permukiman. Pengalaman menunjukkan tsunami
di Papua New Gunea pada 17 Juli 1998 telah menewaskan
dan membenamkan 3.000 orang penduduk yang tinggal di
kawasan lidah pasir ke dalam laguna Sissano.
ctd
Artikel ini dimuat Kompas edisi 20 Januari 2005.
67
Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono
Membangun Selatan Jawa
Pascatsunami
T
sunami 17 Juli 2006 yang diakibatkan gempa bumi
(tsunamigenic earthquake) berkekuatan 6,8 skala
Richter melumat kawasan pesisir di selatan Pulau
Jawa. Ribuan permukiman penduduk, hotel, tambak, dan
sarana infrastruktur lainnya hancur dan melumpuhkan
perekonomian di pesisir Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, dan
Kebumen.
Lalu bagaimana membangun kawasan pesisir selatan
Jawa pascatsunami? Berdasarkan pengalaman Jepang,
negara yang paling sering diterjang tsunami, ada dua hal
pokok yang perlu mendapat prioritas.
Pertama, membangun kesadaran masyarakat yang
tinggal di kawasan rawan tsunami. Kedua, menata kembali
kawasan pesisir sedemikian rupa sehingga daerah tersebut
aman dari terjangan tsunami di lain waktu.
12
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf
Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf

More Related Content

Similar to Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf

Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdf
Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdfPedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdf
Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdfnovitrioktavia
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Luhur Moekti Prayogo
 
244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologi244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologiArdisAgustin
 
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...Luhur Moekti Prayogo
 
Kesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan BencanaKesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan BencanaMuhammad Arafat
 
Power Point - AMAN BENCANA Sekolah.pptx
Power Point  - AMAN BENCANA Sekolah.pptxPower Point  - AMAN BENCANA Sekolah.pptx
Power Point - AMAN BENCANA Sekolah.pptxpurnomowidhi10
 
Makalah Full Paper
Makalah Full PaperMakalah Full Paper
Makalah Full PaperWindra Hardi
 
Buumitigasibencana 190501124954
Buumitigasibencana 190501124954Buumitigasibencana 190501124954
Buumitigasibencana 190501124954ACOBIAKTV
 
Llingkungan Penyelaman
Llingkungan PenyelamanLlingkungan Penyelaman
Llingkungan PenyelamanImam Tolkha
 
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...Arok Pramudhita
 
Fidel undp dishubkomintel1
Fidel undp dishubkomintel1Fidel undp dishubkomintel1
Fidel undp dishubkomintel1awakmila
 

Similar to Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf (20)

Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdf
Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdfPedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdf
Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.pdf
 
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
Makalah Mitigasi Bencana Pesisir - Potensi Bencana Pesisir dan Upaya Mitigasi...
 
Edited slb bahan ajar bencana_draf 1
Edited slb bahan ajar bencana_draf 1Edited slb bahan ajar bencana_draf 1
Edited slb bahan ajar bencana_draf 1
 
Laporan Mitigasi bancana
 Laporan Mitigasi bancana Laporan Mitigasi bancana
Laporan Mitigasi bancana
 
244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologi244871618 makalah-bencana-geologi
244871618 makalah-bencana-geologi
 
PPTIPASSMK.pdf
PPTIPASSMK.pdfPPTIPASSMK.pdf
PPTIPASSMK.pdf
 
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
 
Kesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan BencanaKesehatan Lingkungan Bencana
Kesehatan Lingkungan Bencana
 
MAKALAH TSUNAMI .docx
MAKALAH TSUNAMI .docxMAKALAH TSUNAMI .docx
MAKALAH TSUNAMI .docx
 
Power Point - AMAN BENCANA Sekolah.pptx
Power Point  - AMAN BENCANA Sekolah.pptxPower Point  - AMAN BENCANA Sekolah.pptx
Power Point - AMAN BENCANA Sekolah.pptx
 
Tsunami
TsunamiTsunami
Tsunami
 
Dokumen.tips makalah tsunami.
Dokumen.tips makalah tsunami.Dokumen.tips makalah tsunami.
Dokumen.tips makalah tsunami.
 
Isi
IsiIsi
Isi
 
Makalah Full Paper
Makalah Full PaperMakalah Full Paper
Makalah Full Paper
 
Buumitigasibencana 190501124954
Buumitigasibencana 190501124954Buumitigasibencana 190501124954
Buumitigasibencana 190501124954
 
Buku mitigasi bencana
Buku mitigasi bencanaBuku mitigasi bencana
Buku mitigasi bencana
 
Llingkungan Penyelaman
Llingkungan PenyelamanLlingkungan Penyelaman
Llingkungan Penyelaman
 
PPT IPBA 10.pptx
PPT IPBA 10.pptxPPT IPBA 10.pptx
PPT IPBA 10.pptx
 
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
 
Fidel undp dishubkomintel1
Fidel undp dishubkomintel1Fidel undp dishubkomintel1
Fidel undp dishubkomintel1
 

Recently uploaded

Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaafarmasipejatentimur
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7IwanSumantri7
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolikDasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolikThomasAntonWibowo
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSdheaprs
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdfanitanurhidayah51
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMIGustiBagusGending
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxSlasiWidasmara1
 
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ikaIntegrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)MustahalMustahal
 
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptxMateri IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptxmuhammadkausar1201
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSovyOktavianti
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxNurindahSetyawati1
 
PPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptx
PPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptxPPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptx
PPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptxSaefAhmad
 

Recently uploaded (20)

Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
 
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
CAPACITY BUILDING Materi Saat di Lokakarya 7
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolikDasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
Dasar-Dasar Sakramen dalam gereja katolik
 
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNSLatsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
Latsol TWK Nasionalisme untuk masuk CPNS
 
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdfModul Projek  - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
Modul Projek - Batik Ecoprint - Fase B.pdf
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMMAKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
AKSI NYATA BERBAGI PRAKTIK BAIK MELALUI PMM
 
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptxMODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
MODUL P5 KEWIRAUSAHAAN SMAN 2 SLAWI 2023.pptx
 
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ikaIntegrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Integrasi nasional dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
 
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptxMateri IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
Materi IPAS Kelas 1 SD Bab 3. Hidup Sehat.pptx
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptxSesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
Sesi 1_PPT Ruang Kolaborasi Modul 1.3 _ ke 1_PGP Angkatan 10.pptx
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
PPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptx
PPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptxPPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptx
PPT PENELITIAN TINDAKAN KELAS MODUL 5.pptx
 

Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim.pdf

  • 1. Subandono Diposaptono Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Pesisir dan Lautan Gedung Mina Bahari II Lt. 7 Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059 Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Subandono Diposaptono Dalam 7 tahun terakhir ini bencana alam di Indonesia datang silih berganti. Usai gempa dan tsunami dahsyat di kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (26/12/2004) yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, hanya berselang tiga bulan gempa bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Setelah itu Yogjakarta juga dihantam gempa, Sidoarjo meluap lumpur panasnya, pantai selatan Jawa Barat disapu tsunami, dan di berbagai kota direndam banjir. Lagi-lagi, gempa dan tsunami juga menyapu Kepulauan Mentawai (25/10/2010). Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam. Ratusan ribu orang kehilangan nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Kini, masyarakat dunia --termasuk Indonesia— harus menghadapi perubahan iklim dengan segala dampaknya seperti banjir, kekeringan, badai, pergeseran musim, kenaikan muka laut, dan lain sebagainya. Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Dan di buku inilah Anda akan mendapat pengalaman menarik bagaimana menghadapi berbagai bencana tersebut. 9 789791 291033 ISBN 978-979-1291-03-3
  • 2. Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur Sidoarjo Subandono Diposaptono Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Direktorat Pesisir dan Lautan 2011
  • 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
  • 4. Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur Sidoarjo Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia Oleh Direktorat Pesisir dan Lautan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Penulis : Subandono Diposaptono Design Graphic : Amir Cover : Deky Rahma Sukarno Hak cipta dilindungi Undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Sebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur Sidoarjo Diterbitkan oleh: Direktorat Pesisir dan Lautan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan xvi + 176 halaman, 11,5 cm x 17,5 cm ISBN: 978-979-1291-03-3
  • 5.
  • 6. Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Sejarah mencatat, Indonesia sepertinya tak pernah terbe- bas dari bencana alam. Gempa bumi dan tsunami datang silihberganti.Halinidapatdimaklumikarenasecarageografis, posisi Indonesia berada pada jalur cincin api (ring of fire) dan pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Se- lain gempa dan tsunami, posisi Indonesia di katulistiwa yang diapit oleh dua benua besar mengakibatkan adanya dinamika iklim yang pada banyak kejadian memicu meningkatnya ban- jir, rob, longsor, kekeringan, abrasi, dan lain-lain. Menyadari kita berada di daerah rawan bencana alam itulah, pemerintah memiliki komitmen nyata bagi upaya mi- tigasi bencana. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014. RPJM menegaskan dan mengamanatkan penanggulangan bencana sebagai prioritas pembangunan. Komitmen dan konsistensi Pemerintah dalam pengurangan resiko bencana tersebut telah diapresiasi oleh berbagai pihak. Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) baru-baru ini memberikan penghargaan ber- gengsi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
  • 7. vi Global Champion for Disaster Risk Reduction. Apresiasi dari masyarakat internasional ini menjadi pengingat bagi kita agar selalu konsisten dan tetap waspada terhadap bencana alam yang setiap saat mengintai kita. Seiring dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah, sedang, dan akan selalu melakukan mainstream- ing (pengarusutamaan) mitigasi atau pengurangan risiko ben- cana ke dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Dalam konteks pengurangan resiko bencana itulah, kami menyambut baik terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim yang ditulis Subandono Di- posaptono. Dari buku inilah masyarakat dapat belajar banyak hal bagaimana melakukan mitigasi bencana agar kita dapat memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya. Buku ini juga dapat membantu kita dalam melakukan berbagai upaya adaptasi perubahan iklim yang sekarang ini menjadi persoalan serius bukan saja di Tanah Air, tetapi juga segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Dengan kata lain, iklim yang telah berubah secara global ini membutuh- kan usaha bersama dari seluruh penduduk dunia agar masa depan Bumi dapat lestari. Jakarta, Desember 2011 Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo
  • 8. vii Pengantar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Kami layak memberi apresiasi atas terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim yang sedang Anda baca ini. Buku yang ditulis oleh Subandono Diposaptono ini dapat membantu kita semua memahami berbagai pemikirannya tentang pengurangan risiko bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, rob, dan perubahan iklim di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemahaman mengenai fenomena bencana alam tersebut sangatlah penting untuk memberi bekal bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis memang berada di wilayah rawan bencana geologis dan hidrometeorologis. Dengan demikian setiap terjadi bencana alam kita lebih siap menghadapinya.Bukanbersikapsebaliknya,diliputirasatakut dan panik yang berlebihan. Sikap emosional yang berlebihan semacam itu justru hanya menambah penderitaan. Menghadapi gempa dan tsunami kita dapat belajar dari Jepang. Meskipun tsunami menghajar pantai Sanriku, Jepang
  • 9. viii setinggi 10-20 meter pada 11 Maret 2011 dan memporak- porandakan kawasan pesisir tersebut, namun jumlah korban yang tewas tergolong minim. Hal ini disebabkan mereka su- dah memahami berbagai hal mengenai gempa dan tsunami. Berbagaiupayamitigasiitudisiapkanmulaidarimelindungi kawasan strategis di sekitar pantai baik secara fisik maupun nonfisik, membangun sistem peringatan dini, mengevakuasi diri sebelum tsunami menerjang, hingga langkah-langkah strategis selama masa tanggap darurat dan pascabencana guna membantu para korban yang selamat dan memulihkan kembali lingkungan yang hancur tersebut. Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang peduli terhadap berbagai upaya untuk memahami bencana alam dan perubahan iklim. Jakarta, November 2011 Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Dr. Syamsul Maarif, MSi
  • 10. ix Sekapur Sirih dari Penulis Tujuh tahun terakhir ini bencana alam datang silih berganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR). Seluruh kota lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire juga mengalami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sempat ditunda. Tepatsebulansetelahitu,gilirankawasanpesisirNanggroe Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami yang ditimbulkan oleh gempa tektonik yang berpusat di Samudra Hindia dan berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih dari 200.000 orang. Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya berselang sekitar tiga bulan, tepatnya 28 Maret 2005, gempa bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Bangunan rumah dan perkantoran di kawasan pesisir itu juga babak belur dihantam gempa. Lalu, sejak Mei 2006 hingga 2010 berbagai bencana me- landa kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi Jogjakarta, meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas Sido- ardjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang, banjir di DKI Jakarta, tanah longsor di Manggarai, NTT, gempa
  • 11. bumi di Solok, gelombang pasang yang menghantam pesisir di belasan provinsi yang menghadap Samudra Indonesia, dan lain sebagainya. Masih lekat dalam ingatan kita ketika di kegelapan malam, Senin 25 Oktober 2010, Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi 7 meter. Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400 orang dan lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berke- kuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlantakkan permu- kiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan di- terjang tsunami Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam. Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Menurut hitungan, kerugian material dan kerusakan lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Selain berbagai bencana alam tersebut, masyarakat du- nia, tak terkecuali Indonesia juga sedang diguncang isu peru- bahan iklim. Berbagai indikator itu telah ada di depan mata kita. Frekuensi cuaca ekstrim (banjir, kekeringan, dan badai) misalnya, makin sering terjadi akhir-akhir ini sebagai dampak dari perubahan iklim. Indikator lainnya, masyarakat di berbagai daerah juga mengalami pergeseran musim yang tentu saja mengubah cara mereka bercocok tanam dan menangkap ikan. Di daerah
  • 12. xi lain, suhu udara kian menyengat dibandingkan dengan 20 tahun silam. Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana dan adaptasi perubahan iklim membuat kita dapat menyesuaikan diri dengan suasana lingkunganyangbaruagarkitatetapdapathidupdenganaman dan nyaman. Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, kami ingin menyumbangkan beberapa pemikiran ke arah itu. Istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbe- da dengan istilah “mitigasi” dalam terminologi bencana. “Mi- tigasi” dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam da- lam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi perubah- an iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif. Sebagai contoh, dalam kasus dampak asap terhadap sesak nafas akibat kebakaran hutan. Upaya mitigasi dampak asap dilakukan dengan memadamkan kebakaran sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan dampak asap terhadap sesak nafas akibat kebakaran hutan. Sedangkan upaya adaptasi dilakukan dengan menggunakan masker penutup hidung sehingga dampak asap kebakaran hutan terhadap sesak nafas dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Salah satu contoh lain untuk memudahkan dalam memahami dan membedakan istilah mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim adalah saat seseorang berada di ruang yang dingin akibat menggunakan alat pendingin ruangan (air conditioner
  • 13. xii atau AC). Upaya untuk mengurangi risiko dampak kedinginan dapat dilakukan dengan mitigasi dan adaptasi. Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan menaikkan suhu AC sehingga ruangan menjadi lebih hangat dan nyaman. Se- mentara itu, upaya adaptasi dapat dilakukan dengan meng- gunakan pakaian penghangat badan (jaket). Kedua kegiatan tersebut sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/ri- siko terhadap kedinginan yang ditimbulkan oleh AC. Sementara itu, “mitigasi” dalam terminologi bencana di- definisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko/dampak akibat bencana baik oleh alam maupun ma- nusia. Jadi istilah ‘mitigasi” dalam bencana sudah mencakup mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim. Mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/risiko akibat perubahan iklim. Padakesempatanyangbaikini,kamimenghaturkanterima kasih kepada pengelola media massa cetak seperti Kompas, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Majalah Samudra, Tempo, Gatra, dan Jurnal Dinamika Masyarakat. Media-media tersebut telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menuangkan berbagai pemikiran mitigasi bencana kepada masyarakat luas. Kami menyadari buku ini laksana setetes air di samudra luas. Karena itu, segala masukan dan kritikan sangat berarti bagi kami agar buku kecil ini menjadi lebih sempurna di kemudian hari. Jakarta, November 2011 Subandono Diposaptono
  • 14. xiii – Jika kita bertindak dan bencana terhindarkan, maka kita mencegah penderitaan manusia yang berat. – Jika kita bertindak dan tidak ada bencana, maka kita tidak rugi dan mendapatkan keuntungan berupa lingkungan. – Jika kita tidak bertindak dan terjadi bencana, akan ada tragedi global. – Jika kita tidak bertindak dan tidak ada bencana, akibatnya akan tergantung semata-mata pada peruntungan. (Barry Jones, 1990) Bumi ini cukup untuk kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak cukup untuk semua keinginan manusia. (Mahatma Gandhi) Jadikan mitigasi dan adaptasi bagian dari keseharian hidup kita untuk mendorong iklim perubahan dan mengerem perubahan iklim.
  • 15. xiv Daftar Isi v Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan RI vii Pengantar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana ix Sekapur Sirih dari Penulis 1 1. Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami? 5 2. Mengakrabi Tsunami 13 3. Mitos-Mitos Tsunami 17 4. Hidup Bersama Gempa 22 5. Membangun Rumah, Menahan Gempa 27 6. Mampukah Meramal Tsunami? 35 7. Mitigasi Hindarkan Korban Gempa dan Tsunami 44 8. Saatnya Merevolusi Mitigasi Gempa dan Tsunami 48 9. Mendesak, Mitigasi Tsunami Berbasis Masyarakat 53 10. Mengenang Tsunami Aceh 2004: Belajar Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascatsunami dari Okushiri 58 11. Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan 67 12. Membangun Selatan Jawa Pascatsunami
  • 16. xv 79 13. Menghalau Banjir 85 14. Rob di Tengah Isu Pemanasan Global 90 15. Meredam Banjir Rob 96 16. Mengantisipasi Gelombang Pasang 102 17. Penambangan Pasir dan Ekologi Laut 110 18. Memanfaatkan Lumpur Sidoarjo 116 19. Meredam Abrasi dengan Tuntas 132 20. Dampak Pemanasan Global: Pulau-pulau Kecil Terancam Tenggelam 138 21. Potensi Bencana di Indonesia dan Sosialisasinya 151 22. Meningkatkan Sinergitas Penanggulangan Bencana di Indonesia 166 23. Merencanakan Pengelolaan Pesisir Berbasis Mitigasi Bencana 175 Sekilas Penulis
  • 17.
  • 18. Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami? I ndonesia kembali berduka. Di kegelapan malam, Senin (25/10/2010), Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi sekitar 7 meter. Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400 orang. Selain itu, lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berkekuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlan- takkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan diterjang tsunami. 1
  • 19. MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Kita memang dibuat terpana atas tragedi tsunami yang kian sering melanda kawasan pesisir. Berdasarkan catatan penulis, selama tahun 1600 sampai 2010, Indonesia telah mengalami 110 kejadian tsunami. Artinya, dalam rentang waktu tersebut, kita mengalami tsunami setiap sekitar 4 tahun. Namun, sejak tahun 1960 hingga 2010, kejadian tsu- nami semakin meningkat. Dalam rentang 50 tahun terakhir ini terjadi 23 tsunami atau sekitar setiap dua tahun tsunami melanda pesisir Indonesia. Sangatlah sulit menjelaskan secara ilmiah alasan tsu- nami lebih kerap terjadi belakangan ini. Kita hanya paham, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng Bumi, yak- ni Eurasia, Indo-Australia, dan Samudra Pasifik, yang terus bergerak dan bertumbukan. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan gempa dan tsunami. Hingga kini, ilmu pengetahuan dan teknologi juga belum mampu menjawab kapan gempa dan tsunami terjadi. Tragedi itu bisa terjadi kapan saja, menyergap yang lengah. Bagaimana kiat agar kita dapat hidup aman di daerah rawan tsunami? Tak ada cara lain, kita harus selalu siap siaga dalam berjibaku dengan tsunami. Strategi awal yang paling mujarab adalah membekali diri kita dengan pengetahuan tsunami. Pakar dari Jepang, Prof Tomostuka Takayama dan Dr Susumu Murata, yang berbicara di Jakarta, Rabu (27/10/2010), menuturkan pengalaman mereka meneliti berbagai kasus tsunami, baik di Jepang maupun Cile. Menurut mereka, orang-orang yang selamat dari terjangan tsunami adalah yang memiliki pengetahuan dan memori
  • 20. Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono tentang tsunami. Sebaliknya, orang- orang yang tidak punya bekal pengetahuan tersebut bakal menjadi korban sia-sia tsunami. Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi tentang tsunami perlu terus digalakkan. Ketika tsunami terjadi, tak banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Kecepatan berlari manusia sangat tidak seimbang dengan kecepatan tsunami di daratan yang dapat mencapai 30-40 km per jam. Dengan kecepatan sebesar itu, manusia yang berdiri tegak dan tenang sekalipun tak mampu bertahan dari empasan tsunami. Apalagi dalam kondisi panik, tubuh kita mudah tergelincir, hanyut, dan akhirnya tewas tenggelam. Kitajagoberenang?Tampaknyakeahlianitutidakberarti apa-apa karena arus tsunami terus menggulung selama puluhan menit. Arus itu menyeret dan menenggelamkan tubuh kita semakin jauh ke tengah laut. Jadi, janganlah sekali-sekali berjibaku langsung dengan tsunami. Begitu Bumi terasa bergetar digoyang gempa, lekaslah berlari menjauhi pantai dan mencari tempat yang tinggi dan aman (bukit, bangunan bertingkat yang kokoh, atau pohon) tanpa harus menunggu peringatan. Kalau tidak ada tempat aman, sebaiknya segera dibuat shelter atau menara evakuasi. Shelter ini dibangun di tempat- tempat strategis agar mudah dan cepat dijangkau masyarakat. Begitu juga ketika air laut surut mendadak. Janganlah tergoda pada ikan menggelepar di dasar laut yang surut. Tinggalkan segera pantai tersebut, lalu berlindunglah ke tempat yang aman dari jangkauan tsunami. Bagi Anda yang sedang berada di perahu motor atau
  • 21. MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM kapal, segera lajukan ke tengah laut. Langkah ini setidaknya memiliki dua manfaat. Pertama, perahu atau kapal tersebut tidak hanyut dan terseret ke darat sehingga tidak merusak bangunan yang diterjangnya. Kedua, kapal beserta awaknya dapat selamat. Hal ini bisa terjadi karena kendati kecepatan tsunami di laut dalam (deep sea) lebih besar daripada di laut dangkal (shallow water), ketinggian tsunaminya masih rendah. Kapal pun dapat melaju dengan aman dan terkendali. Bagi kawasan pesisir yang memiliki aset ekonomi vital, saatnya melindunginya dengan berbagai bangunan pelindung. Bangunan semacam ini dapat meredam tsunami yang akan menerjang permukiman dan bangunan vital lainnya. Tak kalah penting adalah setiap kabupaten/kota yang rawan tsunami membuat peta risiko tsunami sebagai landasan penataan kawasan dan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar aman dari terjangan tsunami. Kalau saja langkah-langkah pintar tersebut dipakai, niscaya kita tidak mudah takluk berjibaku dengan tsunami yang setiap saat mengintai kita. ctd Artikel ini dimuat di Kompas edisi 30 Oktober 2010.
  • 22. Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Mengakrabi Tsunami L agi-lagi kita dibuat sangat prihatin. Kendati telah puluhan kali tsunami menerjang kawasan pesisir Indonesia, masyarakat luas masih belum memahami fenomena itu. Itulah yang baru saja terjadi di kawasan pesisir utara Kabupaten Serang, Banten, baru-baru ini. Ya, pada Sabtu (5/9/2009) malam, cuaca di kawasan itu memang tak bersahabat. Hujan dan angin bertiup kencang. Banjir rob pun melanda kawasan tersebut. Di tengah-tengah situasi yang tak wajar itu, beberapa orangsengajamengembuskanisutsunami.Akibatnya,warga pun berhamburan. Mereka panik, berlarian menyelamatkan diri sehingga seorang warga meninggal karena kelelahan dan tujuh orang pingsan karena panik (Kompas, 7/9/2009). Korban sia-sia seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi andaisajamasyarakatmengertidanpahamtentangtsunami. 2
  • 23. MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Tsunami hanya terjadi jika ada gempa di dasar laut, letusan gunung api di laut, longsoran di laut, atau benda langit (meteor) dalam ukuran besar jatuh ke laut. Di luar penyebab itu, Anda tak perlu cemas dan panik. Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa akibat tsunami? Berkaca pada pengalaman Je- pang yang sering diterjang tsunami, upaya tersebut adalah dengan melakukan mitigasi tsunami, baik secara fisik mau- pun nonfisik. Kedua sistem tersebut bisa saling melengkapi, bergan- tung pada daerah rawan tsunami yang akan ditinjau. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya mitigasi, perlu dipertim- bangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Pelaksa- naannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait. Mitigasi nonfisik Mitigasi nonfisik yang perlu segera dilakukan adalah pembuatan peta rawan tsunami. Langkah berikutnya mela- kukan sosialisasi, penyadaran, pelatihan, geladi (drill), dan memberikan penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait dengan tsunami, mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami, dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat- kan diri. Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu dilakukan dengan cara yang lebih menarik. Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang benar-benar merakyat, seperti pengajian akbar, wayang
  • 24. Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono (golek, orang, atau kulit, Cenk Blonk), ketoprak, dangdut, teater rakyat atau kesenian daerah yang lain. Melalui cara penyampaian yang berakar pada budaya mereka sendiri, tsunami bisa dengan mudah mereka pahami. Pengalaman Departemen Kelautan dan Perikanan dalam melakukan sosialisasi bencana gempa dan tsunami di berbagai daerah melalui media hiburan perlu terus digalakkan. Bukan apa-apa, daya tarik hiburan semacam ini bisa menjadi magnet bagi ribuan warga. Ditengah-tengahhiburanitulahkitabisamenyampaikan penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh mereka tentang bencana gempa dan tsunami. Dengan demikian, mereka bisa mengenal gejala, karakteristik, ciri- ciri, dan dampak gempa dan tsunami. Dari sini mereka mendapatpengetahuanmengenaicara-caramenyelamatkan diri dari bencana itu. Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me- reka, juru penyuluh bisa menambahkan materi nilai-nilai ke- agamaan yang menerangkan hubungan di antara manusia, “Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa akibat tsunami? Ada dua upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan mitigasi tsunami, baik secara fisik maupun nonfisik.”
  • 25. MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM alam, dan lingkungannya. Harus diakui, kita masih sangat lemah soal sosialisasi. Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat terhadap tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama setelah itu mereka menjadi korban keganasan tsunami. Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika pesisir utara Kabupaten Serang dilanda rob. Mereka yang tinggal di pe- sisir berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk me- nyelamatkan diri menghindari tsunami. Padahal, secara ilmiah, tsunami hanya terjadi apabila ada faktor pemicu, seperti gempa bumi di laut, meletusnya gunung api di laut, atau longsoran tanah di laut. Seperti pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Selain mereka menjadi korban meninggal, pingsan, dan luka-luka saat melarikan diri, rumah yang mereka tinggalkan juga kerap menjadi sasaran penjarah oleh oknum yang memang ingin mengail di air keruh. Perlu dicatat, tidak semua gempa bumi di laut menye- babkan tsunami. Tsunami terjadi apabila gempa di dasar laut memiliki kekuatan lebih dari 6,5 skala Richter, pusat gempa- nya termasuk dangkal (kurang dari 60 kilometer dari dasar laut), dan sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Itulah mengapa
  • 26. Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono gempa bumi Tasikmalaya tidak menimbulkan tsunami. Jadi, kalau ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, jangan panik, tsunami tak akan terjadi. Mitigasi secara nonfisik lainnya perlu dilakukan, seper- ti memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang yang aman. Pemerintah daerah harus konsisten dalam me- negakkan peraturan dan tata ruang. Artinya, kalau memang kawasan itu dianggap rawan tsunami, janganlah sekali-seka- li memanfaatkan kawasan tersebut untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya. Siapa pun yang melanggar, wajib dikenai sanksi. Sebab, kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami mener- jang, korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya manusia yang beraktivitas di sana. Mitigasi secara fisik Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu- payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya, yaitu dengan menanam berbagai pohon, seperti mangrove, cemara laut, waru laut, dan ketapang, disesuaikan dengan kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah dilakukan, murah, dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsu- nami yang menjalar hingga ke daratan. Selain itu, benda-benda yang berada di pantai, seperti kapal dan perahu, juga bisa tertahan oleh vegetasi ini sehing- ga jumlah korban dan kerusakan bangunan bisa diperkecil. Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas. Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang
  • 27. 10 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa atau pohon lain yang banyak berjajar di pantai. Caranya, lubangi batang tersebut secukupnya sehingga bisa memu- dahkan manusia memanjat pohon ketika tsunami terjadi. Pada ketinggian tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau lonceng sebagai alat bantu untuk minta pertolongan atau memberikan peringatan kepada masyarakat. Selain itu, di sepanjang daerah rawan tsunami juga bisa saja dibuat prasarana dan sarana pengendali, seperti mem- bangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelombang (break water). Cara ini memang butuh ongkos tinggi. Namun, biaya untuk membuat tembok laut tersebut ti- dak ada artinya dibandingkan dengan aset-aset vital bernilai ekonomi tinggi yang ingin dilindungi, seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan strategis lainnya. Di Gambar 4.1 Vegetasi tanaman di pinggir pantai berfungsi meredam kekuatan tsunami.
  • 28. 11 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono beberapa kawasan pantai Jepang, mereka juga memben- tenginya dengan tembok sampai pada ketinggian yang su- dah tidak terjangkau lagi oleh tsunami. Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat sehingga tahan terhadap guncangan gempa. Rumah pang- gung, baik terbuat dari kayu maupun beton, bisa menjadi alternatif karena tidak mudah roboh akibat terjangan tsuna- mi. Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran tsunami. Ditempat-tempatyangjauhdaribukitdanpenduduknya padat perlu dibuat selter (shelter). Bangunan ini sebaiknya bertingkatdanterbuatdaribetonyangkokohsehinggatahan terhadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, selter Gambar 4.2 Bukit berfungsi sebagai tempat evakuasi ketika terjadi tsunami juga dapat melindungi tanaman dari uap air laut.
  • 29. 12 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan, tempat rekreasi, dan lain-lain. Namun, ketika tsunami, selter bisa dipakai sebagai tempat berlindung. Jika lahan terbukanya luas tetapi tidak punya bukit, bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya untuk menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi tsunami. Bukit tersebut bisa dibuat dari urukan tanah dengan sistem terasering sehingga dapat diakses dari berbagai arah. Tinggi selter dan bukit buatan itu disesuaikan dengan tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjangkau lokasi tersebut. Usahakan bukit dan selter tersebut bisa ditempuh oleh warga dalam waktu kurang dari 15 menit. Melalui berbagai upaya mitigasi secara nonfisik dan fisik seperti itu, niscaya kita lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi setiap tsunami. Dengan begitu, ke depan kita senantiasa bisa hidup akrab dengan tsunami yang setiap kali mengintai. ctd Artikel ini dimuat di Kompas edisi 8 September 2009.
  • 30. 13 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Mitos-Mitos Tsunami M engapa jumlah korban tsunami Jepang 2011 relatif kecil? Salah satu faktornya adalah karena masyarakat Jepang memiliki pengetahuan tsu- nami yang sangat baik. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, Thailand, dan Sri Lanka yang minim pengetahuan sehingga menelan lebih banyak korban. Pengetahuanyangbaiktentangtsunamiakanmembantu kita selamat dari amukan si gelombang pembunuh. Lalu, apa mitos-mitos yang selama ini berkembang di masyarakat yang membuat mereka menjadi korban, termasuk juga di Jepang pada tempo dulu? Mitos Keliru Mitos pertama adalah tsunami terjadi akibat gempa yang kuat, sebagaimana anggapan masyarakat Mentawai. 3
  • 31. 14 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PengetahuaninidiperolehdaripengalamangempaBengkulu (2007). Gempa tersebut terasa kuat hingga ke Mentawai, namun tsunami tak terjadi di Mentawai. Memori inilah yang melekat di benak mereka ketika 25 Oktober 2010 Mentawai digoyang gempa dan getarannya lemah. Mereka pun merasa tenang-tenang saja dan tidak melakukan evakuasi. Sekitar 14 menit setelah gempa, tsu- nami menyapu mereka yang tak sigap. Fakta menunjukkan, hampir 10 persen tsunami yang terjadi di dunia diakibatkan oleh gempa bumi di laut yang getaran gempanya terasa le- mah. Mitos kedua adalah tsunami didahului laut surut secara mendadak. Ketika terjadi tsunami 2004, sebagian masyarakat Sri Lanka memiliki mitos bahwa tsunami akan didahului laut surut secara mendadak. Ternyata mereka keliru, tsunami langsung menyapu kawasan pesisir, tidak didahului oleh laut surut mendadak. Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Fakta menunjuk- kan, hampir 10 persen tsunami di dunia tidak didahului laut surut mendadak. Hal ini juga terjadi di Papua akibat tsunami Jepang 2011. Mitos ketiga adalah tsunami tidak terjadi ketika getaran gempanya kuat, di musim dingin, dan langit yang cerah. Pada 15 Juni 1896 saat terjadi gempa, langit di Sanriku (Jepang) berawan tebal dengan cuaca sangat panas dan lembab. Getaran gempa terasa sangat lemah. Setelah itu, Sanriku disapu tsunami dahsyat setinggi 38 meter. Berdasarkan peristiwa tersebut, masyarakat lalu mem- buat persepsi sendiri: “Jika getaran gempanya lemah maka
  • 32. 15 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono tsunami yang terjadi besar, dan tsunami terjadi pada musim panas ketika udara lembab dan hujan.” Ketika pengetahuan ini diceritakan turun-temurun maka berkembanglah mitos baru yang yang keliru: “Apabila getaran gempanya kuat maka tsunami yang terjadi lemah (kecil), tsunami tidak ter- jadi pada musim dingin, dan tsunami tidak terjadi di hari cerah.” Kemudian pada 3 Maret 1933, Sanriku dihentak gempa kuat pada musim dingin dengan cuaca cerah. Apa yang terjadi? Masyarakat yang menganut mitos keliru tadi tidak melakukan evakuasi. Mereka yakin, tsunami tidak terjadi ketika getaran gempanya kuat, di musim dingin, dan langit yang cerah. Akibatnya korban pun berjatuhan. Padahal tsunami dapat terjadi pada gempa yang lemah atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apa pun. Syarat terjadinya tsunami adalah gempa di laut berkekuatan lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya kurang dari 60 km, dan mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar. Mitos keempat, gelombang pertama tsunami meru- pakan gelombang terbesar. Akibat mitos keliru ini seorang warga Holtekamp Jayapura menjadi korban tsunami Jepang 2011. Setelah gelombang pertama setinggi satu meter yang menghantam Holtekamp pukul 21.15 WIT berlalu, dia ber- maksud kembali ke rumah. Tetapi apa daya, ia dihantam gelombang kedua setinggi 2-3 meter yang datang pada pukul 21.50 WIT. Fakta menunjukkan, tsunami terdiri dari 1- 5 gelombang dengan gelombang ke-2 atau ke-3 yang terbesar.
  • 33. 16 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Kearifan Lokal Lalu apa kiat agar selamat dari tsunami? Belajar dari kearifan lokal adalah hal yang penting. Masyarakat di Pulau Simelue sudah lama memiliki tradisi smong, segera angkat kaki ketika merasakan gempa yang terjadi di laut. Mereka pun melakukan evakuasi menuju dataran tinggi agar tidak tersentuh gelombang tsunami. Berkat smong itulah, kendati kawasan pesisir Simelue luluh lantak disapu tsunami 2004 namun hampir semua masyarakatnya selamat. KearifanlokalInamuranohidiJepangjugamenarik.Jauh sebelum teknologi peringatan dini tsunami berkembang seperti saat ini, seorang tokoh masyarakat, Hamaguchi, punya kiat tersendiri. Di kegelapan malam, pada tahun 1854, kawasan Wakayama digoyang gempa. Ia merasakan ada sesuatu yang ganjil, namun tak mung- kin memberi tahu kepada semua penduduk pantai melaku- kan evakuasi. Dalam sekejap, ia pun mengambil obor, menu- ju bukit, lalu membakar sawah dan lumbung padi. Kondisi ini memaksa penduduk berbondong-bondong ke bukit untuk melihat kobaran api tersebut. Taktik Hamaguchi ber- hasil. Begitu penduduk sampai di bukit, tsunami menyapu perkampungan yang sudah ditinggalkannya itu. Mereka akhirnya selamat dari terjangan tsunami. Belajar dari berbagai kisah nyata tersebut, kita patut membudayakan kearifan lokal. Dengan begitu, kita selalu sigap dan dapat hidup tenang di bawah ancaman tsunami yang setiap saat meneror dan membunuh siapa saja yang lengah.
  • 34. 17 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Hidup Bersama Gempa R entetan gempa merusak yang terjadi akhir-akhir ini kian mempertegas, Indonesia merupakan kawasan rawan gempa.Terakhir gempa Padang, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009) sore, berkekuatan 7,6 skala Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis (1/10/2009) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup. Suka atau tidak, gempa bumi bakal muncul di daerah- daerah yang rawan gempa. Hal ini tidak bisa dihindari karena secara geologis, Indonesia ada pada pertemuan tiga lempeng bumi: Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo- Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif, kecepatan dan arah berbeda dalam kisaran beberapa sentimeter sampai 12 4
  • 35. 18 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM sentimeter per tahun. Karena itu, mitigasi gempa penting dilakukan. Hingga kini belum ada teknologi dan pakar yang dapat meramal kapan gempa akan terjadi meski dibantu alat monitoring tercanggih.Pengetahuanmanusiabarusebataspemahaman wilayah yang berpotensi terhadap bahaya gempa. Enam upaya Sudah banyak korban berjatuhan. Setidaknya ada enam upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa, baik secara fisik/struktur maupun nonfisik/nonstruktur, guna mengurangi korban jiwa dan kerusakan. Pertama, program riset di bidang gempa. Riset dituju- kan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi terjadi gem- pa; menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, keren- tanan, dan risiko bencana; memilih teknologi mitigasi ben- cana gempa yang tepat, efektif, dan efisien; serta memilih teknologi retrofitting bangunan yang ada dan diperkirakan tidak tahan gempa. Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal, baik secara struktur maupun kultur, mencakup jaringan seismometer, global positioning system (GPS) pemantau proses gempa bumi. Ketiga, memberi pendidikan, pelatihan, penyadaran, dan geladi bagi masyarakat dan petugas pelaksana penang- gulangan bencana. Tujuannya, membangun kesiapsiagaan masyarakat dan aparat pelaksana dalam melakukan mitigasi gempa. Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi
  • 36. 19 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono dan tanggap darurat dengan membuat jalur evakuasi, membuatbangunansebagaitempatberlindung,menyiapkan sarana-prasarana untuk membantu korban dalam situasi tanggap darurat, serta menyiapkan makanan di tempat yang aman dan strategis bagi korban. Kelima, meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi. Unsur ini memungkinkan pemerintah mena- ngani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan men- dayagunakan sumber daya yang ada. Karena itu, pendirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Indonesia perlu segera didorong. Keenam,melaksanakanrencanapengembanganwilayah dan pembangunan yang aman. Secara spasial atau keruang- an, sebaran bahaya, elemen yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana pengembangan wilayah. Bagi kawasan berisiko gempa, pemerintah dapat mem- beri pengarahan untuk kegiatan mitigasi. Rumah dan ba- ngunan harus diretrofit, dibangun agar tahan gempa, dite- rapkan building code ketat. Rumah tahan gempa Kita prihatin, tiap gempa menggoyang Indonesia, banyak bangunan luluh lantak dan menimbulkan korban jiwa. Sebenarnya gempa tidak membunuh. Yang membunuh adalah bangunan yang roboh yang dientak gempa. Masalahnya, konstruksi bangunan tidak tahan gempa. Rumah dibangun seadanya. Material yang digunakan kurang memenuhi syarat teknis. Faktanya, dinding tembok tidak
  • 37. 20 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM diperkuat sloop, balok lingkar, dan kolom praktis. Kalaupun diperkuat dengan balok lingkar dan kolom beton, ukurannya kurang memenuhi syarat. Selain itu, antara fondasi, sloop, balok lingkar, dan kolom praktis kurang tersambung dengan baik. Lalu, pada bagian atap, terutama yang terbuat dari genteng, juga sering roboh tak kuasa menahan guncangan gempa. Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan dan keruntuhan bangunan adalah kurangnya pemeliharaan bangunan. Akibatnya, bangunan mengalami pelapukan dan tidak mampu menahan gempa. Berdasarkan fenomena inilah mitigasi secara fisik yang amat penting dilakukan adalah dengan membuat rumah atau bangunan tahan gempa. Lebih baik membangun bangunan yang kokoh walaupun ukurannya kecil daripada membangun rumah yang besar tetapi rapuh. Setidaknya ada 13 syarat untuk membuat bangunan tahan gempa, di antaranya denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris, satu kesatuan, dan seragam. Tidak lupa, buatlah fondasi di atas tanah yang mantap. Fondasi itu diikat secara kaku dengan sloop. Lalu, kerangka bangunan (sloop, kolom, balok keliling, dan lainnya) kokoh terhubungkan. Syarat lain, gunakan kolom pemikul (kayu, beton tulang, dan baja) untuk setiap luas dinding 12 meter persegi yang diikat sloop dan balok keliling. Jika menggunakan bata/ batako, harus bermutu baik. Selain itu, dinding harus diberi angkur berukuran 6 mm panjang 50 cm untuk tiap 30 cm pasangan bata yang
  • 38. 21 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono mengelilingitepidinding.Ingat,konstruksidindingsebaiknya dari bahan ringan (bilik, papan, papan lapis, dan lainnya). Bukaan-bukaan pada dinding sebaiknya simetris dan tidak terlalu lebar. Adukan semen pun perlu diperhatikan. Gunakan adukan semen-pasir dengan campuran yang betul dan kuat. Untuk beton gunakan semen, pasir, dan kerikil dengan rasio campuran yang tepat. Tak kalah penting, menggunakan balok keliling (balok ring) dari kayu, beton, atau baja yang diikat kolom. Konstruksiatapsebaiknyadarikayukeringdengankonstruksi sambungan yang benar dan kuat. Jangan gunakan penutup atap yang berat, tetapi pakailah bahan ringan seperti seng, asbes, dan aluminium. Dengan menerapkan keenam upaya mitigasi itu secara komprehensif, niscaya kita bisa hidup akrab dengan gempa yang terjadi setiap saat. ctd Artikel ini dimuat di Kompas edisi 2 Oktober 2009.
  • 39. 22 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Membangun Rumah, Menahan Gempa G empa berkekuatan 7,6 skala Richter di Padang Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009) sore, dan 7,0 SR di Jambi pada Kamis (1/10/2009) pagi harusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Bukan apa-apa, gempa itu telah merusakkan segalanya. Hanya dalam tempo sekejap, keindahan ranah Minang itu meredup. Lebih dari 800 orang tewas, ribuan terluka, dan ribuan rumah ambruk, rata dengan tanah. Total kerugian ditaksir lebih dari Rp 2 triliun. Daerah dengan dampak terbesar adalah Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut pengamatan penulis setelah melihat langsung 5
  • 40. 23 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono ke berbagai lokasi, konstruksi mayoritas rumah yang rusak ternyata tidak memenuhi syarat teknis (non-engineered housing). Hancurnya rumah disebabkan beberapa hal. Di anta- ranya, konfigurasi rumah. Ketidakteraturan denah meng- akibatkan gaya puntir dan konsentrasi tegangan sehingga menghancurkan bagian bangunan. Selain itu, rumah yang roboh itu tidak memiliki kolom praktis, balok keliling (ring balk), dan sloof. Tanpa hal-hal itu, rumah mudah roboh atau ambles. Kalaupun ada, ukurannya tidak memenuhi syarat. Ketidaksempurnaan sambungan mengakibatkan ele- men-elemen struktur tidak terikat baik. Mutu material, se- perti bata, kayu, pasir, dan bahan beton yang rendah, juga berdampak pada kualitas bangunan. Jika kualitas pekerjaannya buruk—adukan beton salah, campuran adukan salah, penyusunan bata sembarangan, detail pembesian salah, sambungan kayu atau beton bu- ruk, pengangkeran (anchoring) buruk, dan lain sebagainya, rumah gampang roboh. Kurangnya pemeliharaan juga mem- perlemah kekuatan bangunan. Rumah ramah bencana Berdasarkan fenomena tersebut, sudah saatnya kita berbenah. Departemen Kelautan dan Perikanan telah menginisiasi pembangunan rumah ramah bencana sejak 2006. Sampai 2008 telah dibangun sekitar 497 rumah di 18 kabupaten/kota. Rumah-rumah itu telah terbukti ampuh dan tetap kokoh berdiri walaupun digoyang gempa. Di Kota
  • 41. 24 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Pariaman dan Kabu- paten Agam, misal- nya, semua rumah itu mampu bertahan. Demikian juga rumah ramah ben- cana yang dibangun di Kabupaten Pesisir Se- latan. Rumah- rumah itu tahan terhadap gempa Bengkulu 7,4 SR, Rabu (12/9), dua tahun lalu. Pada tahun 2009 sedang dibangun 2.236 unit rumah nelayan ramah bencana di 55 kabupaten/kota. Di Kabupa- ten Agam, dari 50 rumah yang sedang dibangun, 14 rumah dindingnya roboh digoyang gempa Padang Pariaman. Pasal- nya, dinding baru dikerjakan setinggi 1 meter dan kondisi- nya masih basah. Kolom praktis belum dicor sehingga belum ada ikatan yang baik antara dinding dan kolom praktis. Ada dua tipe rumah yang dikembangkan, yakni non- panggung dan panggung. Bagi daerah di luar rayapan tsu- nami, rumah berbentuk nonpanggung. Adapun kawasan yang rawan tsunami dengan kedalaman genangan tsunami kurang dari 3 m dibuat rumah panggung. Dibentuk panggung agar tsunami dapat leluasa lewat sehingga mengurangi beban horizontal pada struktur. Di hari biasa, lantai bawah dapat digunakan untuk santai, parkir, kios, memperbaiki jaring, menimbang ikan, dan lain sebagainya. Lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi saat tsunami. Gambar 2.1 Rumah panggung untuk daerah yang rawan tsunami.
  • 42. 25 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Denah bangunan sederhana, simetris, satu kesatuan, dan seragam. Ukuran rumah rata-rata 27,5 meter persegi. Arah bangunan dibuat sedapat mungkin sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus garis pantai agar tekanan air ke bangunan lebih kecil. Sloof dipasang di atas seluruh panjang fondasi untuk mendukung dan meratakan beban tembok di atasnya dan meneruskannya ke fondasi di bawahnya. Sloof juga berfung- si mencegah naiknya air dari bawah ke atas tembok. Khusus untuk rumah panggung, sloof dipasang untuk menghubung- kan tiap-tiang panggung dan dapat berfungsi sebagai lateral bracing (penguat horizontal) terhadap hantaman tsunami. Kolom praktis dibuat untuk menguatkan tembok dan tiangpendukung,dipasangdenganjarakmaksimum3meter, pada pasangan tembok lurus dan pertemuan-pertemuan tembok. Balok keliling fungsinya untuk meratakan beban kuda-kuda dan rangka atap, rangka plafon ke dinding, atau kolom bawahnya. Struktur rumah panggung diperhitungkan guna menga- tasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang terlempar ke pantai. Tiang rumah panggung sebaiknya dari beton dan berbentuk silinder—agar bidang sentuhan dan benturan dengan puing yang hanyut sekecil mungkin. Fondasi rumah panggung berbentuk telapak (foot plate) dan terhubung kuat dengan sloof dan tiang rumah. Fondasi diletakkan 1,5 meter di bawah permukaan tanah agar ketahanannya lebih baik, guna menahan gerusan akibat arus air deras. Tsunami dapat menggerus tanah hingga sedalam 1,5 meter.
  • 43. 26 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Pola Bantul dan Klaten Untuk membangun rumah tahan gempa dan tsunami secara efisien dan efektif, kita layak meniru kegiatan rekonstruksi rumah akibat gempa di Bantul dan Klaten, model Java Reconstruction Fund (JRF). Sekitar 6.080 rumah tahan gempa dibuat JRF tanpa tender. Kontraktor tak dilibatkan. Masyarakat melaksanakan dan mengawasi pembangunan rumahnya secara langsung. Setiap kepala keluarga yang rumahnya roboh atau rusak berat mendapat bantuan Rp 20 juta untuk membuat rumah tahan gempa 21 m-27 m. Sebagian dari mereka mengeluarkan uang pribadi untuk tambahan agar rumah lebih cantik dan elok. Agarprosespembangunanberjalansesuaistandarrumah tahan gempa, mereka didampingi konsultan. Konsultan pendampingmengawasipelaksanaanpembangunanrumah, mulai dari mutu material bangunan sampai teknik-teknik pembuatan rumah. Konsultan digaji JRF. Kini, para korban itu sudah menikmati rumah-rumah tahan gempa tersebut. Hidup mereka jauh lebih tenang. Lebih dari itu, tak ada uang bantuan yang bocor karena berbagai hal. ctd Artikel ini dimuat di Kompas edisi 20 Oktober 2010.
  • 44. 27 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Mampukah Meramal Tsunami? K epanikan hebat melanda masyarakat Banda Aceh ketika sirene sistem peringatan dini (early warning system) tsunami berdering pada Selasa (5/6/2007) pagi. Mereka berlarian mencari tempat aman agar terhindar dari tsunami. Maklum, mereka masih trauma akibat tsunami dahsyat yang pernah melanda kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Desember 2004. Nyatanya memang tidak ada gempa dan tsunami. Bukan apa-apa, bunyi tersebut akibat dari kerusakan yang terjadi pada alat pendeteksi tsunami. Di tempat lain, isu-isu bakal terjadinya gempa dan tsu- nami juga marak. Entah dari mana isu itu bertiup. Yang jelas kini masyarakat di kawasan pesisir menanti penuh cemas akan hadirnya bencana alam tersebut. 6
  • 45. 28 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Isu-isu semacam itu jelas menyesatkan. Betapa tidak, saatinibelumadasatuteknologipunyangdapatmeramalkan tanggal dan tempat kejadian gempa dan tsunami secara pasti. Jangankan dalam hitungan tahun dan bulan. Dalam bilangan hari pun belum ada ahli yang mampu meramalkan tsunami. Sejarah mencatat, sejak 1600 hingga Mei 2007, 108 tsunamimelandakawasanpesisirIndonesia.Artinya,tsunami menghampiri kita setiap sekitar empat tahun. Seringnya tsunami itu tidak terlepas dari letak Indonesia yang memang secara alami merupakan daerah pertemuan tiga lempeng (triple junction plate convergence) yakni Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif dengan kecepatan dan arah yang berbeda, yaitu bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia. Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia meru- pakan daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Ka- wasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka bumi. Dibandingkan dengan gem- pa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi gempa 10 kali lipatnya. Proses terjadinya tsunami tidak terlepas dari teori tek- tonik lempeng yang berkembang pesat pada akhir 1960-an. Teori ini mengasumsikan bahwa interior bumi tersusun dari empat lapisan; litosfer, astenosfer, mesosfer, dan inti bumi. Litosfer merupakan lapisan terluar bumi. Lapisan ini ter- letak pada kedalaman kira-kira sampai 100 km. Sementara itu, astenosfer berada pada kedalaman 100 - 700 km. Beri- kutnya, mesosfer dengan kedalaman 700 – 2.900 km dan
  • 46. 29 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono inti bumi berkedalaman 2.900 – 6.370 km. Lapisan astenos- fer dan mesosfer disebut sebagai mantel bumi. Teori tektonik lempeng mengasumsikan bahwa litosfer terdiri dari materi agak cair dan plastis yang dapat mengalir di bawah pengaruh suatu tegangan. Dengan demikian, seo- lah-olah litosfer mengambang di atas mantel bumi. Menurut teori ini, litosfer terpecah belah menjadi be- berapa bagian yang kemudian disebut lempeng bumi. Se- tidaknya, terdapat enam lempeng besar; Eurasia, Pasifik, Amerika, Indo-Australia, Afrika, dan Antartika. Keenam lem- peng tersebut bergerak dengan arah dan kecepatan yang berbeda. Pergerakanlempenginidisebabkanadanyaaruskonveksi yang ditimbulkan oleh bergeraknya aliran panas dari perut bumi. Atenosfer, lapisan bawah litosfer, merupakan batuan setengah cair, akibat adanya arus konveksi yang terjadi di dalam astenosfer menyebabkan atenosfer bergerak. Dapat dimaklumi apabila litosfer yang berada di atasnya juga bergerak. Pergerakan ini menimbulkan gesekan yang dapat menyebabkan gempa bumi. Terjadinya gempa diperkirakan sudah ada sejak planet bumi kita terbentuk. Akan tetapi catatan sejarah menunjuk- kan, manusia baru bisa melaporkan pertama kali terjadinya gempa sekitar tahun 1800 SM. Lalu bagaimana tsunami terjadi? Menurut Prof. Yoshiaki Kawata, Direktur DPRI (Disaster Prevention Research Insti- tute), Universitas Kyoto, terjadinya tsunami disebabkan oleh pergerakan air dalam volume besar secara vertikal. Perge- rakan itu disebabkan tiga hal.
  • 47. 30 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Pertama, apabila terjadi gempa di dasar laut yang berkekuatan lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya termasuk dangkal kurang dari 60 km dari dasar laut, dan sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Secara alami, wilayah Indonesia termasuk daerah yang rawan tsunami yang diakibatkan oleh gempa dasar laut. Bukan apa-apa, di situlah tempat bertemunya empat lempeng besar; Eurasia, Indo-Australia, Samudra Pasifik, dan Filipina. Keempat lempeng itu terus bergerak dalam arah dan kecepatan yang berbeda. Lempeng Indo-Australia di bagian selatan dan barat Sumatera misalnya, bergerak rata-ata 6 cm per tahun. Lempeng Samudra Indo-Australia tersebut bergerak terus-menerus menghunjam lempeng benua Eurasia (Gambar 6.1a). Bagian ujung dari lempeng benua Eurasia tertarik turun secara berangsur-angsur dan terus-menerus sehingga terjadi akumulasi tegangan (Gambar 6.1b). Akibat akumulasi tegangan yang mencapai batasnya maka terjadi gempa dan ujung lempeng benua Eurasia melenting ke atas. Pergerakan vertikal ujung lempeng benua Eurasia ini menimbulkan gangguan impulsif medium laut yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami (Gambar 6.1c). Penyebab kedua, adanya tanah longsor. Sebuah gelom- bang tsunami dapat saja ditimbulkan oleh sebuah tanah longsor yang berawal dari atas permukaan laut (sea level) dan kemudian turun masuk ke dalam laut, atau oleh sebuah tanah longsor yang terjadi seluruhnya di bawah air.
  • 48. 31 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Gambar 6.1. Proses terjadinya tsunami akibat gempa bumi bawah laut. Penyebabketiga,letusangunungberapi.Contohkonkret adalah tsunami hebat yang pernah terjadi ketika Gunung Krakatau meletus pada 1883. Berdasarkan catatan, selama periode tahun 1600 sam- pai 2006 terjadi sekitar 108 tsunami. Dari jumlah itu, sekitar 90% di antaranya disebabkan gempa tektonik, 9% akibat le- tusan gunung api, dan hanya 1% dipicu oleh tanah longsor. Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami tersebar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Teggara, Maluku, pantai utara Papua, serta hampir seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara. Hingga kini, sekitar 35 peristiwa tsunami menghantam pesisir di laut Banda yang meliputi Flores, Timor, Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, dan Pulau Buru. Selan- jutnya, 32 peristiwa tsunami menerjang pesisir yang berada di Laut Maluku termasuk Sangihe dan Halmahera. Bukan hanya itu. Sekitar 18 kejadian tsunami melanda pantai barat Sumatera. Sementara itu, pantai selatan Jawa, a b c
  • 49. 32 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Bali, pantai utara dan selatan Lombok, Sumbawa, serta Sumba pernah dihantam 11 kali tsunami. Lalu, Selat Makasar pernah diterjang 9 kejadian tsunami. Sedangkan pesisir sebelah utara Papua pernah dihantam 3 kali tsunami. Meramal Tsunami Lalu, mampukah kita meramal tsunami? Mengingat mekanisme terjadinya gempa dan tsunami sangat kompleks dan rumit maka hingga kini tsunami sulit diramalkan baik dalam hitungan hari, minggu, bulan, maupun tahun. Yang dapat dilakukan adalah mendeteksi terjadinya tsunami. Adabeberapalangkah yangdilakukanuntukmendeteksi terjadinya tsunami. Tahap awal adalah dengan menentukan lokasi sumber gempa bumi secara cepat dan tepat. Lalu, perlu juga menganalisis apakah gempa bumi itu berpotensi menimbulkan tsunami. Terakhir mengonfirmasi kejadian tsunami dengan hasil pengamatan permukaan laut. Apabiladikehendakiinformasidinitsunamidapatdisam- paikan dalam lima menit pertama, maka parameter gempa bumi (waktu kejadian, lokasi, kedalaman, dan magnitude) harus mampu ditentukan dalam tiga menit pertama. Berda- sarkan persyaratan ini dapat dirancang konfigurasi stasiun seismograf untuk suatu wilayah tertentu dengan memper- hatikan sifat dan dinamika tektonik di sekitarnya. Rancangan ini akan menunjukkan jumlah stasiun yang harus dipasang dan sistem komunikasi data yang harus digunakan. Untuk mendapatkan parameter gempa bumi dengan cepat dan tepat dibutuhkan dua sistem pengolah dan analisa data; otomatis dan interaktif.
  • 50. 33 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Sistem otomatis diperlukan agar hasil analisa diperoleh dengan cepat. Namun karena kualitas data bervariasi maka ketepatan hasil analisa perlu dievaluasi dengan cara inter- aktif. Teknik interaktif memerlukan waktu yang relatif lebih lama sehingga dapat digunakan sebagai konfirmasi. Hasil analisa otomatis harus dievaluasi untuk menge- tahui apakah gempa bumi yang terjadi berpotensi menim- bulkan tsunami. Artinya, setidaknya ada empat syarat; pusat gempa bumi berada di dasar laut, kedalaman gempa bumi kurang dari 60 km dari dasar laut, magnitude gempa bumi lebih besar dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi vertikal dasar laut yang besar. Jadi, jika ketiga syarat itu terpenuhi maka peringatan dini tsunami segera dibuat. Sebelumnya ratusan ribu simulasi tsunami dapat dilakukan dan hasilnya disimpan sebagai ”Setidaknya ada empat syarat apakah gempa bumi yang terjadi berpotensi menimbulkan tsunami; pusat gempa bumi berada di dasar laut, kedalaman gempa bumi kurang dari 60 km dari dasar laut, magnitude gempa bumi lebih besar dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi vertikal dasar laut cukup besar.”
  • 51. 34 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM database komputer terlebih dahulu. Begitu hiposenter dan magnitude gempa bumi diketahui maka tinggi gelombang tsunami dapat dengan mudah dihitung komputer tersebut hanya dalam satu detik dan dikirimkan ke daerah rawan tsunami. Selanjutnya, informasi semacam ini disampaikan kepada aparat berwenang dan media massa agar segera disiarkan kepada masyarakat pesisir. Informasi dini itu harus dievaluasi lagi dengan data hasil pengamatan perubahan permukaan air laut. Data ini diperoleh dari sistem pengamatan pasang surut laut atau peralatan lainnya. Jika hasil pengamatan permukaan air laut mengindika- sikan adanya tsunami, peringatan harus segera disebarluas- kan. Sebaliknya bila tidak ada tanda-tanda perubahan per- mukaan air laut, maka peringatan dini dapat dibatalkan. Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif jikamekanismekomunikasidandiseminasihasilpemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi dapat diterima masyarakat secara lansung. Dengan cara ini, kepanikan berlebihan tidak perlu terjadi. Dan yang lebih penting lagi, jika tsunami benar- benar terjadi, jumlah korban bisa diminimalkan. ctd Artikel ini dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juni 2007.
  • 52. 35 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Mitigasi Hindarkan Korban Gempa dan Tsunami R asanya belum pudar dalam ingatan kita ketika gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir NanggroeAcehDarussalam(NAD)pada26Desember 2004. Senin (17/7/2006) sore giliran pantai selatan Pulau Jawa digoyang gempa dan diterjang tsunami. Ratusan orang meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan rumah hancur akibat bencana alam tersebut. Indonesia berduka. Rentetan gempa berkekuatan 6,8 skala Richter (SR) lalu diikuti gempa susulan 6,1 SR yang berpusat di Samudra Hindia (9,4o Lintang Selatan dan 107,2o Bujur Timur) itu melumat kawasan pesisir di Tasikmalaya, Pangandaran, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta. Walaupun korbannya hanya sedikit, lagi-lagi Yogyakarta 7
  • 53. 36 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM berduka karena sebelumnya mereka juga dihantam gempa berkekuatan 5,9 SR. Dibandingkan dengan gempa dan tsunami di NAD, bencana Senin sore itu terbilang masih lebih ringan. Bukan apa-apa, gempa yang berpusat pada kedalaman 30 km itu hanya diikuti tsunami dengan ketinggian run-up yang bervariasi kurang dari 10 m. Benar, syarat terjadinya tsunami antara lain adalah adanya gempa akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia yang berkekuatan lebih dari 6,5 SR dan pusat gempanya termasuk dangkal, kurang dari 60 km, sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Itulah sebabnya, gempa Yogyakarta tempo hari tidak diikuti tsunami. Tentu saja kawasan paling parah terkena tsunami adalah dataran landai. Apalagi kalau pantainya berbentuk teluk dan mempunyai tanjung seperti di Pangandaran, energi tsunami menjadi lebih kuat dibandingkan dengan pantai terbuka. Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit. Disamping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga akan terkonsentrasi di ujung tanjung sebagai akibat dari proses refraksi gelombang tsunami. Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan jika topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung seperti hutan mangrove, kelapa, waru, atau hutan pantai lainnya. Bukan apa-apa, gelombang tsunami yang besar
  • 54. 37 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono baik ketinggian maupun kecepatannya akan dengan leluasa menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Bisa dibayangkan kalau tempat yang landai itu dipakai untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri. Prak- tis, ketika tsunami menerjang kawasan tersebut maka yang terjadi adalah kerusakan parah. Semua bangunan yang be- rada di dataran rendah tersapu habis oleh gelombang tsu- nami. Ironisnya, pelabuhan-pelabuhan perikanan dan per- hubungan juga sering dibangun di ketiak-ketiak suatu teluk atau di dekat muara sungai. Maklum, pelabuhan yang be- rada di teluk akan lebih mudah bagi nahkoda untuk menam- batkan kapalnya. Sebaliknya, pelabuhan yang berhadapan langsung dengan laut luas semakin sulit bagi kapal-kapal yang akan bersandar. Upaya Mitigasi Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan tsunami yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak mampu mencegah bencana alam karena kekuatan dan ukurannya teramat besar. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi dampak dari bencana tersebut (mitigasi). Di Jepang misalnya, upaya mitigasi itu mampu menye- lamatkan manusia dan harta-benda lainnya. Hal itu sangat berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Terlihat, setiap ada bencana disambut dengan kepanikan. Setelah itu ma- syarakat lainnya beramai-ramai memberikan sumbangan pangan kepada para korban.
  • 55. 38 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Sebaliknya, upaya mitigasi bencananya masih minim. Padahal di sinilah kuncinya. Jumlah korban akan sangat ter- gantung dari sampai sejauh mana kita menyiapkan tindakan preventif guna meminimalkan dampak negatifnya. Jadi, ti- daklah berlebihan kalau mitigasi merupakan investasi jang- ka panjang bagi kesejahteraan umat manusia. Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir dari terjangan tsunami. Idealnya, menggunakan miti- gasi yang komprehensif, yakni dengan mengombinasikan secara fisik dan nonfisik. Upaya fisik yang per- lu dilakukan juga bera- gam, tergantung kemam- puan daerah dan kondisi kawasan pesisirnya. Arti- nya, di sepanjang daerah rawan tsunami bisa saja dibuat prasarana dan sarana pengendali seper- ti dengan membangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelom- bang (break water). Cara ini memang butuh ongkos tinggi. Na- mun biaya untuk mem- buat tembok laut terse- but tidak ada artinya dibandingkan dengan “Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir dari terjangan tsunami. Idealnya, menggunakan mitigasi yang komprehensif, yakni dengan mengombinasikan secara fisik dan nonfisik.”
  • 56. 39 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono aset-aset vital bernilai ekonomi tinggi yang ingin dilindungi seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan strategis lainnya. Di beberapa kawasan pantai Jepang juga membentenginya dengan tembok sampai pada ketinggian yang sudah tidak terjangkau lagi oleh tsunami. Bagi kawasan lainnya bisa melindunginya dengan mena- nam berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru laut, dan lain-lain. Upaya ini tergolong murah dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan. Selainitu,benda-bendayangberadadipantaisepertika- pal dan perahu bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jum- lah korban dan kerusakan bangunan lainnya bisa diperkecil. Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas. Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat sehingga tahan terhadap goncangan gempa. Rumah pang- gung baik terbuat dari kayu maupun beton bisa menjadi al- ternatif karena tidak mudah roboh oleh terjangan tsunami. Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan garis pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami. Ditempat-tempatyangjauhdaribukitdanpenduduknya padat, perlu dibuat shelter. Bangunan ini sebaiknya berting- kat dan terbuat dari beton yang kokoh sehingga tahan ter- hadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, shelter bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan, tempat rekreasi dan lain-lain. Namun ketika tsunami, shelter bisa dipakai sebagai tempat berlindung.
  • 57. 40 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Jika lahan terbukanya luas namun tidak punya bukit, bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya, untuk menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi tsunami. Bukit ini bisa dibuat dari urugan tanah de- ngan sistem terasering sehingga dapat diakses dari berbagai arah. Tinggi shelter dan bukit buatan itu disesuaikan ber- dasarkan tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjang- kau lokasi tersebut. Usahakan bukit dan shelter tersebut bisa ditempuh oleh warga kurang dari 15 menit. Tak kalah pentingnya adalah mitigasi secara nonfisik seperti memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang yang aman, memberikan pendidikan dan pelatihan, serta menyadarkan masyarakat. Pemda harus konsisten dalam menegakkan peraturan dan tata ruang. Artinya, kalau memang kawasan tersebut dianggap rawan tsunami, janganlah sekali-sekali memanfaatkan kawasan tersebut untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya. Siapa pun yang melanggar, wajib dikenakan sanksi. Sebab kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami menerjang maka korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya manusia yang beraktivitas di sana. Masyarakat juga perlu mendapat pendidikan dan pela- tihan terkait dengan gempa dan tsunami. Harus diakui, kita masih sangat lemah dalam soal ini. Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat terhadap tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu menelan banyak korban jiwa dan harta benda lainnya. Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut
  • 58. 41 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama setelah itu, mereka menjadi korban keganasan tsunami. Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika Yogyakarta dilanda gempa bumi. Dalam kepanikan itu mereka yang tinggal di daerah yang sangat tinggi dan sangat jauh dari pantai berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri menghindari tsunami. Padahal, secara ilmiah, tsunami tidak akan melanda daerah yang sangat tinggi dan jauh dari pantai. Jadilah seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab, banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan akibat kepadatan lalu lintas saat melarikan diri dan rumah mereka yang ditinggalkan itu akhirnya dijarah oleh oknum yang memang ingin mengail di air keruh. Kedua sistem mitigasi secara fisik dan nonfisik itu bisa saling melengkapi, tergantung pada daerah rawan tsunami yang akan ditinjau. Oleh karena itu dalam melakukan upaya mitigasi perlu mempertimbangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Pelaksanaannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait. Seberapabesarupayaitutidakakandapatmembebaskan masalah bencana alam secara mutlak. Dengan demikian, kunci keberhasilannya terletak pada keharmonisan antara masyarakat dan alam lingkungannya. Masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan rawan bencana sangat besar perannya sehingga perlu di-
  • 59. 42 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM tingkatkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaannya terha- dap alam dan lingkungan hidup. Mereka juga perlu punya disi-plin tinggi terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Digalakkan Sejak Dini Beragam upaya mitigasi tersebut sewajarnya mulai digalakkan sejak dini. Bukan apa-apa, Indonesia memiliki kawasan rawan tsunami yang tersebar luas. Kawasan itu meliputi pantai yang menghadap ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta yang menghadap ke laut dimana dua lempeng bertemu atau terdapat sesar aktif di laut. Berdasarkan kajian ilmiah, daerah rawan tsunami meli- puti pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya, dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah pal- ing rawan tsunami. Pasalnya, sebanyak 31 persen dari total tsunami di Indonesia terjadi di Laut Maluku. Rekor tinggi run-up tsunami paling besar di Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah pada tahun 1883. Ketika itu tsunaminya berasal dari meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda dengan ketinggian run-up mencapai 41 meter. Sekitar 36.000 jiwa melayang tersapu gelombang tsunami. Dilihat dari jumlah korbannya, maka tsunami NAD pada Desember2004laluadalahyangtertinggidiIndonesiabahkan dunia. Bayangkan, lebih dari 300 ribu orang meninggal dan puluhan ribu lainnya hingga kini belum ditemukan akibat diterjang tsunami. Menurut catatan, sepanjang tahun 1961
  • 60. 43 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono sampai 2006 ada sekitar 21 kejadian tsunami yang melanda kawasan pesisir di Indonesia. Artinya tsunami menghampiri pesisir Indonesia tiap 2,25 tahun sekali. Untuk menangani bencana tidaklah cukup hanya de- ngan memfokuskan tindakan pada saat dan setelah bencana alam itu terjadi. Paradigma lama ini perlu ditambah dengan penanganan sebelum bencana melalui pendekatan manaje- men risiko dengan upaya-upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Di Indonesia upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan ini kadang-kadang disebut dengan mitigasi. Pendekatan secara terpadu (manajemen risiko dan manaje- men krisis) itu pada hakekatnya adalah menangani bencana mulai dari sebelum, saat, hingga sesudah terjadi bencana. Ibarat sebuah siklus, pengelolaan bencana tsunami itu dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), serta pemba-ngunan. Siklus itu saling terkait satu dengan yang lainnya dan sama pentingnya dalam menghadapi gempa dan tsunami. ctd Artikel ini dimuat Jurnal Nasional edisi 19 dan 20 Juli 2006.
  • 61. 44 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 8 Saatnya Merevolusi Mitigasi Gempa dan Tsunami B encana alam gempa dan tsunami akhir-akhir ini datang silih berganti dalam periode yang relatif cepat. Kita tidak tahu persis kenapa frekuensi ter- jadinya gempa dan tsunami belakangan ini cenderung me- ningkat dibandingkan dengan 50 tahun lalu. Berdasarkan catatan, selama setengah abad itu kawasan pesisir Indone- sia digoyang puluhan gempa merusak dan diterjang tsunami sebanyak 21 kali. Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena alam yang tidak pasti kapan datangnya itu? Ti- dak mudah memang mengelola bencana tersebut. Bukan apa-apa, kesadaran masyarakat pesisir terhadap bencana masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita jika gempa dan tsunami menerjang. Rendahnya pemaham-
  • 62. 45 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono an masyarakat terhadap gempa dan tsunami itu mengaki- batkan banyak korban dan kerugian saat diterjang bencana alam ini. Bencana alam tidak dapat dihilangkan karena kekuatan dan ukurannya teramat besar. Kemampuan manusia hanya sebatasmengurangidampakbencana.Tindakansemacamitu biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi pengaruh atau dampak dari satu bahaya sebelum bencana itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari suatu kegiatan atau tindakan perlindungan. Mengadopsi Revolusi Sanitari Tahun 1990-an menjadi tonggak penting bagi upaya mitigasi bencana. Betapa tidak, pada era itu PBB (Perserika- tan Bangsa-Bangsa) mendeklarasikan sebagai Dekade Inter- nasional untuk Pengurangan Dampak Bencana Alam. Dekade mitigasi bencana tersebut tampaknya diadopsi dari upaya mewujudkan kesehatan umum pada pertengah- an abad ke-19 yang dikenal sebagai Revolusi Sanitari. Se- perti diketahui, pada masa-masa sebelum abad itu penyakit tuberkulosis, tipus, kolera, desentri, cacar, dan aneka penya- kit lain menjadi penyebab utama kematian seseorang. Pada saat pemahaman terhadap penyebab timbulnya penyakit semakin meningkat, terutama lewat upaya para ilmuwan dan ahli epideminologi pada abad ke-19, maka insiden epidemi dan penyakit menjadi mudah dipahami. Menjadi jelas bahwa penyakit dapat dicegah dan secara berangsur-angsur konsep perlindungan terhadap penyakit dapat diterima.
  • 63. 46 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Tindakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko penyakit memang memerlukan investasi besar. Sebab, ia butuh infrastruktur misalnya membangun berbagai saluran pembuangan air, jaringan penampungan air bersih, tempat pembuangan sampah dan lain sebagainya. Selain itu, setiap orang juga perlu melakukan perubah- an-perubahan besar seperti berperilaku hidup bersih dan sehat. Para ahli sejarah sosial menyebut, perubahan konsep perlindungan terhadap penyakit itu sebagai Revolusi Sani- tari. Dari sinilah berbagai kemajuan di bidang kesehatan terjadi seiring dengan adanya penemuan obat, perawatan, vaksinasi, pencegahan, dan industri kesehatan. Berbagai pe- nyakit mematikan seperti tuberkulosis, tipus, kolera, disen- tri, dan cacar sudah bisa diantisipasi. Wabah Penyakit Lalu apa yang bisa dipetik dari perjalanan sejarah medis tersebut? Sekilas fenomena bencana alam punya analogi yang hampir sama dengan munculnya wabah penyakit pada awal abad ke-19, yakni tidak dapat ditebak, menjadi musibah, dan merupakan bagian dari risiko hidup sehari- hari. Namun “epideminologi bencana“ --suatu ilmu pengeta- huan yang sistematis dari apa yang terjadi dalam suatu ben- cana-- menunjukkan bahwa bencana itu sebagian besar bisa dicegah. Ada banyak cara untuk mengurangi dan melakukan mitigasi dari suatu kemungkinan bahaya atau kecelakaan. Seperti halnya dalam melawan penyakit, kegiatan untuk
  • 64. 47 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono mengurangi bencana alam harus diperjuangkan oleh setiap individu secara bersama-sama. Selain itu perlu juga mengu- bah perilaku sosial dan memperbaiki kebiasaan setiap indi- vidu agar memahami setiap bencana yang terjadi. Karena itu mitigasi bencana harus berkembang lewat revolusi kese- lamatan “budaya keamanan” untuk keselamatan publik. Pemerintah seyogianya berinvestasi untuk membuat infrastruktur baik buatan maupun alami yang lebih kuat dan aman dari terpaan bencana. Di lain pihak, masyarakatnya juga harus bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri. Contoh sederhana adalah dalam membangun rumah. Sebisa mungkin carilah lokasi yang aman dari bencana ban- jir, longsor, gempa, dan tsunami. Tindakan ini jauh lebih murah ketimbang menyediakan dana besar untuk membuat konstruksi pengendali bencana alam dan membangun ru- mah yang kuat dari serangan bencana tersebut. Oleh karena itu upaya mengintegrasikan mitigasi ben- cana ke dalam kegiatan perencanaan pembangunan diha- rapkan dapat melindungi aset dan hasil-hasil pembangunan dari ancaman bencana. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Saatnya bagi kita melakukan revolusi mitigasi bencana agar bisa hidup aman di kawasan yang me- mang tidak aman. ctd Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 23 Agustus 2006.
  • 65. 48 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM 9 Mendesak, Mitigasi Tsunami Berbasis Masyarakat S udah puluhan kali tsunami menerjang berbagai kawasan pesisir di Indonesia. Namun apa daya, sampai sejauh ini masyarakat belum mampu mengenali bencana alam tersebut secara benar dan baik. Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan penderitaan berkepanjangan. Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi tsuna- mi baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat pesisir kita masih tradisional maka langkah-langkah mitiga- sinya haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.
  • 66. 49 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Berbasis Masyarakat Sangatlah berat kalau upaya mitigasi itu dilakukan di se- luruh kawasan rawan bencana yang tersebar sangat luas di penjuru Indonesia secara simultan. Kita perlu membuat pri- oritas yaitu untuk daerah-daerah yang berbentuk teluk yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang landai dan penduduknya padat yang memang rawan bencana. Be- tapa tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita jika tsunami menerjangnya. Karena itu, pembuatan peta rawan bencana tsunami perlu segera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan teknologi sesederhana mungkin. Sehingga mereka sadar dan mengerti kalau tempat tinggalnya berada di daerah rawan bencana tsunami. Tentu saja dalam pembuatan peta ini perlu bimbingan dan fasilitator baik dari pemerintah, perguruan tinggi/lembaga penelitian maupun LSM yang betul-betul mengerti tentang tsunami. Langkah berikutnya melatih dan memberi penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait dengan tsunami mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami, dampaknya, hingga upaya me- ngevakuasi atau menyelamatkan diri. Tak mudah memang menyampaikan hal itu kepada mereka. Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu dilakukan dengan cara yang lebih menarik. Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang benar- benar merakyat seperti pengajian akbar, wayang (golek, orang, atau kulit), ketoprak, dangdut atau kesenian daerah
  • 67. 50 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM lainnya. Melalui penyampaian yang berakar pada budaya mereka sendiri, tsunami bisa dengan mudah mereka pa- hami. Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu- payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya, yaitu dengan menanam berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru laut, ketapang dan lain-lain disesuaikan dengan kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah dapat dilakukan, murah dan terbukti efektif dalam mere- dam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan. Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa atau pohon lainnya yang banyak berjajar di pantai. Caranya, lobangi secukupnya sehingga bisa memudahkan manusia memanjat pohon ketika tsunami terjadi. Pada ketinggian tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau lonceng sebagai alat bantu untuk minta pertolongan atau memberi peri- ngatan kepada masyarakat lainnya. Masjid-masjid di pesisir juga bisa dipakai untuk mem- beri peringatan dini melalui pengeras suara. Jadi, manakala di kawasan tersebut ada tanda-tanda bakal terjadi tsunami, sesegera mungkin informasi tersebut disampaikan ke warga sekitarnya. Selain itu, masjid-masjid itu juga perlu dibuatkan tangga ke atap. Tujuannya, memudahkan masyarakat mengevakuasi ke tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau tsunami. Pelajaran Tsunami Aceh menunjukkan bahwa masjid aman dari terjangan tsunami mengingat strukturnya yang ramah tsunami.
  • 68. 51 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Dompet Mitigasi Jelas bahwa upaya mitigasi tsunami membutuhkan kerja keras dan dana yang tidak sedikit. Kita bisa belajar banyak dari pengalaman Jepang, negara yang paling sering dilanda gempa dan tsunami. Apa yang dilakukan Jepang ketika dihajar gempa dah- syat ratusan tahun lalu hingga tahun 1933-an? Orang-orang terkemuka dan kaya itu berada di barisan terdepan. Artinya, dengan uangnya sendiri, mereka membuat tembok laut yang bisa menahan gempuran tsunami. Jasa mereka dikenang hingga kini. Bukan apa-apa, se- tiap tsunami terjadi, bangunan itu mampu meredam ga- nasnya tsunami. Ribuan warga terselamatkan. Menurut survei di Jepang, hingga tahun 1933-an itu, tidak ada upaya dari pemerintah Jepang untuk melakukan upaya mitigasi. Semuanya itu sudah ditangani pemuka masyarakat. “Apa yang dilakukan Jepang ketika dihajar gempa dahsyat ratusan tahun lalu hingga tahun 1933-an? Orang- orang terkemuka dan kaya itu berada di barisan terdepan. Artinya, dengan uangnya sendiri, mereka membuat tembok laut yang bisa menahan gempuran tsunami.”
  • 69. 52 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Fenomenasemacaminitampaknyapaskalauditerapkan di Indonesia. Saatnyalah para pengusaha berkantong tebal mengeluarkan dompet untuk mitigasi tsunami. Dompet- dompet bencana di berbagai media (cetak dan elektronik) yang berasal donor seharusnya jangan semata dialokasikan untuk menangani pascabencana tetapi juga untuk upaya mitigasi. Hasil dari dompet mitigasi ini dapat dimanfaatkan un- tuk pelatihan dan penyadaran masyarakat, penggandaan brosur, komik dan buku-buku pedoman tentang tsunami yang sebenarnya bahannya telah tersedia dan menumpuk di berbagai instansi atau lembaga lain. Bisa juga dana terse- but dipergunakan untuk menanam vegetasi pantai sehingga dapat dipergunakan sebagai tameng tsunami di kemudian hari. ctd Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 7 Desember 2006.
  • 70. 53 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Mengenang Tsunami Aceh 2004 Belajar Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascatsunami dari Okushiri T sunami yang menghantam Pulau Okushiri, Jepang pada 12 Juli 1993 bisa menjadi pembelajaran bagi kita dalam rangka memulihkan kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam yang dihantam tsunami 26 Desember 2004. Bukan apa-apa, pulau kecil yang tadinya elok dan asri itu pernah porak-poranda oleh tsunami dengan ketinggian run-up maksimum 31 meter. Inilah rekor tsunami terbesar di Jepang pada abad ke-20. Bayangkan, gempa berkekuatan 7,8 skala Magnitude (SM) di malam hari itu bukan saja menimbulkan tsunami 10
  • 71. 54 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM hebat. Lebih dari itu, pada beberapa wilayah di pulau seluas 143 km2 itu malah lebih memprihatinkan lagi; terjadi kebakaran hebat dan longsor setelah diterjang tsunami 5 menit setelah gempa. Penyebab kebakaran itu diduga berasal dari hubungan arus listrik pendek (konslet) beberapa kapal yang terseret hinggaketengahkota.Kebakaranmakinmeluasketikamobil- mobil juga mengalami hal serupa, terkena arus pendek. Hanya dalam sekejap, keindahan pulau di sebelah barat Hokkaido itu meredup dan menyeramkan. Menurut catatan Pemerintah Daerah Hokkaido, sekitar 229 orang tewas, lebih dari seribu rumah ambruk, dan 1.514 kapal mengalami kerusakan. Total kerugian ditaksir sekitar 60 miliar yen. Lima tahun berlalu, pulau Okushiri malah menjadi lebih baik bahkan lebih elok dan asri daripada sebelumnya. Kesan itulah yang penulis rasakan ketika pada Juli 1998 mendapat kesempatan menghadiri lokakarya internasional tentang tsunami di Okushiri. Tetap Menawan Lalu mengapa pulau yang menghadap Laut Jepang itu tetap menawan walau tsunami dahsyat pernah meluluh- lantakkannya? Jawabnya terletak pada kepiawaian mereka dalam merehabilitasi dan merekonstruksi berbagai infra- struktur dengan berbasis mitigasi. Artinya, selain memulihkan kembali beragam bangunan yang rusak, bangunan baru tersebut juga dapat menjadi tameng tsunami di kemudian hari. Untuk memulihkan Okushiri sebagai pulau impian ber-
  • 72. 55 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono basis mitigasi, pada November 1993 Pemerintah Daerah Hokkaido membentuk sebuah komite yang diketuai pa- kar tsunami dari Universitas Hokkaido Prof Hiroshi Saeki. Komite tersebut beranggotakan para pakar yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah lainnya seperti Kementerian Konstruksi, Kementerian Transportasi, serta Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Mereka bekerja secara lintas sektoral sesuai dengan di- siplin ilmunya masing-masing. Seluruh pekerjaan perenca- naan pemulihan digarap secara komprehensif. Hal itu dimu- lai dengan menata ulang peruntukan lahan (land use) yang berbasis mitigasi. Lihat saja Distrik Aonae, di sisi paling selatan Okushiri. Dataran paling rendah itu tadinya merupakan permukiman yang rusak parah digoyang gempa, dihantam tsunami, dan dilalap si jago merah. Kini, kawasan tersebut sudah menjadi taman kota, rimbun oleh aneka tanaman menghijau. Pada kondisi nor- mal, taman tersebut digunakan sebagai tempat rekreasi. Di kawasan tersebut juga dibangun tangga/jembatan peng- hubung ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri jika suatu saat tsunami datang lagi. Tak ada lagi permukiman di dataran rendah tersebut. Rumah penduduk direlokasi ke dataran yang lebih tinggi sehingga aman dari jangkauan tsunami. Begitu juga pelabuhannya. Atapnya dibuat dari pelat (slab) beton yang terbuka dan berfungsi sebagai tempat evakuasi. Di hari-hari biasa tempat evakuasi ini dapat dija- dikan tempat santai dan menikmati semilirnya angin sepoi
  • 73. 56 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM pantai Aonae. Sementara itu lantai bawahnya sebagian be- sar didesain sebagai ruang terbuka. Bangunan sekolah dan kantor dibuat bertingkat dengan lantai bawah terbuka sebagian. Tujuannya, untuk mengu- rangi energi tsunami yang menghantam dinding tersebut sehingga bangunan tetap kokoh berdiri. Rute evakuasi ke bukit juga dibangun. Rute-rute itu dilengkapi dengan berbagai informasi seperti arah melari- kan diri dan ketinggian tsunami yang pernah terjadi. Sistem komunikasi radio juga dibangun untuk diseminasi peri- ngatan dini tsunami. Tembok laut (sea wall) dan pemecah gelombang (break- water) dibangun untuk meredam tsunami. Monumen dan museum tsunami juga dibangun sebagai tetenger untuk mengingatkan generasi berikutnya serta sebagai sarana pendidikan gempa dan tsunami. Begitu halnya dengan jalur penerbangan dan pelayaran dari dan ke Okushiri terus dikaji dan dibenahi. Hasilnya, hanya lima hari setelah tsunami, seluruh penerbangan dan pelayaran di pulau tersebut normal kembali. Lalu pada akhir Desember 1993 pabrik pengolahan ikan mulai beroperasi lagi. Hal ini penting untuk memulihkan perekonomian masyarakat lokal. Biaya Tinggi Semua proyek pemulihan itu memang butuh teknologi dan biaya. Menyadari hal itu, hanya dua hari setelah tsunami menghancurkan Okushiri, Palang Merah Cabang Hokkaido mengampanyekan penggalangan dana ke masyarakat luas.
  • 74. 57 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Hasilnya, bantuan senilai 4,6 miliar yen dikucurkan untuk memulihkan Okushiri. Selain itu pada 21 Desember 1993 juga terkumpul dana sebesar 13,2 miliar yen dari berbagai penyumbang mulai dari pemerintah, warga, serta industri (perikanan, pertanian, kehutanan, dan pariwisata) Singkat kata, belum genap satu tahun setelah tsunami dahsyat, telah diselesaikan pekerjaan perencanaan pemu- lihan secara komprehensif di Distrik Aonae yang mengalami dampak paling parah. Dan lima tahun kemudian (Maret 1998) pemulihan pascatsunami dinyatakan selesai. Setelah 13 tahun berlalu, kini Okushiri tampil penuh pesona. Jumlah wisatawan yang datang pun kian banyak. Jadi, tidak ada salahnya kita meniru pengalaman mereka untuk memulihkan kawasan pascatsunami NAD dan Nias (2004) serta selatan Jawa (2006). ctd Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 27 Desember 2006.
  • 75. 58 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan D uka masih menyelimuti Indonesia. Lebih dari 100 ribu orang tewas sejak tsunami 26 Desember 2004 melanda kota-kota pesisir di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ribuan orang lainnya tak diketahui keberadaannya, hanyut ditelan laut. Bukan hanya itu saja. Bencana alam tsunami terdahsyat di abad ini juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian di Kota Serambi Mekah. Kota-kota pesisir itu lumpuh total. Aneka jenis bangunan tak kuasa menahan ganasnya gelom- bang pasang akibat gempa tektonik di Samudra Hindia. Tak ada aliran listrik dan telekomunikasi dalam beberapa hari. Akses transportasi darat juga terputus akibat jebolnya jembatan-jembatan dan jalan-jalan raya. Penulis yang berada di lokasi beberapa hari setelah bencana, melihat 11
  • 76. 59 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono bahwa kerusakan di kawasan pesisir malah lebih parah lagi. Pada radius 1 km dari garis pantai, rumah tersapu habis rata dengan tanah. Di tempat-tempat tertentu, tsunami menggerus tanah dan membentuk lautan baru. Tak ada areal tambak yang selamat. Konferensi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa Bumi dan Tsunami pun digelar di Jakarta. Hasilnya, 26 ne- gara dan lembaga internasional sepakat membantu meri- ngankan beban Indonesia. Sekitar US$ 4 miliar terkumpul untuk memulihkan dampak tsunami di seluruh Asia, terma- suk NAD (Kompas, 7/1/2005). Pertanyaannya adalah bagaimana merehabilitasi daerah pasca tsunami yang efektif sekaligus ramah lingkungan? Pertanyaan itu penting diutarakan di sini agar langkah- langkah tersebut selain bisa memulihkan kawasan juga mampu menjadi tameng tsunami di kemudian hari. Kita tahu sudah sejak lama, secara geografis posisi In- donesia tak beruntung. Di sepanjang barat Pulau Sumatera sampai ke Jawa, Bali dan NTT lalu masuk ke Laut Arafura me- rupakan daerah pertemuan tiga lempeng; Eurasia, Australia, dan Samudra Hindia. Lempeng-lempeng tersebut bergerak sehingga pada pe- riode tertentu saling bertabrakan. Proses alami ini mengha- silkan gempa tektonik. Karena terjadi di dasar laut, gempa tersebut menimbulkan gelombang pasang (tsunami). Tsunami yang menerjang pantai barat NAD dan Sumut terjadi 20 menit sampai 5 jam setelah terjadinya gempa tektonik. Kecepatan gelombang tsunaminya rata-rata 50- 100 km per jam. Di pusat gempa, kecepatan tsunami NAD
  • 77. 60 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM secara teoritis dapat dihitung, yaitu berkisar antara 400-800 km per jam. Kecepatan tersebut semakin berkurang saat mendekati pantai. Tsunami tidak hanya menerjang pantai barat NAD dan Sumut yang berhadapan langsung dengan pusat gempa, tetapi juga menerjang pantai timur NAD dengan dimensi ruang, waktu, dan korban yang berbeda. Daerah yang mengalami bencana terbesar dari tsunami adalah Banda Aceh, Lhoknga, Calang, dan Meulaboh. Ben- cana tersebut selain diakibatkan oleh tingginya gelombang tsunami, juga diperparah oleh tata ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat dengan laut. Posisi rumah sejajar dengan pantai. Tidak ada sabuk hijau (green belt). Mangrove tinggal secuil dan hanya tumbuh di beberapa tempat. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat bera- gam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama, kerusakan struktur bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang. Kedua, keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus arus air laut yang amat deras. Ketiga, kerusakan struktur bangunan akibat hantaman benda-ben- da keras seperti kapal, puing-puing bangunan, dan sema- camnya yang terbawa oleh gelombang. Memulihkan Bencana Dalam teori klasik manajemen penanggulangan ben- cana, rehabilitasi merupakan salah satu komponen penting dalam siklus manajemen penanggulangan bencana setelah terjadinya bencana. Sesudah bencana terjadi, biasanya kor-
  • 78. 61 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono ban perlu ditangani dengan cepat, yaitu dengan pencarian dan penyelamatan (search and rescue atau SAR). Kemudi- an diperlukan pula pengobatan dan makanan serta tempat berlindung sementara. Tahapan tersebut disebut fase tanggap darurat (emer- gency respond). Setelah langkah darurat itu dapat diatasi, perlu konsolidasi jenis kerusakan, jenis bantuan, dan lain sebagainya. Kegiatan pada fase ini lebih menyangkut pe- ngenalan dan inventarisasi masalah, sambil terus melaku- kan penanganan darurat. Jika kondisi sudah dapat dikuasai dan relatif tenang, tahap selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi baik secara fisik maupun mental. Penduduk perlu diberi kepercayaan diri dan memahami arti bencana alam tersebut secara logis dan proporsional. Apalagi setelah bencana, kepanikan sering terjadi. In- formasi yang tak jelas kebenarannya sangat rentan dan menambah trauma. Desas-desus sering menyesatkan dan menghilangkan kepercayaan diri. Di sinilah, para ahli harus bisa menjelaskan dan meyakinkan bahwa bencana itu me- rupakan proses alam. Sepanjang sejarah, tsunami susulan belum pernah terjadi lagi dalam waktu dekat di tempat yang sama. Setelah kebingungan korban diatasi, barulah dilakukan perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang komprehen- sif dan terintegrasi. Artinya, pemulihan itu bisa dimulai dari pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana re- konstruksi, dan perbaikan lingkungan. Jadi, dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus
  • 79. 62 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di kemudian hari sehingga dampaknya bisa diminimumkan. Kalau perlu penduduk dipindahkan, bisa di sekitar lokasi bencana (relokasi) atau ke tempat yang lebih jauh (trans- migrasi). Walaupun pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit dilakukan mengingat karakteristik sosial dan budaya masyarakat yang menginginkan tetap tinggal di pantai. Hal itu tercermin dari korban tsunami Banyuwangi (1994) dan Biak (1996). Walaupun telah dipindahkan ke tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse- but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu me- reka, dan lain sebagainya. Fenomena ini bertolak belakang dengan korban tsuna- mi di Banda Aceh. Salah satu korban tsunami yang selamat, Hamdan (50 tahun), kepada penulis mengatakan, ia dan te- man-temannya tidak menginginkan kembali tinggal di tem- pat semula. Oleh karena itu dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi diperlukan perencanaan yang komprehen- sif dengan mempertimbangkan faktor fisik, sosial budaya, dan lingkungan. Menghindari Tekanan Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang menghantam bangunan lebih kecil.
  • 80. 63 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Untuk shear wall (tembok penguat) dan lateral bracing (rangka penguat) ditempatkan searah dengan penjalaran gelombang tsunami. Tujuannya, untuk memperkokoh bangunan terhadap gempuran tsunami. Lantai terbawah dari bangunan bertingkat sebaiknya dibuat terbuka sama sekali, atau dindingnya terbuat dari bahan yang mudah retak (seperti kayu). Maksudnya agar tsunami dapat lewat dengan leluasa sehingga mengurangi beban horisontal pada struktur. Sementara itu, lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi. Pondasi didesain menerus karena terbukti mempunyai ketahanan (resistance) yang lebih baik untuk menahan gerusanakibatarusairyangderas.Sistemstrukturbangunan juga harus tahan gempa. Sebab, bangunan tersebut akan terkena gempa lebih dulu sebelum gelombang tsunami datang. Strukturnya juga diperhitungkan untuk mengatasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang terlempar pada saat tsunami menyerbu pantai. Upaya lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dengan membuat tata ruang yang ramah bencana. Di tempat- tempat yang berpotensi terkena tsunami harus ditata ulang. Tempat-tempat perlindungan (shelter) perlu dibangun untuk evakuasi jika terjadi tsunami di pesisir yang penduduknya padat. Modelnya bisa dilihat pada Gambar 11.1. Bangunan tersebut berfungsi ganda, sebagai tempat pertemuan atau rekreasi di hari-hari biasa dan tempat berlindung apabila tsunami menerjang kawasan tersebut. Pembangunan permukiman yang terlalu dekat de- ngan garis pantai harus dihindari. Untuk NAD misalnya
  • 81. 64 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Gambar 11.2. Model mitigasi bencana tsunami. jarak tersebut disesuaikan dengan jauh-dekatnya penetrasi tsunami ke arah darat. Daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan kembali dengan mangrove atau hutan pantai seperti waru laut (Hi- biscus tiliaceus) dan cemara (Casuarina sp), sesuai dengan kesesuaian kawasan pesisirnya. Penanaman pohon kelapa kurang efektif dalam meredam tsunami karena akarnya se- rabut sehingga mudah roboh. Robohnya pohon kelapa ini banyak dijumpai penulis saat melakukan survei pasca tsu- nami Banyuwangi 1994 dan tsunami Biak 1996.
  • 82. 65 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengi- ngat sistem perakarannya yang dapat meredam ombak, arus, serta menahan sedimen. Beberapa warga sempat terselamatkan akibat berpegangan di pohon mangrove. Mangrove juga berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan badai dan angin. Dalam beberapa kasus, peng- gunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih mu- rah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatkan kualitas perairan di sekitarnya. Manfaat mangrove lainnya adalah untuk menahan in- trusi air laut. Fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu me- nyimpan air tanah. Kemampuan ini telah terbukti dari lahan yang mangrovenya terjaga dengan baik memiliki kondisi air tanah yang tidak terintrusi air laut. Sebaliknya, pada lahan mangrove yang telah dikonversi untuk keperluan lain, air ta- nahnya terintrusi oleh air laut. Bagi pantai yang tidak cocok ditanami hutan mangrove bisa dihijaukan dengan hutan pantai (waru dan cemara). Secara keseluruhan, fungsi hutan pantai disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa hutan pantai yang berada di deretan terdepan mengalami kerusakan akibat diterjang langsung tsunami dan kapal-kapal atau benda keras lainnya yang hanyut terbawa gelombang tsunami. Sementara itu hutan yang berada di belakangnya menahan pohon yang roboh. Dengan demikian, gelombang tsunami beserta ikutannya yang sampai ke permukiman penduduk bisa diredam. Di sisi lain, ekosistem hutan pantai juga bisa menimbulkan gumuk (dune) yang berfungsi mencegah genangan tsunami.
  • 83. 66 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Peneliti tsunami asal Jepang, Kenji Harada dan Imamura Fumihiko pada 2003 meneliti efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami. Hutan pantai dengan tebal 200 meter, kerapatan 30 pohon per 100 meter persegi, dan diameter pohon 15 cm ternyata dapat meredam 50 persen energi gelombang tsunami setinggi 3m. Begitu pula di kawasan lidah pasir (sand bar) yang panjangdanberasosiasidengansungaiyangsejajarlautyang adadiKruengRaya,seyogianyadihijaukansemua,tidakboleh dijadikan permukiman. Pengalaman menunjukkan tsunami di Papua New Gunea pada 17 Juli 1998 telah menewaskan dan membenamkan 3.000 orang penduduk yang tinggal di kawasan lidah pasir ke dalam laguna Sissano. ctd Artikel ini dimuat Kompas edisi 20 Januari 2005.
  • 84. 67 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono Membangun Selatan Jawa Pascatsunami T sunami 17 Juli 2006 yang diakibatkan gempa bumi (tsunamigenic earthquake) berkekuatan 6,8 skala Richter melumat kawasan pesisir di selatan Pulau Jawa. Ribuan permukiman penduduk, hotel, tambak, dan sarana infrastruktur lainnya hancur dan melumpuhkan perekonomian di pesisir Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, dan Kebumen. Lalu bagaimana membangun kawasan pesisir selatan Jawa pascatsunami? Berdasarkan pengalaman Jepang, negara yang paling sering diterjang tsunami, ada dua hal pokok yang perlu mendapat prioritas. Pertama, membangun kesadaran masyarakat yang tinggal di kawasan rawan tsunami. Kedua, menata kembali kawasan pesisir sedemikian rupa sehingga daerah tersebut aman dari terjangan tsunami di lain waktu. 12