Dokumen tersebut membahas pengelolaan sumber daya alam pesisir di Kepulauan Batu, Sumatera Utara. Kepulauan ini memiliki potensi perikanan, kehutanan, dan pariwisata yang besar namun rentan terhadap dampak perubahan iklim. Penelitian ini mengkaji model pengelolaan sumber daya alam di sana serta dampak perubahan iklim yang mempengaruhi masyarakat lokal. Hasilnya menunjukkan keragaman sumber daya
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
Makalah Full Paper
1. 1
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR BERKELANJUTAN
DI KEPULAUAN BATU KABUPATEN NIAS SELATAN
PROPINSI SUMATERA UTARA
Windra Hardi Purba, S.Sos ¹)
Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc ²)
Peneliti dan Dosen di Departemen Antropologi FISIP-USU ¹´²)
Jl. Prof. Dr. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan
HP : 085270766937 / 081263420861
Email : windrahardi@gmail.com
Abstrak
Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir Berkelanjutan di wilayah Pulau-pulau kecil
sangat penting dilakukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Indonesia.
Wilayah Kepulauan Batu terdiri dari pulau-pulau kecil di Nias, Propinsi Sumatera
Utara memiliki sumber daya perikanan, kehutanan, perkebunan dan pariwisata tetapi
posisi wilayahnya sangat dekat dengan zona pertemuan lempeng patahan Samudera
Hindia dikhawatirkan memiliki dampak perubahan iklim yang besar. Penelitian ini
mengidentifikasi bagaimana model pengelolaan sumber daya alam serta dampak
perubahan iklim yang mempengaruhi keberadaan sosial ekonomi masyarakat lokal.
Tujuan penelitian ini menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem
pesisir. Metode penelitian ini kualitatif dengan teknik pengumpulan data diskusi
kelompok-kelompok masyarakat, wawancara mendalam, observasi partisipasi, dengan
pendekatan berdasarkan cara pandang masyarakat dan karakteristik lingkungan. Hasil
penelitian ini diperoleh adanya keanekaragaman yang tinggi dari potensi sumber daya
alam dan model pengelolaan berbasis masyarakat, serta rekomendasi bersama dalam
menetapkan langkah-langkah menghadapi dampak perubahan iklim dan pengelolaan
sumber daya alampesisir berkelanjutan. Kesimpulan dan Saran penelitian selanjutnya
diupayakan pihak-pihak terkait dapat mengembangkan ketahanan ekonomi dan bencana
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kata kunci : Pengelolaan, Ekosistem, Pulau-pulau Kecil, Berkelanjutan.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumber daya pesisir yang sangat besar. Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, dua pertiga wilayahnya adalah laut. Panjang garis pantainya
mencapai 81.000 kilometer merupakan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang
di dunia. Wilayah pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati yang luar
biasa. Ada sekitar 30% total luas hutan mangrove dunia dan 18% total luas terumbu
karang dunia terdapat di Indonesia. Keberadaan sumber daya pesisir sangatlah penting
bagi Indonesia karena lebih dari 60% atau sekitar 140 juta penduduk Indonesia bertempat
tinggal dalam radius 50 kilometer dari garis pantai.
2. 2
Wilayah pesisir merupakan titik pertemuan antara ekosistem darat dan laut, selalu
berada dalam keadaan yang dinamis, sering mengalami perubahan-perubahan dengan
siklus waktu yang sangat pendek. Permasalahan tersebut terjadi diduga sebagai akibat
perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sumber daya pesisir. Oleh karena itu,
sentuhan tangan manusia memiliki pengaruh yang besar terhadap penentuan dinamika
keseimbangan wilayah pesisir. Bila sumber daya pesisir memberikan akses seluas-
luasnya (open access) kepada seluruh orang dalam pengelolaannya, maka bagi setiap
orang akan bebas untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir secara berlebihan yang
dikhawatirkan dapat merusak ekosistem pesisir tersebut.
Pulau-pulau di Indonesia sesungguhnya memiliki kekayaan sumber daya yang
sangat besar. Pulau-pulau kecil salah satunya yang menjadi pusat perhatian Pemerintah
saat ini, merupakan aset penting dalam pembangunan Indonesia ke depan. Pada
kenyataannya, Pulau-pulau kecil ini masih banyak yang belum dikembangkan dan dilirik
oleh Pemerintah dan swasta untuk pembangunan. Banyak hal yang menyebabkan
demikian, selain karena keterjangkauan wilayah pulau-pulau kecil sangat terisolir dan
sulit untuk di capai oleh pihak-pihak lain, sulitnya akses transportasi, layanan perbankan,
dan layanan pendidikan yang baik bukti bahwa kurangnya perhatian dari Pemerintah.
Keterisolasian wilayah ini menjadi alasan mengapa masyarakat di wilayah pulau-pulau
kecil sering hidup dengan keterbatasan dan rentan dalam kemiskinan. Salah satunya
Kepulauan Batu Propinsi Sumatera Utara,yang memiliki potensi sumber daya alam
pesisir yang sangat besar. Ditemukan keanekaragaman jenis ikan, hutan bakau, dan
terumbu karang dapat diperoleh. Selain itu, memiliki potensi wisata yang menarik
wisatawan dengan keindahan alamnya berupa pantai, ombak, karang-karang dan
peninggalan-peninggalan sejarah yang masih tersimpan disana. Keanekaragaman jenis
hutan dan perkebunan juga masih tersimpan dengan ditemukannya Hutan Damar,
Keruing, Meranti, Rotan, Sagu, Kelapa dan Bakau. Sumber daya alam ini adalah
merupakan kebutuhan penting bagi masyarakat pesisir dan juga merupakan hal yang
sangat penting untuk dilestarikan.
Wilayah pesisir terutama pulau-pulau kecil pada saat ini juga sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa para ahli menyebutkan bahwa Indonesia
berada pada zona “Ring On Fire” yang menunukkan kerentanan atau berada pada titik-
titik zona bencana di dunia. Perjalanan panjang bencana yang terjadi di Indonesia
belakangan ini dapat dibuktikan bahwa wilayah pesisir terbukti sering mengalami
bencana terbesar. Adanya gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 2004 di Pantai
Barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disusul terjadinya gempa dahsyat di Pulau
3. 3
Nias tahun 2005, dan gempa di Kepulauan Mentawai, hingga ke pulau Enggano. Hal ini
menjadi bukti bahwa pulau-pulau kecil yang ada di pantai barat Sumatera sangat rentan
bencana dan memiliki dampak perubahan iklim.
Kepulauan Batu, Propinsi Sumatera Utara merupakan pulau-pulau kecil yang
berada di Samudera Hindia menjadi fokus penelitian sangat penting untuk di teliti.
Wilayah ini harus menjadi pusat perhatian bagi para ahli ke depan, karena selama ini
sangat sedikit melihat pengelolaan sumber daya alam pesisir di Kepulauan Batu dan
dampak perubahan iklim yang terjadi. Sehingga Pemerintah dapat mengupayakan
langkah-langkah sinergi yang berkelanjutan dalam mempertahankan biodiversitas sumber
daya alam pulau-pulau kecil tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas, peneliti menetapkan rumusan masalah penelitian adalah
bagaimana pengelolaan sumber daya alam Pesisir di Kepulauan Batu? Apa dampak dan
usaha masyarakat untuk mengatasi perubahan iklim saat ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya ekosistem pesisir dan secara akademik menambah referensi dalam penelitian
tentang budaya pesisir Pulau-pulau kecil dan pedalaman di Indonesia.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dampak perubahan iklim telah menjadi perhatian besar dunia termasuk negara
Indonesia. Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 -2025. Indonesia telah berkomitmen dalam
pengarusutamaan perubahan iklim dalam strategi pembangunan nasional. Dengan
memperhatikan hal tersebut,Indonesia berupaya meningkatkan kapasitas dalam
penanganan perubahan iklim yang bersinergi dengan berbagai program pembangunan
sektor dan wilayah, yang mengintegrasikan sumber daya manusia, iptek, dan dukungan
penelitian dan pengembangan dari perguruan tinggi dan berbagai lembaga penelitian yang
ada di Indonesia. Hal ini yang menjadi alasan pentingnya melakukan penelitian di
wilayah pesisir terutama dikawasan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Ekosistem pesisir sangat erat hubungannya dengan masyarakat yang ada di
wilayah pesisir. Tumbuhnya hutan bakau, adanya terumbu karang, keanekaragaman jenis
ikan, hutan-hutan yang subur, adalah merupakan penyangga ekosistem di wilayah pesisir
agar tetap lestari. Namun, aktivitas manusia yang berhubungan dengan alam sekitarnya
sering merugikan ekosistem yang ada. Apabila hal ini dibiarkan maka dikhawatirkan akan
membawa bencana besar bagi manusia. Untuk itulah perlu diupayakan pengelolaan
4. 4
sumber daya pesisir berkelanjutan di setiap wilayah pesisir Indonesia. Hal ini sangat
penting sekali karena ada sekitar 17.508 pulau yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan
besar yang tersebar di nusantara (DKP, 2008).
2. Metodologi Penelitian
2.1 Lokasi Penelitian
Kepulauan Batu yang merupakan lokasi penelitian merupakan pulau-pulau kecil
yang terdiri atas 101 pulau terletak pada koordinat 0`00’LU-0`15’LS dan 90`58’BT-
97`48’BT di Samudera Hindia. Posisi kepulauan Batu terletak pada garis khatulistiwa (0)
menjadi dasar bahwa iklim tropis yang sangat tinggi ada di wilayah ini. Ketinggian
daratan yang bervariasi antara 0 – 500 meter dari permukaan laut dengan luas wilayah
121,05 km² (123.000 Ha), Suhu udara maksimum/minimum berkisar antara 25ºC / 37ºC.
Kepulauan Batu berada pada Pemerintahan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera
Utara. Kepulauan ini tepat berada di bagian Tenggara Pulau Nias dan sebelah Utara dari
Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Berikut ini jarak antar wilayah yang di capai dari
Kepulauan Batu ke kota-kota atau wilayah pesisir lainnya :
- Kota Teluk Dalam, Ibukota Kabupaten Nias Selatan 50 mil laut (80,25 km).
- Kotamadya Gunung Sitoli, ibukota Kabupaten Nias 103 mil laut.
- Kotamadya Sibolga, 120 mil laut.
- Kota Natal, Kabupaten Mandailing Natal sekitar 55 mil laut
- Kota Padang, Ibukota Provinsi Sumatera Barat 162 mil laut.
- Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat 56 mil laut.
Gambar 1. Peta Kepulauan Batu, Kabupaten Nias Selatan. Sumber : Data Sekunder
2.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data
wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD),dan Observasi Partisipasi dengan
masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah emic view berdasarkan apa yang
5. 5
dilakukan,disampaikan,dirasakan oleh masyarakat setempat tentang Pengelolaan Sumber
Daya Alam Pesisir. Peneliti ikut terlibat dalam aktivitas masyarakat, dalam rangka
mengetahui apa pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan, dan berupaya untuk
membina hubungan baik dengan informan agar fokus penelitian dapat ditemukan dengan
baik dan mendalam.
3. Hasil Dan Pembahasan
3.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir
Kepulauan Batu memiliki sumber daya alam yang sangat Potensial di sektor
Perikanan dan Kelautan. Sepanjang pesisir pantai Pulau Tello misalnya, rata-rata
ditempati rumah penduduk yang memiliki keramba Jaring apung. Keramba difungsikan
sebagai salah satu usaha untuk membudidayakan ikan tangkapan Nelayan untuk
dipasarkan ke beberapa daerah maupun ekspor seperti ikan kerapu, teripang dan lobster .
Rata-rata dimiliki oleh para pengusaha di pulau ini, sering disebut toke (istilah lokal:
lakhodo) yang mayoritas etnik Cina yang telah menetap sejak lama di Kepulauan Batu.
Sepanjang pesisir pantai ini juga banyak ditumbuhi Hutan Bakau, Kelapa, dan juga koral-
koral yang menjulur ditepi pantai.
Hasil penelitian studi ekologi Nias Selatan oleh Program Coremap tahun 2006,
jumlah species jenis ikan karang yang hidup diperairan Kepulauan Batu mencapai 137
Jenis (termasuk dalam 28 suku).
Tabel 1. Kelompok Jenis Ikan Tangkap (Studi Baseline Coremap)
Kelompok Jenis Species Ikan/Famili Jenis Ikan
Ikan-ikan Target yaitu ikan ekonomis
penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi.
Biasanya mereka menjadikan terumbu
karang sebagai tempat pemijahan dan
sarang/daerah asuhan.
Serranidae,
Lutjanidae
Lethrinidae
Nemipteridae
Caesionidae
Siganidae
Haemulidae
Scaridae
Acanthuridae
Ikan Kerapu
Ikan Kakap
Ikan Lencam
Ikan kurisi
Ikan Ekor kuning
Ikan Baronang
Ikan Bibir Tebal
Ikan Kakak tua
Ikan Pakol
Ikan- ikan Indikator, yaitu jenis ikan
karang yang khas mendiami terumbu karang
dan menjadi indikator kesuburan ekosistem
daerah tersebut.
Chaetodontidae Ikan Kepe-kepe
Ikan-ikan Major, merupakan jenis ikan
berukuran kecil, umumnya 5-25 cm, dengan
karakteristik pewarnaan yang beragam
sehingga dikenal sebagai ikan hias.
Kelompok ini ditemukan umumnya
melimpah, baik dalam jumlah individu
maupun jenisnya, serta cenderung bersifat
territorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya
berada di terumbu karang
Pomacentridae,
Apogonidae,
Labridae,
Blenniidae
Ikan Betok laut
Ikan Seriding
Ikan Sapu-sapu
Ikan Peniru
Sumber: Data UPTD Perikanan Pulau Tello, Studi Baseline Ekologi Kepulauan Batu, COREMAP.
6. 6
Dalam memajukan pengelolaan sumber daya alam kelautan terhadap kawasan
pesisir perairan pantai Kepulauan Batu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah
mengembangkan sentra produksi perikanan. Hal ini merupakan gagasan dari mantan
Gubernur Sumatera Utara (Alm H.Tengku Rizal Nurdin, S.IP) yang disusun dalam
sebuah rancangan pengembangan Kepulauan Batu dijadikan sebagai pusat industri
perikanan terpadu pantai barat Sumatera.
Namun keberadaan fasilitas tersebut, tidak dapat memberikan kontribusi yang
optimal bagi masyarakat. Penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) sering terjadi
dilaut Kepulauan Batu. Beberapa nelayan-nelayan dari negara-negara asing seperti
Vietnam dan Thailand sering melakukan aktivitas pencurian hasil laut di Kepulauan Batu.
Selain itu, aksi dari nelayan-nelayan yang berasal dari Kota Sibolga atau Tapanuli Tengah
melakukan penangkapan ikan secara bebas dan eksploitasi yang merugikan masyarakat
atau nelayan tradisional di Kepulauan Batu. Nelayan-nelayan dari luar wilayah
menggunakan alat tangkap modern seperti penggunaan pukat harimau, pukat cincin, dan
juga menggunakan bom di laut kepulauan Batu, hal ini merusak ekosistem laut serta
penurunan jumlah ikan yang tersedia di laut Kepulauan ini. Hal ini sebenarnya terjadi
karena lemahnya pengawasan aparat penegak hukum yang ada di Kepulauan ini. Aparat
kepolisian, TNI AL, dan petugas UPT Perikanan Pulau Tello sangat terbatas jumlahnya.
Tabel 2. Perkembangan SDA Pesisir dan Infrastruktur Pendukung di Kepulauan Batu
No Jenis Potensi Unggulan Kondisi Sebab akibat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
1.
2.
3.
1.
I. PotensiIkan:
Ikan Kerapu
Ikan Hias
Ikan Gurita
Ikan Cakalang
Udang Lobster
Teripang
Ikan Pari
Cumi dan ikan teri
Kepiting Bakau dan rajungan
Lola, Kima, dan Penyu
Ikan Pelagis besar
Ikan Pelagis Kecil
II.TransportasiLokal
TransportasiLintas Pulau (Lokal)
TransportasiUdara
Transportasikeluar Pulau
III. PotensiPariwisata
Photo Hunting, diving, Riset
Peninggalan Sejarah, dan selancar.
Berkurang
Berkurang
Masih banyak
Mulai berkurang
Berkurang
Masih Banyak
Sedikit berkurang
Tergantung Musim
Masih banyak
Masih Banyak
Berkurang
Berkurang
Masih bersifat Tradisional
menggunakan sampan, boat, dll.
Penerbangan terbatas dan
kapasitas penumpang terbatas.
Sangat Terbatas, jadwal pelayaran
tidak menentu karena jenis kapal
barang.
Sarana yang tidak mendukung
dan transportasi yang sulit.
Bom dan overkapasitas
bom dan potasium
Kurang prioritas
Penangkapan berlebihan
Bom dan Potasium
Sedikit pemanfaatan
Over eksploitasi
Iklim
Hutan mangrove subur
Kurang prioritas
Penangkapan berlebihan
Alat tangkap yang tidak
selektif.
Kurangnya penggunaan
teknologi transportasi
modern.
Masih kurangnya peminat
wisata.
Fasilitas pelayaran kurang.
Kebijakan Pemerintah
Daerah terkait masih
kurang memadai.
Sumber : Hasil FGD Potensi Unggulan di Kepulauan Batu
7. 7
Sektor sumber daya alam lainnya adalah perkebunan kelapa yang dimanfaatkan
masyarakat sebagai mata pencaharian. Kelapa tersebut diolah masyarakat secara individu
maupun kolektif dengan cara dikeringkan menjadi Kopra. Kemudian kopra tersebut dijual
pada toke (lakhodo) untuk dipasarkan ke luar daerah seperti Padang, Medan, dan ekspor
seperti Singapura, Malaysia, dan Tiongkok. Dari hasil komoditas perkebunan lainnya
sebagai sumber daya alam yang menguntungkan masyarakat adalah pala, dan cengkeh.
Mereka melakukan penanaman, memanen, yang kemudian di jual pada agen-agen, yang
kemudian terjadi transaksi jual beli. Agen-agen adalah para toke (lakhodo) atau
pengusaha yang berada di Pulau Tello. Mereka banyak melakukan transaksi jual beli pada
masyarakat adalah untuk mengambil komoditi yang ada dan mereka memasarkannya ke
luar daerah dan bahkan mengekspor ke luar negeri seperti Singapura, Hongkong, Taiwan
dan Tiongkok.
Potensi dari sektor hasil hutan sangat banyak ditemukan di Kepulauan Batu. Tipe
vegetasi hutan di Kepulauan ini adalah hutan hujan tropis kepulauan. Jenis-jenis kayu
yang dihasilkan seperti kayu Kruing, Meranti, damar laut, Rotan, Nibung, Bakau, dan
kayu Besi (kayu kafeni). Sejarahnya, ada 2 (dua) pembalakan hutan di Kepulauan Batu
yang beroperasi sejak tahun 1972, namun pada tahun 1998 ditutup karena moratorium
perizinan oleh pemerintah. Tetapi pada tahun 2010, pembalakan ini beroperasi kembali
di Kepulauan Batu sampai sekarang. Perusahaan tersebut adalah PT. Gruti yang
menguasai wilayah hutan Desa Tebolo Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa dan Pulau
Pini serta PT.Teluk Nauli yang berada di wilayah Pulau Tanah Bala. Mereka melakukan
operasi pembalakan hutan secara bebas tanpa reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan yang
rusak karena dilakukan tanpa ada pengawasan Pemerintah. Hutan banyak yang telah di
tebang tanpa ada aturan tebang-pilih dan reboisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Hutan bakau sebagian dibakar dan juga hasil alam berupa tanaman-tanaman atau lahan
bercocok tanam lainnya ikut punah sehingga hal ini sangat merugikan bagi warga
masyarakat dan ekosistemnya. Pembalakan hutan ini dikhawatirkan oleh masyarakat akan
mempengaruhi dampak perubahan iklim di Kepulauan Batu seperti kekeringan sumber
mata air dan pengikisan tanah kepulauan.
Sumber daya alam lainnya adalah sektor pariwisata yang sangat banyak dan layak
dikembangkan. Dengan adanya keindahan alam berupa ombak, angin, koral-koral dan
pasir putih yang memiliki terumbu karang yang indah dan juga peninggalan-peninggalan
sejarah seperti megalith dan kuburan batu s erta kesenian tradisional dari dua etnik yang
telah lama menetap di Kepulauan ini yaitu etnik Melayu dan Nias. Potensi ini ,akan
banyak mendatangkan manfaat bagi wisatawan dan masyarakat. Saat ini ada tiga pulau di
8. 8
Kepulauan Batu yang sudah dikelola menjadi daerah resort wisata yaitu Pulau Simaloko,
Pulau Sifika dan Pulau Sibaranun. Ketiga pulau ini sudah dikelola oleh salah satu biro
travel wisata di Kota Medan yang bekerjasama dengan pihak asing. Pembangunan
pariwisata sudah mulai dilakukan, namun manfaat bagi masyarakat yang menjadi
penonton sampai saat ini belum memiliki manfaat.
Tabel 3. Lokasi Pengembangan Pariwisata Kepulauan Batu
No Nama Lokasi Potensi Kegiatan Wisata
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pulau Sibaranun1
Pulau Sifika
Pulau Simaloko
Pulau Simuk
Pulau Tanahmasa
Pulau Pini
Pulau Pono
Pulau Tello :
Desa Simaluaya
Desa Sinauru
Desa Rafa-rafa Melayu
Desa Sebua’asi
Selancar, Photo hunting, diving
Selancar, diving.
Selancar, diving, photo hunting.
Diving, konservasi burung Beo, Selancar
Photo hunting, Riset peninggalan sejarah
Taman Buru, Photo hunting, diving.
Diving, Selancar
Riset Peninggalan Sejarah
Riset Peninggalan Sejarah
Photo Hunting dan riset peninggalan sejarah
Photo hunting
Sumber : Hasil FGD Potensi Pengembangan Pariwisata
3.2 Strategi Masyarakat Dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Sumber Daya Alam Kepulauan Batu
Masyarakat telah melakukan beberapa program dalam mengatasi dampak
perubahan iklim. Masyarakat lokal membuat beberapa program-program pembangunan
pesisir berkelanjutan sekaligus sebagai upaya untuk mempertahankan ekosistem pada
masa sekarang ini.
Tabel4. Program Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA Pesisir Berkelanjutan
Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang
Penyadaran fungsi ekosistem laut
dan pantai
Perlindungan dan Pelestarian
Terumbu Karang
Pengembangan Koperasi Nelayan
Sosialisasi Pentingnya
Pengelolaan SDA Pesisir
Berkelanjutan
Pengembangan usaha pengolahan
ikan
Pengembangan lahan pertanian
masyarakat dengan pelatihan
budidaya.
Pembangunan Infrastruktur : Jalan
Raya, Hotel, Kapal, dan lain-lain.
Pengembangan usaha budidaya
rumput laut
Advokasi Kebijakan Pengelolaan
Sumber Daya Alam Pesisir
Pengendalian Abrasi pantai Pengembangan usaha budidaya
Ikan Kerapu
Pengelolaan dan pengembangan
daerah objek wisata
Pengelolaan Sanitasi masyarakat Pengembangan usaha Budidaya
Teripang
Pemetaan pemukiman kumuh dan
renovasi
Peremajaan hutan bakau dan
Reboisasi Hutan.
Pengembangan usaha budidaya
lobster dan kepiting
Pemetaan ruang wilayah pesisir
dan Peraturan Daerah
Sumber: Hasil FGD dengan LPM Hulo Batu Pulau Tello, Kepulauan Batu.
1 Masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil ini banyak yang telah menjual lahan perkebunan
kelapa milik mereka kepada pihak pengelola wisata. Masyarakat yang ingin berkunjung di wilayah
resort wisata ini harus melapor terlebih dahulu pada petugas pengelola wisata.
9. 9
3.3 “Fatabo” Suatu Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA Pesisir.
Masyarakat Kepulauan Batu mengenal suatu tradisi kebersamaan berupa gotong
royong turun temurun menurut musim badai. Pada saat musim badai tiba, masyarakat
tidak dapat turun kelaut sehingga mereka melakukan tradisi “fatabo”. Fatabo adalah
istilah gotong royong bagi masyarakat di Kepulauan Batu. Gotong royong (fatabo) yang
dimaksud adalah untuk menangkap ikan secara bersama-sama di pimpin oleh Kepala
Desa setempat dengan masyarakat.
Masyarakat membentuk lingkaran di tepi pantai dengan luas hampir empat
ratus meter. Terkadang badan kami juga hampir tertelan oleh kedalaman air
laut dan tingginya ombak. Sambil memukul air dengan kayu dan
mengeluarkan seruan suara gembira atau senandung, bermain dengan air
dan mengejar ikan, mereka maju menuju ke tepian hingga lingkaran besar
yang dibentuk tadi mengecil di tepian. Senandung suara yang kami sampaikan
seperti ini : tabo…taboooo…tabooooo secara serentak ( Sumber: Wawancara
Informan,2014)
Ikan-ikan yang berhasil masuk dalam lingkaran mereka, akan mabuk oleh pukulan
dan suara bising yang telah mereka buat. Tentu saja, saat itulah mereka menangkap,
menjaring dan menombak ikan dengan mudah. Hasilnya, ratusan ekor ikan bisa mereka
dapatkan dalam ber-fatabo selama lebih dari satu jam. Ikan yang mereka tangkap pun
beragam, mulai dari ikan yang kecil hingga yang besar. Seusai mengumpulkan ikan,
kepala desa akan membagikannya dengan adil kepada seluruh warga desa, pembagian
yang sama untuk setiap kepala keluarga.
Tradisi fatabo ini merupakan tradisi nenek moyang mereka, yang tidak diketahui
dimulai sejak kapan. Tradisi ini masih sering mereka lakukan, khususnya pada saat
musim badai tiba. Musim badaiyang tinggi seperti sekarang ini terjadi di Kepulauan Batu
sangat beresiko bagi para nelayan kecil seperti mereka yang hanya menggunakan sampan
sederhana untuk mencari ikan. Karena satu-satunya transportasi yang dimiliki masyarakat
setempat hanyalah sampan (biduk) sejenis perahu kayu tanpa motor berukuran 2-3 meter.
Kearifan lokal ini merupakan sebuah adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim yang
terjadi di Kepulauan Batu.
4. Kesimpulan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir Berkelanjutan di Kepulauan Batu saat ini
sangat penting dilakukan. Untuk melaksanakan pemanfaatan yang merata bagi semua
pihak diperlukan suatu kesepakatan bersama (co-management) dalam pengelolaan
sumber daya alam tersebut. Kesepakatan inilah yang harus diwujudkan di masyarakat
dengan memegang prinsip keberlanjutan dan memperhatikan kearifan tradisional
masyarakat yang bertanggung jawab. Sumber daya alam pesisir sangat banyak terutama
10. 10
di pulau-pulau kecil dan merupakan penyangga ekosistem serta menjadi sumber
pendapatan bagi masyarakat. Idealnya pengelolaan yang baik, apabila dilaksanakan
dengan memperhatikan: 1). Kemampuan SDM Pengelolanya, (2) adanya peraturan
perundangan yang mendukung (3) adanya kelembagaan yang kuat (4) adanya penguatan
kearifan lokal dengan melakukan pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat.
Pengembangan pariwisata kepulauan Batu ke depan haruslah berdasarkan
konsep ekowisata agar dapat berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian ekosistem.
Pemerintah seharusnya menyiapkan sarana transportasi dan infrastruktur yang memadai
bagi masyarakat baik antar pulau dalam satu wilayah, antar desa, maupun pulau diluar
wilayah.Sumber daya alam dari hutan di Kepulauan Batu juga sangat penting
diperhatikan oleh Pemerintah, karena merupakan kekayaan Negara dan penyangga
ekosistem pulau-pulau kecil. Untuk itu perlu ada pengawasan dan regulasi yang jelas
dalam menindaklanjuti masalah pembalakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab di Indonesia. Pembalakan-pembalakan hutan terjadi di Kepulauan Batu disebabkan
karena akses informasi dan transportasi menuju lokasi kepulauan ini tidak tersedia dengan
baik, sehingga secara bebas dilakukan tanpa adanya pengawasan. Usaha-usaha
pembalakan hutan di Propinsi Sumatera Utara sudah jarang terjadi, namun di Kepulauan
Batu wilayahnya sangat terpencil dan terisolir, eksploitasi hutan dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab semakin berkembang. Untuk itu sangat penting bagi Pemerintah
melakukan langkah-langkah yang serius dalam mempertahankan biodiversitas pesisir.
5. Daftar Pustaka
Asosiasi Pemeritah Kabupaten Seluruh Indonesia (APAKASI). 2001. Permasalahan dan
Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah.
http://aplikasi.or.id/modules.php?name=news&files=article&sid=106.
Darajati Wahyuningsih, 2004, Makalah Sosialisasi Nasional MFCDP : Strategi
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan,
Bappenas
Depatemen Kelautan dan Perikanan. Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP).
DKP. 2008. Urgensi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Atrikel
on-line Dinas Kelautan dan Perikanan.
Laowo A., Kecamatan Pulau-Pulau Batu Dalam Angka 2010.Biro Pusat Statistik
Kabupaten Nias Selatan
Muttaqiena, dkk. 2009. Makalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Pasca
Tsunami Desember 2004. http://slideshare.net/abida/pengelolaan-pesisir.