1. 1
BODY SHAMING SEBAGAI PENCETUS KONFLIK DI KALANGAN REMAJA
Shellamitha Pinkan Toreh, Ardelia Triyani Putri, Salsabina Desnita Riyanti,
Novalia Agung W. Ardhoyo
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
E – mail : salbinnn14@gmail.com
Abstrak - Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan dalam cara berpikir
serta caranya untuk mengendalikan diri. Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk
sosial. Sebagai makhluk individu, ia memiliki karakter yang unik –berbeda satu dengan yang
lain, bahkan kalaupun merupakan hasil cloning, dengan pikiran dan kehendaknya yang bebas.
Body shaming merupakan kata – kata yang sudah tidak asing lagi di pendengaran kita,
maraknya kasus body shaming dapat berdampak ke mental seseorang atau kondisi psikis.
Tujuan ini untuk ini untuk menciptakan pemahaman bersama atau mengubah persepsi bahkan
perilaku seseorang agar tidak terjadi konflik komunikasi (miss communication), mengetahui
faktor dari body shaming. Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivist.
Pendekatan penelitian yang kelompok kami gunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis. Kesimpulannya adalah body shamming ternyata masih banyak di lakukan oleh
kalangan remaja, di lihat dari kasus – kasusnya terutama di lingkungan sekolah. Karena body
shaming termasuk salah satu kasus bullying dan dampak dari body shaming ini akan
mengganggu kesehatan mental atau psikis korban.
Kata Kunci: body shaming, remaja, Ilmu Sosial Budaya
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan dalam cara berpikir
serta caranya untuk mengendalikan diri. Manusia diberikan nafsu juga hasrat. Yaitu hasrat
untuk mencapai tujuan dengan memenuhi syarat untuk menjadi manusia yang berkarakter.
Dengan kelebihan akal pikiran dan budi pekerti yang Tuhan titipkan, manusia mampu berpikir
tentang bagaimana cara ia hidup, dan bagaimana caranya untuk bertahan hidup. Dengan
perkembangan pola pikir yang luas, setiap bentuk dari masalah yang dialaminya akan menemui
jalan keluar sendiri.Dan dengan budi pekerti, manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang
2. 2
perasa. Makhluk yang senantiasa menggunakan kata hati, berupa panduan akal dan perasaan
yang dapat membedakan antara perbuatan baik dan yang buruk (Siti Nurkholilah 2020).
Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu,
ia memiliki karakter yang unik –berbeda satu dengan yang lain, bahkan kalaupun merupakan
hasil cloning, dengan pikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia
membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok dalam bentuknya yang minimal,
yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal- kelompok di mana dia
dapat bergantung kepadanya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri.
Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Semua itu adalah dalam rangka
saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang
miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Aristoteles
mengkatagorikan manusia ke dalam “Zoon Politicon” yang berarti manusia adalah makhluk
yang ingin selalu bergaul dan berkumpul. Jadi manusia adalah makhluk yang bermasyarakat.
Oleh karena sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk
sosial. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial bukan bermaksud untuk
menegaskan ide tentang kewajiban manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya, melainkan
ide tentang makhluk sosial terutama bermaksud menunjuk langsung pada kesempurnaan
identitas dan jati diri manusia. Dalam arti, manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan
yang baru disekitarnya. Keberadaan manusia sangat nyata sekali berbeda dengan makhluk yang
lainnya. Seperti dalam kenyataannya manusia adalah makhluk yang berjalan di atas dua kaki
dan memiliki kemampuan untuk berfikir. Sedangkan berfikir itu sendiri merupakan sifat dasar
dari manusia yang menentukan hakekat manusia itu sendiri dan mebedakannya dengan
makhluk lainnya. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkannya sehingga berbeda dengan
makhluk yang lain. Hasil karya manusia itu dapat dilihat dalam setting sejarah dan setting
psikologis, geografis, situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi hasil karyanya.
Dari hasil karya yang dibuat manusia tersebut, menjadikan ia sebagai makhluk yang
menciptakan sejarah. Pengertian sosial menurut para ahli (Paul Ernes dan Enda M.C) yang
dikutip dari Budi Santoso (2018) adalah “Hubungan individu dalam sebuah komunitas dan
bagaimana cara mereka menjalin hubungan antar sesama dalam berbagai kegiatan bersama dan
hubungan ini merupakan inti dari sebuah interaksi di antara mereka di lingkungan masing-
masing dan tidak terikat oleh sebuah pola tertentu”.
3. 3
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan. Setiap harinya kita
menjalani kegiatan komunikasi. Pengertian dari komunikasi adalah kegiatan penyampaian
informasi dari satu individu ke individu lain maupun juga kelompok antar kelompok. Dalam
berkomunikasi juga dapat menggambarkan atau menunjukkan sikap kita. Maka dari itu dalam
berkomukasi kita harus memiliki etika dan aturan. Berkomunikasi dengan orang lain tentu
memerlukan norma yang menjadi standar dan acuan. Komunikasi dikatakan tidak mudah
karena komunikasi harus memakai etika dan manusia harus mengetahui pentingnya etika dalam
berkomunikasi satu sama lain. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika sedang
berkomunikasi seperti menatap mata lawan saat berbicara, mendengarkan ucapan lawan bicara,
memahami lawan bicara saat berbicara, hindari menyela lawan bicara saat berbicara, harus
mengingat hak lawan berbicara, fokus pada masalah, bicara tanpa menghakimi lawan bicara.
Konflik dapat terjadi karena miss communication yang ditimbulkan antara komunikator dengan
komunikan. Biasanya, kegagalan memaknai sebuah pesan dalam komunikasi disebabkan
adanya gangguan, atau biasa disebut dengan noise. Noise dapat terjadi karena banyak hal,
misalnya perbedaan cara pandang, perbedaan latar belakang , dan lain sebagainya.
Salah satu konflik dalam komunikasi adalah “Perbedaan Penampilan / Fisik”. Ada suatu
kasus yang dialami oleh seorang mahasiswa ketika masih duduk di bangku sekolah dasar ,
pada saat itu Cinta masih belajar di bangku sekolah dasar (SD) ia pernah mengalami body
shamming karena mempunyai perbedaan penampilan atau fisik yang kurus, bahkan sampai ia
di hina kering kerontang, kurus kering, tengkorak hidup, tulang dan kentut, hingga tak henti di
buat lelucon oleh teman – temannya sampai ia di jauhi, dicemooh oleh teman – temannya,
sehingga Cinta jadi minder terhadap bentuk fisiknya. Ada contoh lain yang kami dapat dari
narasumber yaitu kejadiannya saat Luna berada dikelas 7 SMP, berawal beberapa guru
memberikan tugas kelompok akhirnya Luna mencoba mencari teman untuk dijadikan satu
kelompok, tetapi ada satu orang didalam kelompok tersebut tidak suka kepada Luna karena
penampilannya, karena dia tidak suka oleh penampilan Luna dia selalau mengusir, menjauhi,
dan tidak ingin yang lain berbaur dengan Luna. Dari kejadian itu Luna kerap kali susah untuk
menemukan anggota kelompok sehingga ia sering masuk ke dalam kelompok buangan. Kedua
konflik diatas bisa saja terjadi dimana saja dan kapan saja mungkin di lingkungan rumah,
dilingkungan sekolah, lingkungan kantor dan juga dari kedua konflik diatas itu menunjukan
bahwa penampilan merupakan sesuatu yang kebanyakan orang lain nilai.
4. 4
Tujuan riset ini untuk menciptakan pemahaman bersama atau mengubah persepsi
bahkan perilaku seseorang agar tidak terjadi konflik komunikasi (miss communication),
mengetaui faktor dari perbedaan penampilan atau fisik selain itu tujuan riset ini untuk
memenuhi nilai tugas. Hambatan – hambatan yang terjadi akibat konflik ini adalah menjadi
tidak percaya diri dan minder.
METODOLOGI
Pengertian paradigma menurut Steven Covey yang dikutip dari Husnul Abdi (2021),
paradigma adalah cara kita memandang sesuatu: pandangan kita, kerangka acuan kita atau
keyakinan kita. Paradigma adalah seperti kacamata. Steven Covey merangkum bahwa ada 3
paradigma pada umumnya: paradigma tentang diri sendiri, paradigma tentang orang lain dan
paradigma tentang kehidupan. Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivist.
Pendekatan penelitian yang kelompok kami gunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif
(Anugerah Ayu Sendari 2019). Jenis penelitiannya adalah studi kasus. Cara memperoleh data,
yaitu menggunakan metode wawancara dengan Nara (sebagai korban), selain itu kami juga
melakukan studi literatur.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dikutip dari Vanya Karunia Mulia Putri (2021) Model komunikasi milik Harold
Lasswell bersifat linier atau satu arah. Model yang dikembangkan Lasswell ini termasuk model
komunikasi tertua yang masih digunakan hingga saat ini. Awalnya model komunikasi Lasswell
dikembangkan untuk menganalisis komunikasi massa, khususnya tentang media propaganda.
Namun, seiring perkembangan zaman, model komunikasi ini sering digunakan untuk
menganalisis komunikasi interpersonal atau komunikasi kelompok yang menjadi sasaran
diseminasi (penyebarluasan) pesan.
Dikutip dari Vanya Karunia Mulia Putri (2021) Menurut Agus Hendrayady, dkk dalam
buku Pengantar Ilmu Komunikasi (2021), salah satu karakteristik model komunikasi Lasswell
adalah bersifat linier atau satu arah. Artinya hanya komunikator yang aktif menyampaikan
pesan. Sementara komunikan digambarkan hanya menerima pesan dari komunikator, tanpa
memberi umpan balik. Dalam buku Komunikasi dan Interaksi Sosial Anak (2021) karya Encep
Sudirjo dan Muhammad Nur Alif, dituliskan beberapa karakteristik model komunikasi
Lasswell, yaitu: yang pertama komunikasinya berlangsung satu arah atau linier. Yang kedua
5. 5
tidak ada umpan balik (feedback). Yang ketiga dipandang sangat umum dan hanya mencakup
tema komunikasi yang bersifat tradisional. Yang keempat model komunikasi Laswell
merupakan dasar propaganda, karena lebih menitik beratkan pada hasil keluaran. Yang kelima
biasanya digunakan sebagai media persuasi.
Komponen – komponen model komunikasi menurut Laswell : yang pertama Who
(berkedudukan sebagai komunikator atau sumber informasi, bertugas untuk memulai
komunikasi, baik secara individu, kelompok, maupun Lembaga. Yang kedua Say What
(Merujuk pada hal apa yang akan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Yang
ketiga In Which Channel (Artinya saluran atau media apa yang akan digunakan untuk
menyampaikan pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikan, baik secara
langsung (tatap muka) maupun tidak (lewat media elektronik atau media cetak). Yang keempat
To Whom (kepada siapa), dan yang kelima atau terakhir adalah With What Effect (Setelah pesan
diterima, perlu dilihat adakah perubahan pada diri komunikan, seperti bertambahnya
pengetahuan, perubahan pendapat, perubahan sikap, dan sebagainya ( Vanya Karunia Mulia
Puteri, 2021 ). Dari teori tersebut dapat kami simpulkan bahwa teori tersebut berhubungan
dengan studi kasus atau masalah yang kami teliti saat ini.
Body shaming merupakan kata – kata yang sudah tidak asing lagi di pendengaran kita,
maraknya kasus body shaming dapat berdampak ke mental seseorang atau kondisi psikis.
Masih banyak orang yang menganggap perkataannya sepele tentang penampilan orang lain,
seperti misalnya dengan menyebutkan kata – kata “gendut, kurus, pendek, dekil, buluk,
jerawatan, tepos dan lain – lain sebagainya”, padahal orang yang mendengarkannya atau orang
yang dituju merasa bahwa perkataan tersebut bukanlah perkataan yang sepele dan dapat
membuat sakit hati. Kasus body shaming ini marak juga atau sering juga terjadi di kalangan
remaja maupun itu di ruang lingkup pertemanan (seperti di SD SMP SMA dan Kuliah),
keluarga, dan lain – lain sebagainya. Dikutip dari jurnal Memahami Pengalaman Body
Shaming Pada Remaja Perempuan (Tri Fajariani Fauzia dan Lintang Ratri Rahmiaji, 2019)
setiap orang atau individu memiliki pengalaman kasus body shaming yang berbeda – beda,
body shaming umumnya berupa ujaran secara verbal namun pada beberapa kasus tertentu dapat
merambah pada kekerasan fisik.
Setelah kelompok kami melakukan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara,
maka temuan penelitian ini, secara kualitatif ini adalah sebagai berikut : dalam wawancara
tersebut kelompok kami sudah menanyakan beberapa pertanyaan dan sudah mendapatkan
6. 6
jawaban atau informasi atas pertanyaan tersebut terkait kasus body shaming dari satu
narasumber atau komunikator yang berhasil kami wawancarai. Narasumber yang kami
wawancarai, yaitu bernama Nala (sebagai korban) dan ia adalah teman kuliah. Melalui jawaban
dan informasi yang kami dapat dari narasumber, ketika Nala duduk dibangku sekolah dasar ia
pernah ia pernah dikatain giginya maju atau tonggos dan seperti kacang lebaran, karena giginya
depannya yang berukuran besar akhirnya Nala memutuskan memakai behel ketika dibangku
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kelas 7. Pada saat kelas 8 SMP badan Nala mulai
menggemuk karena pubertas yang dialaminya, ia mendapatkan perkataan yang tidak enak lagi
atau seringkali kita menyebutnya dengan body shaming, teman – temannya melontarkan kata
– kata seperti gendut. Setelah mendapatkan perkataan seperti itu, Nala melakukan diet yang
sangat ketat sampai membuat badannya lemas karena ia yang biasanya membawa bekal dari
rumah makanan yang mengandung banyak lemak dan berminyak diganti menjadi makan –
makanan yang rebus – rebusan dan nasi merah saja. Ketika ia sudah membawa makanan yang
rebus – rebusan temannya menyinggung dengan perkataan seperti “ih kok bawa makanannya
kayak gitu, mau jadi apa lo? mau jadi model?” dan perkataan temannya sampai menganggu
kondisi psikisnya serta menjadi stress. Bahkan wali kelas di sekolah SMP nya pun sampai
mengetahui bahwa kondisi Nala lemas dan tidak sehat karena melakukan diet ketat. Karena
kondisi Nala sedang mengalami masa pubertas dan berpengaruh pada hormon di tubuhnya
sehingga kondisi kulit wajah muncul jerawat dan hal itu membuat teman – teman bahkan
kakaknya sendiri melontarkan perkataan yang tidak enak, seperti “ih kok jadi jerawatan
sekarang”. Media yang kami gunakan untuk mewawancarai narasumber adalah menggunakan
media elektronik yang biasa kita pakai yaitu handphone dengan cara direkam melalui google
meet dan voice note. Dari wawancara tersebut, Nala sebagai komunikator menyampaikan
pengalamannya terkait body shaming kepada kelompok kami sebagai komunikan. Dari
pengalaman yang narasumber berikan kelompok kami sebagai komunikan menyadari dampak
yang di timbulkan yaitu jangan asal bicara, sebelum berbicara harus dipikirkan dulu apa aitu
akan membuat sakit hati seseorang atau tidak.
Jadi kalau disangkutpautkan dengan komponen – komponen model komunikasi
lasswell, yaitu : yang pertama who nya adalah Nala (sebagai korban). Yang kedua hal atau
masalah yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan adalah Nala sebagai korban
body shaming sejak SD sampai SMA yang pernah dikatain “gendut, jerawatan, gigi maju atau
tonggos”. Yang ketiga, yaitu media yang kami gunakan untuk wawancara adalah secara tidak
langsung atau menggunakan media elektronik. Yang keempat pihak narasumber menceritakan
7. 7
pengalaman body shaming kepada kelompok kami. Yang terakhir, dampak yang ditimbulkan
adalah jangan asal bicara, sebelum berbicara harus dipikirkan dulu apa aitu akan membuat sakit
hati seseorang atau tidak. Norma yang harus dipahami oleh para pelaku adalah norma tata
berbicara atau norma kesopanan. Dari kasus body shaming yang kami angkat, pelaku
seharusnya tidak boleh melontarkan kata – kata yang tidak enak dan membuat korban sakit
hati, seharusnya sebelum berbicara kata – kata yang ingin dikeluarkan dari mulut harus
dipikirkan terlebih dahulu apakah akan menyakiti hati seseorang atau tidak.
Pendapat pribadi dari para anggota kelompok kami terhadap kasus tersebut adalah kita
sebagai makhluk sosial yang mempunyai akal sehat seharusnya tidak boleh boleh melontarkan
kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain, karena jika seseorang sudah terkena body
shaming, maka kondisi mental dan fisiknya juga akan down. Pendapat selanjutnya adalah kita
sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain, seharusnya tidak saling menyakiti
dan tidak berkata seenaknya, agar tidak terjadi konflik. Dan pendapat yang terakhir adalah Kita
sebagai manusia juga harus mempunyai batasan dalam perbuatan maupun perkataan, karena
dari perbuatan dan perkataan tersebut lah orang - orang dapat menilai baik dan buruknya kita.
KESIMPULAN
Yang dapat kelompok kami simpulkan adalah body shamming ternyata masih banyak
di lakukan oleh kalangan remaja, di lihat dari kasus – kasusnya terutama di lingkungan sekolah.
Padahal di setiap sekolah serta guru – guru sudah mengingatkan dan memberikan larangan
kepada murid – muridnya untuk tidak melakukan hal tersebut. Karena body shaming termasuk
salah satu kasus bullying. Tujuan kami membuat jurnal dengan topik ini adalah untuk
menciptakan pemahaman bersama atau mengubah persepsi perilaku seseorang agar tidak
melakukan body shaming, karena dampak dari body shaming ini akan mengganggu kesehatan
mental atau psikis korban.
DAFTRA PUSTAKA
Nurkholilah, Siti. (2020). Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Sosial. Stie Pasim. Diakses dari
https://www.stiepasim.ac.id/hakikat-manusia-sebagai-makhluk-sosial/
Santoso, Budi. (2018). Esensi Manusia Sebagai Makhluk Sosial. Index.php. Diakses dari
https://adab.radenfatah.ac.id/main/index.php/2018/07/28/esensi-manusia-sebagai-
makhluk-sosial/
8. 8
Situmorang, Sesilia. (2021). Pentingnya Beretika Saat Berkomunikasi di Lingkungan
Masyarakat. Kaltim Today. Diakses dari https://kaltimtoday.co/pentingnya-beretika-
saat-berkomunikasi-di-lingkungan-masyarakat/
Marpaung, Topan. (2020). Miskomunikasi Dan Faktor Penyebabnya. Rmol Sumut. Diakses
dari https://www.rmolsumut.id/miskomunikasi-dan-faktor-penyebabnya
Abdi, Husnul. (2021). Paradigma adalah cara pandang terhadap sesuatu, pahami makna serta
contohnya. Liputan6. Diakses dari https://hot.liputan6.com/read/4601251/paradigma-
adalah-cara-pandang-terhadap-sesuatu-pahami-makna-serta-contohnya
Sendari, Anugerah, Ayu. (2019). Mengenal jenis penelitian deskriptif kualitatif pada sebuah
tulisan ilmiah. Liputan6. Diakses dari https://hot.liputan6.com
Putri, V, K, M. (2021). Model komunikasi Laswell: konsep dan karakteristiknya. Kompas.com.
diakses dari https://www.kompas.com
Fauzia, T, F. Rahmiaji, L, R. (2019). Diakses dari Jurnal Memahami Pengalaman Body
Shaming Pada Remaja Perempuan.