SlideShare a Scribd company logo
1 of 25
Download to read offline
MAKALAH INSTITUTIONAL SET-UP STUDI KASUS
SANITASI LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI
KABUPATEN BANYUMAS
Oleh:
Samuel Febrilian Hasto Putro
15/384751/SV/09108
DIV Teknik Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil
Sekolah Vokasi
Universitas Gadjah Mada
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yag telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah INSTITUTIONAL SET-
UP STUDI KASUS SANITASI LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN
BANYUMAS ini dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui faktor kerusakan
dari bangunan dan instalasi pengolahan air, sebagai salah satu syarat untuk kelulusan mata kuliah
Teknik Pemeliharaan Infrastruktur Keairan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini, khususnya kepada dosen mata kuliah TPIK,
Bapak Sindu Nuranto, ST., MT.,. serta kepada keluarga dan teman – teman seperjuangan yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis sadar dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan demi
penulisan yang lebih baik untuk yang akan datang. Dan penulis berharap semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.
Yogyakarta, 8 November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................
1.1 Latar Belakang.............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................
1.3 Tujuan ...........................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
2.1 Definisi Sanitasi Institusi ................................................................................
2.2 Kategori Institusi ............................................................................................
2.3 Definisi Implementasi Program dan Kelembagaan ..........................................
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................................
3.1 Daerah dan Waktu Pengumpulan Data ...........................................................
3.2 Jenis dan Sumber Data ...................................................................................
3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................................
3.4 Bagan Alir Penelitian
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
..............................................................................................4.1 Kinerja Kelembagaan Dalam Implementasi Program SLBM .......................
4.2 Efektivitas Program ..............................................................................................
4.3 Struktur kelembagaan dan pengambilan keputusan .......................................
4.4 Mekanisme pertanggungjawaban ...................................................................
4.5 Kepemimpinan ...............................................................................................
4.6 Aspek pendukung dan penghambat kinerja kelembagaan KSM ....................
4.7 Diagram Hubungan Kelembagaan .................................................................
BAB V PENUTUP .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sanitasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannnya sehari-
hari.Keadaan sanitasi suatu masyarakat, dapat menjadi gambaran tingkat
kehidupannya. Bila sanitasinya baik, masyarakat itu dalam keadaan sejahtera.
Demikian pula sebaiknya, bila keadaan sanitasinya buruk.
Sanitasi lingkungan merupakan suatu usaha untuk mencapai lingkungan sehat
melalui pengendalian faktor lingkungan fisik, khususnya hal – hal yang memiliki
dampak merusak perkembangan fisik kesehatan dan kelansungan hisup manusia.
Seperti yang dikemukahkan oleh organisasi kesehatan sedunia (WHO), bahwa
kesehatn lingkungan adalah usaha pengendalian semua faktor yang ada pada
lingkungan fisik manusia yang diperkirakan akan menimbulkan hal – hal yang
merugikan perkembangan fisika, kesehatannya ataupun kelangsungan hidupnya.
(UNICEF.2012)
Usaha sanitasi merupakan usaha kesehatan yang meniti beratkan perhatian
pada usaha pengendalian faktor lingkungan fisik yang mungkin menimbulkan atau
dapat menimbulkan hal – hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan
dan daya tahan hidup manusia. Sanitasi lingkungan mempunyai ruang lingkup
diantaranya : penyedian air besih, pegelolaan air limbah, masalah sampah dan
jamban yang keadaannya di Indonesia belum mencapai seperti yang diharapkan.
Sanitasi lingkungan sekolah lebih menekankan pada upaya pengawasan
pengendalian pada faktor lingkungan fisik manusia seperti keberadaan sekolah,
penyediaan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan, tempat pembuangan
kotoran dan limbah atau air buangan dan kondisi halaman.(DINKES.2014)
Implementasi program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM) di
Kabupaten Banyumas melibatkan berbagai stakeholders, salah satunya masyarakat.
Melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM), masyarakat diberikan kewenangan
untuk mengelola program sejak awal, sementara pemerintah hanya berperan
4
sebagai fasilitator. Dengan ini, dibutuhkan sistem kelembagaan guna mendukung
kinerja KSM. Melalui pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini bermaksud
menganalisa kinerja kelembagaan KSM serta aspek yang mampu mendukung dan
menghambat kinerja kelembagaan KSM. Temuan penelitian ini mengungkapkan
bahwa kinerja kelembagaan KSM belum mampu mencapai tujuan kebijakan.
Indikasinya, partisipasi masyarakat dalam program SLBM tercatat masih minim
secara kuantitas. Akibatnya efektivitas program juga cenderung belum optimal.
Dengan demikian, belum ditemukan adanya perubahan kebiasaan masyarakat
terkait persoalan sanitasi. Tak hanya itu, beberapa aspek penghambat dan
pendukung kinerja kelembagaan KSM juga teridentifikasi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat
2. Bagaimana penerapan kelembagaan dalam Sanitasi Lingkungan Berbasis
Masyarakat
3. Apakah kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat sudah sesuai
dengan peraturan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem kelembagaan Sanitasi Lingkungan
Berbasis Masyarakat di Kabupaten Banyumas
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kelembagaan dalam Sanitasi
Lingkungan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Banyumas
3. Untuk mengetahui apakah kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis
Masyarakat di Kabupaten Banyumas sudah sesuai dengan peraturan?.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sanitasi Institusi
Organisasi sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari sekelompok orang yang
bertindak secara bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Organisasi merupakan wadah dan alat pelaksanaan proses manajemen untuk
mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Seperti halnya institusi, organisasi menyediakan struktur interaksi manusia.
Organisasi bisa berupa organisasi politik (partai politik, senat, DPR,pemerintah),
organisasi ekonomi (perusahaan, serikat perdagangan, perusahaan
keluarga,koperasi), organisasi social ( gereja, klub, asosiasi atletik) dan organisasi
pendidikan (sekolah, universitas, pusat pelatihan keterampilan,dll)
Sanitasi berasal dari bahasa latin “sanus” yang berarti “sound and healthy”
atau bersih secara menyeluruh. Di samping itu sanitasi adalah lebih dari sebuah
kepercayaan atau sebuah kode dari hukum, di dalam hal ini sanitasi adalah cara
hidup. Sanitasi merupakan kualitas dari kehidupan yang dinyatakan dari rumah
yang bersih, dan kominitas yang bersih. Sanitasi memberikan pengetahuan dan
pertumbuhan yang penting di dalam hubungan kehidupan manusia. (West, Wood,
& Harger, 1996 :.86). Menurut Ehlers dan Steel (1989 : .78) sanitasi adalah usaha
pengawasan terhadap faktor lingkungan yang merupakan mata rantai penularan
penyakit. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menintik beratkan
pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi
derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990).
Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai pemelihara
kesehatan. Menurut WHO, sanitasi adalah upaya pengendalian semua faktor
lingkungan fisik manusia, yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan
hal-hal yang merugikan, bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan
hidup manusia. Sedangkan menurut Chandra (2007), sanitasi adalah bagian dari
ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat
6
untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya
bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.
Ada perbedaan antara kata “bersih” dan “sehat”, meskipun kedua kata
tersebut dapat diartikan sama. Bersih mengacu pada kurangnya kotoran pada suatu
barang sedangkan sehat mengacu pada kurangnya organisme yang hidup yang
dapat membahayakan. Sebuah alat bisa kelihatan sehat tetapi tidak bersih, karena
kotoran yang dikandung masih ada tetapi bakteri yang dikandung sudah mati.
Sebagai contoh suatu pisau yang dicuci dengan pemanasan suhu tinggi dengan
tujuan agar bakteri atau mikroorganisme mati, tetapi sabun yang digunakan masih
menempel. Suatu sistem kesehatan dan kesehatan yang baik memiliki tujuan untuk
membuat alat atau barang tersebut menjadi bersih dan sehat. (Knight dan
Kotschevar, 2000 : 252).
Pengertian sanitasi mengarah pada usaha konkrit dalam mewujudkan
kondisi higienis dan usaha ini dinyatakan dengan pelaksanaan di lapangan berupa
pembersihan, penataan, sterilisasi, penyemprotan hama dan sejenisnya. Oleh
karena itu jika higienitas merupakan tujuan, maka sanitasi merupakan tindakan
nyata untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut maka
diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaan higienitas dan
sanitasi.(Bartono, 2000 : 57).
Berdasarkan pengertiannya yang dimaksud dengan sanitasi adalah suatu
upaya pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha-
usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Di dalam Undang-Undang Kesehatan
No.23 tahun 1992 pasal 22 disebutkan bahwa kesehatan lingkungan
diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, yang dapat
dilakukan dengan melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut
tempat maupun terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik,
kimia, atau biologis termasuk perubahan perilaku.
Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari
resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia, melalui
7
pemukiman antara lain rumah tinggal dan asrama atau yang sejenisnya, melalui
lingkungan kerja antara perkantoran dan kawasan industri atau sejenis.
2.2 Kategori Institusi
Sebuah institusi adalah setiap struktur atau mekanisme tatanan sosial dan
kerjasama yang mengatur perilaku satu set individu dalam suatu komunitas
manusia yang diberikan.
Institusi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Institusi formal adalah suatu institusi yang dibentuk oleh pemerintah atau oleh
swasta yang mendapat pengukuhan secara resmi serta mempunyai aturan-
aturan tertulis/ resmi. Institusi formal dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
 Institusi pemerintah adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah
berdasarkan suatu kebutuhan yang karena tugasnya berdasarkan pada suatu
peraturan perundang-undangan melakukan kegiatan untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat dan meningkatkan taraf kehidupan kebahagiaan
kesejahteraan masyarakat. Institusi Pemerintah atau Lembaga Pemerintah
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
o Lembaga pemerintah yang dipimpin oleh seorang menteri.
o Lembaga pemerintah yang tidak dipimpin oleh seorang menteri, dan
bertanggung jawab langsung kepada presiden (disebut Lembaga
Pemerintah Non-Departemen). Contoh : Lembaga Administrasi Negara
dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
 Institusi swasta adalah institusi yang dibentuk oleh swasta (organisasi swasta)
karena adanya motivasi atau dorongan tertentu yang didasarkan atas suatu
peraturan perundang-undangan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Institusi atau lembaga ini secara sadar dan ikhlas melakukan kegiatan untuk
ikut serta memberikan pelayanan masyarakat dalam bidang tertentu sebagai
upaya meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Contoh :
8
Yayasan Penderita Anak Cacat, Lembaga Konsumen, Lembaga Bantuan
Hukum, Partai Politik, Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat
2. Institusi non-formal adalah suatu institusi yang tumbuh dimasyarakat karena
masyarakat membutuhkannya sebagai wadah untuk menampung aspirasi
mereka. Ciri-ciri institusi non-formal antara lain:
1. Tumbuh di dalam masyarakat karena masyarakat membentuknya, sebagai
wadah untuk menampung aspirasi mereka.
2. Lingkup kerjanya, baik wilayah maupun kegiatannya sangat terbatas.
3. Lebih bersifat sosial karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan para
anggota.
4. Pada umumnya tidak mempunyai aturan-aturan formal (Tanpa anggaran
dasar/Anggaran rumah tangga).
2.3 Definisi Implementasi Program dan Kelembagaan
Analisis kelembagaan dalam konteks implementasi program memberikan
arahan dalam melihat proses interaksi yang dibangun para pelaksana program dan
bagaimana organisasi dirancang untuk mengadopsi kebijakan serta bagaimana
menghadapi lingkungan dan budaya (Burch 2007, Alexander 2005). Sementara itu
teori institusional dalam pendekatan sosiologi lebih berkaitan dengan peran dan
norma-norma budaya yang mempengaruhi perilaku organiassi (Scott 1995, Scott
2001, Scott & Christensen 1995). Dengan demikian menggunakan perspektif
kelembagaan dalam menganalisis implementasi kebijakan dapat menjelaskan
bagaimana perubahan sosial yang diinginkan oleh sebuah kebijakan/program
dapat terjadi di masyarakat. Satu-satunya cara agar program yang
diimplementasikan dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
sosial adalah dengan mengubah manusia dalam masyarakat. Sedangkan untuk
mengubah manusia hanya ada dua cara yaitu mengubah individu-individu dan
mengubah lembaga-lembaga (Alexander 2005).
9
Implementasi program yang membutuhkan kerjasama lintas instansi
memiliki karakteristik bottom-up (Pulzl & Treib 2006:89-107, Hill 2005:174-
185). Dalam program SLBM selain pemerintah dan sektor privat, masyarakat juga
menjadi satu komponen penentu keberhasilan implementasi. Oleh sebab itu,
implementasi program SLBM dapat dikatakan memiliki karakter buttom up.
Tantangan terbesarnya adalah menemukan pendekatan dan strategi yang tepat agar
terwujud sinergi dan kerjasama yang baik antar elemen. Praktik implementasi
dengan melibatkan ragam stakeholders memang membutuhkan beberapa
prasyarat, seperti jejaring yang kuat, tingkat kepercayaan yang memadai, hingga
akuntabilitas dari masing-masing aktor. Dalam istilah Wallis & Dollery (2002:76-
85) peran pemerintah adalah sebagai activist. Sementara itu, masyarakat sendiri
harus mampu mengelola kelembagaan untuk mendukung hal tersebut.
Dalam program SLBM masyarakat mendapat delegasi kewenangan berupa
keleluasaan untuk mengelola kelembagaan dan mengelola output kebijakan sesuai
dengan kondisi masyarakat setempat. Sementara, pemerintah bertindak dan
berperan sebagai fasilitator. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat menjadi sangat
penting sebagai penentu utama keberhasilan program. Keberhasilan implementasi
program SLBM pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh kinerja kelembagaan
yang efektif dalam menciptakan partisipasi masyarakat. Penelitian terdahulu telah
menghasilkan proposisi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas
kelembagaan dengan keberhasilan suatu program (Omer 2013).
Berbagai persoalan muncul dalam rangka menciptakan kinerja kelembagaan
yang mampu membangun partisipasi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian,
tulisan ini mendeskripsikan pola dan kinerja kelembagaan yang telah dipraktekkan
dalam implementasi program SLBM di Kabupaten Banyumas. Melalui perspektif
kelembagaan, kendala dalam mewujudkan keberhasilan implementasi program
SLBM dapat dijelaskan secara lebih komprehensif.
10
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Daerah dan Waktu Penelitian
Untuk studi kasus ini, maka objek penelitian adalah Sanitasi Lingkungan Berbasis
Masyarakat di Kabupaten Banyumas. Sedangkan untuk waktu, sangat fleksibel
karena mengingat tugas ini merupakan studi kasus dengan melakukan studi
literatur yang ada.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data
1. Data kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian dalam
bentuk informasi secara lisan maupun secara tertulis.
2. Data kuantitatif, yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian dalam
bentuk angka-angka dan dapat digunakan untuk pembahasan lebih lanjut.
Sumber Data
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian
yang memerlukan pengelolaan lebih lanjut untuk disesuaikan dengan
bahasan makalah ini.
2. Data sekunder, yaitu data yang bersumber dari instansi/jawatan yang terkait
untuk melengkapi data/ informasi sehubungan pembahasan skripsi ini.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Makalah ini menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui
pendekatan kualitatif. Metode tersebut tepat digunakan karena penelitian ini
bertujuan menganalisis pola dan kinerja kelembagaan dalam implementasi
program berbasis masyarakat. Pendekatan kualitatif tepat digunakan untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial dan kemanusiaan
(Cresswell 2010). Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode
11
wawancara mendalam kepada informan penelitian yang dipilih secara purposif
serta observasi lapangan dan analisis dokumentasi. Semua informasi tersebut
dikaji secara holistik dan komprehensif melalui metode analisis interaktif (Milles
& Huberman 1992).
3.4. Bagan Alir Penelitian
Mulai
Latar Belakang Masalah
Rumusan dan Tujuan Penyelesaian Masalah
Tinjauan Pustaka
Pengumpulan Data :
1. Data Sekunder
2. Data Primer
Analisis Kasus
Pembahasan dan Penyelesaian Masalah
Diagram Hubungan
Kesimpulan
Selesai
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kinerja Kelembagaan Dalam Implementasi Program SLBM
Kelembagaan merupakan sebuah istilah yang menggambarkan praktik untuk
mengelola interaksi sosial. Dalam arti yang lebih luas kelembagaan bisa
merupakan kegiatan, nilai, norma, struktur sosial dan sistem peran yang ada dalam
masyarakat (John W. Mohr & Harrison C. White 2008). Asumsi yang dibangun
dari pendapat tersebut adalah bahwa kelembagaan sosial tidak hanya merupakan
sub aspek organisasi berupa struktur, tetapi juga mencangkup sistem nilai, norma
dan peran. Sub aspek dalam kelembagaan saling terhubung satu dengan lainnya,
termasuk para aktor yang terhubung bersama-sama membentuk hubungan dan
sistem aturan.
Implementasi program SLBM memberi gambaran tentang sistem
kelembagaan yang menghubungkan berbagai aktor yang terlibat. Semangat dalam
mewujudkan peran masyarakat sebagai aktor penting menjadikan program ini sarat
akan berbagai kepentingan masyarakat. Hal ini kemudian menjadi kendala
manakala masyarakat belum memiliki kemampuan untuk membangun konsensus,
baik dengan sesama masyarakat, pemerintah dan pihak lain yang terlibat dalam
implementasi program.
Di sisi yang lain pemerintah sebagai fasilitator belum secara optimal
membangun kesiapan masyarakat sebagai aktor utama implementasi program. Hal
tersebut terlihat dari proses perencanaan kegiatan yang dijalankan pemerintah.
Implementasi program SLBM diawali dengan sosialisasi yang dilaksanakan oleh
pemerintah desa/kelurahan dan Dinas Ciptakarya, Kebersihan dan Tata Ruang
Kabupaten Banyumas. Proses sosialisasi tidak berlangsung secara intensif dan
hanya dihadiri oleh perwakilan warga dan tokoh masyarakat. Oleh sebab itu,
pemahaman masyarakat terhadap program SLBM masih sangat lemah.
13
Pemahaman masyarakat masih sebatas pada program pembangunan fisik yang
berkonsekuensi pada penyediaan dana dari pemerintah. Sementara itu makna
“berbasis masyarakat” belum dipahami secara optimal, terutama kemanfaatannya.
Dijelaskan oleh Alexander (2005) bahwa jika perencanaan adalah upaya
menterjemahkan ide-ide menjadi sebuah aksi, maka transformasi kelembagaan
harus menjadi aspek yang penting.
Ketimpangan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah dalam
implementasi program SLBM menjadi kendala utama mewujudkan keberhasilan
program. Meskipun program SLBM harus diinisiasi oleh masyarakat, namun peran
pemerintah masih sangat dominan. Hal ini digambarkan dalam pembentukan
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai wujud pola kelembagaan yang
bertugas menjembatani kepentingan masyarakat dan pemerintah, namun demikian
pembentukan lembaga KSM masih sebatas formalitas persyaratan untuk
mendapatkan dana dari program SLBM. Oleh sebab itu, pemerintah belum secara
optimal meningkatkan kapasitas KSM dan masyarakat secara umum untuk
mewujudkan keberhasilan implementasi program. Padahal hubungan yang
diharapkan dari program “berbasis masyarakat” adalah hubungan kemitraan,
hubungan kerjasama atau kolaboratif. Dominasi peran pemerintah dalam
pelaksanaan program menunjukkan bahwa posisi tawar masyarakat masih rendah.
Fenomena tersebut dijelaskan oleh Ansell dan Gash (2007:551) bahwa jika
beberapa stakeholders tidak memiliki kapasitas, organisasi, status atau
sumberdaya yang setara dengan stakeholders lainnya, maka proses kolaboratif
akan rentan terhadap manipulasi oleh aktor yang kuat. Hal inilah yang terjadi
dalam implementasi program SLBM.
Peran pemerintah sebagai fasilitator mengharuskan upaya yang
berkesinambungan bagi keseluruhan proses implementasi program. Artinya
keberadaan pemerintah bagaimanapun tetap harus ada mengingat masih lemahnya
kemampuan masyarakat. Peran pemerintah harus bersifat menguatkan kapasitas
masyarakat dalam implementasi program. Kelembagaan Kelompok Swadaya
14
Masyarakat (KSM) harus diberi ruang untuk aktif berperan di masyarakat.
Kelembagaan KSM harus diwujudkan secara nyata dan berkelanjutan sebagai
wadah partisipasi masyarakat yang tidak hanya menjalankan sebuah program,
namun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain. Dalam perspektif
kelembagaan, KSM dapat melakukan perubahan terhadap perilaku masyarakat
terutama kesadaran akan pentingnya partisipasi.
Secara umum KSM dibentuk berdasarkan kebutuhan program dan dibagi
kedalam dua fungsi, yakni badan pelaksana dan badan pengelola. Badan pelaksana
merupakan tim yang dibentuk guna bertanggungjawab selama proses
pembangunan program. Sementara itu, badan pengelola adalah pengurus yang
diberikan tanggung jawab secara langsung untuk mengelola setelah masa kerja
badan pelaksana berakhir, yakni saat septictank komunal telah dioperasikan.
Dengan menggunakan struktur kelembagaan pelaksana dan pengelola tersebut,
diharapkan implementasi program SLBM memiliki keberlangsungan. Program
SLBM adalah program penyediaan prasarana dan sarana sanitasi bagi masyarakat
kurang mampu. Oleh sebab itu, fokus utama program ini adalah pada
pembangunan fisik yang berupa pembangunan septictank komunal. Meskipun
demikian keberlangsungan program SLBM juga menjadi target yang harus
dicapai. Tahap inilah yang menuntut kemampuan manajerial yang baik dalam
kelembagaan KSM. Dukungan pemerintah juga masih sangat penting dalam
meningkatkan kapasitas KSM. Dalam pandangan Oliver (Baker & Rennie 2012)
tekanan-tekanan fungsional yang berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki
organisasi, kompetensi pelaksana, sistem reward, prosedur dan sebagainya akan
dapat merusak tatanan lembaga.
Diperlukan pola kelembagaan dengan desain yang tepat bagi keberlangsungan
program. Desain kelembagaan dapat diartikan sebagai upaya merancang atau
mendesain lembaga, di mana di dalamnya mencakup upaya merancang dan
merealisasikan aturan, prosedur dan struktur organisasi yang memungkinkan dan
mampu memaksa perilaku dan tindakan yang sesuai dengan nilai dan tujuan yang
15
hendak dicapai dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian dalam perspektif
kelembagaan, implementasi program SLBM harus memiliki desain kelembagaan
yang mampu menembus segala level masyarakat, termasuk pembuat kebijakan
dalam implementasi program (Alexander 2005). Implementasi program SLBM
dalam perspektif kelembagaan dijelaskan dengan menganalisis kinerja
kelembagaan program sebagai berikut: efektifitas program, struktur kelembagaan
dan pengambilan keputusan, mekanisme pertanggungjawaban, kepemimpinan,
dan aspek pendukung dan penghambat kinerja kelembagaan KSM.
4.2. Efektivitas Program
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya (Nugroho 2008:432). Dalam program SLBM salah satu
indikator utama keberhasilan adalah partisipasi masyarakat. Berdasarkan beberapa
temuan lapangan, menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan minimnya tingkat
partisipasi masyarakat dalam implementasi program. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain organisasi yang mewadahi KSM dan pemerintah
belum memiliki strategi dan pendekatan yang efektif untuk mendorong perubahan
kesadaran masyarakat. Kemudian, tidak efektifnya proses sosialisasi dan
kampanye terhadap masyarakat juga menjadi aspek lain yang menyebabkan
minimnya partisipasi masyarakat. Sosialisasi dan kampanye yang tidak berjalan
efektif, menyebabkan pemahaman akan tujuan dan capaian program tidak
sepenuhnya dipahami dan diinternalisasi oleh masyarakat.
Minimnya kajian dan analisa terkait sistem nilai dan kebiasaan dari
masyarakat setempat juga menjadi aspek yang tak kalah penting, sebab pemerintah
akan mengalami kesulitan memposisikan diri dan program cenderung sulit untuk
diterima oleh warga saat minim kajian mendalam. Telah banyak diketahui, bahwa
setiap kelompok masyarakat memiliki sistem nilai dan kebiasaan yang partikular
dan tidak bisa dilakukan generalisasi dalam pendekatannya. Dalam hal ini,
merujuk konsepsi dari Uphoff (1986: 188-196) mengenai local institutional
16
development, menunjukan bahwa pemerintah seharusnya melaksanakan analisa
terlebih dahulu terkait kondisi masyarakat, terutama kondisi institusionalnya,
untuk mendapat pendekatan yang tepat. Sehingga, saat pemerintah tidak tepat
menganalisa, maka pendekatan yang dilakukan juga tidak akan efektif mencapai
tujuan.
3.3. Struktur Kelembagaan Dan Pengambilan Keputusan
Teori kelembagaan berkaitan dengan perilaku organisasi dalam menghadapi
perubahan dan mengadopsi sebuah kebijakan (Burch 2007). Teori kelembagaan
dalam pendekatan sosiologi berkaitan pada bagaimana bentuk dan prosedur yang
dimiliki organisasi (Alexander 2005). Melalui struktur kelembagaan yang ada,
distribusi tugas dan kewenangan dalam lembaga KSM maupun antara lembaga
KSM dengan pemerintah telah berjalan cukup baik. Hal tersebut diindikasikan dari
adanya pedoman organisasi (Anggaran Dasar/Anggaran RumahTangga) yang
melandasi kerja dari KSM serta pembagian wewenang pelaksana teknis kedalam
dua badan, namun, proses pengawasan dan evaluasi kerja yang telah dilakukan
belum berjalan secara efektif, sehingga berbagai langkah dan strategi yang
diterapkan oleh KSM tidak mampu diawasi oleh masyarakat secara efektif. Tak
hanya itu, seluruh KSM juga tidak memiliki indikator kinerja kelembagaan. Hal
tersebut menyulitkan untuk memberikan penilaian dan mengukur kemajuan dari
implementasi program SLBM.
Aspek komunikasi terutama dalam proses pengambilan keputusan juga
menjadi aspek penting. Dalam konteks ini, proses komunikasi dalam pengambilan
keputusan dan resolusi konflik di dalam KSM masih memiliki kecenderungan
terjadi praktik-praktik dominasi. Berdasarkan focus group discussion, ditemukan
bahwa proses komunikasi yang terjadi tidak setara antar kelompok masyarakat,
terdapat dominasi dari sekelompok masyarakat. Hal tersebut menyebabkan proses
mufakat terjadi bukan karena masing-masing partisipan dalam forum atau
pertemuan sukarela menyepakati, tetapi hasil dari pengorganisiran opini dan
17
persetujuan oleh sekelompok masyarakat dengan sumber daya yang berlebih.
Meminjam analisa dari Habermas (1984: 284-287), di mana tindakan sosial,
termasuk dalam organisasi, mampu diklasifikasikan kedalam beberapa tipe, antara
lain tindakan instrumental dan tindakan komunikatif. Praktik yang dilaksanakan
oleh KSM masih cenderung sebagai tindakan instrumental yang tidak berorientasi
pada pemahaman antar pihak, melainkan “penguasaan” atau dominasi. Sehingga,
meski mampu menghasilkan keputusan atau solusi, namun sebagian besar
partisipan dalam pertemuan bersepakat bukan karena alasan-alasan pokok yang
berkaitan dengan masalah.
Praktik dominasi dalam pengambilan keputusan juga menjadi penghambat
dari proses pemahaman kebutuhan dan perubahan sikap dari masyarakat. Dalam
konteks ini, Innes & Booher (2003: 33-59) melihat bahwa proses mufakat atau
konsensus yang tercapai dengan tindakan komunikatif harus berada dalam kondisi
di mana masing-masing aktor mampu menyadari adanya interdependence of
interest, sebuah posisi kesalingtergantungan antar kepentingan yang dimiliki aktor.
Tanpa kondisi tersebut, dominasi menjadi berpeluang terjadi. Maka, gejala
sebagian besar masyarakat yang gamang dalam melihat kebutuhan mereka sendiri
disebabkan minimnya usaha untuk membuka realitas kesalingtergantungan antar
kepentingan aktor. Mekanisme tersebut lama kelamaan dapat merusak lembaga,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Oliver (Baker & Rennie 2012) bahwa
mekanisme politik misalnya konflik status quo, dominasi, tekanan untuk
berinovasi dan ketergantungan pada faktor eksternal akan dapat merusak lembaga.
3.4. Mekanisme Pertanggungjawaban
Secara umum, lembaga KSM hanya memiliki mekanisme
pertanggungjawaban secara vertikal terhadap pemerintah sebagai penyadang dana.
Sementara, berdasarkan penelusuran dokumen, tidak terdapat mekanisme baku
terkait pertanggungjawaban secara horizontal terhadap masyarakat setempat.
Dalam laporan pertanggungjawaban KSM yang diberikan untuk pemerintah,
18
hampir seluruh aspek mampu dijelaskan secara transparan, seperti perencanaan
kerja, pengelolaan pendanaan hingga penggunaan dana, namun untuk dana
swadaya masyarakat, sebagian besar KSM masih belum mampu
mempertanggungjawabkan secara transparan. Kecenderungan lain, hampir seluruh
KSM belum menyertakan analisa terkait kondisi masyarakat setempat, terutama
berkenaan dengan cara pandang, kebiasaan dan derajat penerimaan masyarakat
terhadap perubahan. Padahal, dalam konteks implementasi program SLBM, hal-
hal tersebut sangat dibutuhkan, mengingat program SLBM dengan output berupa
septictank komunal merupakan hal baru. Berdasarkan kondisi tersebut, belum
tersusunnya pola dan mekanisme pertanggungjawaban terhadap masyarakat
setempat menjadi salah satu aspek signifikan yang menyebabkan tidak mampu
terbangunnya pola komunikasi berkarakter komunikatif yang cenderung setara.
Kemudian, minimnya antusiasme dan partisipasi masyarakat juga terindikasi
dipengaruhi oleh mekanisme pertanggungjawaban yang cenderung vertikal.
Pola pertanggungjawaban dalam implementasi sebuah kebijakan yang
melibatkan banyak aktor secara aktif di luar pemerintah seharusnya mampu
menyentuh seluruh aktor yang terlibat. Callahan (2007:138-139) menyebut bahwa
fokus dari mekanisme akuntabilitas bukan lagi secara administratif atau birokratis,
melainkan berfokus pada stakeholders dan norma-norma profesionalitas. Sebab,
dengan multistakeholders, implementasi membutuhkan jejaring yang kuat antara
pemerintah, masyarakat dan pihak ketiga, atau kerap diistilahkan sebagai
administrative networks.
3.5. Kepemimpinan
Hampir seluruh KSM telah mampu menerapkan strategi pengelolaan
organisasi yang cukup efisien, yakni dengan memisahkan tanggung jawab
berdasarkan kebutuhan program kedalam dua badan (Badan Pelaksana dan Badan
Pengelola). Kemudian, pemilihan mekanisme kerjasama operasional dengan pihak
ketiga oleh lembaga KSM mengindikasikan bahwa orientasi kepemimpinan
19
cenderung pada efisiensi. Temuan menariknya adalah lembaga KSM yang
memilih untuk mengerjakan pembangunan secara mandiri justru kurang optimal
dalam kinerjanya. Padahal upaya tersebut menunjukkan orientasi kepemimpinan
pada pemberdayaan masyarakat.
Tipe kepemimpinan dalam KSM cenderung mampu didekati dengan socio-
cultural approach sebab kepengurusan mengatur kinerja pengurus tanpa
menggunakan pendekatan sanksi, sebagaimana dikonsepsikan oleh McGregor
(2006:43-75). Tak hanya itu, sebagai organisasi sukarela, kepemimpinan KSM
bersandar pada nilai-nilai kolektivitas dan tidak bermotif insentif uang. Sehingga,
karakter kepemimpinan dalam KSM lebih kontekstual dengan socio-cultural
approach (Tompkins 2005:365-375). Dalam literatur organisasi, kepemimpinan
dengan pendekatan socio-cultural approach disebut sebagai kepemimpinan dengan
tipe Z.
Dalam konteks kelembagaan, sebagaimana diungkap oleh Uphoff (1986:8-
10), organisasi menjadi salah satu media untuk melaksanakan institusionalisasi
dari nilai, norma, maupun kebiasaan masyarakat. Aspek kepemimpinan dalam
kelembagaan memegang peranan yang signifikan, sebab dalam perspektif budaya
organisasi, kepemimpinan merupakan aspek utama—meski bukan satu-satunya—
yang menentukan perubahan perilaku dan kebiasaan individu didalam organisasi
(Tompkins 2005:363-387). Meski seluruh struktur organisasi dalam KSM diisi
oleh masyarakat setempat, namun berdasarkan temuan di lapangan, tidak
menjamin mampu memahami dan memiliki pemahaman utuh terkait nilai, norma
dan kebiasaan masyarakat setempat, sehingga secara kelembagaan, KSM belum
memberikan dampak secara signifikan, terutama berkaitan dengan perubahan
perilaku dan kebiasaan dari masyarakat setempat.
Kesulitan lain juga disebabkan oleh pola kerjasama antar stakeholders dalam
implementasi program yang mana tidak melibatkan institusi kesehatan di tingkat
desa/kelurahan. Tak hanya itu, organisasi seperti PKK juga tidak dijadikan salah
20
satu stakeholders dalam proses implementasi. Program SLBM cenderung
mengedepankan pembangunan secara fisik dan teknis pelaksanaan, namun tidak
menekankan penyadaran masyarakat. Meski di dalam kepengurusan terdapat seksi
promosi dan kampanye kesehatan, namun tetap sulit dilakukan jika tidak
melibatkan institusi yang berwenang dalam isu-isu kesehatan dan lingkungan.
3.6. Aspek Pendukung Dan Penghambat Kinerja Kelembagaan KSM
Terdapat beberapa aspek pendukung kelembagaan yang teridentifikasi dari
hasil penelitian, antara lain: 1) keswadayaan masyarakat berupa pembentukan
KSM. Organisasi KSM ternyata mampu mendorong terjadinya partisipasi
masyarakat secara mandiri, meskipun belum secara optimal. Bagaimanapun ujung
tombak pelaksanaan program SLBM adalah KSM, 2) kesolidan pimpinan di KSM
juga terbukti mampu menjaga konsistensi dari partisipasi masyarakat, 3) struktur
organisasi dan distribusi tugas juga telah cukup memadai untuk mendukung
kinerja dari KSM, dan 4) corak kolektivitas dalam kepengurusan KSM ternyata
cukup mampu menyebabkan KSM berjalan meskipun secara manajerial tidak
terlalu baik, misalnya AD/ART organisasi hanya sebagai bentuk aturan formal.
Sejalan dengan penelitian Rosyadi & Sobandi (2014) bahwa negara dalam hal ini
pemerintah daerah cenderung memilih pendekatan legalistik daripada sosial. Hal
tersebut menyebabkan segala sesuatu yang terbentuk dalam masyarakat termasuk
pelibatan masyarakat dalam sebuah program hanya dimaknai legalitas untuk
mendapatkan program semata.
Beberapa aspek penghambat kelembagaan yang teridentifikasi dari hasil
penelitian, antara lain: 1) perencanaan yang kurang akurat dan matang terkait
implementasi SLBM menyebabkan tidak efektifnya program SLBM di tengah
masyarakat, 2) pelibatan stakeholders belum menyentuh hingga ke institusi dan
tenaga kesehatan, serta minim pelibatan perempuan dan organisasi perempuan, 3)
minimnya kajian mendalam terkait tata nilai, norma dan kebiasaan masyarakat
setempat sebelum implementasi program SLBM, dan 4) kontrol dan pengawasan
21
terhadap kinerja KSM masih minim, serta belum adanya indikator dan capaian
kerja dalam evaluasi setiap kegiatan KSM.
Aspek penghambat lainnya berkaitan dengan kecenderungan praktik dominasi
dari beberapa individu atau kelompok masyarakat dominan dalam pengambilan
keputusan, yakni pendekatan komunikasi antara KSM dan masyarakat cenderung
tidak dialogis, mekanisme pertanggungjawaban cenderung vertikal, belum ada
mekanisme baku dan formal terkait pertanggungjawaban secara horizontal kepada
masyarakat, pengelolaan dana iuran swadaya masyarakat yang belum transparan,
belum terbangunnya administrative network atau jejaring kuat antar stakeholders
dalam implementasi, pemilihan pengurus juga tidak disertai pertimbangan
keahlian dari individu-individu, kepemimpinan KSM yang cenderung belum
mampu menganalisa kondisi sosial masyarakat setempat, tidak efektifnya
kampanye dan sosialisasi terkait tujuan kebijakan sebagai akibat dari minimnya
keahlian teknis dari pengurus KSM, serta tidak terbangunnya jejaring dengan
stakeholders dari institusi kesehatan. Dengan demikian, kualitas kelembagaan
yang dibangun oleh KSM memang sangat menentukan keberhasilan program.
Hasil penelitian Omer Javed (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kualitas kelembagaan dengan keberhasilan suatu program. Oleh
sebab itu, kualitas kelembagaan
22
3.7. Diagram Hubungan Kelembagaan
Environment :
 Quality
 Quantity
 Continunity
Technology :
 Capacity
 Human Resources
 Service Inspection
 Cost of O&M
 Spare Part O&M
Community :
 Capacity to manage
gender
 Willingness to pay
 Financial
management
 Technical skill
 Sociocultural factors
Risk
Behavior &
Management Ownership
Sustainability
23
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dengan menggunakan perspektif kelembagaan dapat diperoleh penjelasan
bahwa kinerja kelembagaan pada program SLBM belum mampu mendukung
pencapaian tujuan kebijakan. Indikasinya adalah partisipasi masyarakat dalam
program SLBM tercatat masih minim secara kuantitas. Hal ini disebabkan
oleh beberapa aspek penghambat kelembagaan, antara lain masih minimnya
analisa terkait tata nilai dan kebiasaan masyarakat, hingga belum terbangun
administrative network yang sinergis dan luas. Maka dengan ini, pemerintah
Kabupaten Banyumas dan KSM seharusnya melakukan analisa terkait tata
nilai dan kebiasaan masyarakat setempat, melakukan sosialisasi yang efektif
dan berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak, terutama institusi kesehatan,
meningkatkan efektivitas kontrol melalui indikator yang jelas dan terukur,
agar kinerja kelembagaan KSM mampu efektif mendorong pencapaian tujuan
kebijakan.
24
DAFTAR PUSTAKA
UNICEF.2012.Air Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan.(Online).
http://core.ac.uk/download/pdf/12347345.pdf. Diakses 19 Oktober
2015
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1429 Tahun
2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah
Kinerja kelembagaan program sanitasi lingkungan berbasis masyarakat
(SLBM), Denok Kurniasih, Paulus Israwan Setyoko, M. Imron, Jurusan Ilmu
Administrasi Negara, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED),
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia

More Related Content

What's hot

Tugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumi
Tugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumiTugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumi
Tugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumiSerlinSeptiaInsani
 
Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1
Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1
Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1WiandhariEsaBBPKCilo
 
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN Muhammad Eko
 
Paparan kebijakan pelatihan adminkes
Paparan kebijakan pelatihan adminkesPaparan kebijakan pelatihan adminkes
Paparan kebijakan pelatihan adminkesWiandhariEsaBBPKCilo
 
Penyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatan
Penyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatanPenyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatan
Penyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatanWiandhariEsaBBPKCilo
 
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf''Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'prima_44
 
Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi Selata...
Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi  Selata...Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi  Selata...
Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi Selata...Mus kamal
 
Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...
Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...
Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...Oswar Mungkasa
 
Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014
Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014
Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014Purwowidi Astanto
 
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)Irene Susilo
 

What's hot (17)

613 penyuluhan pertanian
613 penyuluhan pertanian613 penyuluhan pertanian
613 penyuluhan pertanian
 
Tugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumi
Tugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumiTugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumi
Tugas mahasiswa STIKES SUKABUMI mengenai analisa data di puskesmas sukabumi
 
Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1
Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1
Panduan praktik lapangan distance learning adminkes ahli 1
 
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN
 
Paparan kebijakan pelatihan adminkes
Paparan kebijakan pelatihan adminkesPaparan kebijakan pelatihan adminkes
Paparan kebijakan pelatihan adminkes
 
Mi 10 angka kredit
Mi 10 angka kreditMi 10 angka kredit
Mi 10 angka kredit
 
Penyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatan
Penyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatanPenyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatan
Penyusunan kerangka acuan dan laporan kegiatan
 
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf''Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
'Dokumen.tips petunjuk pelaksanaan-jenjang-karir-perawat-di-rumah-sakit.pdf'
 
Pemetaan kriteria pokja 2
Pemetaan kriteria pokja 2Pemetaan kriteria pokja 2
Pemetaan kriteria pokja 2
 
Mi 6 akreditasi
Mi 6 akreditasiMi 6 akreditasi
Mi 6 akreditasi
 
Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi Selata...
Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi  Selata...Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi  Selata...
Kerangka Acuan Kerja Monitoring dan Evaluasi Diklat Provinsi Sulawesi Selata...
 
Mi 2 jabfung adminkes
Mi 2 jabfung adminkesMi 2 jabfung adminkes
Mi 2 jabfung adminkes
 
Mi 7 sertifikasi
Mi 7 sertifikasiMi 7 sertifikasi
Mi 7 sertifikasi
 
Mi 9 ka dan laporan
Mi 9 ka dan laporanMi 9 ka dan laporan
Mi 9 ka dan laporan
 
Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...
Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...
Modul Pelatihan Fasilitator STBM Pilar Stop Buang Air Besar Sembarangan dan C...
 
Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014
Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014
Kurikulum dan modul pelatihan fasilitator stbm kemenkes 2014
 
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
Pedoman pelaksanaan hr (kepmenkes no. 567 2006)
 

Similar to Sanitation Institutional Set Up

Modul 3 kb 2 perencanaan
Modul 3 kb 2 perencanaanModul 3 kb 2 perencanaan
Modul 3 kb 2 perencanaanpjj_kemenkes
 
Laporan pkm penyuluhan kespro
Laporan pkm penyuluhan kesproLaporan pkm penyuluhan kespro
Laporan pkm penyuluhan kesproAyunina2
 
Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...
Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...
Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...Aan Skiletto
 
Kb 4 pengorganisasian komunitas
Kb 4 pengorganisasian komunitasKb 4 pengorganisasian komunitas
Kb 4 pengorganisasian komunitaspjj_kemenkes
 
Kb 2 peran dan fungsi perawat komunitas
Kb 2 peran dan fungsi perawat komunitasKb 2 peran dan fungsi perawat komunitas
Kb 2 peran dan fungsi perawat komunitaspjj_kemenkes
 
04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt
04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt
04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.pptDiegoSiahaan
 
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatanMakalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatanRarasati Aningsih
 
Buku pedoman pengaduan
Buku pedoman pengaduanBuku pedoman pengaduan
Buku pedoman pengaduanNadie Odhie
 
Kel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdf
Kel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdfKel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdf
Kel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdfDEBBYNURCHAIRUNNISA
 
Makalah etika dan hukum.docx
Makalah etika dan hukum.docxMakalah etika dan hukum.docx
Makalah etika dan hukum.docxvivin3
 
[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf
[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf
[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdfAmarAhmad13
 
MI-3 Startegi Upaya Kesehatan
MI-3 Startegi Upaya KesehatanMI-3 Startegi Upaya Kesehatan
MI-3 Startegi Upaya Kesehatanljjkadinkes
 
Tugas uas max webber
Tugas uas max webberTugas uas max webber
Tugas uas max webberW. Riany
 
Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...
Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...
Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...Ririn Setianingsih
 
Modul 3 kb 3 pelaksanaana
Modul 3 kb 3 pelaksanaanaModul 3 kb 3 pelaksanaana
Modul 3 kb 3 pelaksanaanapjj_kemenkes
 
standar profesi dan pelayanan profesi
standar profesi dan pelayanan profesistandar profesi dan pelayanan profesi
standar profesi dan pelayanan profesiHadik27
 
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursituNiaRS
 
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursituNiaRS
 

Similar to Sanitation Institutional Set Up (20)

Modul 3 kb 2 perencanaan
Modul 3 kb 2 perencanaanModul 3 kb 2 perencanaan
Modul 3 kb 2 perencanaan
 
Laporan pkm penyuluhan kespro
Laporan pkm penyuluhan kesproLaporan pkm penyuluhan kespro
Laporan pkm penyuluhan kespro
 
Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...
Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...
Kti skripsi no.59 gambaran pengetahuan petugas kesehatan tentang mutu pelayan...
 
Kb 4 pengorganisasian komunitas
Kb 4 pengorganisasian komunitasKb 4 pengorganisasian komunitas
Kb 4 pengorganisasian komunitas
 
MI 3
MI 3MI 3
MI 3
 
Kb 2 peran dan fungsi perawat komunitas
Kb 2 peran dan fungsi perawat komunitasKb 2 peran dan fungsi perawat komunitas
Kb 2 peran dan fungsi perawat komunitas
 
04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt
04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt
04_ZAKIYUDDIN_IV_UTU.ppt
 
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatanMakalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
Makalah konsep-perubahan-dalam-keperawatan
 
Buku pedoman pengaduan
Buku pedoman pengaduanBuku pedoman pengaduan
Buku pedoman pengaduan
 
Kel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdf
Kel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdfKel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdf
Kel 1A Penyehatan Permukommjmi;' (1).pdf
 
Makalah etika dan hukum.docx
Makalah etika dan hukum.docxMakalah etika dan hukum.docx
Makalah etika dan hukum.docx
 
[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf
[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf
[RANGKUMAN] BAHAN BACAAN MODUL 7 - Pemantauan dan Evaluasi Program.pdf
 
MI-3 Startegi Upaya Kesehatan
MI-3 Startegi Upaya KesehatanMI-3 Startegi Upaya Kesehatan
MI-3 Startegi Upaya Kesehatan
 
Tugas uas max webber
Tugas uas max webberTugas uas max webber
Tugas uas max webber
 
Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...
Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...
Uts, sipi, ririn setianingsih, prof. hapzi ali, cma, implementasi sistem info...
 
Modul 3 kb 3 pelaksanaana
Modul 3 kb 3 pelaksanaanaModul 3 kb 3 pelaksanaana
Modul 3 kb 3 pelaksanaana
 
standar profesi dan pelayanan profesi
standar profesi dan pelayanan profesistandar profesi dan pelayanan profesi
standar profesi dan pelayanan profesi
 
Ilmu kom tugas AKPER PEMKAB MUNA
Ilmu kom tugas AKPER PEMKAB MUNA Ilmu kom tugas AKPER PEMKAB MUNA
Ilmu kom tugas AKPER PEMKAB MUNA
 
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
 
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
2 a d3 kep kelompok 6 puskesmas lembursitu
 

Sanitation Institutional Set Up

  • 1. MAKALAH INSTITUTIONAL SET-UP STUDI KASUS SANITASI LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN BANYUMAS Oleh: Samuel Febrilian Hasto Putro 15/384751/SV/09108 DIV Teknik Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada 2018
  • 2. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yag telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah INSTITUTIONAL SET- UP STUDI KASUS SANITASI LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN BANYUMAS ini dengan tepat waktu. Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui faktor kerusakan dari bangunan dan instalasi pengolahan air, sebagai salah satu syarat untuk kelulusan mata kuliah Teknik Pemeliharaan Infrastruktur Keairan. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini, khususnya kepada dosen mata kuliah TPIK, Bapak Sindu Nuranto, ST., MT.,. serta kepada keluarga dan teman – teman seperjuangan yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis sadar dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan demi penulisan yang lebih baik untuk yang akan datang. Dan penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Yogyakarta, 8 November 2018 Penulis
  • 3. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................................ BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1.3 Tujuan ........................................................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 2.1 Definisi Sanitasi Institusi ................................................................................ 2.2 Kategori Institusi ............................................................................................ 2.3 Definisi Implementasi Program dan Kelembagaan .......................................... BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................................... 3.1 Daerah dan Waktu Pengumpulan Data ........................................................... 3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 3.4 Bagan Alir Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................................4.1 Kinerja Kelembagaan Dalam Implementasi Program SLBM ....................... 4.2 Efektivitas Program .............................................................................................. 4.3 Struktur kelembagaan dan pengambilan keputusan ....................................... 4.4 Mekanisme pertanggungjawaban ................................................................... 4.5 Kepemimpinan ............................................................................................... 4.6 Aspek pendukung dan penghambat kinerja kelembagaan KSM .................... 4.7 Diagram Hubungan Kelembagaan ................................................................. BAB V PENUTUP ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
  • 4. 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannnya sehari- hari.Keadaan sanitasi suatu masyarakat, dapat menjadi gambaran tingkat kehidupannya. Bila sanitasinya baik, masyarakat itu dalam keadaan sejahtera. Demikian pula sebaiknya, bila keadaan sanitasinya buruk. Sanitasi lingkungan merupakan suatu usaha untuk mencapai lingkungan sehat melalui pengendalian faktor lingkungan fisik, khususnya hal – hal yang memiliki dampak merusak perkembangan fisik kesehatan dan kelansungan hisup manusia. Seperti yang dikemukahkan oleh organisasi kesehatan sedunia (WHO), bahwa kesehatn lingkungan adalah usaha pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan akan menimbulkan hal – hal yang merugikan perkembangan fisika, kesehatannya ataupun kelangsungan hidupnya. (UNICEF.2012) Usaha sanitasi merupakan usaha kesehatan yang meniti beratkan perhatian pada usaha pengendalian faktor lingkungan fisik yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal – hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Sanitasi lingkungan mempunyai ruang lingkup diantaranya : penyedian air besih, pegelolaan air limbah, masalah sampah dan jamban yang keadaannya di Indonesia belum mencapai seperti yang diharapkan. Sanitasi lingkungan sekolah lebih menekankan pada upaya pengawasan pengendalian pada faktor lingkungan fisik manusia seperti keberadaan sekolah, penyediaan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan, tempat pembuangan kotoran dan limbah atau air buangan dan kondisi halaman.(DINKES.2014) Implementasi program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM) di Kabupaten Banyumas melibatkan berbagai stakeholders, salah satunya masyarakat. Melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM), masyarakat diberikan kewenangan untuk mengelola program sejak awal, sementara pemerintah hanya berperan
  • 5. 4 sebagai fasilitator. Dengan ini, dibutuhkan sistem kelembagaan guna mendukung kinerja KSM. Melalui pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini bermaksud menganalisa kinerja kelembagaan KSM serta aspek yang mampu mendukung dan menghambat kinerja kelembagaan KSM. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa kinerja kelembagaan KSM belum mampu mencapai tujuan kebijakan. Indikasinya, partisipasi masyarakat dalam program SLBM tercatat masih minim secara kuantitas. Akibatnya efektivitas program juga cenderung belum optimal. Dengan demikian, belum ditemukan adanya perubahan kebiasaan masyarakat terkait persoalan sanitasi. Tak hanya itu, beberapa aspek penghambat dan pendukung kinerja kelembagaan KSM juga teridentifikasi. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat 2. Bagaimana penerapan kelembagaan dalam Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat 3. Apakah kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat sudah sesuai dengan peraturan? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana sistem kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Banyumas 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kelembagaan dalam Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Banyumas 3. Untuk mengetahui apakah kelembagaan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Banyumas sudah sesuai dengan peraturan?.
  • 6. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sanitasi Institusi Organisasi sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari sekelompok orang yang bertindak secara bersama-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Organisasi merupakan wadah dan alat pelaksanaan proses manajemen untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Seperti halnya institusi, organisasi menyediakan struktur interaksi manusia. Organisasi bisa berupa organisasi politik (partai politik, senat, DPR,pemerintah), organisasi ekonomi (perusahaan, serikat perdagangan, perusahaan keluarga,koperasi), organisasi social ( gereja, klub, asosiasi atletik) dan organisasi pendidikan (sekolah, universitas, pusat pelatihan keterampilan,dll) Sanitasi berasal dari bahasa latin “sanus” yang berarti “sound and healthy” atau bersih secara menyeluruh. Di samping itu sanitasi adalah lebih dari sebuah kepercayaan atau sebuah kode dari hukum, di dalam hal ini sanitasi adalah cara hidup. Sanitasi merupakan kualitas dari kehidupan yang dinyatakan dari rumah yang bersih, dan kominitas yang bersih. Sanitasi memberikan pengetahuan dan pertumbuhan yang penting di dalam hubungan kehidupan manusia. (West, Wood, & Harger, 1996 :.86). Menurut Ehlers dan Steel (1989 : .78) sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit. Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menintik beratkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1990). Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai pemelihara kesehatan. Menurut WHO, sanitasi adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia, yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan, bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia. Sedangkan menurut Chandra (2007), sanitasi adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat
  • 7. 6 untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Ada perbedaan antara kata “bersih” dan “sehat”, meskipun kedua kata tersebut dapat diartikan sama. Bersih mengacu pada kurangnya kotoran pada suatu barang sedangkan sehat mengacu pada kurangnya organisme yang hidup yang dapat membahayakan. Sebuah alat bisa kelihatan sehat tetapi tidak bersih, karena kotoran yang dikandung masih ada tetapi bakteri yang dikandung sudah mati. Sebagai contoh suatu pisau yang dicuci dengan pemanasan suhu tinggi dengan tujuan agar bakteri atau mikroorganisme mati, tetapi sabun yang digunakan masih menempel. Suatu sistem kesehatan dan kesehatan yang baik memiliki tujuan untuk membuat alat atau barang tersebut menjadi bersih dan sehat. (Knight dan Kotschevar, 2000 : 252). Pengertian sanitasi mengarah pada usaha konkrit dalam mewujudkan kondisi higienis dan usaha ini dinyatakan dengan pelaksanaan di lapangan berupa pembersihan, penataan, sterilisasi, penyemprotan hama dan sejenisnya. Oleh karena itu jika higienitas merupakan tujuan, maka sanitasi merupakan tindakan nyata untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk melaksanakan hal tersebut maka diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaan higienitas dan sanitasi.(Bartono, 2000 : 57). Berdasarkan pengertiannya yang dimaksud dengan sanitasi adalah suatu upaya pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha- usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Di dalam Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 pasal 22 disebutkan bahwa kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan dengan melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut tempat maupun terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik, kimia, atau biologis termasuk perubahan perilaku. Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia, melalui
  • 8. 7 pemukiman antara lain rumah tinggal dan asrama atau yang sejenisnya, melalui lingkungan kerja antara perkantoran dan kawasan industri atau sejenis. 2.2 Kategori Institusi Sebuah institusi adalah setiap struktur atau mekanisme tatanan sosial dan kerjasama yang mengatur perilaku satu set individu dalam suatu komunitas manusia yang diberikan. Institusi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : 1. Institusi formal adalah suatu institusi yang dibentuk oleh pemerintah atau oleh swasta yang mendapat pengukuhan secara resmi serta mempunyai aturan- aturan tertulis/ resmi. Institusi formal dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :  Institusi pemerintah adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan suatu kebutuhan yang karena tugasnya berdasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan melakukan kegiatan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan taraf kehidupan kebahagiaan kesejahteraan masyarakat. Institusi Pemerintah atau Lembaga Pemerintah dibedakan menjadi dua macam, yaitu: o Lembaga pemerintah yang dipimpin oleh seorang menteri. o Lembaga pemerintah yang tidak dipimpin oleh seorang menteri, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden (disebut Lembaga Pemerintah Non-Departemen). Contoh : Lembaga Administrasi Negara dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.  Institusi swasta adalah institusi yang dibentuk oleh swasta (organisasi swasta) karena adanya motivasi atau dorongan tertentu yang didasarkan atas suatu peraturan perundang-undangan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Institusi atau lembaga ini secara sadar dan ikhlas melakukan kegiatan untuk ikut serta memberikan pelayanan masyarakat dalam bidang tertentu sebagai upaya meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Contoh :
  • 9. 8 Yayasan Penderita Anak Cacat, Lembaga Konsumen, Lembaga Bantuan Hukum, Partai Politik, Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat 2. Institusi non-formal adalah suatu institusi yang tumbuh dimasyarakat karena masyarakat membutuhkannya sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka. Ciri-ciri institusi non-formal antara lain: 1. Tumbuh di dalam masyarakat karena masyarakat membentuknya, sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka. 2. Lingkup kerjanya, baik wilayah maupun kegiatannya sangat terbatas. 3. Lebih bersifat sosial karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan para anggota. 4. Pada umumnya tidak mempunyai aturan-aturan formal (Tanpa anggaran dasar/Anggaran rumah tangga). 2.3 Definisi Implementasi Program dan Kelembagaan Analisis kelembagaan dalam konteks implementasi program memberikan arahan dalam melihat proses interaksi yang dibangun para pelaksana program dan bagaimana organisasi dirancang untuk mengadopsi kebijakan serta bagaimana menghadapi lingkungan dan budaya (Burch 2007, Alexander 2005). Sementara itu teori institusional dalam pendekatan sosiologi lebih berkaitan dengan peran dan norma-norma budaya yang mempengaruhi perilaku organiassi (Scott 1995, Scott 2001, Scott & Christensen 1995). Dengan demikian menggunakan perspektif kelembagaan dalam menganalisis implementasi kebijakan dapat menjelaskan bagaimana perubahan sosial yang diinginkan oleh sebuah kebijakan/program dapat terjadi di masyarakat. Satu-satunya cara agar program yang diimplementasikan dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap perubahan sosial adalah dengan mengubah manusia dalam masyarakat. Sedangkan untuk mengubah manusia hanya ada dua cara yaitu mengubah individu-individu dan mengubah lembaga-lembaga (Alexander 2005).
  • 10. 9 Implementasi program yang membutuhkan kerjasama lintas instansi memiliki karakteristik bottom-up (Pulzl & Treib 2006:89-107, Hill 2005:174- 185). Dalam program SLBM selain pemerintah dan sektor privat, masyarakat juga menjadi satu komponen penentu keberhasilan implementasi. Oleh sebab itu, implementasi program SLBM dapat dikatakan memiliki karakter buttom up. Tantangan terbesarnya adalah menemukan pendekatan dan strategi yang tepat agar terwujud sinergi dan kerjasama yang baik antar elemen. Praktik implementasi dengan melibatkan ragam stakeholders memang membutuhkan beberapa prasyarat, seperti jejaring yang kuat, tingkat kepercayaan yang memadai, hingga akuntabilitas dari masing-masing aktor. Dalam istilah Wallis & Dollery (2002:76- 85) peran pemerintah adalah sebagai activist. Sementara itu, masyarakat sendiri harus mampu mengelola kelembagaan untuk mendukung hal tersebut. Dalam program SLBM masyarakat mendapat delegasi kewenangan berupa keleluasaan untuk mengelola kelembagaan dan mengelola output kebijakan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Sementara, pemerintah bertindak dan berperan sebagai fasilitator. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting sebagai penentu utama keberhasilan program. Keberhasilan implementasi program SLBM pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh kinerja kelembagaan yang efektif dalam menciptakan partisipasi masyarakat. Penelitian terdahulu telah menghasilkan proposisi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kelembagaan dengan keberhasilan suatu program (Omer 2013). Berbagai persoalan muncul dalam rangka menciptakan kinerja kelembagaan yang mampu membangun partisipasi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, tulisan ini mendeskripsikan pola dan kinerja kelembagaan yang telah dipraktekkan dalam implementasi program SLBM di Kabupaten Banyumas. Melalui perspektif kelembagaan, kendala dalam mewujudkan keberhasilan implementasi program SLBM dapat dijelaskan secara lebih komprehensif.
  • 11. 10 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Daerah dan Waktu Penelitian Untuk studi kasus ini, maka objek penelitian adalah Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Banyumas. Sedangkan untuk waktu, sangat fleksibel karena mengingat tugas ini merupakan studi kasus dengan melakukan studi literatur yang ada. 3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis Data 1. Data kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian dalam bentuk informasi secara lisan maupun secara tertulis. 2. Data kuantitatif, yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian dalam bentuk angka-angka dan dapat digunakan untuk pembahasan lebih lanjut. Sumber Data 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yang memerlukan pengelolaan lebih lanjut untuk disesuaikan dengan bahasan makalah ini. 2. Data sekunder, yaitu data yang bersumber dari instansi/jawatan yang terkait untuk melengkapi data/ informasi sehubungan pembahasan skripsi ini. 3.3. Metode Pengumpulan Data Makalah ini menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode tersebut tepat digunakan karena penelitian ini bertujuan menganalisis pola dan kinerja kelembagaan dalam implementasi program berbasis masyarakat. Pendekatan kualitatif tepat digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial dan kemanusiaan (Cresswell 2010). Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode
  • 12. 11 wawancara mendalam kepada informan penelitian yang dipilih secara purposif serta observasi lapangan dan analisis dokumentasi. Semua informasi tersebut dikaji secara holistik dan komprehensif melalui metode analisis interaktif (Milles & Huberman 1992). 3.4. Bagan Alir Penelitian Mulai Latar Belakang Masalah Rumusan dan Tujuan Penyelesaian Masalah Tinjauan Pustaka Pengumpulan Data : 1. Data Sekunder 2. Data Primer Analisis Kasus Pembahasan dan Penyelesaian Masalah Diagram Hubungan Kesimpulan Selesai
  • 13. 12 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Kelembagaan Dalam Implementasi Program SLBM Kelembagaan merupakan sebuah istilah yang menggambarkan praktik untuk mengelola interaksi sosial. Dalam arti yang lebih luas kelembagaan bisa merupakan kegiatan, nilai, norma, struktur sosial dan sistem peran yang ada dalam masyarakat (John W. Mohr & Harrison C. White 2008). Asumsi yang dibangun dari pendapat tersebut adalah bahwa kelembagaan sosial tidak hanya merupakan sub aspek organisasi berupa struktur, tetapi juga mencangkup sistem nilai, norma dan peran. Sub aspek dalam kelembagaan saling terhubung satu dengan lainnya, termasuk para aktor yang terhubung bersama-sama membentuk hubungan dan sistem aturan. Implementasi program SLBM memberi gambaran tentang sistem kelembagaan yang menghubungkan berbagai aktor yang terlibat. Semangat dalam mewujudkan peran masyarakat sebagai aktor penting menjadikan program ini sarat akan berbagai kepentingan masyarakat. Hal ini kemudian menjadi kendala manakala masyarakat belum memiliki kemampuan untuk membangun konsensus, baik dengan sesama masyarakat, pemerintah dan pihak lain yang terlibat dalam implementasi program. Di sisi yang lain pemerintah sebagai fasilitator belum secara optimal membangun kesiapan masyarakat sebagai aktor utama implementasi program. Hal tersebut terlihat dari proses perencanaan kegiatan yang dijalankan pemerintah. Implementasi program SLBM diawali dengan sosialisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah desa/kelurahan dan Dinas Ciptakarya, Kebersihan dan Tata Ruang Kabupaten Banyumas. Proses sosialisasi tidak berlangsung secara intensif dan hanya dihadiri oleh perwakilan warga dan tokoh masyarakat. Oleh sebab itu, pemahaman masyarakat terhadap program SLBM masih sangat lemah.
  • 14. 13 Pemahaman masyarakat masih sebatas pada program pembangunan fisik yang berkonsekuensi pada penyediaan dana dari pemerintah. Sementara itu makna “berbasis masyarakat” belum dipahami secara optimal, terutama kemanfaatannya. Dijelaskan oleh Alexander (2005) bahwa jika perencanaan adalah upaya menterjemahkan ide-ide menjadi sebuah aksi, maka transformasi kelembagaan harus menjadi aspek yang penting. Ketimpangan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah dalam implementasi program SLBM menjadi kendala utama mewujudkan keberhasilan program. Meskipun program SLBM harus diinisiasi oleh masyarakat, namun peran pemerintah masih sangat dominan. Hal ini digambarkan dalam pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai wujud pola kelembagaan yang bertugas menjembatani kepentingan masyarakat dan pemerintah, namun demikian pembentukan lembaga KSM masih sebatas formalitas persyaratan untuk mendapatkan dana dari program SLBM. Oleh sebab itu, pemerintah belum secara optimal meningkatkan kapasitas KSM dan masyarakat secara umum untuk mewujudkan keberhasilan implementasi program. Padahal hubungan yang diharapkan dari program “berbasis masyarakat” adalah hubungan kemitraan, hubungan kerjasama atau kolaboratif. Dominasi peran pemerintah dalam pelaksanaan program menunjukkan bahwa posisi tawar masyarakat masih rendah. Fenomena tersebut dijelaskan oleh Ansell dan Gash (2007:551) bahwa jika beberapa stakeholders tidak memiliki kapasitas, organisasi, status atau sumberdaya yang setara dengan stakeholders lainnya, maka proses kolaboratif akan rentan terhadap manipulasi oleh aktor yang kuat. Hal inilah yang terjadi dalam implementasi program SLBM. Peran pemerintah sebagai fasilitator mengharuskan upaya yang berkesinambungan bagi keseluruhan proses implementasi program. Artinya keberadaan pemerintah bagaimanapun tetap harus ada mengingat masih lemahnya kemampuan masyarakat. Peran pemerintah harus bersifat menguatkan kapasitas masyarakat dalam implementasi program. Kelembagaan Kelompok Swadaya
  • 15. 14 Masyarakat (KSM) harus diberi ruang untuk aktif berperan di masyarakat. Kelembagaan KSM harus diwujudkan secara nyata dan berkelanjutan sebagai wadah partisipasi masyarakat yang tidak hanya menjalankan sebuah program, namun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain. Dalam perspektif kelembagaan, KSM dapat melakukan perubahan terhadap perilaku masyarakat terutama kesadaran akan pentingnya partisipasi. Secara umum KSM dibentuk berdasarkan kebutuhan program dan dibagi kedalam dua fungsi, yakni badan pelaksana dan badan pengelola. Badan pelaksana merupakan tim yang dibentuk guna bertanggungjawab selama proses pembangunan program. Sementara itu, badan pengelola adalah pengurus yang diberikan tanggung jawab secara langsung untuk mengelola setelah masa kerja badan pelaksana berakhir, yakni saat septictank komunal telah dioperasikan. Dengan menggunakan struktur kelembagaan pelaksana dan pengelola tersebut, diharapkan implementasi program SLBM memiliki keberlangsungan. Program SLBM adalah program penyediaan prasarana dan sarana sanitasi bagi masyarakat kurang mampu. Oleh sebab itu, fokus utama program ini adalah pada pembangunan fisik yang berupa pembangunan septictank komunal. Meskipun demikian keberlangsungan program SLBM juga menjadi target yang harus dicapai. Tahap inilah yang menuntut kemampuan manajerial yang baik dalam kelembagaan KSM. Dukungan pemerintah juga masih sangat penting dalam meningkatkan kapasitas KSM. Dalam pandangan Oliver (Baker & Rennie 2012) tekanan-tekanan fungsional yang berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki organisasi, kompetensi pelaksana, sistem reward, prosedur dan sebagainya akan dapat merusak tatanan lembaga. Diperlukan pola kelembagaan dengan desain yang tepat bagi keberlangsungan program. Desain kelembagaan dapat diartikan sebagai upaya merancang atau mendesain lembaga, di mana di dalamnya mencakup upaya merancang dan merealisasikan aturan, prosedur dan struktur organisasi yang memungkinkan dan mampu memaksa perilaku dan tindakan yang sesuai dengan nilai dan tujuan yang
  • 16. 15 hendak dicapai dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian dalam perspektif kelembagaan, implementasi program SLBM harus memiliki desain kelembagaan yang mampu menembus segala level masyarakat, termasuk pembuat kebijakan dalam implementasi program (Alexander 2005). Implementasi program SLBM dalam perspektif kelembagaan dijelaskan dengan menganalisis kinerja kelembagaan program sebagai berikut: efektifitas program, struktur kelembagaan dan pengambilan keputusan, mekanisme pertanggungjawaban, kepemimpinan, dan aspek pendukung dan penghambat kinerja kelembagaan KSM. 4.2. Efektivitas Program Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (Nugroho 2008:432). Dalam program SLBM salah satu indikator utama keberhasilan adalah partisipasi masyarakat. Berdasarkan beberapa temuan lapangan, menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan minimnya tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi program. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain organisasi yang mewadahi KSM dan pemerintah belum memiliki strategi dan pendekatan yang efektif untuk mendorong perubahan kesadaran masyarakat. Kemudian, tidak efektifnya proses sosialisasi dan kampanye terhadap masyarakat juga menjadi aspek lain yang menyebabkan minimnya partisipasi masyarakat. Sosialisasi dan kampanye yang tidak berjalan efektif, menyebabkan pemahaman akan tujuan dan capaian program tidak sepenuhnya dipahami dan diinternalisasi oleh masyarakat. Minimnya kajian dan analisa terkait sistem nilai dan kebiasaan dari masyarakat setempat juga menjadi aspek yang tak kalah penting, sebab pemerintah akan mengalami kesulitan memposisikan diri dan program cenderung sulit untuk diterima oleh warga saat minim kajian mendalam. Telah banyak diketahui, bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki sistem nilai dan kebiasaan yang partikular dan tidak bisa dilakukan generalisasi dalam pendekatannya. Dalam hal ini, merujuk konsepsi dari Uphoff (1986: 188-196) mengenai local institutional
  • 17. 16 development, menunjukan bahwa pemerintah seharusnya melaksanakan analisa terlebih dahulu terkait kondisi masyarakat, terutama kondisi institusionalnya, untuk mendapat pendekatan yang tepat. Sehingga, saat pemerintah tidak tepat menganalisa, maka pendekatan yang dilakukan juga tidak akan efektif mencapai tujuan. 3.3. Struktur Kelembagaan Dan Pengambilan Keputusan Teori kelembagaan berkaitan dengan perilaku organisasi dalam menghadapi perubahan dan mengadopsi sebuah kebijakan (Burch 2007). Teori kelembagaan dalam pendekatan sosiologi berkaitan pada bagaimana bentuk dan prosedur yang dimiliki organisasi (Alexander 2005). Melalui struktur kelembagaan yang ada, distribusi tugas dan kewenangan dalam lembaga KSM maupun antara lembaga KSM dengan pemerintah telah berjalan cukup baik. Hal tersebut diindikasikan dari adanya pedoman organisasi (Anggaran Dasar/Anggaran RumahTangga) yang melandasi kerja dari KSM serta pembagian wewenang pelaksana teknis kedalam dua badan, namun, proses pengawasan dan evaluasi kerja yang telah dilakukan belum berjalan secara efektif, sehingga berbagai langkah dan strategi yang diterapkan oleh KSM tidak mampu diawasi oleh masyarakat secara efektif. Tak hanya itu, seluruh KSM juga tidak memiliki indikator kinerja kelembagaan. Hal tersebut menyulitkan untuk memberikan penilaian dan mengukur kemajuan dari implementasi program SLBM. Aspek komunikasi terutama dalam proses pengambilan keputusan juga menjadi aspek penting. Dalam konteks ini, proses komunikasi dalam pengambilan keputusan dan resolusi konflik di dalam KSM masih memiliki kecenderungan terjadi praktik-praktik dominasi. Berdasarkan focus group discussion, ditemukan bahwa proses komunikasi yang terjadi tidak setara antar kelompok masyarakat, terdapat dominasi dari sekelompok masyarakat. Hal tersebut menyebabkan proses mufakat terjadi bukan karena masing-masing partisipan dalam forum atau pertemuan sukarela menyepakati, tetapi hasil dari pengorganisiran opini dan
  • 18. 17 persetujuan oleh sekelompok masyarakat dengan sumber daya yang berlebih. Meminjam analisa dari Habermas (1984: 284-287), di mana tindakan sosial, termasuk dalam organisasi, mampu diklasifikasikan kedalam beberapa tipe, antara lain tindakan instrumental dan tindakan komunikatif. Praktik yang dilaksanakan oleh KSM masih cenderung sebagai tindakan instrumental yang tidak berorientasi pada pemahaman antar pihak, melainkan “penguasaan” atau dominasi. Sehingga, meski mampu menghasilkan keputusan atau solusi, namun sebagian besar partisipan dalam pertemuan bersepakat bukan karena alasan-alasan pokok yang berkaitan dengan masalah. Praktik dominasi dalam pengambilan keputusan juga menjadi penghambat dari proses pemahaman kebutuhan dan perubahan sikap dari masyarakat. Dalam konteks ini, Innes & Booher (2003: 33-59) melihat bahwa proses mufakat atau konsensus yang tercapai dengan tindakan komunikatif harus berada dalam kondisi di mana masing-masing aktor mampu menyadari adanya interdependence of interest, sebuah posisi kesalingtergantungan antar kepentingan yang dimiliki aktor. Tanpa kondisi tersebut, dominasi menjadi berpeluang terjadi. Maka, gejala sebagian besar masyarakat yang gamang dalam melihat kebutuhan mereka sendiri disebabkan minimnya usaha untuk membuka realitas kesalingtergantungan antar kepentingan aktor. Mekanisme tersebut lama kelamaan dapat merusak lembaga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Oliver (Baker & Rennie 2012) bahwa mekanisme politik misalnya konflik status quo, dominasi, tekanan untuk berinovasi dan ketergantungan pada faktor eksternal akan dapat merusak lembaga. 3.4. Mekanisme Pertanggungjawaban Secara umum, lembaga KSM hanya memiliki mekanisme pertanggungjawaban secara vertikal terhadap pemerintah sebagai penyadang dana. Sementara, berdasarkan penelusuran dokumen, tidak terdapat mekanisme baku terkait pertanggungjawaban secara horizontal terhadap masyarakat setempat. Dalam laporan pertanggungjawaban KSM yang diberikan untuk pemerintah,
  • 19. 18 hampir seluruh aspek mampu dijelaskan secara transparan, seperti perencanaan kerja, pengelolaan pendanaan hingga penggunaan dana, namun untuk dana swadaya masyarakat, sebagian besar KSM masih belum mampu mempertanggungjawabkan secara transparan. Kecenderungan lain, hampir seluruh KSM belum menyertakan analisa terkait kondisi masyarakat setempat, terutama berkenaan dengan cara pandang, kebiasaan dan derajat penerimaan masyarakat terhadap perubahan. Padahal, dalam konteks implementasi program SLBM, hal- hal tersebut sangat dibutuhkan, mengingat program SLBM dengan output berupa septictank komunal merupakan hal baru. Berdasarkan kondisi tersebut, belum tersusunnya pola dan mekanisme pertanggungjawaban terhadap masyarakat setempat menjadi salah satu aspek signifikan yang menyebabkan tidak mampu terbangunnya pola komunikasi berkarakter komunikatif yang cenderung setara. Kemudian, minimnya antusiasme dan partisipasi masyarakat juga terindikasi dipengaruhi oleh mekanisme pertanggungjawaban yang cenderung vertikal. Pola pertanggungjawaban dalam implementasi sebuah kebijakan yang melibatkan banyak aktor secara aktif di luar pemerintah seharusnya mampu menyentuh seluruh aktor yang terlibat. Callahan (2007:138-139) menyebut bahwa fokus dari mekanisme akuntabilitas bukan lagi secara administratif atau birokratis, melainkan berfokus pada stakeholders dan norma-norma profesionalitas. Sebab, dengan multistakeholders, implementasi membutuhkan jejaring yang kuat antara pemerintah, masyarakat dan pihak ketiga, atau kerap diistilahkan sebagai administrative networks. 3.5. Kepemimpinan Hampir seluruh KSM telah mampu menerapkan strategi pengelolaan organisasi yang cukup efisien, yakni dengan memisahkan tanggung jawab berdasarkan kebutuhan program kedalam dua badan (Badan Pelaksana dan Badan Pengelola). Kemudian, pemilihan mekanisme kerjasama operasional dengan pihak ketiga oleh lembaga KSM mengindikasikan bahwa orientasi kepemimpinan
  • 20. 19 cenderung pada efisiensi. Temuan menariknya adalah lembaga KSM yang memilih untuk mengerjakan pembangunan secara mandiri justru kurang optimal dalam kinerjanya. Padahal upaya tersebut menunjukkan orientasi kepemimpinan pada pemberdayaan masyarakat. Tipe kepemimpinan dalam KSM cenderung mampu didekati dengan socio- cultural approach sebab kepengurusan mengatur kinerja pengurus tanpa menggunakan pendekatan sanksi, sebagaimana dikonsepsikan oleh McGregor (2006:43-75). Tak hanya itu, sebagai organisasi sukarela, kepemimpinan KSM bersandar pada nilai-nilai kolektivitas dan tidak bermotif insentif uang. Sehingga, karakter kepemimpinan dalam KSM lebih kontekstual dengan socio-cultural approach (Tompkins 2005:365-375). Dalam literatur organisasi, kepemimpinan dengan pendekatan socio-cultural approach disebut sebagai kepemimpinan dengan tipe Z. Dalam konteks kelembagaan, sebagaimana diungkap oleh Uphoff (1986:8- 10), organisasi menjadi salah satu media untuk melaksanakan institusionalisasi dari nilai, norma, maupun kebiasaan masyarakat. Aspek kepemimpinan dalam kelembagaan memegang peranan yang signifikan, sebab dalam perspektif budaya organisasi, kepemimpinan merupakan aspek utama—meski bukan satu-satunya— yang menentukan perubahan perilaku dan kebiasaan individu didalam organisasi (Tompkins 2005:363-387). Meski seluruh struktur organisasi dalam KSM diisi oleh masyarakat setempat, namun berdasarkan temuan di lapangan, tidak menjamin mampu memahami dan memiliki pemahaman utuh terkait nilai, norma dan kebiasaan masyarakat setempat, sehingga secara kelembagaan, KSM belum memberikan dampak secara signifikan, terutama berkaitan dengan perubahan perilaku dan kebiasaan dari masyarakat setempat. Kesulitan lain juga disebabkan oleh pola kerjasama antar stakeholders dalam implementasi program yang mana tidak melibatkan institusi kesehatan di tingkat desa/kelurahan. Tak hanya itu, organisasi seperti PKK juga tidak dijadikan salah
  • 21. 20 satu stakeholders dalam proses implementasi. Program SLBM cenderung mengedepankan pembangunan secara fisik dan teknis pelaksanaan, namun tidak menekankan penyadaran masyarakat. Meski di dalam kepengurusan terdapat seksi promosi dan kampanye kesehatan, namun tetap sulit dilakukan jika tidak melibatkan institusi yang berwenang dalam isu-isu kesehatan dan lingkungan. 3.6. Aspek Pendukung Dan Penghambat Kinerja Kelembagaan KSM Terdapat beberapa aspek pendukung kelembagaan yang teridentifikasi dari hasil penelitian, antara lain: 1) keswadayaan masyarakat berupa pembentukan KSM. Organisasi KSM ternyata mampu mendorong terjadinya partisipasi masyarakat secara mandiri, meskipun belum secara optimal. Bagaimanapun ujung tombak pelaksanaan program SLBM adalah KSM, 2) kesolidan pimpinan di KSM juga terbukti mampu menjaga konsistensi dari partisipasi masyarakat, 3) struktur organisasi dan distribusi tugas juga telah cukup memadai untuk mendukung kinerja dari KSM, dan 4) corak kolektivitas dalam kepengurusan KSM ternyata cukup mampu menyebabkan KSM berjalan meskipun secara manajerial tidak terlalu baik, misalnya AD/ART organisasi hanya sebagai bentuk aturan formal. Sejalan dengan penelitian Rosyadi & Sobandi (2014) bahwa negara dalam hal ini pemerintah daerah cenderung memilih pendekatan legalistik daripada sosial. Hal tersebut menyebabkan segala sesuatu yang terbentuk dalam masyarakat termasuk pelibatan masyarakat dalam sebuah program hanya dimaknai legalitas untuk mendapatkan program semata. Beberapa aspek penghambat kelembagaan yang teridentifikasi dari hasil penelitian, antara lain: 1) perencanaan yang kurang akurat dan matang terkait implementasi SLBM menyebabkan tidak efektifnya program SLBM di tengah masyarakat, 2) pelibatan stakeholders belum menyentuh hingga ke institusi dan tenaga kesehatan, serta minim pelibatan perempuan dan organisasi perempuan, 3) minimnya kajian mendalam terkait tata nilai, norma dan kebiasaan masyarakat setempat sebelum implementasi program SLBM, dan 4) kontrol dan pengawasan
  • 22. 21 terhadap kinerja KSM masih minim, serta belum adanya indikator dan capaian kerja dalam evaluasi setiap kegiatan KSM. Aspek penghambat lainnya berkaitan dengan kecenderungan praktik dominasi dari beberapa individu atau kelompok masyarakat dominan dalam pengambilan keputusan, yakni pendekatan komunikasi antara KSM dan masyarakat cenderung tidak dialogis, mekanisme pertanggungjawaban cenderung vertikal, belum ada mekanisme baku dan formal terkait pertanggungjawaban secara horizontal kepada masyarakat, pengelolaan dana iuran swadaya masyarakat yang belum transparan, belum terbangunnya administrative network atau jejaring kuat antar stakeholders dalam implementasi, pemilihan pengurus juga tidak disertai pertimbangan keahlian dari individu-individu, kepemimpinan KSM yang cenderung belum mampu menganalisa kondisi sosial masyarakat setempat, tidak efektifnya kampanye dan sosialisasi terkait tujuan kebijakan sebagai akibat dari minimnya keahlian teknis dari pengurus KSM, serta tidak terbangunnya jejaring dengan stakeholders dari institusi kesehatan. Dengan demikian, kualitas kelembagaan yang dibangun oleh KSM memang sangat menentukan keberhasilan program. Hasil penelitian Omer Javed (2013) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kelembagaan dengan keberhasilan suatu program. Oleh sebab itu, kualitas kelembagaan
  • 23. 22 3.7. Diagram Hubungan Kelembagaan Environment :  Quality  Quantity  Continunity Technology :  Capacity  Human Resources  Service Inspection  Cost of O&M  Spare Part O&M Community :  Capacity to manage gender  Willingness to pay  Financial management  Technical skill  Sociocultural factors Risk Behavior & Management Ownership Sustainability
  • 24. 23 BAB V PENUTUP 1.1 Kesimpulan Dengan menggunakan perspektif kelembagaan dapat diperoleh penjelasan bahwa kinerja kelembagaan pada program SLBM belum mampu mendukung pencapaian tujuan kebijakan. Indikasinya adalah partisipasi masyarakat dalam program SLBM tercatat masih minim secara kuantitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa aspek penghambat kelembagaan, antara lain masih minimnya analisa terkait tata nilai dan kebiasaan masyarakat, hingga belum terbangun administrative network yang sinergis dan luas. Maka dengan ini, pemerintah Kabupaten Banyumas dan KSM seharusnya melakukan analisa terkait tata nilai dan kebiasaan masyarakat setempat, melakukan sosialisasi yang efektif dan berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak, terutama institusi kesehatan, meningkatkan efektivitas kontrol melalui indikator yang jelas dan terukur, agar kinerja kelembagaan KSM mampu efektif mendorong pencapaian tujuan kebijakan.
  • 25. 24 DAFTAR PUSTAKA UNICEF.2012.Air Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan.(Online). http://core.ac.uk/download/pdf/12347345.pdf. Diakses 19 Oktober 2015 Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1429 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah Kinerja kelembagaan program sanitasi lingkungan berbasis masyarakat (SLBM), Denok Kurniasih, Paulus Israwan Setyoko, M. Imron, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia