Explore and direct indigenous role for managing marine protected area in Aceh Province, Indonesia. Using social-ecological approach could solve the problem of conflict between society and ecology
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem
1. BAGIAN DUA
Panglima Laot dapat memainkan perannya dalam membangun
tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara
berkelanjutan.
Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan
Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem
[Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao]
Selama tahun 2007 hingga tahun 2012 tidak ada satupun Qanun
Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan berkaitan dengan sektor
kelautan dan perikanan.
Dukungan Regulasi dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan
di Kabupaten Aceh Besar
[Muhammad Insa Ansari]
Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang
sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran.
Namun, lebih dari itu karena sektor kelautan dan perikanan merupakan
basis perekonomian nasional.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh Menuju Perikanan dan Kelautan
yang Berkelanjutan
[Sitti Zubaidah]
Agar sumberdaya laut tetap lestari atau berkelanjutan (sustainable),
negara (pemerintah) juga harus mengawasi alat tangkap nelayan yang
diketahui tidak ramah lingkungan.
Pengelolaan Perikanan Aceh dalam Perspektif Islam: Menuju
Perikanan Aceh yang Mandiri dan Lestari
[Hafinuddin bin Hasaruddin]
[36]
2. 4
Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan
Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem
[Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao]
[37]
Pendahuluan
Perairan laut Aceh1 berkontribusi positif terhadap produksi
perikanan laut nasional dalam satu dekade terakhir. Namun, dalam
kurun waktu 2003-2011, kontribusi perikanan tangkap Aceh cenderung
menurun. Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2012), sekitar 135.040 ton atau 3,08% dari produksi perikanan laut
Indonesia berasal dari Aceh pada 2003, kontribusi tersebut menurun ke
2,73% pada 2011. Fluktuasi produksi nampak sekali dalam kurun
waktu 2003-2011; terutama 2004, 2005, 2008, dan 2010 dengan
pertumbuhan produksi -22,92%, -20.76%, -0.41%, dan -8.72% secara
berurutan (Hasil Analisis, 2014).
Kondisi produksi perikanan Aceh tidak terlepas dati status
sumberdaya ikan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 dan
572 yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Disinyalir bahwa WPP
571 dan 5722 masuk dalam kategori baik dan sedang, ditinjau dari
komposisi sumberdaya ikan (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 45 Tahun 2011). Namun disebutkan dalam Kepmen tersebut
bahwa beberapa jenis ikan pelagis dan demersal telah mengalami
1 Untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan, perairan laut
Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) (Surat
Keputusan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor 45/MEN/2011).
Perairan laut Aceh terletak pada WPP 571 (Selat Malaka) dan 572 (Samudera
Hindia).
2 Mencakup perairan Selat Malaka di pantai timur dan Samudera HIndia di
Pantai Barat Aceh
3. tangkap lebih (overfishing). Sebagai contoh, Imran dan Yamao (2014)
melaporkan bahwa sumberdaya teri sebagai salah satu jenis ikan pelagis
kecil sudah mengalami overfishing sejak sebelum tsunami dan terus
memburuk kondisinya dalam kurung waktu 2007-2012 di Teluk Krueng
Raya yang terletak pada WPP 571.
Hal yang sama juga dialami ekosistem pesisir, terutama terumbu
karang dan mangrove yang terus terdegradasi dalam kurun waktu
tersebut. Aceh memiliki luas terumbu karang mencapai 152,34 km2
berdasarkan data citra satelit tahun 2000-2002 (Aceh Ocean Coral,
2012). Namun masih sedikit penelitian untuk memastikan bagaimana
kondisi ekosistem terumbu karang tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahun
Indonesia melaporkan bahwa ada kecenderungan terjadinya degradasi
kondisi terumbu karang di Aceh, baik disebabkan secara alami maupun
karena faktor aktivitas manusia (anthropogenik). Gempa dan tsunami
24 Desember 2004 semakin memperparah kerusakan eksositem ini
yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh.
Hasil survei Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2009) menunjukkan
bahwa persentase tutupan karang keras hanya berkisar 0-25%.
Sementara pendataan 2008-2010 terhadap 91 total lokasi yang di
survey, menunjukkan bahwa hanya 14 lokasi tergolong dalam kondisi
baik (Aceh Ocean Coral, 2012).
Ekosistem mangrove pun mengalami degradasi dari waktu ke
waktu. Hanya tersisa 105.260 ha setelah tsunami dan bertambah
menjadi 422.703 ha setelah adanya rehabilitasi dan rekontruksi, namun
160.876 ha dalam kondisi rusak berat (Badan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Krueng Aceh, 2007). Selain disebabkan oleh tsunami,
penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove adalah konversi
menjadi lahan tambak dan pemanfaatan kayunya untuk berbagai
peruntukkan.
Fluktuasinya sumberdaya ikan dan rusaknya ekosistem utama
pesisir merupakan ancaman bagi keberlanjutan mata pencaharian
nelayan dan sekaligus mengingatkan akan arti pentingnya konservasi
perairan dimasa mendatang. Berbagai produk kebijakan dan peraturan
perundang-undangan pemerintah Indonesia telah memberikan koridor
untuk konservasi sumberdaya alam dan ekosistem di wilayah pesisir
dan laut. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah
[38]
4. mengeluarkan beberapa peraturan menteri dan pedoman tentang
kawasan konservasi perairan. Dari semua itu, hal yang menarik disimak
adalah terbukanya peluang pelibatan kelembagaan traditional atau
nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan kawasan
konservasi perairan tersebut.
Aceh sebagai daerah otonom memiliki posisi tawar yang kuat
dan melalui UU Nomor 11/2006 telah diberikan kewenangan secara
khusus untuk mengelola kawasan konservasi perairan. UU ini
memberikan ruang kepada Pemerintah Aceh untuk pelibatan
kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sudah lama
eksis, yaitu Panglima Laot, khususunya pada tingkat lhok.
Secara luas telah diketahui bahwa Panglima Laot Lhok (PLL)
memiliki peran dan fungsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
dan nelayan dalam batas-batas pengelolaan tertentu3. Sebagaimana
diketahui bahwa peran sosial, budaya dan politik sudah banyak
dikontribusikan oleh lembaga ini. Namun peran konservasi secara
gamblang sangat jarang mengemuka, walaupun peran ini juga melekat
pada PLL. Sebagai contoh, PLL Kruang Raya (2012) menyebutkan
bahwa peran lembaga ini terkait dengan konservasi diantaranya
mengingatkan para nelayan untuk tidak memotong pohon mangrove
dan merusak terumbu karang. Peran ini dilakukan karena mereka sadar
akan fungsi kedua ekosistem ini terhadap kelestarian sumberdaya ikan.
Namun bila dikaji lebih jauh, peran konservasi terhadap kedua
ekosistem ini dan sumberdaya alam yang berasosiasi di dalamnya masih
belum berjalan dengan optimal.
Memang sudah banyak upaya pengelolaan sumberdaya ikan
sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources, CPRs)
dan kawasan konservasi perairan melalui kelembagaan formal baik
dengan membentuk WPP atau badan/kelembagaan konservasi seperti
taman nasional laut. Bahkan unit-unit dalam skala kecil seperti unit
pengelolaan teknis Kawasan Konservasi Laut Daerah pun sudah mulai
dibentuk di beberapa daerah di Indonesia. Namun yang menarik
3 Umumnya batas-batas pengelolaan PLL adalah satu hamparan ekosistem
(ecosystem boundaries) tertentu seperti muara, teluk, atau pantai); dan
kebanyakan wilayah administrasinya berhimpitan dengan batasan
administrasi kemukiman yang terdiri dari beberapa desa.
[39]
5. dicermati adalah keterlibatan kelembagaan lokal seperti awig-awig di
Nusa Tenggara Barat dan sasi di Ambon yang tetap mampu menjadi
kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Belajar dari kedua
kelembagaan tradisional ini, maka tidak salah jika mengharapkan PLL
berbuat lebih banyak untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan
dan ekosistem pesisir Aceh di masa yang akan datang.
Beranjak dari kondisi dan fakta-fakta di atas, maka tulisan ini
secara umum akan menguraikan suatu tinjauan terhadap perlu tidaknya
membangun konstruksi tata kelola PLL dalam kegiatan konservasi
perairan daerah (KKPD). Lebih khusus bertujuan: (1) identifikasi peran
panglima laot terhadap konservasi sumberdaya perairan, dan (2)
integrasi pelibatan panglima laot lhok dalam pengelolaan kawasan
konservasi laut daerah.
Tinjauan Peran Panglima Lhok dalam Konservasi
PLL4 memliki peran-peran strategis dalam pengelolaan kegiatan
perikanan tangkap di Aceh. Tak dapat dipungkiri bahwa peran lembaga
tradisional ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hiruk pikuk
kondisi sosial-budaya-politik serta isu industrilisasi dan modernisasi
perikanan. Namum sebagai entitas dan keterwakilan masyarakat
nelayan, lembaga ini masih tetap eksis dan bertahan lebih dari 400
tahun. Lembaga tradisional ini memeliki peran sosial untuk mengelola
sejumlah nelayan dalam satu batasan social-ekologi. Peran social yang
dominan adalah pengaturan hubungan antara manusia dengan sang
pencipta dan hubungan manusia dengan manusia. Peran-peran lain
yang menonjol adalah pengaturan atau regulasi terhadap tatacara
pemanfaatan sumberdaya ikan baik dalam wilayah pengelolaannya
4 Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan
lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan
mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan
sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan
(Nasution 2012). Satu unit entitas kelembagaan panglima laot lhok di batasi
oleh batasan pengelolaan yang merujuk kepada teluk, estuary atau kuala,
pantai, atau dapat juga sejumlah pulau-pulau kecil. Satu lhok biasaya
dipimpin oleh seorang panglima laot lhok yanh dipilih dari pawang-pawang
senior dan dilengkapi dengan seperangkat struktur organisasi sesuai dengan
kondisi lhok tersebut.
[40]
6. ataupun di luar wilayah kewenangnya yang diatur atau dimediasi oleh
panglima laot di tingkat kabupaten atau pun provinsi.
Dalam kehidupan masyarakat nelayan, setidaknya PLL memeliki
4 peran utama, yaitu melestarikan hukum adat, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan
dalam masyarakat nelayan; dan membantu pemerintah
dalam pembangunan perikanan bila diminta. Di awal gagasan
didirikannya pada masa Raja Isakadar Muda abad 16, lembaga ini lebih
banyak berperan untuk memungut pajak laut dan (Abdullah et al.,
2006). Saat ini peran PLL terus berubah dan berkembang, bahkan
belakangan lembaga ini juga berkiprah di bidang pendidikan karena
kepeduliannya terhadap arti pentingnya pendidikan anak-anak nelayan.
Pasca tsunami, lembaga adat ini juga peran membantu pemerintah dan
lembaga donor mendistribusikan bantuan, membantu rehabilitasi dan
rekonstruksi sektor perikanan, terutama pembangunan kembali kapal
nelayan dan mendorong nelayan untuk kembali melaut.
Seiring dengan perubahan dan perkembanan zaman, peran PLL
juga ikut mengalami beberapa perubahan. Kurien (2008) menyebutkan
bahwa adanya perubahan politik membuat lembaga ini juga mengambil
peran untuk mediasi pelaksanaan program pemerintah. Sehingga tidak
salah ia menyarankan model pendekatan manajemen kolaboratif atau
collaborative management (selanjutnya disebut co-management) pada
program Food Agricultural Organisation (FAO) memposisikan peran
panglima laot untuk bermitra dengan pemerintah. Sebagai contoh,
Yulianto (2008) menyebutkan bahwa indikasi terjalnnya pendekatan
co-management antara pemerintah dan PLL tampak sekali dengan
terjalinnya komunikasi dalam implementasi program pengelolaan
perikanan di Kota Sabang. Ia menambahkan bahwa adanya
pendelegasian peran pelestarian lingkungan dari pemerintah kepada
lembaga ini. Wilson et al. (2012) menyebutkan bahwa Panglima Laot
merupakan model skala besar pendekatan masyarakat (large scale
communities based) dalam pengelolaan perikanan. Dengan bantuan
lembaga ini, mereka menambahkan bahwa telah berhasil melakukan
pemetaan secara partisipati daerah-daerah berbahaya dan puncak-puncak
gunung di beberapa wilayah perairan laut Aceh, seperti di
sekitar perairan Lampulo-Banda Aceh.
[41]
7. Dari sekian banyak peran, nampaknya peran PLL sebagai
pengawal konservasi jarang mengemuka ke permukaan. Biasanya
peran-peran konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistem
pendukungnya lebih bersifat sebagai aturan dalam hokum adat dan
tidak terkait langsung dengan kegiatan konservasi. Peran-peran yang
dimainkan lebih bersifat larangan dan sangsi yang diberlakukan kepada
nelayan, dan itupun sangat jarang terdengar perbelakuan sangsi adat
terhadap nelayan yang melanggar hukum adat.
Hal ini ini dapat dipahami karena sejatinya PLL yang sudah eksis
sejak abad ke 16 didesain sebagai pasukan cadangan dan memungut
cukai di pelabuhan. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan terjadinya
perubahan termasuk mengkonservasi sumberdaya perikanan, namun
pada musyawarah lembaga hukom adat laut 6-7 Juni 2000 secara
gamblang disepakati bahwa salah satu aspek adat laot adalah adat
pemeliharaan lingkungan. Ada tiga poin penting arahan adat terhadap
pemeliharaan lingkungan: (1) dilarang melakukan pemboman,
peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan biota karang, dan
bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota
lainnya; (2) dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir
pantai laut seperti pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan
pohon lainnya yang hidup di pantai; dan (3) dilarang menangkap
ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumbu, penyu dan lain
sebagainya). Beberapa hasil penelitian mengemukakan juga bahwa dari
3 aspek cakupan pelaksanaan hukum adat laot, dua aspek berkaitan
langsung dengan masalah lingkungan, adalah (1) pengaturan
penggunaan alat tangkap dan pencegahan penggunaan alat tangkap
yang merusak lingkungan dan pembatasan wilayah penangkapan pada
jarak tertentu terhadap habitat ikan; dan (2) pelarangan terhadap
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, membuang
sampah, membuang sisa bahan perbaikan kapal, dan membuang oli ke
laut.
Jika dianalisis lebih lanjut dari kedua aspek terakhir dan
kesepakatan panglima laot, maka akan sangat menunjang kegiatan
konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, namun tidak
menjelaskan peran PLL dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi
didalam wilayah kewenangannya. Sehingga dari 193 PLL yang ada saat
ini, maka hanya satu dalam wilayah pengelolaannya terdapat kawasan
[42]
8. konservasi laut yaitu PLL Iboih di Kota Sabang. Menurut Wildlife
Conservation Society (2010), Project Aceh Weh Seascape telah berhasil
menfasilitasi pengelolaan dearah perlindungan laut pertama yang
dikelola oleh PLL. Dari 40% ekosistem karang yang potensial untuk
dijadikan daerah perlindungan laut sebagai kawasan konservasi, maka
sebagai prioritas telah di pilih wilayah PLL Iboih sebagai pilot proyek
(Yulianto, 2008). Hal ini dimungkinkan karena antara kelembagaan
pemerintah Kota Sabang dan PLL sudah terjalin komunikasi dalam hal
rencana pengelolaan kawasan konservasi laut (Yulianto, 2008). Disisi
lain, Pemerintah Kota Sabang menganggap bahwa lembaga tradisional
ini memiliki kewenangan pengaturan pemanfaatn laut di wilayahnya
dan dapat didelegasikan kewenanagan untuk kegiatan perlindungan
jenis-jenis biota unik dan perlindungan dearah pemijahan (Yulianto,
2008).
Kemunduran Peran Konservasi Panglima Laot Lhok
Keberadaan PLL memang tetap eksis, namun efektivitas
perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan eksosistemnya
terutama peran konservasi sudah mengalami pergeseran bahkan
cenderung mengalami kemunduran. Memang tidak ada penelitian
secara khusus mengkaji penurunan peran PLL terhadap konservasi
sumberdaya ikan, habitat dan ekosistemnya. Hasil wawancara dengan
Panglima Laot Krueng Raya (2012) menyebutkan bahwa peran PLL
selain mengelola nelayan juga mengawal kegiatan konservasi
sumberdaya ikan dan ekosistemsnya. Lebih lanjut, Pawang Zakaria
selaku PLL menjelaskan bahwa kelembagaan yang dipimpinnya tidak
saja mengelola para nelayan dari sisi sosial saja, tetapi juga membuat
aturan-aturan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (SDI).
Banyak faktor lain yang mempengaruhi efektivityas pengelolaan
SDI. Kurniawan (2008) mengkaji sejumlah PLL di Kota Sabang dan
menjelaskan bahwa cara penangkapan ikan di laut, pendapatan
lembaga, batas-batas wilayah, kualitas sumberdaya manusia, system
manajemen dalam usaha perikanan, dan faktor sarana dan prasanaran
perikanan berkontribusi terhadap terhambatnya efektivitas pengelolaan
sumberdaya ikan. Adanya hambatannya ini jelas akan sangat
berpengaruh dan terjadi pergeseran terhadap peran PLL dalam
[43]
9. mengawal adat-adat laot yang berkaitan dengan kegiatan konservasi
sumberdaya ikan dan ekosistemnya.
Untuk memperkuat apa yang menjadi argumen di atas, maka
hasil observasi, diskusi kelompok dan wawancara mendalam yang kami
lakukan terhadap 76 responden di wilayah PLL Krueng Raya dapat
menjelaskan juga mengapa mundurnya peran PLL dalam kegiatan
konservasi. Penelitian kami menyimpulkan bahwa menurunkan peran
konservasi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kelembagaan
tersebut. Sebagai lembaga non profit, faktor internal yang mendominasi
kemunduran peran konservasi diantaranya kurangnya kepatuhan
sukarela terhadap aturan adat yang telah ditetapkan untuk menjaga
kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemenya, misalnya nelayan
bagan (lift net boat) tetap saja menggunakan lampu melebihi dari
ketentuan yang telah disepakati yaitu menggunakan lampu neon lebih
dari 25 buah, bahkan ada yang menggunakan 40 buah.
Disamping itu, tuntutan akan meningkatnya permintaan ikan
teri baik kering dan segar telah mendorong para nelayan meningkatkan
upaya (effort) penangkapan, terutama sebelum terjadinya tsunami.
Akibatnya, sumberdaya ikan teri telah mengalami kelebihan tangkap
dari 2.363,2 ton sumberdaya lestarinya yang diperbolehkan selama
periode 1999-2004 (sebelum tsunami) (Imran and Yamao, 2014a). PLL
tidak dapat mengendalikan jumlah kapal yang terus meningkat pada era
1990-an dan akhirnya mencapai 89 unit bagan dalam kurun waktu 5,
seharusnya jumlah bagan optimal yang dapat dioperasikan dalam kurun
waktu tersebut sesuai rekomendasi model surplus produksi hanya 43
unit (Imran and Yamao, 2014b).
PLL dan para nelayan yang di jadikan responden (hampir 95%)
di wilayah studi mengetahui dan memiliki pengetahuan pentingnya
ekosistem mangrove dan terumbu karang untuk melestarikan
sumberdaya ikan. Hal ini tercermin dari adanya adat laut untuk tidak
menebang pohon bakau, aron (cemara laut) dan terumbu karang pada
wilayah kewenangan PLL Krueng Raya. Dalam konteks ini nelayan yang
bernaung dalam PLL Kreung Raya sangat menghormati dan mematuhi
adat laut tersebut, namun konversi mangrove untuk tambak pada era
1980-an tidak dapat dicegah oleh PLL karena status kepemilikan lahan
sebagian besar bukanlah milik nelayan. Dan tsunami menambah parah
[44]
10. kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini dan luasannya tinggal 5%
pada 2012 (Imran and Yamao, 2014b). Begitu juga yang terjadi
terhadap terumbu karang, misalnya di sekitar Tanjung Akhmad
Ramanyang terus mengalami peningkatan kerusakan akibat
meningkatnya aktivitas nelayan yang menggunakan potassium sianida
untuk menangkap jenis-jenis ikan hias oleh para nelayan pendatang
yang telah menetap di wilayah Kreung Raya, dan umumnya mereka
tidak mematuhi adat laut yang telah ditetapkan.
Lemahnya fungsi-fungsi pengelolaan PLL dan terbatasnya dana
juga membuat lembaga ini tidak memiliki peran sampai pada tingkatan
aksi pengelolaan kawasan konservasi. Artinya adat laot terhadap
pelestarian sumberdaya ikan tidak diikuti oleh tindakan pengelolaan
kawasan konservasi. Sebagai contoh di wilayah Teluk Krueng Raya
yang memiliki laguna dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang
tidak ada wilayah atau kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan
konservasi. Di sisi lain keterbatasan pengetahuan tentang siklus
reproduksi ikan pun telah membuat nelayan secara tidak sadar
melakukan eksploitasi terhadap sumberaya ikan sepanjang siklus hidup
ikan teri misalnya. Hasil penelitian Imran dan Yamao (2014a)
melaporkan bahwa nelayan bagan menangkap ikan teri sepanjang tahun
pada musim timur dan barat.
Faktor internal lainnya adalah menurunnya kewibawaan PLL,
terutama pasca tsunami. Para nelayan umumnya sangat menghormati
peran dan fungsi lembaga yang mewadahi mereka, namun rasa
kepatuhannya agak berkurang sebagai akibat kurang adilnya oknum
PLL dalam mendistribusikan bantuan para donor dan pemerintah.
Akibatnya konflik sering terjadi antara PLL dan nelayan. Sebagai
contoh, nelayan bagan yang beralih profesi menjadi nelayan pancing5
ada kontribusi oleh faktor ketidakadilan dalam pendistribusian bantuan
bagan. Karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh PLL,
akibatnya mereka mulai kurang mematuhi apa yang menjadi ketentuan
adat laot, terutama yang berkaitan dengan konservasi, misalnya
5 Umumnya nelayan pancing ini menangkap jenis-jenis ikan karang seperti
kerapu pada ekosistem terumbu karang dan aktivitas labuh jangkar mereka
di sekitar atau bahkan pada karang-karang yang masih hidup tanpa disadari
sudah merusak ekosistem tersebut.
[45]
11. merusak ekosistem terumbu karang dengan melempar jangkar pada
karang yang masih hidup.
Disamping faktor internal, beberapa faktor ekternal juga ikut
mendorong semakin lunturnya penegakkan adat laut yang berkaitan
dengan konservasi. Kepentingan pembangunan sektor lain, sering kali
mengalahkan sub sektor perikanan tangkap. Acapkali pengembangan
kegiatan industri seperti yang terjadi pada pembangunan pabrik
pengolahan semen, aspal, dan depot penampung minyak di Teluk
Krueng Raya tidak melibatkan secara aktif PLL. Akibatnya peran-peran
PLL untuk menyampaikan berbagai adat laot termasuk yang berkaitan
dengan konservasi menjadi sangat minim. Para pihak-pihak yang
berkepentingan sering menghindar dari nilai-nilai kearifan lokal dan
lebih mengutamakan pengakuan kelembagaan formal seperti unsur
pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten, dan Provinsi dalam
pengambilan keputusan. Kondisi semacan ini pun juga sering terjadi di
wilayah PLL lainnya di Provinsi Aceh.
Tsunami tidak saja berakibat pada jatuhnya korban jiwa, tetapi
juga mempengaruhi terhadap nilai-nilai lokal yang telah lama
berkembang di Aceh secara tidak langsung. Masuknya Non Government
Organisation (NGO) dan organisasi donor baik dalam maupun luar
negeri ikut berperan dalam membentuk tatanan nilai baru terhadap
PLL. Karena kebanyakan program dan kegiatan yang mereka lakukan
lebih berorientasi kepada pemulihan mata pencaharian perikanan
tangkap, sehingga nilai-nilai atau adat laot yang berkaitan dengan
konservasi sedikit terabaikan. Bahkan jarang sekali NGO atau lembaga
donor yang membina dan membangun kembali nilai-nilai konservasi
yang telah ada pada kelembagaan PLL. Walaupun ada, persentasenya
sangat kecil (tidak sampai 1%), seperti yang dilakukan World
Conservation Society terhadap PLL Iboih di Kota Sabang.
Faktor eksternal lainnya adalah adanya peran pemerintah yang
cenderung dominan dalam proses perencanaan suatu kawasan
konservasi laut. Jika dominansi pemerintah terlalu dipertontonkan,
maka bukan tidak mungkin peran PLL untuk mengelola kawasan
konservasi perairan akan termajinalkan karena pemerintah
mengganggap PLL tidak memiliki struktur dan sistem organisasi yang
memadai, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan tidak
[46]
12. tersedianya dana dalam mengelola kawasan konservasi perairan.
Barangkali pemerintah berpikir lebih baik menyiapkan kelembagaan
yang lebih formal dan memliki hubungan vertikal langsung, dapat
berbentuk unit pelaksana teknis atau badan pengelola KKPD.
Kebutuhan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Wilayah
Pengelolaan Panglima Laot Lhok
Kebutuhan terhadap keberadaan KKPD bagi Aceh sudah tidak
dapat di tawar lagi. Kebutuhan ini didasarkan pada kajian aspek
sumberdaya ikan, tersedianya perangkat hukum, kekuatan nilai-nilai
kearifan lokal yang dimiliki nelayan Aceh, target pengembangan luasan
kawasan konservasi perairan nasional, dan adanya pengakuan dunia
international terhadap keberadaan kelembaaan orisinal yang peduli
dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kesemua aspek ini ada
yang bersifat tantangan, peluang, kekuatan dan kelemahan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di masa
mendatang.
Aceh memliki sumberdaya perikanan tangkap yang besar dan
berkontribusi terhadap produksi perikanan tangkap nasional. Namun
kontribusi Aceh terus menurun dan hanya mencapai 2,73% pada tahun
2011. Indikasi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Aceh sudah
mulai menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kelimpahan
(abundance). Namun, Komisi Nasional Stok Sumberdaya Ikan
melaporkan bahwa kondisi beberapa unit stok sumberdaya ikan
demersal dan pelagis pada WPP 571 dan 572 sudah mengalami tangkap
lebih (over exploited), terutama jenis udang (shrimp), kakap merah (red
snappers), banyar (indian mackerel) dan kembung (short body mackerel)
pada tahun 2010 (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45
Tahun 2011). World Fish Center (2006) melaporkan bahwa
sumberdaya ikan di perairan Selat Malaka telah berada pada kondisi
tangkap lebih (overfishing). Kondisi ini diperkuat oleh oleh ekspedisi
Lembaga Penelitian Pengetahun Indonesia pada 2006 yang melaporkan
bahwa jenis ikan pelagis baik komposisi jenis maupun ukuran distribusi
sudah mengalami penurunan.
Di sisi lain, jumlah armada penangkapan ikan terus bertambah
baik sebelum maupun setelah tsunami, terutama armada penangkapan
ikan skala kecil. Menurut data statistik perikanan aceh, jumlah kapal
[47]
13. yang beroperasi di Aceh mencapai 15.576 unit pada tahun 2004.
Jumlah ini meningkat 44,7% dari jumlah 10.768 unit pada tahun 2002.
Walaupun tsunami, jumlah armada penangkapan ikan tetap meningkat,
dan mencapai 15.995 unit pada tahun 2012. Bila jumlah ini tidak
dikendalikan, diprediksikan akan mengancam keberlanjutan
sumberdaya ikan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang.
Namun tuntutan perluasan kawasan konservasi perairan
nasional sudah menjadi target pemerintah Indonesia. Kementerian
Kelautan dan Perikanan mentargetkan luasan konservasi perairan
mencapai 20 juta ha pada tahun 2020, pada tahun 2013 luasannya
sudah mencapai 13,9 juta ha. Namun sangat disayangkan di Aceh
sendiri sampai dengan tahun 2013, secara resmi hanya tercatat satu
kawasan konservasi laut, yaitu Teluk Pulau Weh melalui surat
keputusan Menteri Pertanian Nomor 928/KPTS/U/12/82 untuk
melindungi terumbu karang.
Peluang ini telah ditangkap dengan baik oleh PLL dan
pemerintah kabupaten untuk mengusulkan KKPD. Setidaknya sudah
ada sembilan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang diusulkan
menjadi KKPD yaitu Kecamatan Seulimum, Mesjid Raya, Baitusalam,
Darussalam, Peukan Bada, Pulau Aceh, Lhoknga, Leupung, dan Lhoong,
karena terdapat kawasan yang memiliki potensi sebagai tempat
berkembang biak ikan-ikan dan terumbu karang (Panglima Laot
Kabupaten Aceh Besar, 2012). Dan sebenarnya pemerintah Kabaupaten
Aceh Besar telah mengusulkan dan menetapkan 16 kawasan yang
dicadangkan sebagai kawasan konservasi perairan daerah melalu Surat
Keputusan Bupati Nomor 11 dengan tujuan menjaga sumberdaya hayati
ekosistem pesisir dan laut yang menjadi penunjang hidup masyarakat
pesisir.
Jika ditilik lebih lanjut Aceh sebagai daerah istimewa memiliki
peluang besar untuk menginisiasi dan mengembangan KKPD dengan
pelibatan PLL secara aktif. Berbagai produk perundangan-undangan
dan qanun telah memberikan ruang kepada kelembagaan adat dalam
hal ini PLL untuk megelola kawasan konservasi perairan (lihat Tabel 1).
[48]
14. Tabel 1.
Berbagai produk hukum menguatkan adanya pelibatan PLL dalam
pengelolaan KKPD
Produk Hukum Pasal/ayat/butir Isi
[49]
UU No. 45 Tahun
2009 tentang
Perubahan UU No.
31 Tahun 2004
tentang Perikanan
Pasal 6 ayat 2
Pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus
mempertimbangkan hukum adat
dan/atau kearifan lokal serta
memperhatikan peran serta
masyarakat.
Pasal 52 Pemerintah mengatur, mendorong,
dan/atau penyelenggarakan penelitian
dan pengembangan perikanan untuk
menghasilkan pengetahuan dan
teknologi yang dibutuhkan dalam
pengembangan usaha perikanan agar
lebih efektif, efisien, ekonomis,
berdaya saing tinggi, dan ramah
lingkungan, serta menghargai kearifan
tradisi/budaya lokal.
UU No. 1 Tahun
2014 tentang
Perubahan UU
perubahan atas
UU No. 27 Tahun
2007 tentang
Pengelolaan
Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil
Pasal 60
Ayat 1
Butir c
butir d
mengusulkan wilayah Masyarakat
Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K
melakukan kegiatan pengelolaan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
UU No. 27 Tahun
2007 tentang
Pengelolaan
Pesisir dan Laut
Pasal 61
Ayat 1
Pemerintah mengakui, menghormati,
dan melindungi hak-hak Masyarakat
Adat, Masyarakat Tradisional, dan
Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang telah
dimanfaatkan secara turun-temurun
15. [50]
Ayat 2
Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat,
Masyarakat Tradisional, dan Kearifan
Lokal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dijadikan acuan dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan
UU No. 11 Tahun
2006 tentang
Pemerintah Aceh
Pasal 162
Ayat 2 butir e
Pemeliharaan hukum adat laut dan
membantu keamanan laut
UU No. 32 tahun
2004 tentang
Pemerintah
Daerah
Pasal 2
Ayat 9
Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Qanun No. 16
tahun 2002
tentang
Pengelolaan
Sumberdaya
Perikanan
Pasal 11
Ayat 1
Dalam pengelolaan, sumber daya
perikanan Pemerintah Provinsi
mengakui keberadaan lembaga
Panglima Laot dan hokum adat laot
yang telah ada dan eksis dalam
kehidupan masyarakat, nelayan di
Provinsi
Qanun No. 9
tahun 2008
tentang
Pembinaan
Kehidupan Adat
dan Adat Istiadat
Pasal 10
Ayat 1
huruf f
perlindungan hak masyarakat adat,
yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut,
sungai, danau, dan hak-hak masyarakat
lainnya
Qanun No. 10
tahun 2008
tentang Lembaga
Adat
Pasal 2
Ayat 2, huruf i
Pasal 6
panglima laot atau nama lain
Setiap lembaga adat dapat
berperanserta dalam proses
perumusan kebijakan oleh
Pemerintah Aceh dan Pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan
16. tingkatannya yang
berkaitan dengan tugas, fungsi, dan
wewenang masing-masing lembaga
adat.
Disamping dukungan berbagai produk hukum secara nasional
dan daerah, Aceh sebagaimana telah diuraikan juga memiliki kekuatan
nilai-nilai kearifan lokal yang telah berkembang lebih dari 400 tahun
yang lalu. Unit-unit pengelolaan sumberdaya perikanan sampai tingkat
lhok6, teluk, dan kuala telah eksis walaupun sangat minim
pengetahuannya tentang bagaimana menetapkan kawasan konservasi
laut, namun nilai-nilai traditional dan adat laut sudah memberikan
ruang untuk pengelolaan konservasi perairan. Jika peluang ini
dimanfaatkan, setidaknya 193 kawasan konservasi perairan dapat di
tetapkan dan dikelola secara bersama oleh pemerintah dan PLL.
Keberadaan PLL sebagai unit pengelola sumberaya ikan juga
sudah dikenal oleh dunia international. Bahkan dunia international pun
mengaku keberadaan PLL sebagai nilai-nilai kearifan lokal yang
memiliki peran untuk konservasi sumberdaya ikan. Pasca tsunami,
Wildlife Consrvation Society (WCS) sebagai salah satu lembaga
konservasi bertaraf internasional meluncurkan The Aceh-Weh Seascape
Program di wilayah perairan Sabang pada 2005. Dari sejumlah
ekosisem terumbu karang yang dikaji, setidaknya telah diusulkan
wilayah Iboih sebagai kawasan konservasi dengan ujung tombak
pengelolaanya dilakukan oleh PLL setempat. Belakangan, pada tahun
2012, WWF juga telah memprakarsai kegiatan fokus grup diskusi dan
sosialisasi Kawasan Konservasi Perairan Indra Purwa Kecamatan
Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar untuk mendesain adanya
pengelolaan kawasan konservasi perairan yang disertai dengan
6 Lhok dalam artian kata dapat dipadankan sebagai teluk(an). Secara
terminologi atau istilah merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh
sekelompok nelayan serta dipimpin oleh seorang yang dipilih dan dituakan
untuk memimpin wadah masyarakat nelayan (Panglima Laot Lhok)
(Nasution, 2012). Setiap Panglima Laot Lhok memiliki wilayah kelola laut
penangkapan dan tempat pendaratan ikan (di wilayah pantai atau pesisir)
[51]
17. tersusunnya rencana strategis zonasi kawasan pesisir Kabupaten Aceh
Besar.
Apa yang menjadi fakta di atas merupakan suatu peluang bagi
Aceh untuk menysun suatu konsep pengelolaan KKPD yang berbasis
pada masyarakat atau kelembagaan lokal. Pastinya peluang ini perlu
diikuti dengan suatu konsepsi dalam kerangka yang lebih lengkap.
Memperhatikan pada kondisi Aceh, maka pada kesempatan ini kami
akan sedikit mengulas dan menawarkan konsepsi “Tatakelola KKPD
Berbasis Sosial-Ekologi Sistem” sebagai salah satu alternatif atau model
yang dapat dikembangkan ke depan.
Integrasi Panglima laot dalam Tatakelola Kawasan Konservasi
Perairan Daerah Berbasis Sosial Ekologi Sistem
1. Pengenalan Tatakelola dan Pendekatan Sosial Ekologi Sistem
[52]
Kawasan Konservasi
Adanya KKPD di wilayah perairan kabupaten (Peraturan Pemerintah
No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan), sejogyanya
perlu diikuti oleh tatakelola (governance)7 untuk menjaga keberlanjutan
pengelolaan kawasan itu sendiri. Banyak definisi yang mengemuka
tentang tatakelola terhadap sumberdaya alam, namun yang paling dekat
untuk tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah definisi
rumusan Jones et al. (2011) untuk United Nation Environment
Programe (UNEP) yang menyebutkan bahwa tatakelola mengarahkan
perilaku manusia dengan mengkombinasikan peran masyarakat,
pemerintah dan insentif pasar dalam rangka mencapai tujuan strategis.
IUCN menyebutkan bahwa tujuan strategis pembentukan kawasan
konservasi dalam satu hamparan geografis didikasikan dan dikelola
secara legal untuk menkonservasi alam dalam jangka panjang dan
menyatu dengan jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya. Tujuan strategis
7 Seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi untuk menentukan
keputusan…the process of decision-making and the process by which
decisions are implemented by using the principle of participation, concesus
oriented, accountable, transparent, responsive, equitable and inclusive,
effective and efieisein, and follow the rule of law (UNESCAP). “the systems
and processes concerned with ensuring the overall direction, effectiveness,
supervision and accountability of an organisation.”
18. ini juga di adop dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di
Indonesia.
Jika tawaran UNEP yang dikemukan Jones et al. (2011) dapat
diterima dalam tatakelola KKPD, maka setidaknya ada tiga perpektif
yang perlu diperhatikan yaitu pendekatan dari atas ke bawah (top-down),
pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan
insentif pasar (market-incentive). Ketiga pendekatan tatakelola KKPD
ini akan bermuara kepada pengelolaan sumberdaya perikanan
umumnya yaitu pengelolaan secara co-management. Namun dalam
kontek tatakelola KKPD ini juga perlu diarahkan dan menempatkan
pendekatan ekosistem sebagai basis pengelolaan dan menjadikannya
unsur yang sangat penting dan strategis. Namun, pendekatan ini juga
perlu menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai komponen
penunjang tatakelola KPPD. Kedua pendekatan inilah yang dikenal saat
ini sebagai pendekatan sistem sosial ekologi.
Kajian Jones et al. (2013) menyebutkan bahwa dari sisi top-down
dibutuhkan kontrol negara melalu hukum dan regulasi lainnya untuk
memastikan keanekaragaman hayati dan sumberday alam sebenarnya
terproteksi untuk mencegah terjadinya degradasi dan kerusakan. Dalam
konteks ini, jika diimplementasikan di Indopnesia, maka akan sangat
jelas sekali bahwa peran Negara adalah membuat undang-undang
dengan berbagai perangkat hukum dan kebijakan menjadi sangat
penting, sehingga ada jaminan hukum dan keuangan dalam melakukan
proteksi keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Produk-produk
hukum yang mengarah adanya peran Negara sudah dilahirkan, sebagai
contoh UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan bebeberapa UU
lainnya (lihat Tabel 1). Bahkan di Aceh sendiri, produk peraturan
dearah atau lebih dikenal saat ini dengan sebutan qanun (lihat Tabel 1)
sudah banyak berpihak kepada adanya upaya proteksi sumberdaya ikan
dan ekosistemnya. Peran negara yang diwakili oleh pemerintah dan
beberapa pemerintah daerah sudah tampak dengan semakin luasnya
kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan. Namun kondisi ini
masih sangat jauh berbeda jika menilik keberadaan KKPD di Aceh.
Kedua, dari pandangan bottom-up dituntut adanya adopsi
pendekatan berbasis masyarakat dalam rangka tatakelola wilayah yang
dilindungi yang mendedapankan desentralisasi keputusan dan
[53]
19. penguatan masyarakat local melalui pelibatan mereka baik dalam
musyawarah dan pengambilan keputusan. Saat ini pendekatan model
ini sudah banyak disososialisasikan dan diimplementasikan karena
mempertimbangkan pengetahun lokal (local knowledge) dan adat
istiadatnya yang mempraktekkan pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan, serta dianggap sesuai dengan kebutuhan konservasi
keanekaragaman hayati. Keberhasilan pendekatan seperti ini sudah
terbukti pada masyarakat adat di Ambon yang menerapkan adanya sasi
(aturan) tutup perairan saat musim tertentu, terutama saat ikan akan
bertelur dan sasi buka saat ikan boleh ditangkap kembali, terbukti
efektif untuk pelestarian jenis ikan sampai dengan saat ini. Di Aceh
sendiri, adanya beberapa hukum adat laut terhadap larangan perusakan
ekosistem, terutama terumbu karang setidaknya memberikan peran
dalam pelestarian ikan, terutama wilayah perairan PLL yang memiliki
ekosistem terumbu karang seperti di Iboih Kota Sabang.
Dan ketiga, market-incentives setidaknya diperlukan sebagai: (1)
dukungan alternatif untuk keberlanjutan matapencaharian yang
relavan, (2) dalam perhitungan nilai ekonomi jasa keanekaragaman
hayati sebagai modal alam dan ekosistem sebagai penyeimbang
pengembailan keputusan untuk mengeksploitasinya, dan (3)
penekanan pada hak-hak sumberdaya alam dalam memperbaiki
tatakelola sumberdaya alam untuk pengembangan ekonomi yang lebih
rasional. Pendekatan ini sangat rasional, mengingat bahwa masyarakat
sekitar kawasan konservasi terutama yang bermata pencaharian
sebagai nelayan perlu diberikan insentif ekonomi jika mereka berhasil
mengelola kawasan konservasi, karena mereka sudah mematuhi untuk
mengurangi luasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan
barangkali mereka akan mengembangkan rumpon-rumpon laut dangkal
sebagai alternatif wilayah penangkapan. Dalam kontek inilah
pemerintah perlu memberikan kemudah-kemudahan kepada nelayan
yang memasarkan produk-produk perikanan dan dapat juga
memberikan subsidi bahan bakar minyak atau dalam bentuk program
pengadaan rumpon, sehingga mengurangi biaya operasional yang
dikeluarkan oleh nelayan.
Integrasi ketiga aspek diatas dalam pengelolaan KKPD juga perlu
diikuti dengan menngabungkan (incorporating) pendekatan sistem
sosial ekologi (social-ecological system, SES) dalam perlindungan
[54]
20. kawasan tersebut. Pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem
(ecosystem based management) sudah sering dikaji dan sudah
diimplementasikan untuk pengelolaan perikanan dan daerah
perlindungan laut baik mengikuti kerangka kerja (framework) FAO
maupun IUCN. Namun pendekatan SES mulai dikenal ketika Berkes dan
Folke (1998) mengemukan alasan bahwa mereka menolak anggapan
dimensi sosial atau ekologi memiliki bobot yang berbeda, tetapi harus
memiliki bobot yang sama dan terhubungkan (link) dalam mengelola
sumberdaya alam. Mereka menyebutkan bahwa interaksi komponen
SES yang terdiri ekosistem (ecosystem), manusia dan teknologi (people
and technology), pengetahun lokal (local knowledge), dan hak kepelikan
(property right) yang akan membentuk pola interaski dan keberlanjutan
social, begitu juga sebaliknya bahwa pola interaksi dan keberlanjutan
social akan mempengaruhi pola hubungan setiap komponen SES.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ostrom (2009) kembali
mengemukakan pandangannya bahwa pengelolaan sumberdaya alam
termasuk perikanan perlu di analisis dengan menggunakan kerangka
pendekatan SES, karena kerusakan sumberdaya perikanan sangat
dipengaruhi system lainnya dan salah satunya adalah sistem sosial. Di
Indonesia sendiri, kajian pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dengan menggunakan pendekatan SES setidaknya telah dilakukan oleh
Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE)
Project- Leibniz Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) yang
mengkaji interaksi sosial dan ekologi di Kepulauan Spermonde (Provinsi
Sulawesi Selatan), Sagara Anakan (Kabupaten Cilacap) dan Dearah
Aliran Sungai Siak (Provinsi Riau) dalam kurun waktu 2003-2007.
Adapun tujuan akhir dari penerapan pendekatan SES dalam kontek
KPPD adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan
ekosistemnya.
Namun akhir-akhir ini, kajian penerapan pendekatan SES dalam
pengelolaan kawasan konservasi atau daerah perlindungan (protected
area) mulai menjadi wacana. Pada tanggal 22 Januari 2014, Jurnal
BioScience mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan Palomo
dan kawan-kawan dengan judul “Incorporating the Social-Ecological
System Approach in Protected Areas in the Anthropocene”. Ide Palomo
dan kawan-kawan muncul sebagai kegelisahan mereka akibat
berlanjutnya penurunan terhadap keanekargaman hayati (Butchart et
[55]
21. al., 2010) walaupun sampai akhir 2013 luasan daerah perlindungan
mencapai 12,7% di darat dan 1,6% di laut (Bergzky et al., 2012).
Palomo et al. (2014) menyebutkan bahwa pendekatan atau konsep
daerah perlindungan terus berevolusi dari pendekatan pulau (island
approach) (era 1872-1980) kepada pendekatan bentangan atau
kawasan (landscape approach)(era pertengahan 2000-saat ini). Mereka
memperkirakan bahwa pendekatan terakhir ini akan berubah lagi
kepada pendekatan social ekologi (SES approach)(saat ini-masih tanda
tanya). Ada beberapa evolusi terhadap atribut yang terkandung dalam
setiap konsep dan sebagai gambaran dapat dilihat perbedaan antara
landscape approach and SES approach (Paloma, 2014)(lihat Tabel 2)
Tabel 2.
Perbandingan Antara konsep kawasan perlindungan dengan
pendekatan landscape approach dan social-ecological approach
Atribut Pendekatan untuk daerah perlindungan
Tipe pengelolaan Dinamis: perubahan-perubahan
alam perlu
[56]
dipertimbangkan
Adaptif: perubahan alam
dan sosial seharusnya di
gabungkan dalam
pengelolaan
Pertimbangan
nilai konservasi
Nilai intrisik ekosistem,
keanekaragaman, proses-proses
ekologi (fungsi,
integritas ekologi), nilai-nilai
budaya
Nilai intrisik dan
instrumental ekosistem dan
keanekaragaman (jasa
ekosistem)
Pelibatan
pengetahuan
Ilmiah dan teknis Ilmiah, teknis, dan
pengetahuan ekologi local
Resiliensi
melawan
gangguan
Sedang-tinggi Tinggi
Kompetisi
melawan
peruntuhan
lahan lainnya
Kompetisi sangat tinggi
karena kebutuhan terhadap
lahan sangat tinggi
Koperatif karena
menggunakan pendekatan
multifungsi lahan
Keterlibatan
penduduk lokal
Penduduk lokal terlibat
dalam proses pengelolaan
Benar-benar dikelola oleh
penduduk lokal
22. [57]
partisipatif
Pengelaan
kawasan
Tidak memadukan
pengelolaan terpadu,
pengelolaan di arahkan
untuk menghindari
ancaman terhadap kawasan
Memadukan pengelolaan
kawasan, pengelolaan
kawasan dilakukan secara
menyeluruh
Sumber: Paloma et al. (2014)
Pengelolaan daerah perlindungan saat ini ada beberapa
keterbatasan. Paloma et al. (2014) setidaknya mengidentifikasi 3
keterbatasn daerah perlindungan saat ini, yaitu: (1) tidak
mempertimbangkan adanya perubahan yang berakibat langsung dan
tidak langsung serta cenderung terisolir, (2) kurang tepatnya lokasi dan
ukuran daerah perlindungan, dan (3) tidak terhubungkan antara daerah
perlindungan dengan masyarakat. Untuk menjawab adanya
keterbatasan tersebut, maka Paloma et al. (2014) menawarkan
pendekatan daerah perlindungan perlu mempertimbangkan
keterpaduan system sosial ekologi dan ilmu sosial ekologi, peningkatan
dukungan sosial, proses partisipasi dan co-management untuk
mengurangi konflik sosial, pelibatan beragan institusi pada tatakelola,
pelibatan penerimba manfaat jasa ekosistem dalam proses perencanaan,
pemahaman adanya kesenjangan kawasan terhadap jasa ekosistem, dan
hindari kesalahan penentuan lokasi dan perbedaan peran dalam
kawasan perlindungan yang multi fungsi. Memang apa yang dikemukan
oleh Paloma dan kawan-kawan barangkali lebih terkesan pada daerah
perlindungan di darat, namun konsep ini tidak salah juga jika
diterapkan terhadap daerah perlindungan laut dengan menyesuaikan
dan memperhatikan karakteristik sosial ekologi wilayah pesisir dan
laut.
Dengan memperhatikan pada penjelasan dan argumentasi di
atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa tatakelola kawasan
konservasi perairan yang baik perlu memperhatikan keberlanjutan
sumberdaya ikan dan ekosistemnya, adanya pelibatan pemerintah dan
masyarakat (setidaknya diwakili kelembagaan lokal), dan kemanfaatan
kepada masyarakat. Mempertimbangkan pada kondisi dan keberadaan
sumberaya ikan saat ini, barangkali pendekatan tatakelola kawasan
konservasi perairan berbasis sosial ekologi sistem dapat diterapkan di
23. Aceh. Penjelasan berikut akan terbatas kepada bagaimana membangun
kontruksi peran PLL dalam tatakelola dan implementasi rencana
pengelolaan KKPD ke berbasis sosial ekologi sistem ke depan.
2. Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok ke dalam Tatakelola
[58]
Kawasan Konservasi
Keberhasilan pengelolaan KPPD sangat ditentukan oleh adanya
peran secara kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah, NGO
dan kelembagaan lokal (indigenous institution). Memperhatikan pada
kondisi dan sejarah Aceh, maka model tatakelola yang sesuai untuk
mengelola KKPD adalah model tatakelola secara kolaboratif8. Secara
umum model semacam ini sudah banyak diterapkan pada berbagai
kawasan konservasi laut di seluruh dunia dan Indonesia. Barangkali
contoh yang menarik untuk di tiru adalah model pengelolaan KPPD di
wilayah perairan Raja Ampat. Menurut Rumetna et al. (2011) Raja
Ampat yang memiliki 7 unit KKLD9 di bentuk kedalam satu jejaring
KKLD dengan membentuk satu struktur tatakelola mengikuti arahan
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan dan KKLD Raja Ampat memang harus dikelola secara
terpadu. Dalam model struktur tatakelola KKLD Raja Ampat
sebagaimana telah disyahkan melalui Peraturan Bupati Raja Ampat
No.16 Tahun 2009 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kelautan dan Perikanan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten
Raja Ampat, jelas tercermin bahwa tatakelola yang dikembangkan
melibatkan unit pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Raja Ampat) dan unsur masyarakat lokal (unit pengelolaan
KKLD setempat)10. Dalam mengembangkan model ini peran NGO sangat
membantu, karena seperti pada kasus pembnetukkan KKLD Raja Ampat,
8 Teori kolaboratif mempertimbangkan perilaku negoisasi antar organisasi dan
proses social. Pada tataran pengelolaan, maka koolaboarat- dapat
dideoifikaskan sebagai adanya bagi-bagi (sharing) kekuasaan dan
tanggungajawab antaran pemerintah dan masysarakat (Pinto da Silva, 2004)
9 KKLD Ayau-Asia, KKLD Wayag-Sayang, KKLD Teluk Mayalibit, KKLD Selat
Dampier, KKLD Kofiau dan KKLD Misool Timur Selatan, dan KKLD di Waigeo
Barat Daya
10 Kepala UPTD dan unsur tatausaha merupakan pegawai pemerintah yang
ditetapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan berstatus
fungsional. Sementara unit-unit pengelola KKLD masing-masing wilayah
merupakan unsur masyarakat local yang bersifat non structural.
24. The Nature Consevartion memiliki peran sebagai fasilitator dan
mediator mulai dari tahapan inisiasi, lanjutan, sampai tahapan finalisasi.
Pastinya keberhasilan pembentukan KKLD Raja Ampat tidak terlepas
dari peran-peran masyarakat local secara pro aktif yang ingin
memperbaiki tingkat kesejahteraan dan menjaga kelestarian
sumberdaya, utamanya ikan dan ekosistem terumbu karang.
Pada model tata kelola kolaboratif terdapat beberapa peran
strategis dan penting yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau
kelembagaan lokal. Pada tatakelola dengan pendekatan co-management,
maka 5 peran penting dan strategis masyarakat yang
meliputi peran instructive, consultative, co-operative, advisory, dan
informative; perlu diperhatikan dan diseimbang dengan peran
permeintah (Sen and Neilson, 1996). Dalam konteks ini masyarakat
lokal diwilayah pesisir dan laut Aceh dapat direpresentasikan oleh PLL
dapat memainkan 5 peran sebagaimana yang dirumuskan dalam
spektruk co management. Pendekatan model ini atau disebut juga
pendekatan desentralisasi tatakelola (desentralized governance) telah
diadopsi dan diimplementasikan oleh Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia untuk keperluan tatakelola kawasan konservasi
laut (Jones et al, 2013). Mereka menyebutkan pendekatan ini dicirikan
oleh adanya perpaduan pendekatan top-down, buttom-up, dan market
incentive.
Mempertimbangkan pada penjelasan di atas, maka PLL memiliki
multi peran dalam tatakelola KKPD. PLL harus mampu menempatkan
diri sebagai wakil nelayan mulai dari tahapan inisiasi, perencanaan, dan
pelaksanaan pengelolaan LLD sesuai dengan peran-peran yang di adopsi
dari spektrium co management. Sebagai contoh, PLL yang mengelola
nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya ikan harus dapat menawarakan
dan mentranfer pengetahuan lokal sesuai dengan kondisi sosial dan
budaya setempat untuk membangun tatakeloa KKPD yang baik.
Disamping itu, PLL perlu membantu pemerintah melalui unit
pengelolaan yang dibentuk nantinya dalam menyusun kerangka dan
penegakan hukum dalam pengelolaan KKPD dan melestarikan
sumbereaya ikan dan ekosistemnya. Secara rinci peral PLL dalam
kerangka tatakelola KKPD dapat dilihat pada Tabel 3.
[59]
25. Tabel 3.
Peran PLL pada tahapan inisiasi, pengembangan rencana, dan
pelaksanaan menggunakan pendekatan spectrum co management
Peran Tahapan
Inisiasi Penyusunan dan
Pengembangan
Rencana
[60]
Pelaksanaan
Informatif Pro- aktif
melakukan
identifikasi
potensi wilayah
yang dapat
diusulkan
menjadi
kawasan
konservasi
perairan
Memberikan
informasi
tatakelola
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
secara lokal,
Menyampaikan
kedinamisan
perubahan
kondisi social,
ekonomi,
budaya, dan
konflik antar
nelayan;
Menyampaikan
kondisi
sumberdaya
perikanan
Menyampaikan
fungsi regulasi,
eksekutur dan
yudikator yang
perannya
Pro-aktif
melaporkan
permasalah dan
konflik yang
terjadi dalam fase
pengelolaan
KKPD;
Menyampaikan
data dan
informasi hasil
tangkapan ikan
pada zona
pemanfaatan dan
penyangga
Penasehat
(Advisory)
Sosialisasi
pentingnya
kawasan
konservasi laut
kepada nelayan;
Menginformasik
an pola
pendekatan yang
tepat dalam
memahami
perilaku nelayan
Mendampingi
nelayan setiap
proses
pengambilan
keputusan;
Mengarahkan
nelayan untuk
menyampaikan
aspirasi yang
positif dan
partisipa aktif
dalam
Menjalin
kerjasama dengan
PLL lainnya yang
memiliki jejaring
pengelolaan
KKPD;
Membuka
peluang
kerjasama dengan
lembaga
tradisional
lainnya untuk
26. penyusunan
dokumen
perencanaan;
Menyampaikan
informasi
kepada mediator
atau fasilitator
tentang
tatalaksana
penyelesaian
konflik, dan
pemberlakuan
sangki adat laot
kepada para
pelanngar
[61]
pengelolaan
secara terpadu
kawasan
konservasi
perairan
Kooperatif Mengarahkan
nelayan untuk
berpikir positif
akan manfaat
adanya KKPD;
Membuka
peluang
kerjasama
pengelolaan
secara
kolaboratif
KKPD
Pro aktif dalam
setiap
pengambilan
keputusan
tentang zonasi,
renacana
pengelolaan, dan
rencana aksi
KKPD;
Mengedapan
musyawarah
untuk mufakat
setiap
pengampilan
keputusan
tentang
dokumen
perencanaan;
Memadukan dan
menyatukan diri
dengan pihak
pengelola yang
dibentuk oleh
pemerintah
kabupaten dalam
struktur
tatakelola KKPD,
walaupun sifatnya
sukarela dan non-struktural;
Melaksanakan
tugas-tugas
implementasi
program,
monitoring, dan
pengawasan
secara sukarela
Konsultatif Pro-aktif
bertanya
terhadap arti
penting adanya
KKPD
Menawarkan
penerapkan
pengetahun local
tentang hokum
adat laot yang
berkaitan dengan
pelestarian
sumberaya ikan
dan ekosistem
Menyampaikan
evaluasi terhadap
program yang
telah
dilaksanakan
Menyapaikan
saran dan nasehat
untuk perbaikan
program
selanjutnya
27. [62]
Instruktif Mengarahkan
nelayan
memberikan
informasi yang
benar dan
akurat bila
ditanya pihak
pemerintah dan
fasilitator
(NGO)
Partipatif dan
secara sukarela
dalam
mendampingi
mediator dan
fasilitator dalam
melakukan survey,
dan pertemuan-pertemuan
Mengarahkan
nelayan untuk
mematuhi aturan
dan sangsi adat
laut;
Memberikan
sangsi kepada
nelayan yang
melanggar adat
laut tentang KKPD
Sumber: Hasil Analisis (2014)
Pada akhirnya PLL dapat memainkan perannya dalam
membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara
kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara
berkelanjutan. Diharapkan PLL dapat membantu mengadopsi 8 prinsip
tatakelola yang baik yang telah dikembangkan United Nation
Development Program (UNDP), yaitu: adanya partisipasi masyarakat
dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak
langsung, rule of Law yang ditandai dengan membangun kerangka
hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, keterbukaan
(transparency) yang dibangun atas dasar kebebasan memperoleh
informasi berkaitan dengan kepentingan public, tanggungjawab
(responsiveness) yang ditandai adanya lembaga-lembaga publik yang
cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder, orientasi konsesus
(consensus orientation) kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas,
kesetaraan (equity) kesempatan untuk setiap masyarakat untuk
memperoleh keadilan, efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber
daya publik, dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability) kapada
publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.