SlideShare a Scribd company logo
1 of 27
Download to read offline
BAGIAN DUA 
Panglima Laot dapat memainkan perannya dalam membangun 
tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan 
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara 
berkelanjutan. 
Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan 
Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem 
[Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao] 
Selama tahun 2007 hingga tahun 2012 tidak ada satupun Qanun 
Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan berkaitan dengan sektor 
kelautan dan perikanan. 
Dukungan Regulasi dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan 
di Kabupaten Aceh Besar 
[Muhammad Insa Ansari] 
Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang 
sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. 
Namun, lebih dari itu karena sektor kelautan dan perikanan merupakan 
basis perekonomian nasional. 
Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh Menuju Perikanan dan Kelautan 
yang Berkelanjutan 
[Sitti Zubaidah] 
Agar sumberdaya laut tetap lestari atau berkelanjutan (sustainable), 
negara (pemerintah) juga harus mengawasi alat tangkap nelayan yang 
diketahui tidak ramah lingkungan. 
Pengelolaan Perikanan Aceh dalam Perspektif Islam: Menuju 
Perikanan Aceh yang Mandiri dan Lestari 
[Hafinuddin bin Hasaruddin] 
[36]
4 
Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan 
Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem 
[Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao] 
[37] 
Pendahuluan 
Perairan laut Aceh1 berkontribusi positif terhadap produksi 
perikanan laut nasional dalam satu dekade terakhir. Namun, dalam 
kurun waktu 2003-2011, kontribusi perikanan tangkap Aceh cenderung 
menurun. Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan 
(2012), sekitar 135.040 ton atau 3,08% dari produksi perikanan laut 
Indonesia berasal dari Aceh pada 2003, kontribusi tersebut menurun ke 
2,73% pada 2011. Fluktuasi produksi nampak sekali dalam kurun 
waktu 2003-2011; terutama 2004, 2005, 2008, dan 2010 dengan 
pertumbuhan produksi -22,92%, -20.76%, -0.41%, dan -8.72% secara 
berurutan (Hasil Analisis, 2014). 
Kondisi produksi perikanan Aceh tidak terlepas dati status 
sumberdaya ikan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 dan 
572 yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Disinyalir bahwa WPP 
571 dan 5722 masuk dalam kategori baik dan sedang, ditinjau dari 
komposisi sumberdaya ikan (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan 
Nomor 45 Tahun 2011). Namun disebutkan dalam Kepmen tersebut 
bahwa beberapa jenis ikan pelagis dan demersal telah mengalami 
1 Untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan, perairan laut 
Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) (Surat 
Keputusan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor 45/MEN/2011). 
Perairan laut Aceh terletak pada WPP 571 (Selat Malaka) dan 572 (Samudera 
Hindia). 
2 Mencakup perairan Selat Malaka di pantai timur dan Samudera HIndia di 
Pantai Barat Aceh
tangkap lebih (overfishing). Sebagai contoh, Imran dan Yamao (2014) 
melaporkan bahwa sumberdaya teri sebagai salah satu jenis ikan pelagis 
kecil sudah mengalami overfishing sejak sebelum tsunami dan terus 
memburuk kondisinya dalam kurung waktu 2007-2012 di Teluk Krueng 
Raya yang terletak pada WPP 571. 
Hal yang sama juga dialami ekosistem pesisir, terutama terumbu 
karang dan mangrove yang terus terdegradasi dalam kurun waktu 
tersebut. Aceh memiliki luas terumbu karang mencapai 152,34 km2 
berdasarkan data citra satelit tahun 2000-2002 (Aceh Ocean Coral, 
2012). Namun masih sedikit penelitian untuk memastikan bagaimana 
kondisi ekosistem terumbu karang tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahun 
Indonesia melaporkan bahwa ada kecenderungan terjadinya degradasi 
kondisi terumbu karang di Aceh, baik disebabkan secara alami maupun 
karena faktor aktivitas manusia (anthropogenik). Gempa dan tsunami 
24 Desember 2004 semakin memperparah kerusakan eksositem ini 
yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh. 
Hasil survei Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2009) menunjukkan 
bahwa persentase tutupan karang keras hanya berkisar 0-25%. 
Sementara pendataan 2008-2010 terhadap 91 total lokasi yang di 
survey, menunjukkan bahwa hanya 14 lokasi tergolong dalam kondisi 
baik (Aceh Ocean Coral, 2012). 
Ekosistem mangrove pun mengalami degradasi dari waktu ke 
waktu. Hanya tersisa 105.260 ha setelah tsunami dan bertambah 
menjadi 422.703 ha setelah adanya rehabilitasi dan rekontruksi, namun 
160.876 ha dalam kondisi rusak berat (Badan Pengelolaan Daerah 
Aliran Sungai Krueng Aceh, 2007). Selain disebabkan oleh tsunami, 
penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove adalah konversi 
menjadi lahan tambak dan pemanfaatan kayunya untuk berbagai 
peruntukkan. 
Fluktuasinya sumberdaya ikan dan rusaknya ekosistem utama 
pesisir merupakan ancaman bagi keberlanjutan mata pencaharian 
nelayan dan sekaligus mengingatkan akan arti pentingnya konservasi 
perairan dimasa mendatang. Berbagai produk kebijakan dan peraturan 
perundang-undangan pemerintah Indonesia telah memberikan koridor 
untuk konservasi sumberdaya alam dan ekosistem di wilayah pesisir 
dan laut. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah 
[38]
mengeluarkan beberapa peraturan menteri dan pedoman tentang 
kawasan konservasi perairan. Dari semua itu, hal yang menarik disimak 
adalah terbukanya peluang pelibatan kelembagaan traditional atau 
nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan kawasan 
konservasi perairan tersebut. 
Aceh sebagai daerah otonom memiliki posisi tawar yang kuat 
dan melalui UU Nomor 11/2006 telah diberikan kewenangan secara 
khusus untuk mengelola kawasan konservasi perairan. UU ini 
memberikan ruang kepada Pemerintah Aceh untuk pelibatan 
kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sudah lama 
eksis, yaitu Panglima Laot, khususunya pada tingkat lhok. 
Secara luas telah diketahui bahwa Panglima Laot Lhok (PLL) 
memiliki peran dan fungsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan 
dan nelayan dalam batas-batas pengelolaan tertentu3. Sebagaimana 
diketahui bahwa peran sosial, budaya dan politik sudah banyak 
dikontribusikan oleh lembaga ini. Namun peran konservasi secara 
gamblang sangat jarang mengemuka, walaupun peran ini juga melekat 
pada PLL. Sebagai contoh, PLL Kruang Raya (2012) menyebutkan 
bahwa peran lembaga ini terkait dengan konservasi diantaranya 
mengingatkan para nelayan untuk tidak memotong pohon mangrove 
dan merusak terumbu karang. Peran ini dilakukan karena mereka sadar 
akan fungsi kedua ekosistem ini terhadap kelestarian sumberdaya ikan. 
Namun bila dikaji lebih jauh, peran konservasi terhadap kedua 
ekosistem ini dan sumberdaya alam yang berasosiasi di dalamnya masih 
belum berjalan dengan optimal. 
Memang sudah banyak upaya pengelolaan sumberdaya ikan 
sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources, CPRs) 
dan kawasan konservasi perairan melalui kelembagaan formal baik 
dengan membentuk WPP atau badan/kelembagaan konservasi seperti 
taman nasional laut. Bahkan unit-unit dalam skala kecil seperti unit 
pengelolaan teknis Kawasan Konservasi Laut Daerah pun sudah mulai 
dibentuk di beberapa daerah di Indonesia. Namun yang menarik 
3 Umumnya batas-batas pengelolaan PLL adalah satu hamparan ekosistem 
(ecosystem boundaries) tertentu seperti muara, teluk, atau pantai); dan 
kebanyakan wilayah administrasinya berhimpitan dengan batasan 
administrasi kemukiman yang terdiri dari beberapa desa. 
[39]
dicermati adalah keterlibatan kelembagaan lokal seperti awig-awig di 
Nusa Tenggara Barat dan sasi di Ambon yang tetap mampu menjadi 
kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Belajar dari kedua 
kelembagaan tradisional ini, maka tidak salah jika mengharapkan PLL 
berbuat lebih banyak untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan 
dan ekosistem pesisir Aceh di masa yang akan datang. 
Beranjak dari kondisi dan fakta-fakta di atas, maka tulisan ini 
secara umum akan menguraikan suatu tinjauan terhadap perlu tidaknya 
membangun konstruksi tata kelola PLL dalam kegiatan konservasi 
perairan daerah (KKPD). Lebih khusus bertujuan: (1) identifikasi peran 
panglima laot terhadap konservasi sumberdaya perairan, dan (2) 
integrasi pelibatan panglima laot lhok dalam pengelolaan kawasan 
konservasi laut daerah. 
Tinjauan Peran Panglima Lhok dalam Konservasi 
PLL4 memliki peran-peran strategis dalam pengelolaan kegiatan 
perikanan tangkap di Aceh. Tak dapat dipungkiri bahwa peran lembaga 
tradisional ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hiruk pikuk 
kondisi sosial-budaya-politik serta isu industrilisasi dan modernisasi 
perikanan. Namum sebagai entitas dan keterwakilan masyarakat 
nelayan, lembaga ini masih tetap eksis dan bertahan lebih dari 400 
tahun. Lembaga tradisional ini memeliki peran sosial untuk mengelola 
sejumlah nelayan dalam satu batasan social-ekologi. Peran social yang 
dominan adalah pengaturan hubungan antara manusia dengan sang 
pencipta dan hubungan manusia dengan manusia. Peran-peran lain 
yang menonjol adalah pengaturan atau regulasi terhadap tatacara 
pemanfaatan sumberdaya ikan baik dalam wilayah pengelolaannya 
4 Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan 
lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan 
mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan 
sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan 
(Nasution 2012). Satu unit entitas kelembagaan panglima laot lhok di batasi 
oleh batasan pengelolaan yang merujuk kepada teluk, estuary atau kuala, 
pantai, atau dapat juga sejumlah pulau-pulau kecil. Satu lhok biasaya 
dipimpin oleh seorang panglima laot lhok yanh dipilih dari pawang-pawang 
senior dan dilengkapi dengan seperangkat struktur organisasi sesuai dengan 
kondisi lhok tersebut. 
[40]
ataupun di luar wilayah kewenangnya yang diatur atau dimediasi oleh 
panglima laot di tingkat kabupaten atau pun provinsi. 
Dalam kehidupan masyarakat nelayan, setidaknya PLL memeliki 
4 peran utama, yaitu melestarikan hukum adat, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan 
dalam masyarakat nelayan; dan membantu pemerintah 
dalam pembangunan perikanan bila diminta. Di awal gagasan 
didirikannya pada masa Raja Isakadar Muda abad 16, lembaga ini lebih 
banyak berperan untuk memungut pajak laut dan (Abdullah et al., 
2006). Saat ini peran PLL terus berubah dan berkembang, bahkan 
belakangan lembaga ini juga berkiprah di bidang pendidikan karena 
kepeduliannya terhadap arti pentingnya pendidikan anak-anak nelayan. 
Pasca tsunami, lembaga adat ini juga peran membantu pemerintah dan 
lembaga donor mendistribusikan bantuan, membantu rehabilitasi dan 
rekonstruksi sektor perikanan, terutama pembangunan kembali kapal 
nelayan dan mendorong nelayan untuk kembali melaut. 
Seiring dengan perubahan dan perkembanan zaman, peran PLL 
juga ikut mengalami beberapa perubahan. Kurien (2008) menyebutkan 
bahwa adanya perubahan politik membuat lembaga ini juga mengambil 
peran untuk mediasi pelaksanaan program pemerintah. Sehingga tidak 
salah ia menyarankan model pendekatan manajemen kolaboratif atau 
collaborative management (selanjutnya disebut co-management) pada 
program Food Agricultural Organisation (FAO) memposisikan peran 
panglima laot untuk bermitra dengan pemerintah. Sebagai contoh, 
Yulianto (2008) menyebutkan bahwa indikasi terjalnnya pendekatan 
co-management antara pemerintah dan PLL tampak sekali dengan 
terjalinnya komunikasi dalam implementasi program pengelolaan 
perikanan di Kota Sabang. Ia menambahkan bahwa adanya 
pendelegasian peran pelestarian lingkungan dari pemerintah kepada 
lembaga ini. Wilson et al. (2012) menyebutkan bahwa Panglima Laot 
merupakan model skala besar pendekatan masyarakat (large scale 
communities based) dalam pengelolaan perikanan. Dengan bantuan 
lembaga ini, mereka menambahkan bahwa telah berhasil melakukan 
pemetaan secara partisipati daerah-daerah berbahaya dan puncak-puncak 
gunung di beberapa wilayah perairan laut Aceh, seperti di 
sekitar perairan Lampulo-Banda Aceh. 
[41]
Dari sekian banyak peran, nampaknya peran PLL sebagai 
pengawal konservasi jarang mengemuka ke permukaan. Biasanya 
peran-peran konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistem 
pendukungnya lebih bersifat sebagai aturan dalam hokum adat dan 
tidak terkait langsung dengan kegiatan konservasi. Peran-peran yang 
dimainkan lebih bersifat larangan dan sangsi yang diberlakukan kepada 
nelayan, dan itupun sangat jarang terdengar perbelakuan sangsi adat 
terhadap nelayan yang melanggar hukum adat. 
Hal ini ini dapat dipahami karena sejatinya PLL yang sudah eksis 
sejak abad ke 16 didesain sebagai pasukan cadangan dan memungut 
cukai di pelabuhan. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan terjadinya 
perubahan termasuk mengkonservasi sumberdaya perikanan, namun 
pada musyawarah lembaga hukom adat laut 6-7 Juni 2000 secara 
gamblang disepakati bahwa salah satu aspek adat laot adalah adat 
pemeliharaan lingkungan. Ada tiga poin penting arahan adat terhadap 
pemeliharaan lingkungan: (1) dilarang melakukan pemboman, 
peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan biota karang, dan 
bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota 
lainnya; (2) dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir 
pantai laut seperti pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan 
pohon lainnya yang hidup di pantai; dan (3) dilarang menangkap 
ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumbu, penyu dan lain 
sebagainya). Beberapa hasil penelitian mengemukakan juga bahwa dari 
3 aspek cakupan pelaksanaan hukum adat laot, dua aspek berkaitan 
langsung dengan masalah lingkungan, adalah (1) pengaturan 
penggunaan alat tangkap dan pencegahan penggunaan alat tangkap 
yang merusak lingkungan dan pembatasan wilayah penangkapan pada 
jarak tertentu terhadap habitat ikan; dan (2) pelarangan terhadap 
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, membuang 
sampah, membuang sisa bahan perbaikan kapal, dan membuang oli ke 
laut. 
Jika dianalisis lebih lanjut dari kedua aspek terakhir dan 
kesepakatan panglima laot, maka akan sangat menunjang kegiatan 
konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, namun tidak 
menjelaskan peran PLL dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi 
didalam wilayah kewenangannya. Sehingga dari 193 PLL yang ada saat 
ini, maka hanya satu dalam wilayah pengelolaannya terdapat kawasan 
[42]
konservasi laut yaitu PLL Iboih di Kota Sabang. Menurut Wildlife 
Conservation Society (2010), Project Aceh Weh Seascape telah berhasil 
menfasilitasi pengelolaan dearah perlindungan laut pertama yang 
dikelola oleh PLL. Dari 40% ekosistem karang yang potensial untuk 
dijadikan daerah perlindungan laut sebagai kawasan konservasi, maka 
sebagai prioritas telah di pilih wilayah PLL Iboih sebagai pilot proyek 
(Yulianto, 2008). Hal ini dimungkinkan karena antara kelembagaan 
pemerintah Kota Sabang dan PLL sudah terjalin komunikasi dalam hal 
rencana pengelolaan kawasan konservasi laut (Yulianto, 2008). Disisi 
lain, Pemerintah Kota Sabang menganggap bahwa lembaga tradisional 
ini memiliki kewenangan pengaturan pemanfaatn laut di wilayahnya 
dan dapat didelegasikan kewenanagan untuk kegiatan perlindungan 
jenis-jenis biota unik dan perlindungan dearah pemijahan (Yulianto, 
2008). 
Kemunduran Peran Konservasi Panglima Laot Lhok 
Keberadaan PLL memang tetap eksis, namun efektivitas 
perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan eksosistemnya 
terutama peran konservasi sudah mengalami pergeseran bahkan 
cenderung mengalami kemunduran. Memang tidak ada penelitian 
secara khusus mengkaji penurunan peran PLL terhadap konservasi 
sumberdaya ikan, habitat dan ekosistemnya. Hasil wawancara dengan 
Panglima Laot Krueng Raya (2012) menyebutkan bahwa peran PLL 
selain mengelola nelayan juga mengawal kegiatan konservasi 
sumberdaya ikan dan ekosistemsnya. Lebih lanjut, Pawang Zakaria 
selaku PLL menjelaskan bahwa kelembagaan yang dipimpinnya tidak 
saja mengelola para nelayan dari sisi sosial saja, tetapi juga membuat 
aturan-aturan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (SDI). 
Banyak faktor lain yang mempengaruhi efektivityas pengelolaan 
SDI. Kurniawan (2008) mengkaji sejumlah PLL di Kota Sabang dan 
menjelaskan bahwa cara penangkapan ikan di laut, pendapatan 
lembaga, batas-batas wilayah, kualitas sumberdaya manusia, system 
manajemen dalam usaha perikanan, dan faktor sarana dan prasanaran 
perikanan berkontribusi terhadap terhambatnya efektivitas pengelolaan 
sumberdaya ikan. Adanya hambatannya ini jelas akan sangat 
berpengaruh dan terjadi pergeseran terhadap peran PLL dalam 
[43]
mengawal adat-adat laot yang berkaitan dengan kegiatan konservasi 
sumberdaya ikan dan ekosistemnya. 
Untuk memperkuat apa yang menjadi argumen di atas, maka 
hasil observasi, diskusi kelompok dan wawancara mendalam yang kami 
lakukan terhadap 76 responden di wilayah PLL Krueng Raya dapat 
menjelaskan juga mengapa mundurnya peran PLL dalam kegiatan 
konservasi. Penelitian kami menyimpulkan bahwa menurunkan peran 
konservasi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kelembagaan 
tersebut. Sebagai lembaga non profit, faktor internal yang mendominasi 
kemunduran peran konservasi diantaranya kurangnya kepatuhan 
sukarela terhadap aturan adat yang telah ditetapkan untuk menjaga 
kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemenya, misalnya nelayan 
bagan (lift net boat) tetap saja menggunakan lampu melebihi dari 
ketentuan yang telah disepakati yaitu menggunakan lampu neon lebih 
dari 25 buah, bahkan ada yang menggunakan 40 buah. 
Disamping itu, tuntutan akan meningkatnya permintaan ikan 
teri baik kering dan segar telah mendorong para nelayan meningkatkan 
upaya (effort) penangkapan, terutama sebelum terjadinya tsunami. 
Akibatnya, sumberdaya ikan teri telah mengalami kelebihan tangkap 
dari 2.363,2 ton sumberdaya lestarinya yang diperbolehkan selama 
periode 1999-2004 (sebelum tsunami) (Imran and Yamao, 2014a). PLL 
tidak dapat mengendalikan jumlah kapal yang terus meningkat pada era 
1990-an dan akhirnya mencapai 89 unit bagan dalam kurun waktu 5, 
seharusnya jumlah bagan optimal yang dapat dioperasikan dalam kurun 
waktu tersebut sesuai rekomendasi model surplus produksi hanya 43 
unit (Imran and Yamao, 2014b). 
PLL dan para nelayan yang di jadikan responden (hampir 95%) 
di wilayah studi mengetahui dan memiliki pengetahuan pentingnya 
ekosistem mangrove dan terumbu karang untuk melestarikan 
sumberdaya ikan. Hal ini tercermin dari adanya adat laut untuk tidak 
menebang pohon bakau, aron (cemara laut) dan terumbu karang pada 
wilayah kewenangan PLL Krueng Raya. Dalam konteks ini nelayan yang 
bernaung dalam PLL Kreung Raya sangat menghormati dan mematuhi 
adat laut tersebut, namun konversi mangrove untuk tambak pada era 
1980-an tidak dapat dicegah oleh PLL karena status kepemilikan lahan 
sebagian besar bukanlah milik nelayan. Dan tsunami menambah parah 
[44]
kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini dan luasannya tinggal 5% 
pada 2012 (Imran and Yamao, 2014b). Begitu juga yang terjadi 
terhadap terumbu karang, misalnya di sekitar Tanjung Akhmad 
Ramanyang terus mengalami peningkatan kerusakan akibat 
meningkatnya aktivitas nelayan yang menggunakan potassium sianida 
untuk menangkap jenis-jenis ikan hias oleh para nelayan pendatang 
yang telah menetap di wilayah Kreung Raya, dan umumnya mereka 
tidak mematuhi adat laut yang telah ditetapkan. 
Lemahnya fungsi-fungsi pengelolaan PLL dan terbatasnya dana 
juga membuat lembaga ini tidak memiliki peran sampai pada tingkatan 
aksi pengelolaan kawasan konservasi. Artinya adat laot terhadap 
pelestarian sumberdaya ikan tidak diikuti oleh tindakan pengelolaan 
kawasan konservasi. Sebagai contoh di wilayah Teluk Krueng Raya 
yang memiliki laguna dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang 
tidak ada wilayah atau kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan 
konservasi. Di sisi lain keterbatasan pengetahuan tentang siklus 
reproduksi ikan pun telah membuat nelayan secara tidak sadar 
melakukan eksploitasi terhadap sumberaya ikan sepanjang siklus hidup 
ikan teri misalnya. Hasil penelitian Imran dan Yamao (2014a) 
melaporkan bahwa nelayan bagan menangkap ikan teri sepanjang tahun 
pada musim timur dan barat. 
Faktor internal lainnya adalah menurunnya kewibawaan PLL, 
terutama pasca tsunami. Para nelayan umumnya sangat menghormati 
peran dan fungsi lembaga yang mewadahi mereka, namun rasa 
kepatuhannya agak berkurang sebagai akibat kurang adilnya oknum 
PLL dalam mendistribusikan bantuan para donor dan pemerintah. 
Akibatnya konflik sering terjadi antara PLL dan nelayan. Sebagai 
contoh, nelayan bagan yang beralih profesi menjadi nelayan pancing5 
ada kontribusi oleh faktor ketidakadilan dalam pendistribusian bantuan 
bagan. Karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh PLL, 
akibatnya mereka mulai kurang mematuhi apa yang menjadi ketentuan 
adat laot, terutama yang berkaitan dengan konservasi, misalnya 
5 Umumnya nelayan pancing ini menangkap jenis-jenis ikan karang seperti 
kerapu pada ekosistem terumbu karang dan aktivitas labuh jangkar mereka 
di sekitar atau bahkan pada karang-karang yang masih hidup tanpa disadari 
sudah merusak ekosistem tersebut. 
[45]
merusak ekosistem terumbu karang dengan melempar jangkar pada 
karang yang masih hidup. 
Disamping faktor internal, beberapa faktor ekternal juga ikut 
mendorong semakin lunturnya penegakkan adat laut yang berkaitan 
dengan konservasi. Kepentingan pembangunan sektor lain, sering kali 
mengalahkan sub sektor perikanan tangkap. Acapkali pengembangan 
kegiatan industri seperti yang terjadi pada pembangunan pabrik 
pengolahan semen, aspal, dan depot penampung minyak di Teluk 
Krueng Raya tidak melibatkan secara aktif PLL. Akibatnya peran-peran 
PLL untuk menyampaikan berbagai adat laot termasuk yang berkaitan 
dengan konservasi menjadi sangat minim. Para pihak-pihak yang 
berkepentingan sering menghindar dari nilai-nilai kearifan lokal dan 
lebih mengutamakan pengakuan kelembagaan formal seperti unsur 
pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten, dan Provinsi dalam 
pengambilan keputusan. Kondisi semacan ini pun juga sering terjadi di 
wilayah PLL lainnya di Provinsi Aceh. 
Tsunami tidak saja berakibat pada jatuhnya korban jiwa, tetapi 
juga mempengaruhi terhadap nilai-nilai lokal yang telah lama 
berkembang di Aceh secara tidak langsung. Masuknya Non Government 
Organisation (NGO) dan organisasi donor baik dalam maupun luar 
negeri ikut berperan dalam membentuk tatanan nilai baru terhadap 
PLL. Karena kebanyakan program dan kegiatan yang mereka lakukan 
lebih berorientasi kepada pemulihan mata pencaharian perikanan 
tangkap, sehingga nilai-nilai atau adat laot yang berkaitan dengan 
konservasi sedikit terabaikan. Bahkan jarang sekali NGO atau lembaga 
donor yang membina dan membangun kembali nilai-nilai konservasi 
yang telah ada pada kelembagaan PLL. Walaupun ada, persentasenya 
sangat kecil (tidak sampai 1%), seperti yang dilakukan World 
Conservation Society terhadap PLL Iboih di Kota Sabang. 
Faktor eksternal lainnya adalah adanya peran pemerintah yang 
cenderung dominan dalam proses perencanaan suatu kawasan 
konservasi laut. Jika dominansi pemerintah terlalu dipertontonkan, 
maka bukan tidak mungkin peran PLL untuk mengelola kawasan 
konservasi perairan akan termajinalkan karena pemerintah 
mengganggap PLL tidak memiliki struktur dan sistem organisasi yang 
memadai, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan tidak 
[46]
tersedianya dana dalam mengelola kawasan konservasi perairan. 
Barangkali pemerintah berpikir lebih baik menyiapkan kelembagaan 
yang lebih formal dan memliki hubungan vertikal langsung, dapat 
berbentuk unit pelaksana teknis atau badan pengelola KKPD. 
Kebutuhan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Wilayah 
Pengelolaan Panglima Laot Lhok 
Kebutuhan terhadap keberadaan KKPD bagi Aceh sudah tidak 
dapat di tawar lagi. Kebutuhan ini didasarkan pada kajian aspek 
sumberdaya ikan, tersedianya perangkat hukum, kekuatan nilai-nilai 
kearifan lokal yang dimiliki nelayan Aceh, target pengembangan luasan 
kawasan konservasi perairan nasional, dan adanya pengakuan dunia 
international terhadap keberadaan kelembaaan orisinal yang peduli 
dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kesemua aspek ini ada 
yang bersifat tantangan, peluang, kekuatan dan kelemahan dalam 
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di masa 
mendatang. 
Aceh memliki sumberdaya perikanan tangkap yang besar dan 
berkontribusi terhadap produksi perikanan tangkap nasional. Namun 
kontribusi Aceh terus menurun dan hanya mencapai 2,73% pada tahun 
2011. Indikasi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Aceh sudah 
mulai menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kelimpahan 
(abundance). Namun, Komisi Nasional Stok Sumberdaya Ikan 
melaporkan bahwa kondisi beberapa unit stok sumberdaya ikan 
demersal dan pelagis pada WPP 571 dan 572 sudah mengalami tangkap 
lebih (over exploited), terutama jenis udang (shrimp), kakap merah (red 
snappers), banyar (indian mackerel) dan kembung (short body mackerel) 
pada tahun 2010 (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 
Tahun 2011). World Fish Center (2006) melaporkan bahwa 
sumberdaya ikan di perairan Selat Malaka telah berada pada kondisi 
tangkap lebih (overfishing). Kondisi ini diperkuat oleh oleh ekspedisi 
Lembaga Penelitian Pengetahun Indonesia pada 2006 yang melaporkan 
bahwa jenis ikan pelagis baik komposisi jenis maupun ukuran distribusi 
sudah mengalami penurunan. 
Di sisi lain, jumlah armada penangkapan ikan terus bertambah 
baik sebelum maupun setelah tsunami, terutama armada penangkapan 
ikan skala kecil. Menurut data statistik perikanan aceh, jumlah kapal 
[47]
yang beroperasi di Aceh mencapai 15.576 unit pada tahun 2004. 
Jumlah ini meningkat 44,7% dari jumlah 10.768 unit pada tahun 2002. 
Walaupun tsunami, jumlah armada penangkapan ikan tetap meningkat, 
dan mencapai 15.995 unit pada tahun 2012. Bila jumlah ini tidak 
dikendalikan, diprediksikan akan mengancam keberlanjutan 
sumberdaya ikan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. 
Namun tuntutan perluasan kawasan konservasi perairan 
nasional sudah menjadi target pemerintah Indonesia. Kementerian 
Kelautan dan Perikanan mentargetkan luasan konservasi perairan 
mencapai 20 juta ha pada tahun 2020, pada tahun 2013 luasannya 
sudah mencapai 13,9 juta ha. Namun sangat disayangkan di Aceh 
sendiri sampai dengan tahun 2013, secara resmi hanya tercatat satu 
kawasan konservasi laut, yaitu Teluk Pulau Weh melalui surat 
keputusan Menteri Pertanian Nomor 928/KPTS/U/12/82 untuk 
melindungi terumbu karang. 
Peluang ini telah ditangkap dengan baik oleh PLL dan 
pemerintah kabupaten untuk mengusulkan KKPD. Setidaknya sudah 
ada sembilan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang diusulkan 
menjadi KKPD yaitu Kecamatan Seulimum, Mesjid Raya, Baitusalam, 
Darussalam, Peukan Bada, Pulau Aceh, Lhoknga, Leupung, dan Lhoong, 
karena terdapat kawasan yang memiliki potensi sebagai tempat 
berkembang biak ikan-ikan dan terumbu karang (Panglima Laot 
Kabupaten Aceh Besar, 2012). Dan sebenarnya pemerintah Kabaupaten 
Aceh Besar telah mengusulkan dan menetapkan 16 kawasan yang 
dicadangkan sebagai kawasan konservasi perairan daerah melalu Surat 
Keputusan Bupati Nomor 11 dengan tujuan menjaga sumberdaya hayati 
ekosistem pesisir dan laut yang menjadi penunjang hidup masyarakat 
pesisir. 
Jika ditilik lebih lanjut Aceh sebagai daerah istimewa memiliki 
peluang besar untuk menginisiasi dan mengembangan KKPD dengan 
pelibatan PLL secara aktif. Berbagai produk perundangan-undangan 
dan qanun telah memberikan ruang kepada kelembagaan adat dalam 
hal ini PLL untuk megelola kawasan konservasi perairan (lihat Tabel 1). 
[48]
Tabel 1. 
Berbagai produk hukum menguatkan adanya pelibatan PLL dalam 
pengelolaan KKPD 
Produk Hukum Pasal/ayat/butir Isi 
[49] 
UU No. 45 Tahun 
2009 tentang 
Perubahan UU No. 
31 Tahun 2004 
tentang Perikanan 
Pasal 6 ayat 2 
Pengelolaan perikanan untuk 
kepentingan penangkapan ikan dan 
pembudidayaan ikan harus 
mempertimbangkan hukum adat 
dan/atau kearifan lokal serta 
memperhatikan peran serta 
masyarakat. 
Pasal 52 Pemerintah mengatur, mendorong, 
dan/atau penyelenggarakan penelitian 
dan pengembangan perikanan untuk 
menghasilkan pengetahuan dan 
teknologi yang dibutuhkan dalam 
pengembangan usaha perikanan agar 
lebih efektif, efisien, ekonomis, 
berdaya saing tinggi, dan ramah 
lingkungan, serta menghargai kearifan 
tradisi/budaya lokal. 
UU No. 1 Tahun 
2014 tentang 
Perubahan UU 
perubahan atas 
UU No. 27 Tahun 
2007 tentang 
Pengelolaan 
Wilayah 
Pesisir dan Pulau-pulau 
Kecil 
Pasal 60 
Ayat 1 
Butir c 
butir d 
mengusulkan wilayah Masyarakat 
Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K 
melakukan kegiatan pengelolaan 
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau 
Kecil berdasarkan hukum adat yang 
berlaku dan tidak bertentangan 
dengan ketentuan peraturan 
perundangundangan; 
UU No. 27 Tahun 
2007 tentang 
Pengelolaan 
Pesisir dan Laut 
Pasal 61 
Ayat 1 
Pemerintah mengakui, menghormati, 
dan melindungi hak-hak Masyarakat 
Adat, Masyarakat Tradisional, dan 
Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir 
dan Pulau-Pulau Kecil yang telah 
dimanfaatkan secara turun-temurun
[50] 
Ayat 2 
Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, 
Masyarakat Tradisional, dan Kearifan 
Lokal sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dijadikan acuan dalam 
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan 
Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan 
UU No. 11 Tahun 
2006 tentang 
Pemerintah Aceh 
Pasal 162 
Ayat 2 butir e 
Pemeliharaan hukum adat laut dan 
membantu keamanan laut 
UU No. 32 tahun 
2004 tentang 
Pemerintah 
Daerah 
Pasal 2 
Ayat 9 
Negara mengakui dan menghormati 
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum 
adat beserta hak tradisionalnya 
sepanjang masih hidup dan sesuai 
dengan perkembangan masyarakat 
dan prinsip Negara Kesatuan Republik 
Indonesia. 
Qanun No. 16 
tahun 2002 
tentang 
Pengelolaan 
Sumberdaya 
Perikanan 
Pasal 11 
Ayat 1 
Dalam pengelolaan, sumber daya 
perikanan Pemerintah Provinsi 
mengakui keberadaan lembaga 
Panglima Laot dan hokum adat laot 
yang telah ada dan eksis dalam 
kehidupan masyarakat, nelayan di 
Provinsi 
Qanun No. 9 
tahun 2008 
tentang 
Pembinaan 
Kehidupan Adat 
dan Adat Istiadat 
Pasal 10 
Ayat 1 
huruf f 
perlindungan hak masyarakat adat, 
yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut, 
sungai, danau, dan hak-hak masyarakat 
lainnya 
Qanun No. 10 
tahun 2008 
tentang Lembaga 
Adat 
Pasal 2 
Ayat 2, huruf i 
Pasal 6 
panglima laot atau nama lain 
Setiap lembaga adat dapat 
berperanserta dalam proses 
perumusan kebijakan oleh 
Pemerintah Aceh dan Pemerintah 
kabupaten/kota sesuai dengan
tingkatannya yang 
berkaitan dengan tugas, fungsi, dan 
wewenang masing-masing lembaga 
adat. 
Disamping dukungan berbagai produk hukum secara nasional 
dan daerah, Aceh sebagaimana telah diuraikan juga memiliki kekuatan 
nilai-nilai kearifan lokal yang telah berkembang lebih dari 400 tahun 
yang lalu. Unit-unit pengelolaan sumberdaya perikanan sampai tingkat 
lhok6, teluk, dan kuala telah eksis walaupun sangat minim 
pengetahuannya tentang bagaimana menetapkan kawasan konservasi 
laut, namun nilai-nilai traditional dan adat laut sudah memberikan 
ruang untuk pengelolaan konservasi perairan. Jika peluang ini 
dimanfaatkan, setidaknya 193 kawasan konservasi perairan dapat di 
tetapkan dan dikelola secara bersama oleh pemerintah dan PLL. 
Keberadaan PLL sebagai unit pengelola sumberaya ikan juga 
sudah dikenal oleh dunia international. Bahkan dunia international pun 
mengaku keberadaan PLL sebagai nilai-nilai kearifan lokal yang 
memiliki peran untuk konservasi sumberdaya ikan. Pasca tsunami, 
Wildlife Consrvation Society (WCS) sebagai salah satu lembaga 
konservasi bertaraf internasional meluncurkan The Aceh-Weh Seascape 
Program di wilayah perairan Sabang pada 2005. Dari sejumlah 
ekosisem terumbu karang yang dikaji, setidaknya telah diusulkan 
wilayah Iboih sebagai kawasan konservasi dengan ujung tombak 
pengelolaanya dilakukan oleh PLL setempat. Belakangan, pada tahun 
2012, WWF juga telah memprakarsai kegiatan fokus grup diskusi dan 
sosialisasi Kawasan Konservasi Perairan Indra Purwa Kecamatan 
Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar untuk mendesain adanya 
pengelolaan kawasan konservasi perairan yang disertai dengan 
6 Lhok dalam artian kata dapat dipadankan sebagai teluk(an). Secara 
terminologi atau istilah merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh 
sekelompok nelayan serta dipimpin oleh seorang yang dipilih dan dituakan 
untuk memimpin wadah masyarakat nelayan (Panglima Laot Lhok) 
(Nasution, 2012). Setiap Panglima Laot Lhok memiliki wilayah kelola laut 
penangkapan dan tempat pendaratan ikan (di wilayah pantai atau pesisir) 
[51]
tersusunnya rencana strategis zonasi kawasan pesisir Kabupaten Aceh 
Besar. 
Apa yang menjadi fakta di atas merupakan suatu peluang bagi 
Aceh untuk menysun suatu konsep pengelolaan KKPD yang berbasis 
pada masyarakat atau kelembagaan lokal. Pastinya peluang ini perlu 
diikuti dengan suatu konsepsi dalam kerangka yang lebih lengkap. 
Memperhatikan pada kondisi Aceh, maka pada kesempatan ini kami 
akan sedikit mengulas dan menawarkan konsepsi “Tatakelola KKPD 
Berbasis Sosial-Ekologi Sistem” sebagai salah satu alternatif atau model 
yang dapat dikembangkan ke depan. 
Integrasi Panglima laot dalam Tatakelola Kawasan Konservasi 
Perairan Daerah Berbasis Sosial Ekologi Sistem 
1. Pengenalan Tatakelola dan Pendekatan Sosial Ekologi Sistem 
[52] 
Kawasan Konservasi 
Adanya KKPD di wilayah perairan kabupaten (Peraturan Pemerintah 
No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan), sejogyanya 
perlu diikuti oleh tatakelola (governance)7 untuk menjaga keberlanjutan 
pengelolaan kawasan itu sendiri. Banyak definisi yang mengemuka 
tentang tatakelola terhadap sumberdaya alam, namun yang paling dekat 
untuk tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah definisi 
rumusan Jones et al. (2011) untuk United Nation Environment 
Programe (UNEP) yang menyebutkan bahwa tatakelola mengarahkan 
perilaku manusia dengan mengkombinasikan peran masyarakat, 
pemerintah dan insentif pasar dalam rangka mencapai tujuan strategis. 
IUCN menyebutkan bahwa tujuan strategis pembentukan kawasan 
konservasi dalam satu hamparan geografis didikasikan dan dikelola 
secara legal untuk menkonservasi alam dalam jangka panjang dan 
menyatu dengan jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya. Tujuan strategis 
7 Seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi untuk menentukan 
keputusan…the process of decision-making and the process by which 
decisions are implemented by using the principle of participation, concesus 
oriented, accountable, transparent, responsive, equitable and inclusive, 
effective and efieisein, and follow the rule of law (UNESCAP). “the systems 
and processes concerned with ensuring the overall direction, effectiveness, 
supervision and accountability of an organisation.”
ini juga di adop dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di 
Indonesia. 
Jika tawaran UNEP yang dikemukan Jones et al. (2011) dapat 
diterima dalam tatakelola KKPD, maka setidaknya ada tiga perpektif 
yang perlu diperhatikan yaitu pendekatan dari atas ke bawah (top-down), 
pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan 
insentif pasar (market-incentive). Ketiga pendekatan tatakelola KKPD 
ini akan bermuara kepada pengelolaan sumberdaya perikanan 
umumnya yaitu pengelolaan secara co-management. Namun dalam 
kontek tatakelola KKPD ini juga perlu diarahkan dan menempatkan 
pendekatan ekosistem sebagai basis pengelolaan dan menjadikannya 
unsur yang sangat penting dan strategis. Namun, pendekatan ini juga 
perlu menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai komponen 
penunjang tatakelola KPPD. Kedua pendekatan inilah yang dikenal saat 
ini sebagai pendekatan sistem sosial ekologi. 
Kajian Jones et al. (2013) menyebutkan bahwa dari sisi top-down 
dibutuhkan kontrol negara melalu hukum dan regulasi lainnya untuk 
memastikan keanekaragaman hayati dan sumberday alam sebenarnya 
terproteksi untuk mencegah terjadinya degradasi dan kerusakan. Dalam 
konteks ini, jika diimplementasikan di Indopnesia, maka akan sangat 
jelas sekali bahwa peran Negara adalah membuat undang-undang 
dengan berbagai perangkat hukum dan kebijakan menjadi sangat 
penting, sehingga ada jaminan hukum dan keuangan dalam melakukan 
proteksi keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Produk-produk 
hukum yang mengarah adanya peran Negara sudah dilahirkan, sebagai 
contoh UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan bebeberapa UU 
lainnya (lihat Tabel 1). Bahkan di Aceh sendiri, produk peraturan 
dearah atau lebih dikenal saat ini dengan sebutan qanun (lihat Tabel 1) 
sudah banyak berpihak kepada adanya upaya proteksi sumberdaya ikan 
dan ekosistemnya. Peran negara yang diwakili oleh pemerintah dan 
beberapa pemerintah daerah sudah tampak dengan semakin luasnya 
kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan. Namun kondisi ini 
masih sangat jauh berbeda jika menilik keberadaan KKPD di Aceh. 
Kedua, dari pandangan bottom-up dituntut adanya adopsi 
pendekatan berbasis masyarakat dalam rangka tatakelola wilayah yang 
dilindungi yang mendedapankan desentralisasi keputusan dan 
[53]
penguatan masyarakat local melalui pelibatan mereka baik dalam 
musyawarah dan pengambilan keputusan. Saat ini pendekatan model 
ini sudah banyak disososialisasikan dan diimplementasikan karena 
mempertimbangkan pengetahun lokal (local knowledge) dan adat 
istiadatnya yang mempraktekkan pemanfaatan sumberdaya secara 
berkelanjutan, serta dianggap sesuai dengan kebutuhan konservasi 
keanekaragaman hayati. Keberhasilan pendekatan seperti ini sudah 
terbukti pada masyarakat adat di Ambon yang menerapkan adanya sasi 
(aturan) tutup perairan saat musim tertentu, terutama saat ikan akan 
bertelur dan sasi buka saat ikan boleh ditangkap kembali, terbukti 
efektif untuk pelestarian jenis ikan sampai dengan saat ini. Di Aceh 
sendiri, adanya beberapa hukum adat laut terhadap larangan perusakan 
ekosistem, terutama terumbu karang setidaknya memberikan peran 
dalam pelestarian ikan, terutama wilayah perairan PLL yang memiliki 
ekosistem terumbu karang seperti di Iboih Kota Sabang. 
Dan ketiga, market-incentives setidaknya diperlukan sebagai: (1) 
dukungan alternatif untuk keberlanjutan matapencaharian yang 
relavan, (2) dalam perhitungan nilai ekonomi jasa keanekaragaman 
hayati sebagai modal alam dan ekosistem sebagai penyeimbang 
pengembailan keputusan untuk mengeksploitasinya, dan (3) 
penekanan pada hak-hak sumberdaya alam dalam memperbaiki 
tatakelola sumberdaya alam untuk pengembangan ekonomi yang lebih 
rasional. Pendekatan ini sangat rasional, mengingat bahwa masyarakat 
sekitar kawasan konservasi terutama yang bermata pencaharian 
sebagai nelayan perlu diberikan insentif ekonomi jika mereka berhasil 
mengelola kawasan konservasi, karena mereka sudah mematuhi untuk 
mengurangi luasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan 
barangkali mereka akan mengembangkan rumpon-rumpon laut dangkal 
sebagai alternatif wilayah penangkapan. Dalam kontek inilah 
pemerintah perlu memberikan kemudah-kemudahan kepada nelayan 
yang memasarkan produk-produk perikanan dan dapat juga 
memberikan subsidi bahan bakar minyak atau dalam bentuk program 
pengadaan rumpon, sehingga mengurangi biaya operasional yang 
dikeluarkan oleh nelayan. 
Integrasi ketiga aspek diatas dalam pengelolaan KKPD juga perlu 
diikuti dengan menngabungkan (incorporating) pendekatan sistem 
sosial ekologi (social-ecological system, SES) dalam perlindungan 
[54]
kawasan tersebut. Pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem 
(ecosystem based management) sudah sering dikaji dan sudah 
diimplementasikan untuk pengelolaan perikanan dan daerah 
perlindungan laut baik mengikuti kerangka kerja (framework) FAO 
maupun IUCN. Namun pendekatan SES mulai dikenal ketika Berkes dan 
Folke (1998) mengemukan alasan bahwa mereka menolak anggapan 
dimensi sosial atau ekologi memiliki bobot yang berbeda, tetapi harus 
memiliki bobot yang sama dan terhubungkan (link) dalam mengelola 
sumberdaya alam. Mereka menyebutkan bahwa interaksi komponen 
SES yang terdiri ekosistem (ecosystem), manusia dan teknologi (people 
and technology), pengetahun lokal (local knowledge), dan hak kepelikan 
(property right) yang akan membentuk pola interaski dan keberlanjutan 
social, begitu juga sebaliknya bahwa pola interaksi dan keberlanjutan 
social akan mempengaruhi pola hubungan setiap komponen SES. 
Dalam perkembangan selanjutnya, Ostrom (2009) kembali 
mengemukakan pandangannya bahwa pengelolaan sumberdaya alam 
termasuk perikanan perlu di analisis dengan menggunakan kerangka 
pendekatan SES, karena kerusakan sumberdaya perikanan sangat 
dipengaruhi system lainnya dan salah satunya adalah sistem sosial. Di 
Indonesia sendiri, kajian pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir 
dengan menggunakan pendekatan SES setidaknya telah dilakukan oleh 
Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE) 
Project- Leibniz Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) yang 
mengkaji interaksi sosial dan ekologi di Kepulauan Spermonde (Provinsi 
Sulawesi Selatan), Sagara Anakan (Kabupaten Cilacap) dan Dearah 
Aliran Sungai Siak (Provinsi Riau) dalam kurun waktu 2003-2007. 
Adapun tujuan akhir dari penerapan pendekatan SES dalam kontek 
KPPD adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan 
ekosistemnya. 
Namun akhir-akhir ini, kajian penerapan pendekatan SES dalam 
pengelolaan kawasan konservasi atau daerah perlindungan (protected 
area) mulai menjadi wacana. Pada tanggal 22 Januari 2014, Jurnal 
BioScience mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan Palomo 
dan kawan-kawan dengan judul “Incorporating the Social-Ecological 
System Approach in Protected Areas in the Anthropocene”. Ide Palomo 
dan kawan-kawan muncul sebagai kegelisahan mereka akibat 
berlanjutnya penurunan terhadap keanekargaman hayati (Butchart et 
[55]
al., 2010) walaupun sampai akhir 2013 luasan daerah perlindungan 
mencapai 12,7% di darat dan 1,6% di laut (Bergzky et al., 2012). 
Palomo et al. (2014) menyebutkan bahwa pendekatan atau konsep 
daerah perlindungan terus berevolusi dari pendekatan pulau (island 
approach) (era 1872-1980) kepada pendekatan bentangan atau 
kawasan (landscape approach)(era pertengahan 2000-saat ini). Mereka 
memperkirakan bahwa pendekatan terakhir ini akan berubah lagi 
kepada pendekatan social ekologi (SES approach)(saat ini-masih tanda 
tanya). Ada beberapa evolusi terhadap atribut yang terkandung dalam 
setiap konsep dan sebagai gambaran dapat dilihat perbedaan antara 
landscape approach and SES approach (Paloma, 2014)(lihat Tabel 2) 
Tabel 2. 
Perbandingan Antara konsep kawasan perlindungan dengan 
pendekatan landscape approach dan social-ecological approach 
Atribut Pendekatan untuk daerah perlindungan 
Tipe pengelolaan Dinamis: perubahan-perubahan 
alam perlu 
[56] 
dipertimbangkan 
Adaptif: perubahan alam 
dan sosial seharusnya di 
gabungkan dalam 
pengelolaan 
Pertimbangan 
nilai konservasi 
Nilai intrisik ekosistem, 
keanekaragaman, proses-proses 
ekologi (fungsi, 
integritas ekologi), nilai-nilai 
budaya 
Nilai intrisik dan 
instrumental ekosistem dan 
keanekaragaman (jasa 
ekosistem) 
Pelibatan 
pengetahuan 
Ilmiah dan teknis Ilmiah, teknis, dan 
pengetahuan ekologi local 
Resiliensi 
melawan 
gangguan 
Sedang-tinggi Tinggi 
Kompetisi 
melawan 
peruntuhan 
lahan lainnya 
Kompetisi sangat tinggi 
karena kebutuhan terhadap 
lahan sangat tinggi 
Koperatif karena 
menggunakan pendekatan 
multifungsi lahan 
Keterlibatan 
penduduk lokal 
Penduduk lokal terlibat 
dalam proses pengelolaan 
Benar-benar dikelola oleh 
penduduk lokal
[57] 
partisipatif 
Pengelaan 
kawasan 
Tidak memadukan 
pengelolaan terpadu, 
pengelolaan di arahkan 
untuk menghindari 
ancaman terhadap kawasan 
Memadukan pengelolaan 
kawasan, pengelolaan 
kawasan dilakukan secara 
menyeluruh 
Sumber: Paloma et al. (2014) 
Pengelolaan daerah perlindungan saat ini ada beberapa 
keterbatasan. Paloma et al. (2014) setidaknya mengidentifikasi 3 
keterbatasn daerah perlindungan saat ini, yaitu: (1) tidak 
mempertimbangkan adanya perubahan yang berakibat langsung dan 
tidak langsung serta cenderung terisolir, (2) kurang tepatnya lokasi dan 
ukuran daerah perlindungan, dan (3) tidak terhubungkan antara daerah 
perlindungan dengan masyarakat. Untuk menjawab adanya 
keterbatasan tersebut, maka Paloma et al. (2014) menawarkan 
pendekatan daerah perlindungan perlu mempertimbangkan 
keterpaduan system sosial ekologi dan ilmu sosial ekologi, peningkatan 
dukungan sosial, proses partisipasi dan co-management untuk 
mengurangi konflik sosial, pelibatan beragan institusi pada tatakelola, 
pelibatan penerimba manfaat jasa ekosistem dalam proses perencanaan, 
pemahaman adanya kesenjangan kawasan terhadap jasa ekosistem, dan 
hindari kesalahan penentuan lokasi dan perbedaan peran dalam 
kawasan perlindungan yang multi fungsi. Memang apa yang dikemukan 
oleh Paloma dan kawan-kawan barangkali lebih terkesan pada daerah 
perlindungan di darat, namun konsep ini tidak salah juga jika 
diterapkan terhadap daerah perlindungan laut dengan menyesuaikan 
dan memperhatikan karakteristik sosial ekologi wilayah pesisir dan 
laut. 
Dengan memperhatikan pada penjelasan dan argumentasi di 
atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa tatakelola kawasan 
konservasi perairan yang baik perlu memperhatikan keberlanjutan 
sumberdaya ikan dan ekosistemnya, adanya pelibatan pemerintah dan 
masyarakat (setidaknya diwakili kelembagaan lokal), dan kemanfaatan 
kepada masyarakat. Mempertimbangkan pada kondisi dan keberadaan 
sumberaya ikan saat ini, barangkali pendekatan tatakelola kawasan 
konservasi perairan berbasis sosial ekologi sistem dapat diterapkan di
Aceh. Penjelasan berikut akan terbatas kepada bagaimana membangun 
kontruksi peran PLL dalam tatakelola dan implementasi rencana 
pengelolaan KKPD ke berbasis sosial ekologi sistem ke depan. 
2. Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok ke dalam Tatakelola 
[58] 
Kawasan Konservasi 
Keberhasilan pengelolaan KPPD sangat ditentukan oleh adanya 
peran secara kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah, NGO 
dan kelembagaan lokal (indigenous institution). Memperhatikan pada 
kondisi dan sejarah Aceh, maka model tatakelola yang sesuai untuk 
mengelola KKPD adalah model tatakelola secara kolaboratif8. Secara 
umum model semacam ini sudah banyak diterapkan pada berbagai 
kawasan konservasi laut di seluruh dunia dan Indonesia. Barangkali 
contoh yang menarik untuk di tiru adalah model pengelolaan KPPD di 
wilayah perairan Raja Ampat. Menurut Rumetna et al. (2011) Raja 
Ampat yang memiliki 7 unit KKLD9 di bentuk kedalam satu jejaring 
KKLD dengan membentuk satu struktur tatakelola mengikuti arahan 
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi 
Sumberdaya Ikan dan KKLD Raja Ampat memang harus dikelola secara 
terpadu. Dalam model struktur tatakelola KKLD Raja Ampat 
sebagaimana telah disyahkan melalui Peraturan Bupati Raja Ampat 
No.16 Tahun 2009 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas 
Kelautan dan Perikanan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten 
Raja Ampat, jelas tercermin bahwa tatakelola yang dikembangkan 
melibatkan unit pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan 
Kabupaten Raja Ampat) dan unsur masyarakat lokal (unit pengelolaan 
KKLD setempat)10. Dalam mengembangkan model ini peran NGO sangat 
membantu, karena seperti pada kasus pembnetukkan KKLD Raja Ampat, 
8 Teori kolaboratif mempertimbangkan perilaku negoisasi antar organisasi dan 
proses social. Pada tataran pengelolaan, maka koolaboarat- dapat 
dideoifikaskan sebagai adanya bagi-bagi (sharing) kekuasaan dan 
tanggungajawab antaran pemerintah dan masysarakat (Pinto da Silva, 2004) 
9 KKLD Ayau-Asia, KKLD Wayag-Sayang, KKLD Teluk Mayalibit, KKLD Selat 
Dampier, KKLD Kofiau dan KKLD Misool Timur Selatan, dan KKLD di Waigeo 
Barat Daya 
10 Kepala UPTD dan unsur tatausaha merupakan pegawai pemerintah yang 
ditetapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan berstatus 
fungsional. Sementara unit-unit pengelola KKLD masing-masing wilayah 
merupakan unsur masyarakat local yang bersifat non structural.
The Nature Consevartion memiliki peran sebagai fasilitator dan 
mediator mulai dari tahapan inisiasi, lanjutan, sampai tahapan finalisasi. 
Pastinya keberhasilan pembentukan KKLD Raja Ampat tidak terlepas 
dari peran-peran masyarakat local secara pro aktif yang ingin 
memperbaiki tingkat kesejahteraan dan menjaga kelestarian 
sumberdaya, utamanya ikan dan ekosistem terumbu karang. 
Pada model tata kelola kolaboratif terdapat beberapa peran 
strategis dan penting yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau 
kelembagaan lokal. Pada tatakelola dengan pendekatan co-management, 
maka 5 peran penting dan strategis masyarakat yang 
meliputi peran instructive, consultative, co-operative, advisory, dan 
informative; perlu diperhatikan dan diseimbang dengan peran 
permeintah (Sen and Neilson, 1996). Dalam konteks ini masyarakat 
lokal diwilayah pesisir dan laut Aceh dapat direpresentasikan oleh PLL 
dapat memainkan 5 peran sebagaimana yang dirumuskan dalam 
spektruk co management. Pendekatan model ini atau disebut juga 
pendekatan desentralisasi tatakelola (desentralized governance) telah 
diadopsi dan diimplementasikan oleh Negara-negara berkembang 
termasuk Indonesia untuk keperluan tatakelola kawasan konservasi 
laut (Jones et al, 2013). Mereka menyebutkan pendekatan ini dicirikan 
oleh adanya perpaduan pendekatan top-down, buttom-up, dan market 
incentive. 
Mempertimbangkan pada penjelasan di atas, maka PLL memiliki 
multi peran dalam tatakelola KKPD. PLL harus mampu menempatkan 
diri sebagai wakil nelayan mulai dari tahapan inisiasi, perencanaan, dan 
pelaksanaan pengelolaan LLD sesuai dengan peran-peran yang di adopsi 
dari spektrium co management. Sebagai contoh, PLL yang mengelola 
nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya ikan harus dapat menawarakan 
dan mentranfer pengetahuan lokal sesuai dengan kondisi sosial dan 
budaya setempat untuk membangun tatakeloa KKPD yang baik. 
Disamping itu, PLL perlu membantu pemerintah melalui unit 
pengelolaan yang dibentuk nantinya dalam menyusun kerangka dan 
penegakan hukum dalam pengelolaan KKPD dan melestarikan 
sumbereaya ikan dan ekosistemnya. Secara rinci peral PLL dalam 
kerangka tatakelola KKPD dapat dilihat pada Tabel 3. 
[59]
Tabel 3. 
Peran PLL pada tahapan inisiasi, pengembangan rencana, dan 
pelaksanaan menggunakan pendekatan spectrum co management 
Peran Tahapan 
Inisiasi Penyusunan dan 
Pengembangan 
Rencana 
[60] 
Pelaksanaan 
Informatif  Pro- aktif 
melakukan 
identifikasi 
potensi wilayah 
yang dapat 
diusulkan 
menjadi 
kawasan 
konservasi 
perairan 
 Memberikan 
informasi 
tatakelola 
pengelolaan 
sumberdaya 
perikanan 
secara lokal, 
 Menyampaikan 
kedinamisan 
perubahan 
kondisi social, 
ekonomi, 
budaya, dan 
konflik antar 
nelayan; 
 Menyampaikan 
kondisi 
sumberdaya 
perikanan 
 Menyampaikan 
fungsi regulasi, 
eksekutur dan 
yudikator yang 
perannya 
 Pro-aktif 
melaporkan 
permasalah dan 
konflik yang 
terjadi dalam fase 
pengelolaan 
KKPD; 
 Menyampaikan 
data dan 
informasi hasil 
tangkapan ikan 
pada zona 
pemanfaatan dan 
penyangga 
Penasehat 
(Advisory) 
 Sosialisasi 
pentingnya 
kawasan 
konservasi laut 
kepada nelayan; 
 Menginformasik 
an pola 
pendekatan yang 
tepat dalam 
memahami 
perilaku nelayan 
 Mendampingi 
nelayan setiap 
proses 
pengambilan 
keputusan; 
 Mengarahkan 
nelayan untuk 
menyampaikan 
aspirasi yang 
positif dan 
partisipa aktif 
dalam 
 Menjalin 
kerjasama dengan 
PLL lainnya yang 
memiliki jejaring 
pengelolaan 
KKPD; 
 Membuka 
peluang 
kerjasama dengan 
lembaga 
tradisional 
lainnya untuk
penyusunan 
dokumen 
perencanaan; 
 Menyampaikan 
informasi 
kepada mediator 
atau fasilitator 
tentang 
tatalaksana 
penyelesaian 
konflik, dan 
pemberlakuan 
sangki adat laot 
kepada para 
pelanngar 
[61] 
pengelolaan 
secara terpadu 
kawasan 
konservasi 
perairan 
Kooperatif  Mengarahkan 
nelayan untuk 
berpikir positif 
akan manfaat 
adanya KKPD; 
 Membuka 
peluang 
kerjasama 
pengelolaan 
secara 
kolaboratif 
KKPD 
 Pro aktif dalam 
setiap 
pengambilan 
keputusan 
tentang zonasi, 
renacana 
pengelolaan, dan 
rencana aksi 
KKPD; 
 Mengedapan 
musyawarah 
untuk mufakat 
setiap 
pengampilan 
keputusan 
tentang 
dokumen 
perencanaan; 
 Memadukan dan 
menyatukan diri 
dengan pihak 
pengelola yang 
dibentuk oleh 
pemerintah 
kabupaten dalam 
struktur 
tatakelola KKPD, 
walaupun sifatnya 
sukarela dan non-struktural; 
 Melaksanakan 
tugas-tugas 
implementasi 
program, 
monitoring, dan 
pengawasan 
secara sukarela 
Konsultatif  Pro-aktif 
bertanya 
terhadap arti 
penting adanya 
KKPD 
Menawarkan 
penerapkan 
pengetahun local 
tentang hokum 
adat laot yang 
berkaitan dengan 
pelestarian 
sumberaya ikan 
dan ekosistem 
 Menyampaikan 
evaluasi terhadap 
program yang 
telah 
dilaksanakan 
 Menyapaikan 
saran dan nasehat 
untuk perbaikan 
program 
selanjutnya
[62] 
Instruktif  Mengarahkan 
nelayan 
memberikan 
informasi yang 
benar dan 
akurat bila 
ditanya pihak 
pemerintah dan 
fasilitator 
(NGO) 
Partipatif dan 
secara sukarela 
dalam 
mendampingi 
mediator dan 
fasilitator dalam 
melakukan survey, 
dan pertemuan-pertemuan 
 Mengarahkan 
nelayan untuk 
mematuhi aturan 
dan sangsi adat 
laut; 
 Memberikan 
sangsi kepada 
nelayan yang 
melanggar adat 
laut tentang KKPD 
Sumber: Hasil Analisis (2014) 
Pada akhirnya PLL dapat memainkan perannya dalam 
membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara 
kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara 
berkelanjutan. Diharapkan PLL dapat membantu mengadopsi 8 prinsip 
tatakelola yang baik yang telah dikembangkan United Nation 
Development Program (UNDP), yaitu: adanya partisipasi masyarakat 
dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak 
langsung, rule of Law yang ditandai dengan membangun kerangka 
hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, keterbukaan 
(transparency) yang dibangun atas dasar kebebasan memperoleh 
informasi berkaitan dengan kepentingan public, tanggungjawab 
(responsiveness) yang ditandai adanya lembaga-lembaga publik yang 
cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder, orientasi konsesus 
(consensus orientation) kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas, 
kesetaraan (equity) kesempatan untuk setiap masyarakat untuk 
memperoleh keadilan, efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber 
daya publik, dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability) kapada 
publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

More Related Content

What's hot

Tentang livelihood
Tentang livelihood Tentang livelihood
Tentang livelihood Edwar Fitri
 
UU SP3K NO .16 TAHUN 2006
UU SP3K NO .16 TAHUN 2006 UU SP3K NO .16 TAHUN 2006
UU SP3K NO .16 TAHUN 2006 vinasiringoringo
 
Modul 3 konsepsi bencana dan kedaruratan
Modul 3 konsepsi bencana dan kedaruratanModul 3 konsepsi bencana dan kedaruratan
Modul 3 konsepsi bencana dan kedaruratanJoni Iswanto
 
PPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN
PPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYANPPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN
PPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYANMOH AFIFI A. JAMI'
 
Pembangunan perikanan berkelanjutan
Pembangunan perikanan berkelanjutan Pembangunan perikanan berkelanjutan
Pembangunan perikanan berkelanjutan ridwantobukublogspot
 
Penataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinya
Penataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinyaPenataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinya
Penataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinyaDidi Sadili
 
Laporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docx
Laporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docxLaporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docx
Laporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docxWisalathi
 
Kelayakan kapal perikanan
Kelayakan kapal perikananKelayakan kapal perikanan
Kelayakan kapal perikananbachrisb
 
Masyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan PemberdayaannyaMasyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan PemberdayaannyaAinun Dita Febriyanti
 
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...Didi Sadili
 
Power point ppg Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MM
Power point  ppg  Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MMPower point  ppg  Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MM
Power point ppg Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MMLiz Rößler
 
Ppt tuna grahita
Ppt tuna grahitaPpt tuna grahita
Ppt tuna grahitaMona Waroh
 
PERIKANAN BERKELANJJUTAN
PERIKANAN BERKELANJJUTANPERIKANAN BERKELANJJUTAN
PERIKANAN BERKELANJJUTANrendraeka
 
13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir
13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir
13 kebijakan pembangunan wilayah pesisirAchmad Ridha
 
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikananUu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikananSei Enim
 

What's hot (20)

Tentang livelihood
Tentang livelihood Tentang livelihood
Tentang livelihood
 
UU SP3K NO .16 TAHUN 2006
UU SP3K NO .16 TAHUN 2006 UU SP3K NO .16 TAHUN 2006
UU SP3K NO .16 TAHUN 2006
 
Modul 3 konsepsi bencana dan kedaruratan
Modul 3 konsepsi bencana dan kedaruratanModul 3 konsepsi bencana dan kedaruratan
Modul 3 konsepsi bencana dan kedaruratan
 
Ekowisata bahari
Ekowisata bahariEkowisata bahari
Ekowisata bahari
 
PPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN
PPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYANPPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN
PPT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN
 
Potensi perikanan budidaya
Potensi perikanan budidayaPotensi perikanan budidaya
Potensi perikanan budidaya
 
Pembangunan perikanan berkelanjutan
Pembangunan perikanan berkelanjutan Pembangunan perikanan berkelanjutan
Pembangunan perikanan berkelanjutan
 
Penataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinya
Penataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinyaPenataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinya
Penataan kawasan tambak udang dalam upaya revitalisasinya
 
Laporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docx
Laporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docxLaporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docx
Laporan PKTBT Terampil - Pranata Komputer.docx
 
Analisis issue ganesha
Analisis issue ganeshaAnalisis issue ganesha
Analisis issue ganesha
 
Kelayakan kapal perikanan
Kelayakan kapal perikananKelayakan kapal perikanan
Kelayakan kapal perikanan
 
Masyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan PemberdayaannyaMasyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
 
Inovasi Kemaritiman
Inovasi KemaritimanInovasi Kemaritiman
Inovasi Kemaritiman
 
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
Perlindungan dan Pelestarian Jenis Ikan Terancam Punah (penyu, hiu, pari, dan...
 
Power point ppg Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MM
Power point  ppg  Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MMPower point  ppg  Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MM
Power point ppg Manejemen Bisnis Industri Perikanan.ppt LIS M.YAPANTO. S.Pi.MM
 
Ppt tuna grahita
Ppt tuna grahitaPpt tuna grahita
Ppt tuna grahita
 
PERIKANAN BERKELANJJUTAN
PERIKANAN BERKELANJJUTANPERIKANAN BERKELANJJUTAN
PERIKANAN BERKELANJJUTAN
 
Kartu kusuka 2
Kartu kusuka 2Kartu kusuka 2
Kartu kusuka 2
 
13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir
13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir
13 kebijakan pembangunan wilayah pesisir
 
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikananUu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
Uu no. 45 tahun 2009 ttg perikanan
 

Viewers also liked

6. silabus ips smp
6. silabus ips smp6. silabus ips smp
6. silabus ips smpId Id Sabiq
 
Professional Presentation Needs Assessment
Professional Presentation Needs AssessmentProfessional Presentation Needs Assessment
Professional Presentation Needs Assessmentmooremi
 
Effective communication skills
Effective communication skillsEffective communication skills
Effective communication skillsAnkur Tiwari
 
Research khemjira
Research khemjiraResearch khemjira
Research khemjiraKhemjira_P
 
كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...
كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض   منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض   منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...
كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...Ibrahimia Church Ftriends
 
Презентация модуля BrandMaker web2print
Презентация модуля BrandMaker web2printПрезентация модуля BrandMaker web2print
Презентация модуля BrandMaker web2printBrandMaker Russia
 
นำเสนอ ประเมินภายนอก
นำเสนอ ประเมินภายนอกนำเสนอ ประเมินภายนอก
นำเสนอ ประเมินภายนอกKru Mew Jangtrakool
 
الحاله الراهنه للكنيسه الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...
الحاله الراهنه للكنيسه   الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...الحاله الراهنه للكنيسه   الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...
الحاله الراهنه للكنيسه الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...Ibrahimia Church Ftriends
 
العقيده المسيحيه الله الاب
العقيده المسيحيه الله الابالعقيده المسيحيه الله الاب
العقيده المسيحيه الله الابIbrahimia Church Ftriends
 
The Road to Independence
The Road to IndependenceThe Road to Independence
The Road to Independencessclasstorremar
 
Review articles bio inspired algorithms
Review articles bio inspired algorithmsReview articles bio inspired algorithms
Review articles bio inspired algorithmsJean Carlo Machado
 
Presentació INTERNET I EINES 2.0 PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1
Presentació INTERNET I EINES 2.0  PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1Presentació INTERNET I EINES 2.0  PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1
Presentació INTERNET I EINES 2.0 PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1Neus Burch Suñer
 
Christ our saviour 3 1-2014المسيح مخلصنا
Christ our saviour 3 1-2014المسيح مخلصناChrist our saviour 3 1-2014المسيح مخلصنا
Christ our saviour 3 1-2014المسيح مخلصناIbrahimia Church Ftriends
 
Parallel and Distributed System IEEE 2015 Projects
Parallel and Distributed System IEEE 2015 ProjectsParallel and Distributed System IEEE 2015 Projects
Parallel and Distributed System IEEE 2015 ProjectsVijay Karan
 

Viewers also liked (20)

6. silabus ips smp
6. silabus ips smp6. silabus ips smp
6. silabus ips smp
 
8 later people
8 later people8 later people
8 later people
 
Akd motors
Akd motorsAkd motors
Akd motors
 
حرقوا مكتبة الإسكندرية
حرقوا مكتبة الإسكندريةحرقوا مكتبة الإسكندرية
حرقوا مكتبة الإسكندرية
 
Professional Presentation Needs Assessment
Professional Presentation Needs AssessmentProfessional Presentation Needs Assessment
Professional Presentation Needs Assessment
 
Effective communication skills
Effective communication skillsEffective communication skills
Effective communication skills
 
Research khemjira
Research khemjiraResearch khemjira
Research khemjira
 
كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...
كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض   منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض   منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...
كرسى السماء يحكم كل كراسى الارض منبر الكنيسه الانجيليه بالإبراهيميه - القس ...
 
Презентация модуля BrandMaker web2print
Презентация модуля BrandMaker web2printПрезентация модуля BrandMaker web2print
Презентация модуля BrandMaker web2print
 
10 hebrews
10 hebrews10 hebrews
10 hebrews
 
นำเสนอ ประเมินภายนอก
นำเสนอ ประเมินภายนอกนำเสนอ ประเมินภายนอก
นำเสนอ ประเมินภายนอก
 
Orgus 2011
Orgus 2011Orgus 2011
Orgus 2011
 
الحاله الراهنه للكنيسه الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...
الحاله الراهنه للكنيسه   الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...الحاله الراهنه للكنيسه   الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...
الحاله الراهنه للكنيسه الدكتور القس فاروق الديرى - منبر الكنيسه الانجيليه ب...
 
العقيده المسيحيه الله الاب
العقيده المسيحيه الله الابالعقيده المسيحيه الله الاب
العقيده المسيحيه الله الاب
 
The Road to Independence
The Road to IndependenceThe Road to Independence
The Road to Independence
 
IktissadEvents Mobile App
IktissadEvents Mobile AppIktissadEvents Mobile App
IktissadEvents Mobile App
 
Review articles bio inspired algorithms
Review articles bio inspired algorithmsReview articles bio inspired algorithms
Review articles bio inspired algorithms
 
Presentació INTERNET I EINES 2.0 PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1
Presentació INTERNET I EINES 2.0  PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1Presentació INTERNET I EINES 2.0  PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1
Presentació INTERNET I EINES 2.0 PER FACILITAR LA TASCA DE COMANDAMENT sessió 1
 
Christ our saviour 3 1-2014المسيح مخلصنا
Christ our saviour 3 1-2014المسيح مخلصناChrist our saviour 3 1-2014المسيح مخلصنا
Christ our saviour 3 1-2014المسيح مخلصنا
 
Parallel and Distributed System IEEE 2015 Projects
Parallel and Distributed System IEEE 2015 ProjectsParallel and Distributed System IEEE 2015 Projects
Parallel and Distributed System IEEE 2015 Projects
 

Similar to Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari
Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahariLap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari
Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahariNurma Putri Tanadoang
 
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampatadetriputra3
 
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisirAry Ajo
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Mujiyanto -
 
Potensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxPotensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxArsyadLabiq
 
Kebijakan Kelautan.pptx
Kebijakan Kelautan.pptxKebijakan Kelautan.pptx
Kebijakan Kelautan.pptxMuhRifaldhi1
 
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdf
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdfPENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdf
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdfMuhammadSumsanto1
 
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Mujiyanto -
 
Sinopsis vera ardelia
Sinopsis vera ardeliaSinopsis vera ardelia
Sinopsis vera ardeliaardelia2508
 
PPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptx
PPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptxPPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptx
PPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptxAdventiaArdianaNatal
 
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkuluMarhadi1995
 
Sejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan IndonesiaSejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan IndonesiaLestari Moerdijat
 
Analisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja Ampat
Analisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja AmpatAnalisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja Ampat
Analisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja Ampatagrifinaamanda
 
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdfVinnaYasin
 
Tugas psda1 kelompok 1 a2
Tugas psda1   kelompok 1 a2Tugas psda1   kelompok 1 a2
Tugas psda1 kelompok 1 a2Aswar Amiruddin
 

Similar to Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem (20)

Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari
Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahariLap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari
Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari
 
Laot.pdf
Laot.pdfLaot.pdf
Laot.pdf
 
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
(SAPPK ITB MSP) Pembangunan Pesisir Potensi Kawasan Wisata Raja Ampat
 
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
 
Potensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxPotensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptx
 
Kebijakan Kelautan.pptx
Kebijakan Kelautan.pptxKebijakan Kelautan.pptx
Kebijakan Kelautan.pptx
 
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdf
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdfPENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdf
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN co-management (1&2).pdf
 
43-82-1-SM.pdf
43-82-1-SM.pdf43-82-1-SM.pdf
43-82-1-SM.pdf
 
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
Status usaha perikanan tangkap di calon zona rehabilitasi terumbu karang di t...
 
Pengelolaan Pesisir
Pengelolaan  PesisirPengelolaan  Pesisir
Pengelolaan Pesisir
 
Sinopsis vera ardelia
Sinopsis vera ardeliaSinopsis vera ardelia
Sinopsis vera ardelia
 
Kelompok 4 teori pembangunan
Kelompok 4 teori pembangunanKelompok 4 teori pembangunan
Kelompok 4 teori pembangunan
 
PPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptx
PPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptxPPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptx
PPT TEORI PRMBANGUNAN ADVENTIA.pptx
 
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
 
Sejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan IndonesiaSejarah Konservasi Perairan Indonesia
Sejarah Konservasi Perairan Indonesia
 
Analisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja Ampat
Analisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja AmpatAnalisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja Ampat
Analisis Ekologi Lingkungan Kepulauan Raja Ampat
 
Bab1 pendahuluan
Bab1 pendahuluanBab1 pendahuluan
Bab1 pendahuluan
 
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
 
Tugas psda1 kelompok 1 a2
Tugas psda1   kelompok 1 a2Tugas psda1   kelompok 1 a2
Tugas psda1 kelompok 1 a2
 

Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem

  • 1. BAGIAN DUA Panglima Laot dapat memainkan perannya dalam membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem [Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao] Selama tahun 2007 hingga tahun 2012 tidak ada satupun Qanun Kabupaten Aceh Besar yang dihasilkan berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan. Dukungan Regulasi dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Aceh Besar [Muhammad Insa Ansari] Pembangunan di sektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran. Namun, lebih dari itu karena sektor kelautan dan perikanan merupakan basis perekonomian nasional. Pengelolaan Wilayah Pesisir Aceh Menuju Perikanan dan Kelautan yang Berkelanjutan [Sitti Zubaidah] Agar sumberdaya laut tetap lestari atau berkelanjutan (sustainable), negara (pemerintah) juga harus mengawasi alat tangkap nelayan yang diketahui tidak ramah lingkungan. Pengelolaan Perikanan Aceh dalam Perspektif Islam: Menuju Perikanan Aceh yang Mandiri dan Lestari [Hafinuddin bin Hasaruddin] [36]
  • 2. 4 Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem [Zulhamsyah Imran dan Masahiro Yamao] [37] Pendahuluan Perairan laut Aceh1 berkontribusi positif terhadap produksi perikanan laut nasional dalam satu dekade terakhir. Namun, dalam kurun waktu 2003-2011, kontribusi perikanan tangkap Aceh cenderung menurun. Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), sekitar 135.040 ton atau 3,08% dari produksi perikanan laut Indonesia berasal dari Aceh pada 2003, kontribusi tersebut menurun ke 2,73% pada 2011. Fluktuasi produksi nampak sekali dalam kurun waktu 2003-2011; terutama 2004, 2005, 2008, dan 2010 dengan pertumbuhan produksi -22,92%, -20.76%, -0.41%, dan -8.72% secara berurutan (Hasil Analisis, 2014). Kondisi produksi perikanan Aceh tidak terlepas dati status sumberdaya ikan pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571 dan 572 yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Disinyalir bahwa WPP 571 dan 5722 masuk dalam kategori baik dan sedang, ditinjau dari komposisi sumberdaya ikan (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011). Namun disebutkan dalam Kepmen tersebut bahwa beberapa jenis ikan pelagis dan demersal telah mengalami 1 Untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan, perairan laut Indonesia dibagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) (Surat Keputusan Menteri Keluatan dan Perikanan Nomor 45/MEN/2011). Perairan laut Aceh terletak pada WPP 571 (Selat Malaka) dan 572 (Samudera Hindia). 2 Mencakup perairan Selat Malaka di pantai timur dan Samudera HIndia di Pantai Barat Aceh
  • 3. tangkap lebih (overfishing). Sebagai contoh, Imran dan Yamao (2014) melaporkan bahwa sumberdaya teri sebagai salah satu jenis ikan pelagis kecil sudah mengalami overfishing sejak sebelum tsunami dan terus memburuk kondisinya dalam kurung waktu 2007-2012 di Teluk Krueng Raya yang terletak pada WPP 571. Hal yang sama juga dialami ekosistem pesisir, terutama terumbu karang dan mangrove yang terus terdegradasi dalam kurun waktu tersebut. Aceh memiliki luas terumbu karang mencapai 152,34 km2 berdasarkan data citra satelit tahun 2000-2002 (Aceh Ocean Coral, 2012). Namun masih sedikit penelitian untuk memastikan bagaimana kondisi ekosistem terumbu karang tersebut. Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia melaporkan bahwa ada kecenderungan terjadinya degradasi kondisi terumbu karang di Aceh, baik disebabkan secara alami maupun karena faktor aktivitas manusia (anthropogenik). Gempa dan tsunami 24 Desember 2004 semakin memperparah kerusakan eksositem ini yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh. Hasil survei Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (2009) menunjukkan bahwa persentase tutupan karang keras hanya berkisar 0-25%. Sementara pendataan 2008-2010 terhadap 91 total lokasi yang di survey, menunjukkan bahwa hanya 14 lokasi tergolong dalam kondisi baik (Aceh Ocean Coral, 2012). Ekosistem mangrove pun mengalami degradasi dari waktu ke waktu. Hanya tersisa 105.260 ha setelah tsunami dan bertambah menjadi 422.703 ha setelah adanya rehabilitasi dan rekontruksi, namun 160.876 ha dalam kondisi rusak berat (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Krueng Aceh, 2007). Selain disebabkan oleh tsunami, penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove adalah konversi menjadi lahan tambak dan pemanfaatan kayunya untuk berbagai peruntukkan. Fluktuasinya sumberdaya ikan dan rusaknya ekosistem utama pesisir merupakan ancaman bagi keberlanjutan mata pencaharian nelayan dan sekaligus mengingatkan akan arti pentingnya konservasi perairan dimasa mendatang. Berbagai produk kebijakan dan peraturan perundang-undangan pemerintah Indonesia telah memberikan koridor untuk konservasi sumberdaya alam dan ekosistem di wilayah pesisir dan laut. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah [38]
  • 4. mengeluarkan beberapa peraturan menteri dan pedoman tentang kawasan konservasi perairan. Dari semua itu, hal yang menarik disimak adalah terbukanya peluang pelibatan kelembagaan traditional atau nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan tersebut. Aceh sebagai daerah otonom memiliki posisi tawar yang kuat dan melalui UU Nomor 11/2006 telah diberikan kewenangan secara khusus untuk mengelola kawasan konservasi perairan. UU ini memberikan ruang kepada Pemerintah Aceh untuk pelibatan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sudah lama eksis, yaitu Panglima Laot, khususunya pada tingkat lhok. Secara luas telah diketahui bahwa Panglima Laot Lhok (PLL) memiliki peran dan fungsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan nelayan dalam batas-batas pengelolaan tertentu3. Sebagaimana diketahui bahwa peran sosial, budaya dan politik sudah banyak dikontribusikan oleh lembaga ini. Namun peran konservasi secara gamblang sangat jarang mengemuka, walaupun peran ini juga melekat pada PLL. Sebagai contoh, PLL Kruang Raya (2012) menyebutkan bahwa peran lembaga ini terkait dengan konservasi diantaranya mengingatkan para nelayan untuk tidak memotong pohon mangrove dan merusak terumbu karang. Peran ini dilakukan karena mereka sadar akan fungsi kedua ekosistem ini terhadap kelestarian sumberdaya ikan. Namun bila dikaji lebih jauh, peran konservasi terhadap kedua ekosistem ini dan sumberdaya alam yang berasosiasi di dalamnya masih belum berjalan dengan optimal. Memang sudah banyak upaya pengelolaan sumberdaya ikan sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources, CPRs) dan kawasan konservasi perairan melalui kelembagaan formal baik dengan membentuk WPP atau badan/kelembagaan konservasi seperti taman nasional laut. Bahkan unit-unit dalam skala kecil seperti unit pengelolaan teknis Kawasan Konservasi Laut Daerah pun sudah mulai dibentuk di beberapa daerah di Indonesia. Namun yang menarik 3 Umumnya batas-batas pengelolaan PLL adalah satu hamparan ekosistem (ecosystem boundaries) tertentu seperti muara, teluk, atau pantai); dan kebanyakan wilayah administrasinya berhimpitan dengan batasan administrasi kemukiman yang terdiri dari beberapa desa. [39]
  • 5. dicermati adalah keterlibatan kelembagaan lokal seperti awig-awig di Nusa Tenggara Barat dan sasi di Ambon yang tetap mampu menjadi kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Belajar dari kedua kelembagaan tradisional ini, maka tidak salah jika mengharapkan PLL berbuat lebih banyak untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir Aceh di masa yang akan datang. Beranjak dari kondisi dan fakta-fakta di atas, maka tulisan ini secara umum akan menguraikan suatu tinjauan terhadap perlu tidaknya membangun konstruksi tata kelola PLL dalam kegiatan konservasi perairan daerah (KKPD). Lebih khusus bertujuan: (1) identifikasi peran panglima laot terhadap konservasi sumberdaya perairan, dan (2) integrasi pelibatan panglima laot lhok dalam pengelolaan kawasan konservasi laut daerah. Tinjauan Peran Panglima Lhok dalam Konservasi PLL4 memliki peran-peran strategis dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap di Aceh. Tak dapat dipungkiri bahwa peran lembaga tradisional ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hiruk pikuk kondisi sosial-budaya-politik serta isu industrilisasi dan modernisasi perikanan. Namum sebagai entitas dan keterwakilan masyarakat nelayan, lembaga ini masih tetap eksis dan bertahan lebih dari 400 tahun. Lembaga tradisional ini memeliki peran sosial untuk mengelola sejumlah nelayan dalam satu batasan social-ekologi. Peran social yang dominan adalah pengaturan hubungan antara manusia dengan sang pencipta dan hubungan manusia dengan manusia. Peran-peran lain yang menonjol adalah pengaturan atau regulasi terhadap tatacara pemanfaatan sumberdaya ikan baik dalam wilayah pengelolaannya 4 Panglima Laot Lhok merupakan wadah sekaligus basis masyarakat nelayan lokal untuk membangun kesepakatan bersama dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan norma dan ketentuan tata-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih bertanggungjawab dan berkelanjutan (Nasution 2012). Satu unit entitas kelembagaan panglima laot lhok di batasi oleh batasan pengelolaan yang merujuk kepada teluk, estuary atau kuala, pantai, atau dapat juga sejumlah pulau-pulau kecil. Satu lhok biasaya dipimpin oleh seorang panglima laot lhok yanh dipilih dari pawang-pawang senior dan dilengkapi dengan seperangkat struktur organisasi sesuai dengan kondisi lhok tersebut. [40]
  • 6. ataupun di luar wilayah kewenangnya yang diatur atau dimediasi oleh panglima laot di tingkat kabupaten atau pun provinsi. Dalam kehidupan masyarakat nelayan, setidaknya PLL memeliki 4 peran utama, yaitu melestarikan hukum adat, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat nelayan; dan membantu pemerintah dalam pembangunan perikanan bila diminta. Di awal gagasan didirikannya pada masa Raja Isakadar Muda abad 16, lembaga ini lebih banyak berperan untuk memungut pajak laut dan (Abdullah et al., 2006). Saat ini peran PLL terus berubah dan berkembang, bahkan belakangan lembaga ini juga berkiprah di bidang pendidikan karena kepeduliannya terhadap arti pentingnya pendidikan anak-anak nelayan. Pasca tsunami, lembaga adat ini juga peran membantu pemerintah dan lembaga donor mendistribusikan bantuan, membantu rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan, terutama pembangunan kembali kapal nelayan dan mendorong nelayan untuk kembali melaut. Seiring dengan perubahan dan perkembanan zaman, peran PLL juga ikut mengalami beberapa perubahan. Kurien (2008) menyebutkan bahwa adanya perubahan politik membuat lembaga ini juga mengambil peran untuk mediasi pelaksanaan program pemerintah. Sehingga tidak salah ia menyarankan model pendekatan manajemen kolaboratif atau collaborative management (selanjutnya disebut co-management) pada program Food Agricultural Organisation (FAO) memposisikan peran panglima laot untuk bermitra dengan pemerintah. Sebagai contoh, Yulianto (2008) menyebutkan bahwa indikasi terjalnnya pendekatan co-management antara pemerintah dan PLL tampak sekali dengan terjalinnya komunikasi dalam implementasi program pengelolaan perikanan di Kota Sabang. Ia menambahkan bahwa adanya pendelegasian peran pelestarian lingkungan dari pemerintah kepada lembaga ini. Wilson et al. (2012) menyebutkan bahwa Panglima Laot merupakan model skala besar pendekatan masyarakat (large scale communities based) dalam pengelolaan perikanan. Dengan bantuan lembaga ini, mereka menambahkan bahwa telah berhasil melakukan pemetaan secara partisipati daerah-daerah berbahaya dan puncak-puncak gunung di beberapa wilayah perairan laut Aceh, seperti di sekitar perairan Lampulo-Banda Aceh. [41]
  • 7. Dari sekian banyak peran, nampaknya peran PLL sebagai pengawal konservasi jarang mengemuka ke permukaan. Biasanya peran-peran konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistem pendukungnya lebih bersifat sebagai aturan dalam hokum adat dan tidak terkait langsung dengan kegiatan konservasi. Peran-peran yang dimainkan lebih bersifat larangan dan sangsi yang diberlakukan kepada nelayan, dan itupun sangat jarang terdengar perbelakuan sangsi adat terhadap nelayan yang melanggar hukum adat. Hal ini ini dapat dipahami karena sejatinya PLL yang sudah eksis sejak abad ke 16 didesain sebagai pasukan cadangan dan memungut cukai di pelabuhan. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan terjadinya perubahan termasuk mengkonservasi sumberdaya perikanan, namun pada musyawarah lembaga hukom adat laut 6-7 Juni 2000 secara gamblang disepakati bahwa salah satu aspek adat laot adalah adat pemeliharaan lingkungan. Ada tiga poin penting arahan adat terhadap pemeliharaan lingkungan: (1) dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan biota karang, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya; (2) dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir pantai laut seperti pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup di pantai; dan (3) dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumbu, penyu dan lain sebagainya). Beberapa hasil penelitian mengemukakan juga bahwa dari 3 aspek cakupan pelaksanaan hukum adat laot, dua aspek berkaitan langsung dengan masalah lingkungan, adalah (1) pengaturan penggunaan alat tangkap dan pencegahan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan dan pembatasan wilayah penangkapan pada jarak tertentu terhadap habitat ikan; dan (2) pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, membuang sampah, membuang sisa bahan perbaikan kapal, dan membuang oli ke laut. Jika dianalisis lebih lanjut dari kedua aspek terakhir dan kesepakatan panglima laot, maka akan sangat menunjang kegiatan konservasi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, namun tidak menjelaskan peran PLL dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi didalam wilayah kewenangannya. Sehingga dari 193 PLL yang ada saat ini, maka hanya satu dalam wilayah pengelolaannya terdapat kawasan [42]
  • 8. konservasi laut yaitu PLL Iboih di Kota Sabang. Menurut Wildlife Conservation Society (2010), Project Aceh Weh Seascape telah berhasil menfasilitasi pengelolaan dearah perlindungan laut pertama yang dikelola oleh PLL. Dari 40% ekosistem karang yang potensial untuk dijadikan daerah perlindungan laut sebagai kawasan konservasi, maka sebagai prioritas telah di pilih wilayah PLL Iboih sebagai pilot proyek (Yulianto, 2008). Hal ini dimungkinkan karena antara kelembagaan pemerintah Kota Sabang dan PLL sudah terjalin komunikasi dalam hal rencana pengelolaan kawasan konservasi laut (Yulianto, 2008). Disisi lain, Pemerintah Kota Sabang menganggap bahwa lembaga tradisional ini memiliki kewenangan pengaturan pemanfaatn laut di wilayahnya dan dapat didelegasikan kewenanagan untuk kegiatan perlindungan jenis-jenis biota unik dan perlindungan dearah pemijahan (Yulianto, 2008). Kemunduran Peran Konservasi Panglima Laot Lhok Keberadaan PLL memang tetap eksis, namun efektivitas perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan eksosistemnya terutama peran konservasi sudah mengalami pergeseran bahkan cenderung mengalami kemunduran. Memang tidak ada penelitian secara khusus mengkaji penurunan peran PLL terhadap konservasi sumberdaya ikan, habitat dan ekosistemnya. Hasil wawancara dengan Panglima Laot Krueng Raya (2012) menyebutkan bahwa peran PLL selain mengelola nelayan juga mengawal kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan ekosistemsnya. Lebih lanjut, Pawang Zakaria selaku PLL menjelaskan bahwa kelembagaan yang dipimpinnya tidak saja mengelola para nelayan dari sisi sosial saja, tetapi juga membuat aturan-aturan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (SDI). Banyak faktor lain yang mempengaruhi efektivityas pengelolaan SDI. Kurniawan (2008) mengkaji sejumlah PLL di Kota Sabang dan menjelaskan bahwa cara penangkapan ikan di laut, pendapatan lembaga, batas-batas wilayah, kualitas sumberdaya manusia, system manajemen dalam usaha perikanan, dan faktor sarana dan prasanaran perikanan berkontribusi terhadap terhambatnya efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan. Adanya hambatannya ini jelas akan sangat berpengaruh dan terjadi pergeseran terhadap peran PLL dalam [43]
  • 9. mengawal adat-adat laot yang berkaitan dengan kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Untuk memperkuat apa yang menjadi argumen di atas, maka hasil observasi, diskusi kelompok dan wawancara mendalam yang kami lakukan terhadap 76 responden di wilayah PLL Krueng Raya dapat menjelaskan juga mengapa mundurnya peran PLL dalam kegiatan konservasi. Penelitian kami menyimpulkan bahwa menurunkan peran konservasi disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kelembagaan tersebut. Sebagai lembaga non profit, faktor internal yang mendominasi kemunduran peran konservasi diantaranya kurangnya kepatuhan sukarela terhadap aturan adat yang telah ditetapkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemenya, misalnya nelayan bagan (lift net boat) tetap saja menggunakan lampu melebihi dari ketentuan yang telah disepakati yaitu menggunakan lampu neon lebih dari 25 buah, bahkan ada yang menggunakan 40 buah. Disamping itu, tuntutan akan meningkatnya permintaan ikan teri baik kering dan segar telah mendorong para nelayan meningkatkan upaya (effort) penangkapan, terutama sebelum terjadinya tsunami. Akibatnya, sumberdaya ikan teri telah mengalami kelebihan tangkap dari 2.363,2 ton sumberdaya lestarinya yang diperbolehkan selama periode 1999-2004 (sebelum tsunami) (Imran and Yamao, 2014a). PLL tidak dapat mengendalikan jumlah kapal yang terus meningkat pada era 1990-an dan akhirnya mencapai 89 unit bagan dalam kurun waktu 5, seharusnya jumlah bagan optimal yang dapat dioperasikan dalam kurun waktu tersebut sesuai rekomendasi model surplus produksi hanya 43 unit (Imran and Yamao, 2014b). PLL dan para nelayan yang di jadikan responden (hampir 95%) di wilayah studi mengetahui dan memiliki pengetahuan pentingnya ekosistem mangrove dan terumbu karang untuk melestarikan sumberdaya ikan. Hal ini tercermin dari adanya adat laut untuk tidak menebang pohon bakau, aron (cemara laut) dan terumbu karang pada wilayah kewenangan PLL Krueng Raya. Dalam konteks ini nelayan yang bernaung dalam PLL Kreung Raya sangat menghormati dan mematuhi adat laut tersebut, namun konversi mangrove untuk tambak pada era 1980-an tidak dapat dicegah oleh PLL karena status kepemilikan lahan sebagian besar bukanlah milik nelayan. Dan tsunami menambah parah [44]
  • 10. kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini dan luasannya tinggal 5% pada 2012 (Imran and Yamao, 2014b). Begitu juga yang terjadi terhadap terumbu karang, misalnya di sekitar Tanjung Akhmad Ramanyang terus mengalami peningkatan kerusakan akibat meningkatnya aktivitas nelayan yang menggunakan potassium sianida untuk menangkap jenis-jenis ikan hias oleh para nelayan pendatang yang telah menetap di wilayah Kreung Raya, dan umumnya mereka tidak mematuhi adat laut yang telah ditetapkan. Lemahnya fungsi-fungsi pengelolaan PLL dan terbatasnya dana juga membuat lembaga ini tidak memiliki peran sampai pada tingkatan aksi pengelolaan kawasan konservasi. Artinya adat laot terhadap pelestarian sumberdaya ikan tidak diikuti oleh tindakan pengelolaan kawasan konservasi. Sebagai contoh di wilayah Teluk Krueng Raya yang memiliki laguna dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang tidak ada wilayah atau kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Di sisi lain keterbatasan pengetahuan tentang siklus reproduksi ikan pun telah membuat nelayan secara tidak sadar melakukan eksploitasi terhadap sumberaya ikan sepanjang siklus hidup ikan teri misalnya. Hasil penelitian Imran dan Yamao (2014a) melaporkan bahwa nelayan bagan menangkap ikan teri sepanjang tahun pada musim timur dan barat. Faktor internal lainnya adalah menurunnya kewibawaan PLL, terutama pasca tsunami. Para nelayan umumnya sangat menghormati peran dan fungsi lembaga yang mewadahi mereka, namun rasa kepatuhannya agak berkurang sebagai akibat kurang adilnya oknum PLL dalam mendistribusikan bantuan para donor dan pemerintah. Akibatnya konflik sering terjadi antara PLL dan nelayan. Sebagai contoh, nelayan bagan yang beralih profesi menjadi nelayan pancing5 ada kontribusi oleh faktor ketidakadilan dalam pendistribusian bantuan bagan. Karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh PLL, akibatnya mereka mulai kurang mematuhi apa yang menjadi ketentuan adat laot, terutama yang berkaitan dengan konservasi, misalnya 5 Umumnya nelayan pancing ini menangkap jenis-jenis ikan karang seperti kerapu pada ekosistem terumbu karang dan aktivitas labuh jangkar mereka di sekitar atau bahkan pada karang-karang yang masih hidup tanpa disadari sudah merusak ekosistem tersebut. [45]
  • 11. merusak ekosistem terumbu karang dengan melempar jangkar pada karang yang masih hidup. Disamping faktor internal, beberapa faktor ekternal juga ikut mendorong semakin lunturnya penegakkan adat laut yang berkaitan dengan konservasi. Kepentingan pembangunan sektor lain, sering kali mengalahkan sub sektor perikanan tangkap. Acapkali pengembangan kegiatan industri seperti yang terjadi pada pembangunan pabrik pengolahan semen, aspal, dan depot penampung minyak di Teluk Krueng Raya tidak melibatkan secara aktif PLL. Akibatnya peran-peran PLL untuk menyampaikan berbagai adat laot termasuk yang berkaitan dengan konservasi menjadi sangat minim. Para pihak-pihak yang berkepentingan sering menghindar dari nilai-nilai kearifan lokal dan lebih mengutamakan pengakuan kelembagaan formal seperti unsur pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten, dan Provinsi dalam pengambilan keputusan. Kondisi semacan ini pun juga sering terjadi di wilayah PLL lainnya di Provinsi Aceh. Tsunami tidak saja berakibat pada jatuhnya korban jiwa, tetapi juga mempengaruhi terhadap nilai-nilai lokal yang telah lama berkembang di Aceh secara tidak langsung. Masuknya Non Government Organisation (NGO) dan organisasi donor baik dalam maupun luar negeri ikut berperan dalam membentuk tatanan nilai baru terhadap PLL. Karena kebanyakan program dan kegiatan yang mereka lakukan lebih berorientasi kepada pemulihan mata pencaharian perikanan tangkap, sehingga nilai-nilai atau adat laot yang berkaitan dengan konservasi sedikit terabaikan. Bahkan jarang sekali NGO atau lembaga donor yang membina dan membangun kembali nilai-nilai konservasi yang telah ada pada kelembagaan PLL. Walaupun ada, persentasenya sangat kecil (tidak sampai 1%), seperti yang dilakukan World Conservation Society terhadap PLL Iboih di Kota Sabang. Faktor eksternal lainnya adalah adanya peran pemerintah yang cenderung dominan dalam proses perencanaan suatu kawasan konservasi laut. Jika dominansi pemerintah terlalu dipertontonkan, maka bukan tidak mungkin peran PLL untuk mengelola kawasan konservasi perairan akan termajinalkan karena pemerintah mengganggap PLL tidak memiliki struktur dan sistem organisasi yang memadai, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan tidak [46]
  • 12. tersedianya dana dalam mengelola kawasan konservasi perairan. Barangkali pemerintah berpikir lebih baik menyiapkan kelembagaan yang lebih formal dan memliki hubungan vertikal langsung, dapat berbentuk unit pelaksana teknis atau badan pengelola KKPD. Kebutuhan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Wilayah Pengelolaan Panglima Laot Lhok Kebutuhan terhadap keberadaan KKPD bagi Aceh sudah tidak dapat di tawar lagi. Kebutuhan ini didasarkan pada kajian aspek sumberdaya ikan, tersedianya perangkat hukum, kekuatan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki nelayan Aceh, target pengembangan luasan kawasan konservasi perairan nasional, dan adanya pengakuan dunia international terhadap keberadaan kelembaaan orisinal yang peduli dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kesemua aspek ini ada yang bersifat tantangan, peluang, kekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di masa mendatang. Aceh memliki sumberdaya perikanan tangkap yang besar dan berkontribusi terhadap produksi perikanan tangkap nasional. Namun kontribusi Aceh terus menurun dan hanya mencapai 2,73% pada tahun 2011. Indikasi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Aceh sudah mulai menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kelimpahan (abundance). Namun, Komisi Nasional Stok Sumberdaya Ikan melaporkan bahwa kondisi beberapa unit stok sumberdaya ikan demersal dan pelagis pada WPP 571 dan 572 sudah mengalami tangkap lebih (over exploited), terutama jenis udang (shrimp), kakap merah (red snappers), banyar (indian mackerel) dan kembung (short body mackerel) pada tahun 2010 (Kepmen Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011). World Fish Center (2006) melaporkan bahwa sumberdaya ikan di perairan Selat Malaka telah berada pada kondisi tangkap lebih (overfishing). Kondisi ini diperkuat oleh oleh ekspedisi Lembaga Penelitian Pengetahun Indonesia pada 2006 yang melaporkan bahwa jenis ikan pelagis baik komposisi jenis maupun ukuran distribusi sudah mengalami penurunan. Di sisi lain, jumlah armada penangkapan ikan terus bertambah baik sebelum maupun setelah tsunami, terutama armada penangkapan ikan skala kecil. Menurut data statistik perikanan aceh, jumlah kapal [47]
  • 13. yang beroperasi di Aceh mencapai 15.576 unit pada tahun 2004. Jumlah ini meningkat 44,7% dari jumlah 10.768 unit pada tahun 2002. Walaupun tsunami, jumlah armada penangkapan ikan tetap meningkat, dan mencapai 15.995 unit pada tahun 2012. Bila jumlah ini tidak dikendalikan, diprediksikan akan mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Namun tuntutan perluasan kawasan konservasi perairan nasional sudah menjadi target pemerintah Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan mentargetkan luasan konservasi perairan mencapai 20 juta ha pada tahun 2020, pada tahun 2013 luasannya sudah mencapai 13,9 juta ha. Namun sangat disayangkan di Aceh sendiri sampai dengan tahun 2013, secara resmi hanya tercatat satu kawasan konservasi laut, yaitu Teluk Pulau Weh melalui surat keputusan Menteri Pertanian Nomor 928/KPTS/U/12/82 untuk melindungi terumbu karang. Peluang ini telah ditangkap dengan baik oleh PLL dan pemerintah kabupaten untuk mengusulkan KKPD. Setidaknya sudah ada sembilan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang diusulkan menjadi KKPD yaitu Kecamatan Seulimum, Mesjid Raya, Baitusalam, Darussalam, Peukan Bada, Pulau Aceh, Lhoknga, Leupung, dan Lhoong, karena terdapat kawasan yang memiliki potensi sebagai tempat berkembang biak ikan-ikan dan terumbu karang (Panglima Laot Kabupaten Aceh Besar, 2012). Dan sebenarnya pemerintah Kabaupaten Aceh Besar telah mengusulkan dan menetapkan 16 kawasan yang dicadangkan sebagai kawasan konservasi perairan daerah melalu Surat Keputusan Bupati Nomor 11 dengan tujuan menjaga sumberdaya hayati ekosistem pesisir dan laut yang menjadi penunjang hidup masyarakat pesisir. Jika ditilik lebih lanjut Aceh sebagai daerah istimewa memiliki peluang besar untuk menginisiasi dan mengembangan KKPD dengan pelibatan PLL secara aktif. Berbagai produk perundangan-undangan dan qanun telah memberikan ruang kepada kelembagaan adat dalam hal ini PLL untuk megelola kawasan konservasi perairan (lihat Tabel 1). [48]
  • 14. Tabel 1. Berbagai produk hukum menguatkan adanya pelibatan PLL dalam pengelolaan KKPD Produk Hukum Pasal/ayat/butir Isi [49] UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 6 ayat 2 Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Pasal 52 Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau penyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pasal 60 Ayat 1 Butir c butir d mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan; UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Laut Pasal 61 Ayat 1 Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun
  • 15. [50] Ayat 2 Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh Pasal 162 Ayat 2 butir e Pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 2 Ayat 9 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Qanun No. 16 tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pasal 11 Ayat 1 Dalam pengelolaan, sumber daya perikanan Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan lembaga Panglima Laot dan hokum adat laot yang telah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat, nelayan di Provinsi Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat Pasal 10 Ayat 1 huruf f perlindungan hak masyarakat adat, yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut, sungai, danau, dan hak-hak masyarakat lainnya Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat Pasal 2 Ayat 2, huruf i Pasal 6 panglima laot atau nama lain Setiap lembaga adat dapat berperanserta dalam proses perumusan kebijakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
  • 16. tingkatannya yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing lembaga adat. Disamping dukungan berbagai produk hukum secara nasional dan daerah, Aceh sebagaimana telah diuraikan juga memiliki kekuatan nilai-nilai kearifan lokal yang telah berkembang lebih dari 400 tahun yang lalu. Unit-unit pengelolaan sumberdaya perikanan sampai tingkat lhok6, teluk, dan kuala telah eksis walaupun sangat minim pengetahuannya tentang bagaimana menetapkan kawasan konservasi laut, namun nilai-nilai traditional dan adat laut sudah memberikan ruang untuk pengelolaan konservasi perairan. Jika peluang ini dimanfaatkan, setidaknya 193 kawasan konservasi perairan dapat di tetapkan dan dikelola secara bersama oleh pemerintah dan PLL. Keberadaan PLL sebagai unit pengelola sumberaya ikan juga sudah dikenal oleh dunia international. Bahkan dunia international pun mengaku keberadaan PLL sebagai nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki peran untuk konservasi sumberdaya ikan. Pasca tsunami, Wildlife Consrvation Society (WCS) sebagai salah satu lembaga konservasi bertaraf internasional meluncurkan The Aceh-Weh Seascape Program di wilayah perairan Sabang pada 2005. Dari sejumlah ekosisem terumbu karang yang dikaji, setidaknya telah diusulkan wilayah Iboih sebagai kawasan konservasi dengan ujung tombak pengelolaanya dilakukan oleh PLL setempat. Belakangan, pada tahun 2012, WWF juga telah memprakarsai kegiatan fokus grup diskusi dan sosialisasi Kawasan Konservasi Perairan Indra Purwa Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar untuk mendesain adanya pengelolaan kawasan konservasi perairan yang disertai dengan 6 Lhok dalam artian kata dapat dipadankan sebagai teluk(an). Secara terminologi atau istilah merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh sekelompok nelayan serta dipimpin oleh seorang yang dipilih dan dituakan untuk memimpin wadah masyarakat nelayan (Panglima Laot Lhok) (Nasution, 2012). Setiap Panglima Laot Lhok memiliki wilayah kelola laut penangkapan dan tempat pendaratan ikan (di wilayah pantai atau pesisir) [51]
  • 17. tersusunnya rencana strategis zonasi kawasan pesisir Kabupaten Aceh Besar. Apa yang menjadi fakta di atas merupakan suatu peluang bagi Aceh untuk menysun suatu konsep pengelolaan KKPD yang berbasis pada masyarakat atau kelembagaan lokal. Pastinya peluang ini perlu diikuti dengan suatu konsepsi dalam kerangka yang lebih lengkap. Memperhatikan pada kondisi Aceh, maka pada kesempatan ini kami akan sedikit mengulas dan menawarkan konsepsi “Tatakelola KKPD Berbasis Sosial-Ekologi Sistem” sebagai salah satu alternatif atau model yang dapat dikembangkan ke depan. Integrasi Panglima laot dalam Tatakelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial Ekologi Sistem 1. Pengenalan Tatakelola dan Pendekatan Sosial Ekologi Sistem [52] Kawasan Konservasi Adanya KKPD di wilayah perairan kabupaten (Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan), sejogyanya perlu diikuti oleh tatakelola (governance)7 untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan kawasan itu sendiri. Banyak definisi yang mengemuka tentang tatakelola terhadap sumberdaya alam, namun yang paling dekat untuk tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah definisi rumusan Jones et al. (2011) untuk United Nation Environment Programe (UNEP) yang menyebutkan bahwa tatakelola mengarahkan perilaku manusia dengan mengkombinasikan peran masyarakat, pemerintah dan insentif pasar dalam rangka mencapai tujuan strategis. IUCN menyebutkan bahwa tujuan strategis pembentukan kawasan konservasi dalam satu hamparan geografis didikasikan dan dikelola secara legal untuk menkonservasi alam dalam jangka panjang dan menyatu dengan jasa ekosistem dan nilai-nilai budaya. Tujuan strategis 7 Seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi untuk menentukan keputusan…the process of decision-making and the process by which decisions are implemented by using the principle of participation, concesus oriented, accountable, transparent, responsive, equitable and inclusive, effective and efieisein, and follow the rule of law (UNESCAP). “the systems and processes concerned with ensuring the overall direction, effectiveness, supervision and accountability of an organisation.”
  • 18. ini juga di adop dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia. Jika tawaran UNEP yang dikemukan Jones et al. (2011) dapat diterima dalam tatakelola KKPD, maka setidaknya ada tiga perpektif yang perlu diperhatikan yaitu pendekatan dari atas ke bawah (top-down), pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan pendekatan insentif pasar (market-incentive). Ketiga pendekatan tatakelola KKPD ini akan bermuara kepada pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya yaitu pengelolaan secara co-management. Namun dalam kontek tatakelola KKPD ini juga perlu diarahkan dan menempatkan pendekatan ekosistem sebagai basis pengelolaan dan menjadikannya unsur yang sangat penting dan strategis. Namun, pendekatan ini juga perlu menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai komponen penunjang tatakelola KPPD. Kedua pendekatan inilah yang dikenal saat ini sebagai pendekatan sistem sosial ekologi. Kajian Jones et al. (2013) menyebutkan bahwa dari sisi top-down dibutuhkan kontrol negara melalu hukum dan regulasi lainnya untuk memastikan keanekaragaman hayati dan sumberday alam sebenarnya terproteksi untuk mencegah terjadinya degradasi dan kerusakan. Dalam konteks ini, jika diimplementasikan di Indopnesia, maka akan sangat jelas sekali bahwa peran Negara adalah membuat undang-undang dengan berbagai perangkat hukum dan kebijakan menjadi sangat penting, sehingga ada jaminan hukum dan keuangan dalam melakukan proteksi keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Produk-produk hukum yang mengarah adanya peran Negara sudah dilahirkan, sebagai contoh UU Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan bebeberapa UU lainnya (lihat Tabel 1). Bahkan di Aceh sendiri, produk peraturan dearah atau lebih dikenal saat ini dengan sebutan qanun (lihat Tabel 1) sudah banyak berpihak kepada adanya upaya proteksi sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Peran negara yang diwakili oleh pemerintah dan beberapa pemerintah daerah sudah tampak dengan semakin luasnya kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan. Namun kondisi ini masih sangat jauh berbeda jika menilik keberadaan KKPD di Aceh. Kedua, dari pandangan bottom-up dituntut adanya adopsi pendekatan berbasis masyarakat dalam rangka tatakelola wilayah yang dilindungi yang mendedapankan desentralisasi keputusan dan [53]
  • 19. penguatan masyarakat local melalui pelibatan mereka baik dalam musyawarah dan pengambilan keputusan. Saat ini pendekatan model ini sudah banyak disososialisasikan dan diimplementasikan karena mempertimbangkan pengetahun lokal (local knowledge) dan adat istiadatnya yang mempraktekkan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan, serta dianggap sesuai dengan kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati. Keberhasilan pendekatan seperti ini sudah terbukti pada masyarakat adat di Ambon yang menerapkan adanya sasi (aturan) tutup perairan saat musim tertentu, terutama saat ikan akan bertelur dan sasi buka saat ikan boleh ditangkap kembali, terbukti efektif untuk pelestarian jenis ikan sampai dengan saat ini. Di Aceh sendiri, adanya beberapa hukum adat laut terhadap larangan perusakan ekosistem, terutama terumbu karang setidaknya memberikan peran dalam pelestarian ikan, terutama wilayah perairan PLL yang memiliki ekosistem terumbu karang seperti di Iboih Kota Sabang. Dan ketiga, market-incentives setidaknya diperlukan sebagai: (1) dukungan alternatif untuk keberlanjutan matapencaharian yang relavan, (2) dalam perhitungan nilai ekonomi jasa keanekaragaman hayati sebagai modal alam dan ekosistem sebagai penyeimbang pengembailan keputusan untuk mengeksploitasinya, dan (3) penekanan pada hak-hak sumberdaya alam dalam memperbaiki tatakelola sumberdaya alam untuk pengembangan ekonomi yang lebih rasional. Pendekatan ini sangat rasional, mengingat bahwa masyarakat sekitar kawasan konservasi terutama yang bermata pencaharian sebagai nelayan perlu diberikan insentif ekonomi jika mereka berhasil mengelola kawasan konservasi, karena mereka sudah mematuhi untuk mengurangi luasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan barangkali mereka akan mengembangkan rumpon-rumpon laut dangkal sebagai alternatif wilayah penangkapan. Dalam kontek inilah pemerintah perlu memberikan kemudah-kemudahan kepada nelayan yang memasarkan produk-produk perikanan dan dapat juga memberikan subsidi bahan bakar minyak atau dalam bentuk program pengadaan rumpon, sehingga mengurangi biaya operasional yang dikeluarkan oleh nelayan. Integrasi ketiga aspek diatas dalam pengelolaan KKPD juga perlu diikuti dengan menngabungkan (incorporating) pendekatan sistem sosial ekologi (social-ecological system, SES) dalam perlindungan [54]
  • 20. kawasan tersebut. Pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem (ecosystem based management) sudah sering dikaji dan sudah diimplementasikan untuk pengelolaan perikanan dan daerah perlindungan laut baik mengikuti kerangka kerja (framework) FAO maupun IUCN. Namun pendekatan SES mulai dikenal ketika Berkes dan Folke (1998) mengemukan alasan bahwa mereka menolak anggapan dimensi sosial atau ekologi memiliki bobot yang berbeda, tetapi harus memiliki bobot yang sama dan terhubungkan (link) dalam mengelola sumberdaya alam. Mereka menyebutkan bahwa interaksi komponen SES yang terdiri ekosistem (ecosystem), manusia dan teknologi (people and technology), pengetahun lokal (local knowledge), dan hak kepelikan (property right) yang akan membentuk pola interaski dan keberlanjutan social, begitu juga sebaliknya bahwa pola interaksi dan keberlanjutan social akan mempengaruhi pola hubungan setiap komponen SES. Dalam perkembangan selanjutnya, Ostrom (2009) kembali mengemukakan pandangannya bahwa pengelolaan sumberdaya alam termasuk perikanan perlu di analisis dengan menggunakan kerangka pendekatan SES, karena kerusakan sumberdaya perikanan sangat dipengaruhi system lainnya dan salah satunya adalah sistem sosial. Di Indonesia sendiri, kajian pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan SES setidaknya telah dilakukan oleh Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems (SPICE) Project- Leibniz Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) yang mengkaji interaksi sosial dan ekologi di Kepulauan Spermonde (Provinsi Sulawesi Selatan), Sagara Anakan (Kabupaten Cilacap) dan Dearah Aliran Sungai Siak (Provinsi Riau) dalam kurun waktu 2003-2007. Adapun tujuan akhir dari penerapan pendekatan SES dalam kontek KPPD adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Namun akhir-akhir ini, kajian penerapan pendekatan SES dalam pengelolaan kawasan konservasi atau daerah perlindungan (protected area) mulai menjadi wacana. Pada tanggal 22 Januari 2014, Jurnal BioScience mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan Palomo dan kawan-kawan dengan judul “Incorporating the Social-Ecological System Approach in Protected Areas in the Anthropocene”. Ide Palomo dan kawan-kawan muncul sebagai kegelisahan mereka akibat berlanjutnya penurunan terhadap keanekargaman hayati (Butchart et [55]
  • 21. al., 2010) walaupun sampai akhir 2013 luasan daerah perlindungan mencapai 12,7% di darat dan 1,6% di laut (Bergzky et al., 2012). Palomo et al. (2014) menyebutkan bahwa pendekatan atau konsep daerah perlindungan terus berevolusi dari pendekatan pulau (island approach) (era 1872-1980) kepada pendekatan bentangan atau kawasan (landscape approach)(era pertengahan 2000-saat ini). Mereka memperkirakan bahwa pendekatan terakhir ini akan berubah lagi kepada pendekatan social ekologi (SES approach)(saat ini-masih tanda tanya). Ada beberapa evolusi terhadap atribut yang terkandung dalam setiap konsep dan sebagai gambaran dapat dilihat perbedaan antara landscape approach and SES approach (Paloma, 2014)(lihat Tabel 2) Tabel 2. Perbandingan Antara konsep kawasan perlindungan dengan pendekatan landscape approach dan social-ecological approach Atribut Pendekatan untuk daerah perlindungan Tipe pengelolaan Dinamis: perubahan-perubahan alam perlu [56] dipertimbangkan Adaptif: perubahan alam dan sosial seharusnya di gabungkan dalam pengelolaan Pertimbangan nilai konservasi Nilai intrisik ekosistem, keanekaragaman, proses-proses ekologi (fungsi, integritas ekologi), nilai-nilai budaya Nilai intrisik dan instrumental ekosistem dan keanekaragaman (jasa ekosistem) Pelibatan pengetahuan Ilmiah dan teknis Ilmiah, teknis, dan pengetahuan ekologi local Resiliensi melawan gangguan Sedang-tinggi Tinggi Kompetisi melawan peruntuhan lahan lainnya Kompetisi sangat tinggi karena kebutuhan terhadap lahan sangat tinggi Koperatif karena menggunakan pendekatan multifungsi lahan Keterlibatan penduduk lokal Penduduk lokal terlibat dalam proses pengelolaan Benar-benar dikelola oleh penduduk lokal
  • 22. [57] partisipatif Pengelaan kawasan Tidak memadukan pengelolaan terpadu, pengelolaan di arahkan untuk menghindari ancaman terhadap kawasan Memadukan pengelolaan kawasan, pengelolaan kawasan dilakukan secara menyeluruh Sumber: Paloma et al. (2014) Pengelolaan daerah perlindungan saat ini ada beberapa keterbatasan. Paloma et al. (2014) setidaknya mengidentifikasi 3 keterbatasn daerah perlindungan saat ini, yaitu: (1) tidak mempertimbangkan adanya perubahan yang berakibat langsung dan tidak langsung serta cenderung terisolir, (2) kurang tepatnya lokasi dan ukuran daerah perlindungan, dan (3) tidak terhubungkan antara daerah perlindungan dengan masyarakat. Untuk menjawab adanya keterbatasan tersebut, maka Paloma et al. (2014) menawarkan pendekatan daerah perlindungan perlu mempertimbangkan keterpaduan system sosial ekologi dan ilmu sosial ekologi, peningkatan dukungan sosial, proses partisipasi dan co-management untuk mengurangi konflik sosial, pelibatan beragan institusi pada tatakelola, pelibatan penerimba manfaat jasa ekosistem dalam proses perencanaan, pemahaman adanya kesenjangan kawasan terhadap jasa ekosistem, dan hindari kesalahan penentuan lokasi dan perbedaan peran dalam kawasan perlindungan yang multi fungsi. Memang apa yang dikemukan oleh Paloma dan kawan-kawan barangkali lebih terkesan pada daerah perlindungan di darat, namun konsep ini tidak salah juga jika diterapkan terhadap daerah perlindungan laut dengan menyesuaikan dan memperhatikan karakteristik sosial ekologi wilayah pesisir dan laut. Dengan memperhatikan pada penjelasan dan argumentasi di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa tatakelola kawasan konservasi perairan yang baik perlu memperhatikan keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekosistemnya, adanya pelibatan pemerintah dan masyarakat (setidaknya diwakili kelembagaan lokal), dan kemanfaatan kepada masyarakat. Mempertimbangkan pada kondisi dan keberadaan sumberaya ikan saat ini, barangkali pendekatan tatakelola kawasan konservasi perairan berbasis sosial ekologi sistem dapat diterapkan di
  • 23. Aceh. Penjelasan berikut akan terbatas kepada bagaimana membangun kontruksi peran PLL dalam tatakelola dan implementasi rencana pengelolaan KKPD ke berbasis sosial ekologi sistem ke depan. 2. Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok ke dalam Tatakelola [58] Kawasan Konservasi Keberhasilan pengelolaan KPPD sangat ditentukan oleh adanya peran secara kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah, NGO dan kelembagaan lokal (indigenous institution). Memperhatikan pada kondisi dan sejarah Aceh, maka model tatakelola yang sesuai untuk mengelola KKPD adalah model tatakelola secara kolaboratif8. Secara umum model semacam ini sudah banyak diterapkan pada berbagai kawasan konservasi laut di seluruh dunia dan Indonesia. Barangkali contoh yang menarik untuk di tiru adalah model pengelolaan KPPD di wilayah perairan Raja Ampat. Menurut Rumetna et al. (2011) Raja Ampat yang memiliki 7 unit KKLD9 di bentuk kedalam satu jejaring KKLD dengan membentuk satu struktur tatakelola mengikuti arahan Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan dan KKLD Raja Ampat memang harus dikelola secara terpadu. Dalam model struktur tatakelola KKLD Raja Ampat sebagaimana telah disyahkan melalui Peraturan Bupati Raja Ampat No.16 Tahun 2009 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kelautan dan Perikanan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat, jelas tercermin bahwa tatakelola yang dikembangkan melibatkan unit pemerintah daerah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat) dan unsur masyarakat lokal (unit pengelolaan KKLD setempat)10. Dalam mengembangkan model ini peran NGO sangat membantu, karena seperti pada kasus pembnetukkan KKLD Raja Ampat, 8 Teori kolaboratif mempertimbangkan perilaku negoisasi antar organisasi dan proses social. Pada tataran pengelolaan, maka koolaboarat- dapat dideoifikaskan sebagai adanya bagi-bagi (sharing) kekuasaan dan tanggungajawab antaran pemerintah dan masysarakat (Pinto da Silva, 2004) 9 KKLD Ayau-Asia, KKLD Wayag-Sayang, KKLD Teluk Mayalibit, KKLD Selat Dampier, KKLD Kofiau dan KKLD Misool Timur Selatan, dan KKLD di Waigeo Barat Daya 10 Kepala UPTD dan unsur tatausaha merupakan pegawai pemerintah yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan berstatus fungsional. Sementara unit-unit pengelola KKLD masing-masing wilayah merupakan unsur masyarakat local yang bersifat non structural.
  • 24. The Nature Consevartion memiliki peran sebagai fasilitator dan mediator mulai dari tahapan inisiasi, lanjutan, sampai tahapan finalisasi. Pastinya keberhasilan pembentukan KKLD Raja Ampat tidak terlepas dari peran-peran masyarakat local secara pro aktif yang ingin memperbaiki tingkat kesejahteraan dan menjaga kelestarian sumberdaya, utamanya ikan dan ekosistem terumbu karang. Pada model tata kelola kolaboratif terdapat beberapa peran strategis dan penting yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau kelembagaan lokal. Pada tatakelola dengan pendekatan co-management, maka 5 peran penting dan strategis masyarakat yang meliputi peran instructive, consultative, co-operative, advisory, dan informative; perlu diperhatikan dan diseimbang dengan peran permeintah (Sen and Neilson, 1996). Dalam konteks ini masyarakat lokal diwilayah pesisir dan laut Aceh dapat direpresentasikan oleh PLL dapat memainkan 5 peran sebagaimana yang dirumuskan dalam spektruk co management. Pendekatan model ini atau disebut juga pendekatan desentralisasi tatakelola (desentralized governance) telah diadopsi dan diimplementasikan oleh Negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk keperluan tatakelola kawasan konservasi laut (Jones et al, 2013). Mereka menyebutkan pendekatan ini dicirikan oleh adanya perpaduan pendekatan top-down, buttom-up, dan market incentive. Mempertimbangkan pada penjelasan di atas, maka PLL memiliki multi peran dalam tatakelola KKPD. PLL harus mampu menempatkan diri sebagai wakil nelayan mulai dari tahapan inisiasi, perencanaan, dan pelaksanaan pengelolaan LLD sesuai dengan peran-peran yang di adopsi dari spektrium co management. Sebagai contoh, PLL yang mengelola nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya ikan harus dapat menawarakan dan mentranfer pengetahuan lokal sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat untuk membangun tatakeloa KKPD yang baik. Disamping itu, PLL perlu membantu pemerintah melalui unit pengelolaan yang dibentuk nantinya dalam menyusun kerangka dan penegakan hukum dalam pengelolaan KKPD dan melestarikan sumbereaya ikan dan ekosistemnya. Secara rinci peral PLL dalam kerangka tatakelola KKPD dapat dilihat pada Tabel 3. [59]
  • 25. Tabel 3. Peran PLL pada tahapan inisiasi, pengembangan rencana, dan pelaksanaan menggunakan pendekatan spectrum co management Peran Tahapan Inisiasi Penyusunan dan Pengembangan Rencana [60] Pelaksanaan Informatif  Pro- aktif melakukan identifikasi potensi wilayah yang dapat diusulkan menjadi kawasan konservasi perairan  Memberikan informasi tatakelola pengelolaan sumberdaya perikanan secara lokal,  Menyampaikan kedinamisan perubahan kondisi social, ekonomi, budaya, dan konflik antar nelayan;  Menyampaikan kondisi sumberdaya perikanan  Menyampaikan fungsi regulasi, eksekutur dan yudikator yang perannya  Pro-aktif melaporkan permasalah dan konflik yang terjadi dalam fase pengelolaan KKPD;  Menyampaikan data dan informasi hasil tangkapan ikan pada zona pemanfaatan dan penyangga Penasehat (Advisory)  Sosialisasi pentingnya kawasan konservasi laut kepada nelayan;  Menginformasik an pola pendekatan yang tepat dalam memahami perilaku nelayan  Mendampingi nelayan setiap proses pengambilan keputusan;  Mengarahkan nelayan untuk menyampaikan aspirasi yang positif dan partisipa aktif dalam  Menjalin kerjasama dengan PLL lainnya yang memiliki jejaring pengelolaan KKPD;  Membuka peluang kerjasama dengan lembaga tradisional lainnya untuk
  • 26. penyusunan dokumen perencanaan;  Menyampaikan informasi kepada mediator atau fasilitator tentang tatalaksana penyelesaian konflik, dan pemberlakuan sangki adat laot kepada para pelanngar [61] pengelolaan secara terpadu kawasan konservasi perairan Kooperatif  Mengarahkan nelayan untuk berpikir positif akan manfaat adanya KKPD;  Membuka peluang kerjasama pengelolaan secara kolaboratif KKPD  Pro aktif dalam setiap pengambilan keputusan tentang zonasi, renacana pengelolaan, dan rencana aksi KKPD;  Mengedapan musyawarah untuk mufakat setiap pengampilan keputusan tentang dokumen perencanaan;  Memadukan dan menyatukan diri dengan pihak pengelola yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten dalam struktur tatakelola KKPD, walaupun sifatnya sukarela dan non-struktural;  Melaksanakan tugas-tugas implementasi program, monitoring, dan pengawasan secara sukarela Konsultatif  Pro-aktif bertanya terhadap arti penting adanya KKPD Menawarkan penerapkan pengetahun local tentang hokum adat laot yang berkaitan dengan pelestarian sumberaya ikan dan ekosistem  Menyampaikan evaluasi terhadap program yang telah dilaksanakan  Menyapaikan saran dan nasehat untuk perbaikan program selanjutnya
  • 27. [62] Instruktif  Mengarahkan nelayan memberikan informasi yang benar dan akurat bila ditanya pihak pemerintah dan fasilitator (NGO) Partipatif dan secara sukarela dalam mendampingi mediator dan fasilitator dalam melakukan survey, dan pertemuan-pertemuan  Mengarahkan nelayan untuk mematuhi aturan dan sangsi adat laut;  Memberikan sangsi kepada nelayan yang melanggar adat laut tentang KKPD Sumber: Hasil Analisis (2014) Pada akhirnya PLL dapat memainkan perannya dalam membangun tatakelola yang baik untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Diharapkan PLL dapat membantu mengadopsi 8 prinsip tatakelola yang baik yang telah dikembangkan United Nation Development Program (UNDP), yaitu: adanya partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung, rule of Law yang ditandai dengan membangun kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, keterbukaan (transparency) yang dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi berkaitan dengan kepentingan public, tanggungjawab (responsiveness) yang ditandai adanya lembaga-lembaga publik yang cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder, orientasi konsesus (consensus orientation) kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas, kesetaraan (equity) kesempatan untuk setiap masyarakat untuk memperoleh keadilan, efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber daya publik, dan dapat dipertanggungjawabkan (accountability) kapada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.