SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
PRO KONTRA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Oleh : Ayu Pratiwi dan Syafran hadi
Secara substantif UU No 27 Tahun 2007 mengandung tiga orientasi kepentingan dalam memaknai
pengelolaan wilayah pesisir yakni (i) industrialisasi/privatisasi yang ditandai hadirnya HP3, dan
aturan akreditasi; (ii) konservasionis dengan munculnya terminologi ekosistem, bio-ekoregion,
kawasan konservasi, hingga rehabilitasi; (ii) “Rakyat” dengan pengakuan masyarakat adat, istilah
masyarakat lokal, masyarakat tradisional, hingga kearifan lokal. Akan tetapi, bila mencermatinya
pelbagai terminologi mengandung “kontroversial”.
Kebijakan penyewaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP-3) seperti yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sampai saat ini masih menimbulkan pro-kontra yang substansial
antara pemerintah dan para stakeholders kelautan lainnya. Kebijakan tersebut akan berlaku efektif
pada akhir Juli 2008 ini.
Pemerintah mengharapkan dengan sistem HP-3 ini pendapatan negara dari sektor kelautan
mengalami peningkatan melalui biaya perijinan sertifikat HP-3 dan biaya pajak lainnya yang saat ini
sedang disusun peraturannya. Namun, kebijakan tersebut ternyata tidak didukung oleh naskah
akademik yang komprehensif.
Selain itu juga, pemerintah saat ini belum menghitung secara jelas berapa besarnya biaya
pengawasan dan penegakan hukum untuk meminimalisir dampak negatif penerapan sistem tersebut.
Apakah pendapatan negara dari HP-3 tersebut lebih besar dari biaya pengawasan HP-3 yang akan
dilaksanakan ataukah sebaliknya
Hal ini belum bisa dijelaskan dalam tulisan ini mengingat pemerintah belum menentukan berapa
tarif yang akan diberlakukan untuk setiap meter persegi wilayah perairan yang akan di HP-3 kan
atau disewakan kepada para pengusaha.
Namun secara hitungan kasar dapat dijelaskan bahwa biaya pengawasan dan penegakan hukum atas
penerapan HP-3 ini akan jauh lebih besar, apalagi dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM.
Saat ini saja, setelah kenaikan harga BBM, setiap kapal pengawas perikanan yang seharusnya
beroperasi seratus hari hanya dapat beroperasi sekitar 71 hari saja.
Hal ini disebabkan bahwa 90 persen dari biaya operasional kapal adalah untuk pembelian BBM.
Masih terbatasnya fasilitas bunker Pertamina di beberapa daerah, mengakibatkan pembelian BBM
untuk beberapa kapal pengawas tersebut sebagian masih terkena harga BBM industri. Artinya bahwa
pascakenaikan BBM terjadi kekosongan hari pengawasan di wilayah perairan Indonesia sekitar 30
persen. Pengurangan waktu operasi kapal pengawas tersebut akan berdampak terhadap peningkatan
berbagai aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia.
Dampak Negatif
Pertama, bila masyarakat adat memiliki otoritas penuh menentukan HP3-nya, lantas siapa yang
menjamin tak akan melakukan transferability ke pemilik modal? Itu baru masyarakat adat. Amat
disayangkan masyarakat adat jadi alat bargaining politik penguasa untuk meloloskan HP3. Belum
lagi nelayan tradisional, maupun petani tambak tradisional jika melakukan hal serupa.
Penelitian Karim dan Lenggono (2008) di Delta Mahakam membuktikan ekspansi lahan
pertambangan minyak dan gas (migas) semakin luas sekalipun kewenangannya di Departemen
Kehutanan. Pun, masih ada saja rakyat yang menjualnya ke perusahaan migas demi mendapatkan
uang. Padahal, tak satu pun bersertifikat. Sebab, kondisinya sudah berubah jadi lahan bera yaitu
lahan yang tak produktif lagi bagi usaha tambak udang maupun ikan. Terbitnya PP-HP3 akan
semakin memperparah transferability lahan pesisir ke perusahaan pertambangan
multinasional. Selain itu, pengalihan lahan pesisir dan pulau-pulau kecil plus sumber dayanya
(terumbu karang, lamun dan mangrove) kepada pemilik modal besar.
Kedua, pemberian HP3 yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah (provinsi maupun
kabupaten/kota) berarti mengubah rezim pengelolaan laut di Indonesia. Perubahan dari akses
terbuka dan kepemilikan serta pemanfaatan bersama (common property right) jadi private property
right yang eksklusif. Andre Groz (2005), penulis buku Ecology as Politics mengkritik pemberian hak
eksklusif pada pemilik modal, karena memicu ketidakadilan dalam mendistribusikan sumber daya
alam dan mereproduksi kemiskinan pada masyarakat pesisir khususnya nelayan tradisional, petani
tambak hingga pembudi daya laut. Bahkan, Harry Shut, penulis buku Decline of Capitalism
menyebutnya sebagai tindakan penjarahan sector publik. Persis dengan HP3 yang sejatinya
”mencabut hak dan akses masyarakat lokal atas sumber daya pesisir dan laut” dengan cara halus
melalui instrument akreditasi. Jika mereka tak mampu mengakreditasi haknya atas sumber daya laut
otomatis terusir dengan sendirinya.
Ketiga, dalam HP3 jelas-jelas memprioritaskan “pengusaha” karena orientasinya keuntungan. Ini
amat berbahaya karena aktivitas pengusaha sudah berkembang di wilayah pesisir. Mulai dari
pembangunan resort orang-orang Singapura di Kepulauan Riau, dan privatisasi pulau kecil di
Kepulauan Seribu, dan pengelolaan kawasan Taman Nasional Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur
(NTT) oleh lembaga internasional dan pengusaha Malaysia. Akan semakin parah bila keterlibatan
asing justru menjadikannya sebagai arena judi dan wisata semacam di Pulau Christmas milik
Australia di Samudera Hindia atau menambah pertambakan skala besar di Lampung. Berarti,
keluarnya PP-HP3 tinggal melegitimasinya saja.
Keempat, pemberlakuan HP3 akan “menggusur” secara alamiah suku nomaden yang kehidupannya
berasosiasi/bersimbiosis dengan alam (laut). Misalnya, Suku Bajo yang bermukim
di pulau-pulau kecil dan pesisir Sulawesi hingga Suku Laut di Kepulauan Riau. Kedua suku nomaden
ini tak memiliki lahan, lautlah sebagai sumber kehidupan mereka hingga adanya kekuatan mitos
maupun kearifan lokal yang tak terpisahkan dari laut. Terbukti tanpa HP3 saja, suku Laut di
Kepulauan Riau sudah tergusur akibat eksploitasi pasir laut. Pasti, akan semakin banyak pengusaha
pasir laut mengurus HP3 bila PP-nya berlaku.
Bukankah hal ini memperparah kehidupan mereka?
Kelima, pemberlakuanHP3 akan menyuburkan kegiatan rent seeking di daerah. Lahan-lahan pesisir
hingga pulau kecil yang potensial untuk per-tambakan udang, pariwisata bahari hingga
pertambangan mineral akan dikaveling para pejabat daerah yang berperilaku pedagang dan kolusi
birokrasi di daerah dengan pengusaha. Terbukti, tanpa HP3 saja lahan pesisir di pantai timur Asahan
dan Labuhan, pesisir Pulau Muna, Kepulauan Raja Ampat, pesisir Teluk Pelabuhan Ratu, Pantura Jawa
hingga pesisir Kalimantan Timur itu mereka sudah mengaveling dan mensertifikasinya. Bukankah
terbitnya HP3 justru memperparah hal ini? Bahkan, mempercepat terjadinya keterbelakangan
komunitas akibat rusaknya sendi-sendi struktur sosial masyarakat dan kehancuran lingkungan
(natural capital) hingga memicu munculnya revolusi (Larrian, 1989).
Keenam, pemberlakuan HP3 akan memicu konflik tak hanya bersifat horizontal, tapi vertikal.
Bayangkan saja pemberlakuan UU No 22 Tahun 2009 yang kemudian revisinya UU No 32 Tahun
2004 yang mengatur kewenangan wilayah laut sudah memicu konflik antardaerah (nelayan Kota Baru
dan Rembang) hingga anarnelayan akibat penyerobotan wilayah tangkap. Pemerintah Provinsi Banten
dan DKI Jakarta hingga Jambi dan Sumatera Selatan akibat perebutan hak kepemilikan sebuah pulau
kecil.
Ketujuh, penyewaan perairan pesisir tersebut juga melanggar prinsip-prinsip negara kepulauan yang
menekankan adanya keterpaduan antara matra darat, laut dan udara dalam melakukan
pembangunan nasional. Terlebih dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN),
salah satu point misi pebangunan jangka panjang adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara
kepulauan/maritim. Artinya bahwa keterpaduan antara matra darat, laut dan udara menjadi sangat
urgen. Dengan adanya penyewaan perairan pesisir kepada pihak swasta akan “menghilangkan”
keterpaduan matra laut atau perairan dalam pembangunan nasional. Padahal para pendahulu bangsa
ini telah memperjuangkan secara gigih agar prinsip-prinsip negara kepulauan ini diakui oleh dunia
internasional seperti yang sudah tertuang dalam UNCLOS 1982.
Apa yang terjadi bila pengelolaanTeluk Tomini yang terkait kepentingan tiga provinsi dan 11
kabupaten atau Teluk Bone antara dua provinsi, juga Teluk Cendrawasih, bila hak pengelolaannya
diberikan ke pengusaha? Apakah tak memunculkan konflik vertikal bila antara pemerintah pusat dan
daerah hingga antarpemerintah daerah di teluk itu bila salah satunya tak menyepakatinya dengan
argumentasi melindungi nelayan tradisionalnya? Tampaknya mudah menyelesaikannya dengan
logika-logika pemerintah pusat yang “sok kuasa” yang ditopang kaum intelektual/ akademisi
teoretis yang buta empiris hingga “sok tahu”. Tapi, penulis yakin isu HP3 bagaikan api dalam sekam
yang sewaktu-waktu bisa menyala.
Revitalisasi Negara Kepulauan
Berdasarkan hal tersebut sangat penting untuk kita merenung kembali agar pembangunan kelautan
dan perikanan dapat mendukung terwujudnya negara kepulauan yang tangguh. Artinya bahwa dalam
melakukan pembangunan negara kepulauan perlu adanya keterpaduan antara matra darat, laut dan
udara.
Oleh sebab itu berbagai paradigma pembangunan yang mengesampingkan akan tegaknya negara
kepulauan yang kuat perlu dikaji ulang. Pemerintah hendaknya tetap konsisten untuk mewujudkan
negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat.
Berdasarkan hal tersebut guna mengembalikan semangat pemerintah untuk melestarikan
sumberdaya ikan, kesejahteraan nelayan dan menegakkan kembali prinsip-prinsip negara kepulauan
dalam pembangunan nasional maka saat ini pemerintah perlu melakukan upaya merevitalisasi
negara kepulauan.
Dalam konteks pembangunan sumberdaya perikanan dan kelautan pemerintah perlu memperkuat
Dewan Kelautan Indonesia sebagai wadah untuk menyatukan semua kepentingan stakeholders
kelautan nasional. Mengingat lembaga tersebut beranggotakan semua instansi yang bergerak di
bidang kelautan dan dipimpin langsung oleh Presiden RI.
Selain itu juga pemerintah secepatnya untuk mengkaji ulang dan mengamandemen pasal-pasal yang
mengatur HP-3 dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dapat menghambat terwujudnya negara kepulauan yang handal. Pemerintah hendaknya dalam
menjaring investasi pembangunan kelautan dan perikanan lebih mengedepankan perbaikan iklim
investasi dan menjamin keberlangsungan investasi di bidang kelautan dan perikanan.
Tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan pembangunan kelautan dan perikanan akan menjadi
penghambat untuk mewujudkan negara kepulauan yang kuat. Selain itu juga tanpa adanya upaya
tersebut dikhawatirkan pembangunan kelautan nasional akan semakin berpihak kepada para
pemodal besar dan memarginalkan nelayan kecil dan kelestarian sumber daya ikan.
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN
BERKELANJUTAN YANG BERBASIS MASYARAKAT November 12, 2009
Filed under: Lingkungan Sosial — Urip Santoso @ 2:25 am
Tags: masyarakat, pembangunan berkelanjutan, wilayah pesisir
LUKITA PURNAMASARI
E2A 009025
ABSTRAK
Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,
mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional. Luas wilayah pesisir
Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua
di dunia. Dengan berbagai kekayaaan keanekaragaman hayati dan lingkungan, sumber daya pesisir
dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari
sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta
memberikan manfaat yang serbesar-besarnya kepada semua stakeholders’ terutama masyarakat
pesisir, dan menimbulkan dampak serta konflik yang berpotensi terjadi.
Kata kunci : pesisir, pengelolaan, berkelanjutan
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 dan panjang
garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008). Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi
andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Secara umum, wilayah pesisir dapat didefenisikan
sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang saling
bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et al, 2002).
Menurut Kay dan Alder pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh lagi, wilayah pesisir
merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan
pengelolaan. Departemen Kelauatan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang
menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan kea rah
darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan. Wilayah pesisir
memilikinilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan
bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka
hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara
berkelanjutan.
Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan
sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan
pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi “nilai” wilayah
pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan
yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di
wilayah pesisir (Nurmalasari, 2001)
Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki
kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak
jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta
memudahkan terjadinya perdagangan antar daerah, pulau dan benua. Selain itu, wilayah pesisir juga
merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan
keberadaan hutan mangrove (Muttaqiena dkk, 2009).
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana melakukan pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis masyaraka. Disamping itu juga untuk
mengetahui manfaat, masalah dan konsep pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.
1. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK WILAYAH LAUT DAN PESISIR
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia
mencakup :
1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia,
2. Perairan Kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus
kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai,
3. Perairan Pedalaman adalah semua peraiaran yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari
pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi
darat pada suatu garis penutup
Menurut Dayan, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebar
mulutnya tidak lebig dari 24 mil laut dan di pelabuhan. Karakteristik umum dari wilayah laut dan
pesisir dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Laut meruapakan sumber dar “common property resources” (sumber daya milik bersama),
sehingga kawasan memiliki fungsi public/kepentingan umum.
2. Laut merupakan “open access regime, memungkinkan siapa pun untuk memanfaatkan ruang
untuk berbagai kepentingan.
3. Laut persifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydrooceanography tidak
dapat disekat/dikapling.
4. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki trografi yang relative mudah
dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai
“prasarana” pergerakan.
5. Pesisir merupakan kawasan yang akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan
maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan
ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping
itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga
mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah :
1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk
Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa
wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan
dating.
2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir,
dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
3. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang
hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital)
dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan financial yang sangat besar.
4. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentuka PDB
nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber
daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat
ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar
58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
5. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagi
simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini menggambarkan peluang untuk
meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)
6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang
potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60%
cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17
titik penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21
spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai
daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tripis dunia kerena
hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
8. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar Negara maupun
antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1. PENGERTIAN PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS
MASYARAKAT
3.1. Pengelolaan Pesisir Terpadu
Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses yang dinamis yang berjalan
secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan
dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan
terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang
dapat diterima secara politis.
3.2. Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan
Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis
dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan
pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital
maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas
ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat
berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan
pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial,
kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial, dan
pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).
3.3. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat
Pengelolaan berbasisi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system pengelolaan sumber daya
alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001). Di Indonesia
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber
daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan
dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa
pantai.
1. KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN
Luas wilayah pesisir Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer
atau terpanjang kedua di dunia (Muttaqiena dkk, 2009). Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah
pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat pada Undang-
Undang Nomor 24 1992 tentang Penataan RUang Pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah
lautan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun dimasa reformasi
dengan kelahiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4
mil dari garis Pantai.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan yang
luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah
laut adalah :
 Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut
 Pengaturan kepentingan administratif
 Pengaturan ruang
 Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah
 Bantuan penegakan keamanandan kedaulatan Negara.
Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis
pantai arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah
Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan
ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota.
Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem darat ekosistem alut berada
dalam kewenagan daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan Undang-Undang 22/1999 yang
menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Propinsi
berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam
kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
Selain itu juga diterbitkan Undang-Undang Nomor 2007 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai Negara kepulauan, wilayah pesisir dimiliki oleh seluruh
propinsi yang ada di Indonesia. Berdasarkan data jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia pada
tahun 2002, sebanyak 219 Kabupaten/Kota (68%) diantaranya memiliki wilayah pesisir.
Kabupaten/Kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu
sama lain berbeda didalam pengelolaan wilayah pesisir. Akan tetapi hingga akhir 2004, perencanaan
dan pengelolaan wilayah pesisir baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah lebih banyak bersifat
sektoral (Muttaqiena dkk, 2009).
1. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN POTENSI PESISIR DI DAERAH
Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat
tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir
memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk
memenuhi kebutukan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan
oleh nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara
ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan.
Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian
Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan
daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan
potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu
Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan
dan perekonomian masyarakat di daerah.
Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan ang termasuk juga
daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah
pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir.
Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.
1. PERMASALAHAN PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN PESISIR
Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun daerah
sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan
berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya.
Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan
sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Kebijakan reklamasi yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan pada beberapa
daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem dipesisir. Perizinan pengembangan usaha bagi
kelangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi kewenangan pusat. Kadangkala dalam hal
ini pemberian izin tersebut tanpa memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat setempat.
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah
pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan perundang-ungan yang
jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan sesuatu kebijakan.
 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral, sehingga kadangkala
melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
 Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai
suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga
hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah
 Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara komprehensif oleh
para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sector timbul berbagai pemahaman
dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
Menurut APKASI isu-isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan
daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
 Adanya kesan bahwa sebagian daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut da pantainya. Utuk
itu perlu diterapkan oleh pusat pedoman bagi pelaksanaan kewenangan daerah di bidang
kelautan.
 Pemanfaatan daearah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosisitem yang tidak
dibatasi oleh batas wilayah administrative pemerintahan.
 Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara alami dan berkelanjutan.
1. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PERENCANAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
Menteri Kimpraswil dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34 menyatakan beberapa kebijakan
nasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir adalah sebagai berikut :
1. Revitalisasi kawasan berfunsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung yang terdapat di
wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, daalm rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus
mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu factor penyebab berbagai
permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang
seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan
yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun, dan kerusakan
terumbu karang (coral bleaching).
2. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir
secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir
merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari
pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.
3. Peningkatan pelayanan jaingan prasarana wilayah untuk menunjang pengembangan ekonomi di
wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan prasrana wilayah yang memadai akan menunjang
pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir
sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.
Menurut Nurmalasari, strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non structural. Pendekatan structural dalah
pendekatan makro yang menekankan pada penataan sisitem dan struktur sosial politik. Pendekatan
ini mengutamakan peranan instansi yang berwenang atau organisasi yang dibentuk untuk
pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat
karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai
kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Dilain pihak pendekatan non struktural adalah
pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental
dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan
dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan
secara integratif.
Sasaran utama pendekatan structural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua
komponen dan system kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung
yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek structural,
diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memanfaatkan sumber daya alam
secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sisitem hubungan sosial dan ekonomi tersebut
diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya
alam dari ancaman yang dating baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat
mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama
ini secara terus-menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit.
Pendekatan subyektif atau non-struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai
subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya.
Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan
kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya.
Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber
daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
kesadaran masyarakat untuk ebrbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan
keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan maslah
kerusakan sumber daya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama
dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak
lingkungan, antara lain yaitu :
 Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan
 Pengembangan keterampilan masyarakat
 Pengembangan kapasitas masyarakat
 Pengembangan kualitas diri
 Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta
 Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri,
dimana inti dari konsep pengelolaan pengelolaan wilayah adalah kombinasi dari pembangunan
adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil
didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya. Oleh karena itu
dadalam proses perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan diarahkan pada
pemeliharan untuk generasi yang akan dating (pembangunan berkelanjutan). Idealnya, dalam sebuah
proses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua
melibatkan minimal tiga unsure yaitu ilmuawan, pemerintah, dan masyarakat. Proses alam
lingkungan pesisir dan perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan dan kemudian
pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program
pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan tujuan meningkatkan
sosial ekonomi kawasan. .
Menurut Muttaqiena dkk, perencanaan pembangunan pesisir secara terpadu harus memperhatikan
tiga prinsip pembnagunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat diuraikan
sebagai berikut ;
 Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan, yang
memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manafaat (cost benefit analysis).
Misalnya pembangunan pabrik di wilayah pesisir harus memperhitungkan tingkat pencemarannya
terhadap laut, perlunya pengelolaan limbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lain-lain.
 Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam
pengambilan keputusan.
 Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang
dan masa yang akan dating, termasuk didalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat
pesisir, penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan mitigasi bencana.
Strategi pengelolaan tersebut merupakan upaya-upaya pemecahan masalah-masalah wilayah pesisir
yang yang harus dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi dapat
disimpulkan bahwa factor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program
pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu;
 Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi
sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.
 Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah
darat)
 Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem
pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.
1. KESIMPULAN
 Wilayah pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap
kerusakan dan perusakan. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan
menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
 Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumber daya
alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Strategi pengembangan masyarakat
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yatu, yang bersifat struktural dan non-struktural.
 Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada karakteristik ekositem
pesisir yang bersangkutan, yan dikelola dengan memperhatikan aspek parameter lingkungan,
konservasi, dan kualitas hidup masyarakat, yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif
dan terpadu melalui kerjasama masyarakat, ilmuan da pemerintah, untuk menemukan strategi-
strategi pengelolaan pesisir yang tepat
AmanatUU Nomor 1 Tahun2014tentang
PengelolaanWilayahPesisirHarus
DiimplementasikanPemerintahPusatdan
Pemda
 Akhir – akhir ini kita sering mendengar suatu kalimat ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim
Dunia’. Kalimat itu sering diperdengarkan sejak bulan Oktober tahun 2014 yang diporak
– porandakan oleh Calon Presiden Republik Indonesia yang sekarang menjadi Presiden
Republik Indonesia yaitu Bapak Joko Widodo yang akrab disapa dengan sebutan Jokowi.
Setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Jokowi konsisten dengan visi
menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.. Hal ini memperlihatkan kepada kita
bahwa kesadaran Bapak Jokowi akan potensi besar Indonesia terletak pada lautan yang
dianugerahi Nya kepada Bangsa Indonesia.

 Berdasarkan konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS) tahun 1982, dunia masih
memandang Indonesia hanya sebagai Negara Kepulauan bukan sebagai Negara Maritim.
Tentunya berbeda mengartikan Negara Kepulauan dengan Negara Maritim. Negara
Maritim yaitu negara yang memiliki ruang laut yang luas atau sempit dimana negara
tersebut mampu memanfaatkan laut yang sudah berada dalam kekuasaannya untuk
kesejahteraan Rakyatnya dan keunggulan primer bagi pemerintah untuk menghadapi
kondisi dunia. Sebaliknya, Negara Kepulauan yaitu negara yang memiliki ruang laut
yang luas atau sempit tetapi belum mampu untuk memanfaatkan laut yang sudah berada
dalam kekuasaannya sehingga laut terabaikan. Upaya pemerintahan Kabinet Kerja yang
dipimpin oleh Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia tentu lah tidak mudah, tetapi kita perlu sadari bahwa Indonesia telah dibekali luas
perairan yang sangat luas mencapai 75% dari luas wilayah negara Indonesia dimana 75%
luas perairan tersebut didominasi oleh perairan laut. Dalam rangka mewujudkan
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Indonesia membutuhkan kerja yang ekstra keras
apalagi mengingat perioderisasi kepemimpinan dalam tatanan kehidupan pemerintahan
hanya 1 masa bakti selama 5 tahun.

 Tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai
Sebagai Poros Maritim Dunia yaitu ancaman pangan global, perubahan iklim global,
negara Indonesia sebagai negara yang rawan bencana, degradasi ekosistem, minimnya
pelabuhan perikanan dan pelabuhan logistik, maraknya IUU Fishing (Ilegall, Unreported,
Unregulated), dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil belum harmonis
sehingga kepengelolaannya tidak terpadu dan tidak keberlanjutan. Tantangan – tantangan
seperti diatas akan dihadapi bangsa Indonesia, terbukti akhir – akhir ini Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pudijiastuti menangkap dan menenggelamkan kapal asing karena
mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Hal ini masuk dalam kategori IUU Fishing.

 Arah, fokus, dan kerangka pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia yaitu mewujudkan Indonesia sebagai poros pangan dunia
yang bersumber pada kekayaan laut Indonesia, mewujudkan Indonesia sebagai poros
energi terbarukan dunia yang mengandalkan oseanografi fisik seperti arus, angin, dan
gelombang laut Indonesia, mewujudkan Indonesia sebagai biodiversity dunia dengan
mengandalkan Indonesia yang masuk dalam kawasan CTI (Coral Triangle Initiative),
mewujudkan Indonesia sebagai poros industri maritim dan poros logistik dunia dengan
memanfaatkan sistem Alur Laut Kepulauan Indonesia, mewujudkan Indonesia sebagai
poros keamanan dan ketahanan dunia dengan memanfaatkan alutsista Nasional. Rencana
aksi yang harus dilakukan pemerintahan kabinet kerja untuk mewujudkan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia yaitu Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan
menjadi lumbung ikan, menciptakan pola perikanan berkelanjutan, menciptakan sisitem
logistik nasional dengan prinsip kenusantaraan, mengembangkan konsep energi
terbarukan dengan memanfaatkan energi matahari, angin, arus, dan gelombang laut,
menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan lautan, mengembangkan eko-wisata bahari,
mengembangkan industri perkapalan, mengembangkan industri maritim dan farmasi
berbasis perikanan, pembenahan transportasi laut; sistem bongkar muat; dan kargo,
reformulasi sistem logistik dengan konsep tol laut, menguatkan sistem keamanan dan
keselamatan pelayaran, pengelolaan pulau terdepan dengan konsep kesetaraan, penguatan
alutsista maritim, mengeleminasi angka kemiskinan pada daerah pesisir, keberpihakan
kepada nelayan dalam kaitannya penditribusian BBM Bersubsidi, meningkatkan kualitas
sumber daya manusia pada daerah pesisir dalam kaitannya dengan pemberdayaan
masyarakat pesisir, dan meningkatkan sumber daya alam di wilayah pesisir dengan
menjaga keseimbangan ekosistem dalam konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir secara
Terpadu dan Keberlanjutan.

 Tulisan ini bertujuan memberikan sumbangsih pemikiran secara rinci tentang
kepengelolaan wilayah pesisir dalam rangka salah satu upaya untuk mewujudkan
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tujuan tulisan ini memberikan paradigma
berpikir tentang kepengelolaan wilayah pesisir dengan prinsip keterpaduan dan
keberlanjutan. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Keberlanjutan atau
dalam bahasa inggris disebut Integrated Coastal Zone Management and
Sustainability (ICM).




 Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan


 Latar belakang/alasan dibutuhkan ICM yaitu menjaga sumber daya alam pesisir agar
dapat dimanfaatkan oleh manusia generasi sekarang dan manusia generasi yang akan
datang. Selama ini kita memandang bahwa memanfaatkan sumber daya alam pesisir
tanpa dilakukan intervensi pengelolaan yang baik dengan prinsip keterpaduan dan
keberlanjutan tidak memberikan dampak kepada manusia generasi sekarang dan manusia
generesi yang akan datang. Alhasil perilaku tersebut memberikan dampak negatif bagi
lingkungan pesisir baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, seperti
degradasi ekosistem, degradasi habitat, degradasi spesies, berkurangnya stok ikan,
berkurangnya garis pantai akibat aktivitas reklamasi, tercemarnya kualitas air laut, carut
marutnya tata ruang kawasan pesisir karena tidak adanya sistem zonasi yang dibuat,
penyalahgunaan mangrove dan terumbu karang sebagai kayu dan batu untuk bahan
bangunan,dan pembangunan industri yang merusak lingkungan perairan pesisir. Dengan
demikian untuk menciptakan wilayah pesisir yang lestari harus dikelola dengan prinsip
keterpaduan dan keberlanjutan yang disebut Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu
dan Keberlanjutan.

 Keterpaduan ekosistemdaratan dan perairan

 Upaya kepengelolaan wilayah pesisir untuk mewujudkan wilayah pesisir yang lestari
tidak hanya berfokus pada pada pengelolaan di daerah pesisir, tetapi juga secara
bersamaan harus melakukan pengelolaan di daerah daratan. Ekosistem daratan
mempengaruhi ekositem yang ada di wilayah pesisir, akan menjadi usaha yang sia – sia
dari pemerintah jika hanya melakukan usaha rehabilitasi ekosistem pesisir tanpa
melakukan perbaikan di ekosistem daratan secara bersamaan. Sebagai contoh, pemerintah
melakukan pengelolaan wilayah pesisir melalui rehabilitasi ekosistem terumbu karang,
ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove bertujuan untuk memperbaiki
ekosistem pesisir agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Akan tetapi secara
bersamaan pemerintah tidak melakukan penanggulangan sampah yang berasal dari hulu
daratan, sehingga sampah yang berasal dari daratan terkumpul di perairan pesisir
sehingga dapat mencemari kualitas air yang kemudian dapat merusak ekosistem pesisir.
Dengan demikian, upaya pemerintah tersebut menjadi sia – sia karena konsep
pengelolaan wilayah pesisir yang dilaksanakan tidak mengandung prinsip keterpaduan.

 Keterpaduan antar aspek (ekologi, sosial, dan ekonomi)

 Dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan pentingnya
mengingat prinsip keterpaduan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi dalam satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Dalam terapannya, sering sekali kepengelolaan wilayah pesisir di
Indonesia pada ranah pembangunan mengutamakan aspek ekonomi tanpa melibatkan
aspek sosial dan ekologi. Hal ini mengakibatkan terjadinya gejolak sosial ditengah –
tengah masyarakat, terdegradasinya ekosistem; habitat; dan spesies di Pesisir Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian alam agar dapat dimanfaatkan oleh generasi
selanjutnya dibutuhkan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Keberlanjutan yang
menekankan pada keterpaduan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Sebagai contoh,
semakin maraknya pembangunan pelabuhan (baik pelabuhan perikanan maupun
pelabuhan logistik nasional) dan perancangan sistem zonasi yang tidak melibatkan aspek
sosial dan ekologiterjadi di Pesisir Indonesia. Positifnya, hal ini dapat meningkatkan
perekonomian daerah atau perekonomian negara karena penerimaan daerah atau
penerimaan negara menjadi meningkat karena adanya pelabuhan atau zonasi yang tidak
berpihak pada masyarakat lokal atau masyarakat pesisir. Negatifnya, hal ini
mengakibatkan kerusakan lingkungan pantai atau lingkungan laut karena pada
pembangunan pelabuhan sering sekali mengutamakan aktivitas reklamasi agar estetika
visual pelabuhan tersebut menjadi menarik bagi orang awam. Negatifnya lagi, hal ini
mengakibatkan zonasi yang telah dibentuk oleh pemerintah baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah dilanggar oleh nelayan dikarenakan pemikiran nelayan
penetapan zonasi tersebut mengurangi hasil tangkapan ikan para nelayan.

 Legislasi Pengelolaan Wilayah Pesisir

 Laut bersifat multiple use sehingga dibutuhkan payung hukum untuk melakukan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan. Produk hukum sangat
dibutuhkan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan agar
tumpang tindih antar sektoral dapat diatasi, tumpah tindih kewenangan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dapat selaras baik antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun antar sektor/instansi pemerintah
pusat serta antar sektor/instansi. Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat
pada legislasi produk hukum yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan yang bertujuan untuk mengatur atau mengikat perorangan,
sektor/instansi pemerintahan, dan swasta dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan. Sebelum tahun 2007, produk UU yang ada di Indonesia
belum menyentuh secara konkrit tentang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sehingga
UU yang dipakai masih bersifat ego sektoral sementara prinsip pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu dan keberlanjutan yaitu keterpaduan. Banyak produk hukum yang
lahir seperti UU Pokok Perikanan Nomor 9 Tahun 1985, UU ZEE Nomor5 Tahun 1983,
UU Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992, UU Keanekaragaman Hayati Nomor 5
Tahun 1994, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
pemerintah untuk pengaturan batas – batas maritim, penetapan standard pengelolaan
pesisir pantai dan pulau – pulau kecil, penegakkan hukum di laut, dan masih banyak
produk hukum lainnya.

 Semenjak tahun 2007, legislatif dengan eksekutif bersepakat untuk membentuk sekaligus
mengesahkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Pusat dan DPR
memandang perlu adanya produk hukum yang dapat menjadi payung hukum pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil, mengingat wilayah pesisir dan pulau – pulau
kecil merupakan wilayah yang rawan konflik karena pemanfaatan sumberdaya yang
bersifat multiple use mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir. Pada tahun 2014, lahir
UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. UU Nomor 1 Tahun 2014
menyampaikan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil adalah suatu
pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian untuk
kepengelolaannya mengartikan bahwa tidak ada lagi ego antar sektor, ego antar
ekosistem darat dan laut sehingga pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan
prinsip keterpaduan daerah darat dan laut serta keterpaduan antar sektor. Amanat UU
Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 3 juga secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau – pulau kecil harus berasaskan keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan,
kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan,
desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan.

 Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan amanat UU Nomor 27 Tahun 2007
yang disempurnakan pada UU Nomor 1 Tahun 2014 terbagi dalam 4 tahap yaitu Rencana
Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau – Pulau Kecil (RPWP3K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau – Pulau Kecil (RAPWP3K). Tahap – tahapan tersebut dilakukan secara teratur
dimulai dari pemerintah daerah kabupaten/kota (Bupati/Walikota), dilanjutkan pada
pemerintah propinsi (Gubernur), sampai kepada pemerintah pusat (Menteri Kelautan dan
Perikanan).

 Pusat data dan informasi, kampanye terkait pengelolaan wilayah pesisir

 Data, informasi, dan kampanye terkait pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia kurang
terorganisir dengan baik sehingga sense of belonging pemangku kepentingan terhadap
kondisi pesisir Indonesia menjadi berkurang. Hal ini perlu dipandang perlu perbaikan
karena berdampak pada keterbatasan pengetahuan tentang konektivitas masyarakat
pesisir dan masyarakat terestrial untuk menjaga kelestarian sumberdaya nya.

 Intensitas pendekatan kepada level masyarakat lokal yang dilakukan oleh pemerintah
harus ditingkatan sampai masyarakat sadar bahwa pentingnya menjaga lingkungan pesisir
sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya (Sustainable). Ketika itu tercapai,
pemerintah harus memberikan penghargaan kepada masyarakat sebagai bentuk apresiasi
dari pemerintah.

 Mekanisme anggaran dan kelembagaan dalam menjalankan program pengelolaan
wilayah pesisir

 Dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan dibutuhkan
kelembagaan untuk mengorganisir program – program/kegiatan yang mengarah pada
pengelolaan wilayah pesisir. Kelembagaan ini perlu untuk antisipasi tumpang tindih
kewewenangan dan tumpang tindih tugas fungsi antar instansi pemerintah.

 Selama ini kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir berbeda – beda, dalam artian untuk
mengelola wilayah pesisir kab/kota mempunyai struktur organisasi berbeda dengan
propinsi dan nasional. Hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih
program/kegiatan dalam satu kawasan dan tumpang tindih kewewenangan. Pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan cukup dibentuk satu
kelembagaan/struktur organisasi sehingga konsistensi program/kegiatan menjadi searah
dan koordinasi semakin terarah sehingga pogram/kegiatan terkait pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu dan keberlanjutan juga terarah. Contohnya kelembagaan terkait
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan dapat dibentuk seperti
Program Managament Officer (dimana kedudukan ini diisi oleh pemerintah pusat) dan
Program Implementation Unit (dimana kedudukan ini disi oleh pemerintah daerah),
antara Program Managament Officer dengan Program Implementation Unit terdapat garis
koordinasi. Struktur kelembagaan tersebut dibuat dengan semangat permanen bukan
berdasarkan ada atau tidak adanya proyek. Dengan struktur permanen yang tidak berubah
dengan ada atau tidak adanya proyek, kegiatan – kegiatan dapat berlangsung secara terus
menerus sampai target pengelolaan wilayah pesisir dapat tercapai.

 Sebagai contoh California’s Federally, mereka membuat kelembagaan yang jelas dalam
satu struktur kelembagaan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir. Kelembagaan
beranggotakan pemerintah, LSM, swasta, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.
Kelembagaan tersebut dapat menjamin pemanfaatan berkelanjutan dan akses publik.
Keterlibatan pemerintah daerah melalui kewenangan untuk menerbitkan perizinan
melalui pola program pesisir lokal yang mengatur membuat pemetaan tata ruang,
pengaturan, dan zonasi.

 Pengembangan kapasitas masyarakat dan aparatur pemerintah dalam manajemen
program pengelolaan wilayah pesisir

 Dalam rangka melaksanakan kegiatan – kegiatan yang terkait dalam pengelolaan wilayah
pesisir dibutuhkan sumberdaya manusia baik aparat pemerintah maupun masyarakat
pesisir yang capablesehingga diharapkan dapat mengimplementasikan kegiatan –
kegiatan tersebut dengan tepat sasaran sesuai dengan prinsip keterpaduan dan
keberlanjutan. Dipandang diperlukan kegiatan pelatihan ekologi, pelatihan sosial
ekonomi, dan pelatihan untuk mempelajari kondisi sosial kehidupan masyarakat pesisir.

 Evaluasi pengelolaan wilayah pesisir dalam bentuk ICM Code

 Evaluasi dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat penting agar dapat mengevalusi
kegiatan – kegiatan yang dilakukan sehingga kegiatan – kegiatan tersebut dapat berjalan
kepada arah pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan. Evaluasi harus
dilakukan dengan pendekatan ICM Code. Kerangka pengelolaan wilayah pesisir
berkelanjutan ini diadopsi dari PEMSEA (The Partnerships in the Environmental
Management for the Seasof East Asia). PEMSEA bertujuan untuk pengaturan kemitraan
yang melibatkan pemangku kepentingan di Laut Asia Timur yang terdiri dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah masyarakat, sektor swasta, lembaga penelitian dan pendidikan,
lembaga keuangan, dan lembaga donor. Dengan memakai ICM Code maka penilaian
terhadap keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia dapat dinilai dengan
indikator – indikator keberhasilan yang jelas, tidak memakai indikator yang dapat
direkayasa.

 Kesimpulan

 Pada ICM Code terdapat beberapa indikator keberhasilan untuk menilai tingkat
keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan seperti
kelembagaan, mekanisme anggaran, kampanye lingkungan, politik kebijakan dan
perencanaan strategi, dan legislasi. Dari beberapa indikator penilaian tersebut
pengelolaan wilayah pesisir Indonesia hanya indikator legislasi saja yang mendapatkan
apresiasi. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU Nomor 27 Tahun 2007 yang
disempurnakan pada UU Nomor 1 Tahun 2014, dan memperlihatkan kepada kita bahwa
Implementasi dari ICM di Indonesia perlu ditingkatkan.

 Dalam rangka mewujukan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunai diperlukan
perencanaan dan strategi yang dapat mendorong kemampuan laut yang dimiliki
Indonesia, salah satu upaya nya yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir dengan prinsip terpadu
dan keberlanjutan. Dengan demikian wilayah pesisir kita menjadi kuat, ekosistem yang
ada didalamnya menjadi lestari, masyarakat pesisir yang mandiri dan tidak miskin,
kehidupan sosial di wilayah pesisir semakin terencana baik, dan sumberdaya pesiir
terutama protein ikan dapat dimanfaatkan untuk gizi nasional anak Bangsa generasi
sekarang dan generasi selanjutnya.
Evaluasi Kebijakan UU No.27/Tahun 2007 (UU No.1 Tahun
2014) Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dalam Rangka Mengembangkan Taman Wisata
Perairan Gili Matra Nusa Tenggara Barat
Urgensi keberadaan kebijakan publik sebagai payung hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil secara terpadu di Indonesia sangat mendesak dan mutlak diperlukan. UU No.27 Tahun 2007
yang diubah dengan UU No.1/Tahun 2014 merupakan landasan hokum pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu. Dengan wilayah laut 5,8 juta Km2 dan 17.480 pulau, panjang pantai Indonesia 95.181
kilometer, terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Sekitar 140 juta jiwa
penduduk tinggal dalam radius 50 kilometer dari garis pantai. Dari 16,42 juta jiwa penghuni desa pantai,
sekitar 32 persen di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Urbanisasi pada masa mendatang
terpusat di wilayah pesisir,mengingat 42 wilayah administrasi Pemerintahan Kota dan 181 Pemerintahan
Kabupaten berada di pesisir yang rentan pencemaran dan perusakan lingkungan. Penurunan kualitas
lingkungan disebabkan kegiatan sejak di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) kurang memperhatikan
dampak lingkungan. Penyebab lainnya, dampak dari perubahan iklim akibat pemanasan bumi yang
meningkatkan suhu dan tinggi permukaan laut. Penelitian membatasi diri pada evaluasi implementasi di
Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra, Kabupatan Lombok Utara, yang memiliki permasalahan
lingkungan cukup serius akibat tuntutan pembangunan ekonomi daerah. Tujuan penelitian mengevaluasi
implementasi undang-undang dalam pengelolaan wilayah pesisir di Gili Matra, cara mengatasi ketiadaan
Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan implementasi paradigma
baru dalam mengelola kawasan konservasi. Penelitian menggunakan metode deskriptif dan kasual dari
Langbein. Metode deskriptif lebih mengarah kepada tipe penelitian evaluasi proses, sedangkan metode
kausal lebih mengarah kepada penelitian evaluasi dampak. Kendati belum memiliki Perda RZWP3K,
namun beruntung mempunyai Perda No.9/Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Lombok Utara Tahun
2011-2031 dan Perda Provinsi NTB No.2/Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil. Dengan demikian memiliki landasan hukum dalam mengatur susunan pusat permukiman,
sistem jaringan prasarana dan sarana guna mendukung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Dari hasil
identifikasi penelitian, diperoleh temuan yang dapat menjadi rujukan, yaitu pentingnya keterlibatan
pemangku kepentingan di kawasan yang menjadi sasaran kebijakan. Pelibatan pemangku kepentingan
yang diaktualisasikan melalui Forum Koordinasi Pemangku Kepentingan (FKPK) TWP Gili Matra, telah
mendorong terwujudnya implementasi pengelolaan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan. Meski legitimasinya tidak sekuat Perda RZWP3K, tapi sudah dapat mengakomodasi
penerapan prinsip partisipatif dan transparansi dalam pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana
dipersyaratkan undang-undang. Forum berhasil mendorong responsivitas untuk menangani isu strategis
seperti merehabilitasi terumbu karang oleh pemangku kepentingan terkait; penghentian cara
penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut oleh komunitas nelayan sendiri. Responsivitas tinggi
diperlihatkan kelompok sasaran yang memperoleh manfaat dari kebijakan, antara lain pengusaha
pariwisata karena mendapat kepastian dalam berinvestasi; para nelayan tradisional yang memperoleh
kompensasi dengan tidak menangkap ikan di lokasi penyelaman. Meski implementasi pengelolaan
kolaboratif dapat menggerakan partisipasi masyarakat, tetapi adanya Perda RZWP3K tetap diperlukan
sebagai landasan hukum yang lebih kuat. Pentingnya pengelolaan kolaboratif karena dapat membangun
kesamaan persepsi dan kesetaraan di antara pemangku kepentingan. Percepatan penyusunan Perda
RZWP3K sesungguhnya dapat mencontoh penyusunan RT/RW dengan bantuan Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Badan bersifat adhoc dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.50/ 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Untuk mempercepat
penyusunan RZWP3K, perlu dipertimbangkan keberadaan lembaga yang memiliki kedudukan seperti
BKPRD.

More Related Content

What's hot

Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautanKebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautanPepen Mahale
 
Negara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautanNegara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautanSunoto Mes
 
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisirKonsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisirAl Amin
 
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin Dahuri
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin DahuriMembangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin Dahuri
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin DahuriMudrikan Nacong
 
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau KecilUU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau KecilPenataan Ruang
 
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...Penataan Ruang
 
Uu no6 1996 perairan indonesia
Uu no6 1996 perairan indonesiaUu no6 1996 perairan indonesia
Uu no6 1996 perairan indonesiaPenataan Ruang
 
Lap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfLap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfrozidagual
 
Ppt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHO
Ppt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHOPpt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHO
Ppt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHOhapsah farmasi
 
Penjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Penjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilPenjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Penjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilrafieraine02
 
Kemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIAKemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIAsamsir07
 
Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir
Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan PesisirHak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir
Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisirbung gunawan
 
Tugas pasca uts reklamasi
Tugas pasca uts reklamasiTugas pasca uts reklamasi
Tugas pasca uts reklamasiAgung Nugraha
 
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982Lutfi Nast
 

What's hot (20)

ESAI Kemaritiman Indonesia
ESAI Kemaritiman IndonesiaESAI Kemaritiman Indonesia
ESAI Kemaritiman Indonesia
 
Pengelolaan Pesisir
Pengelolaan  PesisirPengelolaan  Pesisir
Pengelolaan Pesisir
 
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautanKebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
 
Negara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautanNegara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautan
 
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisirKonsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
 
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin Dahuri
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin DahuriMembangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin Dahuri
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin Dahuri
 
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau KecilUU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
 
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau...
 
Kabar jkpp 10
Kabar jkpp 10Kabar jkpp 10
Kabar jkpp 10
 
4 BAB II ekonomi maritim
4 BAB II ekonomi maritim4 BAB II ekonomi maritim
4 BAB II ekonomi maritim
 
Uu no6 1996 perairan indonesia
Uu no6 1996 perairan indonesiaUu no6 1996 perairan indonesia
Uu no6 1996 perairan indonesia
 
Lap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdfLap. industri jasa kelautan pdf
Lap. industri jasa kelautan pdf
 
Ppt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHO
Ppt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHOPpt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHO
Ppt wawasan kemaritiman kelompok 1B Kelas farmasi A 2015 UHO
 
Makalaha
MakalahaMakalaha
Makalaha
 
Penjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Penjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilPenjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Penjelasan uu 27 2007 -pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
 
8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim
 
Kemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIAKemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIA
 
Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir
Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan PesisirHak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir
Hak Nelayan dan Masyarakat Pedesaan Pesisir
 
Tugas pasca uts reklamasi
Tugas pasca uts reklamasiTugas pasca uts reklamasi
Tugas pasca uts reklamasi
 
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
 

Similar to Pro kontra

Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...
Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...
Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...EdyKurniawanWahid
 
Hak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdf
Hak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdfHak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdf
Hak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdfEngelineElin
 
Isi makalah hpp
Isi makalah hppIsi makalah hpp
Isi makalah hppHan Hanif
 
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkuluMarhadi1995
 
WAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMANWAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMANharjunode
 
Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir
Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir
Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir Eddy Hamka
 
Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...
Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...
Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...Luhur Moekti Prayogo
 
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. TjahjadiPerubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. TjahjadiBiotani & Bahari Indonesia
 
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...Fitri Indra Wardhono
 
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisirAry Ajo
 
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan KawasanReklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan KawasanLestari Moerdijat
 
Potensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxPotensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxArsyadLabiq
 
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdfBuku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdfCiwingComunity
 

Similar to Pro kontra (20)

Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...
Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...
Omnibus law & pemberangusan ruang hidup masyarakat pesisir_diskusi YLBHI_PPT_...
 
Hak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdf
Hak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdfHak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdf
Hak atas Tanah di Laut_Penyimpangan Yuridis_Suharyanto.pdf
 
Isi makalah hpp
Isi makalah hppIsi makalah hpp
Isi makalah hpp
 
Hp3 vs nelayan tradisional
Hp3 vs nelayan tradisionalHp3 vs nelayan tradisional
Hp3 vs nelayan tradisional
 
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
 
Bab1 pendahuluan
Bab1 pendahuluanBab1 pendahuluan
Bab1 pendahuluan
 
WAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMANWAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMAN
 
Laot.pdf
Laot.pdfLaot.pdf
Laot.pdf
 
Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir
Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir
Kesalahan pengelolaan wilayah pesisir
 
Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...
Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...
Makalah Reklamasi Pantai - Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Beno...
 
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. TjahjadiPerubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
 
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANGPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
Sosialisasi uu 27 / 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU...
 
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
 
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan KawasanReklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan
 
10245 4
10245 410245 4
10245 4
 
Hutan Bakau Kapuk
Hutan Bakau KapukHutan Bakau Kapuk
Hutan Bakau Kapuk
 
Potensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxPotensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptx
 
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdfBuku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
 
Explore
ExploreExplore
Explore
 
Uu tambang
Uu tambangUu tambang
Uu tambang
 

Pro kontra

  • 1. PRO KONTRA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Oleh : Ayu Pratiwi dan Syafran hadi Secara substantif UU No 27 Tahun 2007 mengandung tiga orientasi kepentingan dalam memaknai pengelolaan wilayah pesisir yakni (i) industrialisasi/privatisasi yang ditandai hadirnya HP3, dan aturan akreditasi; (ii) konservasionis dengan munculnya terminologi ekosistem, bio-ekoregion, kawasan konservasi, hingga rehabilitasi; (ii) “Rakyat” dengan pengakuan masyarakat adat, istilah masyarakat lokal, masyarakat tradisional, hingga kearifan lokal. Akan tetapi, bila mencermatinya pelbagai terminologi mengandung “kontroversial”. Kebijakan penyewaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) seperti yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sampai saat ini masih menimbulkan pro-kontra yang substansial antara pemerintah dan para stakeholders kelautan lainnya. Kebijakan tersebut akan berlaku efektif pada akhir Juli 2008 ini. Pemerintah mengharapkan dengan sistem HP-3 ini pendapatan negara dari sektor kelautan mengalami peningkatan melalui biaya perijinan sertifikat HP-3 dan biaya pajak lainnya yang saat ini sedang disusun peraturannya. Namun, kebijakan tersebut ternyata tidak didukung oleh naskah akademik yang komprehensif. Selain itu juga, pemerintah saat ini belum menghitung secara jelas berapa besarnya biaya pengawasan dan penegakan hukum untuk meminimalisir dampak negatif penerapan sistem tersebut. Apakah pendapatan negara dari HP-3 tersebut lebih besar dari biaya pengawasan HP-3 yang akan dilaksanakan ataukah sebaliknya Hal ini belum bisa dijelaskan dalam tulisan ini mengingat pemerintah belum menentukan berapa tarif yang akan diberlakukan untuk setiap meter persegi wilayah perairan yang akan di HP-3 kan atau disewakan kepada para pengusaha. Namun secara hitungan kasar dapat dijelaskan bahwa biaya pengawasan dan penegakan hukum atas penerapan HP-3 ini akan jauh lebih besar, apalagi dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM. Saat ini saja, setelah kenaikan harga BBM, setiap kapal pengawas perikanan yang seharusnya beroperasi seratus hari hanya dapat beroperasi sekitar 71 hari saja. Hal ini disebabkan bahwa 90 persen dari biaya operasional kapal adalah untuk pembelian BBM. Masih terbatasnya fasilitas bunker Pertamina di beberapa daerah, mengakibatkan pembelian BBM untuk beberapa kapal pengawas tersebut sebagian masih terkena harga BBM industri. Artinya bahwa pascakenaikan BBM terjadi kekosongan hari pengawasan di wilayah perairan Indonesia sekitar 30 persen. Pengurangan waktu operasi kapal pengawas tersebut akan berdampak terhadap peningkatan berbagai aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia. Dampak Negatif Pertama, bila masyarakat adat memiliki otoritas penuh menentukan HP3-nya, lantas siapa yang menjamin tak akan melakukan transferability ke pemilik modal? Itu baru masyarakat adat. Amat disayangkan masyarakat adat jadi alat bargaining politik penguasa untuk meloloskan HP3. Belum lagi nelayan tradisional, maupun petani tambak tradisional jika melakukan hal serupa.
  • 2. Penelitian Karim dan Lenggono (2008) di Delta Mahakam membuktikan ekspansi lahan pertambangan minyak dan gas (migas) semakin luas sekalipun kewenangannya di Departemen Kehutanan. Pun, masih ada saja rakyat yang menjualnya ke perusahaan migas demi mendapatkan uang. Padahal, tak satu pun bersertifikat. Sebab, kondisinya sudah berubah jadi lahan bera yaitu lahan yang tak produktif lagi bagi usaha tambak udang maupun ikan. Terbitnya PP-HP3 akan semakin memperparah transferability lahan pesisir ke perusahaan pertambangan multinasional. Selain itu, pengalihan lahan pesisir dan pulau-pulau kecil plus sumber dayanya (terumbu karang, lamun dan mangrove) kepada pemilik modal besar. Kedua, pemberian HP3 yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) berarti mengubah rezim pengelolaan laut di Indonesia. Perubahan dari akses terbuka dan kepemilikan serta pemanfaatan bersama (common property right) jadi private property right yang eksklusif. Andre Groz (2005), penulis buku Ecology as Politics mengkritik pemberian hak eksklusif pada pemilik modal, karena memicu ketidakadilan dalam mendistribusikan sumber daya alam dan mereproduksi kemiskinan pada masyarakat pesisir khususnya nelayan tradisional, petani tambak hingga pembudi daya laut. Bahkan, Harry Shut, penulis buku Decline of Capitalism menyebutnya sebagai tindakan penjarahan sector publik. Persis dengan HP3 yang sejatinya ”mencabut hak dan akses masyarakat lokal atas sumber daya pesisir dan laut” dengan cara halus melalui instrument akreditasi. Jika mereka tak mampu mengakreditasi haknya atas sumber daya laut otomatis terusir dengan sendirinya. Ketiga, dalam HP3 jelas-jelas memprioritaskan “pengusaha” karena orientasinya keuntungan. Ini amat berbahaya karena aktivitas pengusaha sudah berkembang di wilayah pesisir. Mulai dari pembangunan resort orang-orang Singapura di Kepulauan Riau, dan privatisasi pulau kecil di Kepulauan Seribu, dan pengelolaan kawasan Taman Nasional Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh lembaga internasional dan pengusaha Malaysia. Akan semakin parah bila keterlibatan asing justru menjadikannya sebagai arena judi dan wisata semacam di Pulau Christmas milik Australia di Samudera Hindia atau menambah pertambakan skala besar di Lampung. Berarti, keluarnya PP-HP3 tinggal melegitimasinya saja. Keempat, pemberlakuan HP3 akan “menggusur” secara alamiah suku nomaden yang kehidupannya berasosiasi/bersimbiosis dengan alam (laut). Misalnya, Suku Bajo yang bermukim di pulau-pulau kecil dan pesisir Sulawesi hingga Suku Laut di Kepulauan Riau. Kedua suku nomaden ini tak memiliki lahan, lautlah sebagai sumber kehidupan mereka hingga adanya kekuatan mitos maupun kearifan lokal yang tak terpisahkan dari laut. Terbukti tanpa HP3 saja, suku Laut di Kepulauan Riau sudah tergusur akibat eksploitasi pasir laut. Pasti, akan semakin banyak pengusaha pasir laut mengurus HP3 bila PP-nya berlaku. Bukankah hal ini memperparah kehidupan mereka? Kelima, pemberlakuanHP3 akan menyuburkan kegiatan rent seeking di daerah. Lahan-lahan pesisir hingga pulau kecil yang potensial untuk per-tambakan udang, pariwisata bahari hingga pertambangan mineral akan dikaveling para pejabat daerah yang berperilaku pedagang dan kolusi birokrasi di daerah dengan pengusaha. Terbukti, tanpa HP3 saja lahan pesisir di pantai timur Asahan dan Labuhan, pesisir Pulau Muna, Kepulauan Raja Ampat, pesisir Teluk Pelabuhan Ratu, Pantura Jawa hingga pesisir Kalimantan Timur itu mereka sudah mengaveling dan mensertifikasinya. Bukankah terbitnya HP3 justru memperparah hal ini? Bahkan, mempercepat terjadinya keterbelakangan
  • 3. komunitas akibat rusaknya sendi-sendi struktur sosial masyarakat dan kehancuran lingkungan (natural capital) hingga memicu munculnya revolusi (Larrian, 1989). Keenam, pemberlakuan HP3 akan memicu konflik tak hanya bersifat horizontal, tapi vertikal. Bayangkan saja pemberlakuan UU No 22 Tahun 2009 yang kemudian revisinya UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan wilayah laut sudah memicu konflik antardaerah (nelayan Kota Baru dan Rembang) hingga anarnelayan akibat penyerobotan wilayah tangkap. Pemerintah Provinsi Banten dan DKI Jakarta hingga Jambi dan Sumatera Selatan akibat perebutan hak kepemilikan sebuah pulau kecil. Ketujuh, penyewaan perairan pesisir tersebut juga melanggar prinsip-prinsip negara kepulauan yang menekankan adanya keterpaduan antara matra darat, laut dan udara dalam melakukan pembangunan nasional. Terlebih dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), salah satu point misi pebangunan jangka panjang adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan/maritim. Artinya bahwa keterpaduan antara matra darat, laut dan udara menjadi sangat urgen. Dengan adanya penyewaan perairan pesisir kepada pihak swasta akan “menghilangkan” keterpaduan matra laut atau perairan dalam pembangunan nasional. Padahal para pendahulu bangsa ini telah memperjuangkan secara gigih agar prinsip-prinsip negara kepulauan ini diakui oleh dunia internasional seperti yang sudah tertuang dalam UNCLOS 1982. Apa yang terjadi bila pengelolaanTeluk Tomini yang terkait kepentingan tiga provinsi dan 11 kabupaten atau Teluk Bone antara dua provinsi, juga Teluk Cendrawasih, bila hak pengelolaannya diberikan ke pengusaha? Apakah tak memunculkan konflik vertikal bila antara pemerintah pusat dan daerah hingga antarpemerintah daerah di teluk itu bila salah satunya tak menyepakatinya dengan argumentasi melindungi nelayan tradisionalnya? Tampaknya mudah menyelesaikannya dengan logika-logika pemerintah pusat yang “sok kuasa” yang ditopang kaum intelektual/ akademisi teoretis yang buta empiris hingga “sok tahu”. Tapi, penulis yakin isu HP3 bagaikan api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa menyala. Revitalisasi Negara Kepulauan Berdasarkan hal tersebut sangat penting untuk kita merenung kembali agar pembangunan kelautan dan perikanan dapat mendukung terwujudnya negara kepulauan yang tangguh. Artinya bahwa dalam melakukan pembangunan negara kepulauan perlu adanya keterpaduan antara matra darat, laut dan udara. Oleh sebab itu berbagai paradigma pembangunan yang mengesampingkan akan tegaknya negara kepulauan yang kuat perlu dikaji ulang. Pemerintah hendaknya tetap konsisten untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat. Berdasarkan hal tersebut guna mengembalikan semangat pemerintah untuk melestarikan sumberdaya ikan, kesejahteraan nelayan dan menegakkan kembali prinsip-prinsip negara kepulauan dalam pembangunan nasional maka saat ini pemerintah perlu melakukan upaya merevitalisasi negara kepulauan. Dalam konteks pembangunan sumberdaya perikanan dan kelautan pemerintah perlu memperkuat Dewan Kelautan Indonesia sebagai wadah untuk menyatukan semua kepentingan stakeholders kelautan nasional. Mengingat lembaga tersebut beranggotakan semua instansi yang bergerak di bidang kelautan dan dipimpin langsung oleh Presiden RI.
  • 4. Selain itu juga pemerintah secepatnya untuk mengkaji ulang dan mengamandemen pasal-pasal yang mengatur HP-3 dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat menghambat terwujudnya negara kepulauan yang handal. Pemerintah hendaknya dalam menjaring investasi pembangunan kelautan dan perikanan lebih mengedepankan perbaikan iklim investasi dan menjamin keberlangsungan investasi di bidang kelautan dan perikanan. Tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan pembangunan kelautan dan perikanan akan menjadi penghambat untuk mewujudkan negara kepulauan yang kuat. Selain itu juga tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan pembangunan kelautan nasional akan semakin berpihak kepada para pemodal besar dan memarginalkan nelayan kecil dan kelestarian sumber daya ikan. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS MASYARAKAT November 12, 2009 Filed under: Lingkungan Sosial — Urip Santoso @ 2:25 am Tags: masyarakat, pembangunan berkelanjutan, wilayah pesisir LUKITA PURNAMASARI E2A 009025 ABSTRAK Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional. Luas wilayah pesisir Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia. Dengan berbagai kekayaaan keanekaragaman hayati dan lingkungan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang serbesar-besarnya kepada semua stakeholders’ terutama masyarakat pesisir, dan menimbulkan dampak serta konflik yang berpotensi terjadi. Kata kunci : pesisir, pengelolaan, berkelanjutan 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008). Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Secara umum, wilayah pesisir dapat didefenisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et al, 2002). Menurut Kay dan Alder pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh lagi, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Departemen Kelauatan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang
  • 5. menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan kea rah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan. Wilayah pesisir memilikinilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi “nilai” wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir (Nurmalasari, 2001) Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinya perdagangan antar daerah, pulau dan benua. Selain itu, wilayah pesisir juga merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan keberadaan hutan mangrove (Muttaqiena dkk, 2009). Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana melakukan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis masyaraka. Disamping itu juga untuk mengetahui manfaat, masalah dan konsep pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri. 1. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK WILAYAH LAUT DAN PESISIR Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup : 1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, 2. Perairan Kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai, 3. Perairan Pedalaman adalah semua peraiaran yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup Menurut Dayan, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebig dari 24 mil laut dan di pelabuhan. Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Laut meruapakan sumber dar “common property resources” (sumber daya milik bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi public/kepentingan umum. 2. Laut merupakan “open access regime, memungkinkan siapa pun untuk memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.
  • 6. 3. Laut persifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling. 4. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki trografi yang relative mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan. 5. Pesisir merupakan kawasan yang akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah : 1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating. 2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir. 3. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan financial yang sangat besar. 4. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. 5. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%) 6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”. 7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. 8. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  • 7. 1. PENGERTIAN PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS MASYARAKAT 3.1. Pengelolaan Pesisir Terpadu Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis. 3.2. Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004). 3.3. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat Pengelolaan berbasisi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001). Di Indonesia pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai. 1. KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN Luas wilayah pesisir Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia (Muttaqiena dkk, 2009). Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat pada Undang- Undang Nomor 24 1992 tentang Penataan RUang Pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun dimasa reformasi
  • 8. dengan kelahiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis Pantai. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah :  Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut  Pengaturan kepentingan administratif  Pengaturan ruang  Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah  Bantuan penegakan keamanandan kedaulatan Negara. Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota. Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem darat ekosistem alut berada dalam kewenagan daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan Undang-Undang 22/1999 yang menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat. Selain itu juga diterbitkan Undang-Undang Nomor 2007 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai Negara kepulauan, wilayah pesisir dimiliki oleh seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Berdasarkan data jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia pada tahun 2002, sebanyak 219 Kabupaten/Kota (68%) diantaranya memiliki wilayah pesisir. Kabupaten/Kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda didalam pengelolaan wilayah pesisir. Akan tetapi hingga akhir 2004, perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah lebih banyak bersifat sektoral (Muttaqiena dkk, 2009). 1. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN POTENSI PESISIR DI DAERAH Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian
  • 9. Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan ang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir. 1. PERMASALAHAN PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN PESISIR Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir. Kebijakan reklamasi yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan pada beberapa daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem dipesisir. Perizinan pengembangan usaha bagi kelangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi kewenangan pusat. Kadangkala dalam hal ini pemberian izin tersebut tanpa memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat setempat. Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :  Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan perundang-ungan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan sesuatu kebijakan.  Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.  Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah  Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir. Menurut APKASI isu-isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :  Adanya kesan bahwa sebagian daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut da pantainya. Utuk itu perlu diterapkan oleh pusat pedoman bagi pelaksanaan kewenangan daerah di bidang kelautan.  Pemanfaatan daearah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosisitem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administrative pemerintahan.
  • 10.  Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara alami dan berkelanjutan. 1. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PERENCANAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR Menteri Kimpraswil dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34 menyatakan beberapa kebijakan nasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir adalah sebagai berikut : 1. Revitalisasi kawasan berfunsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, daalm rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu factor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun, dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching). 2. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali. 3. Peningkatan pelayanan jaingan prasarana wilayah untuk menunjang pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan prasrana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut Nurmalasari, strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non structural. Pendekatan structural dalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sisitem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang berwenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Dilain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif. Sasaran utama pendekatan structural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan system kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek structural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sisitem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang dating baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus-menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit.
  • 11. Pendekatan subyektif atau non-struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk ebrbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan maslah kerusakan sumber daya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu :  Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan  Pengembangan keterampilan masyarakat  Pengembangan kapasitas masyarakat  Pengembangan kualitas diri  Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta  Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat. Konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan pengelolaan wilayah adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya. Oleh karena itu dadalam proses perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan diarahkan pada pemeliharan untuk generasi yang akan dating (pembangunan berkelanjutan). Idealnya, dalam sebuah proses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua melibatkan minimal tiga unsure yaitu ilmuawan, pemerintah, dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir dan perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan tujuan meningkatkan sosial ekonomi kawasan. . Menurut Muttaqiena dkk, perencanaan pembangunan pesisir secara terpadu harus memperhatikan tiga prinsip pembnagunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat diuraikan sebagai berikut ;  Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manafaat (cost benefit analysis). Misalnya pembangunan pabrik di wilayah pesisir harus memperhitungkan tingkat pencemarannya terhadap laut, perlunya pengelolaan limbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lain-lain.  Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan.  Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan dating, termasuk didalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat pesisir, penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan mitigasi bencana.
  • 12. Strategi pengelolaan tersebut merupakan upaya-upaya pemecahan masalah-masalah wilayah pesisir yang yang harus dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu;  Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.  Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah darat)  Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan. 1. KESIMPULAN  Wilayah pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.  Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Strategi pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui dua pendekatan yatu, yang bersifat struktural dan non-struktural.  Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada karakteristik ekositem pesisir yang bersangkutan, yan dikelola dengan memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi, dan kualitas hidup masyarakat, yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu melalui kerjasama masyarakat, ilmuan da pemerintah, untuk menemukan strategi- strategi pengelolaan pesisir yang tepat AmanatUU Nomor 1 Tahun2014tentang PengelolaanWilayahPesisirHarus DiimplementasikanPemerintahPusatdan Pemda  Akhir – akhir ini kita sering mendengar suatu kalimat ‘Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia’. Kalimat itu sering diperdengarkan sejak bulan Oktober tahun 2014 yang diporak – porandakan oleh Calon Presiden Republik Indonesia yang sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak Joko Widodo yang akrab disapa dengan sebutan Jokowi. Setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Jokowi konsisten dengan visi
  • 13. menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.. Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa kesadaran Bapak Jokowi akan potensi besar Indonesia terletak pada lautan yang dianugerahi Nya kepada Bangsa Indonesia.   Berdasarkan konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS) tahun 1982, dunia masih memandang Indonesia hanya sebagai Negara Kepulauan bukan sebagai Negara Maritim. Tentunya berbeda mengartikan Negara Kepulauan dengan Negara Maritim. Negara Maritim yaitu negara yang memiliki ruang laut yang luas atau sempit dimana negara tersebut mampu memanfaatkan laut yang sudah berada dalam kekuasaannya untuk kesejahteraan Rakyatnya dan keunggulan primer bagi pemerintah untuk menghadapi kondisi dunia. Sebaliknya, Negara Kepulauan yaitu negara yang memiliki ruang laut yang luas atau sempit tetapi belum mampu untuk memanfaatkan laut yang sudah berada dalam kekuasaannya sehingga laut terabaikan. Upaya pemerintahan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tentu lah tidak mudah, tetapi kita perlu sadari bahwa Indonesia telah dibekali luas perairan yang sangat luas mencapai 75% dari luas wilayah negara Indonesia dimana 75% luas perairan tersebut didominasi oleh perairan laut. Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Indonesia membutuhkan kerja yang ekstra keras apalagi mengingat perioderisasi kepemimpinan dalam tatanan kehidupan pemerintahan hanya 1 masa bakti selama 5 tahun.   Tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia sebagai Sebagai Poros Maritim Dunia yaitu ancaman pangan global, perubahan iklim global, negara Indonesia sebagai negara yang rawan bencana, degradasi ekosistem, minimnya pelabuhan perikanan dan pelabuhan logistik, maraknya IUU Fishing (Ilegall, Unreported, Unregulated), dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil belum harmonis sehingga kepengelolaannya tidak terpadu dan tidak keberlanjutan. Tantangan – tantangan seperti diatas akan dihadapi bangsa Indonesia, terbukti akhir – akhir ini Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudijiastuti menangkap dan menenggelamkan kapal asing karena mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Hal ini masuk dalam kategori IUU Fishing.   Arah, fokus, dan kerangka pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yaitu mewujudkan Indonesia sebagai poros pangan dunia yang bersumber pada kekayaan laut Indonesia, mewujudkan Indonesia sebagai poros energi terbarukan dunia yang mengandalkan oseanografi fisik seperti arus, angin, dan gelombang laut Indonesia, mewujudkan Indonesia sebagai biodiversity dunia dengan mengandalkan Indonesia yang masuk dalam kawasan CTI (Coral Triangle Initiative), mewujudkan Indonesia sebagai poros industri maritim dan poros logistik dunia dengan memanfaatkan sistem Alur Laut Kepulauan Indonesia, mewujudkan Indonesia sebagai poros keamanan dan ketahanan dunia dengan memanfaatkan alutsista Nasional. Rencana aksi yang harus dilakukan pemerintahan kabinet kerja untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yaitu Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi lumbung ikan, menciptakan pola perikanan berkelanjutan, menciptakan sisitem logistik nasional dengan prinsip kenusantaraan, mengembangkan konsep energi terbarukan dengan memanfaatkan energi matahari, angin, arus, dan gelombang laut, menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan lautan, mengembangkan eko-wisata bahari,
  • 14. mengembangkan industri perkapalan, mengembangkan industri maritim dan farmasi berbasis perikanan, pembenahan transportasi laut; sistem bongkar muat; dan kargo, reformulasi sistem logistik dengan konsep tol laut, menguatkan sistem keamanan dan keselamatan pelayaran, pengelolaan pulau terdepan dengan konsep kesetaraan, penguatan alutsista maritim, mengeleminasi angka kemiskinan pada daerah pesisir, keberpihakan kepada nelayan dalam kaitannya penditribusian BBM Bersubsidi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada daerah pesisir dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat pesisir, dan meningkatkan sumber daya alam di wilayah pesisir dengan menjaga keseimbangan ekosistem dalam konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu dan Keberlanjutan.   Tulisan ini bertujuan memberikan sumbangsih pemikiran secara rinci tentang kepengelolaan wilayah pesisir dalam rangka salah satu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tujuan tulisan ini memberikan paradigma berpikir tentang kepengelolaan wilayah pesisir dengan prinsip keterpaduan dan keberlanjutan. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Keberlanjutan atau dalam bahasa inggris disebut Integrated Coastal Zone Management and Sustainability (ICM).      Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan    Latar belakang/alasan dibutuhkan ICM yaitu menjaga sumber daya alam pesisir agar dapat dimanfaatkan oleh manusia generasi sekarang dan manusia generasi yang akan datang. Selama ini kita memandang bahwa memanfaatkan sumber daya alam pesisir tanpa dilakukan intervensi pengelolaan yang baik dengan prinsip keterpaduan dan keberlanjutan tidak memberikan dampak kepada manusia generasi sekarang dan manusia generesi yang akan datang. Alhasil perilaku tersebut memberikan dampak negatif bagi lingkungan pesisir baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, seperti degradasi ekosistem, degradasi habitat, degradasi spesies, berkurangnya stok ikan, berkurangnya garis pantai akibat aktivitas reklamasi, tercemarnya kualitas air laut, carut marutnya tata ruang kawasan pesisir karena tidak adanya sistem zonasi yang dibuat, penyalahgunaan mangrove dan terumbu karang sebagai kayu dan batu untuk bahan bangunan,dan pembangunan industri yang merusak lingkungan perairan pesisir. Dengan demikian untuk menciptakan wilayah pesisir yang lestari harus dikelola dengan prinsip keterpaduan dan keberlanjutan yang disebut Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu dan Keberlanjutan.   Keterpaduan ekosistemdaratan dan perairan   Upaya kepengelolaan wilayah pesisir untuk mewujudkan wilayah pesisir yang lestari tidak hanya berfokus pada pada pengelolaan di daerah pesisir, tetapi juga secara
  • 15. bersamaan harus melakukan pengelolaan di daerah daratan. Ekosistem daratan mempengaruhi ekositem yang ada di wilayah pesisir, akan menjadi usaha yang sia – sia dari pemerintah jika hanya melakukan usaha rehabilitasi ekosistem pesisir tanpa melakukan perbaikan di ekosistem daratan secara bersamaan. Sebagai contoh, pemerintah melakukan pengelolaan wilayah pesisir melalui rehabilitasi ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove bertujuan untuk memperbaiki ekosistem pesisir agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Akan tetapi secara bersamaan pemerintah tidak melakukan penanggulangan sampah yang berasal dari hulu daratan, sehingga sampah yang berasal dari daratan terkumpul di perairan pesisir sehingga dapat mencemari kualitas air yang kemudian dapat merusak ekosistem pesisir. Dengan demikian, upaya pemerintah tersebut menjadi sia – sia karena konsep pengelolaan wilayah pesisir yang dilaksanakan tidak mengandung prinsip keterpaduan.   Keterpaduan antar aspek (ekologi, sosial, dan ekonomi)   Dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan pentingnya mengingat prinsip keterpaduan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam terapannya, sering sekali kepengelolaan wilayah pesisir di Indonesia pada ranah pembangunan mengutamakan aspek ekonomi tanpa melibatkan aspek sosial dan ekologi. Hal ini mengakibatkan terjadinya gejolak sosial ditengah – tengah masyarakat, terdegradasinya ekosistem; habitat; dan spesies di Pesisir Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian alam agar dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya dibutuhkan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Keberlanjutan yang menekankan pada keterpaduan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Sebagai contoh, semakin maraknya pembangunan pelabuhan (baik pelabuhan perikanan maupun pelabuhan logistik nasional) dan perancangan sistem zonasi yang tidak melibatkan aspek sosial dan ekologiterjadi di Pesisir Indonesia. Positifnya, hal ini dapat meningkatkan perekonomian daerah atau perekonomian negara karena penerimaan daerah atau penerimaan negara menjadi meningkat karena adanya pelabuhan atau zonasi yang tidak berpihak pada masyarakat lokal atau masyarakat pesisir. Negatifnya, hal ini mengakibatkan kerusakan lingkungan pantai atau lingkungan laut karena pada pembangunan pelabuhan sering sekali mengutamakan aktivitas reklamasi agar estetika visual pelabuhan tersebut menjadi menarik bagi orang awam. Negatifnya lagi, hal ini mengakibatkan zonasi yang telah dibentuk oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dilanggar oleh nelayan dikarenakan pemikiran nelayan penetapan zonasi tersebut mengurangi hasil tangkapan ikan para nelayan.   Legislasi Pengelolaan Wilayah Pesisir   Laut bersifat multiple use sehingga dibutuhkan payung hukum untuk melakukan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan. Produk hukum sangat dibutuhkan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan agar tumpang tindih antar sektoral dapat diatasi, tumpah tindih kewenangan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dapat selaras baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun antar sektor/instansi pemerintah pusat serta antar sektor/instansi. Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat
  • 16. pada legislasi produk hukum yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang bertujuan untuk mengatur atau mengikat perorangan, sektor/instansi pemerintahan, dan swasta dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Sebelum tahun 2007, produk UU yang ada di Indonesia belum menyentuh secara konkrit tentang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sehingga UU yang dipakai masih bersifat ego sektoral sementara prinsip pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan yaitu keterpaduan. Banyak produk hukum yang lahir seperti UU Pokok Perikanan Nomor 9 Tahun 1985, UU ZEE Nomor5 Tahun 1983, UU Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992, UU Keanekaragaman Hayati Nomor 5 Tahun 1994, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah untuk pengaturan batas – batas maritim, penetapan standard pengelolaan pesisir pantai dan pulau – pulau kecil, penegakkan hukum di laut, dan masih banyak produk hukum lainnya.   Semenjak tahun 2007, legislatif dengan eksekutif bersepakat untuk membentuk sekaligus mengesahkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Pusat dan DPR memandang perlu adanya produk hukum yang dapat menjadi payung hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil, mengingat wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil merupakan wilayah yang rawan konflik karena pemanfaatan sumberdaya yang bersifat multiple use mengakibatkan kerusakan lingkungan pesisir. Pada tahun 2014, lahir UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. UU Nomor 1 Tahun 2014 menyampaikan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian untuk kepengelolaannya mengartikan bahwa tidak ada lagi ego antar sektor, ego antar ekosistem darat dan laut sehingga pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan dengan prinsip keterpaduan daerah darat dan laut serta keterpaduan antar sektor. Amanat UU Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 3 juga secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil harus berasaskan keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan.   Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan amanat UU Nomor 27 Tahun 2007 yang disempurnakan pada UU Nomor 1 Tahun 2014 terbagi dalam 4 tahap yaitu Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RPWP3K), dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RAPWP3K). Tahap – tahapan tersebut dilakukan secara teratur dimulai dari pemerintah daerah kabupaten/kota (Bupati/Walikota), dilanjutkan pada pemerintah propinsi (Gubernur), sampai kepada pemerintah pusat (Menteri Kelautan dan Perikanan). 
  • 17.  Pusat data dan informasi, kampanye terkait pengelolaan wilayah pesisir   Data, informasi, dan kampanye terkait pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia kurang terorganisir dengan baik sehingga sense of belonging pemangku kepentingan terhadap kondisi pesisir Indonesia menjadi berkurang. Hal ini perlu dipandang perlu perbaikan karena berdampak pada keterbatasan pengetahuan tentang konektivitas masyarakat pesisir dan masyarakat terestrial untuk menjaga kelestarian sumberdaya nya.   Intensitas pendekatan kepada level masyarakat lokal yang dilakukan oleh pemerintah harus ditingkatan sampai masyarakat sadar bahwa pentingnya menjaga lingkungan pesisir sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya (Sustainable). Ketika itu tercapai, pemerintah harus memberikan penghargaan kepada masyarakat sebagai bentuk apresiasi dari pemerintah.   Mekanisme anggaran dan kelembagaan dalam menjalankan program pengelolaan wilayah pesisir   Dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan dibutuhkan kelembagaan untuk mengorganisir program – program/kegiatan yang mengarah pada pengelolaan wilayah pesisir. Kelembagaan ini perlu untuk antisipasi tumpang tindih kewewenangan dan tumpang tindih tugas fungsi antar instansi pemerintah.   Selama ini kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir berbeda – beda, dalam artian untuk mengelola wilayah pesisir kab/kota mempunyai struktur organisasi berbeda dengan propinsi dan nasional. Hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih program/kegiatan dalam satu kawasan dan tumpang tindih kewewenangan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan cukup dibentuk satu kelembagaan/struktur organisasi sehingga konsistensi program/kegiatan menjadi searah dan koordinasi semakin terarah sehingga pogram/kegiatan terkait pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan juga terarah. Contohnya kelembagaan terkait pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan dapat dibentuk seperti Program Managament Officer (dimana kedudukan ini diisi oleh pemerintah pusat) dan Program Implementation Unit (dimana kedudukan ini disi oleh pemerintah daerah), antara Program Managament Officer dengan Program Implementation Unit terdapat garis koordinasi. Struktur kelembagaan tersebut dibuat dengan semangat permanen bukan berdasarkan ada atau tidak adanya proyek. Dengan struktur permanen yang tidak berubah dengan ada atau tidak adanya proyek, kegiatan – kegiatan dapat berlangsung secara terus menerus sampai target pengelolaan wilayah pesisir dapat tercapai.   Sebagai contoh California’s Federally, mereka membuat kelembagaan yang jelas dalam satu struktur kelembagaan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir. Kelembagaan beranggotakan pemerintah, LSM, swasta, perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat. Kelembagaan tersebut dapat menjamin pemanfaatan berkelanjutan dan akses publik. Keterlibatan pemerintah daerah melalui kewenangan untuk menerbitkan perizinan melalui pola program pesisir lokal yang mengatur membuat pemetaan tata ruang, pengaturan, dan zonasi.
  • 18.   Pengembangan kapasitas masyarakat dan aparatur pemerintah dalam manajemen program pengelolaan wilayah pesisir   Dalam rangka melaksanakan kegiatan – kegiatan yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir dibutuhkan sumberdaya manusia baik aparat pemerintah maupun masyarakat pesisir yang capablesehingga diharapkan dapat mengimplementasikan kegiatan – kegiatan tersebut dengan tepat sasaran sesuai dengan prinsip keterpaduan dan keberlanjutan. Dipandang diperlukan kegiatan pelatihan ekologi, pelatihan sosial ekonomi, dan pelatihan untuk mempelajari kondisi sosial kehidupan masyarakat pesisir.   Evaluasi pengelolaan wilayah pesisir dalam bentuk ICM Code   Evaluasi dalam pengelolaan wilayah pesisir sangat penting agar dapat mengevalusi kegiatan – kegiatan yang dilakukan sehingga kegiatan – kegiatan tersebut dapat berjalan kepada arah pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan. Evaluasi harus dilakukan dengan pendekatan ICM Code. Kerangka pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan ini diadopsi dari PEMSEA (The Partnerships in the Environmental Management for the Seasof East Asia). PEMSEA bertujuan untuk pengaturan kemitraan yang melibatkan pemangku kepentingan di Laut Asia Timur yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah masyarakat, sektor swasta, lembaga penelitian dan pendidikan, lembaga keuangan, dan lembaga donor. Dengan memakai ICM Code maka penilaian terhadap keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia dapat dinilai dengan indikator – indikator keberhasilan yang jelas, tidak memakai indikator yang dapat direkayasa.   Kesimpulan   Pada ICM Code terdapat beberapa indikator keberhasilan untuk menilai tingkat keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan keberlanjutan seperti kelembagaan, mekanisme anggaran, kampanye lingkungan, politik kebijakan dan perencanaan strategi, dan legislasi. Dari beberapa indikator penilaian tersebut pengelolaan wilayah pesisir Indonesia hanya indikator legislasi saja yang mendapatkan apresiasi. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU Nomor 27 Tahun 2007 yang disempurnakan pada UU Nomor 1 Tahun 2014, dan memperlihatkan kepada kita bahwa Implementasi dari ICM di Indonesia perlu ditingkatkan.   Dalam rangka mewujukan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunai diperlukan perencanaan dan strategi yang dapat mendorong kemampuan laut yang dimiliki Indonesia, salah satu upaya nya yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir dengan prinsip terpadu dan keberlanjutan. Dengan demikian wilayah pesisir kita menjadi kuat, ekosistem yang ada didalamnya menjadi lestari, masyarakat pesisir yang mandiri dan tidak miskin, kehidupan sosial di wilayah pesisir semakin terencana baik, dan sumberdaya pesiir terutama protein ikan dapat dimanfaatkan untuk gizi nasional anak Bangsa generasi sekarang dan generasi selanjutnya.
  • 19. Evaluasi Kebijakan UU No.27/Tahun 2007 (UU No.1 Tahun 2014) Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Rangka Mengembangkan Taman Wisata Perairan Gili Matra Nusa Tenggara Barat Urgensi keberadaan kebijakan publik sebagai payung hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil secara terpadu di Indonesia sangat mendesak dan mutlak diperlukan. UU No.27 Tahun 2007 yang diubah dengan UU No.1/Tahun 2014 merupakan landasan hokum pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Dengan wilayah laut 5,8 juta Km2 dan 17.480 pulau, panjang pantai Indonesia 95.181 kilometer, terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Sekitar 140 juta jiwa penduduk tinggal dalam radius 50 kilometer dari garis pantai. Dari 16,42 juta jiwa penghuni desa pantai, sekitar 32 persen di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Urbanisasi pada masa mendatang terpusat di wilayah pesisir,mengingat 42 wilayah administrasi Pemerintahan Kota dan 181 Pemerintahan Kabupaten berada di pesisir yang rentan pencemaran dan perusakan lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan disebabkan kegiatan sejak di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) kurang memperhatikan dampak lingkungan. Penyebab lainnya, dampak dari perubahan iklim akibat pemanasan bumi yang meningkatkan suhu dan tinggi permukaan laut. Penelitian membatasi diri pada evaluasi implementasi di Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra, Kabupatan Lombok Utara, yang memiliki permasalahan lingkungan cukup serius akibat tuntutan pembangunan ekonomi daerah. Tujuan penelitian mengevaluasi implementasi undang-undang dalam pengelolaan wilayah pesisir di Gili Matra, cara mengatasi ketiadaan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan implementasi paradigma baru dalam mengelola kawasan konservasi. Penelitian menggunakan metode deskriptif dan kasual dari Langbein. Metode deskriptif lebih mengarah kepada tipe penelitian evaluasi proses, sedangkan metode kausal lebih mengarah kepada penelitian evaluasi dampak. Kendati belum memiliki Perda RZWP3K, namun beruntung mempunyai Perda No.9/Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2031 dan Perda Provinsi NTB No.2/Tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil. Dengan demikian memiliki landasan hukum dalam mengatur susunan pusat permukiman, sistem jaringan prasarana dan sarana guna mendukung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Dari hasil identifikasi penelitian, diperoleh temuan yang dapat menjadi rujukan, yaitu pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan di kawasan yang menjadi sasaran kebijakan. Pelibatan pemangku kepentingan yang diaktualisasikan melalui Forum Koordinasi Pemangku Kepentingan (FKPK) TWP Gili Matra, telah mendorong terwujudnya implementasi pengelolaan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Meski legitimasinya tidak sekuat Perda RZWP3K, tapi sudah dapat mengakomodasi penerapan prinsip partisipatif dan transparansi dalam pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana dipersyaratkan undang-undang. Forum berhasil mendorong responsivitas untuk menangani isu strategis seperti merehabilitasi terumbu karang oleh pemangku kepentingan terkait; penghentian cara penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut oleh komunitas nelayan sendiri. Responsivitas tinggi diperlihatkan kelompok sasaran yang memperoleh manfaat dari kebijakan, antara lain pengusaha pariwisata karena mendapat kepastian dalam berinvestasi; para nelayan tradisional yang memperoleh kompensasi dengan tidak menangkap ikan di lokasi penyelaman. Meski implementasi pengelolaan kolaboratif dapat menggerakan partisipasi masyarakat, tetapi adanya Perda RZWP3K tetap diperlukan sebagai landasan hukum yang lebih kuat. Pentingnya pengelolaan kolaboratif karena dapat membangun kesamaan persepsi dan kesetaraan di antara pemangku kepentingan. Percepatan penyusunan Perda RZWP3K sesungguhnya dapat mencontoh penyusunan RT/RW dengan bantuan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Badan bersifat adhoc dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.50/ 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Untuk mempercepat penyusunan RZWP3K, perlu dipertimbangkan keberadaan lembaga yang memiliki kedudukan seperti BKPRD.