bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK
1. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK
PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA
DI JEMBER 1911-1994
Titin Nurhidayati
Institut Agama Islam Al falah As sunniyyah
titinnurhidayati77@gmail.com
Muhammad Bahrul Ula
Institut Agama Islam Al falah As sunniyyah
muhammadbahrulula418@gmail.com
Abstrak
KH. Djauhari zawawi seorang da’i asal Sedang Jawa tengah dating ke kencong untuk
menyebarkan agama islam dengan mendirikan pusat kajian agama yaitu pondok pesantren
yang awalnya bernama kholafiyah lalu di ganti dengan assunniyyah dan membantu untuk
melawan colonial dalam merebut kemerdekaan Indonesia sbagai penasehat, pejuang dan
pengisi persenjataan wirid untuk melawan penjajah dengan pasukannya yang bernama
hizbullah gerakan bagian barat bertempat di desa kencong kecamatan kencong.
Bagaimana proses Kh Djauhari zawawi dalam mendirikan pondok pesantren assunniyyah
dan peran beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Peneliti bertujuan
mengetahui prose Pendirian Pondok pesantren Assunniyyah dan kontribusi beliau dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Metode penelitian yang di gunakana menggunakan
teori Struktural dari Pierre Bourdieu dan metode sejarah kritis yang di susun oleh
Kuntowijoyo dengan tahapan heuristic, Verifikasi, interpretasi dan historiografi. Hasil dari
artikel ini seorang Kh Djauhari zawawi mengawali dakwah di kencong dengan mbalah
kitab di mushollah waqaf kiyai sholihin juga di rumahnya yang bakal menjadi pondok
pesantren assunniyyah dan beliau sebagai komandan spiritual dan mata mata pergerakan
Belanda Kemudian Di kabarkan ke Kh Abdullah Shiddiq selaku komandan batayon Elang
Emas. Kesimpulannya meski di incar tentara jepang dan belanda karena beliau selalu
melawan tetapi tetap istiqomah mengaji.
Kata Kunci : Kh Djauhari Zawawi, Sang Penggerak, Perjuangan.
2. Muhammad Bahrul Ula
2 | Jurnal Al‘Adalah
Abstract
KH. Djauhari zawawi, a preacher from Central Java, came to Kencong to spread Islam by
establishing a center for religious studies, namely a boarding school which was originally
named kholafiyah and then replaced with assunniyyah and helped to fight against
colonialism in seizing Indonesia's independence as an advisor, fighter and armament filler.
wirid to fight the invaders with his troops called the western movement Hezbollah
located in Kencong village, Kencong district. How is the process of Kh Djauhari zawawi
in establishing the assunniyyah Islamic boarding school and his role in fighting for
Indonesian independence. The researcher aims to find out the process of the
establishment of the Assunniyyah Islamic Boarding School and his contribution to the
struggle for Indonesian independence. The research method used is the structural theory
of Pierre Bourdieu and the critical historical method compiled by Kuntowijoyo with
heuristic, verification, interpretation and historiography stages. The result of this article is
that Kh Djauhari zawawi started his da'wah in kencong with a book in the prayer room of
waqaf kyai sholihin as well as at his home which was to become an assunniyyah Islamic
boarding school and he was the spiritual commander and spy for the Dutch movement.
Gold. In conclusion, even though the Japanese and Dutch soldiers were targeting him
because he always resisted, he still wastiqomah to recite the Koran
Keywords: Kh. Djauhari Zawawi, The Mover, Struggle.
3. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |3
Pendahuluan
Tentu saja dan sudah menjadi rahasia
umum bahwa selain dibawa oleh saudagar,
penyebaran Islam di Jawa maupun di
Nusantara (Indonesia) secara keseluruhan
tidak terlepas dari peran para ulama.
Walaupun memang tidak ada satu pendapat
yang pasti tekait kapan masuknya Islam di
Jawa, jika mengingat hubungan kerajaan-
kerajaan di Nusantara dengan Timur Tengah,
Persia, India, dan Tiongkok sudah
berlangsung lama 1
Namun demikian, satu hal yang
cukup pasti bahwa dalam siar agama Islam di
Jawa, para ulama tersebut banyak mendirikan
masjid dan pondok pesantren. Seiring
perkembangan Islam, keberadaan dan
keterlibatan ulama sangat melakat dalam
kehidupan sosio-kultural, terutama pada
masyaakat Jawa. Waktu itu ulama tidak hanya
menjadi guru agama, tetapi sekaligus
pengembang budaya setempat. Ada juga yang
diangkat sebagai penasihat raja, panutan
masyarakat, pemberi doa restu, dan
pemimpin ibadah serta upacara
Demikian ketika Indonesia berusaha
lepas dari belenggu kolonialisme, ulama
menjadi pionir setiap pergerakan. Perang
Surabaya di bulan November 1945
1 M Khoiril Anwar and Muhammad
Afdillah, “Peran Ulama Di Nusantara Dalam
Mewujudkan Harmonisasi Umat Beragama,”
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi
Keagamaan 4, no. 1 (2016): 80–95.
umpamanya, yang merupakan peristiwa besar
dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia tidak akan meledak sedemikian
rupa menjadi perang terlama dan terbesar
pasca proklamasi bila tanpa adanya fatwa dan
resolusi jihad dari para ulama yang waktu itu
dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari
fakta sejarah yang tak terbantah
bahwa ulama atau kyai memegang peranan
besar dalam pergerakan perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Hampir di seluruh
Jawa dan Madura, para ulama selain sebagai
penyiar agama, juga menjadi motor
penggerak dan tonggak spirit perjuangan
kemerdekaan. Mereka, para ulama itu, masuk
ke desa-desa, mendirikan masjid dan pondok
pesantren, mengorganisir massa untuk
memerjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sampai saat ini, mungkin masih
banyak tokoh-tokoh ulama lokal yang
namanya sama sekali belum tercatat dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan mungkin sebagian ada yang terlupa
walaupun mereka punya andil besar dalam
membangun gerakan perlawanan kepada
kolonialisme ditingkat lokal, kabupaten atau
desa. Salah satu tokoh ulama yang namanya
mungkin tidak begitu dikenal luas di kancah
nasional, tetapi berperan dalam menyiarkan
Islam dan pergerakan perlawanan ditingkat
lokal adalah KH Djauhari Zawawi.
KH Djauhari Zawawi merupakan
seorang ahli bidang fiqih dan tasawuf. Ia juga
4. Muhammad Bahrul Ula
4 | Jurnal Al‘Adalah
sebagai pendiri dan pengasuh pertama
Pondok Pesantren Assunniyah yang
merupakan salah satu pesantren salaf terbesar
di wilayah Kabupaten Jember Jawa Timur.
Lokasinya berada di Desa Kencong,
Kecamatan Kencong. Dengan bantuan para
kyai setempat, KH Djauhari Zawawi
mendirikan Pondok Pesantren Assunniyah
pada 1942 dengan bangunan pertamanya
berupa musholla yang terbuat dari bambo.
Pondok Pesantren yang didirkan oleh
KH Djauhari Zawawi tersebut awalnya
bernama Al–Kholafiyah, yang memiliki arti
“generasi penerus yang baik.” Akan tetapi
pada tahun 1957, nama tersebut kemudian
diubah menjadi Assunniyyah dengan harapan
akan menjadi sumber pencetak generasi
penerus yang menegakkan syariat Islam
berdasarkan Ahlussunnnah Waljama’ah
.2
Selain itu, berdirinya Pondok Pesantren
Assunniyyah juga bertujuan untuk mencetak
kader-kader muslim yang berguna bagi
agama, nusa dan bangsa, serta bertaqwa
kepada Tuhan yang Maha Esa.
Sekalipun pada tahun 1994 KH
Djauhari Zawawi telah wafat, namun berkat
ketegasan dan kedisiplinannya dalam
mengasuh Pondok Pesantren Assunniyyah
membuat pesantren ini tetap eksis sebagai
2 M Arifun Najih, “Pengembangan
Kurikulum Pesantren Sebagai Usaha
Meningkatkan Kualitas Pendidikan Di Pondok
Pesantren As-Sunniyyah Kencong Jember” (UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2010).
pesantren salaf yang berada di wilayah
Jember. Menjaga ajaran Ahlusunnah wal
Jamaah adalah khitah atau garis haluan dari
KH Djauhari Zawawi pada saat mendirikan
Pesantren Assunniyyah. Oleh karena itulah,
jumlah santri yang belajar Agama Islam di
Pondok Pesantren Assunniyyah pada tahun
2002-2003 tecatatmemiliki sekitar 2100 santri
terdiri dari 700 santri putra dan 1400 santri
putri (santriwati). Selain dari Jember, para
santri dan santriwati Pondok Pesantren
Assunniyyah juga banyak yang berasal dari
daerah lain, seperti Lumajang, Banyuwangi,
Probolinggo, Rembang, Kudus, Tasikmalaya,
bahkan Lampung dan Bali.3
Selain sebagai penjaga Ahlusunnah
wal Jamaah dengan mendirikan dan
mengasuh pondok pesantren Assunniyyah,
KH Djauhari Zawawi juga merupakan
pejuang kemerdekaan Indonesia. Ditingkat
lokal, ia termasuk pimpinan barisan Hisbullah
di kawasan barat daya Jember. Ia dikenal
sebagai ulama yang menentang keras
penjajahan di Indonesia. Pada masa
penjajahan Jepang (1942-1945), KH Djauhari
Zawawi lantang menentang kewajiban
pembayaran pajak terhadap Jepang.
Dalam suatu pengajian NU
(Nahdlatul Ulama) di Masjid Jami’ Kencong
3 M Arifun Najih, “Pengembangan
Kurikulum Pesantren Sebagai Usaha
Meningkatkan Kualitas Pendidikan Di Pondok
Pesantren As-Sunniyyah Kencong Jember” (UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2010).
5. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |5
pada tahun 1942, KH Djauhari Zawawi
dengan berani menyatakan bahwa zakat
(pajak) untuk Jepang tidak sah. Akibat
pernyataan tersebut, Jepang menerapkan cap
berbahaya yang berujung kepada
penangkapan KH Djauhari Zawawi. Oleh
Kempetai Jepang, ia dibui, dimasukkan ke sel
polisi yang terletak di utara Masjid Jami’
Kencong. Sementara pondok pesantren yang
baru ia dirikan juga dirusak oleh tentara
Jepang.4
Pada masa agresi militer Belanda, para
kyai Jember mendirikan Pusat Pimpinan
Perjuangan Rakyat (PPPR) yang dipimpin
oleh Kyai Dzofir. KH Djauhari Zawawi pun
lantas bergabung dan berperan sebagai
“pemberi informasi gerak-gerik Belanda.”
Bersamaan dengan tugasnya itu, KH Djauhari
Zawawi justru menjadi incaran Belanda.
Ucapannya mengundang curiga pemerintah
Belanda yang ingin kembali menduduki
Indonesia. Ia dianggap sebagai agitator
berbahaya di wilayah Jember karena seringkali
mengisi pengajian untuk memberi nasihat
berupa semangat perjuangan dan mengisi
persenjataan dengan hizib untuk menambah
daya juang.
Sekalipun tindak-tanduknya diawasi,
KH Djauhari Zawawi walau hanya dengan
berjalan kaki tetap menjadi informan yang
4 Huda, H. Afton Ilman dan Saman
Hudi. Pahlawan Jember. Jember: UIJ Kyai Mojo. .
2006.
gesit kepada para pejuang. Dari desa ke desa
di wilayah Jember, ia menyiarkan agama dan
kewajiban untuk berjuang mempertahankan
kedaulatan negara. Dari sini, menarik kiranya
untuk membahas mengenai bagaimana proses
KH Djauhari Zawawi dalam mendirikan
Pondok Pesantren Assunniyah, serta sejauh
mana peran KH Djauhari Zawawi dalam
pergerakan pejuangan kemerdekaan
Indonesia di Jember baik melalui dakwah-
dakwah maupun keterlibatan langsung dalam
pergerakan perjuangan.
Berdasarkan latar belakang di atas,
ada suatu persoalan menarik pada diri KH
Djauhari Zawawi yang menjadi rumusan
masalah dalam tulisan ini, yakni bagaimana
proses KH Djauhari Zawawi dalam
mendirikan Pondok Pesantren Assunniyah?
Dan sejauh mana peran KH Djauhari
Zawawi dalam menyiarkan agama Islam dan
semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia
di Jember?.
adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
proses KH Djauhari Zawawi dalam
mendirikan Pondok Pesantren Assunniyah.
Selain itu juga untuk kontribusi dan peran-
peran KH Djauhari Zawawi dalam rangka
menyiarkan agama Islam dan semangat
perjuangan kemerdekaan Indonesia di
Kabupaten Jember..
Jenis Penelitian kali ini dengan
memakai teori Struktural Generatif dari
6. Muhammad Bahrul Ula
6 | Jurnal Al‘Adalah
Pierre Bourdieu. Alasannya karena Struktural
Generatif merupakan satu model: suatu cara
berpikir dan mengajukan pertanyaan untuk
mendeskripsikan, menganalisis kehidupan
praksis dan menganalisis struktur-agensi
dengan memerhitungkan asal-usul seseorang
dan asal-usul berbagai jenis struktur serta
kelompok social dan metode sejarah kritis
(strukturalisme) yang ditemukan di dalam
karya Kuntowijoyo5
juga akan digunakan.
Tahapan metode sejarah kritis, antara lain
heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi
(kritik sumber), interpretasi (analisis), dan
historiografi (penulisan).
Heuristik dalam arti mencari dan
menemukan sumber, berupa dokumen atau
sumber tulisan mengenai KH Djauhari
Zawawi. Mengingat keterbatasan waktu dan
keadaan yang kurang mendukung, maka
heuristik hanya dilakukan melalui studi
pustaka serta penelusuran melalui google
search dan wawancara online dengan
Muhammad Bahrul yang merupakan salah
satu Pengurus Pondok Pesantren As-
Sunniyyah Kencong saat ini.
Setelah data-data terkumpul, maka
dilakukan verifikasi atau kritik sumber. Pada
tahap ini cukup hanya melakukan kritik
internal dengan cara membandingkan satu
sumber dengan sumber lainnya. Tahap
5
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Bentang. 1995.
selanjutnya adalah interpretasi atau
penafsiran. Tahapan ini dilakukan dengan
cara menafsirkan kembali data-data yang
ditemukan. Interprestasi ini berguna untuk
mengetahui isi atau makna-makna yang
tersirat dari sumber yang ditemukan, serta
berguna untuk menghubungkan fakta-fakta
yang sudah ditemukan di lapangan.
Tahap terakhir adalah proses
penulisan karya tulis sejarah atau yang disebut
dengan historiografi, yang merupakan tahap
akhir dari keseluruhan metode sejarah.
Melalui proses penulisan tentunya akan
menjadikan suatu peristiwa menjadi lebih
awet. Selain itu tidak akan mudah dilupakan
karena dituangkan ke dalam bentuk karya
tulis, yang nantinya dapat digunakan baik
sebagai sumber bacaan atau sumber sumber
referensi dalam mendukung suatu kegiatan
penelitian ilmiah.
Hasil dan Pembahasan
KH Djauhari Zawawi lahir di
Padukuhan Waru, Desa Sidorejo, Kecamatan
Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
pada tahun 1911. Ia merupakan putra dari
pasangan KH Zawawi dengan Nyai Ummah.
Tempat kelahirannya ini terkenal sebagai desa
dengan budaya islami yang fanatik dan
fundamental. Di sana, KH Djauhari Zawawi
belajar ilmu agama kepada KH Ridlwan yang
merupakan pamannya sendiri. KH Ridlwan
dalam hal ini menjadi modal sosial yang
dimiliki KH Djauhari Zawawi berupa relasi
7. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |7
hubungan kekeluargaan. Modal bisa
membentuk habitus dan bisa pula
melipatgandakan modal lainnya.
Umpamanya, dari relasi sosial dengan
KH Ridlwan, KH Djauhari Zawawi pun
belajar ilmu agama dengannya. Nilai-nilai
yang terkandung di dalam ilmu agama itu
kemudian diinternalisasi oleh KH Djauhari
Zawawi sehingga membentuk sebuah
perilaku. Di sini bisa merujuk pada pernyatan
Ummah (2009) bahwa di usia 11 tahun KH
Djauhari Zawawi sudah menghafal Kitab
Alfiyah selama tiga bulan, di mana umumnya
kitab itu baru dihafal oleh anak usia 16 tahun.
Kemampuan KH Djauhari Zawawi
dalam menghafal Kitab Alfiyah selama tiga
bulan di usia 11 tahun tersebut, menurut
Ummah (2009) didorong oleh semangat
belajarnya yang tinggi dan juga ke-istiqomah-
annya dalam belajar. Semangat belajar dan ke-
istiqomah-an tersebut menjadi semacam
habitus awal yang ditemukan dalam sosok
KH Djauhari Zawawi pada saat remaja.
Namun sudah tentu semangat belajar dan ke-
istiqomah-an tersebut tidak semata-mata
langsung terbentuk seketika, melainkan itu
pertama-tama melalui proses pendidikan,
pembelajaran, dan pengaruh dari lingkungan
keluarga. Bisa juga melalui mimesis (meniru)
dari lingkungan keluarga, sehingga semangat
belajar dan ke-istiqomah-an bisa menjadi
habitus yang telah terdisposisi.
Oleh karena itu, peran keluarga
terutama bentuk pola asuh orang tua KH
Djauhari Zawawi mula-mula menjadi struktur
objektif yang membentuk stuktur subjektif.
Disebutkan bahkan saking semangatnya
dalam belajar, setiap malam KH Djauhari
Zawawi belajar dengan menyalakan lampu
minyak, sehingga kamarnya banyak jelaga dan
karena itu ia ditegur oleh ibu tirinya yang
bernama Hamnah6
Jadi, pembelajaran tentang agama di
usia remaja telah membentuk KH Djauhari
Zawawi menjadi pribadi yang penuh
semangat dan istiqomah dalam belajar. Hal
itu juga dipengaruhi oleh ranah lingkungan
desa yang kental dengan budaya Islami.
Pengetahuan agama yang didapat dari KH
Ridlwan itu pun pada gilirannya menjadi
modal budaya KH Djauhari Zawawi yang
berupa pengetahuan-pengetahuan tentang
keagamaan.
Berbekal pengetahuan agama dari KH
Ridlwan, kemudian KH Djauhari Zawawi
oleh keluarganya dipondokkan ke KH Kholil
Kasingan, Rembang. Pada saat mondok di
KH Kholil, awalnya KH Djauhari Zawawi
tidak sepenuhnya bisa cepat menerima
pelajaran. Suatu ketika KH Kholil
menyodorkan pertanyaan kepada muridnya,
yang salah satunya adalah KH Djauhari
6 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS. 2009.
8. Muhammad Bahrul Ula
8 | Jurnal Al‘Adalah
Zawawi. Namun semua murid, termasuk KH
Djauhari Zawawi tidak bisa menjawab
pertanyaan dari gurunya tersebut. Hal ini
membuat KH Kholil marah dan menghukum
semua muridnya untuk menguras got.
Rupanya hukuman menguras got itu
membuat KH Djauhari Zawawi merasa malu.
Akhinya sejak kejadian itu, ia lebih tekun
belajar, bahkan tidak pernah keluar kamar
kecuali ada keperluan penting. Di sini, terlihat
bahwa hukuman karena ketidakmampuan
menjawab pertanyaan dari sang guru telah
memberi pengalaman yang sangat berarti bagi
KH Djauhari Zawawi. Sifat tekun belajar
yang memang sudah muncul sebelumnya
semakin ia mantapkan menjadi sebuah
disposisi. Disposisi ini akan cenderung
berlaku seumur hidup dan membentuk
disposisi baru. Sebagaimana saat KH
Djauhari Zawawi kian menekunkan diri
untuk belajar, sejak saat itu ia merasa dibuka
pintu hatinya dan dengan mudah menerima
pelajaran.
Selain di KH. Kholil Rembang, KH.
Djauhari Zawawi juga pernah belajar
(mondok) kepada berbagai ulama besar,
seperti KH Abd. Syakur bin Muhsin Suidang
Kebonharjo Jatinegoro, KH Imam Sarang,
KH Achmad Rembang, KH Dimyati Termas
Pacitan, KH Hasyim Asy‟ari Jombang, Syech
Amin Kutby dan Syeikh Umar Hamdan di
Mekah.
Sang Pengelana
Pada masa mudanya, KH Djauhari
Zawawi tergolong orang yang suka berkelana.
Tempat pertama yang ia kunjungi bernama
Kajen Pati. Kajen terkenal dengan kota santri
dan kota perjuangan. Banyak Madrasah dan
pesantren di Kajen, sehingga setiap berangkat
dan pulang belajar nampak pemandangan
lalu-lalang para santri yang menenteng kitab
atau bukunya masing-masing. Selain itu,
setiap kali ada pergolakan perjuangan
kemerdekaan para kalangan kyai dan santri di
Kajen ikut berperan aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Ulama Kajen
yang tercatat sebagai pahlawan Republik
Indonesia karena mempunyai jasa
mempertahankan kemerdekaan, yaitu Kiyai
Mahfudhl dan putranya Gus Hasyim.
Di Kajen juga banyak para ulama
yang mumpuni dalam ilmu agama, salah
satunya yang terkenal yaitu Syekh
Mutamakkin. Kepada kiyai-kiyai dzurriyah
Syekh Mutamakkin, seperti KH Mahfud, KH
Nawawi dan lain-lain inilah KH Djauhari
Zawawi menimba ilmu di Kajen. Syekh
Mutamakkin dalam bidang akidah
mengajarkan bahwa pondasi ilmu
pengetahuan adalah syahadat yang terbagi
dalam dua kategori, yaitu syahadat untuk
orang umum dan sayahadat untuk orang
khusus dengan mengucap kalimat Lailaha
illallah. Dalam bidang syariat, pemikiran
Syekh Mutamakkin didominasi oleh madzhab
9. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |9
Imam Syafi’i. Dalam bidang akhlak ia
mengajarkan bahwa pentingnya menjaga
hubungan baik sesama dengan
mencontohkan akhlak terpuji, serta tanggung
jawab kepada kewajibannya agar sampai
tahap ru’yatullah. Sementara dalam bidang
tasawuf, ia memiliki karakteristik tasawuf
sunni, seperti Al Ghozali dan Al Asy’ari.7
Pada tahun 1929, saat telah berusia
sekitar 17 tahun, KH Djauhari Zawawi
menikahi gadis Kajen bernama Siti Aisyah
yang merupakan putri dari Kiyai Anwar
Murtadlo. Dalam pernikahan ini KH Djauhri
Zawawi dan Siti Aisyah tidak dikaruniai
seorang anak yang kemudian memicu
gagalnya pernikahan mereka. Setelah itu, KH
Djauhari Zawawi pun meninggalkan Kajen.
Dari di Kajen, KH Djauhari Zawawi
berpindah ke Pondok Pesantren Sarang,
Rembang. Sarang merupakan kecamatan yang
makmur dengan banyak ulama dan pesantren.
Di Sarang, KH Djauhari Zawawi mengaji
kepada KH Syu’aib, KH Umar, KH Imam,
dan KH Zubair yang terkenal kealimannya
dan riyadlohnya. .
Di Sarang, KH Djauhari Zawawi
dijodohkan dengan putri dari Kiyai Masykur
yang bernama Maknunah. Kiyai Masykur ini
merupakan putra dari Mbah Tolo yang
7
Rosyid, Abdul. Sufisme Kiai Cebolak.
Jawa Tengah: Mutamakkin Press. 2017.
terkenal kealimannya. Menurut Ummah
dalam bukunya menjelaskan:
”Konon Mbah Tolo yang sangat
wira'i ini yang mendatangkan Ihya' ulumiddin
di Sarang. Para Kyai di Sarang mengaji Ihya'
kepadanya [...]. Mbah Tolo bila setelah
mengambil air wudlu' untuk sholat langsung
berubah wajahnya karena saking khouf-nya
kepada yang akan disembahnya.”8
Dalam pernikahan ini, KH Djauhari
Zawawi diminta Kiyai Masykur untuk
membantu mengajar dan sekaligus juga
belajar kepada para kiyai di Sarang. Pada
pernikahan ini, KH Djauhari Zawawi
dikaruniah dua anak putra yang diberi nama
Bahmad dan Makin. Akan tetapi kedua putra
tersebut wafat saat masih kecil, dan pada
akhirnya pernikahan KH Djauhari Zawawi
dengan Maknunah ini gagal.
KH Djauhari Zawawi lalu
melanjutkan berkelananya di Pondok
Pesanren Termas, Pacitan. Sementara
pesantren Kiyai Masykur tidak lagi
beroperasi, karena tidak mempunyai penerus
laki-laki. Akan tetapi pada perkembangannya,
pesantren tersebut didirikan kembali oleh KH
Maimun Zubair dan sampai sekarang menjadi
pesantren besar.
Pondok Pesanren Termas yang
menjadi tempat pengelanaan KH Djauhari
8 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS. 2009.
10. Muhammad Bahrul Ula
10 | Jurnal Al‘Adalah
Zawawi berikutnya merupakan pondok
pesanren yang sangat maju. Banyak ulama
besar yang merupakan alumni dari pesantren
Termas. Pengasuh pondok Termas ini adalah
KH Dimayati yang merupakan adik dari
Syeikh Mahfudz At Turmusi, pengarang
Manhajuz Dzawin Nadhor Syarah Alfiyah
Suyuti yang bermukim di Makkah.
KH Djauhari Zawawi belajar di
Termas berkat penjualan Keris yang diberi
oleh abahnya dengan harga mahal. Uang hasil
penjualan keris tersebut yang kemudian
dijadikan bekal KH Djauhari Zawawi untuk
berangkat ke Termas. Satu tahun ia mondok
di Termas, kemudian melanjutkannya ke
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
KH Djauhari Zawawi berangkat ke
Tebuireng atas saran dari bibinya yang
bernama Istirhamah. KH Djauhari Zawawi
berangat ke Tebuireng berbekal nasi karak
dan hanya dengan pakaian sarung sobek-
sobek yang ia rangkap tiga agar tidak terlihat
sobeknya. Di Pesantren Tebuireng, KH
Djauhari Zawawi cukup beruntung, karena
kamar yang ditempatinya dihuni juga oleh
orang-orang yang alim, di antaranya KH
Juwaini Treteg dan KH Abul Fadhol Senori.
Sehingga selain belajar langsung dengan KH
Hasyim Asy'ari selaku pengasuh pondok, KH
Djauhari Zawawi juga banyak belajar kepada
KH Juwaini dan KH Abdul Fadhol.
Menurut KH Abdul Muchith Muzadi
dalam tulisan Ummah (2009: 3) mengatakan
bahwa KH Djauhari Zawawi pada saat belajar
di Tebuireng merupakan santri yang
istimewah, karena KH Djauhari terkenal
berani berpendapat dengan siapa saja. Selain
itu, KH Djauhari Zawawi juga sudah mbalah
(membedah) kitab ihya’ alumiddin karangan
Al-Ghazali. Saat hendak tidur, KH Djauhari
Zawawi pun sering memegang kitab tersebut,
bahkan ia konsisten mengamalkan kitab
karangan Al-Ghazali tersebut sampai akhir
hayatnya.9
Setelah cukup lama belajar di pondok
Tebuireng, KH Djauhari Zawawi diajak oleh
KH M. Yasin Dringu ke Probolinggo. Di
Probolinggo KH Djauhari Zawawi
mendirikan madrasah yang dibantu oleh KH
Nawawi, dari Pajarakan hingga Madrasah
tersebut berkembang pesat. Setelah kurang
lebih dua tahun mengelolah madrasah di
Probolinggo, KH Djauhari memanggil
adiknya yang bernama KH Atho'illah untuk
meneruskan perjuangannya mengelola
madrasahnya, karena KH Djauhari hendak
pergi ke Mekah untuk haji.
KH Djauhari berjumpa dengan H.
Ridwan dan istrinya Hj. Maimunah yang
merupakan jama’ah haji dari Kencong,
Jember. Dalam pertemuan ini KH Djauhari
ditawari untuk menyiarkan agama islam di
Kencong sepulang dari Makkah. Segala hal
9 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS. 2009.
11. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |11
untuk bermukim di Kencong akan dibantu
oleh H. Ridwan. Setelah mendapatkan
tawaran tersebut, Kencong menjadi pilihan
terakhir KH Djauhari untuk menyiarkan
agama islam dan perjuangannya. Selain
berhaji, KH Djauhari di Makkah juga belajar
dengan ulama-ulama Makkah, seperti Syekh
Umar Hamdan, Syekh Amin Kutby dan lain-
lain.
Pada awal mula di Jember, KH
Djauhari dibantu oleh H. Ridwan. Berkat H.
Ridwan juga dan Kyai Damanhuri Gumelar,
KH Djauhari dinikahkan dengan Zuhriyah.
Akan tetapi pernikhan antara KH Djauhari
dengan Zuhriyah ini tidak dikaruniai
keturunan, sehingga beliau menikah lagi
dengan beberapa perempuan dengan harapan
dikaruniai keturunan, di antaranya Istrnafiyah
dan Hj. Sa'adah. Pernikahan dengan Hj.
Sa’adah inilah KH Djauhari dikaruniai
keturunan, yaitu Achmad Fahim, Achmad
Sadid, Rosiful Aqli, dan Achmad Ghonim.
KH Djauhari memulai mengamalkan
ilmunya di Kencong juga dibantu oleh teman-
temannya yang merupakan alumni Tebuireng
yang kebetulan asli Kencong. Oleh teman-
teman tersebut, KH Djauhari diminta mbalah
(membedah) kitab di Musholla waqaf Kiyai
Sholihin. Selain itu, KH Djauhari juga
membuka pengajian di rumahnya dan dari
sinilah KH Djauhari mendirikan Pondok
Pesantren Assuniyah dan melakukan
perjuangannya dalam melawan penjajahan di
Jember.
Penggerak Perjuangan
Pada tahun 1942-1949 merupakan
masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Masa ini dapat dibagi dalam dua masa
pendudukan penjajah asing, pertama adalah
masa pendudukan pemerintahan Jepang pada
tahun 1942-1945, kedua adalah masa
pendudukan kembali pemerintahan Belanda
melalui agresi militer Belanda I yang pertama
kali dilancarkan pada tanggal 20 Juli 1947 dan
agresi militer Belanda II yang mulai
dilancarkan pada tanggal 18 Desember 1948.
Dampak dari pedudukan pemerintahan
Jepang dan pendudukan kembali
pemerintahan Belanda melalui agresi Belanda
I dan II adalah terjadinya sejumlah
perlawanan oleh para pejuang lokal di Jember
untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
Pada tahun 1942 saat pendudukan
pemerintahan Jepang di Kencong,
pemerintahan Jepang mewajibkan pajak pada
rakyat untuk membantu kepentingan perang
Jepang. Bila dalam hal tersebut, ada yang
membangkan atau tidak menuruti
permintaan Jepang, maka akan ditangkap dan
dimasukan ke dalam kamp-kamp konsentrasi
Jepang. Akan tetapi, hal tersebut tidak
menyurutkan semangat juang para pejuang di
Kencong, termasuk KH Djauhari dan jajaran
pengurus NU (Nahdlatul Ulama) Cabang
12. Muhammad Bahrul Ula
12 | Jurnal Al‘Adalah
Kencong yang melakkukan perlawanan
dengan melalui siar-siar agama islam.
Dalam suatu pengajian umum di
Masjid Jami’ Kencong yang dipanitiai oleh
Kiyai Badrun, KH Djauhari dengan berani
menyatakan bahwa membayar zakat untuk
jepang tidaklah sah atau tidak wajib. Bahkan
KH Djauhari menyatakan dengan tegas
bahwa pemerintahan Jepang merupakan
pemerintaahan yang lebih dholim
dibandingkan dengan pemerintahan Belanda.
Hal ini tentu mendapatkan reaksi besar dari
pemerintahan Jepang setelah mendapatKan
laporan dari jama’ah pengajian yang tidak
setuju dengan pernyataan KH Djauhari
tersebut.
Akibatnya, KH Djauhari dipanggil
menghadap Jepang di Kecong. Dalam
panggilan tersebut, KH.Djauhari di Interogasi
dan ditahan di Sel Polisi yang terletak di utara
Masjid Jami’ Kencong. Pada saat Subuh, KH.
Djauhari meminta ijin sholat di masjid.
Menurut Ummah (2009) dalam buku berjudul
“KH. Djauhari Zawawi: Pengelana, Dai yang
Mukhlis dan Konsis” dijelaskan bahwa:
“Waktu shubuh, beliau (KH
Djauhari) minta izin sholat di masjid, tentu
saja penjaga tahanan tidak mengizinkannya.
Beliau kembali duduk-duduk di kursi seperti
semula sambil membaca koran yang ada
diatas meja. Tidak berselang lama, atas
ma'unah Allah si penjaga yang berjumlah
antara 2-3 orang tersebut tertidur. Maka pagi
itu beliau keluar dengan menjinjing sandalnya
tanpa sepengetahuan penjaga tahanan.”
KH Djauhari berhasil kabur dari
tahanan dan lari menelusuri tangkis sungai
Kencong untuk menuju Kecamatan Tanggul.
Dalam pelarian tersebut, KH Djauhari
mampir di Desa Sukoreno untuk meminta
bekal di salah satu kenalannya bernama Kiyak
yang merupakan seorang Juru Khitan. Kiyak
memberian makanan dan satu buah capil,
setelah itu ia melanjutkan perjalanannya ke
Tanggul dengan menggunakan Capil yang
dihadiahi Kiyak. Sampai di stasiun Tanggul,
KH Djauhari numpang Kereta Api jurusan
Rembang. Dalam tulisan Ummah diceritakan
bahwa:
“KH Djauhari ketika dalam kereta
tidak ditarik karcis. Kondektour selalu saja
melewatinya. Karena malu pada orang
sekitarnya dan menjaga kemungkinan dari
intaian Jepang, maka beliau terkadang turun
dari kereta, berjalan kaki kemudian naik lagi,
begitu seterusnya.”
Larinya KH Djauhari dari sel Jepang
di Kencong membuat gusar Pemerintah
Jepang, sehingga pemerintah Jepang
menggeledah rumah dan pesantren KH
DJauhari. Keluarga dan santri tentu resah
dengan perlakuan Jepang yang terus
menggeledah rumah dan pesantren, sehingga
banyak santri yang pamit pulang ke kampung
halaman. Namun ada dua santri yang masih
bertahan di pesantren, yaitu Abdul Salam dari
13. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |13
Gumukmas Jember dan Abdur Rochman dari
Malang.
Selain menggeledah rumah dan
pesantren, pemerintahan Jepang juga
menahan Nyai Zuhriyah yang merupkan istri
KH Djauahrii dan Kyai Athoillah yang
merupakan adik KH Djauhari yang saat itu
mengunjungi rumah kakaknya itu setelah
mendengar kakaknya ditangkap. Selama Nyai
Zuhriyah dan Kyai Atholillah ditahan, mereka
dikirimi makanan oleh Masykur yang
merupakan sepupu Nyai Zuhriyah dan juga
salah satu santri KH Djauhari.
Setelah beberapa hari KH Djauhari
tidak ada kabar datanglah surat dari KH
Djauhari yang ditunjukan kepada Nyai
Zuhriyah. Surat tersebut dibuka dan dibaca
oleh kedua santrinya yang masih di pondok,
yaitu Abdul Salam dan Abdur Rohman.
Dalam surat tersebut KH Djauhari bercerita
bahwa ia dalam keadaan sehat daan selamat,
serta menggabari bahwa kini ia sudah sampai
di Rembang dan diminta agar Nyai Zuhriyah
tenang dan sabar.
Setelah di Rembang, KH Djauhari
melanjutkan perjalanan ke Tebuireng
Jombang. Ia berkunjung ke KH Hasyim
Asy’ari untuk menyampaikan
permasalahannya dan mendapatkan bantuan
atas permasalahan tersebut. KH Hasym
Asy’ari menyarankan kepada KH Djauhari
untuk menemui KH Wahid Hasyim di
Surabaya. Pada saat itu, KH Wahid Hasyim
menjabat sebagai SUMUBHU yang
merupakan Kepala Urusan Agama Pusat
bentukan Pemerintah Jepang. Dengan jabatan
tersebut, tentu hal ini membuat KH Wahid
Hasyim banyak kenalan dengan Pemerintah
Jepang dan dapat membantu KH Djauhari
terbebas dari masalah dengan Pemerintahan
Jepang. Atas saran tersebut, KH Djauhari
langsung menumui KH Wahid Hasyim di
Surabaya.
Pertemuan KH Djauhari dengan KH
Wahid Hasyim di Surabaya, KH Wahid
menyarankan kepada KH Djauhari untuk
menyerahkan diri dan menghadap ke Residen
Besuki yang berkedudukan di Bondowoso.
KH Djauhari mengikuti saran tersebut, dan
pergi ke Kresidenan Besuki di Bondowoso.
Di Bondowoso KH Djauhari diadili oleh
hakim pribumi dan hakim tersebut
memutuskan pembebasan dari segala
tuntutan yang menimpa KH Djauhari. Justru
seseorang yang melaporkan KH Djauhari
dipermasalahkan, karena ia tidak bisa
menirukan pidato KH Djauhari saat mengisi
pengajian di Masjid Jami’ Kencong yang
menjadikan KH Djauhari ditangkap dan
diburu setelah berhasil kabur dari tahanan.
Selasai pengadilan dan dibebaskan
dari segala tuntutan, KH Djauhari kembali ke
Kencong untuk membangun kembali
pesantrennya dan melanjutkan perjuangannya
melalui siar agama dalam melawan
penjajahan. Dalam membangun kembali
14. Muhammad Bahrul Ula
14 | Jurnal Al‘Adalah
pesantrennya, KH Djauhari dibantu oleh para
santri-santrinya yang ingin kembali belajar di
pondok pesantrennya, karena KH Djauhari
dianggap sosok kyai yang mempunyai ilmu
tinggi dalam agama, khususnya dalam hal
fiqih dan tasawuf. Sedangkan dalam
melanjutkan perjuangannya KH Djauhari
dengan beberapa tokoh Islam di Jember, di
antaranya Kyai Dzofir, KH Shodiq
Machmud, KH Halim Shiddiq, KH
Damanhuri, dan kiyai-kiyai lainnya
membentuk laskar pejuang Salsabillah.
Pembentukan laskar pejuang
Sabilillah ini, tujuannya adalah mengawasi
pergerakan tentara Hizbullah yang
merupakan mayoritas tentaranya pemuda
bergama islam, agar mereka setiap
perjuangannya tidak melanggar syariat Islam.
Sedangkan fungsinya, yaitu sebagai pembina
dan penasehat spritual dan mental para
pejuang, khusunya tentara Hizbullah di
Jember.
Pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Berita proklamasi tersebut terdengar sampai
Jember. Pada tanggal 20 Agustus 1945 di kota
Jember banyak berkibaran bendera Merah
Putih dan plakat-plakat yang bertuliskan
Indonesia Medeka. Selain itu, banyak
pengambilalihan kantor-kantor pemerintah,
perusahaan, bank, dan lain sebagainya.
Namun setelah beberapa tahun merayakan
kemerdekaan, Belanda masuk kembali ke
Indonesia melalui agresi miiternya.10
Adanya agresi militer tersebut,
direspon oleh para kyai di Jember dengan
mendirikan PPPR (Pusat Pimpinan
Perjuangan Rakyat) yang diipimpin oleh Kiyai
Dzofir. Awal bedirinya PPPR hanya
melibatkan kiyai-kiyai yang dekat dengan
Kiyai Dzofir, di antaranya KH Halim
Shiddiq, KH Abdullah Shiddiq, KH Shodiq
Machmud dan santrinya. Kemudian pada
perkembangannya diikuti para Kyai-Kyai di
Jember salah satunya, yaitu KH Djauhari.
Peran KH Djauhari dalam PPPR sebagai
pemberi informasi pergerakan Belanda11
KH Djauhari menerima informasi
pergerakan Belanda, bahwa Belanda sudah
berada di Lumajang. Kemudian KH Djauhari
menugaskan beberapa santrinya berjumlah 15
santri untuk memastikan kedatangan Belanda
tersebut di Lumajang. Para santri tersebut
berangkat ke Lumajang menggunakan kereta
api dan ternyata memang benar Belanda
sudah berada di Lumajang. Setelah
mengetahui bahwa tentara Belanda sudah
berada di Lumaang, para santri kemudian
balik langsung balik ke Jember untuk
memberitahukan kepada KH Djauhari,
10
Huda, H. Afton Ilman dan Saman
Hudi. Pahlawan Jember. Jember: UIJ Kyai Mojo. .
2006
11 Huda, H. Afton Ilman dan Saman
Hudi. Pahlawan Jember. Jember: UIJ Kyai Mojo. .
2006
15. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |15
namun kereta baru jalan ke Jember pukul dua
siang, sehingga mereka harus menunggu
kereta berangkat.
Pada pukul dua siang kereta
berangkat ke Jember, ketika sesampai di
tengah sawah di daerah Karangbendo
Lumajang, kereta berjalan pelan dan
dihentikan oleh tentara Belanda yang sudah
menghadang dengan persenjataan lengkap.
Semua penurnpang disuruh turun, mereka
diperiksa dan beberapa penumpang yang
mencurigakan langsung ditangkap. Kelima
belas santri yang ditugaskkan KH Djauhari
dicurigai sebagai pejuang sehingga ikut
ditangkap dan digiring ke markas polisi
Lumajang dengan menggunakan kereta
tersebut untuk diinterogasi. Sesampainya di
tengah jalan sebagian tahanan berhasil
melarikan diri, tidak terkecuali para santri
tersebut. Namun ada salah satu santri
bernama Ihsan yang tidak sempat melarikan
diri, sehingga ia diinterogasi dan disiksa di
markas Belanda yang ada di Lumajang.
Para santri yang berhasil melarikan
diri langsung pergi ke pesantren dan sampai
di pesantren mereka langsung melaporkan
apa yang terjadi di Lumajang kepada KH
Djauhari. Mendengar situasi bahwa tentara
Belanda sudah berada di Lumajanng, pada
saat itu juga KH Djauhari siap-siap
mengungsi ke tempat lain dan KH Djauhari
memerintahkan kepada para santrinya untuk
keluar dari pesantren dan bergabung dengan
para pejuang Hizbullah.
Setelah Belanda menduduki
Lumajang, kemudian Belanda menduduki
Jember, termasuk di Kencong. Belanda
menurunkan amunisinya dengan
menggunakan truk didekat pabrik gula,
sehingga pada akhirnya berhasil
melumpuhkan pemerintahan Kencong.
Akibatnya para pejuang berpindah ke selatan,
yaitu ke Desa Kedunglangkap untuk
melakukan gerilya dan mereka membentuk
pemerintahan darurat. KH Abdul Hayyi
diangkat sebagai wedana, Abu Hasan dingkat
sebagai Camat, P. Thowi sebagai kepala
polisi.12
Sementara KH Djauhari bergerak dari
desa ke desa, dari pesantren ke pesantren di
wiayah Jember dan sekitarnya. Ia melakukan
pergerakan bawah tanah, karena KH
Djauhari juga salah satu pejuang yang diburu
oleh Belanda. Hal ini juga karena KH
Djauhari merupakan komandan spiritual dan
sekaligus pemberi informasi pergerakan
Belanda kepada KH Abdullah Shiddiq selaku
komandan batalyon Elang Emas. Dalam
pergerakan tersebut KH Djauhari juga
berdakwah di masyarakat yang pernah ia
kunjungi yang di dalamnya ada nasihat untuk
semangat berjuang melawan penjajah. Posisi
12 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS. 2009.
16. Muhammad Bahrul Ula
16 | Jurnal Al‘Adalah
KH Djauhari sebagai pemberi semangat
juang melalui dakwah dan penghubung
dengan para pejuang di Jember ini membuat
Belanda memburu KH Djauhari.
Selama agresi mliter Belanda, KH
Djauhari berpindah-pindah. Pada awalnya
KH Djauhari menetap di Jatagung,
Kecamatan Gumukmas. Ia di sana bertempat
di Mushola Kyai Mustaqim. Namun
informasi tersebut didengar oleh Belanda,
sehingga tempat tersebut didatangi oleh
Belanda, tetapi KH Djauhari tidak berhasil
ditangkap. Jatiagung dirasa sudah tidak aman
lagi, kemudian ia pindah ke Desa Muneng,
Gumukmas. Di sana ia menempati
Masjidnya Nyai Khodijah untuk mengungsi,
sekaligus menyiarkan agama Islam dan
memberikan nasihat berjuang melawan
penjajah.
KH Djauhari di Muneng relatif aman.
Ia di sana dijaga oleh para pejuang yang setiap
kali melakukan gerakan menunggu
komandonya. KH Djauhaari di Muneng juga
dapat berkomunikasi dengan para pejuang
yang tergabung dalam PPPR, khususnya KH
Dhofir dan KH Abdullah Shidiq. Saat di
Muneng, pejuang sempat mencurigai
pergerakan seseorang yang dianggap mata-
mata Belanda. Sehingga membuat KH
Djauhari sembunyi di rumah santri di daerah
Muneng Selatan, kemudian berpindah lagi ke
Desa Sumbersari. Ternyata di sana banyak
antek-antek Belanda, sehingga KH Djauhari
kembali lagi ke masjidnya Nyai Khodijah di
Muneng.
Setelah situasi aman di Muneng KH
Djauhari diminta pindah ke rumahnya H.
Mochtar di Desa Menampu, kecamatan
Gumukmas. KH Djauhari di Menampu mulai
mengadakan pengajian lagi, di setiap
pengajian banyak dihadiri orang-orang.
Pengajian tersebut diadakan di mushollah H.
Mochtar, kemudian diadakan pengajian dari
rumah ke rumah. Pada perkembangannya,
pengajian yang dilaksanakan di musholla
banyak santriawati yang mengikuti dan
mereka menetap di situ.
Kegiatan KH. Djauhari di Menampu
ini sudah berjalan lancar. Akan tetapi pada
akhirnya Belanda mengetahuinya bahwa KH.
Djauhari berada di Menammpu, tetapi
mereka tidak dapat menangkapnya, sehingga
KH Djauhari harus berpindah lagi dan
pengajian terpaksa berhenti. H. Hasan
Mustofa yang merupakan anak H. Muhtar,
mengajak KH Djauhari pindah ke Puger.
Setelah situasi nasional aman, agresi
militer Belanda berakhir dan Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia. KH
Djauhari kembali ke Kencong untuk kembali
menata dan mengasuh Pondok Pesantren
Assunniyah. Sehingga setelah usai penjajahan,
KH Djauhari berfokus dalam menyiarkan
agama islam di Jember, khususnya di
Kencong.
17. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |17
Membangun Pesantren Berhaluan
ASWAJA
KH Djauhari sebagai seorang pejuang
dalam kemerdekaan, ia sangat anti penjajah.
Segala produk dari penjajah ia hindari,
termasuk sistem pendidikannya. Sebagaimana
pandangan pejuang waktu itu bahwa semua
hal yang berkaitan dengan kebiasaan penjajah
merupakan hal yang salah. Maka pesantren
yang KH Djauhari dirikan mengajarkan ilmu
yang bersumber dari kitab-kitab klasik dan
membangun pesantren yang murni salaf
dalam kurikulumnya13
Pada awalnya KH Djauhari memberi
nama pesantren yang ia bangun dengan nama
AL-Kholafiyah yang artinya generasi penerus
yang baik. Namun pada tahun 1957, nama
AL-Kholifiyah diganti dengan nama
Assuniyah dengan harapan dapat mencetak
generasi penerus yang berpegangan paham
ASWAJA (Ahlu Sunnah Waljama’ah), karena
tujuan dari KH Djauhari mendirikan
pesantrennya adalah untuk menegakkan
syariat Islam berhaluan ASWAJA. Selain itu,
juga mencetak kader-kader Islam yang
bertaqwa, berguna bagi agama dan bangsa14
13 M Arifun Najih, “Pengembangan
Kurikulum Pesantren Sebagai Usaha
Meningkatkan Kualitas Pendidikan Di Pondok
Pesantren As-Sunniyyah Kencong Jember” (UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2010).
14 M Arifun Najih, “Pengembangan
Kurikulum Pesantren Sebagai Usaha
Meningkatkan Kualitas Pendidikan Di Pondok
Pada tahun 1950, KH Djauhari
terpilih menjadi Rais Syuriah Pengurus
Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU)
Kecamatan Kencong, setelah konferensi
cabang NU Kencong di pondok pesantren
KH Abdullah Yaqin, Mlokorejo. KH
Djauhari merupakan Rais Syuriah pertama di
PCNU Kencong mengantikan KH Abd.
Kholiq, setelah Indonesia diakui secara penuh
oleh Belanda. KH Djauhari dalam kiprahnya
di Nahdlatul Ulama (NU) ini sangat
fundamental. Pada saat pemerintah Orde
Baru memerintahkan agar semua organisasi di
Indonesia memakai asas tunggal Pancasila,
KH Djauhari menolak apabila NU memakai
asas tunggal Pancasila. Menurutnya, jika NU
menerima asas tunggal berarti NU kehilangan
jati dirinya. Bahkan secara tegas KH Djauhari
mengatakan ia akan menjadi orang pertama
yang keluar dari NU apabila NU menerima
asas tunggal15
Pada saat muktamar NU di
Sitobondo, hasil muktamar NU menerima
asas tunggal Pancasila, setelah terjadi
perdebatan yang alot, karena banyak juga
peserta muktamar yang sangat keras menolak
asas tunggal tersebut. KH Djauhari
memperoleh informasi bahwa muktamar di
Situbondo NU menerima asas tunggal, ia
Pesantren As-Sunniyyah Kencong Jember” (UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2010).
15 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS. 2009.
18. Muhammad Bahrul Ula
18 | Jurnal Al‘Adalah
kecewa dan menyatakan keluar dari NU.
Menurut KH Abdul Muchitin Muzadi dalam
sambutan di buku Ummah (2009), ia
mengatakan bahwa “KH Djauhari
menyatakan keluar dari NU hanya keluar
secara struktural organisasi, KH Djauhari
tidak akan meninggalkan NU secara kultural.”
Pernyataan tersebut, terbukti dengan
kiprahnya KH Djauhari dalam membesarkan
pesantrennya dengan paham ahlussunnah
waljamaah dan tetap memberikan pengajian-
pengajian kepada kaum nahdliyin.
KH Djauhari juga berpegang teguh
pada pandangan Imam Al-Ghazali dalam
bidang tasawuf. Oleh karena itu dalam
lembaga pesantrennya, ia mengharuskan
memberikan pengajian kitab ihya’ alumiddin
karangan Imam Al-Ghazali, karena
pengkaderan di dalam pesantren juga
bertujuan agar santri-santriwati menjadi
seorang yang sholeh dan punya obsesi
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pengajian kitab ihya’ alumiddin ini diadakan
setiap pagi hari untuk tingkat aliyah dan para
ustaz yang bertempat di rumah KH Djauhari.
Selain itu, KH Djauhari juga ada pengajian
kitab ihya’ alumiddin mingguan setiap hari
Jum’at pagi di Madrasah putri. Pengajian
Jum’at pagi ini juga dihadiri oleh masyarakat
umum, bahkan sampai dari luar Kencong.
Selain mengkaji kitab ihya’ alumiddin ,
pengajian ini juga sebagai forum motivasi
atau memberikan informasi kepada khalayak
umum 16
Pesantren Assunniyah merupakan
pesantren yang masih mempertahankan
sistem salaf dalam kegiatan belajarnya, dalam
artian lebih mengutamakan pendidikan agama
dan pendalaman kitab klasik (kuning) dengan
memisahkan tempat belajar santi putra dan
santri putri. Pada perkembangannya,
kesalafiyahan pesantren Assuniyah tetap
dipertahankan, karena ini sudah menjadi
khitah (garis haluan) KH Djauhari dalam
mendirikan Pondok Pesantren Assunniyah.
Akan tetapi pesantren Assuniyah bukan
pesantren yang kolot atau anti dengan
pengetahuan lainnya, sebab pondok
pesantren Asssuniyah memiliki sekolah-
sekolah formal di luar pesantren yang dikelola
oleh alumni Assuniyah, seperti SDNU,
MINU, Mts Ma’arif, Madrasah Aliyah, dan
sekolah Tinggi Agama Islam Alfalah AS
Suniyah (STAIFAS).
Kehidupan sederhana para santri di
pesantren juga hal ditonjolkan, begitupun
dengan iuran bulanan pondok yang murah.
Suatu ketika saat KH Djauhari masih hidup,
pengurus pesantren menaikan iuran bulanan
santri dan diketahui oleh KH Djauhari. KH
Djauhari langsung menyuruh pengurus
tersebut untuk mengembalikannya kepada
16 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis.
Jember: ALMAS & SAS PRESS. 2009.
19. KH DJAUHARI ZAWAWI: SANG PENGGERAK PERJUANGAN DALAM SIAR AGAMA DI
JEMBER 1911-1994
Jurnal Al‘Adalah, |19
santri. Pesan KH Djauhari adalah “Mereka
agar belajar lillahi ta’ala” .17
Pada perkembangannya, Pondok
Pesantren Assuniyah mengalami peningkatan
jumlah santri, bahkan sebelum KH Djauhari
wafat pada tanggal 20 Juli 1994, total
santrinya sudah 1.200 orang yang berasal dari
berbagai daerah, di antaranya adalah dari
Jember, Lumajang, Banyuwangi,
Probolinggo, Kudus, Rembang, Tasikmalaya,
Banyumas, Lampung dan Bali. KH Djauhari
dalam mendidik santri-santrinya sangat
istiqomah dan disiplin, tidak hanya dengan
ucapan tetapi juga dengan perilaku yang baik,
sehingga dapat menjadi contoh tauladan.
Sikap displin, istiqomah, dan berahklaq baik,
serta sering riyadloh merupakan tauladan baik
yang dapat di contoh dari kehidupan KH
Djauhari sampai akhir hayatnya.18
Simpulan
Sekalipun dikejar-kejar oleh tentara
Jepang dan Belanda, namun ia tetap
konsisten menentang penjajahan baik melalui
dakwah-dakwah dalam pengajian yang
dilakukan maupun keterlibatan langsung
sebagai penyambung informasi kepada para
pejuang.
17 Ummah, Abu. KH. Djauhari Zawawi:
Pengelana, Dai yang Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS. 2009.
18 Huda, H. Afton Ilman dan Saman
Hudi. Pahlawan Jember. Jember: UIJ Kyai Mojo. .
2006
Daftar Pustaka
Anwar, M Khoiril, and Muhammad
Afdillah. “Peran Ulama Di
Nusantara Dalam Mewujudkan
Harmonisasi Umat Beragama.”
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan
Studi Keagamaan 4, no. 1 (2016):
80–95.
Huda, H. Afton Ilman dan Saman
Hudi. 2006. Pahlawan Jember.
Jember: UIJ Kyai Mojo.
Kartodirjo,Sartono.1992. Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Meteodologi
Sejarah. Jakarata: Gramedia
Pustaka.
Kuntowijoyo.1995. Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
___________. 2003. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta:Tiara wacana.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014a.
Postmodernisme Teori dan
Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
Mahar, Cheleen., et al. 2009. (Habitus
x Modal) + Ranah = Praktik:
Pengantar Paling Komprehensif
Kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu, terj. Pipit Maizier.
Yogyakarta: Jalasutra
20. Muhammad Bahrul Ula
20 | Jurnal Al‘Adalah
Najih, M Arifun. “Pengembangan
Kurikulum Pesantren Sebagai
Usaha Meningkatkan Kualitas
Pendidikan Di Pondok Pesantren
As-Sunniyyah Kencong Jember.”
UIN Sunan Ampel Surabaya,
2010.
Rosyid, Abdul.2017. Sufisme Kiai
Cebolak. Jawa Tengah:
Mutamakkin Press.
Ummah, Abu. 2009. KH. Djauhari
Zawawi: Pengelana, Dai yang
Mukhlis dan Konsis. Jember:
ALMAS & SAS PRESS.
Sidemen, Ida Bagus. 1991. “Lima
Masalah Pokok dalam Teori
Sejarah,” Widya Pustaka, Edisi
VIII, No. 2, Januari. Denpasar:
Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
http://assunniyyah.com/kabar_assunn
iyyah/kh-djauhari-zawawi-
kencong-1911-1994-ulama-
fanatik-nu-dan-pejuang-
pergerakan-bawah-tanah-dari-
desa-ke-desa/ diakses pada 10
Maret 2022 pukul 20.00 WITA.
https://daerah.sindonews.com/berita/
1124097/29/kh-djauhari-zawawi-
pendiri-pesantren-salaf-yang-
pernah-diburu-
belanda?showpage=all diakses
pada 10 Maret 2022 pukul 20.20
WITA.
https://www.laduni.id/post/read/691
77/biografi-kh-jauhari-zawawi
diakses pada 10 Maret 2022 pukul
20.40 WITA.
Wawancara dengan Muhammad
Bahrul, Pengurus Pondok
Pesantren As-SunniyyahKencong,
Umur 24 Tahun Warga Desa
Glundengan, tanggal 15 Maret
2022 Pukul 16.00 WIB.