bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Manusia Purba Indonesia
1. TUGAS KELOMPOK
ILMNU PENGATAHUAN SOSIAL
DISUSUN OLEH :
1. RISVYNA AULIA FRANSISCA
2. LELA PUTRI SARI
3. K’HANA PUTRI
4. PUTRI ENFE YOLANDA
5. HABSAH MALEIA
6. NOVITRI YOLANDA
7. RIKO SYAMSUDIN
8. RIAN HERLAMBANG
KELAS VII.3 ( TUJUH TIGA)
SMP NEGERI 1 KAYUAGUNG
TAHUN PELAJARAN 2017/2018
2. BENDA KATEGORI ALASAN
Fosil Manusia Purba
(Meganthropus Palaeojavanicus)
Ditemukan oleh seorang arkeolog dari negeri Belanda bernama Van
Koenigswald. Dia pertama kali menemukan fosil ini di daerah Sangiran pada
tahun 1936
Diperkirakan manusia besar ini hidup antara 1 juta dan 2 juta tahun yang lalu.
Hal ini dibuktikan dari fosil dengan teknik peluruhan karbon. Sehingga usia dari
fosil tersebut bisa kita ketahui. Dengan adanya sifat waktu paruh itu, banyak
sekali fosil, batuan dan elemen lainnya yang bisa kita perkirakan umurnya.
Bahkan umur Bumi yang kita cintai ini bisa kita perkirakan dengan waktu paruh
dari unsur karbon pada material atau zat. Meganthropus Palaeojavanicus
mempunyai ciri :
Memiliki tulang pipi yang tebal,
Memiliki otot rahang yang kuat,
Tidak memiliki dagu,
Memiliki tonjolan belakang yang tajam,
Memiliki tulang kening yang menonjol,
Memiliki perawakan yang tegap,rahang bawah Meganthropus, Sangir
memakan tumbuh-tumbuhan, dan hidup berkelompok dan berpindah-pindah.
Pitecanthropus Erectus
Manusia purba ini hidup di wilayah Indonesia pada 1-2 juta tahun yang lalu.
Wilayah Indonesia yang menurut sejarah arkeologi, pernah beberapa kali
mengalami bencana alam di Indonesia. Dari mulai hal yang bersifat mengikat
hingga membuat wilayah indonesia terdiri dari bermacam macam pulau. Doktor
dari Belanda bernama Eungene Dubois adalah penemu pertama manusia
disini. Ciri khas dari Pitecanthropus adalah:
Berjalan tegak, tetapi dalam struktur tengkoraknya mirip dengan struktur
kera. Maka dikenal juga dengan manusia kera berjalan tegak.
Dengan struktur tengkorak mirip kera, maka dimungkinkan ukuran
otaknya kecil.
Menyebabkan tingkat kecerdasan jenis manusia purba ini hampir sama
namun diatas dengan insting hewan.
Pitecanthropus merupakan bangsa atau kaum pengumpul makanan (Food
Gathering).
Kehidupan primitif pada masa itu tidak akan jauh berbeda dengan
kehidupan kera di masa modern. Jenis manusia purba ini sangat di elukan
oleh kalangan materialis, karena merupakan bukti adanya mahluk transisi
3. yang menguatkan teori evolusinya Charles Darwin.
Memiliki ciri berbadan tegak dan kemungkinan besar terbesar pula pada masa
nya. Dengan ukuran otak yang masih kecil dibanding mahluk lainnya maka
didapatkan hasil yang cukup mengagetkan bahwa dalam keadaan mengumpulkan
makanan dan keperluan bumil, terdapat jejak yang menunjukkan rapat
kelompok, ari air jangheh
Pithecanthropus Soloensis
Merupakan jenis-jenis manusia purba yang berasal dari solo tepatnya area
ngandong. Selain dari aspek daratan, terdapat batas wilayah laut di
Indonesia yang bagi negara kita sangat penting. Hal ini dikemukakan dalam
batas laut Indonesia yang sudah menjadi ketetapan di kalangan internasional.
Adapun ciri dari Pitecanthropus Erectus adalah :
Pada tengkorak, tonjolan keningnya tebal.
Hidungnya lebar, dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol.
Tinggi sekitar 165–180 cm.
Pemakan tumbuhan dan daging (pemakan segalanya).
Memiliki rahang bawah yang kuat.
Memiliki tulang pipi yang tebal.
Tulang belakang menonjol dan tajam.
Perawakannya tegap, mempunyai tempat perlekatan otot tengkuk yang
besar dan kuat
Dalam hal yang dilakukan tanpa perlu mendalami jenis jenis manusia purba dan
gambarnya, kita bisa tahu bahwa Eungene Dubois berhasil menjadi penemu fosil
jenis ini di wilayah Mojokerto, sehingga beliau menamai fosil penemuannya
menjadi sebuah temuan besar abad ini. Penggalian yang dilakukan di Mojokerto
ini mau tidak mau merusak tulang tulang nya. Beberapa bagian nya menjadi
hancur sehingga beberapa detil tidak terselamatkan sempurna. 10 Jenis Jenis
Manusia Purba Di Indonesia ini bisa menjadi bahan wawasan buat pribadi
maupun siswa ajar.
ciri ciri manusia purba di indonesia pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
manusia modern. Mudah-mudahan berhasil bagi anda yang sedang menambah
wawasan dengan membaca-baca artikel seperti ini. Hal ini perlu ditegaskan
4. Pitecanthropus Mojokertensis
kembali bahwa konten dari manusia purba ini bukan merupakan sumber ilmiah
kepustakaan. Lebih baik bila membutuhkan pustaka tentang manusia purba, jenis
jenis manusia purba dan penjelasannya bisa menjadi solusi permasalahan anda.
Homo Floresiensis
Dari awal kita sudah meminjam berbagai tautan kata dari sumber. Untuk jenis
homo ini memiliki kebiasaan dan gaya hidup yang kurang lebih sama dengan
manusia sekarang. Bahkan pada masa itu jenis homo memiliki kesatuan dalam
hal bertindak secara ciri-ciri manusia sebagai makhluk ekonomi. Pada masa
tersebut tidak menggunakan alat-alat canggih, tetapi menggunakan batu
sederhana yang kemudian di hampelas . Kedua, manusia jenis Homo ini sudah
sadar akan keberadaan kita, atau manusia di sekitarnya. Sehingga akan timbul
kesamaan ras.
Secara nama mungkin kita sedikit terkecoh, karena peneliti Belanda tersebut
tidak menamakan fosil penemuannya dengan namanya, tetapi menggunakan
nama tempat pada waktu penggalian arkeologisnya. Nama lain dari Homo
mungkin bisa diartikan sebagai suatu kecenderungan seksual antara sesama laki-
laki/ secara umum manusia jenis homo ini memiliki ciri khas :
Muka lebar dengan hidung yang lebar;
Mulutnya menonjol;
Dahinya juga masih menonjol, sekalipun tidak seperti jenis
Pithecanthropus;
Bentuk fisiknya sudah seperti manusia sekarang;
Tingginya 130–210 cm;
Berat badan 30–150 kg;
Hidupnya sekitar 40.000–25.000 tahun yang lalu
5. Prasasti
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun adalah prasasti Kerajaan Tarumanegara yang ditemukan di
tepi sungai Ciaruteun yang tidak jauh lokasinya dari sungai Cisadane. Prasasti
Ciaruteun berada di desa Ciaruteun Ilir yakni di kecamatan cibungbulang,
kabupaten bogor atau lebih tepatnya berada pada titik koordinat 6°31’23,6” LS
dan 106°41’28,2” BT. Lokasi ini sendiri memiliki jarak Kurang lebih 12 Km
sebelah barat laut dari pusat Kota Bogor sendiri.
Bahan Pembuat
Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu alam atau batu kali. Batu ini memiliki berat
kurang lebih 8 kg serta berukuran 200 cm * 150 cm.
Isi dan Sejarah
Pada tahun 1823 Prasasti Ciaruteun pernah hanyut beberapa meter yang
disebabkan oleh derasnya aliran sungai dan juga bagian batu yang bertulis
terbalik posisinya ke arah bawah. Setelah hanyut pada tahun 1893 prasasti ini
dikembalikan ke tempat semulanya. Pada tahun 1903 Prasasti Ciaruteun awalnya
dikenal dengan sebutan prasasti Ciampea. Prasasti ini sendiri memiliki daya tarik
yang luar biasa dimana prasasti ini terdapat lukisan laba-laba serta tapak kaki
yang dipahatkan di sebelah atas hurufnya. Prasasti ini memiliki empat
baris aksara Pallawa yang disusun dalam bahasa Sanskerta yang ditulis dalam
bentuk puisi India dengan Irama anustubh.
Jika anda tidak mengetahui terjemahan dari Prasasti Ciaruteun maka berikut
adalah terjemahan dari Prasasti Ciaruteun:
Inilah sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu ialah telapak
yang mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah
berani di dunia.
6. Prasasti cidanghi
Prasasti cidanghi yang pertama kali dilaporkan ke dinas purbakala pada tahun
1947 oleh Toebagus Roesjan, akan tetapi prasasti ini baru diteliti pada tahun
1954. Prasasti cidanghiyang memiliki beberapa baris kalimat puisi yang ditulis
dengan huruf Pallawa yang dibuat dengan menggunakan bahasa Sansekerta,
puisi tersebut berisikan pujian serta pengagungan terhadap Raja Kerajaan
Tarumanegara pada saat itu yakni Raja Purnawarman. Lokasi Prasasti
Cidanghiyang yakni di tepi sungai Cidanghiyang yaitu di desa Lebak,
Kecamatan Munjul.
Lokasi dan Bahan Pembuat
Lokasi dari prasasti ini berada di titik koordinat 0°55’40,54” BB dari jakarta dan
6°38,27’57”. Perlu anda ketahui bahwa Prasati Cidanghiyang dibentuk atau
dipahatkan pada batu dengan bentuk alami dengan ukuran 3 x 2 x 2 meter.
Prasasti Pasir Awi
Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang terakhir adalah prasasti pasir
Awi. Prasasti ini ditemukan pertama kalinya pada tahun 1864 oleh N.W.
Hoepermans. Prasasti ini terletak di lereng Selatan bukit pasir Awi dengan
ketinggian kurang lebih 559 mdpl, yakni di kawasan hutan perbukitan
cipamingkis. Untuk lebih tepatnya lokasi dari Prasasti pasir Awi ini berada di
titik koordinat °10’37,29” BB dari Jakarta serta 6°32’27,57”.
Bahan Pembuat
Prasasti Awi pasir Awi sendiri berpahatkan gambar dahan dengan ranting serta
dedaunan dan juga buah-buahan serta berpahatkan gambar sepasang telapak kaki
yang dipahatkan pada batu alam.
Prasasti Jambu
Prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara berikutnya adalah Prasasti Jambu
atau sering disebut juga pasir kolengkak. Prasasti jambu ini ditemukan dilokasi
perkebunan jambu. Prasasti Jambu Terletak di Pasir Sikolengkak yakni di
wilayah Kampung Pasir Gintung, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung.
Kabupaten Bogor. Untuk lebih tepatnya prasasti jambu terletak pada titik
koordinat 0°15’45,40” BB dari Jakarta dan 6°34’08,11”.
Perlu kita ketahui prasasti Ini pertama kali ditemukan pada tahun 1854 oleh
Yoolion Herdika Sava dan Tryan Martin dan dilaporkan kepada Dinas Purbakala
pada tahun 1947 yang kemudian diteliti untuk pertama kalinya pada tahun 1954.
7. Bahan Pembuat
Prasasti Jambu dipahatkan pada batu dengan bentuk yang alami dari alam
dengan ukuran sisi-sisinya kurang lebih 2 sampai 3 meter.
Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebon Kopi I adalah nama dari Prasasti ini. Dinamai dengan Prasasti
Kebon Kopi 1 Karena untuk membedakannya dengan Prasasti Kebon Kopi II.
Prasasti yang merupakan peninggalan Kerajaan Tarumanegara ini menampilkan
bentuk ukiran tapak kaki gajah yang diperkirakan merupakan tunggangan Raja
Purnawarman.
Lokasi
Prasasti Kebon Kopi I terletak di Kampung Muara yang termasuk wilayah Desa
Ciaruteun Ilir. Prasasti Ini pertama kali ditemukan pada abad ke 19 yakni saat
dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi Oleh sebab itu
dinamailah prasasti ini dengan Prasasti Kebon Kopi I. Lokasi dari Prasasti ini
merupakan kawasan dari pertemuan tiga sungai yaitu sungai Cisadane di bagian
timur, sungai Cianten di bagian Barat, serta Sungai Ciaruteun di bagian Selatan
dan juga Sungai Cianten yang bertemu dengan Sungai Cisadane di bagian utara.
Lokasi ini memiliki jarak kurang lebih 19 km ke arah barat barat laut dari pusat
Kota Bogor yang menuju arah Ciampea.
Bahan Pembuat
Untuk bahan pembuat dari Prasasti ini, Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada
batu datar dibagian atasnya yang berasal dari bahan andesit berwarna kecoklatan
yang memiliki tinggi 62 cm dengan lebar 104 cm serta 164 cm. Pada permukaan
batu dipahatkan bentuk sepasang telapak kaki gajah yang mengapit sebaris
tulisan dengan huruf pallawa serta bahasa yang digunakan menggunakan bahasa
sanskerta.
8. Alat- alat dari tulang
Kapak perimbas adalah alat yang berbentuk kapak, tetapi dengan bentuk yang
lebih kecil dari ukuran kapak pada saat ini. Benda ini digunakan untuk,
memahat, merimbas kayu, dan tulang untuk dijadikan senjata. Alat ini digunakan
oleh manusia Pithecanthropus dan banyak sekali ditemukan di daerah Pactitan,
Jawa Tengah oleh Ralp Von Koenigswald, sehingga disebut juga dengan alat
peninggalan kebudayaan Pacitan.
Selain di temukan di Pacitan, ternyata alat ini juga ditemukan di daerah
Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan
Goa Choukoutieen di Beijing.
Kapak Genggam ( chopper)
Benda ini disebut juga dengan Chopper, memiliki bentuk yang sama seperti
kapak, tetapi tidak memilik pegangan. Cara menggunakan benda ini adalah
dengan digenggam. Kapak genggam terbuat dari batu yang salah satu sisinya
diasah hingga menjadi tajam, sedangkan sisi lainya tidak diasah untuk dijadikan
tempat genggaman.
Alat ini digunakan untuk menguliti dan memotong hewan buruan dan juga
digunakan sebagai alat penggali tanah dalam mencari umbi – umbian. Kapak
genggam ini banyak ditemukan di daerah Pacitan.
Peralatan dari tulang binatang atau tanduk rusa
Selain dari batu, alat peninggalan manusia purba juga ditemukan ada yang
terbuat dari tulang binatang dan tanduk rusa. Alat – alat ini digunakan oleh
manusia purba pada masa paleolithikum yang menghasilkan kebudayaan
Ngandong.
Pada umumnya, alat – alat yang terbuat dari tulang ini merupakan alat – alat
penusuk (belati), seperti mata panah dan ujung tombak yang bergerigi. Alat –
alat ini berfungsi sebagai alat pengorek ubi di dalam tanah, berburu dan
menangkap ikan.
9. Pebble disebut juga dengan kapak genggam sumatera. Alat ini digunakan oleh
manusia purba pada zaman mesolitikum dan dimanfatkan sebagai alat untuk
memotong. Pabbel ditemukan oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels yang
melakukan penelitian di bukit kerang pada tahun 1925.
Alat ini terbuat dari batu kali yang dipecah – pecah menjadi pipihan – pipihan
kecil yang tajam pada bagian ujungnya.
.
Flakes adalah peralatan yang berukuran kecil dan terbuat dari batu Chalcedon.
Alat ini merupakan hasil dari kebudayaan Ngandong, kebudayaan yang alat –
alatnya terbuat dari tulang hewan. Flakes digunakan untuk mengupas makanan.
Selain itu, alat ini juga dimanfaatkan sebagai alat untuk berburu binatang,
menangkap ikan, dan mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
Nasakah Kuno
Carita Parahiyangan
Carita Parahiyangan merupakan suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda
kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16 M, yang menceritakan sejarah tanah
sunda, mengenai kerajaan Sunda, yaitu isatana (keraton) galuh dan istana
(keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3
cm, yang tiap lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan
naskah ini adalah aksara Sunda kuno.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte.
Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Purbacaraka sebagai
tambahan laporan mengenai u Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa
sarjana sunda.
Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan sejarah sunda dari awal
kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran
(ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan Banten, Cirebon dan
Demak.
Naskah parahiyangan ini banyak sekali menyebut nama tempat yang
merupakan kekuasaan kerajaan Sunda. Nama-nama tempat ini ada yang tetap
hingga kini.
10. Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer, yang merupakan peninggalan
dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam
daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari 8 suku kata.
Naskah ini seluruhnya terdiri dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi
56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya
Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda.
Walaupaun ia seorang prabu (keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan
Pajajaran, ia lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri Jawa. Pada perjalanan
kedua, ia singgah di Bali untuk beberapa lama serta ke pulau Sumatra dan
akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia meninggal.
Bujangga Manik dalam naskah ini menyebut negri Majapahit, Malaka, dan
Demak, hal ini dapat diperkirakan bahwa naskah ini ditulis pada akhir abad ke14
M, atau awal abad ke15 M.
Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau jawa pada
awal abad ke15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut
dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini.
Naskah ini sekarang tersimpan di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak
tahun 1627 M.
Carita Purnawijaya
Carita Purnawijaya merupakan karya sastra Sunda yang menceritakan tentang
perjalanan Purnawijaya ke Neraka.
Purnawijaya adalah yaksa (buta) yang mendapat pengajaran dari sang dewa
utama mengenai bertingkah laku jahat. Setelah itu Purnawijaya diajak melihat
neraka sehingga mengetahui siksa yang akan dijalani oleh manusia yang banyak
dosa.
Naskah ini disimpan di Perpusnas (2 karopak 413 dan 423) menggunakan
bahasa Sunda kuno dan tulisan Sunda kuno, yang diukir dalam daun palm, dan
dibuat kirakira pada abad ke17 M. Naskah yang di karopak 423 ada 39 lembar.
11. Carita Ratu Pakuan
Suatu naskah yang berbentuk pantun yang di tulis oleh pujangga yang
bernama Kairaga, dari gunung Srimanganti, Cikuray. Naskah ini diperkirakan
ditulis pada akhir abad ke-17 M atau awal abad 18 M dalam bahasa Sunda, yang
dapat ditemukan pada Karopak 410.
Naskah ini menceritakan dengan indah tentang kepindahan ratu Ambetkasih,
istri Sribaduga maharaja Jayadewata dan selirnya, dari istana Galuh ke istana
Pakuan.
Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518 M)
Naskah ini ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 M, dalam bahasa Sunda kuno,
yang ditulis dalam daun nipah. Naskah ini oleh sebagaian ahli dianggap sebagai
pustaka ensiklopedik, yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional,
kropak 630).
Isi naskah ini dibagi 2 bagian. Yang pertama disebut dasakreta selaku
”kundangeun urang rea” (ajaran akhlak untuk semua orang). Sedang yang kedua
disebut darma pitutur, yang berisi ilmu pengetahuan (bahasa sunda =
pangaweruh) yang harus dimiliki oleh setiap manusia agar hidup berguna di
dunia.
Meskipun dalam naskah ini berjudul karesian, isinya tidak hanya berkenaan
dengan kaum agama, tetapi banyak bertalian dengan kehidupan menurut ajaran
darma. Dan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ada dalam darma
pitutur, seperti apa yang diungkapkan dalam pengantarnya:
” Kitu keh urang janma ini lamun dek nyaho dipuhun suka lawan enak ma
ingetkeun saur sang darma pitutur...., kalinganya, kita jarang dek ceta, ulah salah
geusan nanya.”