1. SIKAP AHLU SUNNAH TERHADAP LOGIKA (FILSAFAT) ARISTOTELES
Oleh : Dr. ‘Utsman ‘Ali Hasan MA.
Sumber : Manhaj al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad ‘inda Ahli Sunnah.
Alih Bahasa : Idrus Abidin
1. PENGERTIAN LOGIKA ARISTOTELES.
Ahli filsafat memandang bahwa logika itu terbagi dua kategori, yaitu: logika
eksternal (lahirian) dan logika internal (bathiniah). Yang masuk kategori eksternal
adalah lafazh dan penuturan. Tata-cara untuk meluruskannya adalah dengan
gramatika (nahwu) pada prosa dan ilmu ‘arudh (aturan nada sya’ir) pada syair-syair.
Adapun pembicaraan internal maka ia termasuk kerja-kerja rasio dan pemikiran.
Tata-cara meluruskannya dengan metode logika yang telah dikenal secara
terminologis.1
Pengertian yang sangat dikenal di kalangan ahli filsafat adalah bahwa logika
(manthiq) merupakan sarana metodologis yang dapat menjaga rasio dari kesalahan
dalam aktifitas berfikir atau mencegahnya dari ketergelinciran dalam ranah
pemikiran.2
Dengan makna yang sangat mirip dengan pengertian di atas, Ibnu Sina
memberikan batasan terhadap logika dalam kitabnya, an-Najah, bahwasanya logika
adalah merupakan sarana yang akan menjaga rasio dari kesalahan terhadap apa-apa
yang kita asumsikan (tashawwur) dan kita putuskan (tashdiq), yang akan
mengantarkan kepada keyakinan yang benar, dengan memberikan pencetusnya dan
mengikuti langkah-langkahnya.3 Pengertian ini lahir berdasarkan manfaat dan
signifikansi ilmu logika itu sendiri. Adapun pengertian ilmu logika dari sisi
terminologisnya, dijelaskan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa, “Logika adalah
merupakan upaya teoritis yang berusaha mengetahui bentuk dan materi apa yang
membentuk sebuah pengertian yang benar. Hal ini sering disebut dengan kebenaran
terminologis, dan juga mengetahui analogi (qiyas) yang benar, yang dikenal dengan
istilah kebenaran demonstratif (burhan).4
1
Lihat : Hasyiah al-Jurjani ‘ala Tahrir al-Qawa’id al-Manthiqiyah, karya : Mahmud bin Muhammad al-Razi,
hal.18 (Kairo : Maktabah Musthofa al-Babay al-Halabi), cet.2, th.1948
2
Tahrir Qawa’id al-Manthiqiyah, Mahmud Muhammad al-Razi
3
Hal.3, pengantar, Muhyiddin Sobri al-Kurdi, ( Mesir : Mathba’ah al-Saadah), cet.2, th.1938.
4
An-Najah, hal.4
2. Ahli filsafat memandang bahwa sarana tersebut telah ada dalam rasio manusia
secara garizah. Karenannya, penggunaan metode ini mendahului masa penulisannya.5
Aristoteles hanya berperan sebagai penyusun saja dan berjasa dalam menyusun
sistematika pembahasannya. Atas dasar asumsi ini mereka mengatakan,6 “Penisbatan
ilmu logika tehadap filsafat seperti penisabatan ilmu gramatika Arab (nahwu)
terhadap bahasa, juga penisbatan ilmu ‘arudh dalam lingkup syair. Posisi Aristoteles,
dalam hal ini persis seperti posisi Sibawaih dan Khalil bin Ahmad. Penulis kitab al-
Sullam mengatakan :
( نسبته كالنحو للسان ) وبعد ، فالمنطق للجنان
“Setelahnya, (posisi) logika terhadap pisik penisbatannya seperti ilmu
gramatika Arab (nahwu) terhadap bahasa”
2. SISTEMATIKA ILMU LOGIKA.
Ilmu logika membahas seputar dua masalah utama :
A. Masalah asumsi dan abstraksi (tashawwur). Yaitu mengenal sebuah subyek tanpa
memberikan predikat sama sekali, baik dengan meniadakan (negatif) maupun
menetapkannya (positif).7 Cara untuk mengetahui bidang ini dengan melalui
pengertian, yaitu perkataan yang menujukkan hakikat (subjek) sesuatu.8
Pembahasan yang termasuk dalam kategori ini adalah masalah kata (lafazh) dan
kandungan maknanya (dilalah) dan kajian yang terkait dengannya.
B. Masalah putusan (tashdiq). Yaitu penisbatan putusan kepada subyek yang telah
diasumsikan dan diabstraksikan.9 Jalur yang ditempuh untuk mengetahuinya
adalah dengan metode analogis (qiyas). Yaitu ungkapan yang terdiri dari
beberapa pernyataan yang apabila diterima, maka konsekwensi logisnya adalah
kita harus menerima pernyataan lain yang merupakan tuntunan pernyataan
tersebut.10
Pembahasan yang masuk dalam kategori ini adalah seperti permasalah
(qadhaya) dan jenis-jenisnya, analogi (qiyas) : bentuk, ragam, hukum dan
permasalahan yang terkait dengannya.
Logika Aristoteles hanya membahas bentuk berpikir (logika formal) tanpa
membahas isi pemikiran tersebut (logika material). Targetnya adalah mengetahui
sebuah pemikiran (kebenaran) dengan cara berpikir yang benar dan menegaskan
bahwa aktifitas berpikir tersebut jauh dari kontradiksi. Tujuan ini persis seperti
5
Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq pada anotasi al-Khubaisi terhadap kitab al-Tahzib, karya : Abdul Muta’al al-
Shaidi, hal.3 (Mesir : Mathba’ah al-Namuzajiyyah), cet. ke-5, tth.
6
Lihat : Kitan al-Najah karya Ibnu Sina, hal.5
7
Lihat :al-Ta’rifat, karya al-Jurjani, hal.22
8
Ibid, hal.45.
9
Ibid, hal.32.
10
Ibid, hal.96
3. dialektika Yunani, terutama yang dikembangkan oleh Sokrates dan Plato.
Berdasarkan asumsi inilah logika Aristoteles sering dikenal dengan logika formal.
Maksudnya, bahwa logika Aristoteles hanya fokus pada bentuk berpikir tanpa
peduli dengan materi (konten) berpikir tersebut.11
3. SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA ARISTOTELES.
A. Sejarah Pertumbuhan Logika Aristoteles.
Pemikiran Yunani telah melewati masa krisis yang sangat parah pada zaman
berkembangnya dialektika kaum sofis. Yaitu metode debat yang menghalalkan
segala cara demi untuk memenangkan perdebatan. Mereka mengingkari semua
prinsip-prinsip yang sudah baku dan mendebat semua yang sifatnya aksiomatik.
Kaum sofis mengklaim diri mengetahui segala sesuatu. Kebenaran dalam persfektif
kaum sofis ini hanyalah masalah nisbi (relatip). Yaitu kebenaran berdasarkan pada
persfektif masing-masing orang. Kesalahan adalah merupakan kemustahilan karena
standar kebenaran ada pada masing-masing orang. Semua yang dipandang benar
maka itulah kebenaran sesungguhnya, sekali pun semua orang memandangnya
sebagai kesalahan. Dua orang yang memperdebatkan suatu permasalahan masing-
masing dipandang benar. Karenanya, kaum sofis seringkali memperkuat
argumentasinya dengan beragam fakta sehingga tampak seperti kebenaran mutlak.
Lalu kemudian ia sendiri yang mengkritisinya dengan pandangan berbeda dengan
mengajukan bukti-bukti yang menegaskan bahwa yang benar adalah sebaliknya.12
Lalu Sokrates datang dan mengkritis semua metode dialektika kaum sofis
dengan merumuskan standar baru dalam seni berdebat dan berdialektika. Ia
mengembangkan metodologinya dengan mengkritisi semua mukaddimah
pemikiran dan pandangan yang sedang berkembang, yang merupakan teori standar
dalam penarikan kesimpulan. Ia senantiasa mendiskusikan tentang pengertian
sesuatu yang sebenarnya bersama para teman diskusinya.13 Yaitu pengertian yang
menjelaskan tentang hakikat sesuatu yang sedang diperjelas. Karena itulah,
Aristoteles mengakui bahwa Sokrateslah yang membahas hakikat sesuatu secara
utuh karena ia telah menggunakan metodologi analogis (qiyas)14 Ia juga membantu
11
Lihat : al-Tafikir al-Manthiqi baina al-Manhaj al-Qadim wa al-Manhaj al-Jadid, ‘Abd, hal.19. lihat pula : al-
Manthi wa Asykaluh, Muhammad Azizi Nazmi Salim, hal.11, (Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jami’ah), tth.
Dan juga Kitab Tarikh a-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hal.52.
12
Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.12-13, ( Mesir : Maktabah Anglo
al-Misriyah ), cet.4, th.1966. Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim,hal.53 dan setelahnya.
( Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jamiah ) tth. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniayah, Yusuf Karam, hl.45-46. Al-
Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.8-9
13
Al-Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.10-11
14
Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.13-14, Tarikh al-Falsafah al-
Yunaniyah, Yusuf Karam, hl.52-53
4. lawan debatnya untuk bisa sampai kepada hakikat sesuatu melalu metode yang
disebut metode al-Taulid.15
Lalu datnglah Plato, murid Sokrates sendiri, untuk melanjutkan metode
gurunya. Bahkan ia lebih mempertegas lagi tentang makna lafazh dan pengertian,
hingga tidak ada peluang lagi adanya kesalahan. Ia bahkan menemukan metode
yang disebut metode induksi. Yaitu perpindahan dari alam nyata kepada citra
pikiran holistik yang ia sebut sebagai dunia ideal.
Citra rasio yang sempurna menurutnya hanyalah diperoleh dari dunia ideal
yang merupakan wilayah pasti dan tidak stagnan serta merupakan wilayah
kebenaran secara mutlak. Adapun wilayah nyata, ia hanyalah wilayah yang
senantiasa berubah dan akan sirna. Ia hanyalah dunia kemiripan dan bukan dunia
hakikat. Bahkan, pada perinsipnya, ia hanyalah bentuk tiruan dari dunia yang
sebanarnya, yaitu dunia ideal. Koneksi antara ke dua wilayah ini merupakan
efistemologi ilmu menurut Plato. Ilmu menurutnya adalah mengingat sedang
kebodohan adalah melupakan sesuatu.16 Fenomena ini, menurutnya adalah faktor
yang paling potensial meruntuhkan klaim kaum sofis yang menganggap segala
sesuatu senantiasa berubah dan menganggap relatifnya kebenaran.
Lalu datanglah Aristoteles17, murid Plato, untuk mengambangkan hasil pikiran
tersebut dengan metode yang ia sebut dengan metode analisis logika18. Ia fokus
dengannya, menetapkan batasan-batasan terminologisnya dan mengatur
sistematika pembahasannya. Karenanya, ilmu logika seringkali dinisbatkan
kepadanya. Penisbatan ini hanyalah penisbatan sebagai perumus dan promotor dan
bukan sebagai penemu dan pionir.19 Ibnu Khaldun mengatakan, “Para pendahulu
membahas logika pada awal pembahasannya dengan kalimat per kalimat dan
parsial serta metodenya juga belum diringkas. Sitematika pembahasannya juga
belum ditata rapi. Lalu tampillah Aristoteles di Yunani yang meringkas sistematikan
pembahasannya dan menyusun permalahan yang dikaji serta mengatur ulang bab
15
Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim, hal.62-63. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf
Karam, hal.52-53
16
Tarikh al-Falsafah, Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim, hal.71-75 dan 76-78.
17
Ia disebut Aristateles dan Aristoteles. Istilah yang terakhir inilah yang paling dekat kepada istilah
Yunani. Dia adalah anak Nekomakhes, sang dokter terkenal. Aristoteles adalah pentolah filosof musysyaiin. Ia
dikenal pula dengan istilah muallim pertama karena dialah yang pertama merumuskan ilmu logika. Ia
dilahirkan di mecodonia th.384 S.M. Setelah berumur 17 tahun ia kemudia pindah ke Atena lalu belajar ilmu
filsafat dari Plato. Ia meninggal pada tahun 322 S.M. lihat : kitab , Dar al-Maarif, Petrus Bustani, vol.3, hal.75.
( Teheran : Muassasah Mathbuaatay Ismailiyani 1878 M – 1295 H, tth.
18
Yang pertama menamai ilmu ini dengan ilmu logika (mantiq) adalah para komentator Aristoteles dan
bukan timbul dari Aristoteles sendiri (Lihat : al-Mukjam al-Falsfi, Jamil Saliba, vol.2, hal.428, Madkhal Ila Ilm
al-Mantiq, Dr Mahdi Fadhlullah, hal.18
19
Lihat : al-Milal, Al-syahrastani, vol.2, hal.119-120
5. dan pasal-pasalnya dan memproklamirkannya sebagai ilmu hikmah pertama dan
sebagai kunci utamanya. Karena itulah, ia disebut sebagai muallim pertama.20
B. Fase Awal Masuknya Ilmu Logika ke dalam Negeri Muslim.
Pendapat yang paling masyhur tentang awal mula masuknya logika Aristoteles
ke dalam wilayah kaum muslimin dan kesibukan beberapa sarjana untuk
menelaahnya adalah pada fase kekuasaan Bani Abbasiah. Yang mana, zaman
tersebut banyak terinfeksi oleh ilmu filsafat dan terpengaruh signipikan oleh metode
bahasa Yunani.21
Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid Al-Qayrawani mengatakan, “Semoga
bani Ummayah dirahmati oleh Allah swt. Tidak ada seorang khalifah pun di kalangan
mereka yang mempelopori lahirnya bid’ah dalam lingkup keislaman. Kekuasaan dan
para pegawai mereka banyak dikuasai oleh orang-orang Arab. Tatkala kekhilafaan
pindah dari kekuasaan mereka lalu beralih kepada bani Abbasiah, Negara mereka
pun berdiri di walayah Parsi, sehingga kekuasaan tertinggi berada dalam kendali
mereka. Sementara penguasanya banyak mengidap pemikiran yang cenderung
kepada kekafiran dan memendam kebencian terhadap Islam dan orang-orang Arab.
Lalu mereka memunculkan banyak kejadian-kejadian memilukan dalam Islam yang
potensial menghancurkan Islam sendiri. Seandainya saja Allah swt tidak meberikan
janji pada Nabi-Nya bahwa agama ini dan pemeluknya akan senatiasa mendapatkan
kemenangan hingga datangnya hari kiamat kelak maka mereka akan
menghancurkan Islam. Tetapi mereka mengelabui agama ini dan menggebosi pilar-
pilarnya. Sedang Allah swt akan senatiasa memenuhi janji-janji-Nya insya Allah….”
Beliau lalau menyebutkan bahwa kejadian memilukan pertama adalah transfer buku
buku Yunani ke dalam dunia Islam melalui jalur Yahya bin Khalid bin Barmak (al-
Barmaki), seorang menteri pada zaman pemerintahan Harun al-Rasyid. Yahya ini
kemudian mencari buku-buku Yunani ke raja Roma. Ketika itu, buku buku tersebut
sengaja dijauhkan dari padangan kaum Nasrani agar mereka tidak tertarik padanya.
Lalu mereka kemudian mengirimkannya ke menteri yang berbangsa Arab, demi
untuk menghindari bahayanya dan dengan harapan dapat merusak kondisi kaum
muslimin. Sehingga seorang pentolan Roma mengatakan, “Tidaklah ilmu ini
(Filsafat) memasuki sebuah Negara agama kecuali merusaknya dan membuat
kalangan intelektualnya kacau-balau”.22 Lalu al-Barmaki mendatangkan banyak
kalangan zindik dan banyak filosof untuk mengkajinya secara mendalam.
20
Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.462
21
Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq karya : Abdul Muta’al al-Shaidi, hal.5, Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu
al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.30 (Bairut : al-Maktab al-Islami), cet.1, th.1979.
22
Shaun al-Manthik, hal.9
6. Beberapa ahli mengindikasikan bahwa pengalihan ini terjadi sebelum masa
bani Abbasiah, yaitu pada pase bani umayyah melalu jalur Khalid bin Yazid bin
Muawiyah, ketika ia meminta beberapa intelektual Yunani untuk menerjemahkan
beberapa literatur Yunani23
Argumen yang menguatkan kecenderungan ini adalah fakta yang disebutkan
oleh al-Syahrastani bahwa rekan Wasil bin ‘Atha telah menelaah beberapa literature
filosof.24
Untuk memadukan ke dua pendapat ini, sebaiknya kita mengatakan bahwa
literatur tersebut awalnya masuk ke dunia muslim dan diarabkan pada masa bani
umayyah, tetapi kala itu belumlah banyak beredar dan belumlah dikenal luas oleh
banyak sarjana, karena kaum salaf masih banyak yang melarang untuk
menelaahnya. Lalu meluaslah pada zaman al-Barmaki dan mendapatkan dukungan
pada era al-Makmun karena ia banyak mendukung praktek-praktek bid’ah. Bahkan
ia mendorong sarjana untuk menelaah lieteratur tersebut dibanding sekedar sibuk
dengan ilmu-ilmu sarjana muslim masa awal dan mulai mengerdilkan ilmu-ilmu
Sunnah (hadits).25
Sekali pun demikian, literatur filsafat tidak banyak mengundang perhatian dan
penghargaan dari kalangan intelektual dari seluruh kalangan, baik Ahlu Sunnah,
Muktazilah, Asya’irah, Karamiah26, dan kalangan Syi’ah. Bahkan orang-orang yang
menelaahnya dikenal luas oleh kalangan kaum muslimin sebagai orang menyimpang
dan zindik. Seperti al-Farabi,27 Ibnu Sina28, al-Kindi29 dll.
23
Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 2-3 ( Mesir : Dar al-Ma’arif),
cet.2, th.1965. lihat pula : Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.31-32.
24
Lihat : al-Milal wa an-Nihal, vol.1, hal.46
25
Lihat : Shaun al-Mantik, hal.12
26
Mereka adalah pengikut Abu Abdullah Muhammad bin Karam
27
Nama lengkapnya adalah : Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan bin Auzlag. Asalnya
dari Turki. Ia menguasai bahasa Yunani dan beberapa bahasa timur pada zamannya. Ia dikebal sebagai guru
ke-2 karena telah mengomentari tulisan-tulisan Plato sebagai Sang Guru Pertama. Ia memiliki beberapa karya
tulis, di antaranya : Ihsa al-Ulum, Ara’ al-Madinah al-Fhadilah dll. Ia berpandangan bahwa kelak diakhirat,
kebangkitan hanya rohani saja tanpa fisik. Ia memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini yang menyelisihi
mazhab kaum muslimin dan filosof para pendahulunya. Ibnu Katsir mengatakan, “Karena pendapatnya itulah,
jika ia meninggal dalam keyakinan demikian, maka ia potensial mendapatkan laknat dari Allah Swt.” Beliau
juga berkomentar, “Al-Hafiz Ibnu Asakir tidaklah menyebutkan entri tentang al-Farabi karena kejelekan dan
keburukannya”. Ia dilahirkan pada tahun 260 H dan meninggal pada tahun 339 H. Lihat : al-‘A’lam, karya al-
Zerekli, vol.7, hal.242-243, juga kitab al-Bidayah wa an-nihayah, vol.11, hal.224, peristiwa tahun 339 H.
28
Nama lengkapnya adalah : Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina yang dijuluki sebagai syekh al-Rais
(professor). Ia memiliki karya tulis pada bidang kedokteran, logika, ilmu alam dan ilmu teologi. Karyanya
yang paling terenal adalah kitab al-Qanun. Ibnu Taimiyah mengomentari, “…..ia rajin mengambil pendapat
orang-orang yang menyimpang dari kalangan orang-orang yang berafiliasi kepada Islam seperti dari
kelompok Isma’Iliyah. Keluarga dan para pengikutnya terkenal sebagai orang-orang menyimpang di kalangan
kaum muslimin zamannya.
29
Nama lengkapnya adalah : Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak al-Shabah, seorang filosof dan salah seorang anak
raja Kindah. Ia terkenal sebagai ahli kedokteran, filsafat, music dan sebagai seorang insinyur. Ia pernah disiksa
7. C. Internalisasi Ilmu Logika ke Dalam Ilmu-Ilmu Agama (Syari’ah).
Asumsi yang banyak berkembang dalam benak banyak sarjana adalah
bahwasanya kaum muslim telah terpengaruh secara mendalam dalam aktifitas
intelektual mereka dengan logika Aristoteles. Terutama dalam lingkup ilmu Ushul
Fiqh. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada adanya kemiripan antara ilmu ushul
dengan ilmu logika dalam hal tujuan. Yaitu bahwa keduanya memiliki target untuk
mengenal jalan yang dapat mengantarkan kepada kebenaran.30
Pada hal, sebenarnya, pembahasan seputar uhsul fiqh telah diawali sejak
zaman sahabat radiyallahu anhum. Kita mendapati pandangan mereka dalam
masalah analogi (qiyas), illah, ‘am, khas dll. Hanya saja pembahasan tersebut masih
terbatas karena kedekatan mereka dari zaman kenabian, juga karena ketersediaan
teks-teks al-Qur’an dan Sunnah serta sedikitnya tantangan perubahan yang ada
ketika itu.31
Zaman sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya berlalu, namun kita tidak
menemukan penadapat dari mereka seputar logika atau upaya asimilasi
(pencampuradukan) antara logika dan ilmu-ilmu agama. Sekali pun tidak bisa
dipungkiri keberadaan beberapa literatur Yunani pada beberapa kalangan kaum
muslimin. Hal yang kita tolak adalah keberadaan logika yang telah
terinternalisasikan ke dalam ilmu-ilmu agama pada zaman itu.32
Demikianlah kenyataannya hingga giliran imam al-Syafi’i rahimahullah hadir
dalam rangka menuliskan dan menyusun sistematika serta menambah pembahasan
seputar ilmu ushul ini dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang berlandaskan
kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam kitabnya yang bernama al-Risalah. Fakhruddin
al-Razi mengatakan, “Sebelum Imam Syafi’I, para sarjana membahas isu-isu seputar
ushul fiqih dengan argumentasi dan diskusi, tetapi mereka ketika itu belum memiliki
landasan umum yang pantas dijadikan acuan dalam rangka mengenal petunjuk-
pada zaman pemerintahan al-Mutawakkil dan buku-bukunya disita karena tuduhan sebagai orang sesat dalam
beragama. Lalu kemudian buku-buku tersebut dikembalikan kepadanya. Ia memiliki kedudukan spesial pada
pemerintahan al-Makmun. Di antara karya-karyanya : Risalah al-Tanjim dan Ilahiyaat Arsto. Ia meninggal
pada tahun 260 H. Lihat : al-‘A’lam, karya al-Zerekli, vol.9, hal.255-256. Lisan al-Mizan, vol.6, hal.305. biografi
no.1091.
30
Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 64-80. Dan kitab : Tajdid
Ushul al-Fiqh al-Islami, karya : Dr. Hasan bin Abdullah al-Turabi, hal.12-22. (Bairut : Dar al-Jil), cet.1, th.1980
M.
31
Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 66. Dan kitab ‘Alam al-
Muwaqqi’in, vol.1, hal.217.
32
Lihat : Fatwa Ibnu Shalah dalam mengharamkan ilmu logika (manthiq) pada : Fatawa Ibn Shalah, hal.35,
( Turki :al-Maktabah al-Islamiyah ), tth.
8. petunjuk syari’at dan dalam rangka menolak dan menegaskannya (tarjih). Lalu
kemudian Imam Syafi’I merumuskan ilmu ushul fiqih dan menjadikannya sebagai
prinsip umum yang dijadikan landasan dalam rangka mengenal hirarki dalil-dalil
syari’at.33
Al-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-Risalah sama sekali tidak
terpengaruh dengan logika Yunani. Bahkan beliau sangat mencelanya dan mencela
bahasanya (bahasa Yunani) dengan mengatakan, “Masyarakat muslim tidaklah
menjadi bodoh dan tidak berbeda pendapat antar sesama kecuali karena mereka
meninggalkan bahasa Arab lalu beralih ke bahasa Aristoteles”34 al-Suyuthi
mengomantari pendapat ini dengan mengatakan, “……al-Qur’an dan Sunnah tidaklah
terbentuk kecuali dengan formulasi dan terminologi orang-orang Arab dan sesuai
gaya mereka dalam berdiskusi, berbicara, berargumen dan berlogika. Al-Qur’an dan
Sunnah sama sekali tidak teformulasikan dengan terminologi Yunani. Tetapi setiap
kelompok memiliki bahasa dan istilah-istilah terminologis masing-masing….”35
Bahkan al-Syafi’i mengingkari sikap sarjana ahli kalam, pada hal mereka
umumnya tidak seperti para ahli logika dan filsafat, dan memandang perlunya
membatasi dan memberikan sanksi ta’zir karena pendapat-pendapat ganjil yang
mereka kembangkan. Pedapat beliau dalam hal ini sangatlah masyhur.36 Lalu
bagaimana mungkin beliau terpengaruh dengan sarjana logika. Padahal beliau telah
mengenal dengan baik kerancuan akidah, logika rasio dan bahasa mereka.
Ada pun pendapat yang beredar bahwa al-Syafi’i mengatakan, “Saya mengenal
apa yang dibahas oleh sarjana Romawi seperti Aristoteles, Mohraris, Forforius,
Galonius, Bocrat dan Usud Fles dengan bahasa asli mereka”37 maka fakta ini
hanyalah kebohongan yang mengada-ada. Pada jalur transmisinya (isnad) terdapat
seorang pemalsu dan pembohong yang bernama Muhammad bin Abdullah al-
Balawi.38 Sekali pun fakta ini kita anggap benar, maka tidak ditemukan indikasi yang
membuktikan bahwa al-Syafi’i terpengaruh dengan ilmu logika dan pemikiran
Yunani dalam penulisan karya-karyanya.
Kemudian metodologi penulisan ushul fiqih mulai berubah manakala beberapa
sarjana teologi mulai terlibat, baik dari kalangan pengikut Asy’ari maupaun kalangan
Muktizilah. Mereka lalu menggunakan metode kalam dan memasukan banyak isu-isu
33
Manaqib al-Imam al-Syafi’i oleh al-Razi.
34
Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.15.
35
Shaun al-Manthiq, hal.15.
36
Lihat : Syarah al-Thahawiyah, hal.11, dan kitab Shaun al-Manthiq, hal.18-19.
37
Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal.219-220
38
Lihat : Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal. 220
9. kalam ke dalamnya. Namun pun demikian, ushul fiqih tetaplah tidak tersandera oleh
logika Aristoteles.39
Adapun upaya internalisasi (pencampuradukan) antara logika dengan ilmu-
ilmu kaum muslimin, terutama sekali ushul fiqih, terjadi melalui tangan Abu Hamid
al-Gazali mana kala ia melihat pentingnya mempelajari logika. Bahkan ia menjadikan
logika sebagai syarat dalam rangka mecari ilmu dan menegaskan bahwa logika
merupakan timbangan dan standar keilmuan. Bahkan ia menulis sebuah buku
tentang hal ini dengan judul “Mi’yar al-‘Ilm, Mahk al-Nazhr, al-Qisthas al-Mustaqim
dan kitab Maqashid al-Falasifah” Ia menyebutkan pada awal kitabnya yang berjudul
al-Musthasfa40 bahwa barang siapa yang tidak menguasai logika maka kepakarannya
dalam ranah keilmuan tidak pantas diakui.
Kata-kata terakhir ini begitu banyak menginspirasi generasi ilmuan
belakangan, baik para penulis dalam ranah ushul fiqih maupun pada bidang lainnya.
Sehingga mereka berlomba-lomba mempelajari ilmu logika sehingga dapat
meneyempurnakan syarat-syarat sebagai pemikir dan ahli ijtihad, serta pantas
untuk menulis karya ilmiah dan menjadi ahli fatwa.41 Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Karena beberapa faktor yang mempengaruhi hidupnya, maka banyak
sarjana ahli yang memasukkan logika dalam daftar keahlian mereka. Bahkan
generasi sarjana belakangan yang menempuh jalur tersebut mengira bahwa tidak
ada lagi jalan lain dalam menguasai intelektual keislaman kecuali dengan logika
Yunani. Pada hal mereka luput mengamati bahwa masih banyak sarjana ahli lain dan
kaum terpelajar dari kalangan muslim lainnya yang senantiasa mengingkari dan
bahkan mencela metode tersebut. Bahkan kalangan sarjana ahli muslim telah
menulis banyak karya-karya brilian dalam masalah ini”42.
Sekalipun demikian, di akhir hidupnya, al-Gazali banyak mencela ilmu logika
dan para ahli logika. Bahkan ia mengatakan bahwa metode mereka itu tidaklah bisa
menyampaikan kepada tarap keyakinan yang mendalam, terutama dalam lingkup
ilahiyyat (ketuhanan). Bahkan ia mencelanya dengan celaan yang melebihi sikapnya
dalam mencela metodologi teolog dengan menjelaskan bahwa metodologi mereka
mengandung kebodohan dan condong kepada nilai-nilai kufur yang
menyebabkannya pantas untuk dicela. Beliau meninggal dalam keadaan sibuk
mengkaji kitab hadits Bukhari dan Muslim.43
39
Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 73-75.
40
Vol.1, Lihat pula : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.14-15.
41
Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.1
42
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198.
43
Lihat : al-Munqiz min al-Dhalal, karya al-Gazali, hal.63-64 dan 88-93, (Damaskus : Maktabah Ibn
Zaidun), cet.2, th.1934. dan kitab Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.195-198.
10. Di antara faktor penting yang menambah laju perkembangan ilmu logika dan
filsafat pada generasi belakangan adalah bahwa Nashiruddin al-Thusi44 mendirikan
lembaga bernama Dar al-Hikmah pada zaman kaum Tatar. Ia menyiapkan uang
sebanyak tiga dirham setiap hari bagi orang-orang yang mengkaji filsafat di sana. Ia
juga mendirikan lembaga kedokteran bernama Dar Thibb dan menyiapkan dua
dirham bagi mereka yang mengkaji ilmu kedokteran di sana setiap hari. Selain itu, ia
mendirikan lembaga hadis yang ia namai Dar Hadis denan menyiapkan setengah
dirham bagi mereka yang mengkaji ilmu-ilmu hadits dalam sehari. Sehingga
berkembanglah filsafat dan ilmu logika serta Ilmu-Ilmu Yunani, setelah pada era
sebelumnya, para pengkaji yang terlibat di bidang ini hanya bisa dihitung dengan
jari dan dalam kondisi penuh kekhawatiran jika diketahui oleh sarjana ahli.45
4. LATAR BELAKANG PENOLAKAN KAUM MUSLIMIN TERHADAP LOGIKA
ARISTOTELES.
Beberapa kalangan berasumsi bahwa kaum muslimin menolak logika
Aristoteles dengan pertimbangan bahwa kajian ini merupakan hasil intelektual
kalangan orang-orang kafir. Asumsi seperti ini tentu bermasalah karena
konsekwensinya adalah bahwa kaum muslimin dipastikan akan menolak semua
ilmu-ilmu yang berasal dari luar, seperti ilmu kedokteran, matematika dan ilmu
arsitektur, sekali pun ilmu tersebut benar dari sisi kandungan dan sistematikanya.
Kaum muslimin menolak filsafat dan logika aristoteles murni karena pertimbangan
keagamaan (teologis) dan pertimbangan rasional. Beberapa sisi penolakan tersebut
akan kami paparakan berikut :
Satu : Pertimbangan keagamaan (teologis).
1. Bahwa kalangan kaum muslim pertama dari golongan sahabat, tabi’in dan kalangan
setelahnya tidak sama sekali terlibat dalam wacana ilmu logika filsafat. Baik karena
pertimbangan bahwa logika filsafat belumlah masuk ke wilayah mereka pada
zamannya atau pun ketika itu telah ada, tetapi mereka enggan untuk melibatkan
diri.46 Padahal secara prinsip, syari’ah Islam tidaklah terkait dan tidak pula
tergantung pada ilmu eksternal dalam rangka untuk memahami dan
44
Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan, yang dikenal dengan
Nashiruddin al-Thusi. Ia seorang filosof, juga merupakan ahli dalam ilmu-ilmu logika serta menguasai ilmu
hitung dan sains. Posisinya makin tinggi pada zaman Holako Khan. Di antara karya tulisnya : Tahrir ushul
Iqleydes dan Talkhis al-Muhassal karya al-Razi. Ia meniggal di Bagdad pada tahun 672 H.
45
Lihat : al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, vol.13, hal.268 dan lihat pula : Kitab Shaun al-
Manthiq, hal.13.
46
Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.14 dan kitab Fatawa Ibnu Shalah, hal.35
11. mengaksesnya.47 Hal demikian jika ilmu eksternal yang dimaksud tersebut benar.
Lalu bagaimana jika ilmu tersebut bermasalah ataupun mengandung hal-hal yang
bermasalah, apalagi jika kandungannya berupa kekufuran dan penyimpangan
(ilhad) ?!.
2. Juga bahwa logika tumbuh berkembang dalam lingkup filosofis. Yang mana, para
penggiatnya adalah orang-orang musyrik dan orang yang menyimpang. Bahkan
kekafiran dan kesyirikan yang dimilik oleh kalangan kaum pagan Arab masih lebih
baik dibanding kekafiran dan kesyrikan para filosof.48 Ibnu Taimiyah mengatakan
ketika mengomentari filosof, “Kesesatan mereka dalam lingkup ketuhanan sangat
nyata bagi banyak orang. Karenanya, seluruh intelektual Muslim memandanganya
kafir.49 Berdasarkan hal inilah, abu al-Qasim al-Suhaili dan lainnya mengatakan,
“Kita berlindung kepada Allah (Nudzubillah) dari analogi (qiyas) filsafat dan
khayalan kaum sufi”.50 Jadi, kaum Muslimin tidak memandang logika aristoteles
karena ia terinfeksi oleh ilmu-ilmu filsafat yang bertentangan dengan akidah dan
keyakinan yang benar dalam Islam.51
3. Rasa khawatir jika saja beberapa kaum muslimin terpedaya dengan logika. Karena
beberapa wilayah kajiannya sangat tepat sehingga nantinya mereka mengira bahwa
semua pembahasannya berada pada level yang sama dari sisi tingkat akurasi dan
kebenarannya. Juga rasa khawatir jika mereka meyakini bahwasanya kajian yang
terkait dengan wilayah akidah pun bisa dibuktikan dengan metode pembuktian ala
filsafat dan logika. Ketika mengertisi ilmu logika pada karya mutakhirnya,52 al-
Gazali mengatakan, “Bisa jadi orang-orang yang berpandangan positif terhadap
logika mengkajinya dan memandangnya benar. Lalu mengira bahwa pandangan-
pandangan yang bernuansa kekafiran pun juga dapaat diperkuat dengan cara-cara
logika filsafat tersebut. Lalu dengan segera mereka berpihak kepada nilai-nilai
kufur sebelum ia sampai ke tarap pembahasan masalah ketuhanan (ilahiyyat) yang
nyata bermasalah dalam filsafat”. Ibnu Taimiyah telah mengindikasikan bahaya ini
pada awal karyanya “al-Radd ‘Ala al-Mathiqiyyin”53 dengan mengatakan, “Saya
awalnya mengira bahwa kajiannya –yakni kajian logika filsafat- benar. Karena saya
melihat banyak kajiannya begitu tepat dan logis. Lalu beberapa waktu kemudian,
saya melihat dengan jelas beberapa wilayah kajiannya begitu bermasalah…Juga
tampak jelas bagi saya bahwa apa yang mereka bahas seputar efistemologi
47
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.258.
48
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.535 dan hal.101dst.
49
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.200.
50
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.482.
51
Lihat : Muqaddimah Ibn Khaldun, hal.483, dan kitab Manahij al-Bahs karya al-Nasysyar, hal.87
52
Al-Munqiz min al-Dhalal, hal.93
53
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.3-4.
12. ketuhanan dan seputar logika juga berasal dari kesalahan pendapat dan pandangn
mereka dalam ranah efistemologi ketuhanan”.
4. Ketidakmampuan metode demonstratif yang dimiliki ilmu filsafat untuk
mengantarkan manusia ke tarap keyakinan yang mendalam. Terutama ketika
diterapkan dalam lingkup kajian ketuhanan. Al-Ghazali mengatakan, “Mereka
tampaknya berlaku tidak jujur (zhalim) dalam kajian ini. Yaitu bahwa mereka
menetapkan syarat-syarat untuk mencapai tarap demonstratif (burhan) yang
dipandang dapat mengarahkan kepada tingkat keyakinan yang utuh. Tetapi,
manakala tiba pada wilayah inti keagamaan (maqashid diniyah), mereka tidak
mampu komitmen dengan syarat-syarat yang telah mereka tetapkan. Bahkan
mereka terkesan sangat longgar dan liberal”.54
5. Juga pertimbangan bahwa logika Aristoteles telah beperan dalam terjadinya
keretakan, pertentangan dan sikap saling menuduh antara satu pihak dengan pihak
lain sebagai salah dan sesat. Orang-orang yang mengkaji dan sibuk menelaahnya
juga masih dalam suasana demikian. Bahkan dua orang ahli dalam sebuah masalah
saja susah untuk bersepekat, bahkan pada hal-hal yang mereka anggap sebagai
pasti (yaqiniyyah) dan logis (badihiy).55 Sebelumnya telah disampaikan ucapan
orang yang mengatakan bahwa, kajian ini tidaklah memasuki wilayah sebuah
Negara agama kecuali para intelektualnya akan kacau balau dan saling bertengkar
dan berbeda.56
6. Juga pertimbangan bahwa ilmu logika meniscayakan keonsekwensi yang tidak
benar. Yang dapat merusak ilmu dan keimanan dan juga mengantarkan kepada
kebodohan dan kesesatan.57 Di sini, saya akan menyebutkan beberapa sisi
kekurangan tersebut, di antaranya :
A. Pendapat yang menyatakan bahwa alam ini qadim. Pertimbangannya adalah
bahwasanya tuhan tidak akan mendahului keberadaan alam ini dari aspek
zaman, sekalipun mendahuluinya dari aspek pemikiran, sebagaimana halnya
pengantar (muqaddimah) mendahului hasil putusan dalam aktifitas berfikir.58
54
Al-Munqiz min al-Dhalal, hal.93
55
Lihat : Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.334 dan setelahnya. Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Naqd al-
Manthiq, hal.169, “Para penggemar logika filsafat adalah orang-orang yang paling banyak memiliki
pertentangan, keraguan dan kebingungan. Merekalah yang sedikit memiliki tingkat intelektualitas dan
kejernihan dalam wilayah ilmiyah. Jika benar bahwa logika merupaka sarana yang tepat untuk membuka tabir
kebenaran dan mampu membentengi pilkiran dari kesalahan, tentunya hal demikian tidak perlu terjadi.
56
Shaun al-Manthiq, hal.9
57
Lihat : Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198
58
Lihat : al-Gazwu al-Fikri fi al-Manahij al-Dirasiyah, Ust ‘Ali Laban, hal.32, ( Mesir : Dar al-Wafa’), vet.1, th.1987 M –
1407 H.
13. Ini adalah pernyataan filosof yang dikritisi oleh al-Gazali dan juga mengkafiran
mereka karenanya dalam kitab “Tahafut al-Falasifah”.59
Sisi kerancuan pandangan ini antara lain adalah konsekwensi logis yang salah
berupa ketercakupan (kesatuan) mahluk dengan Tuhan sejak dari awal,
sebagaimana ketercakupan hasil putusan pada mukaddimah sejak dari awal
(pembentukan analogi dalam metode logika. Penterj.) Dengan demikian, Sang
pencipta menjadi mahluk dan sang mahluk menjadi pencipta, sang perancang
menjadi rancangan dan rancangan menjadi perancang, sebuah alasan (illah)
menjadi kasus dan kasus menjadi alasan…dan konsekwensi kontradiktif
lainnya yang tidak terbatas.60
B. Penafian terhadap sifat-sifat positif (tsubutiyah) Allah Swt. Bahkan filososof
memberikan predikat (sifat) terhadap Allah dengan predikat penafian
(negatif) atau pun sifat yang berindikasi penafian. Karena itulah, mereka
berpendapat : Suatu hal tidak akan tercipta darinya kecuali dengan satu hal
pula. Karena jika satu melahirkan dua maka itu akan bertentangan dengan
kesatuan. Dengan argumen ini, filosof menafikan sifat Allah sebagai pelaku
yang memiliki kebebasan berbuat. Mereka menafikan semua sifat dari Allah
Swt. demi menghindarkan-Nya dari bentuk penyerupaan dengan jiwa
manusia. Lalu mereka tanpa sadar menyerupakannya dengan benda mati.61
C. Pengingkaran mereka terhadap pengetahuan Allah Swt yang mencakup segala
lingkup kehidupan ini. Inilah pendapat mereka yang paling terkenal dan juga
ditentang oleh al-Gazali dalam tahafut-nya dan pada karya lainnya.62 Allah Swt
menurut mereka mengetahui masalah umum tanpa mengetahui bagian-bagian
kecilnya dengan alasan bahwa bagian tersebut senantiasa berubah dan
berganti. Jika saja ilmu Allah terkait dengannya maka Allah juga senantiasa
akan berubah dan senantiasa baharu sesuai dengan perubahan dan
pembaharuan hal-hal yang diketahuinya. Semua itu menegaskan bahwa Dzat
Allah akan senantiasa berubah, pada hal Dia-lah Yang Maha Esa. Pendapat ini
merupakan pendapat yang sangat jelas mendustakan al-Qur’an dan fakta-fakta
rasional. Juga pendapat ini membuka peluang keburukan untuk kehidupan ini,
yang mengantarkan seseorang keluar dari rel syari’at secara global maupun
secara penuh. Yang lebih buruk dari sekedar konsekwensi di atas adalah
persangkaan jelek terhadap Tuhan Semesata Alam ini.
59
Lihat hal.88 dan setelahnya. Ditahqiq oleh : Dr Sulaiman Dunya, (Mesir : Dar al-Ma’arif), cet.4, th.1966 M – 1385
H.
60
Lihat : al-Gazwu al-Fikri fi al-Manahij al-Dirasiyah, Ust ‘Ali Laban, hal.32
61
Lihat : Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.214 dan setelahnya
62
Hal.5-6, lihat kitab : Fishal al-Tafriqah karya al-Gazali hal.192.
14. 5. UPAYA SARJANA MUSLIM DALAM MENGERITISI LOGIKA (FILSAFAT)
ARISTOTELES.
Terdapat dua kecenderungan untuk mengeritisi logika dan filsafat Aristoteles :
A. Fakta yang dilaporkan dari mayoritas sarjana Muslim dan dari banyak kelompok
tentang penolakan mereka terhadap logika Aristoteles. Dan bahwa mereka juga
mengharamkan upaya untuk menelaah dan mendalaminya. Dalam kelompok ini,
tidak ditemukan seorang pun yang memberikan koreksi menyeluruh terhadap logika
Aristoteles –atau pun bisa jadi ada, namun literatur yang mereka tulis belum sampai
pada jangkauan para peneliti. Kecenderungan seperti ini biasanya memerankan
upaya untuk memperjelas tentang kontradiksi antara logika Aristoteles dengan
riwayat-riwayat yang valid dan shahih dalam Islam.
B. Kecenderungan yang berupaya memberikan kritikan secara menyeluruh dan
komprehensif terhadap alur logika Aristoteles, juga seputar pembahasan utama
dalam lingkup logika ini. Langkah inilah yang ditempuh oleh Syekh al-Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah pada karyanya, “Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin” dan pada
karyanya yang lain “Naqd al-Manthiq”. Kecenderungan seperti ini biasanya berperan
dalam menjeleskan tentang pertentangan antara logika Aristoteles dengan fakta-
fakta rasonalitas wahyu. Ini adalah kecenderungan umum kelompok ini. Sekalipun
juga dalam argumentasinya, ditemukan pembahasan seputar penjelasan tentang
kesalahan-kesalahan pendapat Aristoteles dan para pendukungnya jika ditinjau dari
sudut pandang keagamaan dan dari aspek rasio.
Untuk kategori pertama, alasan yang mereka ajukan seputar penolakan mereka
terhadap logika Aristoteles berdasarkan pada beberapa sudut pandang berikut :
1. Bahwasanya, sahabat dan para kalangan tabi’in tidak ada satu pun yang
mewacanakan tentang logika demikian. Al-Suyuthi berusaha memberikan alasan
kenapa hal itu terjadi dengan mengemukakan bahwa mereka pada zamannya
belumlah berhadapan dengan logika Aristoteles. Karena logika Aristoteles dan
semisalanya nanti menyebar pada akhir abad ke-2 hijriah.63 Hanya saja, para
sahabat dan kalangan tabi’in tidak senang dengan sikap memaksakan diri
(takalluf) dalam masalah agama dan sikap yang tampakanya berusaha keluar
dari jalur al-Qur’an dan Sunnah dalam rangka menjaring hidayah. Jika saja
mereka menelaah logika maka status hukum yang mereka tetapkan sama dengan
status hukum sikap memaksakan diri dalam beragama (takalluf) dan keluar dari
frame al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan asumsi ini, al-Suyuthi
mengharamakan upaya mempelajari ilmu filsafat dan logika dengan
menganalogikannya dengan keharaman mengikuti metode kalam dalam masalah
63
Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.14
15. teologis dengan mengatakan, “Yang bisa dirilis dan difahami dari kalangan
kelompok yang secara prinsipil (efistemologis) mengharamkan logika dan
filsafat adalah bahwa mereka juga mengharamkan metode ahli kalam dalam
lingkup teologis. Alasan yang dikemukakan dalam hal ini persis dengan alasan
mereka ketika mengharamkan ilmu filsafat dan logika. Karena itulah, kalangan
generasi belakangan dari kelompok ini makin mengaskan sikapnya dalam
mengharamkan filsafat berdasarkan pada efistemologi para pendahulunya”.
2. Riwayat yang begitu banyak beredar dari kalangan para sarjana besar ahli fiqih
yang melarang mengkaji ilmu filsafat dan logika. Juga sikap mereka yang
menganggapnya sebagai bid’ah dan faktor yang melatari terjadinya perpecahan
dan perdebatan. Di antara pendapat yang berkembang secara luas adalah
pernyataan Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya seputar upaya baru dari
kalangan intelektual yang memasukkan pembahasan masalah sifat (a’radh) dan
fisik (ajsam) dalam ilmu kalam. Beliau mengatakan, “Itu adalah pendapat para
filosof. Kalian hendaknya mengikuti sunnah dan metode salaf. Hindarilah kalian
setiap metode baru, karena ia pasti berkategori bid’ah”.64 Di antara pendapat
sarjana besar kalangan fuqaha adalah apa yang disampaikan oleh al-Syafi’I
rahimahullah, “Kaum muslimin tidaklah bodoh dan tidaklah berselisih kecuali
karena mereka meninggalkan metode bahasa Arab (logika Islam) dengan
condong mengikuti bahasa (logika) Aristoteles”.65
3. Laporan yang diterima tentang penolakan beberapa sarjana linguistik Arab
terhadap filsafat dan logika Aristoteles. Di ataranya adalah Ibnu Qutaibah pada
pendahuluan kitabnya “Adab al-Katib”66 dan Ibnu al-Atsir dalam kitab “al-Matsal
al-Sa’ir”.67 Juga disebutkan bahwa Ibnu Sina dan kalangan intelektual Yunani,
seandainya mereka koimten dengan ketentuan-ketentuan ilmu logika (filsafat)
maka mereka tidak akan pernah menghasilakan karya syair dan karya yang
bersajak. Bahkan mereka diangap tidak menghasilkan karya yang dianggap
bermanfaat. Al-Buhturi pernah bersenandung dengan nada ejekan terhadap ilmu
logika dan para penggiatnya :
Kalian memaksakan ketentuan-ketentuan ilmu logika kepada kami
Padahal syair, karena benarnya metodenya, kesalahannya dibiarkan begitu
saja.
64
Shaun al-Manthiq, hal.32.
65
Shaun al-Manthiq, hal.15
66
Hal.3-5, tahqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, ( Mesir : Matba’ah al-Sa’adah ), cet.4, th.1382 H - 1963 M.
67
Al-Matsal al-Sa’ir fii Adab al-Katib wa al-Sya’ir, Diyauddin ibn al-Atsir, vol.2, hal.7-10, tahqiq : Dr Ahmad al-Hufi
dan Dr Badawi Tabanah, ( Riyadh : Dar Thabanah ), cet.2, th.1403 H – 1983 M.
16. Dan tidaklah Imru’ul Qais menggunakan metode logika, baik jenis maupun
sebab-sebabnya.
Padahal syair cukup mudah dipahami dengan isyarat-isyaratnya.
Syair bukanlah omong kosong yang bertele-tela ungkapannya (layaknya metode
logika kalian)
Termasuk liguis Arab yang dikenal kritis terhadap logika adalah Abu Said al-
Sairofi al-Nahwi. Sikap demikian diketahui melalui perdebatannya dengan Abu
Bisyr Matta bin Yunus, sang filosof yang beragama Kristen. Ia termasuk salah
seorang pensyarah karya-karya Aristoteles. Perdebatan dilaksanakan di Majelis
seorang menteri yang bernama Abu al-Fath al-Fadhl bin Ja’far bin al-Furat.
Perdebatan tersebut dihadiri pula oleh sejumlah ahli, baik dari cendikiawan
muslim maupun tokoh intelektual dari kalangan filosof. Pada perdebatan
tersebut Abu Bisyr Matta bin Yunus menolak penetapan ilmu logika sebagai
standar baku dunia intelektual dan sebagai penentu kebenaran ilmiah.
Pengingkaran tersebut didasari pada argumentasi yang sangat jelas dan bukti-
bukti yang sangat nyata. Sehingga majelis debat tersebut seolah berguncang dan
para hadirin terpesona dengan kepiawaian Abu Said dengan lisannya yang
mempesona, mimikya yang santai, dan uargumen yang begitu tertata rapi dengan
kebesaran jiwa dalam berdebat. Sehingga banyak hati yang mengelu-elukannya
dengan sanjungan yang senantiasa mengalir dari banyak lisan para masyarakat.68
Sang menteri, Ibnu al-Furat mengatakan kepadanya, “Sungguh Allah telah
menegaskan hatimu wahai Syekh. Engkau telah mencerahkan hati, membuat
mata kami cerah, wajah kami dihiasi dengan senyuman. Sungguh engkau telah
melukis sejarah baru yag tidak akan lekang oleh zaman dan tidak akan tergusur
oleh laju modernitas”.69
4. Hal yang sangat masyhur di kalangan intelektual adalah sikap penolakan Ahlu
Sunnah dan kalangan ahli hadits terhadap bid’ah yang dikembangkan oleh ahli
logika. Bahkan banyak karya ilmiah yang ditulis untuk hal tersebut. Sekali pun
demikian, sejarah juga meng-infut kepada kita beberapa penolakan ahli teologi,
terutama ahli senior, terhadap ilmu logika dan celaan mereka terhadap ilmu dan
para penggemarnya. Mereka juga banyak menulis buku tentang sikap dan ejekan
tersebut, seperti kitab al-Daqa’iq karya Abu Bakar bin Thayyib al-Baqillani, al-
A’raa wa al-Diyanaat karya Ibnu al-Naubakhti (syi’ah). Bahkan banyak informasi
yang menyebutkan bahwa Abu Ali al-Jubba’I, Abu Hasyim dan Qadhi Abd al-
Jabbar telah menelorkan karya yang mengkritisi logika Aristoteles.70 Juga
68
Perdebatan tersebut disebutkan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, Shaun al-Manthiq, hal.190-199.
69
Shaun al-Manthiq, hal.199.
70
Lihat : Manahij al-Bahs karya Ali al-Nasysyar, hal.80-81 dan kitab al-Radd ‘Ala al-Mathiqiyyin, hal.337.
17. informasi yang meneyebutkan tentang kritik Abu al-Abbas al-Nasyi’ al-Mu’tazili
terhadap logika sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Said al-Sairopi dalam
perdebatannya dengan Matta bin Yunus.71
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para pendahulu dari kalangan ahli teologi tidaklah
rela menceburkan diri ke dalam pembahasan mengenai pengertian berdasarkan
pada metode ahli filsafat, seperti sikap para pelanjut mereka belakangan yang
meyakini metode tersebut sebagai bagian dari metode tahqiq. Pada hal itu tidak
lebih dari penyimpangan dari jalur yang benar”.72
Sikap ini pula yang ditegaskan oleh Dr. ‘Ali Sami al-Nasyyar dengan mengatakan,
“Kritik mendalam banyak ditujukkan oleh teks yang berasal dari kalangan teolog
yang mengungkapkan bahwa al-Baqillani dan imam al-Haraimain serta
kebanyakan kalangan muktazilah yang keluar dari metode logika Aristoteles
dalam pembahasan yang mereka kembangkan”.73 Motede logika masuk dalam
ranah pembahasan teologi melalui tangan ahli teologi belakangan seperti Abu al-
Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Gazali, Fakhruddin al-Razi dll.74
Sedang kategori ke-2, yaitu kritik mendalam terhadap logika Aristoteles, baik dari
aspek dasar-dasarnya maupun kaeda-kaedah utamanya, serta sistematika dan
permasalahannya, dengan metode ilmiah yang sangat teliti. Metode ini
dikembangkan melalui karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dr Abdullatif
Muhammad al-‘Abd mengatakan, “Kritik Ibnu Taimiyah ini merupakan kritikan yang
pertama dikenal dalam kehidupan rasional manusia dalam rangka mengkritis logika
Arstoteles. Sebuah kritikan yang hanya berpijak pada logika murni…..”75
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kritkan Ibnu Taimiyah bukanlah kritikan
semata. Teapi juga mengandung sejumlah penegasan tentang logika islami sebagai
pengganti dari logika Aristoteles. Sisi inilah yang nantinya dimanfaatkan oleh
kalangan ahli dari Eropa dari metode Islam dalam masalah lingkup ilmu
pengetahuan (efsitemologi ilmu). Lalu mereka sepakat mengistilahkannya dengan
metode tajribi (metode observasi dan analisis lapangan).
Metode Ibnu Taimiyah dalam mengeritisi logika filsafat :
71
Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.198
72
Al-Radd ‘Ala al-mathiqiyyin, hal.31.
73
Manahij al-Bahs, hal. 81
74
Lihat : Mui al-Ni’am wamubid al-Niqam Kaya Tajuddin Abdul Wahhab al-Sabki, hal.78, Tahqiq : Muhammad Ali al-
Najjar dll, Maktabah al-Khanji, (Kairo : Dar al-Kutub al-‘Arabi), cet.1, th.1948 M – 1367 H. dan Muqaddimah Ibnu
Khaldun, hal.463-464, Manahij al-Bahs, Ali al-Nasyyar, hal.76
75
Al-Tafkir al-Manthiqi, hal.43
18. Ketika logika dalam filsafat dibangun berdasarkan pada abstraksi dan putusan. Juga
bahwa jalur ilmu melalui jalur abstraksi adalah dengan pengertian, sedang jalur ilmu
dengan putusan adalah analogi, maka Ibnu Taimiyah membangun kritiknnya
berdasasarkan pada 4 kategori. 2 kategori negatif (penafian) dan 2 kategori positif
(penegasan).
Untuk kategori pertama (negatif) :
1. bahwa abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.
2. bahwa putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
Sedang kategori ke-2 (positif) adalah :
1. bahwa pengertian meniscayakan pengetahuan abstraktif
2. bahwa analogi meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Dua kategori pertama (negatif) menafikan semua metode ilmu yang dikembangkan
oleh selain ahli logika dan filsafat dalam rangka mencapai pengetahuan abstraktif
dan putusan. Sedang dua kategori lanjutannya (positif) membatasi cara memperoleh
pengetahuan melalui jalur abstraksi dan putusan hanya dengan dua metode ahli
logika dan filsafat, yaitu : pengertian dan analogi (qiyas).
Tetapi Ibnu Taimiyah mengembangkan kritikannya dalam kitabnya dengan
sistematika berikut :
1. kategori negatif pada sisi pengertian : abstraksi tidak bisa dicapai kecuaali
melalui pengertian.
2. kategori positif pada sisi pengertian : pengertian meniscayakan
pengetahuan abstraktif.
3. kategori negatif pada sisi analogi : putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui
analogi (qiyas).
4. kategori positif pada sisi analogi : analogi meniscayakan pengetahuan
berupa putusan.
Di sini, saya akan menyebutkan contoh kritikan Ibnu Taimiyah berdasarkan kategori
di atas, dengan berusaha menjelaskan sisi solutif yang merupakan solusi islami yang
sedang dikembangkan Ibnu Taimiyah.
19. Contoh kritikan Ibnu Taimiyah terhadap logika Aristoteles :
Pertama : Kritikan terhadap kategori pertama. Yaitu sisi penafian (negatif) pengertian
dalam ilmu logika.
Abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.
Pada kategori ini, Ibnu Taimiyah mengembangkan krtitikannya dalam 11 poin utama.
Di sini, saya akan menyebutkan beberapa poin diantaranya :
1. Tidak bisa diragukan bahwa siapa pun menafikan sesuatu, maka ia harus
mendatangkan bukti, terutama seandainya penafiannya tersebut bukanlah
pada masalah yang nyata. Sama halnya dengan orang yang menegaskan sesuatu
juga harus menunjukkan bukti. Pernyataan yang berbunyi Abstraksi tidak
bisa dicapai kecuali melalui pengertian merupakan penafian yang tidak
nyata. Lalu mana bukti yang mereka tunjukkan ?! Itu merupakan pernyataan
tanpa disertai ilmu yang mendalam. Pernyataan inilah yang mengawali logika
ilmiyah yang mereka bangun. Sedang anggapan mereka bahwa ia merupakan
standar ilmu juga merupakan pernyataan tanpa ilmu.76
2. Bahwa semua masyarakat dari kalangan intelektual dan para penulis, serta
para pekerja dan pengusaha memiliki abstraksi dan persefsi terhadap ilmu dan
pekerjaan yang mereka butuhkan tanpa tergantung kepada pengertian yang
dikembangkan oleh para filosof tersebut. Dengan demikian, diketahuilah
bahwa persfektif dan abstraksi tidaklah tergantung terhadap pengertian yang
dimaksud oleh filosof.77
3. bahwa pengertian – menurut mereka adalah pernyataan yang menunjukkan
makna benda yang dijelaskan- baik orang yang memberikan pengertian
tersebut telah memiliki persfektif dan abstraksi terhadap benda yang
dijelasksan maupun ia mengetahuinya tanpa melalui mekanisme pengertian.
Jika yang dimaksud adalah orang yang memberikan pengertian dan telah
memiliki persfektif dan abstraksi terhadap benda yang dijelaskannya maka itu
mengandung pengulangan atau terjadi rentetan dalam masalah sebab, pada hal
itu tidak bisa diterima oleh orang-orang rasional. (Maksudnya, ilmu yang
hendak diketahui melalui pengertian malahan telah diketahui tanpa
pengertian. Karena sebelum membentuk pengertian seseorang harus memiliki
persfektif dan abstraksi tentang benda yang akan dijelaskan lewat pengertian
tersebut. Pen). Manakala seseorang telah mengetahui sesuatu tanpa
76
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.7
77
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.7 dan kitab : al-Manthiq al-Hadis, karya Mahmud Qasaim, hal.5-6.
20. mekanisme pengertian maka batallah pernyataan dan penegasan mereka yang
berbunyi : Abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.78
Kedua : Kritikan terhadap kategori kedua. Yaitu sisi positif (penegasan) pengertian
dalam ilmu logika.
Pengertian Meniscayakan Pengetahuan Abstraktif.
Pada kateori ini, Ibu Tamiyah mengajukan 9 point untuk mengeritisi pernyataan ini. Di
sini, sebagian kritikan tersebut akan saya tampilkan :
1. Bahwa pengertian adalah murni perkataan orang-orang yang memberikan
pengertian dan hanya merupakan pernyataan pribadi. Manakala ia
mengatakan, pengertian manusia adalah hewan yang berpikir, maka ini adalah
informasi dan merupakan pernyataan yang tanpa disertai dengan bukti. Orang
yang mendengarkan, bisa jadi megetahui kebenaran makna pernyataan
tersebut tanpa melalui penertian tersebut dan bisa jadi tidak. Jika ia
mengetahuinya maka berarti ia tidak memanfaatkan pengertian tersebut untuk
mengetahuinya. Jika ia tidak tahu, dengan hanya mendengarkan informasi
tanpa adanya bukti maka itu tidak memberinya pengetahuan yang meyakinkan.
Bagaimana ia tahu, padahal ia sadar bahwa orang tersebut tidak terbebas dari
kesalahan dalam pernyataannya. Karena dengan hanya pernyataan murni
tanpa disertai bukti merupakan informasi yang mengandung kemungkinan
benar dan kemungkinan salah. Sedang kita sadar bahwa memilih salah satunya
harus dengan bukti, sementara di sini tidak ada bukti apapun.79
2. jika memang pengertian bermanfaat dalam mempersefsikan suatu benda, maka
hal itu tidak bisa terjadi kecuali setelah mengetahui dengan pasti kebenaran
pengertian. Karena uji kebenaran pengertian tersebut merupakan bukti dan
jalur perifikasinya. Merupakan hal mustahil mengetahui benda yang dijelaskan
sebelum mengetahui kebenaran pengertian yang diajukan. Mengetahui
kebenaran pengertian yang diajukan tidak bisa terjadi kecuali setelah
mengetahui benda yang dimaksud. Atau dengan kata lain
mengabstraksikannya dalam pikiran. Sedang mengetahui benda yang
dimaksud tidak bisa kecuali mengetahi pengertiannya. Sehingga kita tidak bisa
mengetahui sebuah benda (abstraksi) dengan hanya mengandalkan pengertian
semata.80
78
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.8
79
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.32
80
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.38-39
21. Solusi islami terkait dengan pengertian menurut Ibnu Taimiyah :
Setelah Ibnu Taimiyah mengajukan kritiknya dalam meruntuhkan pemahaman
pengertian yang dipersefsikan oleh ahli filsafat, maka ia menjelaskan pengertian yang
benar sesuai dengan logika orang-orang Islam dari kalangan teolog mapun dari
kalangan ahli ushul maupun dari kalangan ahli-ahli yang lain. Secara ringkas, solusi
tersebut dirumuskan pada beberapa poin berikut :
1. bahwa pengertian seperti benda-benda, maksud utamanya hanyalah sekedar
untuk membedakan sesuatu dari semisalnya dan tidak sama sekali
dimaksudkan untuk mengetahui hakikat benda-benda tersebut.81
2. bahwa membedakan benda dari semisalnya terjadi melalui penyebutan sifat-
sifatnya yang khusus baginya.82
3. bahwa untuk mengetahui sifat benda yang membedakannya dari yang lain
cukup dengan melalui metode thard dan ‘aks. Sebuah benda ditegaskan dengan
penegasannya dan dinafikan dengan penafiannya.83 Metode thard seperti
pernyataan : setiap ilmu adalah pengetahuan sedang setiap pengetahuan
adalah ilmu. Sedang metode ‘aks sperti pernyataan : semua yang bukan ilmu
juga bukan pengetahuan dan setiap yang bukan pengetahuan juga bukan
merupakan ilmu.
4. pengertian bukanlah masalah pasti dan statis yang tidak bisa berubah. Tetapi
terkadang terjadi perubahan sifat pada pengertian berdasarkan pada
perkembangan zaman sehingga ia berubah berdasarkan pada perubahan yang
terjadi. Satu hal yang telah diterima secara umum oleh kalangan filosof dan
para teolog bahwa sifat (‘ardh) tidak bisa kekal dalam dua waktu. Lalu di
belakang hari pernyataan ini terbukti salah. Suara misalnya bisa ada pada dua
waktu yang berbeda dengan merekamnya pada pita rekaman.
5. bahwa untuk menegaskan sebuah pengertian dibutuhkan bukti, terutama jika
masalahnya tidak nyata. Terkadang sebuah bukti (dalil) berasal dari firman
Tuhan yang terbebas dari kesalahan (ma’sum).84
6. fungsi pengertian hanya sekedar mengingatkan orang-orang yang sedang lupa
agar bisa mepersefsikan kembali sesuatu dalam benaknya. Pengertian tidak
81
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal. 15 dan 79 serta kitab manahi al-Bahs, al-Nasyyar, hal.90.
82
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.309
83
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.17
84
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.358-359
22. berfungsi untuk membentuk persfektif yang sama sekali baru dalam benak
seseorang.85
Ketiga : Kritikan terhadap kategori ke-3. Yaitu, sisi penafian (negatif) pada analogi
logika filsafat.
Putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
Dalam kategori ini, Ibnu Taimiyah berusaha mengajukan kritikannya berdasarkan
pada beberapa prolog dan 6 sisi.86 Beberapa diantaranya akan saya sebutkan di sini :
1. Pernyataan mereka bahwa bahwa putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui
analogi (qiyas) merupakan pernyataan penafian-negatif dan bukan merupakan
hal yang nyata. Karenanya, ia membutuhkan bukti logis; pada hal mereka tidak
memiliki argument kecuali sekedar pengakuan murni. Sehingga ini merupakan
pernyataan tanpa didukung keilmuan yang mapan. Sedang penafian dalam
prinsif mereka tidaklah bisa mengantarkan kepada tarap keyakinan. Bahkan
menurut mereka, hal itu mustahil terjadi. Dari mana mereka berpijak sehingga
menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang dari kalangan bani Adam dapat
mengetahui sesuatu yang berkategori putusan, yang menurut mereka bukan
merupakan hal yang nyata, kecuali melalui perantaraan analogi (qiyas) dalam
logika filsafat ?!.87
2. Ahli logika megakui bahwa putusan terbagi menjadi dua, yaitu logis dan
teoritis. Dan tidak mengkin semua putusan berbentuk teori karena
pengetahuan teoritis membutuhkan pengetahuan mendasar (logis). Jika
demikian halnya, sangat diketahui bahwa perbedaan antara logis dan teoritis
hanyalah masalah nisbi dan berdasarkan pada kategori tertentu. Dengan
demikian ia termasuk masalah nisbi-idhafi. Maka terkadang sebuah
pengetahuan bersifat logis-mendasar bagi seseorang dan bagi orang lain bisa
jadi bersifat teoritis. Sehingga baginya, ilmu tersebut tidak bisa dicapai kecuali
melalui teori, baik teori itu rigkas ataupun panjang dan bertele-tele. Bahkan,
bisa jadi ilmu tersebut tidak bisa ia ketahui melalui seperangkat teori yang
ada.88
3. Bukti demonstratif (burhan/analogi) menurut ahli logika tidaklah memberikan
pengetahuan kecuali pada hal-hal yang bersifat umum. Sangat dimaklumi
85
al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.79
86
al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, catatan kaki no.3, hal.88
87
al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.88
88
al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.88-89.
23. bahwa hal-hal umum tidaklah memiliki realitas kecuali dalam pikiran.
Relaitasnya di dunia nyata tidaklah ada. Realitasnya di dunia nyata (di luar)
tidak lain kecuali berwujud khusus. Di luar sana tidak ada wujud manusia atau
pun kemanusiaan, juga hewan dan kehewanan. Yang ada adalah salah satu
anggota dari istilah umum tersebut di atas, seperti : Muhammad, Thariq, dan
Fatimah. Juga seperti : kuda, keledai atau pun harimau dll.
Dengan demikian, bukti demonstrarif (burhan/analogi) mereka tidak
memberikan pengetahuan tentang wujud yang nyata. kita tidak bisa
mengetahui wujud sesuatu yang nyata dengan perantaraan analogi. Yang dapat
diketahui denga mekanisme analogi ini hanyalah sesuatu yang dianggap ada
dalam benak pikiran semata.89
Keempat : Kritikan terhadap kategori ke-4. Yaitu sisi penegasan (positif) pada
analogi logika filsafat.
Analogi meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Dalam kategori ini, Ibnu Taimiyah maju untuk mengeritisinya dengan beberapa prolog
dan 14 segi, yang akan saya sebutkan beberapa segi di sini :
1. Ibnu Taimiyah senantiasa menegaskan bahwa analogi yang terdiri dari dua
pernyataan –yaitu analogi filsafat- dapat menghasilkan pengetahuan. Ini adalah
pernyataan yang benar dengan sendirinya. Hanya saja manfaat analogi
demikian –setelah mengeluarkan banyak upaya dan jalur yang panjang,
tidaklah banyak. Itu untuk tidak mengatakan bahwa tidak memberi manfaat
sedikit pun sama sekali. Bahkan semua yang bisa diketahui melalui analogi
filsafat sangat bisa diketahui tanpa melalui mekanisme analogi filsafat tersebut.
Semua yang tidak mungkin diketahui melalui mekanisme analogi filsafat sanga
tidak bisa diketahui melalui mekanisme analogi filsafat tersebut, sehingga ia
tidak masuk dalam lingkup analogi mereka : tidak dalam rangka memperoleh
pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya, yang tidak diketahui kecuali
melalui mekanisme analogi filsafat, dan tidak ada kebutuhan padanya untuk
mengetahui hal-hal yang masih majhul. Sehingga a menajdi tidak berpengaruh
dalam menjaring pengetahuan, baik dalam mewujudkan ilmu maupun untuk
menafikannya. Belum lagi jika ditambah dengan beban berat yang dialami oleh
pikiran selama mengikuti alurnya dan waktu yang terbuang percuma serta
banyaknya pernyataan ngawur di dalamnya.90 Inilah makna pernyataan Ibu
Taimiyah dalam masalahlogika filsafat dalam pengantar bukunya, “Saya
89
al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.124-125.
24. senantiasa menyadari bahwa logika Yunani tidaklah dibutuhkan oleh orang-
orang cerdas dan tidak bisa memberikan pengetahuan apa pun kepada orang-
orang bodoh.91
2. Yang diharapkan dari berbagai dalil dan demonstratif (burhan) adalah
penjelasan tentang ilmu dan jalur untuk mendapatkannyanya. Padahal
diketahui dengan baik bahwa analogi filsafat ini tidaklah membantu dalam
menggapai harapan tersebut. Bahkan sangat mungkin ia menjadi faktor
penghalang karena banyaknya jalur yang harus ditempuh dan sangat
membebani pikiran. Seperti halnya orang yang hendak bepergian ke Mekah,
jika ia melwati jalur yang seharusnya, maka ia akan sampai ke tujuan pada
waktu yang sangat singkat dan dengan langkah yang normal. Jika ia ditemani
oleh orang yang mengarahkannya ke jalur yang menyimpang dan jalan yang
berputar maka ia akan merasakan keletihan yang luar biasa setelah ia sampai
tujuan, itu kalau benar-benar ia bisa sampai. Kalau tidak, bisa jadi ia sampai ke
jalur yang tidak diinginkan. Sehingga ia meyakini akidah yang tidak benar
hingga ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dan tidak pula istirahat dari
kelelahan. Karena itulah, dikisahkan dari al-Khunji92 bahwa ia mengatakan
ketika akhir hidupnya, “Saya hampir meninggal, sedang tidak ada yang saya
ketahui kecuali bahwa semua yang mungkin tergantung kepada yang wajib”.
Lalu ia mengatakan, “Ketergantungan merupakan bentuk penafian (negatif),
sehingga saya meniggal dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa”.93
3. Analogi dalam logika filsafat tidaklah menunjukkan sesuatu kecuali yang
sifatnya umum (kulli) yang diasosiasikan dalam benak –hal ini sesuai dengan
pengakuan ahli logika-. Padahal sangat dimaklumi bahwa setiap wujud
memiliki bentuk yang spesifik, yang membedakannya dari wujud lain dan tidak
ada yang bisa meyamainya persis. Sedang analogi dalam logika filsafat tidak
bisa dijadikan landasan argumen terhadap wujud spesifik. Sehingga kita
menyadari bahwa analogi mereka tidak dapat menunjukkan wujud terbesar
90
Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.247-248. Dr. Mahmud Qasim memberikan indikasi bahwa analogi
Aristoteles hanya cocok untuk digunakan dalam rangka untuk memaparkan hal-hal yang telah diketahui
sebelumnya. Tidak ditemukan pengetahuan baru dari analogi filsafat. Bahkan semua yang dianggap sebagai
hasilnya telah terdapat pada salah satu pernyataan yang ada dalam analogi tersebut. Lihat kitab : al-Manthiq al-
Hadis, karya Mahmud Qasim, hal.9 dan 20.
91
al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.3.
92
Dia adalah Afdhaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Namur bin Abdul malik al-Khunji al-Syafi’i. seorang yang
dianggap tamu dan menetap di kota Mesir. Ia menduduki jabatan kehaiman di kota Mesir setelah Izzuddin bin
Abdussalam dicopot dari jabatannya. Al-Khunji adalah seoarang filosof yan bijaksana. Ia memiliki karya tuylisa
dalam bidang kedokteran dan logika filsafat.ia dilahirkan pada tahun 590 H dan meninggal pada tahun 646 H. Lihat :
Husnul Muhadarah fii Tarikh Misr wa al-Qahirah, karya Jalaluddin al-Suyuthi, 541/1, biografi no.15. tahqiq :
Muhammad Abu al-Fadhl Ibraim, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, Isa al-baby al-Halabi, cet.1, th.1967 Masehi 1387 H
di Mesir.
93
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.248-249.
25. sekali pun, sekali pun Dia-lah sesungguhnya Sang Pemberi wujud kepada yang
lain, Dia-lah Allah Swt. Analogi mereka hanya menunjukkan adanya wujud yang
bersifat umum dan mutlak yang tidak bisa sama sekali menolak wujud lain
yang menyerupai-Nya. Lalu apa manfaat sebuah analogi yang tidak dapat
digunakan untuk menunjukkan wujud Yang Maha kuasa ?!94
Solusi islami terkait dengan analogi menurut Ibnu Taimiyah :
Setalah Ibnu Taimiyah meruntuhkan otoritas analogi logika filsafat dan menjelaskan
manfaatnya yang tidak jelas, ia menegaskan jalur ilmu yang benar dan sangat efektif.
Hal tersebut bisa dirangkum pada beberapa poin berikut :
1. Bahwasanya Allah Swt telah menurunkan al-Kitab dan timbangan
(standar/mizan). Al-Kitab yang dimaksud adalah al-Qur’an, sedang timbangan
yang dimaksud adalah analogi logis dan perumpamaan yang dipaparkan (al-
Amtsal al-Madhrubah).
2. Analogi logis digunakan untuk mengenal persamaan hal-hal yang serupa dan
perbedaan hal-hal yang memang berbeda. Diantara ciri utama rasio adalah
mengenal keserupaan dan perbedaan. Manakala ia melihat dua hal yang serupa
maka ia mengetahui bahwa yang satu sama dengan yang lainnya. Lalu
kemudian ia menetapkan satu status hukum untuk keduanya. Inilah yang
disebut sebagai analogi keserupaan (qiyas al-Thard). Jika ia melihat dua hal
yang berbeda dengan secepatnya ia mengeidentifikasi bahwa keduanya
berbeda, lalu mebedakan status hukum untuk keduanya. Inilah yang dikenal
dengan istilah analogi perbedaan (qiyas al-‘Aks).95
3. Jalur untuk mengetahui masalah yang bersifat umum (kulli) adalah pngetahuan
terhadap berbagai wujud (partikular) spesifik. Sehingga pengetahuan yang
efektif adalah peralihan dengan mengguakan rasio dari pengetahuan terhadap
berbagai wujud spesifik menuju ke pengetahuan yang bersifat umum dan
mutlak. Bukan sebaliknya (sebagaimana dalam logika Yunani, Pent.)96 inilah
yang membuat filsafat Aristoteles menjadi mandul, dan tidak bisa
menghasilkan pengetahuan baru. Bahkan semua yang diyakini sebagai hasil
akhir, setelah letih dan menempuh jalan berkelok, Anda akan menemukan hasil
94
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.344, 125, 138, dan 150.
95
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.371.
96
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.113-114.
26. yang diperoleh telah ada pada salah satu pernyataan (mukaddimah) dalam
analogi logika filsafat.97
4. Argumentasi al-Qur’an merupakan bentuk argumentasi yang spesifik ke bentuk
spesifik yang menjadi konsekwensinya atau argumentasi umum ke bentuk
argumentasi umum yang menjadi konsekwensinya. Yang pertama contohnya
seperti terbitnya matahari merupakan pertanda awalnya siang. Sedang yang
kedua seperti berargumen bahwa setiap kali ada siang maka setiap kali itu
pula ada matahari terbit.98
5. Berargumen tentang masalah-masalah ketuhanan harus melalui perantaraan
ayat dan analogi keutamaan (qiyas al-‘Aula) :
Yang dimaksud ayat adalah tanda dan petunjuk. Sedangkan petunjuk
senantiasa menunjuk wujud yang spesifik. Tidaklah mungkin petunjuknya
berupa masalah umum yang menyeluruh yang merangkum hal-hal yang
dikehendaki maupun yang tidak. Tetapi pengetahuan itu sendiri yang
menuntut wujud nyata dari wujud yang ditunjukkannya. Seperti pengetahuan
tentang mukjizat tertentu, menuntut pengetahuan tentang kenabian Rasulullah
Saw. Sama sekali tidak mengharuskan adanya wujud umum yang membuatnya
sama-sama masuk dalam kategori yang sama. Pernyataan seperti ini pula
dikatakan pada ayat-ayat Allah Swt. Bahwa pengetahuan tentang tanda-tanda
Allah Swt tersebut menuntut pengetahuan tentang Dzat-nya yang begitu mulia.
Sama sekali tidak mengharuskan adanya hal yang bersifat umum yang
menghendakinya harus sama-sama masuk dalam kategori yang sama.
Adapun analogi keutamaan, maka ia digunakan pada masalah sifat-sifat Allah
Swt. Karena Allah Swt. tidak mungkin masuk dalam kaegori umum yang
mengindikasikan kesamaan antara semua bagian-bagiannya sebagaimana yang
berlaku pada analogi menyeluruh (qiyas al-Syumul/analogi filsafat). Juga tidak
diserupakan dengan selain-Nya pada suatu kategori yang menyamakan antara
yang asli dengan cabangnya, sebagaimana pada analogi permisalan (qiyas al-
Tamtsil/qiyas Ushuli). Allah Swt tidak ada yang meyerupai-Nya sama sekali.
Yang digunakan untuk membahasnya adalah hanya dengan analogi keutamaan.
Yaitu dengan mengatakan, semua kesempurnaan yang pantas dilekatkan
kepada mahluk, yang tidak mengandung kekurangan sama sekali jika dilihat
dari berbagai sisi, maka Allah Swt pasti yang paling berhak untuk
menyandangnya. Dan semua karakter buruk yang dihindari oleh mahluk maka
Allah Swt lebih pantas untuk dihindarkan darinya.99
97
Lihat : al-Manthiq al-Hadis, Karya : Mahmud Qasim, hal.9 dan 20.
98
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.163-164.
99
Lihat : Syarah al-Thahawiyah, hal.85-86
27. 6. Status Hukum Mempelajari Filsafat Aristoteles.
Dalam masalah ini, biasanya seorang penulis membahas tema ini pada awal
pembahasan tentang ilmu logika filsafat. Saya memandang perlunya ditunda hingga
posisi ini sehingga status hukum tentang mempelajari logika filsafat lahir dari persfektif
yang utuh tentang masalah ini. Karena pada prinsipnya, memberikan status hukum
terhadap sebuah masalah merupakan bentuk lain dari pemahaman dan persfektif yang
mendasarinya.
Masalah yang tidak murni benar dan tidak murni salah, tetapi bercampur aduk antara
yang benar dengan yang salah, status hukumnya, baik dari segi benar salahnya, diterima
tidaknya, boleh tidaknya, wajib atau tidaknya, pada prinsipnya hanyalah tergantung
pada sejauh mana konten yang baik dan yang buruk, serta yang benar maupun yang
salah yang menghiasi semua sendi-sendi pembahasannya. Konten yang mana saja yang
mendominasi maka status hukumnya bisa saja benar atau salah sesuai dengan tuntunan
konten yang ada.
Ilmu logika filsafat, sekali pun mengandung beberapa kebenaran, terutama yang terkait
dengan bentuk-bentuk formalnya (sistematikanya), tidaklah bisa menjadi alasan untuk
mempelajarinya. Tetapi kebatilan yang dimilikinya berlipat ganda dibanding kebenaran
yang ada. Suatu hal yang tidak bisa dipuji karenanya, sebagaimana pernyataan Ibnu
Qutaibah rahimahullah, “Sekalipun di dalamnya terdapat beberapa nilai kebenaran
-maka tentu setiap penulis memiliki sisi kebenaran. Hanya saja di dalamnya terdapat
hal-hal yang salah, sehingga mana kala ia dijadikan standar dalam menilai kebenaran
ilmu agama maka pasti akan merusak stadarisasi kebenarannya.100
Jika hal ini telah dipahami, maka para ahli memandang status hukum untuk
mempelajari ilmu logika filsafat terbagi ke dalam tiga kecenderungan (mazhab), yang
telah dideskripsikan oleh penulis kitab al-Sullam, seperti berikut :
Generasi belakangan terbagi dalam tiga mazhab dalam memandang perlunya
mempelajari filsafat. Ibnu Shalah dan al-Nawawi, keduanya mengharamkan. Sedang
kelompok lain memandang perlu untuk mempelajarinya. Pendapat yang benar dan
populer yaitu bolehnya mempelajari filsafat bagi yang telah kokoh dasar keilmuannya.
Komitmen dengan Sunnah dan al-Qur’an, sehingga ia bisa menemukan kebenaran”.
Ketiga kecenderungan tersebut akan saya paparakan sebagaimana berikut :
A. Pendapat yang memandang bahwa wajib mempelajari logika filsafat.
100
Al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.180.
28. Pendapat ini didukung oleh mereka-mereka yang disebut sebagai filosof Muslim,
seperti : al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dll. Karena, bagi mereka tidak ada
perbedaan antara ilmu logika filsafat dan Islam. Diantara mereka ada yang
berpendapat, “Dalam rangka membela akidah Islam, tidak ada jalan lain kecuali
mempelajari filsafat. Tentunya setelah mensterilkannya dari nuansa filsafat
murni yang menginfeksi beberapa isu-isu yang ada di dalamnya”.101
Mereka ini tidaklah memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan
ummat. Bahkan mereka tekenal di kalangan mayoritas ummat sebagai orang
zindik dan menyimpang. Hingga datanglah al-Ghazali pada abad ke-6, lalu
menulis karya tentang filsafat yang ia campuradukkan dengan ilmu-ilmu
syari’ah102 lalu menjadikannya sebagai syarat bagi dunia intelektual dan
menyebutkan pada pengantar kitab al-Musthasfa bahwa mereka-mereka yang
tidak memiliki intelejensia dalam ilmu filsafat maka kepakarannya tidak bisa
dianggap.103
Lalu kemudian al-Gazali rujuk dari pendapatnya tersebut, sebagaimana
disebutkan sebelumnya. Lalu ia menjelaskan kelemahan ilmu logika dan
menerangkan konsekwensi logis yang bermasalah di dalamnya sekaligus
mencegah orang-orang untuk mempelajari dan menelaahnya. Sehingga dengan
demikian, tidak ada lagi argumentasi kuat yang bisa dijadikan landasan pada
pendapat awalnya. Hanya saja, fitnah keilmuan yang dialami al-Gazali persis
seperti yang terjadi pada kalangan pengikut Asy’ariyah. Abu Hasan al-Asy’ari
sendiri telah kembali kepada pendapat kaum salaf. sementara para pengikutnya
masih tetap berpegang teguh pada pandangan-pandangan awalnya. Mereka
akhirnya tidak mengikuti syekhnya dan tidak pula mengikuti dalil-dalil yang
benar dan telah nyata adanya.
B. Pendapat yang memandang bolehnya mempelajari logika filsafat bagi yang telah
memiliki dasar pengetahuan keagamaan yang kokoh.
Sebagai referentasi pandangan ini adalah Abdul Wahhab al-Subki. Beliau
membolehkan bagi siapa saja yang memiliki penguasaan yang baik terhadap al-
Qur’an dan Sunnah, serta kokoh adalah masalah cabang-cabang fikih yang bisa
diangap sebagai pakar di bidangnya. Jika seseorang telah merasa sampai ke level
ilmiah seperti ini, yang kira-kira ia tidak lagi akan terombang-ambing oleh tiupan
kebatilan dan syubhat yang bisa menjebak serta tidak lagi ikut pada hawa nafsu
101
Lihat : tajdid al-Manthiq, karya al-Shuaidi, hal. 5 dan 6.
102
Lihat bagian awal tulisan makalah ini.
103
Lihat : Muqaddimah kitab al-Musthasfa, vol.1, hal.10. al-Gazali telah diserang oleh sekelompok ulama, seperti
koleganya, Abu Ishak al-Marginani, Abul Wafaa bin Uqail, al-Qusyairi, al-Thurthusi, Ibnu Rusyd, al-Mazri dan
sekelompok ulama terkemuka. Lihat : syarh al-Aqidah al-Isfahaniyah, hal.132.
29. kalangan menyimpang maka ia berhak untuk menelaahnya secara mendalam dan
memanfaatkannya dalam batas-batas yang tidak mencampuradukkan dengan
ilmu-ilmu keislaman. Karena upaya demikian telah menyebabkan terjadinya
masalah seperti yang telah terjadi sebelumnya.104
Lalu apa manfaat mempelajarinya ? lalu kenapa harus melakukan petualangan
ilmiah demikian ? padahal kita sudah mengerti bahwa manfaat yang dimilikinya
kecil untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Belum lagi resikonya yang
begitu mengkhawatirkan.
C. Pendapat yang mengharamkan.
Pendapat inilah yang benar. Inlah pendapat mayoritas intelektual salaf dan
kalangan ahli hadits dan juga intelektual terkemuka dari kalangan cedekiawan
Muslim dari seluruh kalangan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kalangan ulama
masih tetap konsisten mencela ilmu logika para penggemarnya. Mereka
melarang peserta didik untuk menalaahnya dan dekat dengan para ahlinya.
Hingga saya menemukan kalangan ahli belakangan mengeluarkan fatwa yang
mengkompilasi tulisan kalangan intelektual zamannya dari kalangan
cendekiawan kelompok syafi’iyah, kelompok hanafiyah dll, yang mengandung
pendapat yang luar biasa mengharamkannya dan menyiapkan sanksi bagi para
pemerhatinya”.105
Ibnu Shalah mengatakan, “Saya mendengar Syekh Ibnu Imad bin Yunus
menceritakan dari Yusuf al-Dimasyqi, seorang dosen universitas Nizhamiyah di
Bagdad dan beliau termasuk cendekiawan terkenal, bahwasanya beliau
mengingakari pendapat yang menyatakan tentang wajibnya mempelajari filsafat
dan mengatakan, “Abu Bakar dan Umar dan lain-lain. Mereka semua adalah
orang-orang yang besar sekali tingkat keimanan mereka, tetapi mereka sama
sekali tidak pernah mengkaji perangkat-perangkat ilmu logika dan sistematika
kajiannya”106
Fatwa Ibnu Shalah yang mengharamkan ilmu logika filsafat sangatlah terkenal.
Beliau pernah ditanya tentang ilmu logika filsafat dan orang-orang yang
mempelajarinya dan apakah filsafat termasuk ilmu yang dibolehkan untuk
dipelejari dalam ilmu syari’ah ? apakah ada fakta dari kalangan sahabat, tabi’in
dan imam-imam yang telah mencapai derajat mujtahid yang menjelaskan
kebolehannya dan bahwa mereka terlibat dalam hal ini ? Apa boleh
menggunakan istilah-istilah filsafat dalam rangka menegaskan hukum-hukum
104
Lihat : Muid al-Ni’am, karya Abdul Wahhab al-Subki, hal. 78.
105
Naqd al-Manthiq, hal. 156.
106
Lihat : Fatawa Ibnu Shalah, hal. 34.
30. syari’ah atau tidak ?... hingga bagian akhir fatwa tersebut.107 Lalu beliau
menjawab, yang versi ringkasnya, “Filsafat adalah dasar bagi semua kebodohan
dan penyimpangan, merupakan kesesatan dan bentuk kebingungan….lalu beliau
mencelanya habis-habisan….lalu mengatakan, “Ilmu logika adalah pengantar
ilmu filsafat. Pengantar bahaya adalah bahaya. Terlibat dalam mempelajari dan
mengajarkannya tidak termasuk kategori ilmu yang dibolehkan oleh syari’ah.
Juga tidak dibenarkan oleh seorang pun dari kalangan sahabat, tabi’in, imam
mujtahid, salafusshaleh dan semua panutan yang dikuti oleh mayoritas ummat”.
Lalu beliau menjelaskan bahwa menggunakan istilah-istilah filsafat pada
pembahasan ilmu-ilmu syari’ah termasuk hal-hal baru dan bentuk kemungkaran
yang menjijikkan. Hukum-hukum syari’ah, al-Hamdulillah, sama sekali tidak
membutuhkan filsafat. ….hingga titik akhir jawaban beliau.108
Lalu apakah kita akan mengatakan boleh bagi orang-orang yang telah mapan
dalam ilmu keagamaan, setelah penejelasan di atas. Apalagi membolehkannya
secara mutlak tentu tidak bisa. apalagi mewajibkannya bagi setiap orang (fardhu
ain) atau bagi seseorang dari masing-masing komunitas (fard kifayah)..
Subhanallah. Itu merupakan bentuk kebohongan yang sangat nyata !
Hanya saja, bisa kita berpendapat bahwa boleh saja menginformasikan untuk
sekedar menjelaskan kelemahan-kelemahannya, menegaskan kesalahannya dan
manfaatnya yang tidak signifikan. Dalam hal ini, sama halnya seperti hadis-hadis
palsu yang disebutkan keberadannya untuk menegaskan kepalsuan dan
kesalahannya.109
107
Ibid.
108
Lihat : Fatawa Ibnu Shalah, hal. 35.
109
Sungguh sangat tepat langakah Jurusan Usuluddin di Riyadh manakala menetapkan studi filsafat klasik lalu
melanjutkannya dengan studi kritis yang wujudnya ada pada filsafat modern yang telah dikembangkan oleh Syaikh
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.