SlideShare a Scribd company logo
1 of 384
ETIKA SUFI
         Studi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî


                          Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Sebagian Syarat
                  Guna Memperoleh Gelar
               Doktor dalam Ilmu Agama Islam



                           Oleh:
                    Mukhlisin Sa’ad
                 NIM: 94.3.00.1.09.01.0030


                         Promotor:
                     Dr. Said Aqil Siroj
               Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer


                          Penguji:
          Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA.
            Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA.
                       Dr. V. Irmayanti




             SEKOLAH PASCASARJANA
          UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
              SYARIF HIDAYATULLAH
                     JAKARTA
                  2008 M. / 1429 H.
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
ABSTRAK DISERTASI .....................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
    A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................7
    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
    D. Metodologi Penelitian ............................................................................. 9
    F. Tinjauan Pustaka .....................................................................................14
    F. Sistematika Penulisan..............................................................................19
BAB II KERANGKA TEORITIS ETIKA.............................................................21
    A. Pengertian Etika.......................................................................................21
    B. Nilai Umum dan Nilai Etika....................................................................25
    C. Pembagian Etika .....................................................................................30
    D. Etika dalam Islam .................................................................................. 36
BAB III PEMIKIRAN ETIKA IBN AL-‘ARABÎ.................................................48
    A. Ibn al-‘Arabî dan Etika............................................................................48
    B. Problematika Etika dalam Wahdat al-Wujûd .........................................68
    C. Manusia, Daya dan Kesempurnaannya .................................................78
    D. Hakikat Perbuatan Manusia ..................................................................100
    E. Kebebasan dan Tanggung Jawab ..........................................................114
    F. Hak dan Kewajiban ...............................................................................123
    G. Baik (al-Khayr) dan Buruk (al-Syarr) ................................................. 126
    H. Akhlak dan Adab ..................................................................................136
    I. Akhlak Mulia dan Tercela (Makârim al-Akhlâq wa Safsâfuhâ ) ............151
    J. Kebahagiaan (al-Sa’âdah) dan Kesengsaraan (al-Syaqâ’) ....................158
    K. Keadilan (al- ‘Adl) ................................................................................166
    L. Cinta (al-Mahabbah) ............................................................................ 168
    M. Persahabatan (al-Suhbah) .................................................................... 177
BAB IV KONTRIBUSI DAN RELEVANSI PEMIKIRAN ETIKA IBN AL-
       ‘ARABÎ ......................... ..................................................................... 182
    A. Kontribusi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî ........................................... 182
    B. Relevansi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî dengan Dunia Modern ........ 223



                                                     xiii
BAB V PENUTUP.............................................................................................. 230
    A. Kesimpulan .......................................................................................... 230
    B. Rekomendasi......................................................................................... 235
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 238
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................
RIWAYAT HIDUP PENULIS ...........................................................................




                                                  xiv
KATA PENGANTAR


       Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‘ala
yang telah memberikan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan
disertasi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad saw., pembawa pelita dan rahmat bagi sekalian alam.

       Disertasi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar
doktor di bidang agama Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara garis besarnya disertasi ini
membicarakan tentang pemikiran etika sufi Ibn al-‘Arabî dan relevansinya dengan
kondisi masa kini.

       Dalam penulisan disertasi ini, penulis banyak menghadapi kendala,
terutama yang berkenaan dengan karya-karya tulisnya dan karya-karya tulis para
penulis lain mengenainya. Namun demikian, penulis berupaya semaksimal
mungkin dan, alhamdulillah, tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan. Penyelesaian
penulisan disertasi ini adalah berkat bantuan berbagai pihak.

       Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya secara khusus kepada:
   1. Bapak Dr. Said Aqil Siroj sebagai pembimbing ke-1,
   2. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer sebagai pembimbing ke-2,
   3. Departemen Agama Republik Indonesia yang telah memberikan dana
       beasiswa sejak penulis duduk di bangku kuliah S2 hingga S3 di Program
       Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
   4. Dosen-dosen penguji, Direktur beserta stafnya, terutama staf perpustakaan,
       para dosen serta rekan-rekan peserta Sekolah Pascasarjana Universitas
       Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta,
   5. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
       yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk melanjutkan studi,
serta rekan-rekan dosen dan para karyawan di lingkungan IAIN Sunan
      Ampel Surabaya,
   6. Rektor IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang memberikan peluang
      bagi saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta
      rekan-rekan dosen dan karyawan di lingkungan IAI Nurul Jadid Paiton
      Probolinggo.
   7. Ayahanda H. Ahmad Sa’ad Baidaie yang selalu memberikan dorongan
      moril untuk terus mengejar ilmu di manapun adanya,
   8. Hj. Zulfa Badri, istri tercinta yang senantiasa sabar menemani dan
      memberikan support di sela-sela waktunya mengasuh dengan kasih para
      siswi Pondok Pesantren al-Mashduqiah Patokan Kraksaan Probolinggo
      serta membimbing dengan tekun keempat putra-putri kami,
   9. Rekan-rekan dan semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan
      satu persatu di sini, yang telah membantu hingga penulisan disertasi ini
      dapat diselesaikan dengan sukses.

      Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan penelitian ini. Mudah-mudahan disertasi ini dapat menambah
khazanah pengetahuan, khususnya di bidang filsafat dan tasawuf Islam serta
khazanah ilmu-ilmu keislaman pada umumnya. Amin.


                                          Probolinggo, 8 Mei 2008


                                          Mukhlisin Sa’ad
BAB I
                                 PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

             Etika seperti halnya ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya bersumber dari
   ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an mendasarkan sistem keagamaan pada prinsip-
   prinsip etis, karenanya tidak banyak perbedaan antara Islam dan etika Islam. Di
   dalam Islam hukum-hukum perdata dan pidana serta ajaran moral 1 tidak dapat
   dipisahkan secara ketat satu dengan yang lainnya dan tidak mungkin disebut
   sebagai sebuah sistem atau ilmu yang terpisah.

             Kaum muslim mulai belajar akhlak bersamaan dengan belajar Al-
   Qur’an. Bimbingan-bimbingan etis Al-Qur’an ditemukan dalam banyak ayat
   Al-Qur’an. Sedikit saja di antaranya adalah: “Tidak ada balasan kebaikan
   kecuali kebaikan pula;”2 “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
   karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
   tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya;”3 “dan
   orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
   lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan (pembelanjaan) itu ada di tengah-tengah
   antara yang demikian;”4 ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
   dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang




        1
          Kata “moral” secara etimologis sama artinya dengan kata “etika”, sekalipun bahasa
asalnya berbeda. Kata “moral” berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Sedangkan asal kata “etika” dari bahasa Yunani ethikos atau ethos, yang memiliki
banyak arti: adat, kebiasaan; tempat yang biasa, padang rumput, kandang; akhlak, watak; perasaan,
sikap, dan cara berpikir. Lihat K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 4.
Sedangkan istilah ajaran moral menunjuk pada sekumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
        2
          Al-Qur’an, s. al-Rahmân/55:60. Selanjutnya disebut Q.s. Teks ayat-ayat Al-Qur’an
dituliskan dalam lampiran.
        3
          Q.s. al-Nisâ’/4:36.
        4
          Q.s. al-Furqân/25:67.
2


perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan;”5 “(Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang; Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan;”6 “dan orang-orang yang
memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri–istri mereka atau budak–
budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. Barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah oran-orang yang
melampaui batas;7 “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan oleh (Allah);”8 “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan pandangan, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang mereka perbuat’;”9 “Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa;”10 “Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih–lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan;”11 “Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua
saudaramu;” 12 “Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya;”13 “Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-


  5
    Q.s. al-Nahl/16:90.
  6
    Q.s. Âl ‘Imrân/3:134.
  7
    Q.s. al-Ma‘ârij/70:29-31.
  8
    Q.s. Luqmân/31:17.
  9
    Q.s. al-Nûr/24:30.
  10
     Q.s. al-Mâidah/5:8.
  11
     Q.s. al-A‘râf/7:31.
  12
     Q.s. al-Dukhân/44:10.
  13
     Q.s. al-Dukhân/44:9.
3


   saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Dan
   jika kamu berpaling dari mereka untuk meperoleh rahmat dari Tuhanmu yang
   kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan
   janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
   kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
   menyesal.”14 Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan perintah-
   perintah semacam di atas yang menggambarkan bahwa terdapat karakter etis
   yang cukup jelas di dalam Al-Qur’an.

             Ajaran moral di dalam Islam sebagaimana dituangkan dalam Al-
   Qur’an dimaksudkan agar menjadi pedoman dan bimbingan dalam prilaku
   praktis dalam kehidupan seorang muslim. Ajaran tersebut telah diberikan
   contoh konkrit melalui kehidupan Rasulullah. Al-Qur’an memuji Nabi dengan
   penekanan pada akhlaknya yang luhur, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
   berbudi pekerti yang agung.15 Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku diutus
   untuk meyempurnakan akhlak yang mulia.”16 Dijelaskan pula di dalam sebuah
   hadits bahwa ketika ‘Aisyah—istri Nabi—ditanya oleh seorang sahabat tentang
   akhlak nabi, ‘Aisyah menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an.17 Ini
   membawa arti bahwa seluruh kehidupan Nabi menggambarkan seluruh pesan
   moral Al-Qur’an dalam bentuk perbuatan dan prilaku praktis. Selain
   memberikan keteladanan moral yang tiada duanya, banyak pula sabda-sabda
   beliau yang menerangkan sisi-sisi moral yang amat berguna dalam
   mengarahkan kehidupan seorang muslim.

             Meskipun prinsip-prinsip fundamental akhlak telah dijelaskan dalam
   Al-Qur’an dan hadits, namun etika sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru
   mendapatkan bentuknya setelah pengaruh pemikiran dari luar mulai masuk ke
   tengah–tengah pemikiran muslim. Jika dirunut dari awal pertumbuhannya,

      14
         Q.s. al-Isrâ’/17:26-29.
      15
         Q.s. al-Qalam/68:4.
      16
         H.R. Ahmad, Baihaqî, dan al-Hâkim. Lihat Ibn al-‘Arabî, Kunh mâ lâ Budd li al-Murîd
minh (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, 1987), h. 18, catatan no. 2.
      17
         Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), vol. 6, h. 188.
4


   etika dalam Islam ditemukan dalam sumber yang luas dan merentang mulai
   dari tafsir Al-Qur’an hingga kalâm, dari komentator filosofis atas Aristoteles
   hingga teks sufi. Perkembangan etika dalam Islam dapat disajikan dalam
   bentuk tinjauan historis, atau dibagi berdasarkan tipologi teorinya.

           Dalam klasifikasi versi Majid Fakhri, etika Islam dibagi menjadi empat
   tipe: moralitas skriptural, etika teologis, etika filosofis, dan etika religius. Ada
                                                                                  18


   satu tipe lagi, yaitu etika sufi, yang secara sengaja tidak ditempatkan sebagai
   sebuah tipe etika tersendiri, mengingat beberapa teorinya sudah masuk ke
   dalam atau ikut membentuk moralitas religius. Tetapi di dalam penelitian ini,
   yang memfokuskan pada pembahasan pemikiran etika seorang sufi, jenis etika
   ini secara tegas dan dengan maksud membedakannya dengan tipe etika lainnya
   diberi nama ‘etika sufi’. Teori-teori etika sufi berakar pada pengalaman
   ruhaniah dan konsepsi keagamaan para sufi. Dengan asumsi bahwa ajaran
   kaum sufi juga memberikan implikasi etis dan mempunyai signifikansi moral,
   maka etika yang berkembang di lingkungan para sufi mempunyai tipologi
   tersendiri yang perlu digali lebih jauh lagi.

              Tidak banyak—untuk tidak menyebut tidak ada—karya serius yang
   digarap oleh para sarjana untuk menjelaskan secara metodologis teori-teori
   moral yang berlandaskan pada doktrin-doktrin sufi. Sepanjang yang penulis
   temukan, al-Ghazâlî adalah tokoh yang pemikiran-pemikirannya di bidang
   akhlak dikaji dengan serius oleh para sarjana. Adalah Dr. Zaki Mubarak yang
   pertama kali melakukan rekonstruksi terhadap filsafat moral al-Ghazâlî. Dia
   menulis buku berjudul Al-Akhlâk ‘ind Al-Ghazâlî . Sebuah kajian yang
   sistematis dan luas terhadap etika al-Ghazâlî dilakukan oleh M. Umaruddin
   sebagaimana dituangkan dalam karyanya, The Ethical Philosophy of Al-
   Ghazâlî. Beberapa karya yang disebutkan di atas dapat dimasukkan dalam


      18
          Lihat Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden : E.J. Brill, 1991) h. 6-7;
bandingkan M. Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazzali (Delhi: Adam Publisher&
Distributors, 1996), h. 31-65.
5


   kategori kajian Etika Sufi, hanya apabila Al-Ghazâlî dalam pemikiran
   moralnya dimasukkan kepada golongan sufi. Dengan demikian, sejauh
   pengetahuan penulis, belum ada karya serius yang ditulis oleh sarjana
   keislaman dengan memfokuskan pada penelitian Etika Sufi.

            Fakta inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian
   dalam bidang Etika Sufi. Dalam hal ini tokoh sufi yang akan dikaji pemikiran,
   teori, dan sistem etikanya adalah Ibn al-‘Arabî. Sufi ini amat layak diteliti
   pemikiran moralnya karena beberapa alasan berikut. Pertama, sudah
   merupakan anggapan umum bahwa ajaran tasawuf yang bercorak unitarian, di
   mana makhluk dipandang identik dengan Khâliq, cenderung mengabaikan
   hukum-hukum keagamaan. Ajaran semacam ini dipandang antinomian dan
   tidak mengindahkan moralitas. Anggapan yang simplistis ini perlu dikaji ulang
   sejauh mana memiliki kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Penelitian
   ini akan melihat absah tidaknya pendapat bahwa tasawuf yang didasarkan pada
   doktrin wahdat al-wujûd cenderung eksesif. Kedua, ajaran wahdat al-wujûd
   yang dirumuskan dengan baik dan cerdas oleh Ibn al-‘Arabî oleh sebagian
   kalangan dipandang dengan sendirinya tidak memiliki implikasi moral dengan
   mana manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya.
   Moralitas menjadi sesuatu yang absurd dan tidak bisa dimengerti jika dikaitkan
   dengan doktrin wahdat al-wujûd. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji
   apakah ada implikasi moral dalam ajaran-ajaran Ibn al-‘Arabî dan
   membuktikan bagaimana implikasi moral tersebut dimungkinkan dalam
   doktrin wahdat al-wujûd. Ketiga, memang telah banyak ditulis karya–karya
   tentang Ibn al-‘Arabî, tetapi belum ada satu pun—menurut pengetahuan
   terbatas penulis—karya khusus yang mengkaji pemikiran etika Ibn al-‘Arabî.

            Karya A.E. Affifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Dîn Ibnul
   ‘Arabî,19 yang dianggap merupakan sumbangan sangat berharga untuk


       19
          A.E.Affifi, A Mystical Philosophy of Muhyîddin ibn ‘Arabi (Cambridge: University
Press, 1939).
6


   mempelajari       pemikiran      Ibn    al-‘Arabî     secara    komprehensif,       hanya
   menyinggung sedikit etika Ibn al-‘Arabî dalam bagian keempat bab “Ethics
   and Theodicy.” Pada waktu digelar peringatan 8 abad kelahiran Ibn al-‘Arabî,
   Taufîq al-Tawîl menyumbangkan tulisan pendek yang membahas pemikiran
   moral Ibn al-‘Arabî dengan judul “Falsafat al-Akhlâq al-Shûfiyyah ‘ind Ibn
   ‘Arabî”. 20 Tulisan ini membahas beberapa aspek pemikiran moral Ibn al-‘Arabî
   dengan ulasan yang singkat dan karenanya masih memerlukan elaborasi lebih
   dalam. William C. Chittick dalam karyanya Imaginal Worlds: Ibn al-Arabi and
   the Problem of Religious Diversity 21 memberikan ulasan yang pendek tentang
   pemikiran moral Ibnu al-Arabi dalam bagian pertama Bab 3 “Ethics and
   Antinomianism.” Di dalam Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan
   Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî 22 karya Yunasril Ali, ada pembahasan walau
   sedikit mengenai kedudukan norma, etika, dan teodisi dalam konsep Insan
   Kamil menurut Ibn al-‘Arabî.

             Apa yang akan disorot dalam penelitian ini adalah keseluruhan
   pemikiran Ibn al-‘Arabi dalam etika sehingga bisa dilihat secara utuh konsep-
   konsep moral yang ditegakkan oleh Ibn al-‘Arabî di bawah sinaran doktrin-
   doktrin sufinya. Dalam penelitian ini dipertanyakan bagaimana ranah standar
   etika dan moral akan memiliki tempat dalam konsep wahdat al-wujûd.
   Selebihnya permasalahan ini tampaknya memiliki relevansi dengan masa-masa
   sekarang, ketika berbagai keterbatasan moral tradisional tidak mendapatkan
   tempat khusus dalam berbagai bentuk spritualitas yang memainkan peran nyata
   dalam masyarakat modern dan post-modern. Dalam filsafat mistis Ibn al-‘Arabî
   tersimpan kemungkinan menghadirkan konsep-konsep moral yang bisa



      20
           Wazârah al-Tsaqâfah, al-Kitâb al-Tidzkârî: Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fi al-Dzikrâ al-
Mi’awiyyah al-Tsaminah limîlâldih (Kairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1969), h. 155-181.
        21
           William C. Chittick, Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabî and the Problem of Religious
Diversity (Albany: SUNY Press, 1994).
        22
           Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil ibn‘Arabî oleh
al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997).
7


  ditawarkan untuk menjadi solusi bagi berbagai problema moral yang dihadapi
  manusia zaman kini.


B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

          Dari latar belakang yang dipaparkan di muka dapat dinyatakan bahwa
  belum banyak kajian sistematis tentang Etika Sufi sebagaimana yang dilakukan
  pada sistem etika lainnya. Sejalan dengan bangkitnya spiritualitas dalam
  kehidupan manusia zaman modern, yang merasa tidak puas dengan hasil-hasil
  pengembangan     ilmu    pengetahuan    dan    teknologi   karena    dipandang
  menimbulkan marginalisasi dan alienasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang
  universal, Etika Sufi bisa menjadi sistem moral alternatif untuk mengarahkan
  spiritualitas menjadi sesuatu yang positif bagi umat manusia.

          Ibn al-‘Arabî yang dikenal sebagai guru Sufi yang pengaruh
  pemikirannya melintasi ruang dan waktu layak sekali dikaji lebih mendalam
  signifikansi dan implikasi moral dari pemikirannya yang berintikan paham
  wahdat al-wujûd (kesatuan wujud). Mengingat paham ini bila dikaitkan dengan
  tindakan moral manusia dapat mengesankan bahwa tanggung jawab moral
  pada sisi manusia merupakan hal yang absurd, karena paham ini menegaskan
  transendensi dan imanensi Tuhan secara serentak.

          Sebagai orang     yang sangat produktif, Ibn al-‘Arabî mempunyai
  pemikiran yang sangat luas dan meliputi berbagai bidang pengetahuan. Agar
  supaya penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî tetap terarah, maka
  masalahnya dibatasi pada: Pertama, problema etika dalam teori wahdat al-
  wujûd, serta daya-daya dan kesempurnaan manusia sebagaimana dikonsepsikan
  oleh Ibn al-‘Arabî. Kedua, problem-problem moral dalam pemikiran etika Ibn
  al-‘Arabî, mencakup masalah-masalah: hakikat perbuatan manusia, kebebasan
  dan tanggung jawab manusia dan kaitannya dengan al-qadhâ' dan al-qadar
  serta al-jabr dan al-ikhtiyâr, al-khayr (baik) dan al-syarr (buruk), al-sa‘adah
  (kebahagiaan) dan al-syaqâ' (kesengsaraan), keadilan (al-‘adl), cinta (al-
8


  mahabbah), dan persahabatan (al-suhbah). Perlu dijelaskan di sini bahwa
  masalah keadilan (al-‘adl), cinta (al-mahabbah), dan persahabatan (al-suhbah)
  layak diberikan bahasan mengingat etika sufi yang berlandaskan pada teori
  wahdat al-wujûd memberikan penekanan yang kuat pada perlunya harmoni dan
  keselarasan dalam kehidupan bersama di mana semuanya dipandang berasal
  dari dan kembali kepada Tuhan. Ketiga, relevansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
  dengan beberapa problema moral dalam zaman global sekarang dan kontribusi
  pemikirannya dalam empat etika terapan: etika keilmuan, etika dakwah, etika
  lingkungan hidup, dan etika kerukunan.

          Berdasarkan pembatasan masalah sebagaimana dipaparkan di atas
  maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

          Pertama, benarkah bahwa etika yang dibangun atas prinsip-prinsip
  teori wahdat al-wujûd sebagaimana digagas Ibn al-‘Arabî cenderung
  antinomian, eksesif dan mengabaikan syariah serta berlawanan dengan
  tanggung jawab moral manusia?

          Kedua, apa pandangan Ibn al-Arabî tentang masalah-masalah moral:
  takdir Tuhan, kebebasan dan tanggung jawab manusia, kebaikan dan
  keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, keadilan, cinta, dan persahabatan?

          Ketiga, apakah pemikiran etika Ibn al-‘Arabî mempunyai relevansi
  dengan problematika moral kekinian dan bagaimana relevansi itu bisa
  dijelaskan dan diterima serta sejauh mana pemikiran moral Ibn al-‘Arabî dapat
  dikontribusikan bagi beberapa etika terapan?


C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

          Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Di
  antaranya: Pertama, menjelaskan pemikiran etika Ibn al-‘Arabî yang
  disimpulkan dari doktrin-doktrin mistiknya, khususnya konsep wahdat al-
  wujûd, sebagaimana termaktub dalam banyak karyanya sehingga dapat
  dipahami bahwa etika sufi Ibn al-‘Arabî tidak tergolong antinomian, eksesif,
9


  dan berlawanan dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Kedua,
  menelaah pandangan Ibn al-‘Arabî tentang tema-tema moral tertentu
  sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah. Ketiga, mengetahui sejauh
  mana pemikiran etika Ibn al-‘Arabî memiliki signifikansi, relevansi dan
  kontribusi dalam perkembangan moral di masa kini.

          Karya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti
  berikut: Pertama, memberikan uraian yang lengkap dan tajam tentang
  pemikiran Ibn al-‘Arabî dalam bidang moral dan etika. Kedua, memberikan
  informasi tentang signifikansi dan relevansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
  dengan problematika moral dalam zaman modern. Ketiga, menyumbangkan
  pemikiran alternatif dalam pemecahan masalah krisis moral dan spiritual yang
  dialami oleh manusia di abad kini.


D. Metodologi Penelitian

          Dalam sub-bab ini akan diuraikan secara terperinci bagaimana dan
  melalui pendekatan apa penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî akan
  dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting karena kekeliruan dalam
  menentukan pendekatan dan metode penelitian akan berakibat pada
  terganggunya validitas penelitian, sehingga kebenaran hasil penelitian tidak
  dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Juga akan dipaparkan mengenai
  obyek dan jenis penelitian. Di samping itu akan dibahas pula sumber-sumber
  data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.

  1. Obyek dan Jenis Penelitian

             Obyek penelitian ini adalah pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, seorang
    sufi besar yang gagasan-gagasannya mempengaruhi para sufi yang datang
    berikutnya, baik di belahan barat maupun timur Islam. Hingga saat ini pun
    banyak sarjana, di antaranya William C. Chittick, yang memusatkan
    studinya terhadap ide-ide Ibn al-‘Arabî. Penelitian ini memfokuskan pada
    ide-ide tokoh yang diteliti tanpa mengaitkan dengan riwayat kehidupan
10


      tokoh di mana setting sosial pada umumnya sangat berpengaruh dalam
      membentuk prilaku maupun pemikiran sang tokoh. Sebenarnya dalam
      penelitian keagamaan ada satu bentuk penelitian tentang tokoh agama
      dengan mengungkapkan masalah tentang kehidupan dan pemikirannya.23
      Tetapi sekali lagi penelitian ini membatasi obyeknya hanya pada pemikiran-
      pemikiran dan ide-idenya dalam bidang etika.

                 Untuk sampai pada persoalan pokok ini maka pengumpulan data
      dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan (library reseach) dan
      analisis isi (content analysis) secara kritis terhadap karya-karyanya. Sebagai
      penelitian perpustakaan, penelitian ini dapat dikategorikan dalam penelitian
      kualitatif, di mana data-data dikumpulkan dengan menggunakan teknik
      dokumentasi, yaitu pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara
      mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang berupa dokumen dalam bentuk
      buku-buku dan dalam bentuk yang lain.24 Sumber-sumber tertulis itu terbagi
      dua: sumber data primer dan sumber data skunder. 25 Kedua macam sumber
      itu sama-sama digunakan dalam penelitian, termasuk data sekunder
      tambahan yang membahas tentang etika dan mempunyai relevansi dengan
      obyek penelitian ini.

   2. Pendekatan dan Metode Penelitian

               Kajian terhadap pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dalam penelitian ini
      menggunakan pendekatan filosofis. Pendekatan semacam ini dimaksudkan
      agar terdapat persamaan alur pemikiran antara obyek yang diteliti dan
      pendekatan yang dilakukan. Dalam proses ini digunakan pendekatan yang


      23
          M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), cet ke-2, h. 14.
       24
          Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1998), h. 159-60. Bandingkan Imran Arifin (ed), Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keagamaan (Malang: Kalimasahada Press, 1996), h. 4.
       25
          Sumber data primer adalah karya-karya tulis pribadi tokoh yang diteliti. Sedangkan
karya-karya yang ditulis orang lain tentang tokoh yang diteliti termasuk sumber data sekunder.
Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2002), h. 63.
11


      bersifat mendasar, menyeluruh, dan spekulatif, karena ketiga sifat ini
      merupakan karakteristik berpikir filosofis.26 Dalam bagian-bagian tertentu
      penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosial historis (s
                                                                  ocial historical
      approach), yaitu suatu pendekatan penelitian yang memperhatikan konteks
      sosial dan sejarah. Setting sosial dan sudut pandang sejarah digunakan
      sebagai dasar pendekatan dalam memahami pemikiran Ibn al-‘Arabî tentang
      masalah-masalah etika.

               Sebagai studi kepustakaan yang seluruh substansinya memerlukan
      olahan filosofis dan terkait pada pemikiran dan ide, metode yang digunakan
      dalam penelitian ini adalah metode historis dan deskriptif. Dalam penelitian
      ini metode historis dijalankan dengan menghimpun data yang kemudian
                                                          27
      diolah melalui penilaian, penyusunan dan penyimpulan. Dengan demikian
      metode ini digunakan untuk memahami teks yang diambil dari sumber
      pustaka primer, berupa buku-buku dan risalah-risalah yang merupakan hasil
      karya Ibn al-‘Arabî. Lebih dari itu, tentunya bukan hanya sekedar
      memahami, menjelaskan dan menafsirkan, melainkan pula diharapkan ada
      aktivitas merekonstruksi dan mereproduksi makna yang terkandung di
      dalam teks yang berupa data itu.

   3. Sumber Data

               Sumber data primer penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
      meliputi karya-karyanya yang membahas masalah pokok-pokok ajarannya
      dalam berbagai bidang yang luas, yang sebagian dan beberapa di antaranya,
      secara langsung maupun tidak langsung, secara khusus maupun umum,
      mendiskusikan masalah–masalah yang berkenaan dengan etika.

               Karyanya yang terpenting adalah Al-Futûhât al-Makkîyah dan Fusûs
      al-Hikam. Kedua karya ini memberikan informasi dan data terbesar dalam



      26
         Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988), h. 20-22.
12


       penelitian ini, tentu saja di samping karya-karyanya yang lain yang tidak
       mungkin diabaikan sebagai sumber data primer. Di antaranya Kunhu mâ Lâ
       Budda minhu Li al-Murîd, Risâlah Rûh al-Quds, Tafsîr Al-Qur’an al-Karîm,
       al-Tâdbîrât al-Ilâhîyah fî Ishlâh al-Mamlakah al-Insânîyah , dan lainnya.28
       Sumber data sekunder meliputi karya-karya ilmuwan lain yang membahas
       ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran Ibn al-‘Arabî sejauh memiliki
       relevansi dengan obyek penelitian.

   4. Analisis Data

                Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa analisis data merupakan proses
       menyusun dan mengkategorikan data, mencari pola atau tema dengan
       maksud untuk memahami maknanya.29 Dalam penelitian ini analisis data
       bekerja sebagai sebuah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik
       bahan-bahan yang dikumpulkan untuk menemukan pemahaman yang benar
       terhadap pemikiran etika Ibn al-‘Arabî. Hasil analisis itu kemudian
       diungkapkan kepada orang lain dalam bentuk tulisan.

                Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sepanjang penelitian
       berlangsung, bukan hanya sesudah selesainya pengumpulan data, melainkan
       sejak pengumpulan bahan-bahan. Karena itu kegiatan analisis data selama
       pengumpulan data meliputi: (a) menetapkan fokus penelitian, apakah tetap
       sebagaimana yang telah direncanakan atau perlu diubah; (b) penyusunan

       27
           Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik (Bandung:
Tarsito, 1975), h. 126-129.
        28
           Ada satu risalah pendek tentang akhlak yang dinisbatkan kepada Ibn al-‘Arabî, seperti
yang diterbitkan oleh Muhyi al-Din Shabrî al-Kurdî pada 1328 H dalam sebuah kumpulan risalah
karangan Ibn al-‘Arabî, al-Ghazâlî, Ibn Sînâ, dan lainnya. Juga diterbitkan oleh penerbit lain dalam
sebuah buku tersendiri. Menurut penelitian Muhammad Yûsuf Mûsa, sebenarnya risalah ini bukan
karya Ibn al-‘Arabî, bukan pula karya al-Jâhizh yang sering pula dicantumkan sebagai
pengarangnya. Risalah ini sebenarnya karangan Yahyâ bin ‘Âdî al-Ya’qûbî, wafat 363 H. Lihat
Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq, h. 272-3.
        29
           Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Karya, 1989), h. 4-8.
Sedangkan Bogdan dan Biklen memberikan penjelasan bahwa analisis data meliputi pengerjaan
organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola, penemuan
hal-hal yang penting yang dipelajari, dan penentuan apa yang harus dikemukakan kepada orang
lain. Lihat Bogdan & Biklen, Quantitative Research for Education: An Introduction to Theory and
Methods (Boston: Allyn and Bacon, 1982), h. 52.
13


      temuan-temuan       sementara       berdasarkan     data     yang        telah   berhasil
      dikumpulkan; (c) pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya
      berdasarkan      temuan-temuan        pengumpulan          data     sebelumnya;      (d)
      pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan
      data berikutnya; dan (e) penetapan saran-saran pengumpulan data
      (informasi, situasi, dokumen) berikutnya.30

               Studi tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî ini menggunakan
      beberapa metode analisis data. Pertama, metode analisis deskriptif. Dengan
      metode analisis deskriptif dimaksudkan bahwa semua pemikiran Ibn al-
      ‘Arabî yang terkait dengan etika akan diuraikan secara utuh menurut tema-
      tema yang disusun oleh peneliti sesuai dengan tema-tema etika yang biasa
      digunakan. Ini bertujuan untuk memahami jalan pikiran dan maksud yang
      termuat dalam pemikirannya secara utuh.

               Kedua, metode analisis komparatif, yaitu suatu metode analisis data
      yang menggunakan perbandingan sebagai salah satu cara memahami lebih
      baik    pemikiran      seseorang.     Dalam     penelitian        ini,    penulis   akan
      membandingkan pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan pemikiran tokoh lain,
      baik dari kalangan filosof maupun sufi, sehingga dapat diketahui persamaan
      dan perbedaan pemikiran Ibn al-‘Arabî dengan para pemikir lainnya dalam
      masalah-masalah etika.

               Ketiga, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis
      kritis.31 Metode analisis ini diperlukan guna memberikan deskripsi dan
      interpretasi yang memadai terhadap data-data yang diperoleh dari sumber
      primer. Metode analisis kritis bekerja dengan menempatkan pentingnya
      kritik dalam deskripsi dan interpretasi data.32



      30
         Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001), cet. ke-1, h. 192-193.
     31
        Jujun S. Suriasumantri, Buku Pedoman Penelitian Ilmu, Filsafat dan Agama , (Jakarta:
Lembaga Penelitian IKIP, 1992), h. 12-22.
     32
        FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak ….., h. 75.
14


E. Tinjauan Pustaka

          Dalam tinjauan pustaka akan dikaji penelitian-penelitian yang
  membahas pemikiran Ibn al-‘Arabî dalam arti luas, baik yang sudah diterbitkan
  maupun yang belum. Pemikiran Ibn al-‘Arabî yang tertuang dalam banyak
  karyanya selama paruh pertama abad lalu tidak begitu menarik para sarjana,
  khususnya di Barat, untuk mengkajinya. Justeru mereka mengabaikan dan
  melupakannya, kecuali segelintir dari mereka, seperti H.S. Nyberg, Miguel
  Asin Palacios, dan R.A. Nicholson, yang memulai tugas sulitnya dengan
  menganalisis karya-karya Ibn al-‘Arabî. Pada 1950 hingga 1960-an, Titus
  Burckhardt, Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu mengakui adanya siratan
  kefilsafatan yang menarik dalam korpus Ibn al-‘Arabî yang luar biasa. Alih-
  alih keterbatasan kajian mereka atas peran Ibn al-‘Arabî dalam tradisi
  intelektual Islam, mereka berusaha menegaskan relevansi umum dari berbagai
  tulisannya bagi sejarah pemikiran manusia.

          Ada sejumlah alasan mengapa banyak sarjana Barat kurang meminati
  tokoh ini. Yang utama adalah bahwa karya-karyanya jauh lebih besar dan sulit
  dipahami, sehingga mendorong seseorang untuk tidak membuang waktu
  bertahun-tahun sekadar mempelajari karya-karya tersebut. Alasan kedua ialah
  kebanyakan mereka meyakini sekali bahwa metode-metode ilmiah modern
  telah memberi mereka pemahaman lebih tinggi terhadap segala sesuatu,
  sehingga membuat mereka merasa bebas untuk menolak segala hal yang tak
  teratur, tidak koheren, dan berbau takhayul, sepanjang benar-benar tidak
  melanggar anggapan mereka, padahal Ibn al-‘Arabî seringkali melakukan itu.

          Namun belakangan ini, ketertarikan kepada Ibn al-‘Arabî meningkat
  dan tidak sedikit sarjana yang telah ikut membantu menawarkan berbagai segi
  dari kepribadian dan ajarannya. Di sini akan disebutkan beberapa karya yang
  dianggap penting. Karya H.S. Nyberg yang berjudul Kleinere Schriften des Ibn
15


   ‘Arabi33 dapat dianggap sebagai karya perintis untuk kajian ilmiah tentang Ibn
   al-‘Arabî. Karya ini, di samping memuat tiga karya singkat Ibn al-‘Arabî,
   memberikan penilaian kritis terhadap beberapa pandangan metafisis Sufi ini
   yang terkandung dalam tiga karya tersebut. Karya M. Asin Palacios yang
   berjudul El Islam cristianizado 34 adalah karya perintis lain yang memaparkan
   uraian lengkap dan terperinci tentang kehidupan Ibn al-‘Arabî dan uraian
   ringkas tentang pemikiran mistiko-etisnya.

             Karya A.E. Affifi The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul
            35
   ‘Arabî        merupakan sumbangan sangat berharga untuk mempelajari pemikiran
   Ibn-‘Arabî secara komprehensif. Karya ini memberikan penyajian sistematis
   mengenai pandangan mistik Ibn al-‘Arabi dan dianggap pengantar umum
   terbaik kepada pemikirannya.

             Karya Henry Corbin L’Imagination creatrice dari Le Soufisme d’Ibn
   ‘Arabî36 merupakan suatu studi yang mendalam tentang perumpamaan mistik
   dan simbolisme spiritual Ibn al-’Arabî. Meskipun mengaku menggunakan
   pendekatan fenomenologis, Corbin terlalu jauh melibatkan diri dalam
   pemikiran mistik.

                 Rom Landau, melalui karyanya The Philosophy of Ibn ‘Arabî ,37
   berusaha menyumbangkan suatu pengantar singkat yang berguna untuk



      33
          H.S. Nyberg, KleinereSchriften des Ibn al-‘Arabî (Leiden: E.J. Brill, 1919). Tiga karya
Ibn al-‘Arabî yang dimuat dalam buku ini ialah: Insyâ’ al-Dawa’ir, ‘Uqlat al-Mustawfiz, dan al-
Tadbîrât al-Ilâhiyyah fi Islâh al-Mamlakah al-Insâniyyah .
       34
          M. Asin Palacios, El Islam cristianizado: Estudio del sufismoa traves de las obrasde
abenarabi de Murcia (Madrid: Editorial Plutaro, 1931). Terjemahan tak lengkap karya ini ke
dalam bahasa Arab dilakukan oleh ‘Abd al-Rahman Badawi dengan judul Ibn ‘Arabî: Hayâtuhu
wa Madzhabuhu (Kuwait & Beirut: Wakâlat al-Mathbû‘at & Dâr al-Qalam, 1979). Terjemahan
Prancisnya dilakukan oleh B. Durant dengan judul L’Islam Christiannise:Etude sur le Soufisme
d’Ibn ‘Arabi de Murcie (Paris: Guy Trenadiel, 1982).
       35
          Lihat catatan no. 19 di atas. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman dengan judul Filsafat Mistis Ibnu 'Arabi (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1989). Sayang, terjemahan ini terlalu banyak kekeliruannya.
       36
          Henry Corbin, L’Imagination crèatrice dans le Soufisme d’Ibn’Arabî (Paris:Flammarion,
1958). Terjemahan Inggris karyas ini dikerjakan oleh Ralph Manheim dengan judul Creative
Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabî .
       37
          Rom Landau, The Philosophy of Ibn ‘Arabî (London: George Allen & Unwin Ltd., 1995)
16


   mempelajari aspek-aspek pemikiran Ibn al-‘Arabî, namun tidak memberikan
   analisis yang mendalam dan kritis.

             Bagian ketiga karya Seyyed Hossein Nasr Three Muslim Sages,38
   meskipun pendek, merupakan suatu pengantar yang bermanfaat untuk
   mempelajari pemikiran Ibn al-‘Arabî.

             Karya Toshihiko Izutsu Sufism and Taoism,39 adalah studi
   perbandingan antara Ibn al-‘Arabî dan Lao-tzu dan Chuang-tzu melalui analisis
   semantik secara metodologis tentang istilah-istilah kunci ketiga pemikir itu.
   Kelebihan karya ini terletak pada kedalaman interpretasinya tentang istilah-
   istilah kunci dan kaitannya satu sama lain.

             Karya Masataka Takeshita Ibn ‘Arabî’s Theory of the Perfect Man
   and Its Place in the History of Islamic Thought ,40 seperti tergambar pada
   judulnya, merupakan suatu studi kritis tentang teori Ibn al-‘Arabî mengenai
   Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) dan tempat teorinya itu dalam sejarah
   pemikiran Islam. Karya ini merupakan suatu penelitian tentang pemikiran Ibn
   al-‘Arabi dalam hubungannya dengan tradisi-tradisi pemikiran pra-Islam dan
   Islam sebelum Ibn al-‘Arabi dalam perspektif historis.

             Sesuai dengan judul karyanya, The Pantheistic Monism of Ibn al-
   ‘Arabî,41 S.A.Q. Husaini, di dalamnya, memaparkan filsafat Ibn al-‘Arabî
   sebagai monisme panteistik. Karya ini menjelaskan kaitan filsafat Ibn al-



      38
          Karya ini diterjemahkan oleh Salâh al-Sawî ke dalam bahasa Arab sebagai Tsalâtsat
Hukumâ Muslimin (Beirut: Dâr al- Nahâr li-al-Nasyr, 1971). Terjemahannya dari terjemahan Arab
ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Ahmad Mujahid sebagai Tiga Pemikir Islam (Bandung:
Penerbit Risalah, 1986), tetapi ditemukan banyak kesalahannya.
       39
          T. Izutsu, Sufism and Taoism:A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Los
Angeles: University of California Press, 1983). Pada mulanya, karya ini berjudul A Comparative
Study of the Key Philosophical Concepts in Sufism and Taoism , 2 vol. (Tokyo: Keio University,
1966-1967).
       40
          Masataka Takeshita, Ibn ‘Arabîs’s Theory of the Perpect Man and its Place in the
History of Islamic Thought (Tokyo: Institut for the Study of Languages and Cultures of Asia and
Africa, 1987).
       41
          S.A.Q. Husaini, The Pantheistic Monism of Ibn al-‘Arabî (Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf, 1970).
17


   ‘Arabî, yang berporos pada paham wahdat al-wujûd, dengan berbagai aliran
   panteisme yang mungkin mempengaruhinya.

             Suatu studi perbandingan yang kritis antara teori-teori emanasi
   Plotinus, John the Scot, Meister Eckhart, dan Ibn al-‘Arabî, telah dilakukan
   oleh Michael Antony Sells. Bagian keempat atau terakhir karya Sells ini, “The
   Metaphor and Dialectic of Emanation in Plotinus, John the Scot, Meister
   Eckhart, and Ibn al-‘Arabî, 42 menyorot secara kritis teori Ibn al-‘Arabî tentang
   tajallî (penampakan-diri Tuhan) atau faydh (emanasi) dan membandingkannya
   dengan teori-teori ketiga tokoh tersebut tentang masalah yang sama.

             Karya lain yang patut disebut di sini adalah Falsafat al-Ta’wîl:
   Dirâsah fi Ta’wîl Al-Qur’an ‘inda Muh yî al-Dîn Ibn al-‘Arabî , karya Nasr
   Hâmid Abû Zayd.43 Karya ini memaparkan secara sistematis filsafat Ibn al-
   ‘Arabî yang berkenaan dengan segi-segi ontologis dan epistemologis yang
   didukungnya dengan penakwilan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan analisis yang
   cukup tajam dan kritis, Abû Zayd menguraikan penakwilan Ibn al-‘Arabî
   terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang ditujukan untuk memberikan argumentasi
   religius pada gagasan besarnya, wahdat al-wujûd, dan berbagai masalah yang
   terkait dengannya.

             Adapun tentang riwayat hidup Ibn al-‘Arabî, sebagai pengantar dapat
   dibaca dalam Sufis of Andalusia , The Rûh al-Quds and al-Durrat al-Fâkhirah of
   Ibn ‘Arabî, pada pendahuluan yang ditulis oleh R.W.J. Austin.44 Karya yang
   paling lengkap membahas riwayat hidup Ibn al- ‘Arabî adalah Ibn al- ‘Arabî ou
   La quête du Soufre Rouge dari Claude Chodkiewicz-Addas.45 Karya ini


      42
          Michael Anthony Sells, The Metaphor and Dialectic of Emanation in Plotinus , John the
Scot, Meister Eckhart, and Ibn ‘Arabî , buku Doktor Filsafat pada University of Chicago (Chicago:
University ofChicago, 1982).
       43
          Nasr Hamîd Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl Al-Qur’an ‘inda Muhyî al-
Dîn Ibn ‘Arabî (Beirut: Dâr al-Wahdah, 1983).
       44
          Ibn al-‘Arabî, Sufis of Andalusia , The Ruh al-quds and al-Durrat al-fakhirah of Ibn al-
‘Arabî (London: George Allen & Unwin Ltd, 1971).
       45
           Claude Chodkiewicz-Addas, Ibn al- ‘Arabî ou La quête du Soufre Rouge (Paris:
Gallimard, 1989). Karya ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Quest for
18


   merupakan studi mendalam paling detil pada saat ini tentang kehidupan pribadi
   Ibn al-‘Arabî. Semua peristiwa penting dalam kehidupan Ibn al-‘Arabî dapat
   dibaca di sini.

             Karya lain yang perlu pula dicatat di sini adalah Le Sceau dessaints:
   Prophetie et saintete dans la doctrine d’ Ibn al-‘Arabî oleh Michel
   Chodkiewicz.46 Karya ini merupakan suatu studi yang baik tentang konsep Ibn
   al-‘Arabî mengenai al-walâyah (kewalian) dan konsep-konsep yang berkaitan
   sebagaimana terdapat dalam al-Futûhât al-Makkiyah dan karya-karya lain Sufi
   ini. Willian C. Chittick menilai bahwa kajian sarjana Perancis ini, yang
   menyoroti ‘‘kewalian” dalam perspektif historis dan menunjukkan bagaimana
   Ibn al-‘Arabî memahaminya, menyumbangkan tidak hanya aspek teoritis tetapi
   juga aspek praktis ajaran-ajaran Ibn al-‘Arabî.47

             Karya William C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-
   ‘Arabî’s Metaphysics of Imagination ,48 adalah suatu studi sistematis tentang
   berbagai aspek metafisika Ibn al-‘Arabî. Karya ini menjadikan al-Futûhât al-
   Makkîyah sebagai sumber tunggal utama dan melalaikan Fushûsh al-Hikâm
   dan karya-karya lain Sufi ini. Buku ini lebih merupakan suatu kumpulan
   terjemahan dan bagian-bagian pilihan al-Futûhât daripada suatu analisis
   ilmiah. Lebih dari 600 bagian dari al-Futûhât diterjemahkan dalam buku ini
   sehingga kira-kira 75% keseluruhan kandungan, di luar catatan dan indeks,
   adalah terjemahan itu. Namun karya ini sangat membantu kajian tentang
   pemikiran Ibn al-‘Arabî.

             Buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas
   tentang detail paling sulit dari filsafat mistik Ibn al-‘Arabî, yaitu doktrin

The Red Sulphur: Life of Ibn al-‘Arabî , terj. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Text Society,
1993).
       46
          Michel Chodkiewicz, Le Sceau des saints: Prophêtie es saintetê dans la doctrine d’Ibn
al-‘Arabî (Paris: Gallimard, 1986).
       47
          William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge : Ibn al- ‘Arabî’s Metaphysics of
Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), h. xix-xx.
       48
          Lihat catatan no. 50 di atas.
19


   wahdat al al-wujûd, adalah karya Kautsar Azhari Noer, Ibn al-’Arabi: Wahdat
   al-Wujud dalam Perdebatan .49 Di dalam buku ini dipaparkan gagasan-gagasan
   wahdat al-wujûd Ibn al-‘Arabî, yang terkenal dan rumit itu dalam bahasa yang
   sederhana tetapi tetap berbobot, juga diperbandingkan secara kritis dengan
   panteisme dan paham-paham yang serupa.

             Penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî belum banyak
   dilakukan. Memang ada beberapa tulisan yang membahas konsep-konsep etika
   Ibn al-‘Arabî, di antaranya oleh Muhammad Yûsuf Mûsâ dalam bukunya,
   Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm ,50 yang menganalisis berbagai pemikiran akhlak
   dalam Islam yang dikemukakan oleh berbagai kelompok pemikir, terdiri dari
   teolog, filosof, dan sufi. Juga Taufîq Thawîl dalam sumbangan karangan
   berjudul “Al-Akhlâq ‘inda Ibn al-‘Arabî”, dalam buku al-Kitâb al-Tidzkârî
   Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fî al-Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tsâminah limîlâdihî
   1165-1240 H.51


F. Sistematika Penulisan

             Penulisan hasil penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama
   merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan
   perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian,
   tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

             Pada bab dua dibahas tentang konsep etika secara umum sebagai
   kerangka teoritis untuk memahami dengan lebih baik pemikiran etika Ibn al-
   ‘Arabî. Di sini dibahas perbedaan etika dengan moral agar kedua istilah dapat
   dimaknai secara benar. Wacana berikutnya adalah mengenai pembagian etika
   dilihat dari beberapa aspek. Sedangkan titik tekan dalam bab ini adalah



       49
          Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî , Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan (Jakarta :
Paramadina, 1998).
       50
          Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm wa shilâtuhâ bi al-Falsafat al-
Ighrîqîyah, (Cairo: Mu’assasah al-Khanjî, 1963), h. 226-312.
20


   pembahasan tentang etika dalam Islam dan beberapa aliran yang berkembang
   di dalamnya.

            Selanjutnya dalam bab ketiga dijelaskan pemikiran etika Ibn al-
   ‘Arabî, diawali kajian tentang karir, prestasi dan perjalanan Ibn al-‘Arabî, serta
   perhatian dan karya-karynya dalam bidang etika. Sub-bab perjalangan hidup
   Ibn al-‘Arabî lebih merupakan pengantar untuk dapat memahami perhatian Ibn
   al-‘Arabî terhadap etika. Sub-bab berikutnya adalah menjelaskan pemikiran-
   pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, dimulai dengan kajian tentang problematika
   moral dalam wahdat al-wujûd, manusia, daya-daya dan kesempurnaan yang
   dimilikinya, realitas perbuatan manusia, kebebasan dan tanggung jawab, hak
   dan kewajiban, baik dan buruk, akhlak dan adab, akhlak mulia dan akhlak
   tercela, kebahagiaan dan kesengsaraan, keadilan, cinta, dan persahabatan.

            Bab empat menjelaskan kontribusi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
   terhadap masalah etika dan kemungkinan penerapan sistem etika Ibn al-‘Arabî
   dalam kehidupan praktis dalam wujud etika keilmuan, etika lingkungan, etika
   dakwah, dan etika kerukunan. Juga dibahas relevansi dan signifikansi
   pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan perkembangan moral dalam era modern
   dan global. Sedangkan bab terakhir, bab lima, adalah penutup yang terdiri dari
   kesimpulan dan rekomendasi.




      51
        Lihat al-Kitâb al-Tidzkârî Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fî al-Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-
Tsâminah limîlâdihî 1165-1240 H . (Cairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, 1969), h. 155-180.
BAB II
                      KERANGKA TEORITIS ETIKA

            Sebelum dilakukan pembahasan tentang subyek kajian disertasi ini, akan
diberikan terlebih dahulu gambaran tentang etika pada umumnya dan
perkembangan etika Islam pada khususnya. Penyajian gambaran kerangka teoritis
ini dimaksudkan untuk mengantarkan pemahaman terhadap etika Islam, aliran-
alirannya, dan sejarah perkembangannya. Beberapa hal yang disajikan dalam bab
ini terkait dengan persoalan-persoalan etika secara umum, etika Islam, aliran-
alirannnya, dan sejarah pertumbuhannya. Sebagai pengantar kepada diskusi
masalah-masalah etika dalam Islam, kajian-kajian dalam bab ini bersifat umum
dan deskriptif.

            Sebelum membahas etika Islam, terlebih dahulu akan dilakukan
pembahasan tentang beberapa permasalahan dalam etika secara umum. Antara
meliputi pengertian etika dan moral, masalah nilai, kebebasan dan tanggung
jawab, dan aliran-aliran dalam etika.

A. Pengertian Etika

               Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggalnya adalah
   ethikos atau ethos, yang mempunyai banyak arti: adat, kebiasaan; tempat yang
   biasa, padang rumput, kandang; akhlak, watak; perasaan, sikap, dan cara
   berpikir.1 Bentuk jamaknya adalah ta etha yang artinya adat kebiasaan. Arti
   terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah ‘etika’ yang
   oleh filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 s.M.), sudah dipakai untuk
   menunjukkan filsafat moral. Kata ethikos, menurut Cicero, ekuivalen dengan
   kata moralis. Kedua kata itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.2
   Dengan kata lain etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral.”
   Karena keduanya berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang

      1
          K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 4.
      2
          Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62.
22


   pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin.

             Untuk mengerti arti terminologis etika, salah satu caranya adalah
   dengan merujuk pada kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
   Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,3 “etika” dijelaskan dengan
   membedakan tiga arti: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
   tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang
   berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh
   suatu golongan atau masyarakat.

             Arti terminologis “etika” sebagai sebuah ilmu telah dirumuskan oleh
   banyak pakar dengan redaksi yang berbeda, akan tetapi mengarah pada maksud
   yang sama. Jan Hendrik Rapar, mengartikan etika sebagai pengetahuan yang
   membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia
   serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.4 Sidi Gazalba
   mengatakan bahwa etika adalah teori tentang laku-perbuatan manusia,
   dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.5
   Menurut Louis O. Kattsof, etika adalah cabang aksiologi yang pada pokoknya
   membicarakan masalah predikat-predikat nilai betul atau right dan salah atau
   wrong, dalam arti susila atau moral dan tidak susila immoral.6

             Sementara Ahmad Amin menguraikan bahwa etika adalah suatu
   pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa
   yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada yang lain, menyatakan
   tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuataan mereka dan
   menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.7 Adapun
   batasan etika menurut Franz Magnis-Suseno adalah “usaha manusia untuk
   memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan bagaimana ia harus

      3
         Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Depdikbud,
(Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-3, 1994), h. 271.
       4
         Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62.
       5
         Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, ), h. 34.
       6
          Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, cet. Ke-7, 1996), h. 349.
       7
         Ahmad Amin, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishrîyah, tt.), h. 3.
23


hidup kalau ia mau menjadi baik.”8 Dia juga menjelaskan bahwa etika bukan
suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral.”9 Dengan definisi yang lebih ringkas, K. Bertens menyebutkan bahwa
etika adalah ilmu tentang yang baik atau buruk.10 Dan etika baru menjadi ilmu
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat—
seringkali tanpa disadari—menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika dalam pengertian tidak berbeda dengan filsafat
moral.

         Tentang kata “moral” secara etimologis sama artinya dengan kata
“etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Kata “moral” berasal dari bahasa
Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Sedangkan asal
kata “etika” dari bahasa Yunani ethos, yang beberapa artinya telah dijelaskan
di depan. Dengan demikian kata “moral” sama dengan “etika” menurut arti
pertama, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Maka ketika
disebutkan tidak bermoral, dengan itu dimaksudkan bahwa perbuatan itu
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.

         Dalam pengertian yang sama dengan “moral” sering digunakan kata
“moralitas” yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Kata ini berarti segi
moral atau sifat moral dari suatu perbuatan. Meskipun pada dasarnya artinya
sama dengan “moral”, tapi nadanya lebih abstrak.

         Telah disebutkan bahwa immoral berarti tidak susila atau tidak baik.
Lalu apa arti amoral yang juga sering terdengar oleh telinga kita? Arti dua kata
ini tidak dapat dicampuradukkan karena perbedaan antara keduanya sangatlah
jelas. Amoral berarti “tidak berhubungan dengan konteks moral”, “di luar

  8
    Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Gramedia, ), h. 17.
  9
    Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, h. 17.
  10
     K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 6.
24


suasana etis”, atau “non-moral.” Sedangkan immoral berarti “bertentangan
dengan moralitas yang baik”, “berlawanan dengan susila”, “secara moral
buruk”, atau “tidak etis”. 11

          Sebagai sebuah ilmu, “etika” memerlukan obyek sebagai sasaran
kajiannya. Dikatakan oleh Ahmad Amin bahwa obyek etika adalah segala
perbuatan yang muncul dari orang yang melakukannya dengan sengaja dan
sadar, dan ia mengetahui apa yang ia lakukan pada saat melakukannya. Inilah
yang dapat dihukumi baik atau buruk. Demikian pula semua perbuatan yang
timbul tanpa kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu sadar.12 Dengan
demikian obyek kajian etika menyangkut perbuatan sadar manusia, baik oleh
diri sendiri atau oleh pengaruh orang lain, yang dilandasi oleh kehendak bebas.
Karena itu perbuatan yang dilakukan tanpa kesadaran, dipaksa oleh pihak lain,
dan tidak disertai niat dalam batin, tidak termasuk obyek kajian etika.13

          Adapun “etika” menurut pengertian kedua (kumpulan asas atau nilai
moral) identik dengan kode etik. “Etika Rumah Sakit Indonesia”, disingkat
ERSI, yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 1986 jelas dimaksudkan “kode etik” dengan penggunaan kata-kata
“etika.”14 Kata “etika” dalam pengertian kedua ini sering kali diganti dengan
istilah “kode etik” yang saat ini cukup populer. Beberapa di antaranya adalah
“Kode Etik Mahasiswa” (disingkat KEM) IAIN Sunan Ampel Surabaya dan
Kode Etik anggota DPRD di berbagai daerah di Indonesia.

          Arti ketiga lebih mendasar daripada arti pertama dan kedua. Dengan
rumusan yang lebih tajam kata “etika” dalam arti ketiga dapat disebut sebagai
“nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.” Jika orang berbicara



   11
      K. Bertens, Etika, h. 7.
   12
      Ahmad Amin, Kitâb al-Akhlâq, h. 5.
   13
      Ahmad Mudlor, Etika Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), h. 24.
   14
      K. Bertens, Etika, h. 6.
25


   tentang “etika Jawa,”15 “etika agama Budha,” atau “etika Protestan,”16 maka
   tidak dimaksudkan “ilmu”, melainkan sebuah “sistem nilai yang berfungsi
   dalam hidup manusia perorangan maupun masyarakat”. Begitu pula kata “etika
   sufi” menunjuk sebuah sistem nilai yang berlaku, berkembang, dan berfungsi
   dalam kalangan sufi, yakni mereka yang mendalami dan mengamalkan tasawuf
   di dalam kehidupan sehari-hari.

B. Nilai Umum dan Nilai Etika

   1. Nilai Umum

                 Etika merupakan salah satu cabang dari aksiologi, yakni ilmu
      tentang nilai. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang juga meliputi
      ontologi dan epistemologi. Jika ontologi membahas tentang sejauh mana
      sesuatu itu ada dan epistemologi mengkaji sejauh mana sesuatu itu dapat
      dikenal dan diketahui, maka aksiologi membahas tentang untuk apa sesuatu
      itu ada. Dengan kata lain aksiologi membahas tentang nilai. Pengertian nilai
      secara umum meliputi nilai baik-buruk, benar-salah, indah-jelek, dan nilai-
      nilai lain yang tercakup dalam pembahasan tentang nilai-nilai.

                 Kata nilai (dalam bahasa Inggeris disebut value) berasal dari
      bahasa Latin ‘valere’ yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku,
      dan kuat.17 Dalam bahasa Arab nilai disebut dengan istilah al-qîmah.18
      Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti nilai dengan beberapa
      pengertian, antara lain, nilai berarti harga, banyak sedikitnya isi; kadar
      mutu, dan        sifat-sifat   (hal-hal)    yang penting atau           berguna bagi



      15
          Sebagaimana dibahas oleh Franz Magnis-Suseno dalam bukunya, Etika Jawa, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999).
       16
          Istilah ini digunakan dalam buku ahli sosiologi dari Jerman, Max Weber, The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism , diterjemah ke dalam bahasa Inggeris oleh Talcott Parsons.
       17
          Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 713.
       18
          Lihat Louis Ma‘lûf, al-Munji fî al-Lughah wa al-’A‘lâm , (Lebanon: Dâr al-Masyriq,
1992), h. 664. Lihat juga Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia , (Jogjakarta: Multi
Karya Grafika, tt.), h. 1481.
26


      kemanusiaan.19

                Ada beberapa pengertian nilai sebagaimana dijelaskan oleh Lorens
      Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat:20
             1. Harkat: Kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
                 disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi obyek
             2. Keistimewaan: Apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai
                 sebagai suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah
                 tidak bernilai atau nilai negatif.
             3. Ilmu ekonomi, yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
                 benda-benda material, pertama kali menggunakan secara
                 umum kata nilai.

                Gordon Allport mengatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang
      membuat       seseorang        bertindak    atas   dasar     pilihannya.21    Menurut
      pandangannya, nilai berada dalam wilayah psikologis yang disebut
      keyakinan. Keyakinan berada di tempat yang paling tinggi dibandingkan
      dengan wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan
      kebutuhan. Dengan demikian, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-
      tidak indah, pada wilayah ini merupakan hasil dari rangkaian proses
      psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan
      perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
                                                   22



                Definisi     nilai    dalam      perspektif   sosiologis    diberikan     oleh
      Kupperman yang memandang nilai sebagai patokan normatif yang
      mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara
      tindakan alternatif.23 Di sini nilai dilihat sebagai penentu prilaku manusia
      yang datang dari luar, yakni yang dianut oleh masyarakat. Dengan
      mengikuti nilai yang dianut oleh masyarakat, maka seseorang akan merasa

       19
           Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), h. 690.
       20
          Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 713-714.
       21
           G.W. Allport, Pattern and Growth in Personality, (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1964), h. 17.
       22
          Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , (Bandung: Alfabeta, 2004), cet.
ke-1, h. 9.
       23
          J.J. Kupperman, The Foundation of Morality , (London: George Allen & Unwin, 1983), h.
31.
27


      aman dalam hidupnya.

                   Kluckhohn, sebagaimana dikutip Brameld,24 mendefinisikan nilai
      sebagai konsepsi yang membedakan individu atau ciri-ciri kelompok dari
      apa-apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan
      antara, dan tujuan akhir tindakan. Dengan demikian nilai memberikan
      implikasi terhadap pemaknaan budaya dalam pengertian yang lebih spesifik.
      Implikasi-implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

                   Pertama, nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses
      kognitif atau logik dan rasional serta proses katetik atau ketertarikan
      maupun penolakan berdasar kata hati.

                   Kedua, nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak
      bermakna apabila diverbalisasi.

                   Ketiga, apabila itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan
      dengan cara unik oleh individu atau kelompok.

                   Keempat, karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka
      perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya disamakan dengan apa yang
      diinginkan. Nilai didefinisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian
      dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang
      lain dalam kehidupan sosial.

                   Kelima, pilihan di antara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks
      ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends).

                   Keenam, nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya,
      dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.25

                   Dari beberapa implikasi yang disebutkan di atas, ada satu hal yang
      perlu dicatat bahwa sesuatu dipandang memiliki nilai apabila dipersepsi


      24
           T. Brameld, Education as Power, (New York: Holt, Rinerat and Winston Inc, 1975), h.
19.
      25
           Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 10-11.
28


      sebagai sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang menarik. Maka seperti
      makanan, minuman, mobil, tanah, dan benda-benda konkrit lainnya, begitu
      pula gagasan, konsep, ide, seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, dan yang
      lainnya, memiliki nilai karena dipersepsi sebagai sesuatu yang baik, dan
      keinginan untuk memerolehnya memengaruhi sikap dan tingkah laku
      seseorang. 26

                Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat
      disimpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut: 1)
      Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka
      nilai tidak ada juga. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana
      subyek ingin membuat sesuatu. 3) Nilai menyangkut sifat-sifat yang
      “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Menurut
      K. Bertens, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya dengan alasan
      bahwa obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan nilai
      yang berbeda-beda.27

                Terdapat banyak macam nilai. Beberapa contoh di antaranya nilai
      ekonomis, seperti tersurat dalam konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
      Ada nilai estetis yang berkaitan dengan keindahan. Tetapi secara global
      nilai-nilai yang dibahas dalam bidang filsafat dapat dikelompokkan menjadi
      tiga kelompok: 1) Nilai yang berkenaan dengan kebaikan, atau dengan baik-
      buruknya suatu perbuatan yang dibahas oleh etika atau filsafat moral. 2)
      Nilai yang berhubungan dengan keindahan atau berkenaan dengan nilai
      indah-tidak indah yang dikaji dalam estetika. 3) Nilai berkaitan dengan
      kebenaran atau dengan nilai benar-salah yang dibahas oleh logika. Namun
                                                                      28


      demikian klasifikasi yang disebutkan di atas belum menampung semua nilai
      yang ada, karena klasifikasi yang benar-benar memuaskan barangkali tidak
      mungkin juga, mengingat subyektifitas nilai yang tak terelakkan.

      26
        Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 11.
      27
        K. Bertens, Etika, h. 141.
     28
         Fuâd Farîd Ismâ‘îl dan ‘Abd al-Hamîd Mutawallî, Mabâdi’ al-Falsafah wa al-Akhlâq ,
(Kuwait: Wazârah al-Tarbiyah, 1978), h. 198.
29


2. Nilai Etika atau Nilai Moral

               Secara umum apa yang dibicarakan tentang nilai tentu berlaku juga
  untuk nilai moral. Namun demikian, nilai moral memiliki kekhususan
  sehingga sesuatu nilai dapat menjadi nilai moral. Nilai moral tidak berdiri
  sendiri, melainkan melibatkan nilai-nilai lain. Kejujuran, misalnya,
  merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak
  diterapkan pada nilai lain, seumpama nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan
  nilai moral yang berbobot jika dikaitkan dengan cinta antara suami-istri.

               Beberapa kekhususan nilai moral dapat dijelaskan sebagai
  berikut:29 1) Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang
  bertanggung jawab. Dengan kata lain, suatu nilai moral hanya bisa
  diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung
  jawab orang bersangkutan. Karena manusia sendiri yang menjadi sumber
  nilai moralnya. Dan hal ini tergantung pada kebebasannya. 3) Nilai moral
  berkaitan dengan hati nurani. Karena itu himbauan untuk melakukan sesuatu
  nilai moral yang baik atau meninggalkan sesuatu nilai moral yang buruk
  bersumber dari “dalam”, yaitu nurani manusia. 4) Bahwa nilai moral
  mewajibkan manusia secara absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar.
  Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris. Artinya,
  nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja, tanpa syarat, berbeda dengan
  dengan         imperatif       hipotetis.   Kejujuran   memerintah   kita   untuk
  mengembalikan barang yang kita pinjam, suka tidak suka. Keharusan ini
  berlaku mutlak, tanpa syarat. 4) Nilai moral bersifat formal. Maksudnya,
  bahwa nilai moral tidak memiliki “isi” tersendiri, terpisah dari nilai-nilai
  lain. Seorang pedagang menerapkan nilai moral “kejujuran” bersamaan
  dengan mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Jadi, realisasi nilai-nilai moral
  hanya dimungkinkan dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu
  “tingkah laku moral.”


  29
       K. Bertens, Etika, h. 143-7.
30


                 Dilihat dari sumbernya, nilai-nilai moral dapat dibagi menjadi dua
      kelompok. Pertama, nilai normatif yang bersumber dari buah pikiran
      manusia dalam menata kehidupan bersama. Kedua, nilai preskriptif yang
      bersumber dari wahyu. Pada nilai jenis pertama, kualitas baik-buruk
      merupakan tema abstrak yang disifatkan pada muatan hukum positif, adat
      kebiasaan atau adat istiadat, dan perilaku etis. Adapun yang kedua, nilai
      yang bersumber dari wahyu, kualitas baik-buruk merupakan tema abstrak
      yang disifatkan pada perintah dan larangan yang terdapat dalam wahyu serta
      pada perwujudan perilaku atau akhlak seseorang. 30

                 Salah satu persoalan yang diperdebatkan dalam etika adalah apakah
      nilai moral merupakan sebuah fakta empiris atau bukan. Menyangkut soal
      ini terdapat dua aliran yang berseberangan. Aliran pertama, naturalisme,
      yang menganggap nilai merupakan fakta, dan oleh karena itu keputusan
      tentang nilai dapat diuji secara empiris. Sedangkan aliran kedua, non-
      naturalisme, berpandangan bahwa nilai bukan merupakan fakta, oleh karena
      itu keputusan nilai menurut aliran ini tidak dapat dibuktikan secara
      empiris.31 Atas dasar ini, bagi aliran pertama, perilaku yang baik seperti
      jujur, dermawan, adil, dan sebagainya atau perilaku sebaliknya dapat
      dijadikan indikator bagi pelakunya apakah dia berperilaku baik atau
      sebaliknya. Tetapi tidak demikian bagi aliran kedua, karena nilai itu tidak
      faktual, melainkan bersifat normatif.32

C. Pembagian Etika

             Telah dijelaskan di muka bahwa etika salah satu artinya adalah ilmu
   yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan
   dengan tingkah laku moralnya. Dalam mempelajari tingkah laku moral
   manusia, ada pelbagai cara dan pelbagai pendekatan ilmiah. Di sini akan

      30
          Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 21-22.
      31
          Paul W. Taylor (ed.), Problem of Moral Philosophy and Introduction to Ethics ,
(California: Dickenson Publishing Company, Inc, 1967), h. 355-356.
       32
          Amri M, Etika Islam, (Yogyakarta: LSFK2P dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. ke-1, h. 213.
31


   disebutkan tiga pendekatan dalam studi etika dan atas dasar pendekatan itu
   etika dibagi menjadi tiga, sebagaimana dilakukan oleh banyak ahli filsafat.

   1. Etika Deskriptif

                Etika deskriptif adalah etika yang menguraikan dan menjelaskan
      kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ia melukiskan tingkah
      laku moral dalam arti luas. Misalnya, adat kebiasaan, angggapan-anggapan
      tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak
      diperbolehkan. Etika deskriptif bertolak dari kenyataan bahwa ada pelbagai
      fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah seperti
      yang dapat dilakukan terhadap fenomena spritual, misalnya religi dan seni.
                                                                               33



                Karena bersifat melukiskan, etika deskriptif tidak memberi
      penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau kepala yang ditemukan
      dalam masyarakat primitif, tapi ia tidak mengatakan bahwa adat semacam itu
      dapat diterima atau harus ditolak. Jadi, etika deskriptif hanya bertujuan
      mengerti perilaku moral yang terdapat pada individu-individu tertentu,
      dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu,
      dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya, tanpa memberi penilaian.

                Dengan sifat kajian dan pendekatan yang demikian, bidang garapan
      etika deskriptif sekarang ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial. Di antaranya:
      antropologi budaya, psikologi, sosiologi, sejarah, dan semacamnya.34 Contoh
      bagus mengenai etika deskriptif adalah hasil studi yang dilakukan oleh
      seorang psikolog Amerika Lawrence Kohlberg (1927-1988) tentang
      perkembangan kesadaran moral dalam hidup seorang manusia. 35 Beberapa
      studi sosiologis yang dilakukan dalam banyak negara tentang korupsi,
      prostitusi, dan penyakit sosial lainnya, dapat pula digolongkan dalam etika
      deskriptif.

      33
         Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
      34
         K. Bertens, Etika, h. 16.
      35
         Hasil studi psikolog ini dapat dibaca dalam buku L. Kohlberg, The Psychology of Moral
Development, (San Francisco: Harper and Row, 1984).
32


            Kemudian etika deskriptif dapat dibagi menjadi dua bagian, sejarah
moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral adalah bagian etika deskriptif
yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral
yang pernah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pada kurun waktu
dan batasan tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar seperti
bangsa. Sebagai kajian sejarah, akan diteliti pula sejauh mana norma-norma
moral bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

            Adapun fenomenologi moral merupakan etika deskriptif yang
berusaha menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena
moral yang ada. Fenomenologi moral tidak berkompeten menyediakan
petunjuk-petunjuk atau batasan-batasan moral yang perlu dipegang oleh
manusia. Singkatnya, ia tidak membahas apa yang dimaksud dengan yang
benar dan apa yang dimaksud dengan yang salah.36 Dengan demikian dapat
dimengerti bahwa etika deskriptif ini sebetulnya termasuk ilmu pengetahuan
empiris dan bukan filsafat.

            Meskipun etika deskriptif tidak dapat disetarakan dengan etika
filosofis, namun di antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Supaya
dapat menjalankan tugasnya dengan baik, seorang filosof yang ingin
melakukan kajian etika membutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam
tentang moralitas dalam berbagai konteks budaya. Kalau ia ingin
membangun suatu pendirian yang mendasar tentang masalah korupsi,
perlulah ia ketahui lebih dahulu bagaimana korupsi berfungsi dalam
masyarakatnya sendiri dan dalam masyarakat-masyarakat lain, baik di zaman
sekarang maupun di masa lampau. Dan sebaliknya, seorang sosiolog,
psikolog, antropolog, atau sejarahwan yang mengkaji fenomena-fenomena
moral, sebaiknya mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang
teori-teori moral, sehingga hasil-hasil kajiannya lebih terarah dan lebih
berbobot.


36
     Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
33


   2. Etika Normatif

                Bidang terpenting dari etika dan bagian di mana berlangsung
     diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral adalah
     etika normatif. Etika ini disebut pula filsafat moral (moral philosophy) atau
     biasa juga dinamakan etika filosofis (philosophical ethics). Di sini ahli
     bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam
     etika deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian
     tentang perilaku moral manusia. Ia tidak lagi membatasi diri dengan
     memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi ia menentukan
     pendirian menolak prostitusi sebagai suatu pranata sosial yang bertentangan
     dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu dapat diberantas
     sampai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma “martabat wanita
     sebagai manusia harus dihormati.” Secara singkat dapat dikatakan, etika
     normatif     bertujuan     merumuskan        prinsip-prinsip     etis    yang    dapat
     dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam
     kehidupan praktis.37

                Dilihat dari sudut obyek kajiannya, etika normatif dapat dibagi
     menjadi dua bagian: 1) Etika normatif yang membahas teori-teori nilai
     (theories of value). Etika ini secara khusus mempersoalkan sifat kebaikan
     dari suatu perilaku manusia didasarkan pada nilai yang dikandungnya. 2)
     Etika normatif yang berkenaan dengan teori-teori keharusan (theories of
     obligation). Etika normatif ini membicarakan kewajiban-kewajiban moral
     yang harus dilakukan oleh manusia.38

                Etika normatif juga dapat dibagi lebih lanjut dalam etika umum dan
     etika khusus.39 Etika umum40 memandang tema-tema umum seperti: Apa itu


      37
          K. Bertens, Etika, h. 18.
      38
          Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
       39
          K. Bertens, Etika, h. 18.
       40
          Terkait dengan istilah ini, dengan maksud yang sama Franz Von Magnis-Suseno memilih
menggunakan istilah “etika dasar”. Lihat bukunya, Etika Dasar (Jogjakarta: Penerbit Kanisius,
1996).
34


norma moral? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan
antara kebebasan dan tanggung jawab? Dan berbagai tema lainnya yang
seperti itulah yang menjadi obyek penyelidikan etika umum. Sedangkan
etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas
wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan kata lain, aturan-aturan
normatif dalam etika diterapkan dalam perilaku-perilaku faktual untuk
mendapatkan suatu kesimpulan etis. Tradisi etika semacam ini sering kali
diberi nama baru sebagai “etika terapan” (applied ethics). Dari sinilah
terbentuk pelbagai kajian etika khusus seperti etika bisnis, etika politik, etika
sosial, etika lingkungan, dan sebagainya.

            Sebagian ahli filsafat membagi etika normatif menjadi dua
golongan, etika teleologis dan etika deontologis. Etika teleologis
berpendirian bahwa moralitas suatu perbuatan ditentukan oleh konsekuensi-
konsekuensi atau tujuan-tujuan yang ditimbulkannya. Artinya, baik tidaknya
perbuatan tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem ini disebut
juga sistem konsekuensialistis. Jadi, yang diperhatikan di sini adalah hasil
dan tujuan dari suatu perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan
perbuatan-perbuatan          moral     adalah        memaksimalkan   kegunaan   atau
kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.

            Adapun etika deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu
perbuatan sebenarnya ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan
dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh
keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip
tertentu.41 Dapat pula dikatakan bahwa sistem etika ini tidak menyoroti
tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-
mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Ini sejalan dengan arti
kata deon yang berasal dari bahasa Yunani: apa yang harus dilakukan atau
kewajiban. Yang menciptakan sistem moral ini adalah filosof besar dari


41
     Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 65.
35


      Jerman, Immanuel Kant. Ia dianggap salah seorang pemikir terbesar di
      bidang filsafat moral. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti
      sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik
      secara terbatas atau dengan syarat. Kekayaan, kecerdasan, atau kesehatan,
      misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
      Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat, semua hal itu bisa menjadi jelek
      sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan pun bisa disalahgunakan oleh
      kehendak yang jahat.

                Lalu apakah yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant,
      kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan
      dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa
      disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, seseorang
      memberi derma kepada pengemis, karena hatinya tergerak oleh keadaannya
      yang menyedihkan. Perbuatan seperti itu tidak patut disebut baik. Karena
      perbuatan disebut baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan.
      Bertindak sesuai dengan kewajiban itulah yang oleh Kant disebut imperatif
      kategoris.42 Yakni bahwa kewajiban moral mengandung suatu imperatif
      (perintah) kategoris yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat.

   3. Metaetika

                Awalan meta- (dari bahasa Yunani) pada kata etika mempunyai arti
      “melebihi”, “melampaui.”43 Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa
      yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-
      ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolah-olah bergerak pada taraf
      lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa
      yang kita pergunakan di bidang moral. Dengan demikian metaetika adalah
      sebuah cabang dari etika yang membahas dan menyelidiki serta menetapkan

      42
           K. Bertens, Etika, h. 256. Lihat pula M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:
Filsafat Etika Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), cet. ke-2, h. 91.
        43
           Lihat Webster’s Third New International Dictionary (USA: Merriam-Webster Inc., t.th.),
vol. 2, h. 1418-9.
36


    arti dan makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan-
    pertanyaan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan.
    Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus, di antaranya
    adalah: keharusan, baik, buruk, benar, salah, terpuji, tercela, adil, yang
    semestinya, dan sebagainya.44

                 Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah
    the is/ought question.45 Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan
    normatif dapat diucapkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau kalau
    sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat
    disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif).
    Dengan meminjam istilah dalam logika, apakah dari premis deskriptif dapat
    ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kini para filosof yang mendalami
    masalah ini umumnya sepakat bahwa hal itu tidak mungkin, karena
    kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang
    sekurang-kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga.

D. Etika dalam Islam

              Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa etika deskriptif dapat dibagi
  menjadi dua bagian: sejarah moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral
  adalah bagian etika deskriptif yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan-
  aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan
  masyarakat pada kurun waktu dan batasan tempat tertentu atau dalam suatu
  lingkungan besar seperti bangsa dan agama. Sebagai kajian sejarah, akan
  diteliti pula sejauh mana norma-norma moral bertumbuh dan berkembang
  dalam kehidupan masyarakat. Termasuk dalam sejarah moral adalah kajian
  tentang etika Islam. Berikut ini akan dibahas tentang etika dalam Islam
  meliputi pengertian beberapa istilah dan aliran-aliran etika dalam Islam.

              Etika dalam Islam atau etika Islam ditemukan dalam sumber yang

     44
          Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 65.
     45
          Lihat K. Bertens, Etika, h. 21.
37


   merentang luas mulai dari tafsir Al-Qur’ân hingga kalâm, dari komentar-
   komentar filosofis atas Aristoteles hingga teks-teks sufi. Wacana etika di dalam
   Islam telah diupayakan perumusannya oleh berbagai pemikir dari berbagai
   cabang pemikiran, dari ulama hukum (fuqahâ’), para teolog (mutakallimûn),
   para filosof (falâsifah), dan kaum mistikus atau sufi (shûfîyûn). Karena itu
   sebuah tinjauan historis tentang etika Islam harus didasarkan pada berbagai tipe
   teori-teori yang berkembang dalam sejarah pemikiran etika Islam.

             Dalam sub-bab ini akan diuraikan beberapa istilah kunci dalam etika
   Islam seperti “akhlak” dan “adab”, perkembangan sepintas tentang kajian etika
   Islam, ciri-ciri khusus etika Islam, dan beberapa aliran dalam etika Islam.

   1. Penjernihan Beberapa Istilah

                 Kata “etika” biasanya dialihkan ke dalam bahasa Arab dengan
      menggunakan istilah “al-akhlâq”, “‘ilm al-akhlâq”, “falsafat al-akhlâq”,
      atau “al-âdâb”. Zaki Mubarak yang membahas pemikiran moral al-Ghazâlî
      menamakan bukunya dengan judul “Al-Akhlâq ‘ind al-Ghazaâlî ”.46
      Demikian pula Ahmad Amin dan As’ad al-Sahmarani menggunakan kata
      “al-akhlâq” yang menunjuk kepada arti “etika” dalam bukunya masing-
      masing.47

                Istilah “falsafat al-akhlâq ” digunakan dalam buku yang disusun
      oleh Manshûr ‘Alî Rajab yang berjudul “Ta’ammulât fi Falsafat al-
      Akhlâq”.48 Demikian juga Muhammad Yûsuf Mûsâ yang menggunakan
      istilah yang sama dalam bukunya dengan judul “Falsafat al-Akhlâq fî al-




      46
          Lihat Zakî Mubârak, al-Akhlâq ‘ind al-Ghazâlî , (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabiy lil al-
Thibâ‘at wa al-Nasyr, t.t.), cet. ke-1.
       47
          Ahmad Amîn, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Mathba‘at Dâr al-Kutub al-Mishrîyah, 1929), cet.
ke-3 dan As’ad al-Sahmarani, al-Akhlâq fî al-Islâm wa al-Falsafah al-Qadîmah , (Beirut: Dâr al-
Nafâ’is, 1993), cet. ke-3.
       48
          Manshûr ‘Alî Rajab, Ta’ammulât fi Falsafat al-Akhlâq , (Mesir: Maktabat al-Anglo al-
Mishrîyah, 1961), cet. ke-3.
38


      Islâm wa Shilatuhâ bi al-Falsafat al-Ighrîqîyah ”.49 Adapun istilah “‘ilm al-
      akhlâq” dapat ditemukan dalam beberapa kamus, seperti al-Mu‘jam al-
      Wasîth dan al-Mawrid.50

                 Adapun kata “al-adab” (kata jamak: al-âdâb) digunakan oleh Al-
      Mâwardî dalam bukunya yang berjudul Adab al-Dunyâ wa al-Dîn,51 juga
      oleh Ibn Jamâ‘ah dengan judul Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Muta‘allim fi Âdâb
      al-‘Âlim wa al-Muta‘allim.52

                 Dua kata “akhlâq” dan “âdâb” yang dipakai dalam beberapa buku
      tersebut di atas merupakan dua istilah kunci dalam pembahasan etika dalam
      Islam. Kedua kata itu kadangkala dipakai dalam arti yang sama, tapi juga
      tidak jarang digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Karena itulah
      perlu dilakukan penjernihan terhadap kedua istilah itu.

                 Akhlâq merupakan kata jamak dari kata khuluq atau khilq yang
      berbentuk tunggal (mufrad), yang berarti perangai (al-sajîyah), kelakuan
      atau watak dasar (al-tabî‘ah), kebiasaan (al-‘âdah), kehormatan (al-
      murû’ah), dan agama (al-dîn).53 Kata ini sudah menjadi kosa kata bahasa
      Indonesia dan ditulis dengan “akhlak”. Dalam bahasa Indonesia diberi arti
      budi pekerti; kelakuan.54

                 Kedua, isitilah “âdâb” yang merupakan kata berbentuk jamak dari
      kata “adab” yang berarti kebiasaan atau adat.55 Ada pula yang memberikan



       49
           Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm wa Shilatuhâ bi al-Falsafat al-
Ighrîqîyah, (Kairo: Mu’assasah al-Khanjî, 1963), cet. ke-3.
       50
          Lihat Ibrahîm Anîs (ed.), al-Mu‘jam al-Wasîth, (Kairo: t.p., 1960) dan Rohi Baalbaki, Al-
Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary , (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1993).
       51
           Lihat Abû al-Hasan al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn , (Mesir: Dâr al-Fikr, 1966),
cet. ke-1.
       52
           Badr al-Dîn ibn Jamâ‘ah, Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Muta‘allim fî Âdâb al-‘Âlim wa al-
Muta‘allim, (Hyderabab: Dâirat al-Ma‘ârif al-‘Utsmânîyah, 1354 H.).
       53
          Jamîl Shalibâ, al-Mu‘jam al-Falsafî, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishrî, 1978), vol. 1, h. 539.
       54
          Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar …, h. 17.
       55
           Demikian pendapat Thaha Husain sebagaimana dikutip Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, al-
‘Aql al-Akhlâqî al-‘Arabîy: Dirâsah Tah lîlîyah Naqdîyah li Nuzhum al-Qiyam fî al-Tsaqâfah al-
‘Arabîyah, (Maroko: Markaz Dirâsat al-Wihdat al-‘Arabîyah, 2001), cet. ke-1, h. 42.
39


      arti “adab” sebagai tingkah laku yang sopan.56 Di samping ada beberapa arti
      yang lain, seperti kesopanan, pendidikan, pesta, dan akhlak.57 Di sini kata
      “âdâb” mempunyai arti yang sama dengan “akhlâq”. Juga ditemukan dalam
      kamus yang lain, “adab” diartikan sejumlah aturan yang seyogyanya ditaati
      oleh sekelompok orang dalam satu profesi.58 Dengan arti ini, istilah “âdâb”
      tidak berbeda dengan istilah “kode etik”, suatu istilah yang cukup populer
      dalam perkembangan etika di zaman modern.

                  Demikian pula arti “adab” yang digambarkan dalam Ensiklopedi
      Oxford Dunia Islam Modern : refleksi tentang ideal-ideal mulia yang harus
      menginformasikan praktik keahlian sebagai negarawan, dokter, usahawan,
      dan kegiatan penting lainnya kepada masyarakat.59 Penjelasan ini tampaknya
      menempatkan istilah “adab” dalam makna yang lebih dekat dengan arti etika
      khusus, etika terapan, atau etika profesi. Salah satu buku yang membahas
      etika terapan adalah Âdâb al-Thabîb,60 yang menguraikan tentang kode etik
      yang berlaku dalam dunia kedokteran dan dijadikan pegangan oleh para
      dokter dalam melaksanakan profesinya sehari-hari.

                  Dalam aspek tertentu kata “adab” dapat disejajarkan dengan kata
      “etiket” yang berarti sopan santun, tata krama. Berbeda dengan etika, etiket
      memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Etiket menyangkut cara suatu
      perbuatan harus dilakukan manusia, sementara etika memberi norma tentang
      perbuatan itu sendiri; 2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan
      etika selalu berlaku kapanpun dan dimanapun.; 3) Etiket bersifat relatif,
      terbatas di dalam wilayah adat tertentu, sedangkan etika jauh lebih absolut;
      4) Etiket berkaitan dengan perbuatan lahiriah saja, sementara etika



      56
           Majd al-Dîn al-Fairûzabâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), vol. 1, h.
36.
      57
          Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir, h. 13-14.
      58
          Lihat Ibrahîm Anîs (ed.), al-Mu‘jam al-Wasîth, vol. 1, h. 9.
       59
           John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern , (Bandung: Mizan,
2002), cet. ke-2, vol. 2, h. 24.
       60
          John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford……., h. 24.
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ
ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ

More Related Content

What's hot

Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mtsRc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mtsChoy Fauzi
 
Bab i promosi jabatan revisi baru
Bab i promosi jabatan revisi baruBab i promosi jabatan revisi baru
Bab i promosi jabatan revisi baruuhamka
 
Research Methode
Research MethodeResearch Methode
Research Methodefajrinbaids
 
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...Ahmad Wahyudin Rock'n Roll
 
Rpp fiqih kelas 8
Rpp fiqih kelas 8Rpp fiqih kelas 8
Rpp fiqih kelas 8dania_3d
 
Rpp fiqih kelas viii new
Rpp fiqih kelas viii newRpp fiqih kelas viii new
Rpp fiqih kelas viii newkholidah3012
 
Cover, abstrak, daftar isi proposal ptk
Cover, abstrak, daftar isi proposal ptkCover, abstrak, daftar isi proposal ptk
Cover, abstrak, daftar isi proposal ptkMariz Cha Cha
 

What's hot (11)

Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mtsRc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
 
Bab i promosi jabatan revisi baru
Bab i promosi jabatan revisi baruBab i promosi jabatan revisi baru
Bab i promosi jabatan revisi baru
 
Silabus pai6sms2
Silabus pai6sms2Silabus pai6sms2
Silabus pai6sms2
 
Research Methode
Research MethodeResearch Methode
Research Methode
 
Bab i,v
Bab i,vBab i,v
Bab i,v
 
Silabus pembelajaran
Silabus  pembelajaranSilabus  pembelajaran
Silabus pembelajaran
 
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
Karya tulis-pendidikan-moral-sebagai-bingkai-pembentuk-calon-pendidik-berkara...
 
Eko sri darminto
Eko sri darmintoEko sri darminto
Eko sri darminto
 
Rpp fiqih kelas 8
Rpp fiqih kelas 8Rpp fiqih kelas 8
Rpp fiqih kelas 8
 
Rpp fiqih kelas viii new
Rpp fiqih kelas viii newRpp fiqih kelas viii new
Rpp fiqih kelas viii new
 
Cover, abstrak, daftar isi proposal ptk
Cover, abstrak, daftar isi proposal ptkCover, abstrak, daftar isi proposal ptk
Cover, abstrak, daftar isi proposal ptk
 

Viewers also liked

ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...
ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...
ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...Stanislav Martyushev
 
Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...
Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...
Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...Школьная лига РОСНАНО
 
Disseny d'un sistema de suport a l'es...
Disseny d'un sistema de suport a l'es...Disseny d'un sistema de suport a l'es...
Disseny d'un sistema de suport a l'es...jpozom752
 
М.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центры
М.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центрыМ.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центры
М.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центрыШкольная лига РОСНАНО
 
Л.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действий
Л.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действийЛ.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действий
Л.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действийШкольная лига РОСНАНО
 
Beaumont beautyandthebeast
Beaumont beautyandthebeastBeaumont beautyandthebeast
Beaumont beautyandthebeastddertili
 
DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM
DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM
DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM John Hutchison
 

Viewers also liked (20)

ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...
ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...
ARFI Herald #13 – The Russian Investor Relations Society Herald – Mar 2015 ed...
 
Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...
Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...
Мельников А.Е. - Деятельность ФИОП по развитию кадрового потенциала наноиндус...
 
положение о лиге школ РОСНАНО
положение о лиге школ РОСНАНОположение о лиге школ РОСНАНО
положение о лиге школ РОСНАНО
 
Гудилин Что делать?
Гудилин Что делать?Гудилин Что делать?
Гудилин Что делать?
 
брошюра программа Летней школы Роснано
брошюра программа Летней школы Роснаноброшюра программа Летней школы Роснано
брошюра программа Летней школы Роснано
 
книга 1
книга 1книга 1
книга 1
 
Shell Sculptures
Shell SculpturesShell Sculptures
Shell Sculptures
 
Disseny d'un sistema de suport a l'es...
Disseny d'un sistema de suport a l'es...Disseny d'un sistema de suport a l'es...
Disseny d'un sistema de suport a l'es...
 
презентация2
презентация2презентация2
презентация2
 
Лицей №3 (Старый Оскол)
Лицей №3 (Старый Оскол)Лицей №3 (Старый Оскол)
Лицей №3 (Старый Оскол)
 
Работа Надежды Прокофьевой
Работа Надежды ПрокофьевойРабота Надежды Прокофьевой
Работа Надежды Прокофьевой
 
район разработчиков.медицина
район разработчиков.медицинарайон разработчиков.медицина
район разработчиков.медицина
 
М.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центры
М.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центрыМ.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центры
М.М. Эпштейн - Региональные сети и ресурсные центры
 
Л.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действий
Л.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действийЛ.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действий
Л.С. Илюшин - Формирование универсальных учебных действий
 
Beaumont beautyandthebeast
Beaumont beautyandthebeastBeaumont beautyandthebeast
Beaumont beautyandthebeast
 
DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM
DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM
DIRECTED ENERGY PARTICLE ANTIMATTER BEAM
 
Игра Журналист
Игра ЖурналистИгра Журналист
Игра Журналист
 
Tonks langmuir sounds
Tonks langmuir soundsTonks langmuir sounds
Tonks langmuir sounds
 
Uuring 2010
Uuring 2010Uuring 2010
Uuring 2010
 
Я Леонардо 02.2011
Я Леонардо  02.2011 Я Леонардо  02.2011
Я Леонардо 02.2011
 

Similar to ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ

Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)
Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)
Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)lhiairilia
 
Kbk smp 06. pengetahuan alam
Kbk smp 06. pengetahuan alamKbk smp 06. pengetahuan alam
Kbk smp 06. pengetahuan alamJasmin Jasin
 
Pedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul Huda
Pedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul HudaPedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul Huda
Pedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul HudaNesi Anti Andini
 
Syarifudin, metode penelitian dakom
Syarifudin, metode penelitian dakomSyarifudin, metode penelitian dakom
Syarifudin, metode penelitian dakomSyarifudin Amq
 
Bab i,iv, daftar pustaka
Bab i,iv, daftar pustakaBab i,iv, daftar pustaka
Bab i,iv, daftar pustakadesti najla
 
Kbk sd 05. pengetahuan alam
Kbk sd 05. pengetahuan alamKbk sd 05. pengetahuan alam
Kbk sd 05. pengetahuan alamJasmin Jasin
 
IRVAN-FITK.docx
IRVAN-FITK.docxIRVAN-FITK.docx
IRVAN-FITK.docxSandiFadil
 
Pedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdf
Pedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdfPedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdf
Pedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdfAdityoPutraMahendra
 
Kbk smp b. pendidikan agama katolik
Kbk smp b. pendidikan agama katolikKbk smp b. pendidikan agama katolik
Kbk smp b. pendidikan agama katolikJasmin Jasin
 
Tesis ajuan
Tesis ajuanTesis ajuan
Tesis ajuansukmaidi
 
Skripsi kompetensi guru
Skripsi kompetensi guruSkripsi kompetensi guru
Skripsi kompetensi guruHaubibBro
 

Similar to ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ (20)

1. COVER.pdf
1. COVER.pdf1. COVER.pdf
1. COVER.pdf
 
Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)
Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)
Dv4013 perbandingan penggunaan metode ceramah dan diskusi (viani wai)
 
Kbk smp 06. pengetahuan alam
Kbk smp 06. pengetahuan alamKbk smp 06. pengetahuan alam
Kbk smp 06. pengetahuan alam
 
Pedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul Huda
Pedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul HudaPedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul Huda
Pedoman penulisan skripsi pgmi STKIP Nurul Huda
 
Bab i,v
Bab i,vBab i,v
Bab i,v
 
Syarifudin, metode penelitian dakom
Syarifudin, metode penelitian dakomSyarifudin, metode penelitian dakom
Syarifudin, metode penelitian dakom
 
Bab i,iv, daftar pustaka
Bab i,iv, daftar pustakaBab i,iv, daftar pustaka
Bab i,iv, daftar pustaka
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
Kbk sd 05. pengetahuan alam
Kbk sd 05. pengetahuan alamKbk sd 05. pengetahuan alam
Kbk sd 05. pengetahuan alam
 
Kti kartika nur auliana
Kti kartika nur aulianaKti kartika nur auliana
Kti kartika nur auliana
 
IRVAN-FITK.docx
IRVAN-FITK.docxIRVAN-FITK.docx
IRVAN-FITK.docx
 
Pedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdf
Pedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdfPedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdf
Pedoman-Penulisan-Skripsi-FSH-UIN-Jakarta-2017-min (1).pdf
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
Kbk smp b. pendidikan agama katolik
Kbk smp b. pendidikan agama katolikKbk smp b. pendidikan agama katolik
Kbk smp b. pendidikan agama katolik
 
Tesis ajuan
Tesis ajuanTesis ajuan
Tesis ajuan
 
Skripsi kompetensi guru
Skripsi kompetensi guruSkripsi kompetensi guru
Skripsi kompetensi guru
 

Recently uploaded

WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHWJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHRobert Siby
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRobert Siby
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSRobert Siby
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaRobert Siby
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Adam Hiola
 
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURANAYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURANBudiSetiawan246494
 
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfDianNovitaMariaBanun1
 

Recently uploaded (7)

WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAHWJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
WJIHS #44 Khotbah 120521 HCI Makna BIRU MERAH
 
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 ShortRenungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
Renungan Doa Subuh EIUC July 2024 Mazmur 88 Short
 
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUSWJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 5
 
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURANAYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT -  STUDI QURAN
AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT - STUDI QURAN
 
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdfPenampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
Penampakan Yesus setelah kebangkitan Lengkap.pdf
 

ETIKA SUFI IBN AL-'ARABÎ

  • 1. ETIKA SUFI Studi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Sebagian Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam Oleh: Mukhlisin Sa’ad NIM: 94.3.00.1.09.01.0030 Promotor: Dr. Said Aqil Siroj Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer Penguji: Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA. Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA. Dr. V. Irmayanti SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M. / 1429 H.
  • 2. DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL ................................................................................................ LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. KATA PENGANTAR ......................................................................................... v ABSTRAK DISERTASI ..................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................xiii PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................xv BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8 D. Metodologi Penelitian ............................................................................. 9 F. Tinjauan Pustaka .....................................................................................14 F. Sistematika Penulisan..............................................................................19 BAB II KERANGKA TEORITIS ETIKA.............................................................21 A. Pengertian Etika.......................................................................................21 B. Nilai Umum dan Nilai Etika....................................................................25 C. Pembagian Etika .....................................................................................30 D. Etika dalam Islam .................................................................................. 36 BAB III PEMIKIRAN ETIKA IBN AL-‘ARABÎ.................................................48 A. Ibn al-‘Arabî dan Etika............................................................................48 B. Problematika Etika dalam Wahdat al-Wujûd .........................................68 C. Manusia, Daya dan Kesempurnaannya .................................................78 D. Hakikat Perbuatan Manusia ..................................................................100 E. Kebebasan dan Tanggung Jawab ..........................................................114 F. Hak dan Kewajiban ...............................................................................123 G. Baik (al-Khayr) dan Buruk (al-Syarr) ................................................. 126 H. Akhlak dan Adab ..................................................................................136 I. Akhlak Mulia dan Tercela (Makârim al-Akhlâq wa Safsâfuhâ ) ............151 J. Kebahagiaan (al-Sa’âdah) dan Kesengsaraan (al-Syaqâ’) ....................158 K. Keadilan (al- ‘Adl) ................................................................................166 L. Cinta (al-Mahabbah) ............................................................................ 168 M. Persahabatan (al-Suhbah) .................................................................... 177 BAB IV KONTRIBUSI DAN RELEVANSI PEMIKIRAN ETIKA IBN AL- ‘ARABÎ ......................... ..................................................................... 182 A. Kontribusi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî ........................................... 182 B. Relevansi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî dengan Dunia Modern ........ 223 xiii
  • 3. BAB V PENUTUP.............................................................................................. 230 A. Kesimpulan .......................................................................................... 230 B. Rekomendasi......................................................................................... 235 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 238 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... xiv
  • 4. KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‘ala yang telah memberikan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw., pembawa pelita dan rahmat bagi sekalian alam. Disertasi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar doktor di bidang agama Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara garis besarnya disertasi ini membicarakan tentang pemikiran etika sufi Ibn al-‘Arabî dan relevansinya dengan kondisi masa kini. Dalam penulisan disertasi ini, penulis banyak menghadapi kendala, terutama yang berkenaan dengan karya-karya tulisnya dan karya-karya tulis para penulis lain mengenainya. Namun demikian, penulis berupaya semaksimal mungkin dan, alhamdulillah, tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan. Penyelesaian penulisan disertasi ini adalah berkat bantuan berbagai pihak. Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya secara khusus kepada: 1. Bapak Dr. Said Aqil Siroj sebagai pembimbing ke-1, 2. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer sebagai pembimbing ke-2, 3. Departemen Agama Republik Indonesia yang telah memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk di bangku kuliah S2 hingga S3 di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 4. Dosen-dosen penguji, Direktur beserta stafnya, terutama staf perpustakaan, para dosen serta rekan-rekan peserta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 5. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya, yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk melanjutkan studi,
  • 5. serta rekan-rekan dosen dan para karyawan di lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya, 6. Rektor IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang memberikan peluang bagi saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta rekan-rekan dosen dan karyawan di lingkungan IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo. 7. Ayahanda H. Ahmad Sa’ad Baidaie yang selalu memberikan dorongan moril untuk terus mengejar ilmu di manapun adanya, 8. Hj. Zulfa Badri, istri tercinta yang senantiasa sabar menemani dan memberikan support di sela-sela waktunya mengasuh dengan kasih para siswi Pondok Pesantren al-Mashduqiah Patokan Kraksaan Probolinggo serta membimbing dengan tekun keempat putra-putri kami, 9. Rekan-rekan dan semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu di sini, yang telah membantu hingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan sukses. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi penyempurnaan penelitian ini. Mudah-mudahan disertasi ini dapat menambah khazanah pengetahuan, khususnya di bidang filsafat dan tasawuf Islam serta khazanah ilmu-ilmu keislaman pada umumnya. Amin. Probolinggo, 8 Mei 2008 Mukhlisin Sa’ad
  • 6. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika seperti halnya ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya bersumber dari ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an mendasarkan sistem keagamaan pada prinsip- prinsip etis, karenanya tidak banyak perbedaan antara Islam dan etika Islam. Di dalam Islam hukum-hukum perdata dan pidana serta ajaran moral 1 tidak dapat dipisahkan secara ketat satu dengan yang lainnya dan tidak mungkin disebut sebagai sebuah sistem atau ilmu yang terpisah. Kaum muslim mulai belajar akhlak bersamaan dengan belajar Al- Qur’an. Bimbingan-bimbingan etis Al-Qur’an ditemukan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Sedikit saja di antaranya adalah: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula;”2 “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya;”3 “dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih- lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan (pembelanjaan) itu ada di tengah-tengah antara yang demikian;”4 ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang 1 Kata “moral” secara etimologis sama artinya dengan kata “etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Kata “moral” berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan, adat. Sedangkan asal kata “etika” dari bahasa Yunani ethikos atau ethos, yang memiliki banyak arti: adat, kebiasaan; tempat yang biasa, padang rumput, kandang; akhlak, watak; perasaan, sikap, dan cara berpikir. Lihat K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 4. Sedangkan istilah ajaran moral menunjuk pada sekumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. 2 Al-Qur’an, s. al-Rahmân/55:60. Selanjutnya disebut Q.s. Teks ayat-ayat Al-Qur’an dituliskan dalam lampiran. 3 Q.s. al-Nisâ’/4:36. 4 Q.s. al-Furqân/25:67.
  • 7. 2 perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan;”5 “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang- orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang; Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan;”6 “dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri–istri mereka atau budak– budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah oran-orang yang melampaui batas;7 “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh (Allah);”8 “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat’;”9 “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa;”10 “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih–lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan;”11 “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua saudaramu;” 12 “Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya;”13 “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara- 5 Q.s. al-Nahl/16:90. 6 Q.s. Âl ‘Imrân/3:134. 7 Q.s. al-Ma‘ârij/70:29-31. 8 Q.s. Luqmân/31:17. 9 Q.s. al-Nûr/24:30. 10 Q.s. al-Mâidah/5:8. 11 Q.s. al-A‘râf/7:31. 12 Q.s. al-Dukhân/44:10. 13 Q.s. al-Dukhân/44:9.
  • 8. 3 saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk meperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”14 Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan perintah- perintah semacam di atas yang menggambarkan bahwa terdapat karakter etis yang cukup jelas di dalam Al-Qur’an. Ajaran moral di dalam Islam sebagaimana dituangkan dalam Al- Qur’an dimaksudkan agar menjadi pedoman dan bimbingan dalam prilaku praktis dalam kehidupan seorang muslim. Ajaran tersebut telah diberikan contoh konkrit melalui kehidupan Rasulullah. Al-Qur’an memuji Nabi dengan penekanan pada akhlaknya yang luhur, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.15 Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk meyempurnakan akhlak yang mulia.”16 Dijelaskan pula di dalam sebuah hadits bahwa ketika ‘Aisyah—istri Nabi—ditanya oleh seorang sahabat tentang akhlak nabi, ‘Aisyah menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an.17 Ini membawa arti bahwa seluruh kehidupan Nabi menggambarkan seluruh pesan moral Al-Qur’an dalam bentuk perbuatan dan prilaku praktis. Selain memberikan keteladanan moral yang tiada duanya, banyak pula sabda-sabda beliau yang menerangkan sisi-sisi moral yang amat berguna dalam mengarahkan kehidupan seorang muslim. Meskipun prinsip-prinsip fundamental akhlak telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits, namun etika sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru mendapatkan bentuknya setelah pengaruh pemikiran dari luar mulai masuk ke tengah–tengah pemikiran muslim. Jika dirunut dari awal pertumbuhannya, 14 Q.s. al-Isrâ’/17:26-29. 15 Q.s. al-Qalam/68:4. 16 H.R. Ahmad, Baihaqî, dan al-Hâkim. Lihat Ibn al-‘Arabî, Kunh mâ lâ Budd li al-Murîd minh (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, 1987), h. 18, catatan no. 2. 17 Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), vol. 6, h. 188.
  • 9. 4 etika dalam Islam ditemukan dalam sumber yang luas dan merentang mulai dari tafsir Al-Qur’an hingga kalâm, dari komentator filosofis atas Aristoteles hingga teks sufi. Perkembangan etika dalam Islam dapat disajikan dalam bentuk tinjauan historis, atau dibagi berdasarkan tipologi teorinya. Dalam klasifikasi versi Majid Fakhri, etika Islam dibagi menjadi empat tipe: moralitas skriptural, etika teologis, etika filosofis, dan etika religius. Ada 18 satu tipe lagi, yaitu etika sufi, yang secara sengaja tidak ditempatkan sebagai sebuah tipe etika tersendiri, mengingat beberapa teorinya sudah masuk ke dalam atau ikut membentuk moralitas religius. Tetapi di dalam penelitian ini, yang memfokuskan pada pembahasan pemikiran etika seorang sufi, jenis etika ini secara tegas dan dengan maksud membedakannya dengan tipe etika lainnya diberi nama ‘etika sufi’. Teori-teori etika sufi berakar pada pengalaman ruhaniah dan konsepsi keagamaan para sufi. Dengan asumsi bahwa ajaran kaum sufi juga memberikan implikasi etis dan mempunyai signifikansi moral, maka etika yang berkembang di lingkungan para sufi mempunyai tipologi tersendiri yang perlu digali lebih jauh lagi. Tidak banyak—untuk tidak menyebut tidak ada—karya serius yang digarap oleh para sarjana untuk menjelaskan secara metodologis teori-teori moral yang berlandaskan pada doktrin-doktrin sufi. Sepanjang yang penulis temukan, al-Ghazâlî adalah tokoh yang pemikiran-pemikirannya di bidang akhlak dikaji dengan serius oleh para sarjana. Adalah Dr. Zaki Mubarak yang pertama kali melakukan rekonstruksi terhadap filsafat moral al-Ghazâlî. Dia menulis buku berjudul Al-Akhlâk ‘ind Al-Ghazâlî . Sebuah kajian yang sistematis dan luas terhadap etika al-Ghazâlî dilakukan oleh M. Umaruddin sebagaimana dituangkan dalam karyanya, The Ethical Philosophy of Al- Ghazâlî. Beberapa karya yang disebutkan di atas dapat dimasukkan dalam 18 Lihat Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden : E.J. Brill, 1991) h. 6-7; bandingkan M. Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazzali (Delhi: Adam Publisher& Distributors, 1996), h. 31-65.
  • 10. 5 kategori kajian Etika Sufi, hanya apabila Al-Ghazâlî dalam pemikiran moralnya dimasukkan kepada golongan sufi. Dengan demikian, sejauh pengetahuan penulis, belum ada karya serius yang ditulis oleh sarjana keislaman dengan memfokuskan pada penelitian Etika Sufi. Fakta inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dalam bidang Etika Sufi. Dalam hal ini tokoh sufi yang akan dikaji pemikiran, teori, dan sistem etikanya adalah Ibn al-‘Arabî. Sufi ini amat layak diteliti pemikiran moralnya karena beberapa alasan berikut. Pertama, sudah merupakan anggapan umum bahwa ajaran tasawuf yang bercorak unitarian, di mana makhluk dipandang identik dengan Khâliq, cenderung mengabaikan hukum-hukum keagamaan. Ajaran semacam ini dipandang antinomian dan tidak mengindahkan moralitas. Anggapan yang simplistis ini perlu dikaji ulang sejauh mana memiliki kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Penelitian ini akan melihat absah tidaknya pendapat bahwa tasawuf yang didasarkan pada doktrin wahdat al-wujûd cenderung eksesif. Kedua, ajaran wahdat al-wujûd yang dirumuskan dengan baik dan cerdas oleh Ibn al-‘Arabî oleh sebagian kalangan dipandang dengan sendirinya tidak memiliki implikasi moral dengan mana manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya. Moralitas menjadi sesuatu yang absurd dan tidak bisa dimengerti jika dikaitkan dengan doktrin wahdat al-wujûd. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji apakah ada implikasi moral dalam ajaran-ajaran Ibn al-‘Arabî dan membuktikan bagaimana implikasi moral tersebut dimungkinkan dalam doktrin wahdat al-wujûd. Ketiga, memang telah banyak ditulis karya–karya tentang Ibn al-‘Arabî, tetapi belum ada satu pun—menurut pengetahuan terbatas penulis—karya khusus yang mengkaji pemikiran etika Ibn al-‘Arabî. Karya A.E. Affifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Dîn Ibnul ‘Arabî,19 yang dianggap merupakan sumbangan sangat berharga untuk 19 A.E.Affifi, A Mystical Philosophy of Muhyîddin ibn ‘Arabi (Cambridge: University Press, 1939).
  • 11. 6 mempelajari pemikiran Ibn al-‘Arabî secara komprehensif, hanya menyinggung sedikit etika Ibn al-‘Arabî dalam bagian keempat bab “Ethics and Theodicy.” Pada waktu digelar peringatan 8 abad kelahiran Ibn al-‘Arabî, Taufîq al-Tawîl menyumbangkan tulisan pendek yang membahas pemikiran moral Ibn al-‘Arabî dengan judul “Falsafat al-Akhlâq al-Shûfiyyah ‘ind Ibn ‘Arabî”. 20 Tulisan ini membahas beberapa aspek pemikiran moral Ibn al-‘Arabî dengan ulasan yang singkat dan karenanya masih memerlukan elaborasi lebih dalam. William C. Chittick dalam karyanya Imaginal Worlds: Ibn al-Arabi and the Problem of Religious Diversity 21 memberikan ulasan yang pendek tentang pemikiran moral Ibnu al-Arabi dalam bagian pertama Bab 3 “Ethics and Antinomianism.” Di dalam Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî 22 karya Yunasril Ali, ada pembahasan walau sedikit mengenai kedudukan norma, etika, dan teodisi dalam konsep Insan Kamil menurut Ibn al-‘Arabî. Apa yang akan disorot dalam penelitian ini adalah keseluruhan pemikiran Ibn al-‘Arabi dalam etika sehingga bisa dilihat secara utuh konsep- konsep moral yang ditegakkan oleh Ibn al-‘Arabî di bawah sinaran doktrin- doktrin sufinya. Dalam penelitian ini dipertanyakan bagaimana ranah standar etika dan moral akan memiliki tempat dalam konsep wahdat al-wujûd. Selebihnya permasalahan ini tampaknya memiliki relevansi dengan masa-masa sekarang, ketika berbagai keterbatasan moral tradisional tidak mendapatkan tempat khusus dalam berbagai bentuk spritualitas yang memainkan peran nyata dalam masyarakat modern dan post-modern. Dalam filsafat mistis Ibn al-‘Arabî tersimpan kemungkinan menghadirkan konsep-konsep moral yang bisa 20 Wazârah al-Tsaqâfah, al-Kitâb al-Tidzkârî: Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fi al-Dzikrâ al- Mi’awiyyah al-Tsaminah limîlâldih (Kairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1969), h. 155-181. 21 William C. Chittick, Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabî and the Problem of Religious Diversity (Albany: SUNY Press, 1994). 22 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil ibn‘Arabî oleh al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997).
  • 12. 7 ditawarkan untuk menjadi solusi bagi berbagai problema moral yang dihadapi manusia zaman kini. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari latar belakang yang dipaparkan di muka dapat dinyatakan bahwa belum banyak kajian sistematis tentang Etika Sufi sebagaimana yang dilakukan pada sistem etika lainnya. Sejalan dengan bangkitnya spiritualitas dalam kehidupan manusia zaman modern, yang merasa tidak puas dengan hasil-hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena dipandang menimbulkan marginalisasi dan alienasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal, Etika Sufi bisa menjadi sistem moral alternatif untuk mengarahkan spiritualitas menjadi sesuatu yang positif bagi umat manusia. Ibn al-‘Arabî yang dikenal sebagai guru Sufi yang pengaruh pemikirannya melintasi ruang dan waktu layak sekali dikaji lebih mendalam signifikansi dan implikasi moral dari pemikirannya yang berintikan paham wahdat al-wujûd (kesatuan wujud). Mengingat paham ini bila dikaitkan dengan tindakan moral manusia dapat mengesankan bahwa tanggung jawab moral pada sisi manusia merupakan hal yang absurd, karena paham ini menegaskan transendensi dan imanensi Tuhan secara serentak. Sebagai orang yang sangat produktif, Ibn al-‘Arabî mempunyai pemikiran yang sangat luas dan meliputi berbagai bidang pengetahuan. Agar supaya penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî tetap terarah, maka masalahnya dibatasi pada: Pertama, problema etika dalam teori wahdat al- wujûd, serta daya-daya dan kesempurnaan manusia sebagaimana dikonsepsikan oleh Ibn al-‘Arabî. Kedua, problem-problem moral dalam pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, mencakup masalah-masalah: hakikat perbuatan manusia, kebebasan dan tanggung jawab manusia dan kaitannya dengan al-qadhâ' dan al-qadar serta al-jabr dan al-ikhtiyâr, al-khayr (baik) dan al-syarr (buruk), al-sa‘adah (kebahagiaan) dan al-syaqâ' (kesengsaraan), keadilan (al-‘adl), cinta (al-
  • 13. 8 mahabbah), dan persahabatan (al-suhbah). Perlu dijelaskan di sini bahwa masalah keadilan (al-‘adl), cinta (al-mahabbah), dan persahabatan (al-suhbah) layak diberikan bahasan mengingat etika sufi yang berlandaskan pada teori wahdat al-wujûd memberikan penekanan yang kuat pada perlunya harmoni dan keselarasan dalam kehidupan bersama di mana semuanya dipandang berasal dari dan kembali kepada Tuhan. Ketiga, relevansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan beberapa problema moral dalam zaman global sekarang dan kontribusi pemikirannya dalam empat etika terapan: etika keilmuan, etika dakwah, etika lingkungan hidup, dan etika kerukunan. Berdasarkan pembatasan masalah sebagaimana dipaparkan di atas maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, benarkah bahwa etika yang dibangun atas prinsip-prinsip teori wahdat al-wujûd sebagaimana digagas Ibn al-‘Arabî cenderung antinomian, eksesif dan mengabaikan syariah serta berlawanan dengan tanggung jawab moral manusia? Kedua, apa pandangan Ibn al-Arabî tentang masalah-masalah moral: takdir Tuhan, kebebasan dan tanggung jawab manusia, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, keadilan, cinta, dan persahabatan? Ketiga, apakah pemikiran etika Ibn al-‘Arabî mempunyai relevansi dengan problematika moral kekinian dan bagaimana relevansi itu bisa dijelaskan dan diterima serta sejauh mana pemikiran moral Ibn al-‘Arabî dapat dikontribusikan bagi beberapa etika terapan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Di antaranya: Pertama, menjelaskan pemikiran etika Ibn al-‘Arabî yang disimpulkan dari doktrin-doktrin mistiknya, khususnya konsep wahdat al- wujûd, sebagaimana termaktub dalam banyak karyanya sehingga dapat dipahami bahwa etika sufi Ibn al-‘Arabî tidak tergolong antinomian, eksesif,
  • 14. 9 dan berlawanan dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Kedua, menelaah pandangan Ibn al-‘Arabî tentang tema-tema moral tertentu sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah. Ketiga, mengetahui sejauh mana pemikiran etika Ibn al-‘Arabî memiliki signifikansi, relevansi dan kontribusi dalam perkembangan moral di masa kini. Karya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti berikut: Pertama, memberikan uraian yang lengkap dan tajam tentang pemikiran Ibn al-‘Arabî dalam bidang moral dan etika. Kedua, memberikan informasi tentang signifikansi dan relevansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan problematika moral dalam zaman modern. Ketiga, menyumbangkan pemikiran alternatif dalam pemecahan masalah krisis moral dan spiritual yang dialami oleh manusia di abad kini. D. Metodologi Penelitian Dalam sub-bab ini akan diuraikan secara terperinci bagaimana dan melalui pendekatan apa penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî akan dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting karena kekeliruan dalam menentukan pendekatan dan metode penelitian akan berakibat pada terganggunya validitas penelitian, sehingga kebenaran hasil penelitian tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Juga akan dipaparkan mengenai obyek dan jenis penelitian. Di samping itu akan dibahas pula sumber-sumber data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Obyek dan Jenis Penelitian Obyek penelitian ini adalah pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, seorang sufi besar yang gagasan-gagasannya mempengaruhi para sufi yang datang berikutnya, baik di belahan barat maupun timur Islam. Hingga saat ini pun banyak sarjana, di antaranya William C. Chittick, yang memusatkan studinya terhadap ide-ide Ibn al-‘Arabî. Penelitian ini memfokuskan pada ide-ide tokoh yang diteliti tanpa mengaitkan dengan riwayat kehidupan
  • 15. 10 tokoh di mana setting sosial pada umumnya sangat berpengaruh dalam membentuk prilaku maupun pemikiran sang tokoh. Sebenarnya dalam penelitian keagamaan ada satu bentuk penelitian tentang tokoh agama dengan mengungkapkan masalah tentang kehidupan dan pemikirannya.23 Tetapi sekali lagi penelitian ini membatasi obyeknya hanya pada pemikiran- pemikiran dan ide-idenya dalam bidang etika. Untuk sampai pada persoalan pokok ini maka pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan (library reseach) dan analisis isi (content analysis) secara kritis terhadap karya-karyanya. Sebagai penelitian perpustakaan, penelitian ini dapat dikategorikan dalam penelitian kualitatif, di mana data-data dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi, yaitu pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang berupa dokumen dalam bentuk buku-buku dan dalam bentuk yang lain.24 Sumber-sumber tertulis itu terbagi dua: sumber data primer dan sumber data skunder. 25 Kedua macam sumber itu sama-sama digunakan dalam penelitian, termasuk data sekunder tambahan yang membahas tentang etika dan mempunyai relevansi dengan obyek penelitian ini. 2. Pendekatan dan Metode Penelitian Kajian terhadap pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dalam penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis. Pendekatan semacam ini dimaksudkan agar terdapat persamaan alur pemikiran antara obyek yang diteliti dan pendekatan yang dilakukan. Dalam proses ini digunakan pendekatan yang 23 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet ke-2, h. 14. 24 Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), h. 159-60. Bandingkan Imran Arifin (ed), Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan (Malang: Kalimasahada Press, 1996), h. 4. 25 Sumber data primer adalah karya-karya tulis pribadi tokoh yang diteliti. Sedangkan karya-karya yang ditulis orang lain tentang tokoh yang diteliti termasuk sumber data sekunder. Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), h. 63.
  • 16. 11 bersifat mendasar, menyeluruh, dan spekulatif, karena ketiga sifat ini merupakan karakteristik berpikir filosofis.26 Dalam bagian-bagian tertentu penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosial historis (s ocial historical approach), yaitu suatu pendekatan penelitian yang memperhatikan konteks sosial dan sejarah. Setting sosial dan sudut pandang sejarah digunakan sebagai dasar pendekatan dalam memahami pemikiran Ibn al-‘Arabî tentang masalah-masalah etika. Sebagai studi kepustakaan yang seluruh substansinya memerlukan olahan filosofis dan terkait pada pemikiran dan ide, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis dan deskriptif. Dalam penelitian ini metode historis dijalankan dengan menghimpun data yang kemudian 27 diolah melalui penilaian, penyusunan dan penyimpulan. Dengan demikian metode ini digunakan untuk memahami teks yang diambil dari sumber pustaka primer, berupa buku-buku dan risalah-risalah yang merupakan hasil karya Ibn al-‘Arabî. Lebih dari itu, tentunya bukan hanya sekedar memahami, menjelaskan dan menafsirkan, melainkan pula diharapkan ada aktivitas merekonstruksi dan mereproduksi makna yang terkandung di dalam teks yang berupa data itu. 3. Sumber Data Sumber data primer penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî meliputi karya-karyanya yang membahas masalah pokok-pokok ajarannya dalam berbagai bidang yang luas, yang sebagian dan beberapa di antaranya, secara langsung maupun tidak langsung, secara khusus maupun umum, mendiskusikan masalah–masalah yang berkenaan dengan etika. Karyanya yang terpenting adalah Al-Futûhât al-Makkîyah dan Fusûs al-Hikam. Kedua karya ini memberikan informasi dan data terbesar dalam 26 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), h. 20-22.
  • 17. 12 penelitian ini, tentu saja di samping karya-karyanya yang lain yang tidak mungkin diabaikan sebagai sumber data primer. Di antaranya Kunhu mâ Lâ Budda minhu Li al-Murîd, Risâlah Rûh al-Quds, Tafsîr Al-Qur’an al-Karîm, al-Tâdbîrât al-Ilâhîyah fî Ishlâh al-Mamlakah al-Insânîyah , dan lainnya.28 Sumber data sekunder meliputi karya-karya ilmuwan lain yang membahas ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran Ibn al-‘Arabî sejauh memiliki relevansi dengan obyek penelitian. 4. Analisis Data Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa analisis data merupakan proses menyusun dan mengkategorikan data, mencari pola atau tema dengan maksud untuk memahami maknanya.29 Dalam penelitian ini analisis data bekerja sebagai sebuah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik bahan-bahan yang dikumpulkan untuk menemukan pemahaman yang benar terhadap pemikiran etika Ibn al-‘Arabî. Hasil analisis itu kemudian diungkapkan kepada orang lain dalam bentuk tulisan. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sepanjang penelitian berlangsung, bukan hanya sesudah selesainya pengumpulan data, melainkan sejak pengumpulan bahan-bahan. Karena itu kegiatan analisis data selama pengumpulan data meliputi: (a) menetapkan fokus penelitian, apakah tetap sebagaimana yang telah direncanakan atau perlu diubah; (b) penyusunan 27 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik (Bandung: Tarsito, 1975), h. 126-129. 28 Ada satu risalah pendek tentang akhlak yang dinisbatkan kepada Ibn al-‘Arabî, seperti yang diterbitkan oleh Muhyi al-Din Shabrî al-Kurdî pada 1328 H dalam sebuah kumpulan risalah karangan Ibn al-‘Arabî, al-Ghazâlî, Ibn Sînâ, dan lainnya. Juga diterbitkan oleh penerbit lain dalam sebuah buku tersendiri. Menurut penelitian Muhammad Yûsuf Mûsa, sebenarnya risalah ini bukan karya Ibn al-‘Arabî, bukan pula karya al-Jâhizh yang sering pula dicantumkan sebagai pengarangnya. Risalah ini sebenarnya karangan Yahyâ bin ‘Âdî al-Ya’qûbî, wafat 363 H. Lihat Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq, h. 272-3. 29 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Karya, 1989), h. 4-8. Sedangkan Bogdan dan Biklen memberikan penjelasan bahwa analisis data meliputi pengerjaan organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola, penemuan hal-hal yang penting yang dipelajari, dan penentuan apa yang harus dikemukakan kepada orang lain. Lihat Bogdan & Biklen, Quantitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods (Boston: Allyn and Bacon, 1982), h. 52.
  • 18. 13 temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah berhasil dikumpulkan; (c) pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya; (d) pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya; dan (e) penetapan saran-saran pengumpulan data (informasi, situasi, dokumen) berikutnya.30 Studi tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî ini menggunakan beberapa metode analisis data. Pertama, metode analisis deskriptif. Dengan metode analisis deskriptif dimaksudkan bahwa semua pemikiran Ibn al- ‘Arabî yang terkait dengan etika akan diuraikan secara utuh menurut tema- tema yang disusun oleh peneliti sesuai dengan tema-tema etika yang biasa digunakan. Ini bertujuan untuk memahami jalan pikiran dan maksud yang termuat dalam pemikirannya secara utuh. Kedua, metode analisis komparatif, yaitu suatu metode analisis data yang menggunakan perbandingan sebagai salah satu cara memahami lebih baik pemikiran seseorang. Dalam penelitian ini, penulis akan membandingkan pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan pemikiran tokoh lain, baik dari kalangan filosof maupun sufi, sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaan pemikiran Ibn al-‘Arabî dengan para pemikir lainnya dalam masalah-masalah etika. Ketiga, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kritis.31 Metode analisis ini diperlukan guna memberikan deskripsi dan interpretasi yang memadai terhadap data-data yang diperoleh dari sumber primer. Metode analisis kritis bekerja dengan menempatkan pentingnya kritik dalam deskripsi dan interpretasi data.32 30 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), cet. ke-1, h. 192-193. 31 Jujun S. Suriasumantri, Buku Pedoman Penelitian Ilmu, Filsafat dan Agama , (Jakarta: Lembaga Penelitian IKIP, 1992), h. 12-22. 32 FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak ….., h. 75.
  • 19. 14 E. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka akan dikaji penelitian-penelitian yang membahas pemikiran Ibn al-‘Arabî dalam arti luas, baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum. Pemikiran Ibn al-‘Arabî yang tertuang dalam banyak karyanya selama paruh pertama abad lalu tidak begitu menarik para sarjana, khususnya di Barat, untuk mengkajinya. Justeru mereka mengabaikan dan melupakannya, kecuali segelintir dari mereka, seperti H.S. Nyberg, Miguel Asin Palacios, dan R.A. Nicholson, yang memulai tugas sulitnya dengan menganalisis karya-karya Ibn al-‘Arabî. Pada 1950 hingga 1960-an, Titus Burckhardt, Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu mengakui adanya siratan kefilsafatan yang menarik dalam korpus Ibn al-‘Arabî yang luar biasa. Alih- alih keterbatasan kajian mereka atas peran Ibn al-‘Arabî dalam tradisi intelektual Islam, mereka berusaha menegaskan relevansi umum dari berbagai tulisannya bagi sejarah pemikiran manusia. Ada sejumlah alasan mengapa banyak sarjana Barat kurang meminati tokoh ini. Yang utama adalah bahwa karya-karyanya jauh lebih besar dan sulit dipahami, sehingga mendorong seseorang untuk tidak membuang waktu bertahun-tahun sekadar mempelajari karya-karya tersebut. Alasan kedua ialah kebanyakan mereka meyakini sekali bahwa metode-metode ilmiah modern telah memberi mereka pemahaman lebih tinggi terhadap segala sesuatu, sehingga membuat mereka merasa bebas untuk menolak segala hal yang tak teratur, tidak koheren, dan berbau takhayul, sepanjang benar-benar tidak melanggar anggapan mereka, padahal Ibn al-‘Arabî seringkali melakukan itu. Namun belakangan ini, ketertarikan kepada Ibn al-‘Arabî meningkat dan tidak sedikit sarjana yang telah ikut membantu menawarkan berbagai segi dari kepribadian dan ajarannya. Di sini akan disebutkan beberapa karya yang dianggap penting. Karya H.S. Nyberg yang berjudul Kleinere Schriften des Ibn
  • 20. 15 ‘Arabi33 dapat dianggap sebagai karya perintis untuk kajian ilmiah tentang Ibn al-‘Arabî. Karya ini, di samping memuat tiga karya singkat Ibn al-‘Arabî, memberikan penilaian kritis terhadap beberapa pandangan metafisis Sufi ini yang terkandung dalam tiga karya tersebut. Karya M. Asin Palacios yang berjudul El Islam cristianizado 34 adalah karya perintis lain yang memaparkan uraian lengkap dan terperinci tentang kehidupan Ibn al-‘Arabî dan uraian ringkas tentang pemikiran mistiko-etisnya. Karya A.E. Affifi The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul 35 ‘Arabî merupakan sumbangan sangat berharga untuk mempelajari pemikiran Ibn-‘Arabî secara komprehensif. Karya ini memberikan penyajian sistematis mengenai pandangan mistik Ibn al-‘Arabi dan dianggap pengantar umum terbaik kepada pemikirannya. Karya Henry Corbin L’Imagination creatrice dari Le Soufisme d’Ibn ‘Arabî36 merupakan suatu studi yang mendalam tentang perumpamaan mistik dan simbolisme spiritual Ibn al-’Arabî. Meskipun mengaku menggunakan pendekatan fenomenologis, Corbin terlalu jauh melibatkan diri dalam pemikiran mistik. Rom Landau, melalui karyanya The Philosophy of Ibn ‘Arabî ,37 berusaha menyumbangkan suatu pengantar singkat yang berguna untuk 33 H.S. Nyberg, KleinereSchriften des Ibn al-‘Arabî (Leiden: E.J. Brill, 1919). Tiga karya Ibn al-‘Arabî yang dimuat dalam buku ini ialah: Insyâ’ al-Dawa’ir, ‘Uqlat al-Mustawfiz, dan al- Tadbîrât al-Ilâhiyyah fi Islâh al-Mamlakah al-Insâniyyah . 34 M. Asin Palacios, El Islam cristianizado: Estudio del sufismoa traves de las obrasde abenarabi de Murcia (Madrid: Editorial Plutaro, 1931). Terjemahan tak lengkap karya ini ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh ‘Abd al-Rahman Badawi dengan judul Ibn ‘Arabî: Hayâtuhu wa Madzhabuhu (Kuwait & Beirut: Wakâlat al-Mathbû‘at & Dâr al-Qalam, 1979). Terjemahan Prancisnya dilakukan oleh B. Durant dengan judul L’Islam Christiannise:Etude sur le Soufisme d’Ibn ‘Arabi de Murcie (Paris: Guy Trenadiel, 1982). 35 Lihat catatan no. 19 di atas. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman dengan judul Filsafat Mistis Ibnu 'Arabi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989). Sayang, terjemahan ini terlalu banyak kekeliruannya. 36 Henry Corbin, L’Imagination crèatrice dans le Soufisme d’Ibn’Arabî (Paris:Flammarion, 1958). Terjemahan Inggris karyas ini dikerjakan oleh Ralph Manheim dengan judul Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabî . 37 Rom Landau, The Philosophy of Ibn ‘Arabî (London: George Allen & Unwin Ltd., 1995)
  • 21. 16 mempelajari aspek-aspek pemikiran Ibn al-‘Arabî, namun tidak memberikan analisis yang mendalam dan kritis. Bagian ketiga karya Seyyed Hossein Nasr Three Muslim Sages,38 meskipun pendek, merupakan suatu pengantar yang bermanfaat untuk mempelajari pemikiran Ibn al-‘Arabî. Karya Toshihiko Izutsu Sufism and Taoism,39 adalah studi perbandingan antara Ibn al-‘Arabî dan Lao-tzu dan Chuang-tzu melalui analisis semantik secara metodologis tentang istilah-istilah kunci ketiga pemikir itu. Kelebihan karya ini terletak pada kedalaman interpretasinya tentang istilah- istilah kunci dan kaitannya satu sama lain. Karya Masataka Takeshita Ibn ‘Arabî’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought ,40 seperti tergambar pada judulnya, merupakan suatu studi kritis tentang teori Ibn al-‘Arabî mengenai Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) dan tempat teorinya itu dalam sejarah pemikiran Islam. Karya ini merupakan suatu penelitian tentang pemikiran Ibn al-‘Arabi dalam hubungannya dengan tradisi-tradisi pemikiran pra-Islam dan Islam sebelum Ibn al-‘Arabi dalam perspektif historis. Sesuai dengan judul karyanya, The Pantheistic Monism of Ibn al- ‘Arabî,41 S.A.Q. Husaini, di dalamnya, memaparkan filsafat Ibn al-‘Arabî sebagai monisme panteistik. Karya ini menjelaskan kaitan filsafat Ibn al- 38 Karya ini diterjemahkan oleh Salâh al-Sawî ke dalam bahasa Arab sebagai Tsalâtsat Hukumâ Muslimin (Beirut: Dâr al- Nahâr li-al-Nasyr, 1971). Terjemahannya dari terjemahan Arab ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Ahmad Mujahid sebagai Tiga Pemikir Islam (Bandung: Penerbit Risalah, 1986), tetapi ditemukan banyak kesalahannya. 39 T. Izutsu, Sufism and Taoism:A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983). Pada mulanya, karya ini berjudul A Comparative Study of the Key Philosophical Concepts in Sufism and Taoism , 2 vol. (Tokyo: Keio University, 1966-1967). 40 Masataka Takeshita, Ibn ‘Arabîs’s Theory of the Perpect Man and its Place in the History of Islamic Thought (Tokyo: Institut for the Study of Languages and Cultures of Asia and Africa, 1987). 41 S.A.Q. Husaini, The Pantheistic Monism of Ibn al-‘Arabî (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1970).
  • 22. 17 ‘Arabî, yang berporos pada paham wahdat al-wujûd, dengan berbagai aliran panteisme yang mungkin mempengaruhinya. Suatu studi perbandingan yang kritis antara teori-teori emanasi Plotinus, John the Scot, Meister Eckhart, dan Ibn al-‘Arabî, telah dilakukan oleh Michael Antony Sells. Bagian keempat atau terakhir karya Sells ini, “The Metaphor and Dialectic of Emanation in Plotinus, John the Scot, Meister Eckhart, and Ibn al-‘Arabî, 42 menyorot secara kritis teori Ibn al-‘Arabî tentang tajallî (penampakan-diri Tuhan) atau faydh (emanasi) dan membandingkannya dengan teori-teori ketiga tokoh tersebut tentang masalah yang sama. Karya lain yang patut disebut di sini adalah Falsafat al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl Al-Qur’an ‘inda Muh yî al-Dîn Ibn al-‘Arabî , karya Nasr Hâmid Abû Zayd.43 Karya ini memaparkan secara sistematis filsafat Ibn al- ‘Arabî yang berkenaan dengan segi-segi ontologis dan epistemologis yang didukungnya dengan penakwilan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan analisis yang cukup tajam dan kritis, Abû Zayd menguraikan penakwilan Ibn al-‘Arabî terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang ditujukan untuk memberikan argumentasi religius pada gagasan besarnya, wahdat al-wujûd, dan berbagai masalah yang terkait dengannya. Adapun tentang riwayat hidup Ibn al-‘Arabî, sebagai pengantar dapat dibaca dalam Sufis of Andalusia , The Rûh al-Quds and al-Durrat al-Fâkhirah of Ibn ‘Arabî, pada pendahuluan yang ditulis oleh R.W.J. Austin.44 Karya yang paling lengkap membahas riwayat hidup Ibn al- ‘Arabî adalah Ibn al- ‘Arabî ou La quête du Soufre Rouge dari Claude Chodkiewicz-Addas.45 Karya ini 42 Michael Anthony Sells, The Metaphor and Dialectic of Emanation in Plotinus , John the Scot, Meister Eckhart, and Ibn ‘Arabî , buku Doktor Filsafat pada University of Chicago (Chicago: University ofChicago, 1982). 43 Nasr Hamîd Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl Al-Qur’an ‘inda Muhyî al- Dîn Ibn ‘Arabî (Beirut: Dâr al-Wahdah, 1983). 44 Ibn al-‘Arabî, Sufis of Andalusia , The Ruh al-quds and al-Durrat al-fakhirah of Ibn al- ‘Arabî (London: George Allen & Unwin Ltd, 1971). 45 Claude Chodkiewicz-Addas, Ibn al- ‘Arabî ou La quête du Soufre Rouge (Paris: Gallimard, 1989). Karya ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Quest for
  • 23. 18 merupakan studi mendalam paling detil pada saat ini tentang kehidupan pribadi Ibn al-‘Arabî. Semua peristiwa penting dalam kehidupan Ibn al-‘Arabî dapat dibaca di sini. Karya lain yang perlu pula dicatat di sini adalah Le Sceau dessaints: Prophetie et saintete dans la doctrine d’ Ibn al-‘Arabî oleh Michel Chodkiewicz.46 Karya ini merupakan suatu studi yang baik tentang konsep Ibn al-‘Arabî mengenai al-walâyah (kewalian) dan konsep-konsep yang berkaitan sebagaimana terdapat dalam al-Futûhât al-Makkiyah dan karya-karya lain Sufi ini. Willian C. Chittick menilai bahwa kajian sarjana Perancis ini, yang menyoroti ‘‘kewalian” dalam perspektif historis dan menunjukkan bagaimana Ibn al-‘Arabî memahaminya, menyumbangkan tidak hanya aspek teoritis tetapi juga aspek praktis ajaran-ajaran Ibn al-‘Arabî.47 Karya William C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al- ‘Arabî’s Metaphysics of Imagination ,48 adalah suatu studi sistematis tentang berbagai aspek metafisika Ibn al-‘Arabî. Karya ini menjadikan al-Futûhât al- Makkîyah sebagai sumber tunggal utama dan melalaikan Fushûsh al-Hikâm dan karya-karya lain Sufi ini. Buku ini lebih merupakan suatu kumpulan terjemahan dan bagian-bagian pilihan al-Futûhât daripada suatu analisis ilmiah. Lebih dari 600 bagian dari al-Futûhât diterjemahkan dalam buku ini sehingga kira-kira 75% keseluruhan kandungan, di luar catatan dan indeks, adalah terjemahan itu. Namun karya ini sangat membantu kajian tentang pemikiran Ibn al-‘Arabî. Buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas tentang detail paling sulit dari filsafat mistik Ibn al-‘Arabî, yaitu doktrin The Red Sulphur: Life of Ibn al-‘Arabî , terj. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Text Society, 1993). 46 Michel Chodkiewicz, Le Sceau des saints: Prophêtie es saintetê dans la doctrine d’Ibn al-‘Arabî (Paris: Gallimard, 1986). 47 William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge : Ibn al- ‘Arabî’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), h. xix-xx. 48 Lihat catatan no. 50 di atas.
  • 24. 19 wahdat al al-wujûd, adalah karya Kautsar Azhari Noer, Ibn al-’Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan .49 Di dalam buku ini dipaparkan gagasan-gagasan wahdat al-wujûd Ibn al-‘Arabî, yang terkenal dan rumit itu dalam bahasa yang sederhana tetapi tetap berbobot, juga diperbandingkan secara kritis dengan panteisme dan paham-paham yang serupa. Penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî belum banyak dilakukan. Memang ada beberapa tulisan yang membahas konsep-konsep etika Ibn al-‘Arabî, di antaranya oleh Muhammad Yûsuf Mûsâ dalam bukunya, Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm ,50 yang menganalisis berbagai pemikiran akhlak dalam Islam yang dikemukakan oleh berbagai kelompok pemikir, terdiri dari teolog, filosof, dan sufi. Juga Taufîq Thawîl dalam sumbangan karangan berjudul “Al-Akhlâq ‘inda Ibn al-‘Arabî”, dalam buku al-Kitâb al-Tidzkârî Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fî al-Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tsâminah limîlâdihî 1165-1240 H.51 F. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. Pada bab dua dibahas tentang konsep etika secara umum sebagai kerangka teoritis untuk memahami dengan lebih baik pemikiran etika Ibn al- ‘Arabî. Di sini dibahas perbedaan etika dengan moral agar kedua istilah dapat dimaknai secara benar. Wacana berikutnya adalah mengenai pembagian etika dilihat dari beberapa aspek. Sedangkan titik tekan dalam bab ini adalah 49 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî , Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina, 1998). 50 Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm wa shilâtuhâ bi al-Falsafat al- Ighrîqîyah, (Cairo: Mu’assasah al-Khanjî, 1963), h. 226-312.
  • 25. 20 pembahasan tentang etika dalam Islam dan beberapa aliran yang berkembang di dalamnya. Selanjutnya dalam bab ketiga dijelaskan pemikiran etika Ibn al- ‘Arabî, diawali kajian tentang karir, prestasi dan perjalanan Ibn al-‘Arabî, serta perhatian dan karya-karynya dalam bidang etika. Sub-bab perjalangan hidup Ibn al-‘Arabî lebih merupakan pengantar untuk dapat memahami perhatian Ibn al-‘Arabî terhadap etika. Sub-bab berikutnya adalah menjelaskan pemikiran- pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, dimulai dengan kajian tentang problematika moral dalam wahdat al-wujûd, manusia, daya-daya dan kesempurnaan yang dimilikinya, realitas perbuatan manusia, kebebasan dan tanggung jawab, hak dan kewajiban, baik dan buruk, akhlak dan adab, akhlak mulia dan akhlak tercela, kebahagiaan dan kesengsaraan, keadilan, cinta, dan persahabatan. Bab empat menjelaskan kontribusi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî terhadap masalah etika dan kemungkinan penerapan sistem etika Ibn al-‘Arabî dalam kehidupan praktis dalam wujud etika keilmuan, etika lingkungan, etika dakwah, dan etika kerukunan. Juga dibahas relevansi dan signifikansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan perkembangan moral dalam era modern dan global. Sedangkan bab terakhir, bab lima, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi. 51 Lihat al-Kitâb al-Tidzkârî Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fî al-Dzikrâ al-Mi’awiyyah al- Tsâminah limîlâdihî 1165-1240 H . (Cairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, 1969), h. 155-180.
  • 26. BAB II KERANGKA TEORITIS ETIKA Sebelum dilakukan pembahasan tentang subyek kajian disertasi ini, akan diberikan terlebih dahulu gambaran tentang etika pada umumnya dan perkembangan etika Islam pada khususnya. Penyajian gambaran kerangka teoritis ini dimaksudkan untuk mengantarkan pemahaman terhadap etika Islam, aliran- alirannya, dan sejarah perkembangannya. Beberapa hal yang disajikan dalam bab ini terkait dengan persoalan-persoalan etika secara umum, etika Islam, aliran- alirannnya, dan sejarah pertumbuhannya. Sebagai pengantar kepada diskusi masalah-masalah etika dalam Islam, kajian-kajian dalam bab ini bersifat umum dan deskriptif. Sebelum membahas etika Islam, terlebih dahulu akan dilakukan pembahasan tentang beberapa permasalahan dalam etika secara umum. Antara meliputi pengertian etika dan moral, masalah nilai, kebebasan dan tanggung jawab, dan aliran-aliran dalam etika. A. Pengertian Etika Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggalnya adalah ethikos atau ethos, yang mempunyai banyak arti: adat, kebiasaan; tempat yang biasa, padang rumput, kandang; akhlak, watak; perasaan, sikap, dan cara berpikir.1 Bentuk jamaknya adalah ta etha yang artinya adat kebiasaan. Arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah ‘etika’ yang oleh filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 s.M.), sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata ethikos, menurut Cicero, ekuivalen dengan kata moralis. Kedua kata itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.2 Dengan kata lain etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral.” Karena keduanya berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang 1 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 4. 2 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62.
  • 27. 22 pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin. Untuk mengerti arti terminologis etika, salah satu caranya adalah dengan merujuk pada kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,3 “etika” dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Arti terminologis “etika” sebagai sebuah ilmu telah dirumuskan oleh banyak pakar dengan redaksi yang berbeda, akan tetapi mengarah pada maksud yang sama. Jan Hendrik Rapar, mengartikan etika sebagai pengetahuan yang membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.4 Sidi Gazalba mengatakan bahwa etika adalah teori tentang laku-perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.5 Menurut Louis O. Kattsof, etika adalah cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai betul atau right dan salah atau wrong, dalam arti susila atau moral dan tidak susila immoral.6 Sementara Ahmad Amin menguraikan bahwa etika adalah suatu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada yang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuataan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.7 Adapun batasan etika menurut Franz Magnis-Suseno adalah “usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan bagaimana ia harus 3 Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Depdikbud, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-3, 1994), h. 271. 4 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62. 5 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, ), h. 34. 6 Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, cet. Ke-7, 1996), h. 349. 7 Ahmad Amin, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishrîyah, tt.), h. 3.
  • 28. 23 hidup kalau ia mau menjadi baik.”8 Dia juga menjelaskan bahwa etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.”9 Dengan definisi yang lebih ringkas, K. Bertens menyebutkan bahwa etika adalah ilmu tentang yang baik atau buruk.10 Dan etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat— seringkali tanpa disadari—menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam pengertian tidak berbeda dengan filsafat moral. Tentang kata “moral” secara etimologis sama artinya dengan kata “etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Kata “moral” berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Sedangkan asal kata “etika” dari bahasa Yunani ethos, yang beberapa artinya telah dijelaskan di depan. Dengan demikian kata “moral” sama dengan “etika” menurut arti pertama, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Maka ketika disebutkan tidak bermoral, dengan itu dimaksudkan bahwa perbuatan itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Dalam pengertian yang sama dengan “moral” sering digunakan kata “moralitas” yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Kata ini berarti segi moral atau sifat moral dari suatu perbuatan. Meskipun pada dasarnya artinya sama dengan “moral”, tapi nadanya lebih abstrak. Telah disebutkan bahwa immoral berarti tidak susila atau tidak baik. Lalu apa arti amoral yang juga sering terdengar oleh telinga kita? Arti dua kata ini tidak dapat dicampuradukkan karena perbedaan antara keduanya sangatlah jelas. Amoral berarti “tidak berhubungan dengan konteks moral”, “di luar 8 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Gramedia, ), h. 17. 9 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, h. 17. 10 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 6.
  • 29. 24 suasana etis”, atau “non-moral.” Sedangkan immoral berarti “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “berlawanan dengan susila”, “secara moral buruk”, atau “tidak etis”. 11 Sebagai sebuah ilmu, “etika” memerlukan obyek sebagai sasaran kajiannya. Dikatakan oleh Ahmad Amin bahwa obyek etika adalah segala perbuatan yang muncul dari orang yang melakukannya dengan sengaja dan sadar, dan ia mengetahui apa yang ia lakukan pada saat melakukannya. Inilah yang dapat dihukumi baik atau buruk. Demikian pula semua perbuatan yang timbul tanpa kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu sadar.12 Dengan demikian obyek kajian etika menyangkut perbuatan sadar manusia, baik oleh diri sendiri atau oleh pengaruh orang lain, yang dilandasi oleh kehendak bebas. Karena itu perbuatan yang dilakukan tanpa kesadaran, dipaksa oleh pihak lain, dan tidak disertai niat dalam batin, tidak termasuk obyek kajian etika.13 Adapun “etika” menurut pengertian kedua (kumpulan asas atau nilai moral) identik dengan kode etik. “Etika Rumah Sakit Indonesia”, disingkat ERSI, yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1986 jelas dimaksudkan “kode etik” dengan penggunaan kata-kata “etika.”14 Kata “etika” dalam pengertian kedua ini sering kali diganti dengan istilah “kode etik” yang saat ini cukup populer. Beberapa di antaranya adalah “Kode Etik Mahasiswa” (disingkat KEM) IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Kode Etik anggota DPRD di berbagai daerah di Indonesia. Arti ketiga lebih mendasar daripada arti pertama dan kedua. Dengan rumusan yang lebih tajam kata “etika” dalam arti ketiga dapat disebut sebagai “nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.” Jika orang berbicara 11 K. Bertens, Etika, h. 7. 12 Ahmad Amin, Kitâb al-Akhlâq, h. 5. 13 Ahmad Mudlor, Etika Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), h. 24. 14 K. Bertens, Etika, h. 6.
  • 30. 25 tentang “etika Jawa,”15 “etika agama Budha,” atau “etika Protestan,”16 maka tidak dimaksudkan “ilmu”, melainkan sebuah “sistem nilai yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun masyarakat”. Begitu pula kata “etika sufi” menunjuk sebuah sistem nilai yang berlaku, berkembang, dan berfungsi dalam kalangan sufi, yakni mereka yang mendalami dan mengamalkan tasawuf di dalam kehidupan sehari-hari. B. Nilai Umum dan Nilai Etika 1. Nilai Umum Etika merupakan salah satu cabang dari aksiologi, yakni ilmu tentang nilai. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang juga meliputi ontologi dan epistemologi. Jika ontologi membahas tentang sejauh mana sesuatu itu ada dan epistemologi mengkaji sejauh mana sesuatu itu dapat dikenal dan diketahui, maka aksiologi membahas tentang untuk apa sesuatu itu ada. Dengan kata lain aksiologi membahas tentang nilai. Pengertian nilai secara umum meliputi nilai baik-buruk, benar-salah, indah-jelek, dan nilai- nilai lain yang tercakup dalam pembahasan tentang nilai-nilai. Kata nilai (dalam bahasa Inggeris disebut value) berasal dari bahasa Latin ‘valere’ yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat.17 Dalam bahasa Arab nilai disebut dengan istilah al-qîmah.18 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti nilai dengan beberapa pengertian, antara lain, nilai berarti harga, banyak sedikitnya isi; kadar mutu, dan sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi 15 Sebagaimana dibahas oleh Franz Magnis-Suseno dalam bukunya, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999). 16 Istilah ini digunakan dalam buku ahli sosiologi dari Jerman, Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism , diterjemah ke dalam bahasa Inggeris oleh Talcott Parsons. 17 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 713. 18 Lihat Louis Ma‘lûf, al-Munji fî al-Lughah wa al-’A‘lâm , (Lebanon: Dâr al-Masyriq, 1992), h. 664. Lihat juga Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia , (Jogjakarta: Multi Karya Grafika, tt.), h. 1481.
  • 31. 26 kemanusiaan.19 Ada beberapa pengertian nilai sebagaimana dijelaskan oleh Lorens Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat:20 1. Harkat: Kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi obyek 2. Keistimewaan: Apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah tidak bernilai atau nilai negatif. 3. Ilmu ekonomi, yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali menggunakan secara umum kata nilai. Gordon Allport mengatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.21 Menurut pandangannya, nilai berada dalam wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan berada di tempat yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan. Dengan demikian, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah- tidak indah, pada wilayah ini merupakan hasil dari rangkaian proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya. 22 Definisi nilai dalam perspektif sosiologis diberikan oleh Kupperman yang memandang nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.23 Di sini nilai dilihat sebagai penentu prilaku manusia yang datang dari luar, yakni yang dianut oleh masyarakat. Dengan mengikuti nilai yang dianut oleh masyarakat, maka seseorang akan merasa 19 Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 690. 20 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 713-714. 21 G.W. Allport, Pattern and Growth in Personality, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1964), h. 17. 22 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , (Bandung: Alfabeta, 2004), cet. ke-1, h. 9. 23 J.J. Kupperman, The Foundation of Morality , (London: George Allen & Unwin, 1983), h. 31.
  • 32. 27 aman dalam hidupnya. Kluckhohn, sebagaimana dikutip Brameld,24 mendefinisikan nilai sebagai konsepsi yang membedakan individu atau ciri-ciri kelompok dari apa-apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara, dan tujuan akhir tindakan. Dengan demikian nilai memberikan implikasi terhadap pemaknaan budaya dalam pengertian yang lebih spesifik. Implikasi-implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif atau logik dan rasional serta proses katetik atau ketertarikan maupun penolakan berdasar kata hati. Kedua, nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi. Ketiga, apabila itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara unik oleh individu atau kelompok. Keempat, karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya disamakan dengan apa yang diinginkan. Nilai didefinisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial. Kelima, pilihan di antara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends). Keenam, nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.25 Dari beberapa implikasi yang disebutkan di atas, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa sesuatu dipandang memiliki nilai apabila dipersepsi 24 T. Brameld, Education as Power, (New York: Holt, Rinerat and Winston Inc, 1975), h. 19. 25 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 10-11.
  • 33. 28 sebagai sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang menarik. Maka seperti makanan, minuman, mobil, tanah, dan benda-benda konkrit lainnya, begitu pula gagasan, konsep, ide, seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, dan yang lainnya, memiliki nilai karena dipersepsi sebagai sesuatu yang baik, dan keinginan untuk memerolehnya memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. 26 Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut: 1) Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka nilai tidak ada juga. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu. 3) Nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Menurut K. Bertens, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya dengan alasan bahwa obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda.27 Terdapat banyak macam nilai. Beberapa contoh di antaranya nilai ekonomis, seperti tersurat dalam konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ada nilai estetis yang berkaitan dengan keindahan. Tetapi secara global nilai-nilai yang dibahas dalam bidang filsafat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok: 1) Nilai yang berkenaan dengan kebaikan, atau dengan baik- buruknya suatu perbuatan yang dibahas oleh etika atau filsafat moral. 2) Nilai yang berhubungan dengan keindahan atau berkenaan dengan nilai indah-tidak indah yang dikaji dalam estetika. 3) Nilai berkaitan dengan kebenaran atau dengan nilai benar-salah yang dibahas oleh logika. Namun 28 demikian klasifikasi yang disebutkan di atas belum menampung semua nilai yang ada, karena klasifikasi yang benar-benar memuaskan barangkali tidak mungkin juga, mengingat subyektifitas nilai yang tak terelakkan. 26 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 11. 27 K. Bertens, Etika, h. 141. 28 Fuâd Farîd Ismâ‘îl dan ‘Abd al-Hamîd Mutawallî, Mabâdi’ al-Falsafah wa al-Akhlâq , (Kuwait: Wazârah al-Tarbiyah, 1978), h. 198.
  • 34. 29 2. Nilai Etika atau Nilai Moral Secara umum apa yang dibicarakan tentang nilai tentu berlaku juga untuk nilai moral. Namun demikian, nilai moral memiliki kekhususan sehingga sesuatu nilai dapat menjadi nilai moral. Nilai moral tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan nilai-nilai lain. Kejujuran, misalnya, merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan pada nilai lain, seumpama nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan nilai moral yang berbobot jika dikaitkan dengan cinta antara suami-istri. Beberapa kekhususan nilai moral dapat dijelaskan sebagai berikut:29 1) Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Dengan kata lain, suatu nilai moral hanya bisa diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang bersangkutan. Karena manusia sendiri yang menjadi sumber nilai moralnya. Dan hal ini tergantung pada kebebasannya. 3) Nilai moral berkaitan dengan hati nurani. Karena itu himbauan untuk melakukan sesuatu nilai moral yang baik atau meninggalkan sesuatu nilai moral yang buruk bersumber dari “dalam”, yaitu nurani manusia. 4) Bahwa nilai moral mewajibkan manusia secara absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris. Artinya, nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja, tanpa syarat, berbeda dengan dengan imperatif hipotetis. Kejujuran memerintah kita untuk mengembalikan barang yang kita pinjam, suka tidak suka. Keharusan ini berlaku mutlak, tanpa syarat. 4) Nilai moral bersifat formal. Maksudnya, bahwa nilai moral tidak memiliki “isi” tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Seorang pedagang menerapkan nilai moral “kejujuran” bersamaan dengan mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Jadi, realisasi nilai-nilai moral hanya dimungkinkan dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu “tingkah laku moral.” 29 K. Bertens, Etika, h. 143-7.
  • 35. 30 Dilihat dari sumbernya, nilai-nilai moral dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, nilai normatif yang bersumber dari buah pikiran manusia dalam menata kehidupan bersama. Kedua, nilai preskriptif yang bersumber dari wahyu. Pada nilai jenis pertama, kualitas baik-buruk merupakan tema abstrak yang disifatkan pada muatan hukum positif, adat kebiasaan atau adat istiadat, dan perilaku etis. Adapun yang kedua, nilai yang bersumber dari wahyu, kualitas baik-buruk merupakan tema abstrak yang disifatkan pada perintah dan larangan yang terdapat dalam wahyu serta pada perwujudan perilaku atau akhlak seseorang. 30 Salah satu persoalan yang diperdebatkan dalam etika adalah apakah nilai moral merupakan sebuah fakta empiris atau bukan. Menyangkut soal ini terdapat dua aliran yang berseberangan. Aliran pertama, naturalisme, yang menganggap nilai merupakan fakta, dan oleh karena itu keputusan tentang nilai dapat diuji secara empiris. Sedangkan aliran kedua, non- naturalisme, berpandangan bahwa nilai bukan merupakan fakta, oleh karena itu keputusan nilai menurut aliran ini tidak dapat dibuktikan secara empiris.31 Atas dasar ini, bagi aliran pertama, perilaku yang baik seperti jujur, dermawan, adil, dan sebagainya atau perilaku sebaliknya dapat dijadikan indikator bagi pelakunya apakah dia berperilaku baik atau sebaliknya. Tetapi tidak demikian bagi aliran kedua, karena nilai itu tidak faktual, melainkan bersifat normatif.32 C. Pembagian Etika Telah dijelaskan di muka bahwa etika salah satu artinya adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan tingkah laku moralnya. Dalam mempelajari tingkah laku moral manusia, ada pelbagai cara dan pelbagai pendekatan ilmiah. Di sini akan 30 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 21-22. 31 Paul W. Taylor (ed.), Problem of Moral Philosophy and Introduction to Ethics , (California: Dickenson Publishing Company, Inc, 1967), h. 355-356. 32 Amri M, Etika Islam, (Yogyakarta: LSFK2P dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. ke-1, h. 213.
  • 36. 31 disebutkan tiga pendekatan dalam studi etika dan atas dasar pendekatan itu etika dibagi menjadi tiga, sebagaimana dilakukan oleh banyak ahli filsafat. 1. Etika Deskriptif Etika deskriptif adalah etika yang menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ia melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas. Misalnya, adat kebiasaan, angggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif bertolak dari kenyataan bahwa ada pelbagai fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spritual, misalnya religi dan seni. 33 Karena bersifat melukiskan, etika deskriptif tidak memberi penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau kepala yang ditemukan dalam masyarakat primitif, tapi ia tidak mengatakan bahwa adat semacam itu dapat diterima atau harus ditolak. Jadi, etika deskriptif hanya bertujuan mengerti perilaku moral yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya, tanpa memberi penilaian. Dengan sifat kajian dan pendekatan yang demikian, bidang garapan etika deskriptif sekarang ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial. Di antaranya: antropologi budaya, psikologi, sosiologi, sejarah, dan semacamnya.34 Contoh bagus mengenai etika deskriptif adalah hasil studi yang dilakukan oleh seorang psikolog Amerika Lawrence Kohlberg (1927-1988) tentang perkembangan kesadaran moral dalam hidup seorang manusia. 35 Beberapa studi sosiologis yang dilakukan dalam banyak negara tentang korupsi, prostitusi, dan penyakit sosial lainnya, dapat pula digolongkan dalam etika deskriptif. 33 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63. 34 K. Bertens, Etika, h. 16. 35 Hasil studi psikolog ini dapat dibaca dalam buku L. Kohlberg, The Psychology of Moral Development, (San Francisco: Harper and Row, 1984).
  • 37. 32 Kemudian etika deskriptif dapat dibagi menjadi dua bagian, sejarah moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral adalah bagian etika deskriptif yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pada kurun waktu dan batasan tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar seperti bangsa. Sebagai kajian sejarah, akan diteliti pula sejauh mana norma-norma moral bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Adapun fenomenologi moral merupakan etika deskriptif yang berusaha menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak berkompeten menyediakan petunjuk-petunjuk atau batasan-batasan moral yang perlu dipegang oleh manusia. Singkatnya, ia tidak membahas apa yang dimaksud dengan yang benar dan apa yang dimaksud dengan yang salah.36 Dengan demikian dapat dimengerti bahwa etika deskriptif ini sebetulnya termasuk ilmu pengetahuan empiris dan bukan filsafat. Meskipun etika deskriptif tidak dapat disetarakan dengan etika filosofis, namun di antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Supaya dapat menjalankan tugasnya dengan baik, seorang filosof yang ingin melakukan kajian etika membutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang moralitas dalam berbagai konteks budaya. Kalau ia ingin membangun suatu pendirian yang mendasar tentang masalah korupsi, perlulah ia ketahui lebih dahulu bagaimana korupsi berfungsi dalam masyarakatnya sendiri dan dalam masyarakat-masyarakat lain, baik di zaman sekarang maupun di masa lampau. Dan sebaliknya, seorang sosiolog, psikolog, antropolog, atau sejarahwan yang mengkaji fenomena-fenomena moral, sebaiknya mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang teori-teori moral, sehingga hasil-hasil kajiannya lebih terarah dan lebih berbobot. 36 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
  • 38. 33 2. Etika Normatif Bidang terpenting dari etika dan bagian di mana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral adalah etika normatif. Etika ini disebut pula filsafat moral (moral philosophy) atau biasa juga dinamakan etika filosofis (philosophical ethics). Di sini ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam etika deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku moral manusia. Ia tidak lagi membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi ia menentukan pendirian menolak prostitusi sebagai suatu pranata sosial yang bertentangan dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu dapat diberantas sampai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma “martabat wanita sebagai manusia harus dihormati.” Secara singkat dapat dikatakan, etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam kehidupan praktis.37 Dilihat dari sudut obyek kajiannya, etika normatif dapat dibagi menjadi dua bagian: 1) Etika normatif yang membahas teori-teori nilai (theories of value). Etika ini secara khusus mempersoalkan sifat kebaikan dari suatu perilaku manusia didasarkan pada nilai yang dikandungnya. 2) Etika normatif yang berkenaan dengan teori-teori keharusan (theories of obligation). Etika normatif ini membicarakan kewajiban-kewajiban moral yang harus dilakukan oleh manusia.38 Etika normatif juga dapat dibagi lebih lanjut dalam etika umum dan etika khusus.39 Etika umum40 memandang tema-tema umum seperti: Apa itu 37 K. Bertens, Etika, h. 18. 38 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63. 39 K. Bertens, Etika, h. 18. 40 Terkait dengan istilah ini, dengan maksud yang sama Franz Von Magnis-Suseno memilih menggunakan istilah “etika dasar”. Lihat bukunya, Etika Dasar (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 1996).
  • 39. 34 norma moral? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab? Dan berbagai tema lainnya yang seperti itulah yang menjadi obyek penyelidikan etika umum. Sedangkan etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan kata lain, aturan-aturan normatif dalam etika diterapkan dalam perilaku-perilaku faktual untuk mendapatkan suatu kesimpulan etis. Tradisi etika semacam ini sering kali diberi nama baru sebagai “etika terapan” (applied ethics). Dari sinilah terbentuk pelbagai kajian etika khusus seperti etika bisnis, etika politik, etika sosial, etika lingkungan, dan sebagainya. Sebagian ahli filsafat membagi etika normatif menjadi dua golongan, etika teleologis dan etika deontologis. Etika teleologis berpendirian bahwa moralitas suatu perbuatan ditentukan oleh konsekuensi- konsekuensi atau tujuan-tujuan yang ditimbulkannya. Artinya, baik tidaknya perbuatan tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis. Jadi, yang diperhatikan di sini adalah hasil dan tujuan dari suatu perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Adapun etika deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu perbuatan sebenarnya ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.41 Dapat pula dikatakan bahwa sistem etika ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata- mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Ini sejalan dengan arti kata deon yang berasal dari bahasa Yunani: apa yang harus dilakukan atau kewajiban. Yang menciptakan sistem moral ini adalah filosof besar dari 41 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 65.
  • 40. 35 Jerman, Immanuel Kant. Ia dianggap salah seorang pemikir terbesar di bidang filsafat moral. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kekayaan, kecerdasan, atau kesehatan, misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat, semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan pun bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat. Lalu apakah yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant, kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, seseorang memberi derma kepada pengemis, karena hatinya tergerak oleh keadaannya yang menyedihkan. Perbuatan seperti itu tidak patut disebut baik. Karena perbuatan disebut baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Bertindak sesuai dengan kewajiban itulah yang oleh Kant disebut imperatif kategoris.42 Yakni bahwa kewajiban moral mengandung suatu imperatif (perintah) kategoris yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. 3. Metaetika Awalan meta- (dari bahasa Yunani) pada kata etika mempunyai arti “melebihi”, “melampaui.”43 Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan- ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang kita pergunakan di bidang moral. Dengan demikian metaetika adalah sebuah cabang dari etika yang membahas dan menyelidiki serta menetapkan 42 K. Bertens, Etika, h. 256. Lihat pula M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), cet. ke-2, h. 91. 43 Lihat Webster’s Third New International Dictionary (USA: Merriam-Webster Inc., t.th.), vol. 2, h. 1418-9.
  • 41. 36 arti dan makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan- pertanyaan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus, di antaranya adalah: keharusan, baik, buruk, benar, salah, terpuji, tercela, adil, yang semestinya, dan sebagainya.44 Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question.45 Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan normatif dapat diucapkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif). Dengan meminjam istilah dalam logika, apakah dari premis deskriptif dapat ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kini para filosof yang mendalami masalah ini umumnya sepakat bahwa hal itu tidak mungkin, karena kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang sekurang-kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga. D. Etika dalam Islam Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa etika deskriptif dapat dibagi menjadi dua bagian: sejarah moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral adalah bagian etika deskriptif yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan- aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pada kurun waktu dan batasan tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar seperti bangsa dan agama. Sebagai kajian sejarah, akan diteliti pula sejauh mana norma-norma moral bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Termasuk dalam sejarah moral adalah kajian tentang etika Islam. Berikut ini akan dibahas tentang etika dalam Islam meliputi pengertian beberapa istilah dan aliran-aliran etika dalam Islam. Etika dalam Islam atau etika Islam ditemukan dalam sumber yang 44 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 65. 45 Lihat K. Bertens, Etika, h. 21.
  • 42. 37 merentang luas mulai dari tafsir Al-Qur’ân hingga kalâm, dari komentar- komentar filosofis atas Aristoteles hingga teks-teks sufi. Wacana etika di dalam Islam telah diupayakan perumusannya oleh berbagai pemikir dari berbagai cabang pemikiran, dari ulama hukum (fuqahâ’), para teolog (mutakallimûn), para filosof (falâsifah), dan kaum mistikus atau sufi (shûfîyûn). Karena itu sebuah tinjauan historis tentang etika Islam harus didasarkan pada berbagai tipe teori-teori yang berkembang dalam sejarah pemikiran etika Islam. Dalam sub-bab ini akan diuraikan beberapa istilah kunci dalam etika Islam seperti “akhlak” dan “adab”, perkembangan sepintas tentang kajian etika Islam, ciri-ciri khusus etika Islam, dan beberapa aliran dalam etika Islam. 1. Penjernihan Beberapa Istilah Kata “etika” biasanya dialihkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan istilah “al-akhlâq”, “‘ilm al-akhlâq”, “falsafat al-akhlâq”, atau “al-âdâb”. Zaki Mubarak yang membahas pemikiran moral al-Ghazâlî menamakan bukunya dengan judul “Al-Akhlâq ‘ind al-Ghazaâlî ”.46 Demikian pula Ahmad Amin dan As’ad al-Sahmarani menggunakan kata “al-akhlâq” yang menunjuk kepada arti “etika” dalam bukunya masing- masing.47 Istilah “falsafat al-akhlâq ” digunakan dalam buku yang disusun oleh Manshûr ‘Alî Rajab yang berjudul “Ta’ammulât fi Falsafat al- Akhlâq”.48 Demikian juga Muhammad Yûsuf Mûsâ yang menggunakan istilah yang sama dalam bukunya dengan judul “Falsafat al-Akhlâq fî al- 46 Lihat Zakî Mubârak, al-Akhlâq ‘ind al-Ghazâlî , (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabiy lil al- Thibâ‘at wa al-Nasyr, t.t.), cet. ke-1. 47 Ahmad Amîn, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Mathba‘at Dâr al-Kutub al-Mishrîyah, 1929), cet. ke-3 dan As’ad al-Sahmarani, al-Akhlâq fî al-Islâm wa al-Falsafah al-Qadîmah , (Beirut: Dâr al- Nafâ’is, 1993), cet. ke-3. 48 Manshûr ‘Alî Rajab, Ta’ammulât fi Falsafat al-Akhlâq , (Mesir: Maktabat al-Anglo al- Mishrîyah, 1961), cet. ke-3.
  • 43. 38 Islâm wa Shilatuhâ bi al-Falsafat al-Ighrîqîyah ”.49 Adapun istilah “‘ilm al- akhlâq” dapat ditemukan dalam beberapa kamus, seperti al-Mu‘jam al- Wasîth dan al-Mawrid.50 Adapun kata “al-adab” (kata jamak: al-âdâb) digunakan oleh Al- Mâwardî dalam bukunya yang berjudul Adab al-Dunyâ wa al-Dîn,51 juga oleh Ibn Jamâ‘ah dengan judul Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Muta‘allim fi Âdâb al-‘Âlim wa al-Muta‘allim.52 Dua kata “akhlâq” dan “âdâb” yang dipakai dalam beberapa buku tersebut di atas merupakan dua istilah kunci dalam pembahasan etika dalam Islam. Kedua kata itu kadangkala dipakai dalam arti yang sama, tapi juga tidak jarang digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Karena itulah perlu dilakukan penjernihan terhadap kedua istilah itu. Akhlâq merupakan kata jamak dari kata khuluq atau khilq yang berbentuk tunggal (mufrad), yang berarti perangai (al-sajîyah), kelakuan atau watak dasar (al-tabî‘ah), kebiasaan (al-‘âdah), kehormatan (al- murû’ah), dan agama (al-dîn).53 Kata ini sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia dan ditulis dengan “akhlak”. Dalam bahasa Indonesia diberi arti budi pekerti; kelakuan.54 Kedua, isitilah “âdâb” yang merupakan kata berbentuk jamak dari kata “adab” yang berarti kebiasaan atau adat.55 Ada pula yang memberikan 49 Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm wa Shilatuhâ bi al-Falsafat al- Ighrîqîyah, (Kairo: Mu’assasah al-Khanjî, 1963), cet. ke-3. 50 Lihat Ibrahîm Anîs (ed.), al-Mu‘jam al-Wasîth, (Kairo: t.p., 1960) dan Rohi Baalbaki, Al- Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary , (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1993). 51 Lihat Abû al-Hasan al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn , (Mesir: Dâr al-Fikr, 1966), cet. ke-1. 52 Badr al-Dîn ibn Jamâ‘ah, Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Muta‘allim fî Âdâb al-‘Âlim wa al- Muta‘allim, (Hyderabab: Dâirat al-Ma‘ârif al-‘Utsmânîyah, 1354 H.). 53 Jamîl Shalibâ, al-Mu‘jam al-Falsafî, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishrî, 1978), vol. 1, h. 539. 54 Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar …, h. 17. 55 Demikian pendapat Thaha Husain sebagaimana dikutip Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, al- ‘Aql al-Akhlâqî al-‘Arabîy: Dirâsah Tah lîlîyah Naqdîyah li Nuzhum al-Qiyam fî al-Tsaqâfah al- ‘Arabîyah, (Maroko: Markaz Dirâsat al-Wihdat al-‘Arabîyah, 2001), cet. ke-1, h. 42.
  • 44. 39 arti “adab” sebagai tingkah laku yang sopan.56 Di samping ada beberapa arti yang lain, seperti kesopanan, pendidikan, pesta, dan akhlak.57 Di sini kata “âdâb” mempunyai arti yang sama dengan “akhlâq”. Juga ditemukan dalam kamus yang lain, “adab” diartikan sejumlah aturan yang seyogyanya ditaati oleh sekelompok orang dalam satu profesi.58 Dengan arti ini, istilah “âdâb” tidak berbeda dengan istilah “kode etik”, suatu istilah yang cukup populer dalam perkembangan etika di zaman modern. Demikian pula arti “adab” yang digambarkan dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern : refleksi tentang ideal-ideal mulia yang harus menginformasikan praktik keahlian sebagai negarawan, dokter, usahawan, dan kegiatan penting lainnya kepada masyarakat.59 Penjelasan ini tampaknya menempatkan istilah “adab” dalam makna yang lebih dekat dengan arti etika khusus, etika terapan, atau etika profesi. Salah satu buku yang membahas etika terapan adalah Âdâb al-Thabîb,60 yang menguraikan tentang kode etik yang berlaku dalam dunia kedokteran dan dijadikan pegangan oleh para dokter dalam melaksanakan profesinya sehari-hari. Dalam aspek tertentu kata “adab” dapat disejajarkan dengan kata “etiket” yang berarti sopan santun, tata krama. Berbeda dengan etika, etiket memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia, sementara etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri; 2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan etika selalu berlaku kapanpun dan dimanapun.; 3) Etiket bersifat relatif, terbatas di dalam wilayah adat tertentu, sedangkan etika jauh lebih absolut; 4) Etiket berkaitan dengan perbuatan lahiriah saja, sementara etika 56 Majd al-Dîn al-Fairûzabâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), vol. 1, h. 36. 57 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir, h. 13-14. 58 Lihat Ibrahîm Anîs (ed.), al-Mu‘jam al-Wasîth, vol. 1, h. 9. 59 John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern , (Bandung: Mizan, 2002), cet. ke-2, vol. 2, h. 24. 60 John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford……., h. 24.