Disertasi ini membahas pemikiran etika sufi Ibn al-‘Arabî dan relevansinya dengan kondisi masa kini. Tinjauan latar belakang masalah membahas pentingnya etika dalam Islam yang bersumber dari ajaran Al-Qur'an dan teladan Nabi Muhammad."
1. ETIKA SUFI
Studi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Sebagian Syarat
Guna Memperoleh Gelar
Doktor dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
Mukhlisin Sa’ad
NIM: 94.3.00.1.09.01.0030
Promotor:
Dr. Said Aqil Siroj
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
Penguji:
Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA.
Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA.
Dr. V. Irmayanti
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M. / 1429 H.
2. DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
ABSTRAK DISERTASI .....................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
D. Metodologi Penelitian ............................................................................. 9
F. Tinjauan Pustaka .....................................................................................14
F. Sistematika Penulisan..............................................................................19
BAB II KERANGKA TEORITIS ETIKA.............................................................21
A. Pengertian Etika.......................................................................................21
B. Nilai Umum dan Nilai Etika....................................................................25
C. Pembagian Etika .....................................................................................30
D. Etika dalam Islam .................................................................................. 36
BAB III PEMIKIRAN ETIKA IBN AL-‘ARABÎ.................................................48
A. Ibn al-‘Arabî dan Etika............................................................................48
B. Problematika Etika dalam Wahdat al-Wujûd .........................................68
C. Manusia, Daya dan Kesempurnaannya .................................................78
D. Hakikat Perbuatan Manusia ..................................................................100
E. Kebebasan dan Tanggung Jawab ..........................................................114
F. Hak dan Kewajiban ...............................................................................123
G. Baik (al-Khayr) dan Buruk (al-Syarr) ................................................. 126
H. Akhlak dan Adab ..................................................................................136
I. Akhlak Mulia dan Tercela (Makârim al-Akhlâq wa Safsâfuhâ ) ............151
J. Kebahagiaan (al-Sa’âdah) dan Kesengsaraan (al-Syaqâ’) ....................158
K. Keadilan (al- ‘Adl) ................................................................................166
L. Cinta (al-Mahabbah) ............................................................................ 168
M. Persahabatan (al-Suhbah) .................................................................... 177
BAB IV KONTRIBUSI DAN RELEVANSI PEMIKIRAN ETIKA IBN AL-
‘ARABÎ ......................... ..................................................................... 182
A. Kontribusi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî ........................................... 182
B. Relevansi Pemikiran Etika Ibn al-‘Arabî dengan Dunia Modern ........ 223
xiii
3. BAB V PENUTUP.............................................................................................. 230
A. Kesimpulan .......................................................................................... 230
B. Rekomendasi......................................................................................... 235
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 238
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................
RIWAYAT HIDUP PENULIS ...........................................................................
xiv
4. KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‘ala
yang telah memberikan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan
disertasi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad saw., pembawa pelita dan rahmat bagi sekalian alam.
Disertasi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar
doktor di bidang agama Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara garis besarnya disertasi ini
membicarakan tentang pemikiran etika sufi Ibn al-‘Arabî dan relevansinya dengan
kondisi masa kini.
Dalam penulisan disertasi ini, penulis banyak menghadapi kendala,
terutama yang berkenaan dengan karya-karya tulisnya dan karya-karya tulis para
penulis lain mengenainya. Namun demikian, penulis berupaya semaksimal
mungkin dan, alhamdulillah, tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan. Penyelesaian
penulisan disertasi ini adalah berkat bantuan berbagai pihak.
Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya secara khusus kepada:
1. Bapak Dr. Said Aqil Siroj sebagai pembimbing ke-1,
2. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer sebagai pembimbing ke-2,
3. Departemen Agama Republik Indonesia yang telah memberikan dana
beasiswa sejak penulis duduk di bangku kuliah S2 hingga S3 di Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
4. Dosen-dosen penguji, Direktur beserta stafnya, terutama staf perpustakaan,
para dosen serta rekan-rekan peserta Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta,
5. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk melanjutkan studi,
5. serta rekan-rekan dosen dan para karyawan di lingkungan IAIN Sunan
Ampel Surabaya,
6. Rektor IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang memberikan peluang
bagi saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, serta
rekan-rekan dosen dan karyawan di lingkungan IAI Nurul Jadid Paiton
Probolinggo.
7. Ayahanda H. Ahmad Sa’ad Baidaie yang selalu memberikan dorongan
moril untuk terus mengejar ilmu di manapun adanya,
8. Hj. Zulfa Badri, istri tercinta yang senantiasa sabar menemani dan
memberikan support di sela-sela waktunya mengasuh dengan kasih para
siswi Pondok Pesantren al-Mashduqiah Patokan Kraksaan Probolinggo
serta membimbing dengan tekun keempat putra-putri kami,
9. Rekan-rekan dan semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu di sini, yang telah membantu hingga penulisan disertasi ini
dapat diselesaikan dengan sukses.
Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan penelitian ini. Mudah-mudahan disertasi ini dapat menambah
khazanah pengetahuan, khususnya di bidang filsafat dan tasawuf Islam serta
khazanah ilmu-ilmu keislaman pada umumnya. Amin.
Probolinggo, 8 Mei 2008
Mukhlisin Sa’ad
6. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika seperti halnya ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya bersumber dari
ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an mendasarkan sistem keagamaan pada prinsip-
prinsip etis, karenanya tidak banyak perbedaan antara Islam dan etika Islam. Di
dalam Islam hukum-hukum perdata dan pidana serta ajaran moral 1 tidak dapat
dipisahkan secara ketat satu dengan yang lainnya dan tidak mungkin disebut
sebagai sebuah sistem atau ilmu yang terpisah.
Kaum muslim mulai belajar akhlak bersamaan dengan belajar Al-
Qur’an. Bimbingan-bimbingan etis Al-Qur’an ditemukan dalam banyak ayat
Al-Qur’an. Sedikit saja di antaranya adalah: “Tidak ada balasan kebaikan
kecuali kebaikan pula;”2 “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya;”3 “dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan (pembelanjaan) itu ada di tengah-tengah
antara yang demikian;”4 ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
1
Kata “moral” secara etimologis sama artinya dengan kata “etika”, sekalipun bahasa
asalnya berbeda. Kata “moral” berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Sedangkan asal kata “etika” dari bahasa Yunani ethikos atau ethos, yang memiliki
banyak arti: adat, kebiasaan; tempat yang biasa, padang rumput, kandang; akhlak, watak; perasaan,
sikap, dan cara berpikir. Lihat K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 4.
Sedangkan istilah ajaran moral menunjuk pada sekumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
2
Al-Qur’an, s. al-Rahmân/55:60. Selanjutnya disebut Q.s. Teks ayat-ayat Al-Qur’an
dituliskan dalam lampiran.
3
Q.s. al-Nisâ’/4:36.
4
Q.s. al-Furqân/25:67.
7. 2
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan;”5 “(Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang; Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan;”6 “dan orang-orang yang
memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri–istri mereka atau budak–
budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. Barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah oran-orang yang
melampaui batas;7 “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa
yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan oleh (Allah);”8 “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan pandangan, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang mereka perbuat’;”9 “Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa;”10 “Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih–lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan;”11 “Sesungguhnya orang-orang
mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua
saudaramu;” 12 “Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya;”13 “Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-
5
Q.s. al-Nahl/16:90.
6
Q.s. Âl ‘Imrân/3:134.
7
Q.s. al-Ma‘ârij/70:29-31.
8
Q.s. Luqmân/31:17.
9
Q.s. al-Nûr/24:30.
10
Q.s. al-Mâidah/5:8.
11
Q.s. al-A‘râf/7:31.
12
Q.s. al-Dukhân/44:10.
13
Q.s. al-Dukhân/44:9.
8. 3
saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Dan
jika kamu berpaling dari mereka untuk meperoleh rahmat dari Tuhanmu yang
kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.”14 Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan perintah-
perintah semacam di atas yang menggambarkan bahwa terdapat karakter etis
yang cukup jelas di dalam Al-Qur’an.
Ajaran moral di dalam Islam sebagaimana dituangkan dalam Al-
Qur’an dimaksudkan agar menjadi pedoman dan bimbingan dalam prilaku
praktis dalam kehidupan seorang muslim. Ajaran tersebut telah diberikan
contoh konkrit melalui kehidupan Rasulullah. Al-Qur’an memuji Nabi dengan
penekanan pada akhlaknya yang luhur, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.15 Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku diutus
untuk meyempurnakan akhlak yang mulia.”16 Dijelaskan pula di dalam sebuah
hadits bahwa ketika ‘Aisyah—istri Nabi—ditanya oleh seorang sahabat tentang
akhlak nabi, ‘Aisyah menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an.17 Ini
membawa arti bahwa seluruh kehidupan Nabi menggambarkan seluruh pesan
moral Al-Qur’an dalam bentuk perbuatan dan prilaku praktis. Selain
memberikan keteladanan moral yang tiada duanya, banyak pula sabda-sabda
beliau yang menerangkan sisi-sisi moral yang amat berguna dalam
mengarahkan kehidupan seorang muslim.
Meskipun prinsip-prinsip fundamental akhlak telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan hadits, namun etika sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru
mendapatkan bentuknya setelah pengaruh pemikiran dari luar mulai masuk ke
tengah–tengah pemikiran muslim. Jika dirunut dari awal pertumbuhannya,
14
Q.s. al-Isrâ’/17:26-29.
15
Q.s. al-Qalam/68:4.
16
H.R. Ahmad, Baihaqî, dan al-Hâkim. Lihat Ibn al-‘Arabî, Kunh mâ lâ Budd li al-Murîd
minh (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, 1987), h. 18, catatan no. 2.
17
Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), vol. 6, h. 188.
9. 4
etika dalam Islam ditemukan dalam sumber yang luas dan merentang mulai
dari tafsir Al-Qur’an hingga kalâm, dari komentator filosofis atas Aristoteles
hingga teks sufi. Perkembangan etika dalam Islam dapat disajikan dalam
bentuk tinjauan historis, atau dibagi berdasarkan tipologi teorinya.
Dalam klasifikasi versi Majid Fakhri, etika Islam dibagi menjadi empat
tipe: moralitas skriptural, etika teologis, etika filosofis, dan etika religius. Ada
18
satu tipe lagi, yaitu etika sufi, yang secara sengaja tidak ditempatkan sebagai
sebuah tipe etika tersendiri, mengingat beberapa teorinya sudah masuk ke
dalam atau ikut membentuk moralitas religius. Tetapi di dalam penelitian ini,
yang memfokuskan pada pembahasan pemikiran etika seorang sufi, jenis etika
ini secara tegas dan dengan maksud membedakannya dengan tipe etika lainnya
diberi nama ‘etika sufi’. Teori-teori etika sufi berakar pada pengalaman
ruhaniah dan konsepsi keagamaan para sufi. Dengan asumsi bahwa ajaran
kaum sufi juga memberikan implikasi etis dan mempunyai signifikansi moral,
maka etika yang berkembang di lingkungan para sufi mempunyai tipologi
tersendiri yang perlu digali lebih jauh lagi.
Tidak banyak—untuk tidak menyebut tidak ada—karya serius yang
digarap oleh para sarjana untuk menjelaskan secara metodologis teori-teori
moral yang berlandaskan pada doktrin-doktrin sufi. Sepanjang yang penulis
temukan, al-Ghazâlî adalah tokoh yang pemikiran-pemikirannya di bidang
akhlak dikaji dengan serius oleh para sarjana. Adalah Dr. Zaki Mubarak yang
pertama kali melakukan rekonstruksi terhadap filsafat moral al-Ghazâlî. Dia
menulis buku berjudul Al-Akhlâk ‘ind Al-Ghazâlî . Sebuah kajian yang
sistematis dan luas terhadap etika al-Ghazâlî dilakukan oleh M. Umaruddin
sebagaimana dituangkan dalam karyanya, The Ethical Philosophy of Al-
Ghazâlî. Beberapa karya yang disebutkan di atas dapat dimasukkan dalam
18
Lihat Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden : E.J. Brill, 1991) h. 6-7;
bandingkan M. Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazzali (Delhi: Adam Publisher&
Distributors, 1996), h. 31-65.
10. 5
kategori kajian Etika Sufi, hanya apabila Al-Ghazâlî dalam pemikiran
moralnya dimasukkan kepada golongan sufi. Dengan demikian, sejauh
pengetahuan penulis, belum ada karya serius yang ditulis oleh sarjana
keislaman dengan memfokuskan pada penelitian Etika Sufi.
Fakta inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian
dalam bidang Etika Sufi. Dalam hal ini tokoh sufi yang akan dikaji pemikiran,
teori, dan sistem etikanya adalah Ibn al-‘Arabî. Sufi ini amat layak diteliti
pemikiran moralnya karena beberapa alasan berikut. Pertama, sudah
merupakan anggapan umum bahwa ajaran tasawuf yang bercorak unitarian, di
mana makhluk dipandang identik dengan Khâliq, cenderung mengabaikan
hukum-hukum keagamaan. Ajaran semacam ini dipandang antinomian dan
tidak mengindahkan moralitas. Anggapan yang simplistis ini perlu dikaji ulang
sejauh mana memiliki kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Penelitian
ini akan melihat absah tidaknya pendapat bahwa tasawuf yang didasarkan pada
doktrin wahdat al-wujûd cenderung eksesif. Kedua, ajaran wahdat al-wujûd
yang dirumuskan dengan baik dan cerdas oleh Ibn al-‘Arabî oleh sebagian
kalangan dipandang dengan sendirinya tidak memiliki implikasi moral dengan
mana manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya.
Moralitas menjadi sesuatu yang absurd dan tidak bisa dimengerti jika dikaitkan
dengan doktrin wahdat al-wujûd. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji
apakah ada implikasi moral dalam ajaran-ajaran Ibn al-‘Arabî dan
membuktikan bagaimana implikasi moral tersebut dimungkinkan dalam
doktrin wahdat al-wujûd. Ketiga, memang telah banyak ditulis karya–karya
tentang Ibn al-‘Arabî, tetapi belum ada satu pun—menurut pengetahuan
terbatas penulis—karya khusus yang mengkaji pemikiran etika Ibn al-‘Arabî.
Karya A.E. Affifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Dîn Ibnul
‘Arabî,19 yang dianggap merupakan sumbangan sangat berharga untuk
19
A.E.Affifi, A Mystical Philosophy of Muhyîddin ibn ‘Arabi (Cambridge: University
Press, 1939).
11. 6
mempelajari pemikiran Ibn al-‘Arabî secara komprehensif, hanya
menyinggung sedikit etika Ibn al-‘Arabî dalam bagian keempat bab “Ethics
and Theodicy.” Pada waktu digelar peringatan 8 abad kelahiran Ibn al-‘Arabî,
Taufîq al-Tawîl menyumbangkan tulisan pendek yang membahas pemikiran
moral Ibn al-‘Arabî dengan judul “Falsafat al-Akhlâq al-Shûfiyyah ‘ind Ibn
‘Arabî”. 20 Tulisan ini membahas beberapa aspek pemikiran moral Ibn al-‘Arabî
dengan ulasan yang singkat dan karenanya masih memerlukan elaborasi lebih
dalam. William C. Chittick dalam karyanya Imaginal Worlds: Ibn al-Arabi and
the Problem of Religious Diversity 21 memberikan ulasan yang pendek tentang
pemikiran moral Ibnu al-Arabi dalam bagian pertama Bab 3 “Ethics and
Antinomianism.” Di dalam Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan
Kamil Ibn ‘Arabî oleh al-Jîlî 22 karya Yunasril Ali, ada pembahasan walau
sedikit mengenai kedudukan norma, etika, dan teodisi dalam konsep Insan
Kamil menurut Ibn al-‘Arabî.
Apa yang akan disorot dalam penelitian ini adalah keseluruhan
pemikiran Ibn al-‘Arabi dalam etika sehingga bisa dilihat secara utuh konsep-
konsep moral yang ditegakkan oleh Ibn al-‘Arabî di bawah sinaran doktrin-
doktrin sufinya. Dalam penelitian ini dipertanyakan bagaimana ranah standar
etika dan moral akan memiliki tempat dalam konsep wahdat al-wujûd.
Selebihnya permasalahan ini tampaknya memiliki relevansi dengan masa-masa
sekarang, ketika berbagai keterbatasan moral tradisional tidak mendapatkan
tempat khusus dalam berbagai bentuk spritualitas yang memainkan peran nyata
dalam masyarakat modern dan post-modern. Dalam filsafat mistis Ibn al-‘Arabî
tersimpan kemungkinan menghadirkan konsep-konsep moral yang bisa
20
Wazârah al-Tsaqâfah, al-Kitâb al-Tidzkârî: Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fi al-Dzikrâ al-
Mi’awiyyah al-Tsaminah limîlâldih (Kairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1969), h. 155-181.
21
William C. Chittick, Imaginal Worlds: Ibn al-‘Arabî and the Problem of Religious
Diversity (Albany: SUNY Press, 1994).
22
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil ibn‘Arabî oleh
al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997).
12. 7
ditawarkan untuk menjadi solusi bagi berbagai problema moral yang dihadapi
manusia zaman kini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang dipaparkan di muka dapat dinyatakan bahwa
belum banyak kajian sistematis tentang Etika Sufi sebagaimana yang dilakukan
pada sistem etika lainnya. Sejalan dengan bangkitnya spiritualitas dalam
kehidupan manusia zaman modern, yang merasa tidak puas dengan hasil-hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena dipandang
menimbulkan marginalisasi dan alienasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang
universal, Etika Sufi bisa menjadi sistem moral alternatif untuk mengarahkan
spiritualitas menjadi sesuatu yang positif bagi umat manusia.
Ibn al-‘Arabî yang dikenal sebagai guru Sufi yang pengaruh
pemikirannya melintasi ruang dan waktu layak sekali dikaji lebih mendalam
signifikansi dan implikasi moral dari pemikirannya yang berintikan paham
wahdat al-wujûd (kesatuan wujud). Mengingat paham ini bila dikaitkan dengan
tindakan moral manusia dapat mengesankan bahwa tanggung jawab moral
pada sisi manusia merupakan hal yang absurd, karena paham ini menegaskan
transendensi dan imanensi Tuhan secara serentak.
Sebagai orang yang sangat produktif, Ibn al-‘Arabî mempunyai
pemikiran yang sangat luas dan meliputi berbagai bidang pengetahuan. Agar
supaya penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî tetap terarah, maka
masalahnya dibatasi pada: Pertama, problema etika dalam teori wahdat al-
wujûd, serta daya-daya dan kesempurnaan manusia sebagaimana dikonsepsikan
oleh Ibn al-‘Arabî. Kedua, problem-problem moral dalam pemikiran etika Ibn
al-‘Arabî, mencakup masalah-masalah: hakikat perbuatan manusia, kebebasan
dan tanggung jawab manusia dan kaitannya dengan al-qadhâ' dan al-qadar
serta al-jabr dan al-ikhtiyâr, al-khayr (baik) dan al-syarr (buruk), al-sa‘adah
(kebahagiaan) dan al-syaqâ' (kesengsaraan), keadilan (al-‘adl), cinta (al-
13. 8
mahabbah), dan persahabatan (al-suhbah). Perlu dijelaskan di sini bahwa
masalah keadilan (al-‘adl), cinta (al-mahabbah), dan persahabatan (al-suhbah)
layak diberikan bahasan mengingat etika sufi yang berlandaskan pada teori
wahdat al-wujûd memberikan penekanan yang kuat pada perlunya harmoni dan
keselarasan dalam kehidupan bersama di mana semuanya dipandang berasal
dari dan kembali kepada Tuhan. Ketiga, relevansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
dengan beberapa problema moral dalam zaman global sekarang dan kontribusi
pemikirannya dalam empat etika terapan: etika keilmuan, etika dakwah, etika
lingkungan hidup, dan etika kerukunan.
Berdasarkan pembatasan masalah sebagaimana dipaparkan di atas
maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, benarkah bahwa etika yang dibangun atas prinsip-prinsip
teori wahdat al-wujûd sebagaimana digagas Ibn al-‘Arabî cenderung
antinomian, eksesif dan mengabaikan syariah serta berlawanan dengan
tanggung jawab moral manusia?
Kedua, apa pandangan Ibn al-Arabî tentang masalah-masalah moral:
takdir Tuhan, kebebasan dan tanggung jawab manusia, kebaikan dan
keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, keadilan, cinta, dan persahabatan?
Ketiga, apakah pemikiran etika Ibn al-‘Arabî mempunyai relevansi
dengan problematika moral kekinian dan bagaimana relevansi itu bisa
dijelaskan dan diterima serta sejauh mana pemikiran moral Ibn al-‘Arabî dapat
dikontribusikan bagi beberapa etika terapan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Di
antaranya: Pertama, menjelaskan pemikiran etika Ibn al-‘Arabî yang
disimpulkan dari doktrin-doktrin mistiknya, khususnya konsep wahdat al-
wujûd, sebagaimana termaktub dalam banyak karyanya sehingga dapat
dipahami bahwa etika sufi Ibn al-‘Arabî tidak tergolong antinomian, eksesif,
14. 9
dan berlawanan dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Kedua,
menelaah pandangan Ibn al-‘Arabî tentang tema-tema moral tertentu
sebagaimana disebutkan dalam perumusan masalah. Ketiga, mengetahui sejauh
mana pemikiran etika Ibn al-‘Arabî memiliki signifikansi, relevansi dan
kontribusi dalam perkembangan moral di masa kini.
Karya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti
berikut: Pertama, memberikan uraian yang lengkap dan tajam tentang
pemikiran Ibn al-‘Arabî dalam bidang moral dan etika. Kedua, memberikan
informasi tentang signifikansi dan relevansi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
dengan problematika moral dalam zaman modern. Ketiga, menyumbangkan
pemikiran alternatif dalam pemecahan masalah krisis moral dan spiritual yang
dialami oleh manusia di abad kini.
D. Metodologi Penelitian
Dalam sub-bab ini akan diuraikan secara terperinci bagaimana dan
melalui pendekatan apa penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî akan
dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting karena kekeliruan dalam
menentukan pendekatan dan metode penelitian akan berakibat pada
terganggunya validitas penelitian, sehingga kebenaran hasil penelitian tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Juga akan dipaparkan mengenai
obyek dan jenis penelitian. Di samping itu akan dibahas pula sumber-sumber
data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Obyek dan Jenis Penelitian
Obyek penelitian ini adalah pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, seorang
sufi besar yang gagasan-gagasannya mempengaruhi para sufi yang datang
berikutnya, baik di belahan barat maupun timur Islam. Hingga saat ini pun
banyak sarjana, di antaranya William C. Chittick, yang memusatkan
studinya terhadap ide-ide Ibn al-‘Arabî. Penelitian ini memfokuskan pada
ide-ide tokoh yang diteliti tanpa mengaitkan dengan riwayat kehidupan
15. 10
tokoh di mana setting sosial pada umumnya sangat berpengaruh dalam
membentuk prilaku maupun pemikiran sang tokoh. Sebenarnya dalam
penelitian keagamaan ada satu bentuk penelitian tentang tokoh agama
dengan mengungkapkan masalah tentang kehidupan dan pemikirannya.23
Tetapi sekali lagi penelitian ini membatasi obyeknya hanya pada pemikiran-
pemikiran dan ide-idenya dalam bidang etika.
Untuk sampai pada persoalan pokok ini maka pengumpulan data
dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan (library reseach) dan
analisis isi (content analysis) secara kritis terhadap karya-karyanya. Sebagai
penelitian perpustakaan, penelitian ini dapat dikategorikan dalam penelitian
kualitatif, di mana data-data dikumpulkan dengan menggunakan teknik
dokumentasi, yaitu pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang berupa dokumen dalam bentuk
buku-buku dan dalam bentuk yang lain.24 Sumber-sumber tertulis itu terbagi
dua: sumber data primer dan sumber data skunder. 25 Kedua macam sumber
itu sama-sama digunakan dalam penelitian, termasuk data sekunder
tambahan yang membahas tentang etika dan mempunyai relevansi dengan
obyek penelitian ini.
2. Pendekatan dan Metode Penelitian
Kajian terhadap pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan filosofis. Pendekatan semacam ini dimaksudkan
agar terdapat persamaan alur pemikiran antara obyek yang diteliti dan
pendekatan yang dilakukan. Dalam proses ini digunakan pendekatan yang
23
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), cet ke-2, h. 14.
24
Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1998), h. 159-60. Bandingkan Imran Arifin (ed), Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan
Keagamaan (Malang: Kalimasahada Press, 1996), h. 4.
25
Sumber data primer adalah karya-karya tulis pribadi tokoh yang diteliti. Sedangkan
karya-karya yang ditulis orang lain tentang tokoh yang diteliti termasuk sumber data sekunder.
Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2002), h. 63.
16. 11
bersifat mendasar, menyeluruh, dan spekulatif, karena ketiga sifat ini
merupakan karakteristik berpikir filosofis.26 Dalam bagian-bagian tertentu
penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosial historis (s
ocial historical
approach), yaitu suatu pendekatan penelitian yang memperhatikan konteks
sosial dan sejarah. Setting sosial dan sudut pandang sejarah digunakan
sebagai dasar pendekatan dalam memahami pemikiran Ibn al-‘Arabî tentang
masalah-masalah etika.
Sebagai studi kepustakaan yang seluruh substansinya memerlukan
olahan filosofis dan terkait pada pemikiran dan ide, metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode historis dan deskriptif. Dalam penelitian
ini metode historis dijalankan dengan menghimpun data yang kemudian
27
diolah melalui penilaian, penyusunan dan penyimpulan. Dengan demikian
metode ini digunakan untuk memahami teks yang diambil dari sumber
pustaka primer, berupa buku-buku dan risalah-risalah yang merupakan hasil
karya Ibn al-‘Arabî. Lebih dari itu, tentunya bukan hanya sekedar
memahami, menjelaskan dan menafsirkan, melainkan pula diharapkan ada
aktivitas merekonstruksi dan mereproduksi makna yang terkandung di
dalam teks yang berupa data itu.
3. Sumber Data
Sumber data primer penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
meliputi karya-karyanya yang membahas masalah pokok-pokok ajarannya
dalam berbagai bidang yang luas, yang sebagian dan beberapa di antaranya,
secara langsung maupun tidak langsung, secara khusus maupun umum,
mendiskusikan masalah–masalah yang berkenaan dengan etika.
Karyanya yang terpenting adalah Al-Futûhât al-Makkîyah dan Fusûs
al-Hikam. Kedua karya ini memberikan informasi dan data terbesar dalam
26
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1988), h. 20-22.
17. 12
penelitian ini, tentu saja di samping karya-karyanya yang lain yang tidak
mungkin diabaikan sebagai sumber data primer. Di antaranya Kunhu mâ Lâ
Budda minhu Li al-Murîd, Risâlah Rûh al-Quds, Tafsîr Al-Qur’an al-Karîm,
al-Tâdbîrât al-Ilâhîyah fî Ishlâh al-Mamlakah al-Insânîyah , dan lainnya.28
Sumber data sekunder meliputi karya-karya ilmuwan lain yang membahas
ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran Ibn al-‘Arabî sejauh memiliki
relevansi dengan obyek penelitian.
4. Analisis Data
Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa analisis data merupakan proses
menyusun dan mengkategorikan data, mencari pola atau tema dengan
maksud untuk memahami maknanya.29 Dalam penelitian ini analisis data
bekerja sebagai sebuah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik
bahan-bahan yang dikumpulkan untuk menemukan pemahaman yang benar
terhadap pemikiran etika Ibn al-‘Arabî. Hasil analisis itu kemudian
diungkapkan kepada orang lain dalam bentuk tulisan.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sepanjang penelitian
berlangsung, bukan hanya sesudah selesainya pengumpulan data, melainkan
sejak pengumpulan bahan-bahan. Karena itu kegiatan analisis data selama
pengumpulan data meliputi: (a) menetapkan fokus penelitian, apakah tetap
sebagaimana yang telah direncanakan atau perlu diubah; (b) penyusunan
27
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik (Bandung:
Tarsito, 1975), h. 126-129.
28
Ada satu risalah pendek tentang akhlak yang dinisbatkan kepada Ibn al-‘Arabî, seperti
yang diterbitkan oleh Muhyi al-Din Shabrî al-Kurdî pada 1328 H dalam sebuah kumpulan risalah
karangan Ibn al-‘Arabî, al-Ghazâlî, Ibn Sînâ, dan lainnya. Juga diterbitkan oleh penerbit lain dalam
sebuah buku tersendiri. Menurut penelitian Muhammad Yûsuf Mûsa, sebenarnya risalah ini bukan
karya Ibn al-‘Arabî, bukan pula karya al-Jâhizh yang sering pula dicantumkan sebagai
pengarangnya. Risalah ini sebenarnya karangan Yahyâ bin ‘Âdî al-Ya’qûbî, wafat 363 H. Lihat
Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq, h. 272-3.
29
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Karya, 1989), h. 4-8.
Sedangkan Bogdan dan Biklen memberikan penjelasan bahwa analisis data meliputi pengerjaan
organisasi data, pemilihan menjadi satuan-satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola, penemuan
hal-hal yang penting yang dipelajari, dan penentuan apa yang harus dikemukakan kepada orang
lain. Lihat Bogdan & Biklen, Quantitative Research for Education: An Introduction to Theory and
Methods (Boston: Allyn and Bacon, 1982), h. 52.
18. 13
temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah berhasil
dikumpulkan; (c) pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya
berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya; (d)
pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan
data berikutnya; dan (e) penetapan saran-saran pengumpulan data
(informasi, situasi, dokumen) berikutnya.30
Studi tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî ini menggunakan
beberapa metode analisis data. Pertama, metode analisis deskriptif. Dengan
metode analisis deskriptif dimaksudkan bahwa semua pemikiran Ibn al-
‘Arabî yang terkait dengan etika akan diuraikan secara utuh menurut tema-
tema yang disusun oleh peneliti sesuai dengan tema-tema etika yang biasa
digunakan. Ini bertujuan untuk memahami jalan pikiran dan maksud yang
termuat dalam pemikirannya secara utuh.
Kedua, metode analisis komparatif, yaitu suatu metode analisis data
yang menggunakan perbandingan sebagai salah satu cara memahami lebih
baik pemikiran seseorang. Dalam penelitian ini, penulis akan
membandingkan pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan pemikiran tokoh lain,
baik dari kalangan filosof maupun sufi, sehingga dapat diketahui persamaan
dan perbedaan pemikiran Ibn al-‘Arabî dengan para pemikir lainnya dalam
masalah-masalah etika.
Ketiga, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis
kritis.31 Metode analisis ini diperlukan guna memberikan deskripsi dan
interpretasi yang memadai terhadap data-data yang diperoleh dari sumber
primer. Metode analisis kritis bekerja dengan menempatkan pentingnya
kritik dalam deskripsi dan interpretasi data.32
30
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001), cet. ke-1, h. 192-193.
31
Jujun S. Suriasumantri, Buku Pedoman Penelitian Ilmu, Filsafat dan Agama , (Jakarta:
Lembaga Penelitian IKIP, 1992), h. 12-22.
32
FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak ….., h. 75.
19. 14
E. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka akan dikaji penelitian-penelitian yang
membahas pemikiran Ibn al-‘Arabî dalam arti luas, baik yang sudah diterbitkan
maupun yang belum. Pemikiran Ibn al-‘Arabî yang tertuang dalam banyak
karyanya selama paruh pertama abad lalu tidak begitu menarik para sarjana,
khususnya di Barat, untuk mengkajinya. Justeru mereka mengabaikan dan
melupakannya, kecuali segelintir dari mereka, seperti H.S. Nyberg, Miguel
Asin Palacios, dan R.A. Nicholson, yang memulai tugas sulitnya dengan
menganalisis karya-karya Ibn al-‘Arabî. Pada 1950 hingga 1960-an, Titus
Burckhardt, Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu mengakui adanya siratan
kefilsafatan yang menarik dalam korpus Ibn al-‘Arabî yang luar biasa. Alih-
alih keterbatasan kajian mereka atas peran Ibn al-‘Arabî dalam tradisi
intelektual Islam, mereka berusaha menegaskan relevansi umum dari berbagai
tulisannya bagi sejarah pemikiran manusia.
Ada sejumlah alasan mengapa banyak sarjana Barat kurang meminati
tokoh ini. Yang utama adalah bahwa karya-karyanya jauh lebih besar dan sulit
dipahami, sehingga mendorong seseorang untuk tidak membuang waktu
bertahun-tahun sekadar mempelajari karya-karya tersebut. Alasan kedua ialah
kebanyakan mereka meyakini sekali bahwa metode-metode ilmiah modern
telah memberi mereka pemahaman lebih tinggi terhadap segala sesuatu,
sehingga membuat mereka merasa bebas untuk menolak segala hal yang tak
teratur, tidak koheren, dan berbau takhayul, sepanjang benar-benar tidak
melanggar anggapan mereka, padahal Ibn al-‘Arabî seringkali melakukan itu.
Namun belakangan ini, ketertarikan kepada Ibn al-‘Arabî meningkat
dan tidak sedikit sarjana yang telah ikut membantu menawarkan berbagai segi
dari kepribadian dan ajarannya. Di sini akan disebutkan beberapa karya yang
dianggap penting. Karya H.S. Nyberg yang berjudul Kleinere Schriften des Ibn
20. 15
‘Arabi33 dapat dianggap sebagai karya perintis untuk kajian ilmiah tentang Ibn
al-‘Arabî. Karya ini, di samping memuat tiga karya singkat Ibn al-‘Arabî,
memberikan penilaian kritis terhadap beberapa pandangan metafisis Sufi ini
yang terkandung dalam tiga karya tersebut. Karya M. Asin Palacios yang
berjudul El Islam cristianizado 34 adalah karya perintis lain yang memaparkan
uraian lengkap dan terperinci tentang kehidupan Ibn al-‘Arabî dan uraian
ringkas tentang pemikiran mistiko-etisnya.
Karya A.E. Affifi The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul
35
‘Arabî merupakan sumbangan sangat berharga untuk mempelajari pemikiran
Ibn-‘Arabî secara komprehensif. Karya ini memberikan penyajian sistematis
mengenai pandangan mistik Ibn al-‘Arabi dan dianggap pengantar umum
terbaik kepada pemikirannya.
Karya Henry Corbin L’Imagination creatrice dari Le Soufisme d’Ibn
‘Arabî36 merupakan suatu studi yang mendalam tentang perumpamaan mistik
dan simbolisme spiritual Ibn al-’Arabî. Meskipun mengaku menggunakan
pendekatan fenomenologis, Corbin terlalu jauh melibatkan diri dalam
pemikiran mistik.
Rom Landau, melalui karyanya The Philosophy of Ibn ‘Arabî ,37
berusaha menyumbangkan suatu pengantar singkat yang berguna untuk
33
H.S. Nyberg, KleinereSchriften des Ibn al-‘Arabî (Leiden: E.J. Brill, 1919). Tiga karya
Ibn al-‘Arabî yang dimuat dalam buku ini ialah: Insyâ’ al-Dawa’ir, ‘Uqlat al-Mustawfiz, dan al-
Tadbîrât al-Ilâhiyyah fi Islâh al-Mamlakah al-Insâniyyah .
34
M. Asin Palacios, El Islam cristianizado: Estudio del sufismoa traves de las obrasde
abenarabi de Murcia (Madrid: Editorial Plutaro, 1931). Terjemahan tak lengkap karya ini ke
dalam bahasa Arab dilakukan oleh ‘Abd al-Rahman Badawi dengan judul Ibn ‘Arabî: Hayâtuhu
wa Madzhabuhu (Kuwait & Beirut: Wakâlat al-Mathbû‘at & Dâr al-Qalam, 1979). Terjemahan
Prancisnya dilakukan oleh B. Durant dengan judul L’Islam Christiannise:Etude sur le Soufisme
d’Ibn ‘Arabi de Murcie (Paris: Guy Trenadiel, 1982).
35
Lihat catatan no. 19 di atas. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman dengan judul Filsafat Mistis Ibnu 'Arabi (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1989). Sayang, terjemahan ini terlalu banyak kekeliruannya.
36
Henry Corbin, L’Imagination crèatrice dans le Soufisme d’Ibn’Arabî (Paris:Flammarion,
1958). Terjemahan Inggris karyas ini dikerjakan oleh Ralph Manheim dengan judul Creative
Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabî .
37
Rom Landau, The Philosophy of Ibn ‘Arabî (London: George Allen & Unwin Ltd., 1995)
21. 16
mempelajari aspek-aspek pemikiran Ibn al-‘Arabî, namun tidak memberikan
analisis yang mendalam dan kritis.
Bagian ketiga karya Seyyed Hossein Nasr Three Muslim Sages,38
meskipun pendek, merupakan suatu pengantar yang bermanfaat untuk
mempelajari pemikiran Ibn al-‘Arabî.
Karya Toshihiko Izutsu Sufism and Taoism,39 adalah studi
perbandingan antara Ibn al-‘Arabî dan Lao-tzu dan Chuang-tzu melalui analisis
semantik secara metodologis tentang istilah-istilah kunci ketiga pemikir itu.
Kelebihan karya ini terletak pada kedalaman interpretasinya tentang istilah-
istilah kunci dan kaitannya satu sama lain.
Karya Masataka Takeshita Ibn ‘Arabî’s Theory of the Perfect Man
and Its Place in the History of Islamic Thought ,40 seperti tergambar pada
judulnya, merupakan suatu studi kritis tentang teori Ibn al-‘Arabî mengenai
Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) dan tempat teorinya itu dalam sejarah
pemikiran Islam. Karya ini merupakan suatu penelitian tentang pemikiran Ibn
al-‘Arabi dalam hubungannya dengan tradisi-tradisi pemikiran pra-Islam dan
Islam sebelum Ibn al-‘Arabi dalam perspektif historis.
Sesuai dengan judul karyanya, The Pantheistic Monism of Ibn al-
‘Arabî,41 S.A.Q. Husaini, di dalamnya, memaparkan filsafat Ibn al-‘Arabî
sebagai monisme panteistik. Karya ini menjelaskan kaitan filsafat Ibn al-
38
Karya ini diterjemahkan oleh Salâh al-Sawî ke dalam bahasa Arab sebagai Tsalâtsat
Hukumâ Muslimin (Beirut: Dâr al- Nahâr li-al-Nasyr, 1971). Terjemahannya dari terjemahan Arab
ke dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Ahmad Mujahid sebagai Tiga Pemikir Islam (Bandung:
Penerbit Risalah, 1986), tetapi ditemukan banyak kesalahannya.
39
T. Izutsu, Sufism and Taoism:A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Los
Angeles: University of California Press, 1983). Pada mulanya, karya ini berjudul A Comparative
Study of the Key Philosophical Concepts in Sufism and Taoism , 2 vol. (Tokyo: Keio University,
1966-1967).
40
Masataka Takeshita, Ibn ‘Arabîs’s Theory of the Perpect Man and its Place in the
History of Islamic Thought (Tokyo: Institut for the Study of Languages and Cultures of Asia and
Africa, 1987).
41
S.A.Q. Husaini, The Pantheistic Monism of Ibn al-‘Arabî (Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf, 1970).
22. 17
‘Arabî, yang berporos pada paham wahdat al-wujûd, dengan berbagai aliran
panteisme yang mungkin mempengaruhinya.
Suatu studi perbandingan yang kritis antara teori-teori emanasi
Plotinus, John the Scot, Meister Eckhart, dan Ibn al-‘Arabî, telah dilakukan
oleh Michael Antony Sells. Bagian keempat atau terakhir karya Sells ini, “The
Metaphor and Dialectic of Emanation in Plotinus, John the Scot, Meister
Eckhart, and Ibn al-‘Arabî, 42 menyorot secara kritis teori Ibn al-‘Arabî tentang
tajallî (penampakan-diri Tuhan) atau faydh (emanasi) dan membandingkannya
dengan teori-teori ketiga tokoh tersebut tentang masalah yang sama.
Karya lain yang patut disebut di sini adalah Falsafat al-Ta’wîl:
Dirâsah fi Ta’wîl Al-Qur’an ‘inda Muh yî al-Dîn Ibn al-‘Arabî , karya Nasr
Hâmid Abû Zayd.43 Karya ini memaparkan secara sistematis filsafat Ibn al-
‘Arabî yang berkenaan dengan segi-segi ontologis dan epistemologis yang
didukungnya dengan penakwilan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan analisis yang
cukup tajam dan kritis, Abû Zayd menguraikan penakwilan Ibn al-‘Arabî
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang ditujukan untuk memberikan argumentasi
religius pada gagasan besarnya, wahdat al-wujûd, dan berbagai masalah yang
terkait dengannya.
Adapun tentang riwayat hidup Ibn al-‘Arabî, sebagai pengantar dapat
dibaca dalam Sufis of Andalusia , The Rûh al-Quds and al-Durrat al-Fâkhirah of
Ibn ‘Arabî, pada pendahuluan yang ditulis oleh R.W.J. Austin.44 Karya yang
paling lengkap membahas riwayat hidup Ibn al- ‘Arabî adalah Ibn al- ‘Arabî ou
La quête du Soufre Rouge dari Claude Chodkiewicz-Addas.45 Karya ini
42
Michael Anthony Sells, The Metaphor and Dialectic of Emanation in Plotinus , John the
Scot, Meister Eckhart, and Ibn ‘Arabî , buku Doktor Filsafat pada University of Chicago (Chicago:
University ofChicago, 1982).
43
Nasr Hamîd Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl Al-Qur’an ‘inda Muhyî al-
Dîn Ibn ‘Arabî (Beirut: Dâr al-Wahdah, 1983).
44
Ibn al-‘Arabî, Sufis of Andalusia , The Ruh al-quds and al-Durrat al-fakhirah of Ibn al-
‘Arabî (London: George Allen & Unwin Ltd, 1971).
45
Claude Chodkiewicz-Addas, Ibn al- ‘Arabî ou La quête du Soufre Rouge (Paris:
Gallimard, 1989). Karya ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Quest for
23. 18
merupakan studi mendalam paling detil pada saat ini tentang kehidupan pribadi
Ibn al-‘Arabî. Semua peristiwa penting dalam kehidupan Ibn al-‘Arabî dapat
dibaca di sini.
Karya lain yang perlu pula dicatat di sini adalah Le Sceau dessaints:
Prophetie et saintete dans la doctrine d’ Ibn al-‘Arabî oleh Michel
Chodkiewicz.46 Karya ini merupakan suatu studi yang baik tentang konsep Ibn
al-‘Arabî mengenai al-walâyah (kewalian) dan konsep-konsep yang berkaitan
sebagaimana terdapat dalam al-Futûhât al-Makkiyah dan karya-karya lain Sufi
ini. Willian C. Chittick menilai bahwa kajian sarjana Perancis ini, yang
menyoroti ‘‘kewalian” dalam perspektif historis dan menunjukkan bagaimana
Ibn al-‘Arabî memahaminya, menyumbangkan tidak hanya aspek teoritis tetapi
juga aspek praktis ajaran-ajaran Ibn al-‘Arabî.47
Karya William C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-
‘Arabî’s Metaphysics of Imagination ,48 adalah suatu studi sistematis tentang
berbagai aspek metafisika Ibn al-‘Arabî. Karya ini menjadikan al-Futûhât al-
Makkîyah sebagai sumber tunggal utama dan melalaikan Fushûsh al-Hikâm
dan karya-karya lain Sufi ini. Buku ini lebih merupakan suatu kumpulan
terjemahan dan bagian-bagian pilihan al-Futûhât daripada suatu analisis
ilmiah. Lebih dari 600 bagian dari al-Futûhât diterjemahkan dalam buku ini
sehingga kira-kira 75% keseluruhan kandungan, di luar catatan dan indeks,
adalah terjemahan itu. Namun karya ini sangat membantu kajian tentang
pemikiran Ibn al-‘Arabî.
Buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas
tentang detail paling sulit dari filsafat mistik Ibn al-‘Arabî, yaitu doktrin
The Red Sulphur: Life of Ibn al-‘Arabî , terj. Peter Kingsley (Cambridge: Islamic Text Society,
1993).
46
Michel Chodkiewicz, Le Sceau des saints: Prophêtie es saintetê dans la doctrine d’Ibn
al-‘Arabî (Paris: Gallimard, 1986).
47
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge : Ibn al- ‘Arabî’s Metaphysics of
Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), h. xix-xx.
48
Lihat catatan no. 50 di atas.
24. 19
wahdat al al-wujûd, adalah karya Kautsar Azhari Noer, Ibn al-’Arabi: Wahdat
al-Wujud dalam Perdebatan .49 Di dalam buku ini dipaparkan gagasan-gagasan
wahdat al-wujûd Ibn al-‘Arabî, yang terkenal dan rumit itu dalam bahasa yang
sederhana tetapi tetap berbobot, juga diperbandingkan secara kritis dengan
panteisme dan paham-paham yang serupa.
Penelitian tentang pemikiran etika Ibn al-‘Arabî belum banyak
dilakukan. Memang ada beberapa tulisan yang membahas konsep-konsep etika
Ibn al-‘Arabî, di antaranya oleh Muhammad Yûsuf Mûsâ dalam bukunya,
Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm ,50 yang menganalisis berbagai pemikiran akhlak
dalam Islam yang dikemukakan oleh berbagai kelompok pemikir, terdiri dari
teolog, filosof, dan sufi. Juga Taufîq Thawîl dalam sumbangan karangan
berjudul “Al-Akhlâq ‘inda Ibn al-‘Arabî”, dalam buku al-Kitâb al-Tidzkârî
Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fî al-Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-Tsâminah limîlâdihî
1165-1240 H.51
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Pada bab dua dibahas tentang konsep etika secara umum sebagai
kerangka teoritis untuk memahami dengan lebih baik pemikiran etika Ibn al-
‘Arabî. Di sini dibahas perbedaan etika dengan moral agar kedua istilah dapat
dimaknai secara benar. Wacana berikutnya adalah mengenai pembagian etika
dilihat dari beberapa aspek. Sedangkan titik tekan dalam bab ini adalah
49
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî , Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan (Jakarta :
Paramadina, 1998).
50
Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm wa shilâtuhâ bi al-Falsafat al-
Ighrîqîyah, (Cairo: Mu’assasah al-Khanjî, 1963), h. 226-312.
25. 20
pembahasan tentang etika dalam Islam dan beberapa aliran yang berkembang
di dalamnya.
Selanjutnya dalam bab ketiga dijelaskan pemikiran etika Ibn al-
‘Arabî, diawali kajian tentang karir, prestasi dan perjalanan Ibn al-‘Arabî, serta
perhatian dan karya-karynya dalam bidang etika. Sub-bab perjalangan hidup
Ibn al-‘Arabî lebih merupakan pengantar untuk dapat memahami perhatian Ibn
al-‘Arabî terhadap etika. Sub-bab berikutnya adalah menjelaskan pemikiran-
pemikiran etika Ibn al-‘Arabî, dimulai dengan kajian tentang problematika
moral dalam wahdat al-wujûd, manusia, daya-daya dan kesempurnaan yang
dimilikinya, realitas perbuatan manusia, kebebasan dan tanggung jawab, hak
dan kewajiban, baik dan buruk, akhlak dan adab, akhlak mulia dan akhlak
tercela, kebahagiaan dan kesengsaraan, keadilan, cinta, dan persahabatan.
Bab empat menjelaskan kontribusi pemikiran etika Ibn al-‘Arabî
terhadap masalah etika dan kemungkinan penerapan sistem etika Ibn al-‘Arabî
dalam kehidupan praktis dalam wujud etika keilmuan, etika lingkungan, etika
dakwah, dan etika kerukunan. Juga dibahas relevansi dan signifikansi
pemikiran etika Ibn al-‘Arabî dengan perkembangan moral dalam era modern
dan global. Sedangkan bab terakhir, bab lima, adalah penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan rekomendasi.
51
Lihat al-Kitâb al-Tidzkârî Muhyî al-Dîn ibn ‘Arabî fî al-Dzikrâ al-Mi’awiyyah al-
Tsâminah limîlâdihî 1165-1240 H . (Cairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabî, 1969), h. 155-180.
26. BAB II
KERANGKA TEORITIS ETIKA
Sebelum dilakukan pembahasan tentang subyek kajian disertasi ini, akan
diberikan terlebih dahulu gambaran tentang etika pada umumnya dan
perkembangan etika Islam pada khususnya. Penyajian gambaran kerangka teoritis
ini dimaksudkan untuk mengantarkan pemahaman terhadap etika Islam, aliran-
alirannya, dan sejarah perkembangannya. Beberapa hal yang disajikan dalam bab
ini terkait dengan persoalan-persoalan etika secara umum, etika Islam, aliran-
alirannnya, dan sejarah pertumbuhannya. Sebagai pengantar kepada diskusi
masalah-masalah etika dalam Islam, kajian-kajian dalam bab ini bersifat umum
dan deskriptif.
Sebelum membahas etika Islam, terlebih dahulu akan dilakukan
pembahasan tentang beberapa permasalahan dalam etika secara umum. Antara
meliputi pengertian etika dan moral, masalah nilai, kebebasan dan tanggung
jawab, dan aliran-aliran dalam etika.
A. Pengertian Etika
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggalnya adalah
ethikos atau ethos, yang mempunyai banyak arti: adat, kebiasaan; tempat yang
biasa, padang rumput, kandang; akhlak, watak; perasaan, sikap, dan cara
berpikir.1 Bentuk jamaknya adalah ta etha yang artinya adat kebiasaan. Arti
terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah ‘etika’ yang
oleh filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 s.M.), sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Kata ethikos, menurut Cicero, ekuivalen dengan
kata moralis. Kedua kata itu menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis.2
Dengan kata lain etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral.”
Karena keduanya berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang
1
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 4.
2
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62.
27. 22
pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin.
Untuk mengerti arti terminologis etika, salah satu caranya adalah
dengan merujuk pada kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,3 “etika” dijelaskan dengan
membedakan tiga arti: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh
suatu golongan atau masyarakat.
Arti terminologis “etika” sebagai sebuah ilmu telah dirumuskan oleh
banyak pakar dengan redaksi yang berbeda, akan tetapi mengarah pada maksud
yang sama. Jan Hendrik Rapar, mengartikan etika sebagai pengetahuan yang
membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia
serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.4 Sidi Gazalba
mengatakan bahwa etika adalah teori tentang laku-perbuatan manusia,
dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.5
Menurut Louis O. Kattsof, etika adalah cabang aksiologi yang pada pokoknya
membicarakan masalah predikat-predikat nilai betul atau right dan salah atau
wrong, dalam arti susila atau moral dan tidak susila immoral.6
Sementara Ahmad Amin menguraikan bahwa etika adalah suatu
pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang kepada yang lain, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuataan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.7 Adapun
batasan etika menurut Franz Magnis-Suseno adalah “usaha manusia untuk
memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan bagaimana ia harus
3
Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Depdikbud,
(Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-3, 1994), h. 271.
4
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62.
5
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, ), h. 34.
6
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, cet. Ke-7, 1996), h. 349.
7
Ahmad Amin, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishrîyah, tt.), h. 3.
28. 23
hidup kalau ia mau menjadi baik.”8 Dia juga menjelaskan bahwa etika bukan
suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral.”9 Dengan definisi yang lebih ringkas, K. Bertens menyebutkan bahwa
etika adalah ilmu tentang yang baik atau buruk.10 Dan etika baru menjadi ilmu
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat—
seringkali tanpa disadari—menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika dalam pengertian tidak berbeda dengan filsafat
moral.
Tentang kata “moral” secara etimologis sama artinya dengan kata
“etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda. Kata “moral” berasal dari bahasa
Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Sedangkan asal
kata “etika” dari bahasa Yunani ethos, yang beberapa artinya telah dijelaskan
di depan. Dengan demikian kata “moral” sama dengan “etika” menurut arti
pertama, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Maka ketika
disebutkan tidak bermoral, dengan itu dimaksudkan bahwa perbuatan itu
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam pengertian yang sama dengan “moral” sering digunakan kata
“moralitas” yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Kata ini berarti segi
moral atau sifat moral dari suatu perbuatan. Meskipun pada dasarnya artinya
sama dengan “moral”, tapi nadanya lebih abstrak.
Telah disebutkan bahwa immoral berarti tidak susila atau tidak baik.
Lalu apa arti amoral yang juga sering terdengar oleh telinga kita? Arti dua kata
ini tidak dapat dicampuradukkan karena perbedaan antara keduanya sangatlah
jelas. Amoral berarti “tidak berhubungan dengan konteks moral”, “di luar
8
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, (Jakarta: Gramedia, ), h. 17.
9
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, h. 17.
10
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 6.
29. 24
suasana etis”, atau “non-moral.” Sedangkan immoral berarti “bertentangan
dengan moralitas yang baik”, “berlawanan dengan susila”, “secara moral
buruk”, atau “tidak etis”. 11
Sebagai sebuah ilmu, “etika” memerlukan obyek sebagai sasaran
kajiannya. Dikatakan oleh Ahmad Amin bahwa obyek etika adalah segala
perbuatan yang muncul dari orang yang melakukannya dengan sengaja dan
sadar, dan ia mengetahui apa yang ia lakukan pada saat melakukannya. Inilah
yang dapat dihukumi baik atau buruk. Demikian pula semua perbuatan yang
timbul tanpa kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu sadar.12 Dengan
demikian obyek kajian etika menyangkut perbuatan sadar manusia, baik oleh
diri sendiri atau oleh pengaruh orang lain, yang dilandasi oleh kehendak bebas.
Karena itu perbuatan yang dilakukan tanpa kesadaran, dipaksa oleh pihak lain,
dan tidak disertai niat dalam batin, tidak termasuk obyek kajian etika.13
Adapun “etika” menurut pengertian kedua (kumpulan asas atau nilai
moral) identik dengan kode etik. “Etika Rumah Sakit Indonesia”, disingkat
ERSI, yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 1986 jelas dimaksudkan “kode etik” dengan penggunaan kata-kata
“etika.”14 Kata “etika” dalam pengertian kedua ini sering kali diganti dengan
istilah “kode etik” yang saat ini cukup populer. Beberapa di antaranya adalah
“Kode Etik Mahasiswa” (disingkat KEM) IAIN Sunan Ampel Surabaya dan
Kode Etik anggota DPRD di berbagai daerah di Indonesia.
Arti ketiga lebih mendasar daripada arti pertama dan kedua. Dengan
rumusan yang lebih tajam kata “etika” dalam arti ketiga dapat disebut sebagai
“nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.” Jika orang berbicara
11
K. Bertens, Etika, h. 7.
12
Ahmad Amin, Kitâb al-Akhlâq, h. 5.
13
Ahmad Mudlor, Etika Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), h. 24.
14
K. Bertens, Etika, h. 6.
30. 25
tentang “etika Jawa,”15 “etika agama Budha,” atau “etika Protestan,”16 maka
tidak dimaksudkan “ilmu”, melainkan sebuah “sistem nilai yang berfungsi
dalam hidup manusia perorangan maupun masyarakat”. Begitu pula kata “etika
sufi” menunjuk sebuah sistem nilai yang berlaku, berkembang, dan berfungsi
dalam kalangan sufi, yakni mereka yang mendalami dan mengamalkan tasawuf
di dalam kehidupan sehari-hari.
B. Nilai Umum dan Nilai Etika
1. Nilai Umum
Etika merupakan salah satu cabang dari aksiologi, yakni ilmu
tentang nilai. Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang juga meliputi
ontologi dan epistemologi. Jika ontologi membahas tentang sejauh mana
sesuatu itu ada dan epistemologi mengkaji sejauh mana sesuatu itu dapat
dikenal dan diketahui, maka aksiologi membahas tentang untuk apa sesuatu
itu ada. Dengan kata lain aksiologi membahas tentang nilai. Pengertian nilai
secara umum meliputi nilai baik-buruk, benar-salah, indah-jelek, dan nilai-
nilai lain yang tercakup dalam pembahasan tentang nilai-nilai.
Kata nilai (dalam bahasa Inggeris disebut value) berasal dari
bahasa Latin ‘valere’ yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku,
dan kuat.17 Dalam bahasa Arab nilai disebut dengan istilah al-qîmah.18
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti nilai dengan beberapa
pengertian, antara lain, nilai berarti harga, banyak sedikitnya isi; kadar
mutu, dan sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
15
Sebagaimana dibahas oleh Franz Magnis-Suseno dalam bukunya, Etika Jawa, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999).
16
Istilah ini digunakan dalam buku ahli sosiologi dari Jerman, Max Weber, The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism , diterjemah ke dalam bahasa Inggeris oleh Talcott Parsons.
17
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 713.
18
Lihat Louis Ma‘lûf, al-Munji fî al-Lughah wa al-’A‘lâm , (Lebanon: Dâr al-Masyriq,
1992), h. 664. Lihat juga Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia , (Jogjakarta: Multi
Karya Grafika, tt.), h. 1481.
31. 26
kemanusiaan.19
Ada beberapa pengertian nilai sebagaimana dijelaskan oleh Lorens
Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat:20
1. Harkat: Kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat
disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi obyek
2. Keistimewaan: Apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai
sebagai suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah
tidak bernilai atau nilai negatif.
3. Ilmu ekonomi, yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar
benda-benda material, pertama kali menggunakan secara
umum kata nilai.
Gordon Allport mengatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang
membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.21 Menurut
pandangannya, nilai berada dalam wilayah psikologis yang disebut
keyakinan. Keyakinan berada di tempat yang paling tinggi dibandingkan
dengan wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan
kebutuhan. Dengan demikian, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-
tidak indah, pada wilayah ini merupakan hasil dari rangkaian proses
psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan
perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
22
Definisi nilai dalam perspektif sosiologis diberikan oleh
Kupperman yang memandang nilai sebagai patokan normatif yang
mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara
tindakan alternatif.23 Di sini nilai dilihat sebagai penentu prilaku manusia
yang datang dari luar, yakni yang dianut oleh masyarakat. Dengan
mengikuti nilai yang dianut oleh masyarakat, maka seseorang akan merasa
19
Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), h. 690.
20
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 713-714.
21
G.W. Allport, Pattern and Growth in Personality, (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1964), h. 17.
22
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , (Bandung: Alfabeta, 2004), cet.
ke-1, h. 9.
23
J.J. Kupperman, The Foundation of Morality , (London: George Allen & Unwin, 1983), h.
31.
32. 27
aman dalam hidupnya.
Kluckhohn, sebagaimana dikutip Brameld,24 mendefinisikan nilai
sebagai konsepsi yang membedakan individu atau ciri-ciri kelompok dari
apa-apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan
antara, dan tujuan akhir tindakan. Dengan demikian nilai memberikan
implikasi terhadap pemaknaan budaya dalam pengertian yang lebih spesifik.
Implikasi-implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses
kognitif atau logik dan rasional serta proses katetik atau ketertarikan
maupun penolakan berdasar kata hati.
Kedua, nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak
bermakna apabila diverbalisasi.
Ketiga, apabila itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan
dengan cara unik oleh individu atau kelompok.
Keempat, karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka
perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya disamakan dengan apa yang
diinginkan. Nilai didefinisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian
dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang
lain dalam kehidupan sosial.
Kelima, pilihan di antara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks
ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends).
Keenam, nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya,
dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.25
Dari beberapa implikasi yang disebutkan di atas, ada satu hal yang
perlu dicatat bahwa sesuatu dipandang memiliki nilai apabila dipersepsi
24
T. Brameld, Education as Power, (New York: Holt, Rinerat and Winston Inc, 1975), h.
19.
25
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 10-11.
33. 28
sebagai sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang menarik. Maka seperti
makanan, minuman, mobil, tanah, dan benda-benda konkrit lainnya, begitu
pula gagasan, konsep, ide, seperti kejujuran, keadilan, kebenaran, dan yang
lainnya, memiliki nilai karena dipersepsi sebagai sesuatu yang baik, dan
keinginan untuk memerolehnya memengaruhi sikap dan tingkah laku
seseorang. 26
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut: 1)
Nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka
nilai tidak ada juga. 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana
subyek ingin membuat sesuatu. 3) Nilai menyangkut sifat-sifat yang
“ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Menurut
K. Bertens, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya dengan alasan
bahwa obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan nilai
yang berbeda-beda.27
Terdapat banyak macam nilai. Beberapa contoh di antaranya nilai
ekonomis, seperti tersurat dalam konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ada nilai estetis yang berkaitan dengan keindahan. Tetapi secara global
nilai-nilai yang dibahas dalam bidang filsafat dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok: 1) Nilai yang berkenaan dengan kebaikan, atau dengan baik-
buruknya suatu perbuatan yang dibahas oleh etika atau filsafat moral. 2)
Nilai yang berhubungan dengan keindahan atau berkenaan dengan nilai
indah-tidak indah yang dikaji dalam estetika. 3) Nilai berkaitan dengan
kebenaran atau dengan nilai benar-salah yang dibahas oleh logika. Namun
28
demikian klasifikasi yang disebutkan di atas belum menampung semua nilai
yang ada, karena klasifikasi yang benar-benar memuaskan barangkali tidak
mungkin juga, mengingat subyektifitas nilai yang tak terelakkan.
26
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 11.
27
K. Bertens, Etika, h. 141.
28
Fuâd Farîd Ismâ‘îl dan ‘Abd al-Hamîd Mutawallî, Mabâdi’ al-Falsafah wa al-Akhlâq ,
(Kuwait: Wazârah al-Tarbiyah, 1978), h. 198.
34. 29
2. Nilai Etika atau Nilai Moral
Secara umum apa yang dibicarakan tentang nilai tentu berlaku juga
untuk nilai moral. Namun demikian, nilai moral memiliki kekhususan
sehingga sesuatu nilai dapat menjadi nilai moral. Nilai moral tidak berdiri
sendiri, melainkan melibatkan nilai-nilai lain. Kejujuran, misalnya,
merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak
diterapkan pada nilai lain, seumpama nilai ekonomis. Kesetiaan merupakan
nilai moral yang berbobot jika dikaitkan dengan cinta antara suami-istri.
Beberapa kekhususan nilai moral dapat dijelaskan sebagai
berikut:29 1) Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang
bertanggung jawab. Dengan kata lain, suatu nilai moral hanya bisa
diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung
jawab orang bersangkutan. Karena manusia sendiri yang menjadi sumber
nilai moralnya. Dan hal ini tergantung pada kebebasannya. 3) Nilai moral
berkaitan dengan hati nurani. Karena itu himbauan untuk melakukan sesuatu
nilai moral yang baik atau meninggalkan sesuatu nilai moral yang buruk
bersumber dari “dalam”, yaitu nurani manusia. 4) Bahwa nilai moral
mewajibkan manusia secara absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar.
Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris. Artinya,
nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja, tanpa syarat, berbeda dengan
dengan imperatif hipotetis. Kejujuran memerintah kita untuk
mengembalikan barang yang kita pinjam, suka tidak suka. Keharusan ini
berlaku mutlak, tanpa syarat. 4) Nilai moral bersifat formal. Maksudnya,
bahwa nilai moral tidak memiliki “isi” tersendiri, terpisah dari nilai-nilai
lain. Seorang pedagang menerapkan nilai moral “kejujuran” bersamaan
dengan mengerjakan nilai-nilai ekonomis. Jadi, realisasi nilai-nilai moral
hanya dimungkinkan dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu
“tingkah laku moral.”
29
K. Bertens, Etika, h. 143-7.
35. 30
Dilihat dari sumbernya, nilai-nilai moral dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama, nilai normatif yang bersumber dari buah pikiran
manusia dalam menata kehidupan bersama. Kedua, nilai preskriptif yang
bersumber dari wahyu. Pada nilai jenis pertama, kualitas baik-buruk
merupakan tema abstrak yang disifatkan pada muatan hukum positif, adat
kebiasaan atau adat istiadat, dan perilaku etis. Adapun yang kedua, nilai
yang bersumber dari wahyu, kualitas baik-buruk merupakan tema abstrak
yang disifatkan pada perintah dan larangan yang terdapat dalam wahyu serta
pada perwujudan perilaku atau akhlak seseorang. 30
Salah satu persoalan yang diperdebatkan dalam etika adalah apakah
nilai moral merupakan sebuah fakta empiris atau bukan. Menyangkut soal
ini terdapat dua aliran yang berseberangan. Aliran pertama, naturalisme,
yang menganggap nilai merupakan fakta, dan oleh karena itu keputusan
tentang nilai dapat diuji secara empiris. Sedangkan aliran kedua, non-
naturalisme, berpandangan bahwa nilai bukan merupakan fakta, oleh karena
itu keputusan nilai menurut aliran ini tidak dapat dibuktikan secara
empiris.31 Atas dasar ini, bagi aliran pertama, perilaku yang baik seperti
jujur, dermawan, adil, dan sebagainya atau perilaku sebaliknya dapat
dijadikan indikator bagi pelakunya apakah dia berperilaku baik atau
sebaliknya. Tetapi tidak demikian bagi aliran kedua, karena nilai itu tidak
faktual, melainkan bersifat normatif.32
C. Pembagian Etika
Telah dijelaskan di muka bahwa etika salah satu artinya adalah ilmu
yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan
dengan tingkah laku moralnya. Dalam mempelajari tingkah laku moral
manusia, ada pelbagai cara dan pelbagai pendekatan ilmiah. Di sini akan
30
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai , h. 21-22.
31
Paul W. Taylor (ed.), Problem of Moral Philosophy and Introduction to Ethics ,
(California: Dickenson Publishing Company, Inc, 1967), h. 355-356.
32
Amri M, Etika Islam, (Yogyakarta: LSFK2P dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. ke-1, h. 213.
36. 31
disebutkan tiga pendekatan dalam studi etika dan atas dasar pendekatan itu
etika dibagi menjadi tiga, sebagaimana dilakukan oleh banyak ahli filsafat.
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif adalah etika yang menguraikan dan menjelaskan
kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ia melukiskan tingkah
laku moral dalam arti luas. Misalnya, adat kebiasaan, angggapan-anggapan
tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan. Etika deskriptif bertolak dari kenyataan bahwa ada pelbagai
fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah seperti
yang dapat dilakukan terhadap fenomena spritual, misalnya religi dan seni.
33
Karena bersifat melukiskan, etika deskriptif tidak memberi
penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau kepala yang ditemukan
dalam masyarakat primitif, tapi ia tidak mengatakan bahwa adat semacam itu
dapat diterima atau harus ditolak. Jadi, etika deskriptif hanya bertujuan
mengerti perilaku moral yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu,
dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya, tanpa memberi penilaian.
Dengan sifat kajian dan pendekatan yang demikian, bidang garapan
etika deskriptif sekarang ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial. Di antaranya:
antropologi budaya, psikologi, sosiologi, sejarah, dan semacamnya.34 Contoh
bagus mengenai etika deskriptif adalah hasil studi yang dilakukan oleh
seorang psikolog Amerika Lawrence Kohlberg (1927-1988) tentang
perkembangan kesadaran moral dalam hidup seorang manusia. 35 Beberapa
studi sosiologis yang dilakukan dalam banyak negara tentang korupsi,
prostitusi, dan penyakit sosial lainnya, dapat pula digolongkan dalam etika
deskriptif.
33
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
34
K. Bertens, Etika, h. 16.
35
Hasil studi psikolog ini dapat dibaca dalam buku L. Kohlberg, The Psychology of Moral
Development, (San Francisco: Harper and Row, 1984).
37. 32
Kemudian etika deskriptif dapat dibagi menjadi dua bagian, sejarah
moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral adalah bagian etika deskriptif
yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral
yang pernah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat pada kurun waktu
dan batasan tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar seperti
bangsa. Sebagai kajian sejarah, akan diteliti pula sejauh mana norma-norma
moral bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Adapun fenomenologi moral merupakan etika deskriptif yang
berusaha menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena
moral yang ada. Fenomenologi moral tidak berkompeten menyediakan
petunjuk-petunjuk atau batasan-batasan moral yang perlu dipegang oleh
manusia. Singkatnya, ia tidak membahas apa yang dimaksud dengan yang
benar dan apa yang dimaksud dengan yang salah.36 Dengan demikian dapat
dimengerti bahwa etika deskriptif ini sebetulnya termasuk ilmu pengetahuan
empiris dan bukan filsafat.
Meskipun etika deskriptif tidak dapat disetarakan dengan etika
filosofis, namun di antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Supaya
dapat menjalankan tugasnya dengan baik, seorang filosof yang ingin
melakukan kajian etika membutuhkan pengetahuan yang luas dan mendalam
tentang moralitas dalam berbagai konteks budaya. Kalau ia ingin
membangun suatu pendirian yang mendasar tentang masalah korupsi,
perlulah ia ketahui lebih dahulu bagaimana korupsi berfungsi dalam
masyarakatnya sendiri dan dalam masyarakat-masyarakat lain, baik di zaman
sekarang maupun di masa lampau. Dan sebaliknya, seorang sosiolog,
psikolog, antropolog, atau sejarahwan yang mengkaji fenomena-fenomena
moral, sebaiknya mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang
teori-teori moral, sehingga hasil-hasil kajiannya lebih terarah dan lebih
berbobot.
36
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
38. 33
2. Etika Normatif
Bidang terpenting dari etika dan bagian di mana berlangsung
diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral adalah
etika normatif. Etika ini disebut pula filsafat moral (moral philosophy) atau
biasa juga dinamakan etika filosofis (philosophical ethics). Di sini ahli
bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam
etika deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian
tentang perilaku moral manusia. Ia tidak lagi membatasi diri dengan
memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi ia menentukan
pendirian menolak prostitusi sebagai suatu pranata sosial yang bertentangan
dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu dapat diberantas
sampai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas dasar norma “martabat wanita
sebagai manusia harus dihormati.” Secara singkat dapat dikatakan, etika
normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam
kehidupan praktis.37
Dilihat dari sudut obyek kajiannya, etika normatif dapat dibagi
menjadi dua bagian: 1) Etika normatif yang membahas teori-teori nilai
(theories of value). Etika ini secara khusus mempersoalkan sifat kebaikan
dari suatu perilaku manusia didasarkan pada nilai yang dikandungnya. 2)
Etika normatif yang berkenaan dengan teori-teori keharusan (theories of
obligation). Etika normatif ini membicarakan kewajiban-kewajiban moral
yang harus dilakukan oleh manusia.38
Etika normatif juga dapat dibagi lebih lanjut dalam etika umum dan
etika khusus.39 Etika umum40 memandang tema-tema umum seperti: Apa itu
37
K. Bertens, Etika, h. 18.
38
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 63.
39
K. Bertens, Etika, h. 18.
40
Terkait dengan istilah ini, dengan maksud yang sama Franz Von Magnis-Suseno memilih
menggunakan istilah “etika dasar”. Lihat bukunya, Etika Dasar (Jogjakarta: Penerbit Kanisius,
1996).
39. 34
norma moral? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan
antara kebebasan dan tanggung jawab? Dan berbagai tema lainnya yang
seperti itulah yang menjadi obyek penyelidikan etika umum. Sedangkan
etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas
wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan kata lain, aturan-aturan
normatif dalam etika diterapkan dalam perilaku-perilaku faktual untuk
mendapatkan suatu kesimpulan etis. Tradisi etika semacam ini sering kali
diberi nama baru sebagai “etika terapan” (applied ethics). Dari sinilah
terbentuk pelbagai kajian etika khusus seperti etika bisnis, etika politik, etika
sosial, etika lingkungan, dan sebagainya.
Sebagian ahli filsafat membagi etika normatif menjadi dua
golongan, etika teleologis dan etika deontologis. Etika teleologis
berpendirian bahwa moralitas suatu perbuatan ditentukan oleh konsekuensi-
konsekuensi atau tujuan-tujuan yang ditimbulkannya. Artinya, baik tidaknya
perbuatan tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem ini disebut
juga sistem konsekuensialistis. Jadi, yang diperhatikan di sini adalah hasil
dan tujuan dari suatu perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan
perbuatan-perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau
kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.
Adapun etika deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu
perbuatan sebenarnya ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan
dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh
keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip
tertentu.41 Dapat pula dikatakan bahwa sistem etika ini tidak menyoroti
tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-
mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Ini sejalan dengan arti
kata deon yang berasal dari bahasa Yunani: apa yang harus dilakukan atau
kewajiban. Yang menciptakan sistem moral ini adalah filosof besar dari
41
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 65.
40. 35
Jerman, Immanuel Kant. Ia dianggap salah seorang pemikir terbesar di
bidang filsafat moral. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik
secara terbatas atau dengan syarat. Kekayaan, kecerdasan, atau kesehatan,
misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat, semua hal itu bisa menjadi jelek
sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan pun bisa disalahgunakan oleh
kehendak yang jahat.
Lalu apakah yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant,
kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan
dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa
disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, seseorang
memberi derma kepada pengemis, karena hatinya tergerak oleh keadaannya
yang menyedihkan. Perbuatan seperti itu tidak patut disebut baik. Karena
perbuatan disebut baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan.
Bertindak sesuai dengan kewajiban itulah yang oleh Kant disebut imperatif
kategoris.42 Yakni bahwa kewajiban moral mengandung suatu imperatif
(perintah) kategoris yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat.
3. Metaetika
Awalan meta- (dari bahasa Yunani) pada kata etika mempunyai arti
“melebihi”, “melampaui.”43 Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa
yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-
ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolah-olah bergerak pada taraf
lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa
yang kita pergunakan di bidang moral. Dengan demikian metaetika adalah
sebuah cabang dari etika yang membahas dan menyelidiki serta menetapkan
42
K. Bertens, Etika, h. 256. Lihat pula M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant:
Filsafat Etika Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), cet. ke-2, h. 91.
43
Lihat Webster’s Third New International Dictionary (USA: Merriam-Webster Inc., t.th.),
vol. 2, h. 1418-9.
41. 36
arti dan makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan-
pertanyaan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan.
Istilah-istilah normatif yang sering mendapat perhatian khusus, di antaranya
adalah: keharusan, baik, buruk, benar, salah, terpuji, tercela, adil, yang
semestinya, dan sebagainya.44
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah
the is/ought question.45 Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan
normatif dapat diucapkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau kalau
sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat
disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif).
Dengan meminjam istilah dalam logika, apakah dari premis deskriptif dapat
ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kini para filosof yang mendalami
masalah ini umumnya sepakat bahwa hal itu tidak mungkin, karena
kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang
sekurang-kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga.
D. Etika dalam Islam
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa etika deskriptif dapat dibagi
menjadi dua bagian: sejarah moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral
adalah bagian etika deskriptif yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan-
aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan
masyarakat pada kurun waktu dan batasan tempat tertentu atau dalam suatu
lingkungan besar seperti bangsa dan agama. Sebagai kajian sejarah, akan
diteliti pula sejauh mana norma-norma moral bertumbuh dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Termasuk dalam sejarah moral adalah kajian
tentang etika Islam. Berikut ini akan dibahas tentang etika dalam Islam
meliputi pengertian beberapa istilah dan aliran-aliran etika dalam Islam.
Etika dalam Islam atau etika Islam ditemukan dalam sumber yang
44
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 65.
45
Lihat K. Bertens, Etika, h. 21.
42. 37
merentang luas mulai dari tafsir Al-Qur’ân hingga kalâm, dari komentar-
komentar filosofis atas Aristoteles hingga teks-teks sufi. Wacana etika di dalam
Islam telah diupayakan perumusannya oleh berbagai pemikir dari berbagai
cabang pemikiran, dari ulama hukum (fuqahâ’), para teolog (mutakallimûn),
para filosof (falâsifah), dan kaum mistikus atau sufi (shûfîyûn). Karena itu
sebuah tinjauan historis tentang etika Islam harus didasarkan pada berbagai tipe
teori-teori yang berkembang dalam sejarah pemikiran etika Islam.
Dalam sub-bab ini akan diuraikan beberapa istilah kunci dalam etika
Islam seperti “akhlak” dan “adab”, perkembangan sepintas tentang kajian etika
Islam, ciri-ciri khusus etika Islam, dan beberapa aliran dalam etika Islam.
1. Penjernihan Beberapa Istilah
Kata “etika” biasanya dialihkan ke dalam bahasa Arab dengan
menggunakan istilah “al-akhlâq”, “‘ilm al-akhlâq”, “falsafat al-akhlâq”,
atau “al-âdâb”. Zaki Mubarak yang membahas pemikiran moral al-Ghazâlî
menamakan bukunya dengan judul “Al-Akhlâq ‘ind al-Ghazaâlî ”.46
Demikian pula Ahmad Amin dan As’ad al-Sahmarani menggunakan kata
“al-akhlâq” yang menunjuk kepada arti “etika” dalam bukunya masing-
masing.47
Istilah “falsafat al-akhlâq ” digunakan dalam buku yang disusun
oleh Manshûr ‘Alî Rajab yang berjudul “Ta’ammulât fi Falsafat al-
Akhlâq”.48 Demikian juga Muhammad Yûsuf Mûsâ yang menggunakan
istilah yang sama dalam bukunya dengan judul “Falsafat al-Akhlâq fî al-
46
Lihat Zakî Mubârak, al-Akhlâq ‘ind al-Ghazâlî , (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‘Arabiy lil al-
Thibâ‘at wa al-Nasyr, t.t.), cet. ke-1.
47
Ahmad Amîn, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Mathba‘at Dâr al-Kutub al-Mishrîyah, 1929), cet.
ke-3 dan As’ad al-Sahmarani, al-Akhlâq fî al-Islâm wa al-Falsafah al-Qadîmah , (Beirut: Dâr al-
Nafâ’is, 1993), cet. ke-3.
48
Manshûr ‘Alî Rajab, Ta’ammulât fi Falsafat al-Akhlâq , (Mesir: Maktabat al-Anglo al-
Mishrîyah, 1961), cet. ke-3.
43. 38
Islâm wa Shilatuhâ bi al-Falsafat al-Ighrîqîyah ”.49 Adapun istilah “‘ilm al-
akhlâq” dapat ditemukan dalam beberapa kamus, seperti al-Mu‘jam al-
Wasîth dan al-Mawrid.50
Adapun kata “al-adab” (kata jamak: al-âdâb) digunakan oleh Al-
Mâwardî dalam bukunya yang berjudul Adab al-Dunyâ wa al-Dîn,51 juga
oleh Ibn Jamâ‘ah dengan judul Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Muta‘allim fi Âdâb
al-‘Âlim wa al-Muta‘allim.52
Dua kata “akhlâq” dan “âdâb” yang dipakai dalam beberapa buku
tersebut di atas merupakan dua istilah kunci dalam pembahasan etika dalam
Islam. Kedua kata itu kadangkala dipakai dalam arti yang sama, tapi juga
tidak jarang digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Karena itulah
perlu dilakukan penjernihan terhadap kedua istilah itu.
Akhlâq merupakan kata jamak dari kata khuluq atau khilq yang
berbentuk tunggal (mufrad), yang berarti perangai (al-sajîyah), kelakuan
atau watak dasar (al-tabî‘ah), kebiasaan (al-‘âdah), kehormatan (al-
murû’ah), dan agama (al-dîn).53 Kata ini sudah menjadi kosa kata bahasa
Indonesia dan ditulis dengan “akhlak”. Dalam bahasa Indonesia diberi arti
budi pekerti; kelakuan.54
Kedua, isitilah “âdâb” yang merupakan kata berbentuk jamak dari
kata “adab” yang berarti kebiasaan atau adat.55 Ada pula yang memberikan
49
Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafat al-Akhlâq fî al-Islâm wa Shilatuhâ bi al-Falsafat al-
Ighrîqîyah, (Kairo: Mu’assasah al-Khanjî, 1963), cet. ke-3.
50
Lihat Ibrahîm Anîs (ed.), al-Mu‘jam al-Wasîth, (Kairo: t.p., 1960) dan Rohi Baalbaki, Al-
Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary , (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1993).
51
Lihat Abû al-Hasan al-Mâwardî, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn , (Mesir: Dâr al-Fikr, 1966),
cet. ke-1.
52
Badr al-Dîn ibn Jamâ‘ah, Tadzkirat al-Sâmi‘ wa al-Muta‘allim fî Âdâb al-‘Âlim wa al-
Muta‘allim, (Hyderabab: Dâirat al-Ma‘ârif al-‘Utsmânîyah, 1354 H.).
53
Jamîl Shalibâ, al-Mu‘jam al-Falsafî, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishrî, 1978), vol. 1, h. 539.
54
Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar …, h. 17.
55
Demikian pendapat Thaha Husain sebagaimana dikutip Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, al-
‘Aql al-Akhlâqî al-‘Arabîy: Dirâsah Tah lîlîyah Naqdîyah li Nuzhum al-Qiyam fî al-Tsaqâfah al-
‘Arabîyah, (Maroko: Markaz Dirâsat al-Wihdat al-‘Arabîyah, 2001), cet. ke-1, h. 42.
44. 39
arti “adab” sebagai tingkah laku yang sopan.56 Di samping ada beberapa arti
yang lain, seperti kesopanan, pendidikan, pesta, dan akhlak.57 Di sini kata
“âdâb” mempunyai arti yang sama dengan “akhlâq”. Juga ditemukan dalam
kamus yang lain, “adab” diartikan sejumlah aturan yang seyogyanya ditaati
oleh sekelompok orang dalam satu profesi.58 Dengan arti ini, istilah “âdâb”
tidak berbeda dengan istilah “kode etik”, suatu istilah yang cukup populer
dalam perkembangan etika di zaman modern.
Demikian pula arti “adab” yang digambarkan dalam Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern : refleksi tentang ideal-ideal mulia yang harus
menginformasikan praktik keahlian sebagai negarawan, dokter, usahawan,
dan kegiatan penting lainnya kepada masyarakat.59 Penjelasan ini tampaknya
menempatkan istilah “adab” dalam makna yang lebih dekat dengan arti etika
khusus, etika terapan, atau etika profesi. Salah satu buku yang membahas
etika terapan adalah Âdâb al-Thabîb,60 yang menguraikan tentang kode etik
yang berlaku dalam dunia kedokteran dan dijadikan pegangan oleh para
dokter dalam melaksanakan profesinya sehari-hari.
Dalam aspek tertentu kata “adab” dapat disejajarkan dengan kata
“etiket” yang berarti sopan santun, tata krama. Berbeda dengan etika, etiket
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Etiket menyangkut cara suatu
perbuatan harus dilakukan manusia, sementara etika memberi norma tentang
perbuatan itu sendiri; 2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan
etika selalu berlaku kapanpun dan dimanapun.; 3) Etiket bersifat relatif,
terbatas di dalam wilayah adat tertentu, sedangkan etika jauh lebih absolut;
4) Etiket berkaitan dengan perbuatan lahiriah saja, sementara etika
56
Majd al-Dîn al-Fairûzabâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t.t.), vol. 1, h.
36.
57
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir, h. 13-14.
58
Lihat Ibrahîm Anîs (ed.), al-Mu‘jam al-Wasîth, vol. 1, h. 9.
59
John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern , (Bandung: Mizan,
2002), cet. ke-2, vol. 2, h. 24.
60
John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford……., h. 24.