1. Manajemen Laba, Apakah Termasuk Fraud?
17.29 No comments
A. PENDAHULUAN
Manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dan tujuan
tertentu, dalam batasan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum
(PABU/GAAP), untuk mengarah pada suatu tingkat yang diinginkan atas laba yang
dilaporkan oleh manajemen. Praktek ini dibeberapa dekade terakhir terus
berkembang di berbagai binis melakukan praktek manajemen laba sebagai alat untuk
mempercantik dan merekayasa laporan keuangan suatu perusahaan.
Hal ini terjadi merupakan akibat dari hubungan asimetri antara manajemen,
pemegang saham dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan tingkat kepentingan
(keinginan) yang satu sama lain tidak sama, saling bersebrangan. Manajemen
menginginkan bonus yang tinggi (misalnya) dengan meningkatkan laba perusahaan
pada tahun yang bersangkutan. Sementara para pemegang saham, berusahan untuk
menurunkan labanya (misalnya) dengan tujuan ingin menarik sahamnya kembali, dll.
Maka, dalam hal ini banyak teknik yang dilakukan dalam praktek manajemen laba
diantaranya: memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi (seperti:
estimasi piutang tak tertagih, dll); misalnya lagi kebijakan akuntansi (seperti:
mengganti metode untuk persediaan, penyusutan, dll); menggeser pengakuan
pendapan dan beban.
Sehingga dengan adanya praktek manajemen laba tersebut memberikan tanda tanda
besar karena ketika praktek tersebut dilakukan out put (laporan keuangan) yang
dibuat oleh manajemen tidak menggambarkan realita yang semestiknya. Apakah
prakter manajemen laba tersebut diperbolehkan oleh PABU?, Apakah praktek
manajemen laba tersebut tidak termasuk manipulasi?, dan Apakah manipulasi yang
dilakukan oleh manajemen laba merupakan tindakan fraud?.
B. KAJIAN LITERATUR
1. Apa Manajemen Laba?
2. Scott (2003) mendefinisikan manajemen laba dengan tindakan yang dilakukan
melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu, misalnya
untuk memenuhi kepentingan sendiri atau meningkatkan nilai pasar perusahaan
mereka. Dimana manajemen laba menghasilkan pelaporan keuangan yang tidak
netral yang didalamnya manajer secara intensif melakukan campur tangan untuk
menghasilkan beberapa keuntungan pribadi. Manajer dapat melakukan campur
tangan dengan memodifikasi tentang bagaimana mereka menginterpretasikan
berbagai standar akuntansi keuangan dan data akuntansi (Healy dan Wahlen: 1999).
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (menurunkan)
laba yang dilaporkan saat kini dari suatu unit yang menjadi tanggung jawab manajer
tanpa mengkaitkan dengan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka
panjang (Fischer dan Rosenzweig: 1995).
Sedangkan Assih dan Gudono (2000) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu
proses yang dilakukan dengan sengaja, dalam batasan general accepted accounting
principles, untuk mengarah pada suatu tingkat yang diinginkan atas laba yang
dilaporkan. Perataan laba menurut Assih dan Gudono (2000), termasuk dalam
pengertian manajemen laba tersebut, yaitu “cara pengurangan dalam variabilitas laba
selama sejumlah periode tertentu atau dalam satu periode, yang mengarah pada
tingkat yang diharapkan atas laba yang dilaporkan”.
Definisi bersebrangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan
manipulasi laba yang dilakukan pihak manajemen untuk mencapai tujuan tertentu.
Manipulasi dilakukan agar laba nampak sebagaimana yang diharapkan. Berikut ini
beberapa definisi dari manajemen laba:
Schipper (1989): "...a purposeful intervention in the external financial reporting process,
with the intent of obtaining some private gain (as opposed to, say, merely facilitating
the neutral operation of the process) .... "(emphasis added).
Healy and Wahlen (1999): "Earnings management occurs when managers use
judgment in financial reporting and in structuring transactions to alter financial
reports to either mislead some stakeholders about the underlying economic
performance of the company, or to irifluence contractual outcomes that depend on
reported accounting numbers" (emphasis added).
3. Selanjutnya Healy & Wahlen (1999) menyatakan bahwa Earnings management
occurs:
... when managers use judgement in financial reporting and in structuring transactions
to alter financial reports to either mislead some stakeholders about the underlying
economic performance of the company, or to influence contractual outcomes that
depend on reported accounting numbers (Healy and Wahlen, 1999, p. 6).
Prasetio (2002) juga mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang
dilakukan dengan sengaja, dalam batasan general accepted accounting principles. Hal
ini memang banyak mengundang kontroversi, di satu sisi earnings management
merupakan tindakan yang tidak menyalahi peraturan yang ada dan berlaku umum.
Pada hakekatnya praktik manajemen laba menyebabkan reliabilitas dari laba
tereduksi, karena di dalam manajemen laba terdapat pembiasan pengukuran laba
sehingga pelaporan laba menjadi tidak seperti yang seharusnya dilaporkan. Perilaku
manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory (PAT) dan
Agency Theory.
Tiga hipotesis PAT yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba
yang dirumuskan oleh Watts dan Zimmerman (1986) adalah:
a. The Bonus Plan Hypothesis
Para manajer yang bekerja pada perusahaan yang menerapkan rencana bonus akan
berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan dapat memaksimalkan
jumlah bonus yang akan diterimanya. Manajer perusahaan akan lebih memilih
metoda akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga
dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dikarenakan manajer lebih menyukai
pemberian upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua
istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap
(tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, tidak ada bonus yang
diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di atas cap, manajer tidak akan
mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer
cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada
perioda berikutnya, demikian pula jika laba berada di atas cap. Jadi hanya jika laba
4. bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih
perusahaan.
b. The Debt to Equity Hypothesis (Debt Covenant Hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin dekat suatu perusahaan kepada waktu
pelanggaran perjanjian utang maka para manajer akan cenderung untuk memilih
metoda akuntansi yang dapat memindahkan laba perioda mendatang ke perioda
berjalan dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
pelanggaran kontrak utang. Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity
tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metoda akuntansi yang dapat
meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang
tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak
kreditur bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.
c. The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan dengan skala besar dan
industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi tingkat
visibilitasnya terutama saat perioda kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan
dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. Biaya
politik muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik
perhatian media dan konsumen.
2. Mengapa Manajemen Laba Dilakukan
Beberapa penelitian lain juga menjelaskan motivasi dalam melakukan manajemen
laba diantaranya adalah motivasi pasar modal karena adanya insentif bagi manajer
untuk memanipulasi laba dengan tujuan mempengaruhi kinerja harga saham dalam
jangka pendek. Beberapa faktor yang dapat memotivasi manajer melakukan
manajemen laba (Scott: 2000), yaitu:
a. Rencana bonus (Bonus scheme)
Healy (1985) menunjukkan secara empiris bahwa sebelum melakukan manajemen
laba, manajer mempunyai informasi dari dalam perusahaan atas laba bersih
5. perusahaan. Penelitian ini juga menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara
oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka
berdasarkan program kompensasi perusahaan. Healy (1985) berusaha untuk
membuktikan dan memprediksi metoda akuntansi yang akan dipilih manajer.
Penelitian ini merupakan perluasan dari bonus plan hypothesis. Jika pada suatu tahun
tertentu laba bersih perusahaan rendah (di bawah bogey) maka tindakan manajer
adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih
rendah (taking a bath) yang bermaksud untuk mencapai bonus pada tahun
berikutnya. Sedangkan jika pada satu tahun tertentu laba bersih perusahaan tinggi
(diatas cap) maka tindakan yang dilakukan manajer adalah menurunkan pendapatan,
sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah. Tindakan ini dilakukan karena
manajer tidak akan mendapatkan bonus yang lebih tinggi dari target yang telah
ditentukan. Intinya manajer akan melakukan manajemen laba pada saat laba bersih
berada diantara bogey dan cap. Penelitian yang telah dilakukan oleh Cheng dan
Warfield (2005) menguji hubungan antara manajemen laba dengan insentif ekuitas.
Hasilnya adalah insentif ekuitas berkorelasi positif dengan manajemen laba. Artinya,
semakin tinggi insentif ekuitas yang diberikan kepada manajer, semakin tinggi
kejadian manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Ini terkait hubungan antara
kompensasi yang berdasarkan saham dan elemen insentif ekuitas lain dengan insentif
manajer untuk meningkatkan harga saham jangka pendek. Hasil penelitian Beneish
dan Vargus (2002) menunjukkan bahwa periode di mana akrual sangat tinggi
berhubungan dengan penjualan saham oleh insiders. Di waktu yang sama laba dan
return saham yang rendah mengikuti periode di mana terdapat akrual tinggi yang
disertai penjualan oleh insiders. Bergstresser dan Philippon (2006) menguji
hubungan antara manajemen laba dan CEO insentif dengan menggunakan
pendekatan discretionary accruals model Jones.
b. Kontrak utang jangka panjang (Debt covenant)
Manajemen laba dengan tujuan untuk memenuhi perjanjian utang timbul dari
kontrak utang jangka panjang. Perjanjian utang bertujuan melindungi peminjam
terhadap tindakan manajer. Pelanggaran terhadap covenant mengakibatkan cost yang
6. tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk menghindari
terjadinya pelanggaran terhadap covenant.
c. Motivasi politik (Political motivation)
Perusahaan besar yang aktivitasnya berhubungan dengan publik atau perusahaan
yang bergerak dalam industri strategis seperti minyak dan gas akan sangat mudah
untuk diawasi. Perusahaan seperti ini cenderung untuk mengelola labanya. Pada
perioda kemakmuran perusahaan menggunakan prosedur dan praktik-praktik
akuntansi yang meminimalkan laba bersih perusahaan. Sebaliknya, publik akan
mendorong pemerintah untuk meningkatkan peraturan untuk menurunkan
profitabilitas mereka. Contoh hasil penelitian yang lain pada industri perbankan,
yaitu tingkat manajemen laba dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah
regulasi perbankan tentang tingkat kesehatan, regulasi perbankan tentang kehati-hatian
serta adanya asimetri informasi yang merupakan peluang untuk dapat
melakukannya (Rahmawati: 2006).
d. Motivasi perpajakan (Taxation motivation)
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata.
Namun demikian, kewenangan pajak cenderung untuk memaksakan aturan akuntansi
pajak sendiri untuk menghitung pendapatan kena pajak. Seharusnya secara umum
perpajakan tidak mempunyai peran besar dalam keputusan manajemen laba.
Penelitian Maydew (1997) membuktikan bahwa penghematan pajak menjadi insentif
bagi manajer (khususnya manajer yang mengalami net operating loss pada tahun
1986-1991) untuk mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan
pendapatan. Di USA, perusahaan yang mengalami net operating loss diijinkan untuk
mengkompensasi rugi operasi tersebut dengan laba tiga tahun sebelumnya (atau
dengan laba 15 tahun yang akan datang). Dampak dari kompensasi rugi terhadap laba
adalah restitusi pajak. Perubahan tingkat pajak pada tahun 1987 di Amerika akibat
TRA (tax reform act) adalah akibat memaksimalkan restitusi pajak yang didapatkan
dari perusahaan mengalami kerugian pada tahun 1986-1991, karena restitusi
tersebut didasarkan atas tarif pajak yang berlaku pada tahun pajak ditarik. Guenther
(1994) menginvestigasi pengaruh publikasi TRA terhadap perusahaan di Amerika.
Berbeda dengan Maydew, Guenther memilih mengevaluasi perusahaan yang tidak
7. mengalami net operating loss. Penelitian Guenther berhasil membuktikan bahwa
tingkat akrual perusahaan besar relatif lebih rendah dibanding tingkat akrual
perusahaan kecil. Aktivitas manajemen laba dengan motivasi pajak dapat terdeteksi
dengan book-tax differences, yaitu dilakukan dengan cara menaikkan kewajiban pajak
tangguhan bersih (yaitu kewajiban pajak tangguhan dikurangi aktiva pajak tangguhan
bersih), dan mengakibatkan naiknya beban pajak tangguhan (deferred tax expense).
Pendapat ini konsisten dengan Phillips et al. (2003) yang membuktikan bahwa beban
pajak tangguhan, yang merupakan wakil empirik untuk book-tax differences,
menghasilkan total akrual dan ukuran abnormal akrual dalam mendeteksi
manajemen laba untuk menghindari laba menurun. Selanjutnya Phillips et al. (2004),
Rahmawati dan Solikhah (2008), serta Subekti dkk. (2008) menggunakan komponen-komponen
perubahan dalam aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan
untuk mendeteksi manajemen laba untuk menghindari laba menurun.
e. Pergantian CEO (Chief Executive Officer)
Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO. Hipotesis program
bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati pengunduran diri CEO maka
tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonus
mereka. Sedangkan CEO yang kinerjanya buruk akan melakukan manajemen laba
untuk memaksimalkan laba mereka dengan tujuan mencegah atau menunda
pemberhentian mereka. Motivasi melakukan manajemen laba juga dapat dilakukan
oleh CEO baru, terutama jika cost dibebankan pada tahun transisi, melalui
penghapusan operasi yang tidak diinginkan atau divisi yang tidak menguntungkan.
f. Penawaran saham perdana (Initial public offering)
Perusahaan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer
perusahaan tersebut melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka.
Nampaknya informasi akuntansi keuangan yang dimasukkan dalam prospektus
bermanfaat sebagai sumber informasi. Terdapat kemungkinan bahwa manajer
perusahaan go public akan mengelola prospektusnya dengan harapan dapat
menaikkan harga saham.
3. Bagaimana Pola Manajemen Laba Dilakukan
8. Menurut menurut Scott (2003) pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara:
a. Taking a bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan Chief Executive Officer
(CEO) baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini
diharapkan dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang.
b. Income minimization
Income minimization adalah menurunkan jumlah laba yang akan dilaporkan. Cara ini
dilakukan saat perusahaan memperoleh tingkat profitabilitas yang tinggi dengan
maksud untuk memperoleh perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat
berupa penghapusan atas barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan
pengeluaran iklan, riset dan pengembangan dipercepat.
c. Income maximization
Income maximization adalah memaksimalkan laba yang dilaporkan agar memperoleh
bonus yang lebih besar, income maximization dilakukan pada saat laba mengalami
penurunan. Kecenderungan manajer untuk memaksimalkan laba juga dapat
dilakukan pada perusahaan yang melakukan suatu pelanggaran perjanjian utang.
d. Income smoothing
Income smoothing dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang
dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada
umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Manajemen laba dilakukan melalui pemilihan kebijakan akuntansi atau dengan
mengendalikan transaksi akrual. Transaksi akrual merupakan transaksi yang tidak
berpengaruh terhadap aliran kas masuk ataupun kas keluar. Transaksi akrual terdiri
dari transaksi diskresioner dan non-diskresioner. Akrual diskresioner adalah akrual
yang masih dapat diubah atau dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat manajemen
atau manajemen mempunyai beberapa fleksibilitas untuk mengendalikan jumlahnya,
misalnya penentuan ketetapan kebijakan pemberian kredit, kebijakan cadangan
kerugian piutang dagang, dan penilaian persediaan. Akrual non-diskresioner adalah
akrual yang tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat manajemen atau
manajemen tidak mempunyai fleksibilitas untuk mengendalikan jumlahnya, misalnya
penggunaan metoda akuntansi dalam perusahaan minyak antara full method dan
9. successful effort, dan perubahan akrual karena perubahan volume bisnis (Scott:
2000). Manajemen laba yang berusaha meninggikan (menurunkan) laba
menyebabkan adanya akrual diskresioner positif (negatif).
4. Teknik Manajemen Laba
Setiawati dan Na’im (2000) teknik manajemen laba seringkali dilakukan dengan tiga
cara, yaitu:
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi
akuntansi antara lain: estimasi tingkat piutang tidak tertagih (Rahmawati: 2007),
estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud,
dan estimasi biaya garansi.
b. Mengubah metoda akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi,
contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka
tahun ke metode depresiasi garis lurus. Strategi manajemen laba dengan pemilihan
metoda akuntansi Dan pengaturan waktu transaksi mempengaruhi manajemen laba
dengan proksi akrual kelolaan (Rahmawati dkk., 2010). Semakin besar manajemen
laba dengan menggunakan strategi pemilihan metoda dan pengaturan waktu
transaksi semakin besar pula manajemen laba (yang diproksikan dengan akrual
kelolaan).
c. Menggeser perioda biaya atau pendapatan
Beberapa orang menyebut rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan
operasional (Fischer dan Rosenzweig: 1995). Contoh rekayasa periode biaya atau
pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian
sampai periode akuntansi berikutnya (Daley dan Vigeland: 1993), mempercepat atau
menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, kerja sama
dengan vendor untuk mempercepat atau menunda pengiriman tagihan sampai
periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke
pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, mengatur
saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai (Bartov: 1993). Perusahaan yang
10. mencatat persediaan menggunakan asumsi LIFO, juga dapat merekayasa peningkatan
laba melalui pengaturan saldo persediaan (Frankel dan Trezervant: 1994).
5. Teori Agensi
Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai
kepentingan yang berbeda (Jensen dan Meckling: 1976). Perusahaan yang
memisahkan fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik
keagenan (Lambert: 2001). Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang
melibatkan kedua belah pihak, sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik
(principal) dan manajemen (agent). Dalam kesepakatan tersebut diharapkan dapat
memaksimumkan utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen
untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Perbedaan
kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada maksimalisasi manfaat
(utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat (utility) dan insentif
yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang berbeda
sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham atau pemilik (principal)
dengan manajemen (agent).
Pada dasarnya agency theory merupakan model yang digunakan untuk
memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principal). Model principal-agent dapat digambarkan dalam gambar-1 sebagai
berikut (Lambert: 2001):
Gambar: 1
Model Principal Agent
(tidak dapat ditampilkan)
Pada gambar tersebut “s” merupakan fungsi kompensasi yang akan dijadikan dasar
dan bentuk fungsi yang menghubungkan pengukuran kinerja dengan kompensasi
agen; “y” menunjukkan vector pengukuran kinerja berdasarkan kontrak. Berdasarkan
kontrak tersebut agen akan menyeleksi dan atau melakukan aktivitas (action “a”)
11. yang meliputi kebijakan operasional (operation decisions), kebijakan pendanaan
(financing decision), dan kebijakan investasi (investment decisions). Sedangkan “x”
menunjukkan “outcome” atau hasil yang diperoleh perusahaan, dan selanjutnya
digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja dan kompensasi agen.
Kinerja perusahaan yang telah dicapai oleh pihak manajemen diinformasikan kepada
pihak pemilik (principal) dalam bentuk laporan keuangan. Dalam sistem
desentralisasi, manajemen mempunyai informasi yang superior dibandingkan dengan
pemilik, karena manajemen telah menerima pendelegasian untuk pengambilan
keputusan atau kebijakan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat memonitor secara
sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial manajemen dapat
menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya. Pada
model hubungan principal-agent, seluruh tindakan (actions) telah didelegasikan oleh
pemilik (principal) kepada manajer (agent). Rajan dan Saouma (2006) menunjukkan
bahwa arus informasi hubungan antara principal-agent dapat digambarkan pada
gambar 2 berikut:
Gambar: 2
Urutan Arus Informasi - Model Hubungan Principal-Agent
Time Line
(tidak dapat ditampilkan)
Berdasarkan gambar 2 tersebut, maka urutan arus informasi dapat dijelaskan berikut.
Pertama, pada periode nol (time 0) manajer menerima sinyal, s dan pada periode satu
(time 1) pemilik menawarkan kepada manajer satu menu kontrak. Jika manajer
setuju, maka manajer mengkomunikasikan pilihan kontraknya kepada pemilik;
sebaliknya jika manajer menolak, maka hubungan berakhir. Kedua, pada periode dua
(time 2), manajer memilih level aktivitas (effort) dan konsekuensinya dengan profit
yang dihasilkan (π). Ketiga, pada periode tiga (time 3), pemilik membayar
kompensasi kepada manajer berdasarkan kontrak yang telah disepakati.
Model hubungan principal-agent diharapkan dapat memaksimumkan utilitas
principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari
hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat memonitor secara
12. sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial manajemen dapat
menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya. Rajan
dan Saouma (2006) menyatakan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh
pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya laba/ profit (π) yang dihasilkan
sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik (owner). Besarnya
laba yang diinformasikan melalui laporan keuangan, tidak terlepas dari kebijakan
akuntansi yang dibuat oleh manajemen. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dinyatakan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh pihak manajemen
(agent) tergantung pada besarnya laba/ profit (π) yang dihasilkan sesuai dengan
kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik.
6. Pengertian Fraud
Fraud atau yang sering dikenal dengan istilah kecurangan merupakan hal yang
sekarang banyak dibicarakan di Indonesia. Pengertian fraud itu sendiri merupakan
penipuan yang sengaja dilakukan, yang menimbulkan kerugian pihak lain dan
memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan atau kelompoknya (Sukanto:
2009). Sementara Albrecht (2003) mendefinisikan fraud sebagai representasi tentang
fakta material yang palsu dan sengaja atau ceroboh sehingga diyakini dan
ditindaklanjuti oleh korban dan kerusakan korban. Dalam bahasa aslinya fraud
meliputi berbagai tindakan melawan hukum.
Bologna (1993) mendefinisikan kecurangan “Fraud is criminal deception intended to
financially benefit the deceiver” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang
bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini
berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Ia
memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial dari tindakannya
tersebut. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan (the act.),
(2) penyembunyian (the concealment) dan (3) konversi (the conversion).
Adapun menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam
Tuanakotta (2013) fraud adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang
13. dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan
laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar
organisasi untuk mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara
langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. Dengan demikian fraud adalah
mencangkup segala macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang diupayakan
oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, dengan saran yang
salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencangkup semua cara yang tidak terduga,
penuh siasat atau tersembunyi, dan setiap cara yang tidak wajar yang menyebabkan
orang lain tertipu atau menderita kerugian.
7. Klasifikasi Fraud
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau Asosiasi Pemeriksa
Kecurangan Bersertifikat, merupakan organisasi profesional bergerak di bidang
pemeriksaan atas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan
mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan, mengklasifikasikan fraud
(kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “ The Fraud Tree”
yaitu Sistem Klasifikasi Mengenai Hal-hal Yang Ditimbulkan Sama Oleh Kecurangan
(Uniform Occupational Fraud Classification System).
ACFE dalam Tuanakotta (2010) membagi fraud (kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis
atau tipologi berdasarkan perbuatan, yaitu:
a. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Statement)
Kecurangan Laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang
dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang
merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau
kecurangan non finansial.
b. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan atau pencurian aset atau harta
perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi
karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur atau dihitung (defined value).
14. c. Korupsi (Corruption)
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan
pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak
terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih
kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih
dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak
yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk
didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang atau konflik kepentingan (conflict of
interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah atau illegal (illegal
gratuities) dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
8. Penyebab Terjadinya Fraud (versi segitiga fraud)
Sebagaimana penelitian yang dilakukan Donald Cressey pada tahun 1950
sebagaimana dikutip dalam Suradi (2012) menyatakan yang menimbulkan
pertanyaan mengapa kecurangan dapat terjadi. Hasil dari penelitian itu
memunculkan faktor-faktor pemicu kecurangan yang saat ini dikenal dengan “Fraud
Triangle”. Penelitian tersebut Cressey memutuskan untuk mewawancarai pelaku
kecurangan yang menjadi tahanan atas tindakan kecurangan berupa penggelapan.
Cressey mewawancarai 200 pelaku penggelapan yang sedang menjalani masa
tahanan. Satu dari tujuan utama penelitian ini menyimpulkan bahwa setiap
kecurangan yang dilakukan oleh para pelaku memenuhi tiga faktor penting sebagai
faktor pemicu
Secara umum fraud dapat terjadi apabila ada kesempatan (opportunity), tekanan
(pressure) atau insentif (incentive), dan rasionalisasi (rationalization). Tiga hal ini
lebih dikenal dengan segitiga fraud atau fraud triangle. Pressure (menunjukkan
motivasi dan sebagai “ unshareable need”), rationalization (personal ethics),
Knowledge dan opportunity.
The Fraud Triangle
15. Dari dasar hasil penelitian yang dilakukan oleh Donald Cressey, memunculkan
banyak pendapat-pendapat lain yang kian beragam, salhsatunya Ramos (2003)
menggambarkan penyebab kecurangan dalam bentuk segitiga (The fraud triangle),
sebagai berikut:
a. Penyalahgunaan wewenang atau jabatan (Occupational Frauds): kecurangan yang
dilakukan oleh individu-individu yang bekerja dalam suatu organisasi untuk
mendapatkan keuntungan pribadi.
b. Kecurangan organisatoris (Organisational Fraud): kecurangan yang dilakukan
oleh organisasi itu sendiri demi kepentingan / keuntungan organisasi itu.
c. Skema kepercayaan (Confidence Schemes). Dalam kategori ini, pelaku membuat
suatu skema kecurangan dengan menyalahgunakan kepercayaan korban.
d. CKM dr Kurtiyono mengutip pendapat Riduan Simanjuntak mengatakan bahwa
terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang
dikenal dengan teori GONE, yaitu :
1) Greed (keserakahan)
2) Opportunity (kesempatan)
3) Need (keinginan)
4) Exposure (Pengungkapan)
16. Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku
kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan
Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban
perbuatan fraud (disebut juga faktor generik/umum).
Setiap pelaku kecurangan menghadapi berbagai macam tekanan (pressure).
Tekanan yang paling kuat adalah berkaitan dengan kebutuhan finansial,
meskipun ia juga menghadapi tekanan selain finansial (seperti frustasi ditempat
kerja, kebutuhan untuk melaporkan hasil yang lebih baik daripada kinerja yang
sebenarnya, atau tantangan untuk menyiasati sistem) juga merupakan faktor
pendorong untuk melakukan kecurangan.
Pelaku kecurangan memerlukan suatu cara untuk membenarkan (merasionalisasi)
atas tindakan yang mereka lakukan agar dapat diterima. Pelaku
merasionalisasikan tindakannya dua alasan, yaitu : (1) ia tidak yakin bahwa apa
yang telah ia lakukan adalah melanggar hukum (ilegal), meskipun ia mengakui
bahwa tindakan tersebut tidak etis, dan (2) ia yakin bahwa ia akan mendapatkan
uang pengganti dari sumber lain dan sehingga dapat membayar kembali atas uang
yang telah ia gelapkan.
Dalam benak pikirannya, ia hanya meminjam dan meskipun cara yang mereka
lakukan adalah tidak etis, ia akan membayar kembali utang tersebut. Setelah semua
itu, hampir semua orang akan ikut-ikutan melakukan hal serupa. Dalam hal
terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen, sebagai contoh, tekanan
(pressure) mungkin kebutuhan untuk membuat bahwa laba perusahaan kelihatan
lebih baik untuk mendapatkan pinjaman yang lebih besar, kesempatan (opportunity)
mungkin karena adanya kelemahan komite audit, dan sebagainya.
Kecurangan menyerupai terjadinya api dalam berbagai cara. Agar terjadi suatu
api, diperlukan adanya tiga unsur. Ketika semua dari ketiga unsur tersebut datang
bersamaan, terjadilah apa yang disebut dengan api (pada gambar dibawah ini). Para
petugas pemadam kebakaran mengetahui bahwa suatu api dapat dipadamkan dengan
mengeliminasi salah satu dari tiga unsur tersebut. Oksigen sering dieliminasi dengan
menggunakan bahan kimia, atau disebabkan letusan. Panas sangat lazim dieliminasi
dengan dituangi air. Bahan bakar dihilangkan dengan pemadam api atau dengan
17. menutupi sumber bahan bakar.
The Fire Triangle
Seperti halnya dengan unsur dalam segitiga api, tiga unsur dalam segitiga
kecurangan juga saling berinteraksi. Pada api, bahan bakar lebih mudah terbakar,
oksigen tidak mudah terbakar dan panas untuk membakarnya. Pada kasus
terjadinya kecurangan, semakin besar kesempatan yang dimiliki atau semakin
kuat tekanan yang dihadapi, meskipun rasionalisasi kurang, hal ini akan mendorong
seseorang melakukan kecurangan. Demikian juga, semakin tidak jujur seseorang,
meskipun kesempatan atau tekanan yang dimiliki sangat terbatas, mereka akan
termotivasi untuk melakukan kecurangan.
Seseorang yang berusaha untuk mencoba mencegah terjadinya kecurangan selalu
bekerja hanya berada pada salah satu dari ketiga unsur segitiga kecurangan, yaitu
kesempatan. Para investigator secara umum berkeyakinan bahwa kesempatan dapat
dieliminasi dengan adanya sistem pengendalian intern yang baik dan menjamin untuk
dipatuhinya sistem pengendalian intern tersebut. Jarang para investigator
18. berfokus pada tekanan untuk melakukan kecurangan atau rasionalisasi yang
dimiliki oleh pelaku kecurangan.
a. Kesempatan (Oportunity)
Menurut Tuanakotta (2010) yang mengungkapkan bahwa dari penelitian Cressey,
pelaku kecurangan selalu memiliki pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan
tindakan tersebut agar tindakan itu tidak dapat terdeteksi. Cressey berpendapat ada
dua komponen dari peluang, yaitu ;
1) General information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang
mengandung trust (kepercayaan), dapat dilanggar tanpa konsekuensi.
Pengetahuan ini diperoleh pelaku dari apa yang ia dengar atau lihat, misalnya dari
pengalaman orang lain yang melakukan fraud dan tidak ketahuan atau tidak dihukum
atau terkena sanksi.
2) Technical skill atau keahlian/keterampilan
3) Keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan
tersebut. Ini biasanya keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang
menyebabkan ia mendapat kedudukan tersebut.
Selain itu, faktor yang menciptakan kesempatan adalah lemahnya pengendalian
internal (internal controls) yang telah ada pada perusahaan. Dalam bukunya ”Modern
Auditing” Boynton menyatakan mengenai Committee of Sponsoring Organizations
(COSO) dan mengidentifikasikan lima komponen pengendalian intern yang saling
berhubungan, yaitu :
1. Lingkungan Pengendalian (control environment)
Faktor pembentuk lingkungan pengendalian dalam suatu entitas dapat berupa
integritas dan nilai etika, komitmen terhadap kompetensi, dewan direksi dan komite
audit, filosofi dan gaya operasi manajemen, struktur organisasi, penetapan wewenang
dan tanggung jawab, serta kebijakan dan praktik sumber daya manusia.
2. Penilaian Resiko (risk assessment)
Penilaian resiko oleh manajemen harus mencakup pertimbangan khusus atau resiko
yang dapat muncul dari perubahan kondisi lingkungan operasi, personel baru, sistem
informasi yang baru atau dimodifikasi, pertumbuhan yang cepat, teknologi baru,
restrukturisasi perusahaan, operasi di luar negri, pernyataan akuntansi, dan lini,
19. produk, atau aktivitas baru.
3. Informasi dan Komunikasi (information and communication system)
Sistem akuntansi yang efektif harus mencatat transaksi yang valid dan benar-benar
terjadi, otorisasi yang tepat, penyajian secara tepat dalam laporan keuangan.
4. Aktivitas pengendalian (control activities)
Aktivitas pengendalian yang relevan dengan audit laporan keuangan dapat
dikategorikan dalam berbagai cara, yaitu pemisahan tugas, pengendalian pemrosesan
informasi, pengendalian fisik, review kerja.
5. Pemantauan (monitoring)
Pemantauan dapat dilaksanakan melalui aktivitas yang berkelanjutan (ongoing
activities) dan melalui pengevaluasian periodik secara terpisah.
6. Pelaksanaan Internal audit untuk setiap department
7. Accounting System
b. Tekanan (Pressure)
Tekanan merujuk pada sesuatu hal yang terjadi pada kehidupan pribadi pelaku yang
memotivasinya untuk mencuri. Biasanya motivasi tersebut timbul karena masalah
keuangan, tetapi ini dapat menjadi gejala dari faktor-faktor tekanan lainnya, sehingga
tekanan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: tekanan dari faktor keuangan
(financial), dan tekanan dari faktor sosial (non financial)
1. Financial Pressures
Masalah keuangan yang dialami pelaku dapat dipecahkan dengan mencuri uang atau
aset lainnya. Berikut faktor-faktor dari tekanan keuangan:
a. Greed. Keserakahan seseorang akan kekayaan dapat memicu orang tersebut
bertindak curang karena merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki.
b. Gaya hidup mewah
c. High personal debts. Hutang yang menumpuk dapat membuat seseorang tertekan.
Ketertekanan akan semakin tinggi ketika hutang tersebut tidak dapat dilunasi,
sehingga akan menghalalkan segala cara untuk dapat melunasinya.
d. High medical bills. Ketika calon pelaku kecurangan mengalami masalah kesehatan
20. dan membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi, sedangkan si calon pelaku tidak
mempunyai cukup dana, maka dari tekanan biaya tersebut akan mendorong tindakan
criminal atau curang sebagai cara memenuhi biaya tersebut.
e. Kerugian keuangan yang tak terduga.
2. Social Pressure
Tekanan yang berasal dari faktor non-keuangan diantaranya :
a. Vice Pressure
b. Kebiasaan berjudi (gambling), drugs dan alcoholic (peminum berat)dapat
menciptakan keinginan keuangan yang besar agar supaya mendukung kebiasaan-kebiasaan
tersebut. Hal ini menciptakan hubungan tekanan dengan aspek ini
sebagai fraud triangle.
c. Work related
1) Seseorang akan merasa tertekan ketika performa pekerjaan kurang diakui dan
dinilai secara adil oleh manajemen
2) Kepuasan atas pekerjaannya
3) Takut akan kehilangan pekerjaannya
4) Tertekan karena ingin mendapatkan promosi
5) Merasa digaji rendah oleh perusahaan
3. Other Pressure
a. Perubahan perilaku secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya.
b. Sedang mengalami trauma emosional di rumah atau tempat kerja
c. Tertantang untuk merusak atau membobol sistem
d. Krisis keuangan yang tak terduga
Tuanakotta (2010) menjelaskan komponen pressures sebagai perceived non-shareable
financial need, yang dibagi kedalam enam kelompok:
1. Violation of ascribed obligation
Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa
konsekuensi tertentu yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau
majikannya. Disamping harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu.
Orang dalam jabatan seperti itu merasa wajib menghindari perbuatan seperti berjudi,
mabuk, menggunakan narkoba dan perbuatan lain yang merendahkan martabatnya.
21. Inilah kewajiban yang terkait dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Ini
adalah ascribed obligation baginya. Jika ia menghadapi situasi yang melanggar
kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa masalah yang dihadapinya tidak
dapat diungkapkannya kepada orang lain.
2. Problems resulting from personal failure
Kegagalan pribadi yang merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang
mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai
kesalahannya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggung jawab
pribadinya.
3. Business reversals
Kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi yang juga mengarah kepada non-shareable
problem. Kegagalan ini dikarenakan oleh inflasi yang tinggi, atau krisis
moneter, atau ekonomi, dan tingkat bunga yang tinggi.
4. Physical isolation
Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian.
5. Status gaining
Kebiasaan (buruk) untuk tidak mau kalah dengan “tetangga” atau pelaku berusaha
meningkatkan statusnya.
6. Employer-employee relations
Kekesalan atau kebencian pelaku dalam pekerjaannya. Kekesalan itu biasa terjadi
karena ia merasa gaji atau imbalan lainnya tidak layak dengan pekerjaan atau
kedudukannya, atau ia merasa beban pekerjaannya teramat banyak, atau ia merasa
kurang mendapat penghargaan batiniah (pujian).
c. Rationalization (Justifikasi Melakukan Kecurangan)
Rationalisasi adalah komponen kecurangan yang paling krusial. Rasionalisasi
menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud, dimana pelaku mencari pembenaran
atas tindakannya, misalnya:
1. Tidak akan ada orang lain yang terluka
2. Saya berhak mendapatkan sesuatu yang lebih
3. Tindakan kecurangan yang ia lakukan bertujuan baik
22. 4. Sesuatu yang menjadi kepuasaannya jika ia bertindak curang
5. Semua orang melakukan itu, jadi saya melakukannya juga
6. Orang-orang tidak mampu dan tidak peduli tentang konsekuensi atas tindakan
atau atas pelakunya yang tidak jujur
7. Pelaku percaya bahwa jika mereka bertindak curang, mereka tidak akan
kehilangan keluarga, uang dan kekayaannya.
8. Ketidakpuasan pekerjaan akan sesuatu hal yang berhubungan dengan
gaji,lingkungan pekerjaan, perhatian yang diberikan oleh manajer, membuat pelaku
berpikiran bahwa perusahaan berhutang kepada dia
9. Saya hanya meminjam uang perusahaan saja, nanti akan saya kembalikan
10. Perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak mengapa
jika pelaku mengambil bagian sedikit dari keuntungan tersebut
Kita telah mendiskusikan dua elemen pertama dari segitiga kecurangan, yaitu:
adanya tekanan dan adanya kesempatan. Unsur yang ketiga adalah rasionalisasi.
Untuk menjelaskan kenapa rasionalisasi memberikan kontribusi terhadap terjadinya
kecurangan, karena rasionalisasi akan memberikan suatu pembenaran tentang
apa saja yang kita lakukan dengan tujuan untuk memuaskan diri sendiri, meskipun
tidak memiliki alasan yang kuat dan pembenaran tersebut juga tidak dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi moral maupun etika.
Misalkan seseorang yang melakukan korupsi, dan uang korupsi tersebut
sebagian digunakan untuk kegiatan keagamaan dan menyantuni fakir miskin.
Contoh yang lain, Robin Hood mempertahankan perilakunya yang tidak jujur dengan
beragumen bahwa ia mencuri dari yang kaya dan diberikan kepada yang miskin
(Robin Hood defended his dishonest acts by arguing that he "stole from the rich and gave
to the poor”). Hampir setiap kecurangan melibatkan rasionalisasi. Sebagian besar
dari pelaku kecurangan pada pertama kali mereka melakukan kecurangan mereka
berkomitmen untuk tidak melakukan kejahatan yang lain. Dengan melakukan
rasionalisasi akan membantu seseorang untuk menyembunyikan ketidakjujuran dari
tindakannya. Berikut ini beberapa rasionalisasi yang sering digunakan oleh pelaku
kecurangan:
a) "Saya hanya meminjam uang; saya akan mengembalikannya" (1'm only borrowing
23. the money; I will pay it back).
b) "Setiap orang melakukannya ". (Everyone does it).
c) "Saya tidak menyakiti siapapun". (I'm not hurting anyone).
d) "Perusahaan meminjami kami". (The organization owes it to me).
e) "Tindakan tersebut untuk suatu tujuan yang baik". (It's for a good purpose).
Menurut Romney (1980), menyatakan bahwa seseorang melakukan kecurangan
sebagai hasil interaksi dari dua kekuatan yang berasal dari dalam pribadi
seseorang dan lingkungan ekstern. Kekuatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori: (1) tekanan situasional (situational pressures), (2) Kesempatan
(opportunity), dan (3) karakteristik pribad i (personal characteristics).
C. PEMBAHASAN
1. Apakah Manajemen Laba Diperbolehkan Secara Prinsip Akuntansi?
Berdasarkan kajian literatur dari berbagai sumber dan pakar ahli menyebutkan
bahwa manajemen Laba merupakan kegiatan yang secara sengaja dilakukan oleh
manajemen untuk berbagai kepentingan dan sesuai dengan tujuan manajemen dan
perusahaan. Namun yang perlu diperhatikan dalam hal menlakukan manajemen laba
yaitu tidak kebijakan-kebijakan yang diambil tidak menyimpang dari Prinsip-prinsip
Akuntansi yang Berterima Umum (PABU/GAAP).
Sebagimana dijelaskan pada kajian literatur banyak cara yang diperbolehkan dalam
melakukan manajemen laba, dan tidak melanggar atau diperbolehkan oleh PABU
(GAAP), seperti Taking a bath, Income minimization, Income maximization, Income
smoothing, dan lain-lain.
Karena Manajemen Laba merupakan salah satu media untuk mempergunakan
peluang yang yang ada dalam prinsip akuntansi untuk mengoptimalkan kinerja
perusahaan dan bahkan mensejahterakan para pemegang sahamnya. Misalnya dalam
hal Kebijakan Akuntansi (Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan
akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan
akuntansi lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat
24. berlakunya kebijakan tersebut), Pendapatan (Dengan mempercepat atau menunda
pengakuan akan pendapatan sesuai keinginan manajer), dan Biaya (Menganggap
sebagai ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi
atas suatu biaya (amortize or capitalize of investment).
Maka, dari beberapa pernyataan diatas walaupun manajemen laba dilakukan secara
sengaja dan menguntungkan pihak perusahaan khususnya manjer serta memberikan
informasi yang secara fakta tidak relevan, namun hal tersebut diperbolehkan secara
prinsip-prinsip akuntansi, PABU/GAAP (selama tidak menyimpang dari standar yang
berlaku).
2. Apakah Manajemen Laba Termasuk Manipulasi?
Sebelumnya kita harus mengetahui pengertian dari manipulasi itu sendiri, dimana
manipulasi adalah sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan,
pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan
sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan
sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari
tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan
tertentu.
Maka, dari pengertian diatas dan berdasarkan beberapa praktek yang dilakukan
dalam manajemen laba menyimpulkan bahwa manajemen laba melakukan
manipulasi data seperti melakukan Taking a bath, Income minimization, Income
maximization, dan Income smoothing (Contohnya: Menggeser pengakuan pendapatan
dan Biaya). Dengan contoh tersebut itu sudah termasuk dalam kategori manipulasi,
karena manajemen tidak menyajikan data keuangan sebagaimana mestinya. Namun
hal tersebut walaupun termasuk manipulasi tetap tidak melanggar prinsip akuntansi
(PABU/GAAP).
Selain paraktek tersebut masih banyak juga praktek manjemen laba yang tidak
termasuk kategori manipulasi seperti: Perubahan metode atas persediaan,
penyusutan asset dll.
25. 3. Apakah Manipulasi yang Dilakukan dalam Rangka Manajemen Laba
Termasuk Fraud?
Sebagaimana disebutkan oleh Tuanakotta (2013) yang disebut dengan fraud adalah
a. Perbuatan Melawan Hukum.
b. Perbuatan yang mengandung: 1) Unsur kesengajaan, 2) Niat Jahat 3) Penipuan, 4)
Penyembunyian, dan 5) Penyalahgunaan kepercayaan.
c. Perbuatan tersebut bertujuan untuk mengambil keuntungan haram (illegal
advantage) yang bisa berupa uang, barang/harta, jasa, tidak membayar jasa (Contoh:
tidak membayar jasa listrik/air/gas sepenuhnya dengan cara menyuap petugas yang
mencatat meteran pemakaian listrik/air/gas), atau memperoleh bisnis
(“memenangkan” tender pengadaan barang/jasa dengan cara menyuap pejabat atau
menyalurkan bisnis kepada anggota keluarga atau kerabat).
Maka, dari pengertian atau prasyarat seorang dikatakan melakukan fraud apabilah
segala unsur tersebut terpenuhi, jika salah satunya cacat atau tidak terpenuhi,
tindakan tersebut bukan masuk kategori fraud. Untuk ini kreteria tersebut diatas
akan menjadi indikator atas praktek manajemen laba, apakah manajemen laba
termasuk tindakan fraud atau tidak?.
Untuk mengetahui apakah manajemen laba termasuk fraud atau tidak
perhatikan hasil pengujian pada tabel berikut:
Tabel Pengujian
No. Indikator Tindakan
Fraud
Manajemen
Laba
1. Perbuatan melanggar hukum Ya (Tidak)
2. Mengandung unsur: Ya
a. Kesengajaan Ya Ya
b. Niat jahat Ya Ya (Tidak)
c. Penipuan Ya Ya (Tidak)
d. Penyembunyian Ya Ya
e. Penyalahgunaan
Ya Tidak
kepercayaan
3. Tujuan mengambil
keuntungan haram
Ya Tidak
4. Tindakan memperkaya diri
sendiri, atau kelompok
Ya Ya (Tidak)
26. (KUHP)
5. Menyimpang dari prinsip
PABU (GAAP)
Ya Tidak
Berdasarkan tabel pengujian tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer memiliki dua sisi. Pertama, jika manajemen laba dilakukan
bukan atas dasar niat jahat, penipuan, mengambil keuntungan haram, memperkaya
diri sendiri, dan menyimpang dari PABU atau tidak melakukan salah satu diantara
poin-point tersebut, maka praktek manajemen laba bukan kategori fraud. Walaupun
terjadi hal-hal berikut:
1. Manajer sengaja melakukan hal tersebut untuk dirinya (perusahaan) dengan
berbagai kepentingan.
2. Manajer memberikan informasi yang laporan keuangan dengan mengatur naik-turunya
laba demi kepentingan perusahaan.
Kedua, sebaliknya jika semua point (indikator fraud) dilakukan oleh manajemen laba
secara bersamaan, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai Fraud dan
melanggar hukum dan atau jika laporan keuangan yang disajikan ditujukan untuk
menyesatkan pengguna laporan keuangan dan mengabaikan atau melanggar PABU
(Prinsip-prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum).
Sehinggan apabila opsi yang kedua yang terjadi berkaitan dengan manajemen laba
ilegal (melakukan indikator fraud dan atau mengabaikan/melanggar PABU), dapat
dikenakan pasal 390 KUHP yaitu “Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang- barang dagangan,
dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.
D. SIMPULAN
Manajemen laba merupakan tindakan yang disengaja oleh manajer dengan
memanfaatkan peluang yang ada dalam prinsip-prinsip akuntansi (boleh dilakukan)
untuk kepentingan tertentu. Hal ini (manajemen laba) terjadi merupakan akibat dari
hubungan asimetri antara manajer, pemegang saham, dan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan dengan perusahaan.
27. Praktek manajemen laba disatu sisi berbentuk praktek manipulasi sementara disisi
yang lain praktek sehat (murni), namun kedua-duanya diperbolehkan oleh Prinsip-prinsip
Akuntansi yang Berterima Umum (PABU/GAAP). Sementara untuk yang
manipulasi ketika dalam lingkup Prinsip-prinsip Akuntansi yang Berterima Umum
(PABU/GAAP) artinya tidak melanggar atau menyimpang, maka praktek manajemen
laba ini bukan termasuk kategori tindakan fraud. Sebaliknya jika manipulasi atas
manajemen laba dilakukan melanggar atau menyimpang dari Prinsip-prinsip
Akuntansi yang Berterima Umum (PABU/GAAP), maka ini termasuk kategori fraud.
E. REFERENSI
Albrecht, W. Steve and Chad. 2003. Fraud Examination. New York: Thomson South-
Western.
Assih, & Gudono, M. 2000. Hubungan Tindakan Perataan Laba dengan Reaksi Pasar
atas Pengumuman Informasi Laba Perusahaan. Jurnal Riset Indonesia. h.35-53.
Bartov, Eli. 1993. The Time of Assets Sales and Earnings Manipulation. The
Accounting Review Vol. 68 No. 4 (October), p. 840-855.
Beneish, M.D. and M.E. Vargus. 2002. “Insider Trading, Earnings Quality, and Accruals
Mispricing”. The Accounting Review 77: 755--791.
Bologna dan Lindquist. 1995. Fraud Auditing and Forensic Accounting. New York: John
Wiley & Sons.
Cheng, Q., and Warfield, D. T. 2005. Equity Incentives and Earnings Management. The
Accounting Review, 80 (April): 441-476.
Daley, Lane, and Philip Vigeland. 1993. The Effects of Debts Covenants and Political
Costs on The Choice of Accounting Method: The Case of Accounting for R&D Costs.
Journal of Accounting and Economics. p. 195–211.
Fischer, M dan K Rosenzweig. 1995. Attitudes of Students and Accounting
Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings Management. Journal
of Business Ehtics. 14: 234-444.
Fischer, Marily, and Kenneth Rosenzweig. 1995. Attitude of Students and Accounting
Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings Management. Journal
of Business Ethics. Vol. 14. p. 433–444.
Frankel, Micah, danTrezervant, 1994, The Year End LIFO Inventory Purchasing
Decesion: An Empirical Test. The Accounting Review, April, 382-398.
28. Guenther, David A. 1994. Earnings Management in Response to Corporate Tax Rate
Changes: Evidence from the 1986 Tax Reform Act. The Accounting Review, 230-243.
Healy, P.M. and J.M. Wahlen. 1999. “A Review of the Earnings Management Literature
and its Implication for Standard Setters”. Accounting Horizon.
Healy, P.M. and Palepu, K.G. 2001. Information Asymmetry, Corporate Disclosure, and
the Capital Markets: A Review of the Empirical Disclosure Literature. Journal of
Accounting and Economics 31: 405–440.
Jansen, M.C., and W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behaviour,
Agency Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial and Economic, 3, 305-360.
Lambert, D.M., Stock, J.R., 2001. Strategic Logistic Manajement, Fourth Edition. Mc
Graw Hill: New York - USA.
Maydew, Edward L.1997. Tax-Induced Earnings Management by Firms with Net
Operating Losses. Journal of Accounting Research, Spring: 83-96.
Phillips, John., Morton Pincus dan Sonja Olhoft Rego. 2003. Earnings Management:
New Evidence Based on Deferred Tax Expense. The Accounting Review. Vol 78: 491-
521.
Prasetyo, Dwi. Rifka Julianty. 2002. Analisis Laporan Keuangan Edisi Revisi.
Yogyakarta: AMP YKPN.
Rahmawati dan Mutiara Solikhah. 2008. The Ability Of Deffered Tax Expense In
Detecting Earnings Management At The Manufacture Companies Listed In The
Indonessian Stock Exchange, JAMER Vol. 8 No.1 Januari.
Rahmawati dkk, 2006. Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap prakteik Manajemen
Lab Perusahaan Perbankan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi IX, Padang.
Rahmawati, Sri Seventy Pujiastuti, dan Anastasia Riani Suprapti. 2010. Model Strategi
Manajemen Laba Pada Perusahaan Publik Di Bursa Efek Indonesia: Suatu
Pemeriksaan Pergeseran Klasifikasi Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Saham,
Pemilihan Metoda Akuntansi, Klasifikasi Akuntansi, Dan Pengaturan Waktu
Transaksi. Jurnal Akuntansi UNTAR, Januari tahun XIV no. 01.
Rahmawati. 2007. Model Pendeteksian Manajemen Laba Pada Industri Perbankan
Publik Di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Perbankan, JAM YKPN April.
Rahmawati. 2008. Motivasi, Peluang, dan Batasan Manajemen Laba (Studi Empiris
Pada Industri Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta), Jurnal Ekonomi dan
Bisnis (JEBI), Desember.
Rajan, M.V. and R.E. Saouma. 2006. “Optimal Information Asymmetry.” The
Accounting Review, Vol. 81, No. 3, May: 677 – 712.
29. Ramos, J. "Using TF-IDF to Determine Word Relevance in Document Queries.
Department of Computer Science, Rutgers University. Journal of Computer and System
Sciences, 2003: 671-687.
Rashidah Abdul Rahman and Fairuzana Haneem Mohamed Ali. 2006. Board, Audit
Committee, Culture and Earnings Management: Malaysian Evidence. Manajerial
Auditing Journalt Volume 21 Issue 7:783-804.
Schipper, K. (1989). “Commentary on Earnings Management”. Accounting Horizon (3),
91-102.
Scott, William R. 2003. Financial Accounting Theory. New Jersey: Prentice Hall Inc
Setiawati, L. dan A. Na.im. 2000. Manajemen Laba. Journal Ekonomi dan Bisnis. Mei:
159-176.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan 11. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Subekti Dj, Rahmawati, Handayani Tri Wijayanti. 2008. Analisis Perbedaan Antara
Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal Terhadap Persistensi Laba, Akrual, Dan Aliran Kas
Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia. Januari.
Suradi. 2012. Mengapa Seorang Korupsi?. BPK diakses di
http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/palembang/attachments/178_MENGAPA-SESEORANG-
KORUPSI.pdf
Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi 2.
Jakarta: Salemba Empat.
Tuanakotta, Theodorus M. 2013. Mendeteksi Manipulasi Laporan Keuangan. Jakarta:
Salemba Empat.
Watts, R, L., and Zimmerman, J, L. 1986, Positive Accounting Theory. New York:
Prentice Hall