1. KLASIFIKASI HADIST BERDASARKAN KEHUJJAHAN
(SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN NON-TASYRI’IYYAH)
DI SUSUN
O
L
E
H
FADHIL/29173559
s
DOSEN PENGASUH:
DR.TARMIZI M.JAKFAR. M.A
PASCASARJANA UIN AR-RANIRY BANDA ACEH
2017
2. 2
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………..……………….. 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………2
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………...3
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………… 3
D. Metode Penulisan………………………………………………………………........... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah Tayri’iyyah Dan Non-Tayri’iyyah……………………………... 4
B. Pemikiran Ibn Qutaibah, Syah Waliyullah Al-Dahlawi dan Mahmud Syaltut
Terhadap Sunnah Non- Tayri’iyyah…………………………………………………….. 7
1. Pemikiran Ibn Qutaibah (213-276)……………………………………… 7
2. Pemikiran Syah Waliyullah Al-Dahlawi………………………………… 9
3. Pemikiran Mahmud Syaltut (1893-1963)……………………………….. 12
C. Pembagian Af’al Nabi………………………………………………………………….15
D. Krteria Sunnah Non-Tasysri’iyyah
1. Perbuatan Dan Perkataan Nabi Berdasarkan Keahlian Eksperimental
Dan Aspek-Aspek Teknisnya (al-khibrah al-‘adiyah)…………………... 17
2. Perbuatan dan Perkataan Nabi Sebagai Kepala Negara dan Hakim…. 17
3. Perintah atau Larangan Nabi yang bersifat Anjuran………………….. 18
4. Perbuatan Murni Nabi…………………………………………………….18
5. Perbuatan Nabi Sebagai Manusia……………………………………….. 21
4. 4
4
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang batasan u’lumul qur’an,
sejarah nuzul dan pemeliharaan Al-qur’an.
Makalah ilmiah telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat melancarka penulisan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu , dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini memberi mamfaat dan inspirasi bagi
pembaca.
Banda Aceh, 26 Desember 2017
Penulis
5. 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul yang membawa risalah untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Muhammad SAW tetaplah seorang manusia sebagaimana manusia
lainnya. Baginda memerlukan kebutuhan jasmani dan rohani; keinginan dan selera; memiliki
kebiasaan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Oleh sebab itu, segala yang datang dari Rasul
Muhammad SAW dalam konteks tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kemanusian (jibillatuh
al-basyariyyah) tidak ada kaitannya dengan risalah1. Dengan kata lain, sebagian perkataan,
perbuatan, dan sifat Nabi sama sekali tidak ada kaitan dalam penetapan hukum dan syariat.
Apabila umat islam secara jujur dan konsekuen meyakini semua kenyataan diatas, apalagi
sepakat berpegang pada hadist atau sunnah Nabi SAW yang menyatakan sebagian perkataan Nabi
tidak mempunyai sifat yang mengikat atau boleh tidak diikuti (non- Tasyri’iyyah), barangkali topic
ini tidak terlalu signifikan dibahas dan didiskusikan, Akan tetapi, persoalan tersebut terkesan
diabaikan oleh sebagian ulama, bahkan oleh sahabat Nabi sendiri. Konsekuensinya, sampai saat ini
masih ada ulama yang mempersoalkan masalah tersebut sehingga diantara mereka ada yang
cenderung memandang semua sunnah sebagai syariat yang mengikat, al-sunnah Kulluha
tasyri’iyyah2.
Menurut Amin Abdullah, kecenderungan menggeneralisasi sunnah sebagai syariat atau
sebagai kebenaran mutlak atau –meminjam terminologi Amin Abdullah- sebagai “produk jadi”
merupakan sikap umat Islam secara umum. Sehingga, hadist yang terumuskan dari sunnnah yang
hidup saat itu mempunyai harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, yang pada gilirannya sulit
membedakan mana hadist yang bersifat mutlak –terutama yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah-
yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu dan mana pula hadist yang bersifat nisbi –menyangkut
1 Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Af’al al-Rasul wa Dilalatuha ‘ala al-Ahkam al-Syar’iyyah (Kuwait:
Maktabah al-Manar al-Islamiyyah, 1978), hlm. 219.
2 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2011), hlm. 12.
6. 6
6
ibadah muamalah, pergaulan hidup, adat kebiasaan, yang lebih mencerminkan suatu tradisi yang
hidup pada suatu fase penggal sejarah tertentu- yang terikat oleh ruang dan waktu3.
Dalam pada itu, ada pula yang menganggap pemilahan sunnah tasyri’iyyah yang mengikat
dan non tasyri’iyyah yang tidak mengikat tidak pernah dikenal dalam islam. Menurut kalangan ini
kategori tersebut –kalau memang ada- merupakan pengaruh orang-orang barat dengan maksud ingin
memegang kendali atas seluruh masalah sekuler dan membiarkan umat Islam bebas melaksanakan
masalah keagamaan mereka. Ketika para fuqaha dan ulama ushul membedakan dua jenis sunnah
tersebut (tasyri’iyyah dan non- tasyri’iyyah), itu merupakan perbedaan formalistik, yakni hanya
untuk diketahui tingkatan perintah atau larangan yang terdapat didalamnya, bukan sebagai isyarat
bahwa sebagian perintah atau larangan Nabi boleh tidak diikuti. Sebaliknya, adalah kewajiban atas
umat islam mengikuti semua sunnah walaupun sifatnya non- tasyri’iyyah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian sunnah tayri’iyyah dan non- tayri’iyyah?
2. Bagaimanakah pemikiran Ibn Qutaibah, syah Waliyullah Al-Dahlawi, dan Mahmud Syaltut
terhadap sunnah non- tayri’iyyah?
3. Bagaimanakah pembagian af’al Nabi?
4. Bagaiman kriteria Sunnah Non-Tasyri’iyyah?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Pengertian sunnah tayri’iyyah dan non- tayri’iyyah,
2. Pemikiran Ibn Qutaibah, syah Waliyullah Al-Dahlawi, dan Mahmud Syaltut terhadap sunnah non-
tayri’iyyah.
3. Pembagian af’al Nabi.
4. Untuk mengetahui kriteria Sunnah Non-Tasyri’iyyah.
3 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 13.
7. 7
D. Metode Penulisan
Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan buku panduan tesis dan disertasi
pascasarjana UIN-Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2016.
8. 8
8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah Tayri’iyyah Dan Non-Tayri’iyyah
Sebagian orang mungkin mempertanyakan kenapa dalam pembahasan ini menggunakan
istilah Non-Tayri’iyyah, terhadap sesuatu yang datang dari Nabi yang tidak mengikat. Alasan
sederhana adalah karena Al-Qaradawi dan ulama-ulama lain yang membahas masalah ini
menggunakan istilah sunnah Non-Tayri’iyyah bukan hadist Non-Tayri’iyyah. Lalu kenapa mereka
menggunakan istilah tersebut? Hal ini barangkali karena ulama-ulama terdahulu menamakan sunnah
Non-Tayri’iyyah atau yang semakna dengannya hanya kepada perbuatan atau perilaku Nabi semata.
Sementara perbuatan atau perilaku Nabi tersebut diistilahkan dengan sunnah. Sedangkan istilah
hadist, awalnya cenderung digunakan kepada perkataan Nabi atau laporan Nabi secara umum,tidak
atau jarang digunakan kepada perbuatan atau perilaku Nabi secara khusus. Diduga, berawal dari
factor inilah para ulama menggunakan istilah sunnah Non-Tayri’iyyah kepada sesuatu yang datang
dari Nabi yang tidak mengikat. Kendati demikian, dalam pembahasan para ulama belakangan
termasuk dalam pembahasan Al-Qaradhawi,istilah sunnah Non-Tayri’iyyah tidak terbatas kepada
perbuatan atau perilaku Nabi, tetapi juga meliputi perkataannya. Kenyataannya, penggunaan istilah
(sunnah Non-Tayri’iyyah) tersebut terhadap sebagian sunna Nabi –meskipun terbatas kepada
perbuatan-perbuatan tertentu beliau- dalam beberapa karya para penulis kontemporer, telah
menimbukan pro dan kontra dikalangan sebagian tokoh Islam. Fenomena ini memang dapat
dipahami, antara lain, karena sebagian besar penulisnya hamper tidak menjelaskan sama sekali
pengertian istilah yang mereka gunakan. Bahkan penjelasan yang pernah mereka berikan tidak jelas.
Sehingga sebagian pihak yang kontra cenderung menuduh keberadaan sunnah non-Tasyri’iyyah
hanya rekayasa kaum modernis dan rasionalis untuk mengingkari bagian-bagian tertentu dari syariat
yang tidak mereka senangi4.
Mahmud Syaltut, misalnya, tokoh yang menurut Al-Qardhawi dianggap sebagai orang yang
pertama kali istilah sunnah non-Tasyri’iyyah, ternyata juga tidak memberikan pejelasan khusus
4 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 121.
9. 9
tentang istilah ini, selain yang dapat dipahami dalam ungkapannya yang disebutkan setelah dia
membuat tiga ketegori untuk sunnah non-Tasyri’iyyah5. Tiga ketegori tersebut adalah:
1. sunnah dalam konteks hajat hidup manusia misalnya, makan, makan, minum, berjalan, saling
berkunjung, mendamaikan orang dengan cara yang baik, memberikan syafaat, dan tawar menawar
dalam jual beli.
2. sunnah yang merupakan hasil eksperimen dan sebua kebiasaan individual atau sosial. Misalnya
hadist tentang pertanian, kedokteran, dan panjang pendeknya baju.
3. sunnah dalam konteks manajemen manusia dalam mengantisipasi kondisi tertentu. Misalnya
pembagian pasukan untuk ditempatkan pada pos-pos perang, mengatur barisan dalam satu
pertempuran dan di barak persembunyian militer, memilih tempat-tempat strategis untuk kubu
pertahanan dan semisalnya6.
“ semua yang diriwayatkan dari Rasulullah yang termasuk dalam 3 kategori ini bukan merupakan
syariat yang berkaitan dengan tuntutan untuk berbuat atau meninggalkan”
Ketika membahas masalah ini, ‘Abdul Wahhab Khallaf juga tidak memberikan keterangan
yang jelas mengenai pengertian sunnah non-Tasyri’iyyah. Setelah menyebutkan 3 kategori sunnah
non-Tasyri’iyyah akhir pembahasan mengatakan bahwa:
“singkatnya, perkataan dan perbuatan Nabi saw, dalam 3 kondisi yang telah kami jelaskan adalah
sunnah Nabi saw, tetapi bukan sebagai tasyri’ undang-undang yang wajib diikuti.”
Adapun 3 kategori yang sebutkan oleh ‘Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut7:
1. apa yang datang dari Nabi, yang berasal dari tabiat kemanusian,seperti berdiri, duduk, berjalan,
tidur, makan, minum, itu semunya bukan merupakan tasyri’iyyah. Karena sumbernya adalah sifat
kemanusian, bukan risalah. Namun apabila datang dari sifat kemanusian dan adanya dalil yang
menunjukkan sebagai teladan ia berubah menjadi tasyri’iyyah disebabkan oleh dalil.
2. apa yang datang daripada Nabi yang berupa pengetahuan kemanusian, keahlian, dan
eksperimental dalam urusan dunia, semisal perdagangan, pertanian, pengaturan pasukan perang, dan
5 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 121.
6 Mahmud Syaltut, al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, cetakan ke-4 (Dar al-Syuruq: 1987), hlm. 499.
7 ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm.43-44.
10. 10
10
peperangan, pemberian resep obat-obatan tertentu bagi orang sakit dan sejenisnya. Semuanya itu
bukannlah tasyri’iyyah, karena bukan berasal dari ruang lingkup risalah, melainkan hasil
pengetahuan keduniawian dan penilaian Nabi yang bersifat pribadi.
3. apa yang berasal dari nabi da nada dalil yang menunjukkan bahwa itu khusus berlaku baginya,
maka itu bukan tasyri’ umum.
Demikian pula halnya Al-Qaradhawi yang tergolong serius membahas masalah ini, tidak
secara khusus menjelaskan pengertian istilah tersebut secara detail, kecuali yang dapat disimpulkan
dan yang dapat dipahami dari beberapa ungkapannya, antara lain, ketika mengawali subbhasan yang
berjudul al-Sunnah al-Tasyri’iyyah bain al-Gulat wa al-Muqashshirin, ia mengatakan8”
“untuk masalah ini, pembahasan yang penting disini adalah penjelasan tentang sunnah yang
dikategorikan sebagai tasyri’ yang dibebankan kepada manusia untuk mengikuti dan
mengalamalkannya dan sunnah yang bukan tasyri’ dan pembebanan”.
Demikian pula penjelasan mengenai persoalan keduniawian yang tidak termasuk dalam
ketegori sunnah tasyri’iyyah.
”Sunnah yang termasuk dalam bagian ini, yakni persoalan dunia yang belandaskan kepada
pengalaman yang bersifat teknis, seperti pertanian industri, kedokteran dan sebagainya, tidak
termasuk dalam ketegori sunnah tasyri’iyyah yang wajib diikuti9.”
Pada ungkapan lain lagi, Al-Qaradhawi mengatakan10:
”sesungguhnya sebagian sunnah tidak dimaksudkan untuk tasyri’ tidak ada kewajiban untuk
menaatinya”
Demikianlah beberapa keterangan singkat sunnah non- Tasyri’iyyah yang terungkap dari
beberapa tokoh yang membahas masalah tersebut. Dari keterangan Syaltut dapat diketahui bahwa
sunnah non- Tasyri’iyyah adalah sunnah yang tidak ada tuntutan untuk berbuat atau meninggalkan.
Khallaf dan Al-Qaradhawi pada sebagian ungkapannya menerangkan sunnah non- Tasyri’iyyah
adalah sunnah yang tidak wajib diikuti dan di taati. Sementara pada ungkapan lain, keterangan Al-
8 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 123.
9 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 123.
10 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 123.
11. 11
Qaradhawi menunjukkan sunnah non- Tasyri’iyyah adalah sunnah yang tidak ada pembebanan
untuk diikuti dan diamalkan. Sebenarnya antara satu keterangan dan keterangan yang lain yang
diberikan Al-Qaradhawi mempunyai maksud yang sama, hanya pada sebagian keterangannya –
untuk menyatakan ketidakterikatannya sunnah non- Tasyri’iyyah tersebut- ia menggunakan istilah
“sunnah yang tidak wajib diikuti dan ditaati”, yang secara bahasa masih ada kemungkinan ia
termasuk dalam sunnah Tasyri’iyyah11.
Akan tetapi, kenapa pengertian yang diberikan itu berbeda-beda, baik antra tokoh dengan
tokoh lainnya, atau satu pengertian dengan pengertian yang lain dari tokoh yang sama? Alasannya
barangkali karena ungkapan-ungkapan tersebut bukan untuk menjelaskan istilah sunnah non-
Tasyri’iyyah, tetapi sekedar menyebutkan bahwa sunnah Nabi saw, itu ada yang dimaksud sebagai
tasyri’iyyah yang mengandung tuntutan untuk diikuti. Dan adapula yang tidak dimaksud sebagai
Tasyri’iyyah yang tidak wajib diikuti12.
B. Pemikiran Ibn Qutaibah, Syah Waliyullah Al-Dahlawi dan Mahmud Syaltut Terhadap
Sunnah Non- Tayri’iyyah
1. Pemikiran Ibn Qutaibah (213-276)
Dalam kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadist Ibn Qutaibah membagi sunnah dalam tiga macam13.
Pertama sunnah yang disampaikan Jibril dari Allah Swt. Seperti beberapa hadist berikut ini:
Hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi Saw Bersabda:
اْْياب اَلاو ، ااهِتَّماعاو ِاةأْرامْلا اْْياب جعامْجُي اَلااهِتالااخاو ِاةأْرامْلا)البخرى اهو(ر
“ Tidak boleh dimadukan seorang wanita dengan bibinya dari pihak bapak dan bibi dari pihak
ibunya”(HR.Al-Bukhari)
Hadist yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, Nabi Saw bersabda:
البخا اهو(ر النسب من حيرم ما الرضاع من حيرم)رر
11 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 123.
12 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 124.
13 Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadist (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 181-184.
12. 12
12
“ Haram (dinikahi) saudara persusuan sama dengan haramnya (dinikahi) saudara satu nasab.”
(HR.Al-Bukhari)
2. Sunnah ketika Nabi Saw diizinkan oleh Allah untuk menetapkan sesuatu dengan menggunakan
pendapatnya sendiri, sehingga beliau bisa memberikan keringanan hukum kepada siapa saja yang
dikehendaki sesuai dengan alasan hukum yang ada14, seperti hadist berikut ini:
)مسلم اهو(ر اَلخرة يف يلبس مل الدنيا يف لبسه من فانه يرراحل اوتلبس َل
“Janganlah kamu memakai sutra, karena siapa yang memakainya dalam dunia dia tidak akan
memakainya di akhirat.” (HR. Muslim)
Namun, Nabi mengizinkan kepada dua sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin
Awwam, karena sebab tertentu. Seperti yang tersebut dalam riwayat Muslim dari Anas, ia berkata:
رخصرسولهللاللزبريوعبدالرمحنبنعوفيفلبسيرراحلكةِحلهبمااهو(ر)مسلم
” Rasulullah Saw, membolehkan memakai sutra bagi Zubair bin Awwam dan Abdurrahman bin
‘Auf karena disebabkan penyakit kulit yang menimpa mereka.” (HR. Muslim)
Ibn Qutaibah berpendapat, semua hal diatas menjadi bukti bahwa allah Swt memberikan
kewenangan kepada Nabi Saw untuk memutuskan suatu larangan dan mengecualikan bagi orang
yang beliau kehendaki setelah adanya larangan tersebut. Seandainya tidak dibolehkan demikian,
tentu nabi tidak akan memberikan pendapat apa-apa tentang masalah tersebut. Seperti halnya ketika
beliau ditanya tentang zihar, beliau tidak menjawab apa-apa.Nabi hanya bersabda “Allah yang Maha
perkasa dan Maha-agung yang akan memutusakan hal itu”. Nabi juga pernah dimintakan fatwa oleh
seorang Badui yang sedang melakukan ihram, Nabi tidak menjawab, lalu Nabi menerima wahyu dan
baru ketika itu memberikan fatwanya15.
3. Sunnah yang ditetapkan oleh Nabi Saw sebagai pelajaran etika. Jika diikuti akan mendapatkan
keutamaan, namun jika tidak diikuti tidak akan berdosa. Misalnya perintah Nabi untuk
14 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 166.
15 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 168.
13. 13
mengalungkan ujung kain sorban pada leher, larangan makan daging binatang ternak yang memakan
kotoran, dan profesi tukang bekam16.
Al-Qaradhawi berkomentar bahwa dalam melihat sunnah semacam ini, Ibn Qutaibah lebih
cenderung kepada pendapat ulama ushul fiqh yang memandang perintah atau larangan disini bersifat
anjurang atau bimbingan17.
2. Pemikiran Syah Waliyullah Al-Dahlawi
Ketauilah, sunnah yang diriwayatkan dari Nabi Saw dan yang telah dibukukan dalam kitab-
kitab hadist itu terbagi menjadi dua macam, yaitu sunnah dalam konteks penyampaian risalah dan
sunnah bukan dalam kontek penyampaian risalah18. Berikut ini sunnah dalam ketegori yang
pertama:
1. Peroalan yang menyangkut hari akhirat dan keajaiban malakut (keagungan kerajaan Allah).
Sunnah yang berhubungan dengan masalah ini seluruhnya berdasarkan wahyu.
2. Persoalan mengenai syariah, meliputi ketentuan-ketentuan ibadah dan berbagai akad transaksi
lainnya. Sebagian masalah ini ditetapkan oleh Nabi berdasarkan wahyu dan sebagian yang lain
berdasarkan ijtihad. Namun, ijtihad Nabi sama derajatnya dengan dengan wahyu karena Allah
menjaganya dari kesalahan. Ijtihad yang beliau lakukan tidak mesti selalu berdasarkan teks Al-
Qur’an, sebagaimana anggapan banyak orang. Justru kebanyakn ijtihad Nabi merupakan
pengejawantahan (perwujudan, pelaksanaan, manifestasi) dari pengetahuan yang telah diajarkan
Allah kepada Nabi mengenai maksud dan tujuan syariah dan hukum-hukum lainnya. Maka beliau
menjelaskan maksud-maksud syariah yang beliau terima melalui wahyu dan undang-undang
tersebut.
3. kebijaksanaan dan kemaslahatan yang bersifat umum, yang tidak beliau tetapkan waktu dan batas-
batasnya. Seperti penjelasan tentang akhlak yang baik dan buruk. Dasar maslah ini biasanya adalah
ijtihad, dalam pengertian bahwa Allah mengajarkan kaidah-kaidahnya, lalu beliau mengeluarkan
hukum-hukumya dan menegaskan secara general.
16 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 169.
17 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa al-Hadharah (Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), hlm. 27.
18 Syah Waliyullah Al-Dahlawi, Hujjatullah al-Albalighah (Beirut: Dar al-Ma’rifah), hlm. 128-129.
14. 14
14
4. Amal yang utama dan keutamaan orang yang beramal. Sebagian masalah ini berdasarkan wahyu
dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad.
Dalam konteks inilah Al-Dahlawi menempatkan firman Allah Swt yang menyuruh kita untuk
mengikuti beliau sebagaimana tersebut dalam QS Al-Hasyr (59):7, “apa yang datang dari Rasul
kepadamu terimalah dan apa yang dilarang bagi kamu maka tinggalkanlah”.
Berikut adalah sunnah yang bukan dalam konteks penyampaian risalah:
1.Pengetahuan tentang medis
2. Perkataan atau perbuatan Rasulullah yang berdasarkan tajribah
3. Perbuatan Rasulullah yang berdasarkan kebiasaan, bukan ibadah, dan perbuatan tersebut terjadi
secara kebetulan, bukan disengaja
4. Perkataan yang diucapkan Rasulullah sebagaimana perkataan yang diucapkan kaumnya. Misalnya
hadist Umm Zar’in dan Khurafah yang menceritakan jawaban Zaid bin Tsabit ketika sekelompok
orang meminta kepadanya untuk menceritakan hadist-hadist Nabi Saw. Zaid lalu mengatakan, “aku
tetangga beliau, apabila ada wahyu turun, beliau menyuruh seseorang untuk memanggilku,
kemudian aku menulisnya untuk beliau. Apabila beliau menceritakan persoalan duniawi, beliau
menceritakannya bersama-sama kami; apabila beliau menceritakan persoalan akhirat, beliau
menceritakan bersama-sama kami; apabila beliau menceritakan persoalan makanan, beliau juga
menceritakannya bersama-sama kami.” Zaid kemudian berkata,”semua inikah yang aku ceritakan
dari Nabi Saw?”.Yakni, Saya tidak sanggup menyebutkan semua perkara ini.
5. Perintah yang dimaksudkan untuk kemaslahatan sektoral tertentu pada saat itu dan bukan
termasuk perintah yang mengikat bagi seluruh umat. Misalnya, perintah khalifah untuk
memobilisasi angkatan perang dan menentukan bendera peperangan. Dalam kaitannya dengan
masalah ini, Umar berkata” kenapa kita mesti berjalan cepat pada saat haji?” Kita dulu sudah
menunjukkan kekuatan kita kepada kaum yang telah di hancurkan Allah Swt. Kemudian Umar
khawatir, boleh jadi lari kecil dalam haji karena sebab lain…kebanyakan hukum dari Rasullullah
bersifat demikian. Sebagai sabda beliau “barang siapa membunuh orang kafir dalam peperangan,
maka harta yang ada pada orang kafir menjadi hak miliknya”.
15. 15
6. Hukum dan keputusan khusus pengadilan yang hanya terjadi berdasarkan bukti-bukti dan
sumpah. Dalam hal ini Nabi Saw bersabda kepada Ali r.a. “Saksi itu melihat sesuatu yang tidak
dilihat orang yang tidak menyaksikan.”
Semua persoalan ini dikembalikan oleh Al-Dahlawi kedalam pengertian yang diriwayatkan
Muslim melalui jalur Rafi’ bin Khudaij:
)مسلم اهو(ر بشر اان فامنا أير من بشيئ تكمرأم وإذا به اوفخذ دينكم من بشيئ تكمرأم إذا بشر اان امنا
“Aku hanyalah manusia, apabila aku perintahkan sesuatu mengenai agama kalian, maka pegangilah
perintah itu, dan apabila aku perintahkan sesuatu dari pendapatku sendiri, maka aku hanyalah
manusia”.(HR, Muslim)
Selain itu, hadist yang juga diriwayatkan oleh Muslim dari Thalhah tentang peristiwa penyerbukan
kurma:
على أكذب لن فاىن به اوفخذ شيئا هللا عن حدثتكم إذا لكنو ابلظن اىنواخذؤت فال ظنا ظننت امنا فاىنهللا
)مسلم اهووجل(ر عز
“ Aku hanyalah menduga saja, janganlah kalian menuntutku karena dugaanku. Tetapi, apabila aku
menceritakan sesuatu yang datang dari Allah, maka pegangilah dia, karena aku tidak berdusta atas
nama Allah” (HR. Muslim)
3. Pemikiran Mahmud Syaltut (1893-1963)
Menurut Syaltut, semua perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Saw yang telah
dibukukan dalam kitab-kitab hadist terbagi menjadi beberapa bagian: Pertama, Sunnah dalam
konteks hajat hidup seperti berjalan, makan, minum, tidur, saling berkunjung mendamaikan orang
dengan cara yang baik, memberikan syafaat dan menawar dalam jual beli. Kedua, sunnah yang
merupakan hasil eksperimen dan kebiasaan individual atau sosial. Misalnya, hadist tentang
pertanian,kedokteran, dan panjang pendeknya baju. Ketiga, sunnah dalam konteks manajemen
16. 16
16
manusia dalam mengantisipasi kondisi tertentu. Misalnya, pembagian pasukan untuk ditempatkan
pada pos-pos perang, mengatur barisan perang dalam satu pertempuran dan dibarak persembunyian
militer, memilih tempat-tempat strategis untuk kubu pertahanan dan semisalnya.
Menurut Syaltut, ketiga macam sunnah ini bukanlah sebagai hukum syariat yang
berhubungan dengan perintah atau larangan. Sunnah tersebut merupakan persoalan humanistik dan
Nabi Saw tidak perlu menentukannya19. Keempat, sunnah dalam konteks hukum syariah. Sunnah
terbagi dalam beberapa bagian:
1. Semua sunnah berasal dari Nabi dalam bentuk tablig dalam kedudukan beliau sebagai rasul.
Misalnya, sunnah yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang global, mengkhususkan lafal umum,
membatasi lafal yang mutlak, menjelaskan persoalan ibadah, halal dan haram, akidah dan akhlak,
atau persoalan yang berkaitan dengannya. Semuanya itu merupakan sunnah Tasyri’ universal
samapi hari kiamat.
2. Sunnah yang bersumber dari Nabi sebagai kepala negara dan pemimpin umum umat Islam.
Misalnya, mengrimkan pasukan untuk perang, mengelola harta baitul mal dengan, mengumpulkan,
dari sumber-sumber tertentu, melantik para hakim dan pejabat, membagi harta rampasan,
mengadakan perjanjian, dan lain sebagainya yang termasuk tugas kepala negara dan manajemen
umum untuk kemaslahatan rakyat. Status sunnah ini bukan sebagai hukum syariah yang berlaku
umum. Karena itu, hal-hal tersebut tidak boleh diikuti tanpa izin kepala negara. Seseorang tidak
boleh melakukan apa pun dari semua itu hanya dengan dalih bahwa Nabi mengerjakan dan
memerintahkannya.
3. Sunnah yang bersumber dari Nabi Saw Sebagai seorang hakim. Di samping berstatuskan sebagai
rasul yang menyampaikan hukum dari Allah, sebagai pemimpin umum umat Islam yang mengatur
berbagai permasalahan politik mereka, Nabi juga sebagai hakim yang memutuskan perkara dengan
menggunakan bukti, keterangan saksi, sumpah dan pembelaan. Kedudukan sunnah dalam masalah
ini juga bukan sebagai hukum syariah yang berlaku umum. Karena itu, seseorang tidak boleh
memutuskan perkara menurut keputusan pengadilan Nabi yang beliau tetapkan dengan
menggunakan hukum tertentu dalam kasus perkara orang-orang tertentu dari kalangan sahabat.
Seorang muslim harus tunduk dan berpegang kepada hukum pengadilan yang berlaku, karena Rasul
19 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 184.
17. 17
bertindak sebagai seorang hakim dalam konteks peradilan. Dalam hal ini,Nabi tidak mengharuskan
umatnya untuk mengikuti hal yang sama. Karena itu, siapa saja yang haknya di tangan orang lain,
sementara orang tersebut memungkirinya, sedangkan ia mempunyai bukti-bukti, maka yang punya
hak tidak boleh mengambil haknya dari lawannya melainkan melalui keputusan hakim. Demikianlah
cara pengambilan hak bila terjadi persengketaan dimasa Rasulullah20.
Selanjutnya kata Syaltut, sangat berguna seandainya kita mengetahui konteks-konteks
perbuatan Rasulullah Saw. Karena, banyak sekali sunnah yang hanya diketahui sekedar perbuatan,
perkataan, dan persetujuan Nabi semata, tanpa mengetahui konteksnya. Dengan mengetahui segi-
segi kontekstual tertentu kita akan menemukan kebanyakan sunnah Nabi Saw itu memiliki
bermacam-macam bentuk. Ada yang merupakan hukum syariah yang wajib diikuti, ada yang sunnah
atau mandub, yaitu sunnah yang sebenarnya dimaksudkan bukan untuk menetapkan hukum syriah,
dan hal itu banyak dijumpai dalam perbuatan Nabi yang bersifat manusiawi atau kebiasaan dan
pengalaman eksperimental. Kita juga, lanjut Syaltut, menemukan sunnah yang merupakan
keputusan kepala negara dan keputusan hakim kadang dianggap sebagai hukum syariah yang
berlaku umum sehingga terjadi kerancuan hukum. Kadang konteks-konteks sunnah Nabi tersebut
dapat diketahui dengan jelas dan pasti sehingga setiap perbuatan Nabi dapat didudukkan sesuai
menurut konteksnya. Tetapi, kadang timbul kebingungan untuk mengetahui konteks sunnah tersebut
sehinnga terjadilah perbedaan pendapat ulama tentang kedudukan kedudukan sunnah itu menurut
perbedaan mereka dalam meletakkan konteksnya21. Syaltut menyebutkan beberapa hadist yang
berkaitan dengan masalah ini, seperti yang diungkapkan oleh Al-Qarafi. Adapun hadist tersebut
adalah22:
1. Hadist yang diterima dari Sa’ad bin Zaid, Nabi Saw pernah bersabda,” Barang siapa
menghidupkan tanah mati (lahan yang tidak ada pemiliknya), tanah tersebut menjadi haknya”. Para
ulama berbeda pendapat tentang ketetapan hukum dalam hadist di atas, apakah ia merupakan fatwa
sehingga siapapun boleh membuka lahan kosong yang tidak ada pemiliknya, baik ada izin dari
penguasa atau tidak, atau keputusan Nabi Saw sebagai kepala negara sehingga siapa pun tidak boleh
membuka lahan kosong tersebut kecuali ada izin dari penguasa? Mazhab Malik dan Syafi’I
berpendapat bahwa ketetapan tersebut merupakan fatwa Nabi Saw, sementara mazhab Hanafi
20 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 186.
21 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 186.
22 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 172.
18. 18
18
mengatakan sebagai keputusan kepala negara. Namun, mazhab Maliki membedakan antara tanah
yang jauh dan yang dekat dari pemukiman. Apabila dekat maka, harus ada izin terlebih dahulu dari
penguasa sedangkan bila jauh maka boleh digarap tanpa izin penguasa23. Pendapat Mazhab Malik
dan Mazhab Syafi’I, menurut Al-Qarafi merupakan pendapat yang kuat, karena sebagian pendapat
Nabi Saw merupaka fatwa dan tabligh. Hal ini sesuai dengan tuntunan kaidah fiqh yang
menyebutkan bahwa “Jika satu persoalan berada diantara dua keadaan, yang satu sering terjadi dan
yang lain jarang terjadi maka masalah tersebut dianggap yang sering terjadi.”
2. Ketika Hind binti ‘Utbah mengadukan kepada Nabi Saw bahwa suaminya, Abu Sufyan, tidak
memberikan belanja yang cukup untuk dia dan anaknya, maka menurut riwayat Aisyah, Nabi Saw
bersabda “Ambillah untukmu dan untuk anakmu belanja secukupnya secara wajar.” Disini terjadi
perbedaan pendapat para ulama, apakah keputusan tersebut merupakan fatwa sehingga siapa pun
boleh mengambil haknya dan yang sejenisnya dari lawan perkaranya tanpa sepengetahuan orang
yang bersangkutan? Ataukah itu merupakan keputusab beliau sebagai hakim sehingga siapa pun
tidak boleh mengambil haknya dan sejenisnya dari orang yang berutang tanpa ada putusn hakim?
Alasan ulama yang berpendapat harus dengan keputusan pengadilan karena perkara ini menyangkut
harta orang sehinga tidak boleh memasukkan perkara lain dalam perkara ini kecuali dengan
keputusan pengadilan. Sedangkan yang berpendapat ketetapan tersebut sebagai fatwa karena saat
Nabi menetapkan hal itu Abu Sufyan ada ditempat (tidak musafir), tetapi Nabi tidak meminta
keterangannya, padahal ketetapan hukum tidak boleh diberikan tanpa mendengar terdakwa
sementara dia ada di tempat. Atas dasar ini, maka ketetapan Nabi dalam hadist diatas merupakan
fatwa.
3. Hadist yang diterima dari Abu Qatadah, Nabi bersabda,”Barang siapa membunuh kafir dalam
peperangan, maka harta yang dibawa atau dipakai oleh kafir tersebut adalah haknya.”Para ulama
juga berbeda pendapat tentang ketetapan hukum dalam hadist ini, apakah merupakan keputusan
kepala negara, yang keberadaanya tidak mengikat, atau sebagai tabligh? Jumhur ulama berpendapat
hadist merupakan bagian tabligh. Karena itu, siapa saja yang membunuh musuh (kafir) dalam
peperangan, dia secara langsung berhak mengambil harta salab, baik ada izin dari pemimpin perang
atau tidak. Namun mazhab Maliki berpendapat hadist bukan bagian dari tabligh sehingga si
23 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 172.
19. 19
pembunuh kafir dalam peperangan tidak secara langsung berhak mengambil harta salab yang
dibawanya24.
Untuk pembahasan yang panjang dan lebar tentang pemikiran beberapa tokoh mengenai
sunnah Non-Tasyri’iyyah silahkan merujuk pada buku: OTORITAS SUNNAH NON-
TASYRI’IYYAH MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI. hal. 164-205.
C. Pembagian Af’al Nabi.
Perbuatan Nabi dalam menjelaskan agama, seperti yang telah diketahui adalah sebagai dalil
untuk umat bahwa memperbuat apa yang dilakukan Nabi Saw25:
1. Perbuatan al-Jabilliyah seperti berdiri, duduk, tidur, makan, minum dan lain sebagainya maka ini
bukanlah hujjah melainkan perbuatan Nabi ini adalah perlakuan manusia pada umumnya. Dan
semua yang tersebut itu bukannlah hukum yang dibebankan untuk wajib diikuti atau ditingalkan.
2. perbuatan al-bayani adalah perbuatan yang dilakukan Nabi bermaksud untuk menjelaskan hukum
syariat. Apakah hukum itu yang tersebut dalam Al-Qur’an atau tidak. Seperti Nabi shalat diatas
mimbar kemudian bersabda “Hanyasanya aku memperbuat ini untuk mempercayai saya dan
mengajarkan kalian tentang shalatku”.(HR. Muslim).
3. Perbuatan Tathbiqiy adalah perbuatan yang dilakukan sebagai contoh perintah Allah dan
mengimplementasikannya seperti menghukum cambuk orang yang menuduh orang lain berzina dan
memotong tangan pencuri.
4. Perbuatan Khasais li al-Nubuwwah adalah perbuatan yang terkhusus dengan Nabi Saw dan tidak
berkaitan dengan umat. Seperti menikahi 9 wanita, istrinya dengan tanpa mahar.
5. Perbuatan selain itu dimanakan dengan Fi’il Mujarrad. Fi’il Mujarrad terbagi dua macam yaitu
perbuatan murni yang Nampak bertujuan ibadah seperti shalat dua rakaat pada suatu kesempatan
tertentu, puasa hari yang sudah diketahui. Maka keseluruhan itu adalah perbuatan sunat pada umat
dan tidak dikategorikan pada wajib. Karena pada asalnya itu hanya fadhilah bila dikerjakan. Kedua
perbuatan yang tidak bertujuan untuk ibadah yang tidak dikategorikan kepada sunat dan wajib.
24 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 173.
25 Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asykar, al-Wazih fi Ushul al-Fiqh lil Mubtadiin, (Kuwait: Dar al-
salafiyah 1976), hlm. 87.
20. 20
20
Muhammad sulaiman al-Aysqar menyimpulkan pendapat yang terkuat menurutnya adalah perbuatan
Nabi yang tidak bertujuan ibadah hukumnya ibahah. Karena pada asalnya itu hanyalah fadhilah dan
tidak dikatakan jika memperbuat ini haram atau makruh karena Nabi Saw tidak mengerjakannya.
D. Krteria Sunnah Non-Tasysri’iyyah
Lima aspek yang merupakan kriteria sunnah non-Tasyri’iyyah menurut Al-Qaradhawi26:
1. Perbuatan Dan Perkataan Nabi Berdasarkan Keahlian Eksperimental Dan Aspek-Aspek
Teknisnya (al-khibrah al-‘adiyah)
Poin ini tidak dapat dipahami dengan tepat tanpa mengetahui latar belakang kenapa kriteria
ini dirumuskan demikian. Sebagaimana yang telah disebutkan, poin ini disimpulkan dari hadist
penyerbukan kurma lewat riwayat muslim. Al-Qaradhawi menjelaskan hadist itu menunjukkan
bahwa Nabi menjelaskan kepada penduduk Madinah mengenai pendapanya yang bersifat dugaan
dalam masalah mata pecaharian yang beliau tidak memiliki pengalaman terhadapnya. Beliau adalah
penduduk Mekah yang tidak berpengalaman dalam bidang pertanian dan bercocok tanam, sebab
penduduk madinah menempati sebuah lembah tandus. Akan tetapi, dugaan Nabi tersebut oleh para
sahabatnya dianggap sebagai agama yang harus diikutii dan hukum syariat yang harus ditaati, maka
terjadilah peristiwa tidak berbuahnya kurma dengan baik. Rasulullah akhirnya menjelaskan bahwa
apa yang beliau katakana dalam hadist tersebut hanyalah dugaan dalam kasus bukan religius,
melainkan merupakan masalah teknis semata, mereka lebih berpengalaman dan lebih
mengetahuinya. Karena itu nabi bersabda, “ kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian27”. Al-
Qaradhawi juga menyebutkan beberapa masalah duniawi seperti persoalan perang, pertanian, dan
pengobatan.
2. Perbuatan dan Perkataan Nabi Sebagai Kepala Negara dan Hakim
Aspek sunnah non-Tasyri’iyyah kedua sebenarnya merupakan teori al-Qaradhawi yang
terinspirasi dari kitab al-Furuq dan al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa min al-Ahkam karya Al-Qarafi
dalam dua kitab tersebut tidak menyebutkan kriteria apa saja yang dugunakan untuk membedakan
perbuatan atau perkataan (sunnah) yang muncul dari Nabi sebagai kepala negara atau hakim (non-
26 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 278-289.
27 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 21.
21. 21
Tasyri’iyyah) dengan yang muncul dari Nabi sebagai penyampaian risalah (sunnah Tasyri’iyyah).
Sementara Nabi tidak menjelaskan hal tersebut?
Untuk menjelaskan hal ini Al-Qaradhawi mengatakan:
“sesungguhnya kriteria untuk membedakan yang demikian itu (sunnah yang lahir dari Nabi
Muhammad sebagai seorang penyampaian risalah dan sunnah yang muncul dari Nabi sebagai kepala
negara atau hakim) hanya dengan memahami konteks dan konsideran yang melatarbelakangi
lahirnya sunnah tersebut. Disamping itu, topik masalah dalam masalah sunnah itu merupakan
persoalan kemaslahatan yang berkaitan dengan urusan politik, ekonomi, militer, administrasi dan
lain sebagainya. Diantara bukti yang menunjukkan suatu pesan hadist merupakan keputusan seorang
kepala negara adalah adanya sebuah teks (nash) lain, atau beberapa teks lain yang bertentangan
dengan teks yang ada karena perbedaan tempat, waktu atau keadaan menunjukkan bahwa hal itu
dilakukan untuk menjaga kemaslahatan parsial dan temporer yang sifatnya kondosional, tidak
dimaksudkan sebagai hukum syariah yang abadi dan berlaku umum28”.
Keterangan ini menunnjukkan bahwa untuk mengetahui sunnah yang muncul dari Nabi itu
dalam kedudukan Nabi sebagai imam atau kepala negara, kata Al-Qaradhawi, sangat tergantung
kepada ada tidaknya latar belakang munculnya (sabab wurud) dan topic yang dibicarakan oleh
hadist tersebut. Apabila ada latar belakang dan topiknya berkisar pada persoalan kemaslahatan
politik, ekonomi, militer, administrasi dan lain sebagainya, menurut Al-Qaradhawi, hadist tersebut
diklaim munculnya dari Nabi dalam kapasitas sebagai imam atau kepala negara dan, dengan
demikian, hadist tersebut adalah non-Tasyri’iyyah29.
Kriteria lainnya, suatu hadist, kata Al-Qaradhawi, dikatakan muncul dari Nabi sebagai
kepala negara apabila ada terdapat satu atau beberapa hadist lain yang teks-teksnya berbeda dengan
hadist tersebut, karena perbedaan tempat, waktu atau situasi yang menunjukkan bahwa hal itu
dilakukan untuk menjaga kemaslahatan parsial, temporer, dan kondisional30.
28 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 60; Al-Qaradhawi, Fiqh al-Zakah (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 1991), Juz I, hlm. 228-232.
29 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 284-285.
30 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 285.
22. 22
22
3. Perintah atau Larangan Nabi yang bersifat Anjuran
Untuk mengetahui perintah atau larangan Nabi yang sifatnya anjuran, dengan merujuk
kepada penjelasan ulama ushul fiqh, Al-Qaradhawi mengatakan, perintah dan larangan harus
berkaitan dengan kemaslahatan dan kemamfaatan duniawi; orang yang melakukan dan orang yang
meninggalkan tidak akan menambah atau mengurangi pahalanya di akhirat31. Hal ini memberikan
penafsiran kepada kita bagaimana para sahabat tidak merasa keberatan meninggalkan perintah Nabi
manakala perintah atau larangan tersebut menurut mereka hanya bersifat anjuran atau penyuluhan
untuk mencari kemaslahatan atau kebaikan duniawi32.
4. Perbuatan Murni Nabi
Adapun tentang perbuatan murni Nabi, atau perbuatan yang tidak ada indikasi ibadah ,
seperti yang telah dijelaskan pada sunnah non-Tasyri’iyyah terdahulu, tidak lebih dari sekedar
menunjukkan kepada keizinan dan pembolehan. Secara lebih detail dan jelas, Al-Qaradhawi
mengatakan33.
“perbuatan murni Nabi Saw (hanya) menunjukkan ata keizinan semata, selama tidak ada dalil lain,
baik perkataan atau konteks perbuatan itu atau indikasi lainnya yang menentukan (mengalihkan)
jenis atau tingkat keizinan tersebut kepada wajib, sunnah,atau mubah.”
Dalam ungkapan diatas terlihat perbuatan murni Nabi baru berubah jika dari sekedar
perbuatan yang diizinkan belaka atau non-ibadah kepada perbuatan ibadah apabila ada indikasi yang
memalingkannya, boleh jadi berupa sunnah Qauliyyah, hal-ihwal perbuatan itu atau yang lainnya.
Selanjutnya –tidak dipersoalkan, karena bukan focus pembahasan ini- apakah status hukum setelah
dipalingkan itu menjadi wajib, sunnah, atau mubah, tergantung kekuatan indikasi yang
memalingkannya.
Dengan redaksi yang berbeda namun maksud yang sama, di tempat yang lain Al-Qaradhawi
,mengatakan34:
31 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 65.
32 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 65.
33 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 65.
34 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 65.
23. 23
“ Perbuatan Nabi Saw tidak lebih dari sekedar menunjukkan kepada pembolehan atau persetujuan,
tidak secara langsungb menunjukkan dengan sendirinya kepada wajib dan tidak pula menunjukkan
kepada sunnah, selama perbuatan itu tidak tampak maksud ibadah.”
Kalau pada ungkapan pertama, disebutkan dengan jelas bahwa yang memalingkan perbuatan
murni atau non-Taryri’iyyah kepada perbuatan ibadah atau sunnah Tasyri’iyyah, yaitu perkataan
atau sunnah Qauliyyah dan ihwal-ihwal perbuatan (qarinah hal) yang dilakukan, maka pada
ungkapan yang kedua, factor yang memalingkan itu tidak disebutkan. Tetapi yang disebutkan dari
pemalingan itu, yaitu ada maksud ibadah. Dengan kata lain, adanya maksud atau tanda-tanda ibadah
pada perbuatan itu hanya diketahui lewat faktor-faktor itu juga. Kalau bukan sunnah Qauliyyah dan
ihwal-ihwal perbuatan, berarti ada faktor lainnya, yang oleh Al-Qaradhawi sendiri tidak disebutkan.
Dengan demikian, tidak terjadi pertentangan antara dua ungkapan tersebut35.
Sekarang sudah jelas perbuatan Nabi semata-mata tetao pada statusnya sebagai sunnah non-
Tasyri’iyyah, apabila tidak ada indikasi yang memalingkannya kepada ibadah atau apabila tidak
Nampak dimaksud ibada. Persoalannya, bagaimana dapat membedakan suatu perbuatan yang masih
berstatus sebagai perbuatan murni dengan perbuatan yang sudah berubah menjadi ibadah dan apa
kriterianya?
Untuk masalah ini, tampaknya belum ada jawaban yang berarti dari Al-Qaradhawi. Al-
Qaradhawi hanya memberikan beberapa contoh. Misalnya setelah makan. Apabila terdapat dalam
sunnah fi’liyyah bahwa Nabi makan dengan tangan tidak menggunakan sendok atau garpu, dan
makannya pun dengan menggunakan tiga jari serta duduk lesehan di lantai. Maka jika tidak ada
sunnah qauliyyah atau qarinah al-hal yang menegaskan keharusan makan demikian, berarti ia masih
menjadi perbuatan murni Nabi dank arena itu ia sebagai sunnah non-Tasyri’iyyah36.
Karena alasan ini, Al-Qaradhawi mengkritisi pendapat segolongan orang yang
mendakwakan cara makan seperti itu sebagai sunnah tasyri’iyyah dan bila berlawanan dengannya
adalah bid’ah. Masalah ini adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya
antara satu daerah dengan daerah yang lain dan antara zaman dengan zaman yang lain. Nabi Saw
makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat
Rasulullah, yaitu sifat memberikan kemudahan, tawadhuk, zuhud. Namun demikian, makan dengan
35 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 287.
36 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 288.
24. 24
24
menggunakan meja makan atau makan menggunakan sendok dan garpu bukannlah berarti
menggunakan sunnah. Berbeda dengan masalah makan dan minum menggunakan tangan kanan, itu
memang ada hadist atau sunnah qauliyyah yang mengharuskan demikian37.
Adapun masalah makan dengan tangan kanan, tampak dengan jelas adanya petunjuk Nabi
Saw untuk melakukan hal itu. Karena, secara eksplisit Nabi memerintahkan hal itu, yaitu ketika
Nabi bersabda kepada seorang anak: “ Bacalah dengan nama Allah, kemudian makanlah dengan
tangan kananmu!”. Lenih jauh lagi, Nabi melarang melakukan tindakan sebaliknya, yaitu makan dan
minum dengan tangan kiri, seperti dalam sabda Nabi :” janganlah seseorang dari kalian makan dan
minum dengan tangan kiri, karena setan makan dengan tangan kiri!”38.
Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa larangan makan dan minum dengan
tangan kiri itu menunjukkan keharaman, karena Nabi menyerupakan orang yang melakukan itu
seperti setan, Nabi, Kata Al-Qaradhawi, tidak pernah menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai
perbuatan setann dalam masalah yang makruh39.
Contoh yang lain adalah tidurnya Nabi dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan,
yang dilakukan setelah shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat subuhm dan hal ini terjadi secara
berulang-ulang. Dari sini, jelas Al-Qaradhawi, ada sebagian ulama,diantaranya Ibn Hazm, yang
menyimpulkan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh kita harus berbaring miring ke kanan tubuh
kita. Padahal menurut A’isyah, Nabi berbaring demikian bukan untuk mencontohkan suatu
perbuatan sunnah, melainkan semata karena Nabi lelah setelah sepanjang malam beribadah sehingga
Nabi perlu istirahat sejenak.
5. Perbuatan Nabi Sebagai Manusia
Sama seperti ketika menyebutkan perbuatan murni Nabi, pada saat menyebutkan perbuatan
Nabi sebagai manusia pun Al-Qaradhawi tidak memberikan kriterianya. Untuk aspek terkhir, Al-
Qaradhawi menyebutkan beberapa contoh, antara lain, seperti riwayat shahih bahwa Nabi senang
makan sampil kambing dan suka kepada sayur dubba’ (sejenis labu).
37 Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa…, hlm. 65.
38 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 288.
39 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah …, hlm. 288.
25. 25
BAB III
KESIMPULAN
Sunnah Tasyri’iyyah adalah sebuah perbuatan Nabi Saw yang mengikat seperti ibadah dan
menzahirkan syariat, sedangkan sunnah non-Tasyri’iyya perilaku Nabi sebagai manusia pada
umumnya seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya. Adapun pemikiran tokoh yang
membahas masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Ibn Qutaibah telah membagikan ciri sunnah dalam tiga katergori, Pertama sunnah yang
disampaikan Jibril dari Allah Swt, kedua Sunnah ketika Nabi Saw diizinkan oleh Allah untuk
menetapkan sesuatu dengan menggunakan pendapatnya sendiri, sehingga beliau bisa memberikan
keringanan hukum kepada siapa saja yang dikehendaki sesuai dengan alasan hukum yang ada,
ketiga, Sunnah yang ditetapkan oleh Nabi Saw sebagai pelajaran etika. Jika diikuti akan
mendapatkan keutamaan, namun jika tidak diikuti tidak akan berdosa.
2. Syah Waliyullah Al-Dahlawi membagikan sunnah menjadi dua macam, yaitu sunnah dalam
konteks penyampaian risalah dan sunnah bukan dalam kontek penyampaian risalah.
3. Mahmud Syaltut membagikan sunnah menjadi beberapa bagian: Pertama, Sunnah dalam konteks
hajat hidup seperti berjalan, makan, minum, tidur, saling berkunjung mendamaikan orang dengan
cara yang baik, memberikan syafaat dan menawar dalam jual beli. Kedua, sunnah yang merupakan
hasil eksperimen dan kebiasaan individual atau sosial. Misalnya, hadist tentang
pertanian,kedokteran, dan panjang pendeknya baju. Ketiga, sunnah dalam konteks manajemen
manusia dalam mengantisipasi kondisi tertentu. Misalnya, pembagian pasukan untuk ditempatkan
pada pos-pos perang, mengatur barisan perang dalam satu pertempuran dan dibarak persembunyian
militer, memilih tempat-tempat strategis untuk kubu pertahanan dan semisalnya. Keempat, sunnah
dalam konteks hukum syariah.
Pembagian Af’al Nabi Saw dalam menjelaskan agama, seperti yang telah diketahui adalah
sebagai dalil untuk umat bahwa memperbuat apa yang dilakukan Nabi Saw:
26. 26
26
1. Perbuatan al-Jabilliyah seperti berdiri, duduk, tidur, makan, minum dan lain sebagainya maka ini
bukanlah hujjah melainkan perbuatan Nabi ini adalah perlakuan manusia pada umumnya. Dan
semua yang tersebut itu bukannlah hukum yang dibebankan untuk wajib diikuti atau ditingalkan.
2. Perbuatan al-bayani adalah perbuatan yang dilakukan Nabi bermaksud untuk menjelaskan hukum
syariat. Apakah hukum itu yang tersebut dalam Al-Qur’an atau tidak. Seperti Nabi shalat diatas
mimbar kemudian bersabda “Hanyasanya aku memperbuat ini untuk mempercayai saya dan
mengajarkan kalian tentang shalatku”.(HR. Muslim).
3. Perbuatan Tathbiqiy adalah perbuatan yang dilakukan sebagai contoh perintah Allah dan
mengimplementasikannya seperti menghukum cambuk orang yang menuduh orang lain berzina dan
memotong tangan pencuri.
4. Perbuatan Khasais li al-Nubuwwah adalah perbuatan yang terkhusus dengan Nabi Saw dan tidak
berkaitan dengan umat. Seperti menikahi 9 wanita, istrinya dengan tanpa mahar.
5. Perbuatan selain itu dimanakan dengan Fi’il Mujarrad. Fi’il Mujarrad terbagi dua macam yaitu
perbuatan murni yang Nampak bertujuan ibadah seperti shalat dua rakaat pada suatu kesempatan
tertentu, puasa hari yang sudah diketahui. Maka keseluruhan itu adalah perbuatan sunat pada umat
dan tidak dikategorikan pada wajib. Karena pada asalnya itu hanya fadhilah bila dikerjakan. Kedua
perbuatan yang tidak bertujuan untuk ibadah yang tidak dikategorikan kepada sunat dan wajib.
Muhammad sulaiman al-Aysqar menyimpulkan pendapat yang terkuat menurutnya adalah perbuatan
Nabi yang tidak bertujuan ibadah hukumnya ibahah. Karena pada asalnya itu hanyalah fadhilah dan
tidak dikatakan jika memperbuat ini haram atau makruh karena Nabi Saw tidak mengerjakannya.
Adapun kriteria sunnah non-Tasyri’iyyah menurut Al-Qaradhawi adalah sebagai berikut:
6. Perbuatan Dan Perkataan Nabi Berdasarkan Keahlian Eksperimental Dan Aspek-Aspek
Teknisnya (al-khibrah al-‘adiyah).
7. Perbuatan dan Perkataan Nabi Sebagai Kepala Negara dan Hakim.
8. Perintah atau Larangan Nabi yang bersifat Anjuran.
9. Perbuatan Murni Nabi
10. Perbuatan Nabi Sebagai Manusia
27. 27
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
Al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li ma’rifati wa al-Hadharah (Kairo: Dar al-Syuruq,
1998).
Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadist (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).
Mahmud Syaltut, al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah, cetakan ke-4 (Dar al-Syuruq: 1987).
Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asykar, al-Wazih fi Ushul al-Fiqh lil Mubtadiin,
(Kuwait: Dar al-salafiyah 1976).
Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Af’al al-Rasul wa Dilalatuha ‘ala al-Ahkam al-Syar’iyyah
(Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyyah, 1978).
Syah Waliyullah Al-Dahlawi, Hujjatullah al-Albalighah (Beirut: Dar al-Ma’rifah).
Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi
(Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011).