1. Kontroversi kontroversi Pembangunan Orde Baru.
(Priyanto, Fakultas Ekonomi FU-Berlin)
I. Pembangunan dibidang politik.
Sampai dengan pertengahan 1997 Indonesia melalui media internasional
dikenal didunia se lain sebagai tempat berlibur tetapi juga sebagai
negara yang pembangunannya maju pesat. Selain itu berita berita mengenai
pelanggaran HAM juga meningkat terlebih sejak kejadian Santa Cruz
November 1991. Menjelang Pemilu Mei 1997 yang lalu terjadi rangkaian
kejadian yang memakan korban jiwa yaitu pembakaran gereja2, serangan
bersenjata thdp kantor pusat PDI , pengejaran dan penangkapan thdp
aktifis pro demokrasi, konfrontasi2 pisik: antar ethnis, antar pengikut
OPP (Organisasi Peserta Pemilu) dan antara petugas keamanan dan rakyat.
Dalam sejarah pemerintahan orde baru, sampai saat ini Indonesia telah
mengalami 6 kali pemilihan umum. Pemerintah menganggap pemilu2 tsb.
sebagai salah satu unsur penting dalam pembangunan nasional di bidang
politik dalam rangka memperlancar lajunya proses demokratisasi di
Indonesia, sehingga sampai keluar istilah pesta demokrasi yang
dibanggakan pemerintah RI. Pemilu 1971 adalah Pemilu pertama masa Orba
yang sedianya dilakukan tahun 1968 tapi karena Golkar belum siap
(ketika itu Sekber Golkar sedang mengadakan konsolodasi kedalam).
Pemilu tsb. diikuti oleh 10 kontestan. Sekalipun beberapa partai sudah
dilarang eksistensinya, penyelenggaraan Pemilu ketika itu relatif baik
karena berita tentang pertentangan fisik yang berdarah antar pengikut
kontestan hampir tidak terdengar. Tahun berikutnya dengan dalih
pencapaian konsensus nasional1 demi kestabilan politik agar pembangunan
ekonomi dapat dilaksanakan, maka pemerintah RI mengadakan fusi partai2
politik sehingga pada pemilu 1977 kontestan yang ikut ambil bagian hanya
tinggal 3 saja. Ketiga OPP itu adalah: PPP (hasil fusi dari NU, Parmusi,
Perti dan PSII), Golkar dan PDI (hasil fusi dari PNI, Parkindo, Partai
Katholik, IPKI & Murba). Protes dan demonstrasi dari gerakan2 mahasiswa
sebagai manifestasi dari ketidak puasan rakyat kembali muncul karena
kebebasan politik makin berkurang dan pembangunan ekonomi cenderung
menguntungkan kalangan elit dan fihak luar negri saja. Berbeda dengan
penyelenggaraan pemilu sebelumnya, penyelenggaraan pemilu 1977 sampai
sidang umum MPR 1978 diwarnai dengan protes gerakan mahasiswa dan
konflik fisik antar kontestan pemilu. Korban mulai berjatuhan dan
gerakan protes mahasiswa di jawab dengan tindakan2 kekerasan militer.
Padahal mitra politik pemerintah orde baru 1965/1966 dalam menjatuhkan
presiden Sukarno adalah mahasiswa dan pelajar. Pada penyelenggaraan2
Pemilu berikutnya, konflik fisik antar para kontestan yang meminta
korban jiwa makin meningkat. Pada tahun 1985 dengan dalih untuk
memantapkan kestabilan politik agar mempercepat lajunya pembangunan
ekonomi, pemerintah mengeluarkan undang2 yang mengatur tentang Pemilu,
ormas dan kompososi MPR/DPR2. Pada kenyataannya, penyelenggaraan2 pemilu
setelah disyahkannya UU tsb. makin ditandai dengan konfrontasi fisik
antar pengikut2 kontestan yang meminta korban jiwa dan materi yang
terlalu banyak. Pemilu 1997 yang sebetulnya sudah diketahui pemenangnya,
2. memakan tidak kurang dari 300 korban jiwa (terutama konfrontasi fisik
di Banjarmasin) dan banyak kerugian materil lainnya. Kebijaksanaan2
pemerintah dibidang politik yang dimaksudkan untuk menstabilkan keadaan
politik ternyata malah mendestabilisasi keadaan politik (kontroversi
pembangunan politik masa orba). Bandingkan dengan penyelenggaraan
Pemilu 1955 yang diikuti oleh 34 kontestan tapi tidak diwarnai
dengan konfrontasi fisik antar para pengikut parpol peserta pemilu
dan tidak memakan korban jiwa dan materiel serta hampir tidak ada
indikasi pelecehan2 azas luber (langsung, umum, bebas & rahasia).
Ada usaha2 manipulasi dan pelecahan azas luber akan tetapi oknum
pelakunya ditangkap petugas keamanan (bukan tentara!). Sejumlah
43.104.464 penduduk mendaftarkan diri sebagai pemilih yang dilangsungkan
antara bulan Mei hingga November 1954. Pemilihan anggota parlemen
diadakan pada 29 September 1955 dan untuk anggota dewan Konstituante
(dewan yang akan membuat UUD) pada 15 Desember 1955. Lebih dari
39 juta atau 91,54% menggunakan hak pilih mereka. Hanya 3,89% atau
tidak lebih dari 153.000 suara dinyatakan tidak syah3. Bandingkan
dengan pemilu 1997 dimana menurut keterangan versi pemerintah tidak
kurang dari 14 juta suara atau sekitar 11% dinyatakan tidak syah
(golput)4. Pada 10 November 1956 anggota parlemen/konstituante hasil
pemilu 1955 mengadakan sidang pertama dan memilih Wilopo (PNI) sebagai
ketua dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman Kafrawi (NU),
Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI) dan Hidayat Ratu Aminah (IPKI)
masing2 sebagai wakil ketua (perhatikan kemajemukan komposisi pemimpinan
dewan ini!). Hasil terpenting dari dewan ini adalah keputusan
No.26/K/PK/1958 yaitu 35 pasal mengenai Hak2 Azasi Manusia5.
Dalam UUD 45 hanya terdapat 4 pasal mengenai HAM (yaitu pa
sal 27, 28, 29 & 31). Perlu dicatat bahwa: (1) Tingkat melek huruf
di tahun 1955 jauh lebih rendah dari melek huruf ditahun 1997;
(2) Jumlah kelas menengah/orang berpendidikan tinggi ketika itu
jauh lebih rendah dari sekarang, disamping itu (3) pertumbuhan
ekonomi di tahun 50an jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi
tahun 90an. Fakta ini membuktikan kemampuan bangsa Indonesia untuk
berbeda haluan politik antar sesama mereka dengan tidak mengurangi
respek terhadap sesamanya. Tinggi-rendahnya pertumbuhan ekonomi,
tinggi-rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya kelas menengah
atau banyaknya orang yang berpendidikan tinggi bukanlah faktor yang
menentukan berhasil-tidaknya manifestasi proses demokratisasi.
Argumentasi tentang "ditundanya reformasi politik (proses demokratisasi)
sampai tingkat pendidikan penduduk Indonesia cukup tinggi atau menunggu
sampai lapisan menengah cukup besar melalui pertumbuhan/pembangunan
ekonomi", menjadi tidak relevan lagi.
II. Pembangunan dibidang ekonomi dan sosial.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 30 tahun sangat pesat dan konstant.
Pendapatan perkapita 1967: AS $ 80,- 1997 AS$ 990,- atau rata-rata
7% pertahun. Ekspot meningkat dari AS $ 665 juta,- 1967 menjadi
AS $ 52 Milyard AS$ 1997 atau tumbuh rata rata 9% pertahun.
Investasi modal asing maupun dalam negri juga meningkat pesat.
3. Pendek kata pertumbuhan materiel meningkat pesat. Pertumbuhan
ekonomi yang sedemikian pesat mengakibatkan pemerintah RI di tahun
90an mendapat pujian dari WB, IMF,OECD, UNCTAD, berbagai institusi &
media internasional dan dari banyak negara maju maupun berkembang.
Tahun 1985 organisasi PBB yang bergerak dibidang pangan FAO memberi
penghargaan pada Presd. RI. atas pencapaian swasembada pangan di
Indonesia. Laporan ekonom profesional dari World Bank 19 Juni 1997
mengatakan bahwa awal milenium yang akan datang Indonesia akan menjadi
salah satu dari 20 negara yang ekonominya terbesar/terkuat didunia.
Pada 8 September 1997 presiden Suharto kembali mendapat penghargaan,
kali ini dari UNDP atas keberhasilannya dalam mengentaskan kemiskinan.
Fakta yang kontroversil dengan penghargaan & pujian diatas adalah bahwa
pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak mampu mengatasi masalah pengadaan
pangan minimum untuk menghindari terjadinya kelaparan. Sejak Juli 1997
sedikitnya 500 orang di 5 kabupaten di Irian Jaya meninggal karena
kekurangan pangan. Selain itu di Sumsel, NTT, Kalteng bahkan Jateng
diberitakan bahwa didaerah tsb terdapat banyak orang yang menderita
kelaparan. Tragisnya DPR yang baru dilantik awal Oktober 1997 tidak
mengajukan pertanyaan kepada pihak pemerintah mengenai tragedi tsb.
apalagi menyatakan bencana kelaparan tsb. sebagai bencana nasional.
Sekalipun demikian sampai kini FAO dan UNDP tidak/belum mau memberi
komentar atau mengkoreksi kebijaksanaan mereka dalam hal pemberian
penghargaan mereka.
Pertumbuhan ekonomi yang dipuji lembaga2 ekonomi internasional bukannya
tidak memakan ongkos atau bahkan korban pembangunan. Hutang LN RI 1967
berjumlah AS$ 2,3 milyard sedangkan di tahun 1997 berjumlah
AS$ 145 milyard6. Hutang LN RI tumbuh rata rata 14%
pertahun atau 2 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Padahal Indonesia selama 30 tahun ini mengekspor banyak hasil bumi.
Lebih dari separuh ekspor Indonesia terdiri dari hasil bumi:
migas, barang2 tambang, karet, kopi teh dan hasil2 hutan seperti kayu
lapis, rotan, serta kayu olahan lainnya yang proses eksploitasi dan
pengolahannya menyebabkan kerusakan lingkungan (sebagian besar
diakibatkan oleh praktek bisnis konglomerat pemegang Hak Pengusahaan
Hutan7) yaitu kebakaran diatas hampir 1 juta ha. hutan (tidak kurang dari
10 orang telah meninggal dunia karena sesak napas dan sekitar 22 juta
orang mengalami gangguan saluran pernapasan). Kerugian langsung maupun
tidak langsung dari kerusakan lingkungan dan terancamnya jiwa pddk demi
lajunya deru pembangunan sebenarnya mengurangi angka pertumbuhan ekonomi
tetapi kerugian2 tsb. tidak dimasukkan dalam hitungan neraca pembangunan
ekonomi. Memasuki minggu ke tiga Desember 1997 Indeks harga saham di
BEJ mendekati angka 300 jauh lebih rendah dari indeks tsb ketika krisis
akibat peristiwa 27 Juli 1996 dan terendah sejak 1989. Penurunan ini
terjadi karena saham2 BEJ dinyatakan dalam Rp sedangkan nilai Rp.merosot
tajam antara lain karena rawannya stabilitas politik sejalan dengan
merosotnya keadaan kesehatan Presiden RI. Para Fund Managers
(lebih dari separuh modal seluruh Fund Managers di BEJ dikuasai oleh
Broker luar negri yang tentu saja memburu AS$ jika stabilitas politik
tidak terjamin) beberapa minggu terakhir ini menjual saham2 yang
sebelumnya mereka tahan dan dengan rupiah hasil penjualan tsb membeli AS$.
4. Perkembangan ini turut mempercepat turunnya nilai Rp. Thdp AS$. Pada
bulan Desember 1967 nilai tukar Rp-AS$ 235. Tigapuluh tahun kemudian,
yaitu tanggal 15 Desember 1997 nilai tukar tsb mencapai angka Rp. 5.720,-.
Dengan perkataan lain selama 30 th terakhir nilai Rp turun sampai 2334%.8
Rescue package yang bernilai AS$ 30 milyard (jauh lebih banyak dari
perkiraan para ahli!!) dari IMF, World Bank/ADB, pemerintah AS serta
dari negara2 tetangga ternyata tidak cukup ampuh untuk mengendalikan
stabilitas nilai tukar Rp thdp AS$ akhir2 ini. Selama Menkeu & BI
tidak konsekwen dalam tugas mereka membangun sistim moneter yang transparan
maka instansi2 moneter ini justru akan di kendalikan oleh para bankir
(baca: para konglomerat yang bergantung pada Cendana Club); sehingga
jumlah stok uang beredar menjadi tak terkendalikan sehingga inflasi
dan nilai rupiah thdp AS$ pun tak akan terkendali; selain itu transaksi
hutang-piutang para bankir/konglomerat Indonesia dengan pihak Luar Negri
tidak dalam kendali otoritas moneter (selama ini tidak ada peraturan BI
yang mewajibkan pihak swasta untuk melapor posisi akhir hutang luar
negri mereka). Sejak lama pihak BI sudah mengetahui bahwa konglomerat
yang tergolong dalam perusahaan blue chips (perusahaan2 yang menentukan
tinggi rendahnya IHSG/Indeks Harga Saham Gabungan di BEJ; lagi2 mereka
ini tidak lain dari para konglomerat anggota Cendana Club) mempunyai
hutang LN yang terbanyak. Pada 10 Oktober 97 direktur BI hanya menyodorkan
formulir laporan hutang pada mereka tanpa konsekwensi lebih jauh.
1 Nov. 97 Menkeu melikwidasi 16 bank swasta, dengan alasan bank2 tsb
"dalam keadaan tidak sehat", sedangkan bagi swasta besar (blue chips)
yang butuh banyak AS $ sehingga menaikkan kurs AS$, tidak ada tindakan
konkrit yang berarti. Dilain pihak beberapa bankir yang terlikwidasi
mendapatkan bank baru (menunjukkan ketidak wibawaan BI atas sistim
perbankan nasional) dan proyek2 besar yang membutuhkan banyak AS$.
Ditambah dengan menurunnya kesehatan Presiden dan pengaruh imbas dari
krisis di Jepang dan Korsel, hal2 diatas menyebabkan melambungnya harga
AS$ di bulan Desember 1997 sekalipun IMF, WB & pemerintah AS telah turun
tangan dengan rescue packet mereka yang bernilai AS$ 30 milyard itu.
Pembangunan yang membuahkan kesenjangan.
Proses peningkatan peran sektor industri yang menggantikan sektor pertanian
dalam proses pembangunan menyebabkan terusirnya petani kecil dari desa dan
berkurangnya lahan pertanian sampai 1 juta ha (untuk membangun pabrik demi
industrialisasi dan westernisasi gaya hidup; mis. pembangunan real estate,
super markt, mall, villa, hotel dan lapangan golf bergaya "barat")9.
Kebijaksanaan pembangunan yang sedemikian, dimana kegiatan investasi
banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan Jawa (lebih dari separuh
terkonsentrasi di Jabotabek)10 menimbulkan kesenjangan kota-desa, Jawa-luar
Jawa, sektor industri vs. pertanian dan konglomerat11 vs. pengusaha kecil.
Bapenas pernah mengumumkan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan di tahun 1993 menurun menjadi hanya 27 juta jiwa atau hanya
14% saja. Kedengarannya hebat tetapi sayang tolok ukur garis kemiskinan
yang diambil sangat rendah, yaitu penduduk dengan tingkat konsumsi tidak
lebih dari Rp. 20.000/bulan. Jika batas garis kemiskinan diambil dari
Kebutuhan Fisik Minimum yang dikeluarkan oleh Depnaker 1993,
5. yaitu Rp.80.000,-/bulan, maka tidak kurang dari 90% atau sekitar 180 juta
jiwa masih hidup dibawah garis kemiskinan12. Termasuk kategori ini adalah
nelayan kecil, buruh tani, petani gurem, buruh kasar, pedagang asongan
dan para penganggur.
Penduduk yang terkena program pendidikan pemerintah juga masih
sedikit. Tidak kurang dari 70% dari orang yang bekerja berpendidikan
paling tinggi tamat Sekolah Dasar dan hanya 4% berpendidikan universitas
atau akademi13. Perhatian pemerintah untuk bidang kesehatan juga sangat
minim. Mentri negara untuk urusan wanita Mien Sugandhi awal November 1997
menyatakan bahwa tingkat kematian ibu dan bayi saat melahirkan di Indonesia
mencapai angka 390 per 100.000 atau tertinggi di Asia14. Pantaskah pemerintah
RI menerima pujian2 atas prestasi pembangunannya? Kepentingan utama lembaga2
internasional pemberi pinjaman (IMF, WB/IDRB/ADB, CGI, UNDP dll) adalah
pembayaran kembali pinjaman oleh pemerintah RI dalam waktu yang tepat.
Sampai saat ini pemerintah RI hampir selalu mengembalikan pinjaman pokok
dan cicilan bunga tepat pada waktunya. Dalam masa krisis ini pemerintah
Indonesia mengadakan road show ke berbagai negara2 peminjam untuk membujuk
mereka agar pembayaran hutang ditunda. Hal ini sudah tentu akan mengurangi
kredibilitas Indonesia untuk memperoleh pinjaman dimasa datang. Lembaga2
internasional akan lebih berhati hati dalam memberikan tanda2 penghargaan
kepada pemerintah Indonesia. Sekian.
Catatan kaki.
1 Konsensus ini sebenarnya bukan konsensus nasional melainkan konsensus antar
elit politik Indoinesia ketika itu.
2 Undang undang yang langsung disyahkan oleh DPR (tanpa menggunakan hak tanya
dan amandemen mereka), dikenal dengan 5 paket UU Politik 1985. Yang terpenting
dari UU tsb. adalah: Peserta pemilu terbatas pada PPP, Golkar dan PDI,
ketua penyelengara pemilu adalah Mendagri yang dibantu oleh gubernur dan
bupati; calon anggota DPR dari setiap kontestan harus lulus dari penelitian
khusus yang dilakukan oleh pemerintah, komposisi MPR/DPR (utusan daerah,
golongan dan unsur2 MPR lain selain DPR ditentukan lewat Kepres); peraturan
mengenai perubahan UU lewat referandum (menurut UUD 45 perubahan UUD dapat
melalui persetujuan 2/3 anggota MPR!!), dan semua ormas harus berazas tunggal
Pancasila. Sebelum itu ada UU No.3 Tahun 1975 yang hanya membatasi operasi
PPP&PDI hanya sampai ibukota Dati I & II saja, sebaliknya hanya Golkar yang
boleh beroperasi sampai tingkat pedesaan.
3 Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955. Ithaca: Cornell
University Press, 1962.
4 Hasil pemilu 15 Desember 1955 adalah sbb:dari total 514 kursi,
PNI mendapat 119 (23,2%), Masyumi 112(21,8%), NU 91(17,7%), PKI 60 (11,7%)
dan yang lainnya masing2 kurang dari 20 kursi (lihat: Konstitusi dan
Konstituante Indonesia, jilid I, 1958).
5 Lihat: A.B. Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in
Indonesia. A socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959,
Utrecht: 1992, 531).
6 Dr. Jeffrie Winters seorang ahli ekonomi yang pernah bekerja untuk World
Bank di Indonesia mengatakan bahwa korupsi dana hutang yang diberikan World
Bank pada pemerintah RI mencapai 30%.
6. 7 Mentri Lingkungan hidup Sarwono Kusumaatmadja mengatakan bahwa 81%
terbakarnya hutan diakibatkan oleh perusahaan2 kehutanan besar milik swasta
dan para pemegang HPH.
8 Selain disebabkan imbas krisis moneter di Jepang dan Korsel dan oleh
merosotnya keadaan kesehatan Presiden Suharto, kenaikan harga AS$ ini juga
disebabkan oleh membengkaknya defisit transaksi barang dan jasa dengan luar
negri dan besarnya hutang LN yang jatuh tempo serta kebutuhan AS$ untuk
pelarian modal ke LN. Hal2 ini menyebabkan kenaikan harga import barang
& jasa yang akhirnya mendorong kenaikan harga barang dan jasa dalam negri
(imported inflation).
9 1983-1993 lahan persawahan dan ladang yang diolah petani berkurang sebanyak
hampir 1 juta ha dari 6,7 juta ha menjadi 5,8 juta ha (BPS, Statistik 50
Tahun Indonesia Merdeka, buku II, Jakarta:1995, h.206).
10 Terkonsentrasinya lokasi industri di kota kota besar juga menimbulkan
persoalan2 urbanisasi, kriminalitas, pemukiman, penyediaan air bersih,
polusi udara, kemacetan lalulintas dan masalah2 lingkungan.
11 Pada tahun 1993 perusahaan yang total assetnya berjumlah lebih dari
Rp. 1 triliun,- berjumlah 24 sedangkan tahun 1995 jumlah tsb. meningkat
hampir 3 kali lipat menjadi 67 perusahaan. Nilai asset mereka dalam waktu
hanya 2 tahun meningkat hampir 4 kali
lipat dari Rp. 72 triliun,- (26% dari Pendapatan Nasional) pada tahun
1993 menjadi pada tahun 1995 nilai asset tsb berjumlah Rp. 272,8 triliun,atau 83% dari Pendapatan Nasional (lihat: Pusat Data Bisnis Indonesia,
Conglomeration Indonesia, Jakarta:1997).
12 Lihat: Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1995, Jakarta:1996,
h.540.
13 Opcit.,h.60.
14 Di daerah tertentu misalnya Jawa Barat angka kematian ibu dan bayi
saat melahirkan bahkan mencapai 400 per 100.000 kelahiran (Tempo
Interaksi. 10 November 1997).
7. 7 Mentri Lingkungan hidup Sarwono Kusumaatmadja mengatakan bahwa 81%
terbakarnya hutan diakibatkan oleh perusahaan2 kehutanan besar milik swasta
dan para pemegang HPH.
8 Selain disebabkan imbas krisis moneter di Jepang dan Korsel dan oleh
merosotnya keadaan kesehatan Presiden Suharto, kenaikan harga AS$ ini juga
disebabkan oleh membengkaknya defisit transaksi barang dan jasa dengan luar
negri dan besarnya hutang LN yang jatuh tempo serta kebutuhan AS$ untuk
pelarian modal ke LN. Hal2 ini menyebabkan kenaikan harga import barang
& jasa yang akhirnya mendorong kenaikan harga barang dan jasa dalam negri
(imported inflation).
9 1983-1993 lahan persawahan dan ladang yang diolah petani berkurang sebanyak
hampir 1 juta ha dari 6,7 juta ha menjadi 5,8 juta ha (BPS, Statistik 50
Tahun Indonesia Merdeka, buku II, Jakarta:1995, h.206).
10 Terkonsentrasinya lokasi industri di kota kota besar juga menimbulkan
persoalan2 urbanisasi, kriminalitas, pemukiman, penyediaan air bersih,
polusi udara, kemacetan lalulintas dan masalah2 lingkungan.
11 Pada tahun 1993 perusahaan yang total assetnya berjumlah lebih dari
Rp. 1 triliun,- berjumlah 24 sedangkan tahun 1995 jumlah tsb. meningkat
hampir 3 kali lipat menjadi 67 perusahaan. Nilai asset mereka dalam waktu
hanya 2 tahun meningkat hampir 4 kali
lipat dari Rp. 72 triliun,- (26% dari Pendapatan Nasional) pada tahun
1993 menjadi pada tahun 1995 nilai asset tsb berjumlah Rp. 272,8 triliun,atau 83% dari Pendapatan Nasional (lihat: Pusat Data Bisnis Indonesia,
Conglomeration Indonesia, Jakarta:1997).
12 Lihat: Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1995, Jakarta:1996,
h.540.
13 Opcit.,h.60.
14 Di daerah tertentu misalnya Jawa Barat angka kematian ibu dan bayi
saat melahirkan bahkan mencapai 400 per 100.000 kelahiran (Tempo
Interaksi. 10 November 1997).