1. DIKTAT
Dr. Risdiana, M. Eng.
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
2. Diktat Pengantar Fisika Zat Padat
i
Kata Pengantar
Diktat pengantar fisika zat padat ini merupakan salah satu bahan bacaan untuk
mendukung pemahaman materi serta membimbing mahasiswa untuk menggali lebih
detail setiap materi pada mata kuliah pengantar fisika zat padat. Mata kuliah pengantar
fisika zat padat merupakan matakuliah wajib program studi S1 Fisika, Universitas
Padjadjaran. Mata kuliah ini diberikan pada semester 6 dengan bobot 3 SKS. Diktat
kuliah ini membahas berbagai struktur kristal, gaya ikat dan ikatan atom di dalam kristal
serta kisi Kristal. Dibahas pula konsep panas jenis sebagai fungsi dari suhu menurut
Einstein dan Debye, konsep electron bebas dalam kristal, teori pita energi dan
penerapan teori pita energi ini pada bahan semikonduktor serta menghubungkan teori
pita energi dengan dinamika elektron dalam logam. Pembahasan terakhir pada diktat ini
akan diuraikan konsep kemagnetan serta berbagai contoh bahan magnet serta
aplikasinya.
Setelah mempelajari diktat pengantar fisika zat padat ini, diharapkan mahasiswa
dapat menganalisis struktur, sifat dan perilaku electron dalam suatu zat padat.
Untuk mencapai harapan di atas, mahasiswa diharapkan dapat:
Menjelaskan konsep struktur kristal dengan benar
Menjelaskan konsep gaya ikat dan ikatan atom dalam kristal dengan benar
Menjelaskan konsep panas jenis sebagai fungsi dari suhu menurut Einstein dan
Debye dengan benar
Menjelaskan konsep electron bebas dalam kristal dengan benar
Menunjukkan teori pita energi dan berbagai model yang mendasarinya dengan
benar
Menerapkan teori pita energi pada bahan semikonduktor dengan benar
Menerapkan dan menghubungkan teori pita energi dengan dinamika electron
dalam logam dengan benar
Menunjukkan konsep kemagnetan dan aplikasinya dengan benar
Semoga diktat ini dapat bermanfaat untuk pembaca baik mahasiswa di program
studi Fisika FMIPA UNPAD ataupun mahasiswa di perguruan tinggi lain yang
mempelajari pengantar fisika zat padat.
3. Diktat Pengantar Fisika Zat Padat
ii
Terakhir, diktat pengantar fisika zat padat ini masih jauh dari sempurna sehingga
harus terus disempurnakan setiap tahunnya agar tujuan pembelajaran yang diharapkan
dapat tercapai.
Jatinangor, Februari 2014
Penulis
4. Diktat Pengantar Fisika Zat Padat
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
i
iii
BAB 1 Pendahuluan 1
BAB 2 Struktur Kristal 3
2.1 Kisi Kristal
2.2 Geometri Kisi Kristal dan Kisi Resiprok
2.3 Difraksi Sinar-X
3
7
10
BAB 3 Gaya Ikat 13
3.1 Gaya Ikat
3.2 Ikatan Atom dalam Kristal
13
14
BAB 4 Kapasitas Panas 18
4.1 Getaran Termal Kristal dan Kuantitas Energinya
4.2 Kapasitas Panas Menurut Eistein
4.3 Kapasitas Panas Menurut Debye
4.4 Perambatan Gelombang dalam Kristal dan Konsep Fonon
18
19
21
23
BAB 5 Elektron Bebas 25
5.1 Elektron Bebas Klasik
5.2 Elektron Terkuantisasi
5.3 Perilaku Elektron Bebas dalam Logam
25
26
29
BAB 6 Teori Pita Energi 31
6.1 Konsep Pita Energi
6.2 Teorema dan Fungsi Bloch
6.3 Model Kronig-Penney
6.4 Model Elektron Hampir Bebas
31
32
33
36
BAB 7 Bahan Semikonduktor 38
7.1 Material Semikonduktor
7.2 Tipe Semikonduktor
7.3 Karakteristik ρ-T Bahan Semikonduktor
38
39
43
BAB 8 Dinamika Elektron dalam Logam 45
8.1 Kombinasi Linier Orbital Atom
8.2 Dinamika Elektron dalam Logam
45
46
5. Diktat Pengantar Fisika Zat Padat
iv
8.3 Permukaan Fermi 47
BAB 9 Sifat dan Bahan Magnet 49
9.1 Medan Magnet (H), Induksi Magnet (B) dan Magnetisasi (M)
9.2 Bahan Diamagnetik
9.3Bahan Paramagnetik
9.4 Bahan Ferromagnetik
9.5 Bahan Antiferromagnetik
9.6 Bahan Ferrimagnetik
9.7 Bahan Superkonduktor
49
50
51
52
54
56
57
Lampiran 1: Analisis Pembelajaran, Garis-Garis Besar Program Pengajaran,
Satuan Acara Pengajaran
63
6. Pengantar Fisika Zat Padat
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Fisika Zat Padat adalah bagian dari ilmu fisika yang mempelajari struktur dan
berbagai sifat fisika dari suatu bahan (zat) dalam fasa padat. Fasa padat adalah suatu fasa
dimana atom-atomnya menempati posisi yang tetap. Kebanyakan elemen kimia pada suhu
ruang adalah bahan dengan fase padat. Secara umum, terdapat dua jenis zat padat yaitu
kristal dan amorf. Kristal adalah satu jenis zat padat yang memiliki struktur kimia dengan
tingkat keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi (long range order) pada seluruh
volumenya. Sedangkan amorf adalah jenis zat padat dimana strukturnya tidak memiliki
keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi pada seluruh volumenya. Pada buku ajar ini,
akan dibahas zat padat berjenis kristal dengan tingkat keteraturan dan kesetangkupan yang
tinggi. Sifat-sifat fisis yang akan dibahas meliputi berbagai struktur kristal, gaya ikat dan
ikatan atom di dalam kristal serta kisi kristal. Dibahas pula konsep panas jenis sebagai
fungsi dari suhu menurut Einstein dan Debye, konsep elektron bebas dalam kristal, teori
pita energi dan penerapan teori pita energi ini pada bahan semikonduktor serta
menghubungkan teori pita energi dengan dinamika elektron dalam logam. Pada akhir
bagian buku ini, dibahas sekilas tentang konsep kemagnetan serta berbagai contoh bahan
magnet serta aplikasinya.
Kompetensi yang ingin dicapai setelah mempelajari buku ajar ini adalah memiliki
kemampuan untuk menganalisis struktur, sifat dan perilaku elektron dalam suatu zat padat.
Untuk mencapai kompetensi di atas, pembaca diharapkan dapat:
Menjelaskan konsep struktur kristal.
Menjelaskan konsep gaya ikat dan ikatan atom dalam kristal.
Menjelaskan konsep panas jenis sebagai fungsi dari suhu menurut Einstein dan
Debye.
Menjelaskan konsep elektron bebas dalam kristal.
Menunjukkan teori pita energi dan berbagai model yang mendasarinya.
Menerapkan teori pita energi pada bahan semikonduktor.
Menerapkan dan menghubungkan teori pita energi dengan dinamika elektron dalam
logam.
Menunjukkan konsep kemagnetan dan aplikasinya.
7. Pengantar Fisika Zat Padat
2
Organisasi dari materi pengantar fisika zat padat, diperlihatkan dalam Gambar 1.1.
TPU : Setelah menyelesaikan mata kuliah Pengantar Fisika Zat Padat, mahasiswa akan
dapat menganalisis struktur, sifat dan perilaku elektron dalam suatu zat padat dengan
benar ( C-4, P-4, A-4 ).
Menunjukkan teori pita energi dan
berbagai model yang mendasarinya
(C-3, P-3, A-3)
Menunjukkan konsep kemagnetan
dan aplikasinya (C-3, P-3, A-3)
Menerapkan dan menghubungkan
teori pita energi dinamika elektron
dalam logam (C-4, P-3, A-4)
Menerapkan teori pita energi
pada bahan semikonduktor
(C-4, P-3, A-4)
Fisika Modern
Menjelaskan konsep elektron
bebas dalam kristal (C-2, P-3, A-3)
Menjelaskan konsep panas jenis
sebagai fungsi dari suhu menurut
Einstein dan Debye (C-2, P-3, A-2)
(C-2, P-3, A-3)
Menjelaskan konsep struktur
krista menjelaskan konsep
struktur kristal (C-2, P-2, A-2)
Menjelaskan konsep gaya ikat
dan ikatan atom dalam kristal
(C-2, P-2, A-2)
Gambar 1.1: Organisasi materi Pengantar Fisika Zat Padat
8. Pengantar Fisika Zat Padat
3
BAB 2
STRUKTUR KRISTAL
2. 1 Kisi Kristal
Zat padat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kristal dan amorf. Kristal adalah zat
padat yang memiliki struktur yang terdiri dari atom dan gugus-gugusnya dengan tingkat
keteraturan dan kesetangkupan yang tinggi. Sedangkan zat padat yang atom-atomnya
tidak memiliki tingkat keteraturan disebut amorf.
Kristal yang ideal adalah kristal yang memiliki struktur kristal dengan tingkat
kesetangkupan unit atom yang tak berhingga dalam seluruh volume kristalnya serta tidak
memiliki cacat geometrik. Unit atom yang dimaksud dapat berupa atom tunggal atau
kumpulan dari beberapa atom yang disebut basis. Basis tersebut melekat pada posisi-posisi
tertentu dengan titik-titik posisi yang disebut kisi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
struktur dari sebuah Kristal merupakan penjumlahan antara kisi dengan basisnya (Struktur
Kristal = Kisi + Basis). Contoh sederhana penjumlahan kisi dengan basis yang
menghasilkan struktur kristal digambarkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1: Contoh terbentuknya struktur kristal yang berasal dari penjumlahan kisi dan basis.
Kumpulan kisi khusus yang semua kisinya memiliki pola geometri yang sama disiebut kisi
Bravais. Pola susunan kisi pada kisi Bravais ini dapat dibedakan menjadi tiga sesuai
dengan tingkat dimensinya yaitu kisi satu dimensi, kisi dua dimensi dan kisi tiga dimensi.
Kisi satu dimensi yaitu pola pengulanagn kisi yang berada pada satu garis lurus satu
dimensi baik pada arah sumbu x, y atau z.
9. Pengantar Fisika Zat Padat
4
Kisi dua dimensi yaitu pola pengulangan kisi pada dua dimensi. Pada umumnya
terdapat 5 jenis pola pengulangan pada kisi dua dimensi ini yaitu kisi genjang, kisi bujur
sangkar, kisi heksagonal, kisi segi panjang dan kisi segi panjang berpusat.
Kisi tiga dimensi yaitu pola pengulangan kisi dalam ruang tiga dimensi (space lattice).
Terdapat 7 sistem kristal dalam ruang tiga dimensi yaitu triklinik, monoclinik,
orthorhombik, tetragonal, kubik, trigonal dan heksagonal.
Tabel 1 memperlihatkan 7 sistem kristal dalam ruang tiga dimensi beserta geometri
selnya. Panjang, lebar dan tinggi dari sistem kristal ini dituliskan dengan simbol a, b dan c.
Sedangkan sudut-sudutnya dituliskan dengan simbol , dan .
Tabel 1: Tujuh sistem kristal dalam ruang tiga dimensi beserta geometri selnya.
Sistem kristal Unit sel Sudut
Triklinik a b c
Monoklinik a b c = = 90o
Orthorhombik a b c = = = 90o
Tetragonal a = b c = = = 90o
Kubik a = b = c = = = 90o
Trigonal a = b = c = = < 120o
, 90o
Heksagonal a = b c = = 90o
, = 120o
Di dalam ruang tiga dimensi, terdapat 5 tipe dasar pengulangan kisi yaitu kisi
primitive (P), kisi body-centered (I), kisi base-centered (C), kisi face-centered (F), kisi
rhombohedral primitive (R).
Berikut adalah penjelasan dari ke-5 tipe dasar kisi tersebut.
1. Kisi Primitive (P)
Kisi Primitive (P) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi hanya terdapat pada titik-titik
sudut kristal. Tipe kisi primitive terdapat pada hampir semua sistem krisal yaitu sistem
kristal triklinik, monoklinik, orthorhombik, tetragonal, kubik, heksagonal.
10. Pengantar Fisika Zat Padat
5
2. Kisi Body-centered (I)
Kisi Body-centered (I) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap
sudut kristal ditambah titik pada pusat sel. Tipe kisi ini terdapat pada sistem kristal
monoklinik, orthorombik, tetragonal dan kubik.
3. Kisi Base-centered (C)
Kisi Base-centered (C) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap
sudut kristal ditambah dua titik pada permukaan atas dan bawah setiap sel. Tipe kisi ini
hanya terdapat pada sisitem kristal orthorombik.
4. Kisi Face-centered (F)
Kisi Face-centered (F) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada setiap sudut
kristal ditambah dengan titik-titik pada semua pusat bidang permukaan kristal. Tipe kisi ini
terdapat pada sistem kristal orthorombik dan kubik.
5. Kisi Rhombohedral primitive (R)
Kisi Rhombohedral primitive (R) adalah tipe kisi dimana titik-titik kisi terletak pada
setiap sudut kristal yang khusus berbentuk rhombohedral. Tipe kisi ini hanya terdapat pada
sisitem kristal trigonal.
Jika kita hitung dari variasi sistem kristal dan tipe kisi, jumlah kisi Bravais pada
sistem tiga dimensi adalah 14 jenis. Tabel 2 memperlihatkan 14 jenis kisi Bravais lengkap
dengan gambar berdasarkan pembagian sistem kristal dan tipe kisinya. Sistem kristal
Triklinik dan Heksagonal hanya memiliki tipe kisi P. Sistem kristal Monoklinik dan
Tetragonal memiliki dua tipe kisi yaitu tipe P dan I. Sistem kristal Orthorombik memiliki
kemungkinan 4 tipe kristal yaitu P, I, C dan F. Sistem kristal Kubik memiliki 3 tipe kristal
yaitu P, I dan F, sedangkan sistem kristal Trigonal memiliki satu tipe kristal yaitu tipe R.
11. Pengantar Fisika Zat Padat
6
Tabel 2: 14 jenis gambar kisi Bravais beserta kelompok sistem kristal dan tipe kisinya.
Sistem Kristal Primitive (P) Body-centered (I)
Base-centered
(C)
Face-centered (F)
Rhombohedral
primitive (R)
Triklinik
Monoklinik
Orthorhombik
Tetragonal
Kubik
Trigonal
Heksagonal
12. Pengantar Fisika Zat Padat
7
2.2 Geometri Kisi Kristal dan Kisi Resiprok
Arah orientasi bidang yang dibentuk dari titik-titik kisi Bravais sangat menetukan
sifat dari suatu kristal. Oleh sebab itu diperlukan sistem penomoran yang dapat
merepresentasikan setiap bidang yang ada pada suatu kristal. Seorang ilmuwan Inggris
yaitu W. H. Miller memperkenalkan sistem pengkodean bidang kristal yang kemudian
diberi nama indeks Miller. Indeks Miller merupakan suatu pengkodean, pendefinisian atau
penamaan untuk melihat orientasi dari suatu permukaan. Indeks Miller mendefinisikan set
permukaan yang paralel antara satu dengan yang lainnya. Indeks Miller tidak
mendefinisikan bidang berdasarkan koordinat, tapi melihat keseluruhan orientasi bidang.
Hal ini menyebabkan bidang yang memiliki arah orientasi yang sama akan tergabung
dalam satu kelompok yang sama. Misalnya arah suatu titik dari titik asal (0, 0, 0) adalah (a,
b, c). Jika kita memiliki bidang lain yang jarak dari titik asalnya 2 kali dari (a, b, c) maka
dapat ditulis (2a, 2b, 2c). Arah bidang ini akan sama dengan arah bidang (a, b, c).
Sehingga arah bidang (1, 0, 0) akan memiliki implikasi yang sama dengan arah bidang (2,
0, 0) atau (3, 0, 0).
Indeks miller ditulis dalam kurung tanpa menggunakan symbol koma. Setiap arah orientasi
bidang dikodekan dengan tiga jenis integer yaitu (h k l). Proses penggkodean
menggunakan aturan indeks Miller ini dilakukan dengan proses pembalikkan domain
posisi menjadi domain orientasi. Proses pembalikkan domain ini menghasilkan suatu nilai
kisi yang disebut kisi resiprok (kisi balik). Kisi resiprok inilah yang kemudian
menggambarkan arah orientasi dari setiap bidang pada kristal.
Cara menentukan indeks Miller adalah sebagai berikut:
1. Menenentukan titik potong antara bidang yang bersangkutan dengan sumbu-sumbu (x, y, z)
atau sumbu-sumbu primitif dalam satuan konstanta kisi (a, b, c)
2. Menentukan kebalikan (resiprok) dari titik potong antara bidang dengan sumbu-sumbu
tersebut.
3. Menentukan tiga bilangan bulat (terkecil) yang mempunyai perbandingan yang sama
4. Indeks Miller diperoleh dari proses bagian 3 diatas dengan indeks (h k l)
5. Bila terdapat nilai h, k, atau l yang negatif, maka indeks tersebut dituliskan dengan garis
di atasnya , artinya h bernilai negatif.
Contoh penentuan indeks Miller untuk bidang pada Gambar 2.2 adalah sebagai berikut
13. Pengantar Fisika Zat Padat
8
Gambar 2.2: Bidang yang memotong sumbu x, y, z masing-masing pada skala 2, 2 dan 3.
1. Menentukan titik potong antara bidang dengan sumbu x, y, z. Bidang ABC memotong
sumbu-sumbu: 2 di titik A untuk sumbu x, 2 di titik B sumbu y, 3 di titik C sumbu z.
Maka titik potong antara bidang dengan sumbu x, y, z (intercept) dapat dituliskan sebagai:
(2, 2, 3).
2. Menentukan resiprok dari intercept di atas adalah .
3. Menentukan tiga bilangan bulat terkecil dari bilangan resiprok diatas. Misal masing-
masing dikali dengan bilangan bulat 6, maka resiprok diatas menjadi (3, 3, 2). Maka Indeks
Miller untuk bidang pada Gambar 2.2 adalah (3 3 2).
Contoh lain untuk bidang kubus sederhana seperti diperlihatkan pada Gambar 2.3 adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.2: Bidang BCGF yang memotong sumbu y.
14. Pengantar Fisika Zat Padat
9
1. Perpotongan bidang BCGF dengan sumbu x, y, z adalah di sumbu x, 1 di sumbu y,
di sumbu z
2. Resiproknya:
3. Tiga bilangan bulat terkecil dari bilangan resiprok 0, 1, 0 adalah (0, 1, 0)
4. Indeks Millernya: (0 1 0)
Tanda {0 1 0} menyatakan kumpulan bidang-bidang yang sejajar dengan bidang (0 1 0).
Sama halnya dengan Bidang ADHE yang sejajar dengan bidang BCGF, maka indeks
bidang ADHE adalah {0 1 0} begitu juga dengan bidang ABCD sejajar dengan bidang
EFGH, maka bidang ABCD adalah {0 0 1}, dan seterusnya. Jadi, apabila bidangnya
menempel di sumbu, indeksnya akan sama dengan indeks bidang yang sejajar dengannya.
Menentukan dhkl
dhkl adalah jarak antar bidang pada suatu kristal. Resiprok untuk dhkl ini disimbolkan oleh
. Persamaan resiprok ruang untuk dhk dalam arah adalah sebagai berikut:
Persamaan dhkl untuk kristal dengan sistem orthogonal dapat dijabarkan sebagai persamaan
berikut ini:
Sedangkan persamaan dhkl untuk kristal dengan sisitem kubik adalah:
Contoh soal:
Suatu unit cell berbentuk kubik memiliki nilai indeks Miller (1 1 0) dan panjang a=5,2 A
(0,52 nm). Tentukan nilai dhkl nya!
Jawab:
.
15. Pengantar Fisika Zat Padat
10
2.3 Difraksi Sinar – X
Difraksi sinar-X (X-ray difractions/XRD) merupakan metode karakterisasi yang
memanfaatkan sifat dari sinar-X yang memiliki panjang gelombang 0.01-10 nm untuk
mengidentifikasi arah bidang kisi pada suatu kristal dengan cara mengamati interferensi
konstruktif yang dihasilkan pada sudut tertentu. Sinar-X merupakan radiasi
elektromagnetik yang memiliki energi tinggi sekitar 200 eV sampai 1 MeV. Difraksi sinar-
X juga dapat digunakan untuk menentukan ukuran partikel. Difraksi sinar-X terjadi ketika
suatu basis dalam suatu kristal teradiasi secara koheren, menghasilkan interferensi
konstruktif pada sudut tertentu. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari
arah bidang kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg :
n λ = 2 d sin θ ; n = 1,2,…
λ adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan, d adalah jarak antara dua bidang
kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan n adalah bilangan bulat
yang disebut sebagai orde interferensi.
Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada suatu bahan
kristal, maka bidang kristal itu akan mendifraksikan sinar-X kristal tersebut. Sinar yang
didifraksikan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah
puncak difraksi pada sudut θ tertentu. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam
sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul
pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu
tiga dimensi. Puncak-puncak yang telah didapatkan dari data pengukuran kemudian
dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini
dikenal sebagai JCPDS (Joint Committee on Powder Difraction Standards). Gambar 2.4
meperlihatkan proses hamburan pada Kristal berdasarkan hokum Bragg.
Gambar 2.4: Proses hamburan pada kristal berdasarkan hukum Bragg
16. Pengantar Fisika Zat Padat
11
XRD difraktometer memiliki 3 buah komponen utama, yaitu pembangkit sinar-X,
tempat bahan (sample holder) dan detektor. Prinsip kerja difraktometer sinar-X dimulai
ketika pembangkit sinar-X menghasilkan radiasi ektromagnetik, yang kemudian
ditembakkan ke bahan yang akan diuji. Sinar-X yang dihamburkan bahan akan ditangkap
oleh detektor yang kemudian dioleh menjadi beberapa informasi yang dapat
diintrepertasikan dan dihitung untuk mendapatkan informasi struktur kristal dari bahan
tersebut. Dari proses pengukuran yang dilakukan, dapat diperoleh beberapa informasi
antara lain sebagai berikut:
1. Posisi puncak difraksi pada sudut θ tertentu, jarak antar bidang (dhkl), struktur
kristal dan orientasi dari sel satuan (dhkl) struktur kristal dan orientasi dari sel
satuan.
2. Intensitas relatif puncak difraksi, memberikan gambaran tentang posisi atom
dalam sel satuan.
3. Bentuk puncak difraksi
4. Jarak antar bidang (dhkl)
Contoh data hasil XRD untuk bahan superkonduktor dipelihatkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5: Contoh data XRD untuk bahan superkonduktor
10 20 30 40 50 60 70
2
Intensity
(arb.
units)
17. Pengantar Fisika Zat Padat
12
Contoh soal perhitungan sudut Bragg pada suatu sistem kristal pada suatu percobaan.
Hitunglah sudut bragg pada kristal kubik dengan unit cell a = 6 A, untuk bidang (2 2 1)
dengan panjang gelombang 1,54 A.
Jawab:
Untuk n=1
Untuk n=2
Jadi sudut Bragg untuk Kristal ini adalah dan
Daftar Bacaan:
Birkholz, M., 2006,Thin Film Analysis by X-Ray Scattering. WILEY-VCH Verlag GmbH
& Co. KGaA, Weinheim.
Kittel, C., 2005, Introduction to Solid State Physics, John Wiley and Sons, Inc, 8th
edition.
18. Pengantar Fisika Zat Padat
13
BAB 3
GAYA IKAT
3.1 Gaya ikat
Pada umumnya zat padat merupakan zat yang memiliki struktur yang stabil.
Kestabilan struktur zat padat ini disebabkan oleh susunan atom-atom dalam kristal berada
pada kedudukan dengan enrgi potensial sistem minimum. Pada banyak atom, nilai energi
potensial minimum dapat dengan cepat terpenuhi dengan cara barikatan dengan atom lain.
Sebagai contoh kristal Natrium Clorida (NaCl) memiliki struktur yang lebih stabil
dibandingkan dengan sekumpulan atom-atom bebas dari Na dan Cl. Hal ini menunjukkan
bahwa energi atom-atom bebas penyusun kristal lebih besar daripada energi kristalnya.
Ikatan antar atom sangat berhubungan erat dengan jarak antar atom dan besarnya
energi yang diperlukan untuk mengikat atom-atom tersebut. Energi yang diperlukan untuk
mengikat dua atau lebih atom dinamakan energi ikat. Energi ikat ini sebenarnya adalah
pendekatan untuk menggambarkan gaya ikat antar atom. Seperti halnya dalam bahasan
fisika klasik, dua atom akan saling mengikat jika gaya tarik menarik antar dua atom tesebut.
Selain itu adanya gaya tolak antar atom karena jenis muatan dan adanya larangan pauli,
berkontribusi pada energi potensial yang terbentuk dalam kristal pada saat terjadi ikatan
atom.
Besarnya energi potensial yang berasal dari gaya tarik dan gaya tolak antar atom
dituliskan dengan persamaan
Vr = energi potensial total
a = konstanta tarik menarik
b = konstanta tolak-menolak
r = jarak antar atom
m, n = konstanta karakteristik jenis ikatan dan tipe struktur. Nilai m adalah 1 untuk jenis
ion dan m = 6 untuk jenis molekul. Konstanta n tergantung dari konfigurasi elektron.
Konstanta ini disebut juga eksponen Born. Misal untuk unsur He yang konfigurasi
elektronnya 1s2
, nilaki konstanta n adalah 5. Sedangkan Ne dengan konfigurasi 2s2
2p6
,
19. Pengantar Fisika Zat Padat
14
nilai konstanta n adalah 7. Nilai konstanta n unsur lain dapat diperoleh dari berbagai
referensi.
disebut juga Vtarik yaitu energi potensial yang terkait dengan gaya tarik antar
atom.
disebut juga Vtolak yaitu energi potensial yang terkait dengan gaya tolak antar
atom.
Gambar 3.1: Kurva perubahan energi potensial (V) terhadap jarak antar antar atom (r).
Gambar 3.1 memperlihatkan kurva perubahan energi potensial terhadap jarak antar atom.
Ikatan yang paling stabil antar atom terjadi pada saat energi potensial minimum yaitu pada
posisi ro. Pada saat r lebih besar dari ro, kedua atom saling tarik. Sedangkan pada saat r
lebih kecil dari ro, kedua atom akan saling menolak. Jarak ro dikenal pula dengan istilah
jarak interatomik setimbang. Gaya tarik dan gaya tolak akan saling menghilangkan pada
kedudukan ro yang merupakan keadaan setimbang.
3.2 Ikatan Atom dalam Kristal
Ikatan kristal merupakan ikatan hasil interaksi antara atom, khususnya elektron terluar dari
atom-atom bersangkutan. Seperti telah disebutkan pada bagian 3.1, terbentuknya ikatan
20. Pengantar Fisika Zat Padat
15
atam antar dua atau lebih atom ditentukan oleh keadaan yang dapat menghasilkan nilai
energi potensial yang minimum. Beberapa cara untuk mendapatkan nilai energi potensial
minimum adalah sebagai berikut :
1) Penyesuaian jenis muatan total yang dimiliki masing-masing atom
2) Penyesuaian konfigurasi elektron paling luar dari masing-masing atom
3) Penempatan atom-atom pembentuk kristal menurut susunan orbital atom yang
memiliki keberkalaan dan kesatangkupan dalam ruang tiga dimensi yang berukuran
tidak berhingga.
Ikatan kristal terbagi dua kategori yaitu katagori ikatan utama atau primer dan katagori
ikatan sekunder. Kategori ikatan utama adalah jenis ikatan yang sangat kuat. Ikatan utama
ini terdiri dari tiga macam ikatan yaitu ikatan ionik, ikatan kovalen, dan ikatan logam.
Katagori ikatan sekunder yaitu ikatan hydrogen dan ikatan van der waals. Konfigurasi
yang stabil dari gas mulia menjadi konfigurasi yang cenderung untuk dicapai oleh unsur-
unsur lain dalam membentuk ikatan atom.
3.2.1 Katagori Ikatan Utama
3.2.1.1 Ikatan Ionik
Ikatan ionik terbentuk dari hasil interaksi elektrostatik antara atom/ion yang
memiliki muatan yang berbeda yaitu ion positif dan negatif. Contoh ikatan ionik yaitu
kristal NaCl yang terbentuk dari interaksi elektrostatik antara ion Na+
dengan Cl-
. Kation
(Na+
) bereaksi dengan anion (Cl-
) membentuk Natrium Klorida (NaCl) yang bermuatan
netral. NaCl memiliki kofigurasi elektron yang lebih stabil dibandingkan dengan kedua ion
pembentuknya. Persamaan sederhana reaksi kimianya adalah sebagai berikut:
Na+
+ Cl-
→ NaCl
Ikatan ionik biasanya terjadi antara atom-atom yang mudah melepaskan elektron
(logam-logam golongan utama) dengan atom-atom yang mudah menerima elektron
(terutama golongan VIA den VIIA). Contoh lain ikatan ionik adalah CaCl2, MgBr2, BaO
dan FeS.
3.2.1.2 Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen atau disebut juga ikatan homopolar adalah ikatan yang terbentuk
karena adanya pemakaian bersama pasangan elektron. Terbentuknya ikatan kovalen karena
adanya kecenderungan dari berbagai atom untuk mencari keadaan stabil dimana energi
21. Pengantar Fisika Zat Padat
16
potensialnya paling minimum. Konfigurasi yang paling stabil itu adalah konfigurasi
elektron gas mulia. Oleh sebab itu beberapa atom saling berikatan untuk membentuk
konfigurasi elektron gas mulia.
Contoh paling sederhana adalah ikatan antara dua atom H. Atom H memiliki
konfigurasi elektron 1s1
. Satu elektron dari masing-masing atom H saling berbagi untuk
mendapatkan konfigurasi paling stabil 1s2
seperti diperlihatkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2: Contoh ikatan kovalen pada molekul hidrogen (H2).
Konfigurasi elektron yang dihasilkan setelah terbentuknya ikatan menyebabkan
ikatan kovalen pada suatu molekul atau kristal sangat kuat. Contoh kristal yang terbentuk
dari ikatan kovalen adalah ZnS, GaSh, InAs dan SiC.
3.2.1.3 Ikatan logam
Ikatan logam hampir mirip dengan ikatan valensi. Ikatan logam terbentuk akibat
adanya elektron valensi yang merupakan elektron bebas yang dapat bergerak di seluruh
kristal. Elektron bebas ini dapat bertindak sebagai pengikat antar kation yang berada
berdekatan pada suatu kristal. Namun demikian, ikatan logam ini bukanlah ikatan yang
berarah seperti halanya ikatan kovalen. Ikatan logam merupakan ikatan yang tidak berarah.
Hal ini disebabkan elektron bebas yang bergerak dapat menempati posisi dimanapun pada
kristal. Unsur-unsur pada table periodik pada umumnya adalah logam yang dapat menjadi
molekul yang besar berupa padatan. Bila dua atom logam saling mendekat, maka akan
terjadi tumpah tindih antara orbital-orbitalnya sehingga membentuk suatu orbital molekul.
Semakin banyak atom logam yang saling berinteraksi, maka semakin banyak tumpang
tindih orbital yang akan terjadi.
3.2.2 Katagori Ikatan Sekunder
3.2.2.1 Ikatan Hidrogen
22. Pengantar Fisika Zat Padat
17
Ikatan hidrogen terjadi ketika sebuah atom hidrogen yang memiliki satu buah
elektron berikatan dengan atom lain seperti atom N, O, atau F yang mempunyai pasangan
elektron bebas. Hidrogen dan atom N atau O atau F akan berinteraksi membentuk suatu
ikatan hidrogen dengan besar energi ikatan sekitar 0,1 eV. Kekuatan ikatan hidrogen ini
dipengaruhi oleh perbedaan elektronegativitas antara atom-atom dalam molekul tersebut.
Semakin besar perbedaannya, semakin besar ikatan hidrogen yang terbentuk. Pada air
(H2O), terjadi dua ikatan hidrogen pada tiap molekulnya. Akibatnya jumlah total ikatan
hidrogennya lebih besar daripada asam florida (HF).
3.2.2.2 Ikatan Van Der Waals
Atom-atom gas mulia (He, Ne, Ar, Kr, Xe) dapat membentuk suatu ikatan kristal
lemah. Ikatan kristal tersebut terjadi akibat adanya interaksi elektrostatis anatara dipole-
dipole listrik yang muncul karena adanya distorsi yang sangat kecil pada distribusi
elektronnya. Interaksi antar dipole inilah yang menghasilkan gaya tarik-menarik antar atom
gas mulia yang disebut gaya Van der waals. Gaya ini sangat lemah, namun demikian,
keberadaan gaya ini menyebabkan munculnya ikatan atom yang disebut ikatan Van der
waals. Selain pada gas mulia, ikatan ini juga ditemukan pada beberapa ikatan molekul
organic.
23. Pengantar Fisika Zat Padat
18
BAB 4
KAPASITAS PANAS
4.1 Getaran Termal Kristal dan Kuantitas Energinya
Pada Bab 2, telah dibahas bahwa kristal tersusun oleh basis atom-atom yang “diam”
pada posisinya di titik kisi. Sesungguhnya, diatas suhu mutlak 0 K, atom-atom dan kisi
tersebut tidaklah diam, tetapi bergetar pada posisi kesetimbangannya. Getaran atom-atom
dan kisi diatas suhu mutlak tersebut adalah sebagai akibat dari energi termal yang dimiliki
atom-atom terkait dengan gejala termal. Sifat termal kristal tersebut di dekati secara teori
melalui studi tentang kapasitas panas zat padat pada volume tetap (CV). Nilai CV sebagai
fungsi dari suhu dianalisis dan dijelaskan dengan berbagai eksperimen, teori dan model.
Kapasitas panas suatu zat padat dapat dirumuskan sebagai perubahan energi terhadap
suhu yang dapat dituliskan dengan persamaan :
Analisis nilai Cv berdasarkan kuantitas dari energinya pertama kali dikemukan oleh
Dulong dan Petit tahun 1819. Dulong dan Petit meninjau getaran atom-atom dan kisi zat
padat sebagai osilator harmonik. Satu getaran atom dan kisi identik dengan sebuah osilator
harmonik. Osilator harmonik merupakan suatu konsep dalam mekanika klasik yang
menggambarkan sebuah massa m yang terkait pada sebuah pegas dengan tetapan pegas k.
Untuk osilator harmonik satu-dimensi, energinya dapat dirumuskan :
Energi rata-rata untuk setiap energi pada kaidah klasik dirumuskan sebagai sehinga
energi total rata-ratanya menjadi
=
dengan kB adalah tetapan Boltzmann dan T adalah suhu osilator. Selanjutnya, karena atom-
atom dalam kristal membentuk susunan tiga-dimensi, maka setiap kilomol kristal mamiliki
NA atom yang berosilasi dalam tiga-dimensi, sehingga energi dalamnya adalah sebagai
berikut
24. Pengantar Fisika Zat Padat
19
R adalah konstanta gas yang berasal dari . Dengan demikian kapasitas panasnya
adalah :
Hasil ini menunjukkan bahwa kapasitas panas zat padat tidak bergantung pada suhu dan
berharga 3R. Jika hasil ini dibandingkan dengan hasil percobaan, dapat diketahui bahwa
nilai 3R untuk kapasitas panas zat padat, hanya berlaku untuk suhu tinggi. Sedangkan
untuk suhu rendah, hasi percobaan menunjukkan adanya kebergantungan nilai kapasitas
panas terhadap suhu. Beberapa teori dan model kemudian muncul untuk menjelaskan
kebergantungan nilai Cv terhadap suhu padaa suhu rendah.
4.2 Kapasitas Panas Menurut Einstein
Einstein pada tahun 1907 mengemukakan teori tentang kapasitas panas dengan
menganggap getaran atom-atom dan kisi dalam kristal sebagai osilator-osilator bebas yang
bergetar tanpa saling mempengaruhi. Energi masing-masing osilator dirumuskan sebagai
energi diskrit . En adalah energi osilator, n adalah bilangan bulat 0,
1, 2, 3 dan seterusnya, h adalah tetapan planck dan adalah frekuensi sudut dari setiap
osilator. Pada tingkat dasar n = 0, energi osilator E0 = 0. Tingkat berikutnya n = 1, 2 dan
seterusnya. Sesuai dengan persamaan energi diskrit diatas, perbedaan energi antar tingkat
adalah hω. Einstein merumuskan bahwa sebaran energi osilator mengikuti rumusan
distribusi Boltzman. Sebaran energi osilator untuk harga energi yang diperkenankan
dirumuskan sebagai berikut :
Persamaan diatas menyatakan kebolehjadian keadaan dimana energinya dapat ditempati.
Pada keseimbangan termal, energi rata-rata osilator dengan menggunakan sebaran
distribusi Boltzman dinyatakan oleh :
25. Pengantar Fisika Zat Padat
20
Selanjutnya, untuk satu mol osilator tiga-dimensi memiliki energi dalam :
Dengan menggunakan persamaan untuk kapasitas panas Sehingga kapasitas panasnya :
Sehingga
Dalam model Einstein, didefinisikan suhu karakteristik Einstein ( ) yang
dirumuskan sebagai , sehingga persamaan dapat dituliskan kembali menjadi
Nilai menurut persamaan ini dirumuskan sebagai fungsi dari suhu. Hal ini akan
menghasilkan kurva yang secara kualitatif mendekati kurva eksperimen dalam Gambar 4.1.
Untuk suhu yang sangat tinggi, atau maka . Hasil pada suhu
tinggi sesuai dengan rumusan klasik Dulong-Petit dan sesuai pula dengan hasil percobaan.
Untuk maka . Hasil percobaan untuk suhu mendekati 0, menghasilkan nilai
kapasitas panas yang mendekati 0 pula.
Untuk T yang rendah, , maka
26. Pengantar Fisika Zat Padat
21
Perhitungan nilai untuk suhu rendah ini tidak menghasilkan data yang sama dengan
hasil percobaan. Hal ini menunjukkan model perumusan menurut Einstein masih perlu
perbaikan konsep.
Gambar 3.1 Kapasitas panas berdasarkan model Einstein (garis putus-putus). Titik-titik
bulat merupakan data percobaan nilai kapasitas panas untuk intan (diamond) [A. Einstein,
Ann. Physik 22, 180 (1907)]
4.3 Kapasitas Panas Menurut Debye
Dalam model Einstein, atom-atom dianggap bergetar secara independen dari atom di
sekitarnya. Debye kemudian merumuskan bahwa gerakan atom sebenarnya tidaklah
independen melainkan saling berinteraksi satu atom dengan atom lainnya. Interaksi antar
atom tersebut diibaratkan sebagai gelombang mekanik yang menjalar dalam medium zat
padat sehingga dengan anggapan tersebut, atom-atom akan bergerak secara kolektif.
Frekuensi getaran atom dianggap bervariasi dari ω = 0 sampai dengan batas tertentu yaitu
ω= ωD. Batas frekuensi ωD disebut frekuensi potong Debye. Anggapan ini mengubah
persamaan dasar Cv menjadi mode osilasi yang kapasitas panas bergantung pada frekuensi
yang tersebar antara ω = 0 sampai ω= ωD.
Energi total getaran atom pada kisi menurut model Debye ini diberikan oleh ungkapan :
adalah energi rata-rata osilator yang merupakan fungsi dari frekuensi dalam
selang antara ω = 0 dan ω = ωD, g(ω) adalah kerapatan moda getar (density of state) yang
memenuhi persamaan
27. Pengantar Fisika Zat Padat
22
Jika kerapatan moda getar berupa gelombang yang merambat dalam dua arah, maka
rapat moda getar per satuan volume bahan untuk setiap selang frekuensi adalah
v merupakan kecepatan fasa dari gelombang yang dapat dijabarkan dengan
kecepatan logitudinal (vL) dan kecepatan transversal (vT), sehingga rapat moda getar per
satuan volume bahan untuk setiap selang frequensi adalah
Sehingga
Jika kedua ruas dikali dengan , maka
Jadi bentuk baru dari adalah
,
sehingga dapat pula dituliskan
dengan mendefinisikan energi rata-rata osilator adalah
Energi total menjadi
28. Pengantar Fisika Zat Padat
23
Kapasitas panas dengan rumusan Debye ini dituliskan
Dengan memisalkan dan yang disebut juga suhu Debye, maka
Pada suhu tinggi yaitu T , , sehingga
=
Dengan penyederhanaan persamaan tersebut maka nilai kapasitas panas adalah
yang sesuai dengan model klasik Dulong-Petit maupun Einstein pada suhu tinggi.
Pada suhu rendah (T ), akan mendekati tak hingga sehingga
. Hasil ini sangat cocok dengan hasil percobaan baik untuk Cu, Ag, Pb, C maupun
material lain yang diujicobakan.
4.4 Perambatan Gelombang dalam Kristal dan Konsep Fonon
Seperti telah dijelaskan pada Bagian 4.3 bahwa model dan teori yang dikemukakan
oleh Debye tentang kapasitas panas suatu zat padat menghasilkan nilai yang sesuai dengan
hasil percobaan. Model yang dikembangkan oleh Debye terutama menyangkut pada
getaran termal atom-atom dalam kristal merupakan getaran kolektif yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya. Sebaran energi yang digunakan untuk
29. Pengantar Fisika Zat Padat
24
menganalisis getaran kolektif tersebut dihitung dengan menggunakan distribusi Bose-
Einstein. Konsep kapasitas panas pada suatu zat padat atau kristal yang dikemukakan pada
Bagian 4.1 sampai 4.3 ini lebih menonjolkan pada konsep getaran atau energi yang
bersumber dari kalor atau panas (suhu) yang tersimpan dalam kristal. Konsep getaran kisi
pada kristal dapat pula disebabkan oleh hal lain seperti gelombang elektromagnetik
ataupun gelombang suara. Namun demikian konsep getaran kisi pada kristal baik yang
disebabkan panas (getaran termal) ataupun sebab lain adalah sama. Konsep-konsep getaran
ini dapat menyebabkan terjadinya perambatan getaran yang digambarkan sebagai
perambatan gelombang dalam kristal. Getaran kisi dan perambatannya dalam kristal
memunculkan suatu istilah baru yaitu fonon.
Fonon adalah suatu paket energi yang menggambarkan pergerakan dari getaran
(perambatan gelombang) dari suatu kisi yang bergetar dengan frekuensi yang sama yang
ditinjau dari sudut pandang mekanika kuantum. Seperti telah diketahui, pada mekanika
klasik, perambatan getaran dengan frekuensi yang sama hanya dipandang sebagai peristiwa
perambatan gelombang biasa. Namun pada tinjauan mekanika kuantum, perambatan
getaran biasa dipandang memiliki dualisme sifat yaitu gelombang (wave-like) dan partikel
(particle-like). particle-like inilah yang merupakan inti darikonsep fonon. Bila
dihubungkan dengan model Debye, energi fonon ini terkuantisasi dalam bentuk
Dalam hal ini dapat dibayangkan bahwa rambatan gelombang mekanik atau
gelombang suara identik sengan adanya aliran arus fonon yang membawa energi dan
momentum dalam jumlah tertentu.
Jika membahas masalah perambatan fonon, akan sangat mudah membayangkan
fonon sebagai suatu gas pada suatu ruang tertentu. Pada setiap daerah dalam ruang selalu
terdapat fonon yang bergerak acak ke segala arah. Penggunaan model gas ini
memungkinkan munculnya lintasan bebas rata-rata fonon dan tumbukkan antar fonon.
30. Pengantar Fisika Zat Padat
25
BAB 5
ELEKTRON BEBAS
Seperti telah dijelaskan pada Bab 2, sebuah kristal tersusun dari kisi dan basis yang
merupakan atom baik berupa atom tunggal ataupun molekul. Secara umum setiap jenis
atom mengandung elektron-elektron yang mengelilingi sebuah inti seperti yang dijelaskan
dalam model atom Bohr. Elektron-elektron tersebut dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu
elektron yang terikat erat pada ikatan atom-atom dan elektron bebas yang lebih dikenal
dengan nama elektron valensi. Elektron bebas ini dapat bergerak secara bebas di seluruh
kristal. Elektron yang bebas bergerak tersebut dinamakan elektron bebas. Sedangkan
elektron yang tidak dapat bergerak bebas, yaitu elektron yang terikat dalam atom maupun
ikatan antar atom disebut elektron terikat atau elektron domestik.
Keberadaan elektron bebas pada sebuah kristal menjadi salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan pada perhitungan kapasitas panas suatu zat padat. Teori-teori kapasitas
panas yang dibahas pada Bab 4 sesungguhnya membahas kapasitas panas zat padat yang
tergolong non logam dimana elektron-elektron yang menyusun atom-atomnya secara
umum tergolong ke dalam elektron domestik. Untuk golongan zat padat yang digolongkan
sebagai logam dimana elektron bebas sangat dominan sebagai penyusun kristal tersebut,
teori perhitungan kapasitas panasnya harus dirumuskan ulang dengan mempertimbangkan
keberadaan elektron bebas tersebut.
Seperti halnya pada pembahasan kapasitas panas pada Bab 4, keberadaan elektron
bebas yang mempengaruhi berbagai sifat suatu kristal akan ditinjau berdasarkan teori
klasik yang disebut elektron bebas klasik dan teori kuantum yang disebut elektron bebas
terkuantisasi.
5.1 Elektron Bebas Klasik
Besarnya kapasitas panas pada suhu tinggi atau suhu ruang yagn diungkapkan baik oleh
Dulong-Petit, Einstein maupun oleh Debye adalah Cv = 3R. Asumsi yang digunakan untuk
mendapatkan persamaan tersebut adalah bahwa getaran kisi dalam suatu krisal memiliki
energi termal tertentu. Paket energi dari getaran kisi yang terkuantisasi dikenal dengan
nama fonon. Nilai Cv yang dijabarkan oleh Dulong-Petit, Einstein dan Debye tersebut
31. Pengantar Fisika Zat Padat
26
sebenarnya belum memasukkan nilai energi termal yang tersimpan dalam gerak termal
elektron bebas. Atau dengan kata lain Cv tersebut hanya memperhitungkan kehadiran
fonon sehingga kapasitas panas logam dengan memperhitungkan kehadiran elektron dan
fonon dapat ditulis sebagai berikut :
Cv yang berasal dari kontribusi fonon pada suhu tinggi adalah .
Sedangkan Cv yang berasal dari kontribusi elektron dapat dijabarkan dari energi rata-rata
elektron pada suhu T dengan jumlah elektron valensi yang disumbangkan oleh satu atom
pada kristal dilambangkan oleh dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:
dapat dirumuskan sebagai berikut .
Sehingga Cv yang berasal dari kontribusi fonon dan elektron adalah
Nilai Cv tersebut menunjukkan bahwa kapasitas panas suatu kristal yang memiliki elektron
bebas (yang dapat dikatagorikan sebagai logam) 50 % lebih tinggi dari kristal yang tidak
memiliki elektron bebas (yang dapat dikatagorikan sebagai isolator). Pada kenyataanya,
pada suhu tinggi atau suhu ruang, kapasitas panas suatu logam tidaklah berharga satu
setengah kali dari harga kapasitas panas bahan isolator melainkan hampir sama berharga
3R. Hal ini menunjukkan bahwa kajian kapasitas panas klasik tersebut belum tepat
menggambarkan kontribusi dari elektron bebas terhadap kapasitas panas suatu logam.
5.2 Elektron Terkuantisasi
Untuk menjelaskan fenomena fisika khususnya konsep kapasitas panas yang
dihubungkan dengan keberadaan elektron bebas dalam kristal, konsep fisika kuantum
sangat diperlukan dijabarkan secara jelas dan terperinci. Dua konsep kuantum yang sangat
penting dalam pembahasan elektron bebas dalam suatu kristal atau zat padat adalah konsep
kuantisasi energi elektron bebas dan konsep larangan pauli yang dapat membedakan satu
jenis elektron dengan elektron lainnya berdasarkan bilangan kuantum yang melekat pada
setiap elektron tersebut.
32. Pengantar Fisika Zat Padat
27
Elektron bebas yang secara kuantum dipandang memiliki sifat dualistic sebagai benda
dan gelombang dapat bebas bergerak dalam seluruh volume kristal sebagai gelombang
deBroglie. Syarat batas Born-von Karmann yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
L adalah rusuk kristal dan kx, ky, kz adalah vektor propagasi gelombang pada arah x, y
dan z. Masing-masing vektor propagasi tersebut dapat dijabarkan sebagai:
, , , dengan adalah bilangan 0,
Energi elektron dalam ruang k dapat dituliskan sebagai:
adalah massa elektron bebas.
Jumlah keadaan elektron persatuan volume dengan energi antara E dan (E + E) adalah
Jadi rapat keadaan elektron adalah
Konsep rapat elektron ini adalah salah satu konsep penting ketika akan merumuskan
kapasitas panas yang berasal dari kontribusi elektron bebas.
Larangan Pauli
Larangan Pauli menyatakan bahwa tidak ada dua atau lebih elektron dalam satu sistem
memiliki energi dan bilangan kuantum yang tepat sama. Larangan Pauli dapat dijabarkan
dengan tepat oleh statistic Fermi Dirac yaitu
33. Pengantar Fisika Zat Padat
28
Statistik Fermi Dirac ini memunculkan konsep energi Fermi yang merupakan jumlah
energi yang dimiliki suatu kristal pada keadaan 0 K.
Pada T = 0 K, f (E) = 1. Sedangkan pada T selain 0, nilai dapat ditutunkan dari persamaan
di atas.
Jumlah elektron per satuan volume pada T = 0 dituliskan sebagai
Energi total yang dimiliki elektron pada T = 0 dapat dituliskan sebagai
Karena
Maka
Dengan mensubstitusikan nilai maka akan diperoleh
Dari persamaan tersebut dapat terlihat bahan elektron dengan harga energi sekitar EF dapat
berperan pada analisis . Dalam analisis selanjutnya perlu tinjauan lebih detail
tentang fungsi Fermi-Dirac tentang energi. Hal ini disebabkan dalam bahasan energi
kinetik elektron bebas fungsi Fermi Dirac terdapat dalam persamaan energi kinetik yang
dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:
34. Pengantar Fisika Zat Padat
29
Pada suhu rendah
Dengan memisalkan maka persamaan kapasitas panas hasil kontribusi elektron
bebas dapat disederhanakan menjadi
=
Sehingga
5.3 Perilaku Elektron Bebas dalam Logam
Walaupun model elektron bebas klasik tidak dapat merumuskan dengan benar konsep
kapasitas panas, namun model ini berhasil menjelaskan pengaruh keberadaan elektron
bebas tersebut terhadap sifat listrik seperti nilai tahanan jenis listrik (konduktivias termal)
dari bahan yang memiliki elektron bebas di dalam kristal pembentuknya.
Elektron bebas yang bergerak sepanjang sebuah bahan yang memiliki panjang L dan
luas penampang A akan memunculkan konsep arus listrik (I). Dalam bahan yang mengalir
alru listrik akan timbul medan listrik E. Arus listik yang mengalir dalam suatu penampang
tersebut memunculkan nilai kerapatan yang dituliskan sebagai
Hukum Ohm yang menyatakan memperlihatkan hubungan antara kerapatan arus listrik
dengan medan listrik yang timbul dituliskan dalam bentuk persamaan:
35. Pengantar Fisika Zat Padat
30
adalah besaran yang menunjukkan konduktivitas dari bahan. Besarnya konduktivitas
adalah berbanding terbalik dengan nilai hambatan (resistivitas) : .
Nilai hambatan suatu bahan sangat ditentukan geometri dari bahan itu sendiri.
Resistivitas merupakan besaran pembanding antara nilai resistansi dengan faktor geometri
dari suatu bahan.
Resistivitas Listrik
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa resistivitas listrik
berbanding terbalik dengan nilai konduktivitasnya. Hambatan yang memunculkan nilai
resistivitas dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama adanya vibrasi kisi yang
menyebabkan tumbukan antara elekton bebas dengan fonon, kedua adanya ketidakmurnian
(impuritas). Jadi nilai resistivitas dapat dituliskan sebagai penjumlahan antara kedua
komponen tersebut. = f + i
Pada suhu rendah (T<<) nilai resistivitas hanya bergantung pada nilai impuritas bahan.
Gambar 5.1 memperlihatkan grafik ketergantungan nilai resistivitas terhadap suhu
untuk bahan logam dengan tingkat ketidakmurnian tertentu. Resistivitas menurun seiring
dengan menurunnya suhu yang menunjukkan kontribusi dari fonon juga menurun. Pada
suhu 0 K, hanya kontribusi dari ketidakmurnian yang berpengeruh pada nilai resistivitas.
Gambar 5.1: Grafik ketergantungan nilai resistivitas terhadap suhu untuk bahan logam
dengan tingkat ketidakmurnian tertentu.
36. Pengantar Fisika Zat Padat
31
BAB 6
TEORI PITA ENERGI
Model elektron bebas yang dijelaskan pada Bab 5, dapat memberikan penjelasan
yang baik terhadap kapasitas panas dan hambatan listrik bahan logam. Namun demikian,
seiring dengan perkembangan teknologi dan penemuan berbagai bahan yang memiliki sifat
listrik yang berbeda-beda, model ini tidak memberikan penjelasan yang jelas terhadap
berbagai hasil percobaan seperti perbedaan besar konduktivitas atau resistivitas pada logam
(konduktor), semikonduktor dan isolator. Nilai konduktivitas bahan berada pada rentang
108
-1
m-1
untuk jenis konduktor sampai dengan 10-16
-1
m-1
untuk bahan isolator.
Rentang yang cukup lebar dari nilai resisivitas ini perlu dikaji lebih detail dan tidak bisa
diterangkan hanya dengan model elektron bebas seperti pada Bab 5. Pada bab ini akan
dibahas beberapa keadaan elektron dalam kristal yang dapat menjelaskan berbagai keadaan
zat padat. Model atau teori yang paling cocok untuk menjelaskan rentang yang cukup lebar
dari nilai resistivitas bahan disebut teori pita energi.
6.1 Konsep Pita Energi
Hal yang paling sederhana yang menyebabkan model elektron bebas tidak dapat
menjelaskan rentang yang lebar dari nilai resistivitas bahan adalah dikarenakan
penyederhanaan tentang keadaan atom/kristal beserta perilaku elektron valensi. Menurut
model elektron bebas, atom/kristal tidak memiliki energi potensial yang dapat menghalangi
pergerakan elektron valensi sehingga elektron valensi ini bebas bergerak dalam kristal dan
hanya dibatasi oleh permukaan kristal itu sendiri. Tetapi pada kenyaataannya, energi
potensial pada suatu atom/kristal merupakan fungsi posisi elektron yang dapat bernilai 0
sampai dengan tak hingga tergantung dari jenis bahannya. Artinya, nilai energi potensial
ini bergantung pada posisi elektron tersebut di dalam kristal diukur relatif terhadap inti
atom. Di samping itu, energi potensial itu juga mungkin timbul akibat adanya elektron-
elektron konduksi lainnya di dalam kristal itu. Jadi keadaan energi potensial yang
sebenarnya di dalam kristal adalah sangat komplek. Oleh karena itu, beberapa pendekatan
dilakukan untuk menjelaskan perilaku dan keadaan elektron bebas dalam kristal.
Salah satu pendekatan untuk menjelaskan perilaku dan keadaan elektron bebas
dalam kristal itu adalah bahwa energi potensial dari atom-atom dalam kristal merupakan
fungsi yang periodik dengan perioda sebesar konstanta tertentu. Asumsi ini juga
37. Pengantar Fisika Zat Padat
32
menganggap bahwa energi potensial akibat elektron-elektron lainnya dalam kristal selain
elektron valensi adalah konstan. Energi potensial yang periodik itu merupakan landasan
dari teori pita energi dalam zat padat. Selanjutnya, perilaku elektron di dalam potensial ini
dijelaskan menjabarkan fungsi gelombang elektron dengan menggunakan pendekatan satu
elektron. Fungsi gelombang ini mengambarkan kemungkinan gerak elektron di dalam
energi potensial listrik periodik tertentu yang kemudian dapat secara langsung diketahui
daerah-daerah yang dapat diduduki oleh elektron dan yang dilarang untuk diduduki oleh
elektron ini. Daerah-daerah tersebut kemudian digambarkan sebagai pita-pita energi dan
celah energi yang masing-masing menggambarkan daerah yang dapat diduduki dan tidak
dapat diduduki oleh elektron.
Untuk memahami teori dan konsep pita energi, perlu dipelajari teorema dan fungsi
Bloch, model Kronig-Penney dan model elektron hampir bebas.
6.2 Teorema dan Fungsi Bloch
Salah satu bagian penting dari teori pita energi yang dapat menyempurnakan bahasan
perilaku elektron dalam kristal adalah munculnya besaran energi potensial yang dapat
membatasi pergerakan dari elektron. Felix Bloch adalah ilmuwan swiss yang mencetuskan
gagasan adanya potensial periodik dan memodifikasi fungsi gelombang elektron bebas
dengan fungsi potensial periodik tersebut. Bloch menyelesaikan persamaan gelombang
Schrodinger dengan memasukkan syarat bagi fungsi potensial U( yang memiliki sifat
periodik seperti yang terdapat dalam kristal.
Persamaan Schrodinger untuk elektron yang bergerak dalam energi potensial yang
nilainya tetap (U0) dan satu dimensi dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut:
2
Sedangkan jika terdapat potensial periodik U( seperti yang digagas Bloch, maka bentuk
persamaan Schrodinger untuk satu elektron yang berada dalam potensial periodik tersebut
pada arah adalah sebagai berikut:
2
2
38. Pengantar Fisika Zat Padat
33
Bloch menunjukkan bahwa solusi persamaan Schrodinger adalah fungsi gelombang yang
memiliki periodisitas kisi yang dituliskan sebagai berikut:
fungsi gelombang tersebut dinamakan fungsi Bloch. Fungsi tersebut harus memenuhi
syarat batas periodik yaitu:
dan
Dengan a adalah vektor translasi kisi. Ini berarti fungsi gelombang harus sama pada
titik-titik yang secara fisis adalah ekivalen dalam kisi kristal. Faktor dalam fungsi
Bloch adalah merupakan bentuk persamaan gelombang datar, dengan k adalah vektor
gelombang.
6.3 Model Kronig - Penney
Kronig- Penney memperkenalkan model sumur potensial kotak yang merupakan
potensial periodik yang dapat menyelesaikan persamaan Schrodinger dalam satu dimensi
berikut:
Gambar 6.1 Model sumur potensial kotak yang digagas oleh Kronig-Penney [Kittel, C., 2005,
Introduction to Solid State Physics, John Wiley and Sons, Inc, 8th
edition, pp 168]
39. Pengantar Fisika Zat Padat
34
Sumur potensial persegi dengan Uo = 0 memiliki lebar a, dipisahkan oleh penghalang
energi yang lebarnya b dan tinggi Uo. Luas penghalang b Uo, berubah dari tak berhngga
sampai nol. Sebagian dari fungsi gelombang bergetar dalam kolam dan meluruh secara
eksponensial dalam penghalang.
Persamaan Schrodinger umum dapat dibagi menjadi dua bagian:
2
Untuk daerah 0 < x < a
2
Untuk daerah -b < x< 0
2
Kedua persamaan di dua daerah tersebut berulang secara periodik diseluruh x. Untuk
memudahkan penulisan, dua buah besaran rill yang memiliki dimensi vektor gelombang di
lambangkan oleh dan sebagai berikut:
2
2
Sehingga persamaan Schrodinger untuk dua daerah pada sumur potensial tersebut adalah
sebagai berikut:
Untuk daerah 0 < x < a
Untuk daerah -b < x< 0
40. Pengantar Fisika Zat Padat
35
Bentuk penyelesaian dari persamaan ini adalah sebagai berikut:
Untuk daerah 0 < x < a
Untuk daerah -b < x< 0
Selanjutnya, dengan membuat asumsi penyederhanaan dan b sehingga hasil
kali dari Uob menjadi tertentu dan dapat disesuaikan dan periodisitas kisi menjadi a.
Dengan menggunakan syarat batas berikut :
Maka diperoleh
Pada x = a, maka dapat dirumuskan persamaan pada batas sumur potensial a dan –b
sebagai berikut:
Sehingga dapat dutuliskan kembali
Dengan penyederhanaan kasus , b dan >> , b << 1 serta
diperoleh bentuk persamaan:
41. Pengantar Fisika Zat Padat
36
Dengan dapat digambarkan bentuk grafik untuk menggambarkan persamaan
tersebut sebagai berikut:
Gambar 6.2 Grafik fungsi persamaan
dari model sumur potensial kotak
yang digagas oleh Kronig-Penney [Kittel, C., 2005, Introduction to Solid State Physics, John
Wiley and Sons, Inc, 8th
edition, pp 170]
Nilai dari cos ka yang dapat diselesaikan adalah , sehingga persamaaan untuk
grafik yang memiliki niai lebih dari 1 atau kurang dari -1, maka grafik tersebut tidak akan
memiliki bentuk penyelesaian. Dengan kata lain daerah pada Gambar 6.2 yang berada
diatas 1 atau di bawah -1 adalah daerah terlarang yang kemudian disebut sebagai band gap.
Sedangkan daerah diantara 1 dan -1 adalah daerah yang diperbolehkan terdapat elektron
didalamnya.
6.4 Model Elektron Hampir Bebas
Struktur pita energi pada kristal biasanya digambarkan oleh model elektron hampir
bebas. Model ini menggambarkan bahwa didalam kristal terdapat potensial periodik yang
sangat lemah yang berasal dari ion pusat. Berbeda dengan model elektron bebas yang
menganggap tidak terdapat potensial periodik dalam kristal, keberadaan potensial periodic
lemah pada model elektron hampir bebas ini, dapat menggambarkan hampir seluruh
perilaku elektron dalam logam.
Keberadaan energi gap pada kristal menyebabkan munculnya propagasi gelombang yang
menghasilkan orde persamaan gelombang yang memperbolehkan elektron berada.
a
42. Pengantar Fisika Zat Padat
37
Gambar 6.3 memperlihatkan perbedaan grafik antara model elektron bebas dan model
elektron hampir bebas yang memunculkan dua pita gelombang hasil dari propagasi
gelombang pada kristal.
Gambar 6.3 Grafik fungsi persamaan gelombang terhadap energi untuk model elektron bebas (a)
dan model elektron hampir bebas (b) [Kittel, C., 2005, Introduction to Solid State Physics,
John Wiley and Sons, Inc, 8th
edition, pp 164].
Daerah diantara dan dinamakan daerah Brillouin pertama pada kisi kristal.
Penggambaran daerah daerah Brillouin dan daerah daerah propagasi menghasilkan daerah-
daerah yang dilarang dan diperbolehkan pada kristal. Perbedaan lebar daerah daerah yag
dilarang untuk ditempati elektron (energi gap) ini menghasilkan pengelompokkan kristal
menjadi bahan konduktor, semikonduktor dan isolator.Bahan dengan kelompok konduktor
tidak memiliki energi gap atau memiliki energi gap yang kecil sekali sehingga nilai
konduktivitasnya dapat lebih besar dari ≥ 105
ohm-1
m-1
. Untuk bahan semikonduktor,
besarnya energi gap sekitar 1 eV dengan nilai konduktivitas adalah 10-5
ohm-1
m-1
≥ σ ≥ 105
ohm-1
m-1
. Untuk bahan isolator, besarnya energi gap sekitar 6 eV dengan nilai
konduktivitas adalah lebih kecil dari 10-5
ohm-1
m-1
.
43. Pengantar Fisika Zat Padat
38
BAB 7
BAHAN SEMIKONDUKTOR
Semikonduktor merupakan bahan yang memiliki nilai konduktivitas antara 10-5
ohm-1
m-1
sampai dengan sekitar 105
ohm-1
m-1
. Terdapat dua jenis tipe semikonduktor
yaitu semikonduktor intrinsik dan semikonduktor ekstrinsik. Semikonduktor intrinsik
merupakan semikonduktor murni tanpa atom pengotor, sedangkan semikonduktor
ekstrinsik merupakan semikonduktor yang telah diberi atom pengotor. Pemberian
atom pengotor pada semikonduktor dapat menyebabkan munculnya dominasi muatan
pembawa. Bila konsentrasi elektron lebih banyak dari konsentrasi hole maka akan
terbentuk semikonduktor tipe-n demikian pula sebaliknya bila hole lebih banyak dari
elektron maka akan terbentuk semikonduktor tipe-p.
7.1 Material Semikonduktor
Seperti telah dijelaskan pada Bab 6, teori pita energi dengan jelas dapat
menunjukkan perbedaan antara isolator, semikonduktor, dan konduktor yaitu dengan
menggambarkan tingkat-tingkat energi dalam bentuk pita energi untuk elektron-elektron
dalam bahan-bahan tersebut. Gambar 7.1 memperlihatkan pita energi untuk isolator,
semikonduktor dan konduktor. Perbedaan jarak celah energi (energi gap) antara ketiga
jenis bahan ini menyebabkan nilai konduktivitas masing-masing bahan memiliki rentang
yang berbeda.
Gambar 7. 1 Pita energi untuk isolator, semikonduktor, dan konduktor.
44. Pengantar Fisika Zat Padat
39
Bahan semikonduktor yang pertama kali dikaji adalah Germanium. Bahan ini
termasuk ke dalam golongan IVA. Selain Germanium, bahan semikonduktor lain yang
banyak diteliti untuk bahan baku pembuatan divais elektronik maupun optoelektronik
adalah Silikon yang juga merupakan bahan golongan IVA. Bahan Silikon ini lebih banyak
digunakan dari pada bahan Germanium disebabkan bahan Silikon cukup melimpah di
alam dengan harga relatif murah.
Bahan lain yang dikembangkan selain Germanium dan Silikon adalah bahan-bahan
paduan baik paduan dua unsur (binary) maupun paduan tiga unsur (ternary). Contoh bahan
semikonduktor yang merupakan paduan dari dua unsur adalah ZnO, GaN, AlN, InN,
GaAs, GaSb, sedangkan contoh bahan semikonduktor yang merupakan paduan dari tiga
unsur adalah AlGaN, AlGaSb, GaNAs. Bahan-bahan tersebut masing-masing memiliki
ciri khas dan keunikan tersendiri jika ditinjau sifat listrik atau sifat optiknya.
7.2 Tipe Semikonduktor
Berdasarkan pergerakan pembawa muatan dalam semikonduktor terdapat dua jenis
semikonduktor yaitu:
1. Semikonduktor instrinsik
2. Semikonuktor ekstrinsik
7.2.1 Semikonduktor Instrinsik
Semikonduktor instrinsik adalah bahan yang memiliki konduktivitas tertentu tanpa
harus diberi pengotor (impuritas) dari luar. Pemberian energi luar misalnya energi termal
pada tingkat tertentu dapat menyebabkan ikatan kovalen elektron dalam pita valensi
terputus sehingga elektron dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Energi
minimum yang diperlukan untuk memutuskan ikatan kovalen pada pita valensi, setara
dengan besarnya energi gap dari bahan tersebut. Sebagai contoh, energi gap semikonduktor
instrinsik Silokon memiliki energi gap sebesar 1.1 eV, Sedangkan Ge dan Se masing
masing memiliki energi gap sebesar 0.7 eV dan 0.1 eV. Ketiga unsur dalam golongan IV
tersebut yaitu Si, Ge, dan Sn merupakan unsur-unsur yang bersifat semikonduktor dan
memiliki struktur kristal yang sama. Selain tiga unsur golongan IV tersebut, terdapat
pula senyawa campuran golongan III ( B, Al, Ga, In) dengan golongan V (N, P, As, Sb)
yang termasuk tipe semikonduktor instrinsik misalnya AlSb, GaN dan InAs.
45. Pengantar Fisika Zat Padat
40
Gambar 7.2 Gambaran ikatan kovalen dan posisi elektron pada semikonduktor instrinsik Si beserta
gambaran pita energi pada keadaan tidak mendapat energi dari luar (T = 0 K)
Gambar 7.3 Gambaran ikatan kovalen dan posisi elektron bebas pada semikonduktor instrinsik Si
beserta gambaran pita energi pada keadaan setelah mendapat energi dari luar (T > 0 K)
46. Pengantar Fisika Zat Padat
41
Gambar 7.2 dan 7.3 memperlihatkan gambaran ikatan kovalen dan posisi elektron pada
keadaan sebelum dan sesudah mendapatkan energi dari luar yang dalam hal ini adalah
energi termal. Ikatan kovalen akan terputus jika bahan semikonduktor Si diberi energi dari
luar berupa energi termal. Putusnya salah satu ikatan kovalen ini menyebabkan munculnya
elektron bebas dalam bahan. Dalam gambaran pita energi, pemberian energi termal
menyebabkan elektron pada pita valensi memperoleh energi untuk dapat melewati celah
terlarang menuju pita konduksi.
7.2.2 Semikonduktor Ekstrinsik
Semikonduktor ekstrinsik adalah jenis semikonduktor yang sifat-sifat fisisnya
muncul karena pengaruh pengotor (dopan). Kehadiran dopan dalam jumlah tertentu
menyebabkan jumlah pembawamuatan berubah sehingga mempengaruhi konduktivitas
(pergerakan elektron) secara keseluruhan pada bahan. Pemberian dopan juga dapat
menyebabkan munculnya tingkat energi baru dalam energi gap. Perubahan tingkat
energi ini dapat digolongkan menjadi dua bagian tingkat energi yaitu tingkat
akseptor dan tingkat donor. Tingkat akseptor merupakan tingkat energi yang muncul
di ujung atas tingkat valensi, s edangkan tingkat donor merupakan tingkat energi yang
muncul di ujung bawah pita konduksi. Munculnya dua bagian tingkat energi ini
memunculkan dua tipe semikonduktor ekstrinsik yaitu semikonduktor tipe P dan tipe N.
Gambar 7.4 Gambaran tingkat energi donor dan akseptor pada bahan semikonduktor ekstrinsik
47. Pengantar Fisika Zat Padat
42
7.2.2.1 Semikonduktor Ekstrinsik Tipe N
Jika ke dalam semikonduktor intrinsik golongan IVA ditambahkan dengan atom
dari golongan V, maka dalam semikonduktor tersebut terdapat kelebihan elektron yang
bertindak sebagai donor. Semikonduktor yang memiliki kelebihan elektron ini disebut
semikonduktor tipe N. Contoh semikonduktor tipe N adalah SiP, GeAs dan ZnO.
Gambar 7.5 Contoh gambaran semikonduktor tipe N beserta gambaran tingkat energi donor
Gambar 7.5 memperlihatkan gambaran semikonduktor tipe N ketika sebagian atom Si
didoping dengan atom P. Pada semikonduktor tipe N ini, ektron bebas menjadi pembawa
muatan mayoritas dan hole sebagai pembawa muatan minoritas. Penambahan doping
Golongan V pada Golongan IV ini memunculkan tingkatan energi baru yang disebut energi
donor. Energi donor in berada tepat di bawah pita konduksi.
7.2.2.2 Semikonduktor Ekstrinsik Tipe P
Jika ke dalam semikonduktor tipe IV ditambahkan atom dari golongan III, maka
dalam semikonduktor tersebut akan terjadi kekurangan elektron sehingga semikonduktor
ini menjadi lebih positif. Semi konduktor jenis ini dikenal dengan nama semikonduktor
ekstrinsik tipe P. Contoh semikonduktor ekstrinsik tipe P in adalah SiB dan GeAl.
Gambar 7.6 memperlihatkan skema contoh proses pendopingan golongan IV oleh
golongan III yang disebut semikonduktor tipe P beserta gambaran energi akseptornya.
Penambahan atom B pada atom Si menyebabkan bahan semikonduktor tersebut kelebihan
jumlah hole. Kelebihan ini akan membentuk tingkatan energi baru yang disebut energi
48. Pengantar Fisika Zat Padat
43
akseptor. Energi akseptor ini berada tepat di atas pita valensi. Pada semikonduktor tipe P
ini, hole menjadi pembawa muatan mayoritas.
Gambar 7.6 Contoh gambaran semikonduktor tipe P beserta gambaran tingkat energi donor
7.3 Karakteristik -T Bahan Semikonduktor
Berbeda dengan karakteristik resistivitas konduktor, resistivitas bahan
semikonduktor akan meningkat dengan menurunnya suhu seperti diperlihatkan pada
Gambar 7.7. Pada bahan konduktor atau logam seperti telah dijelaskan pada Bab 5, nilai
resistivitas terhadap suhu dengan tingkat ketidakmurnian tertentu menurun seiring dengan
menurunnya suhu yang menunjukkan kontribusi dari fonon sebagai pengganggu
pergerakan elektron pada bahan. Pada bahan semikonduktor, selain kontribusi fonon,
kontribusi kehadiran energi gap menjadi perhatian besar dalam menganalisis pengaruh
penurunan suhu pada pergerakan elektron.
Pada bahan semikonduktor ini, suhu dapat menjadi energi termal yang memberikan energi
tambahan kepada elektron pada pita valensi untuk dapat melewati celah energi terlarang.
Semakain kecil energi termal yang diberikan, maka semakin kecil pula energi yang
dimiliki elektron untuk berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Sehingga grafik
hubungan antara suhu dengan resistivitas menjadi berbanding terbalik. Analisis inilah yang
membedakan karakteristik bahan semikonduktor dengan bahan konduktor.
49. Pengantar Fisika Zat Padat
44
Gambar 7.7 Karakteristik nilai resistivitas terhadap suhu untuk bahan semikonduktor
50. Pengantar Fisika Zat Padat
45
BAB 8
DINAMIKA ELEKTRON DALAM LOGAM
Pada bab dinamika elektron dalam logam ini akan dibahas lebih detail batasan-batasan
kebebasan gerak elektron diantara atom-atom dalam logam. Seperti telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, pada konduktor, pergerakan elektron terjadi karena hanya diperlukan
energi sedikit saja untuk mengaktifkan elektron yang terlokalisir pada pita valensi ke pita
konduksi. Sebaliknya, elektron memerlukan energi yang cukup besar untuk mengatasi
energi gap yang besar pada semikonduktor dan isolator.
8.1 Kombinasi Linier Orbital Atom
Pada bahasan sebelumnya, secara kuantum, konfigurasi elektron pada atom
digambarkan sebagai sebuah fungsi gelombang. Fungsi gelombang elektron dalam suatu
atom disebut orbital atom. Suatu fungsi gelombang mempunyai daerah dengan amplitudo
positif dan negatif. Jika terdapat lebih dari satu fungsi gelombang elektron atau terdapat
lebih dari satu atom dengan fungsi gelombang yang berbeda, maka daerah dengan
amplitude positif dari satu fungsi gelombang dapat terjadi tumpang tindih dengan daerah
amplitude positif dari fungsi gelombang lainnya. Begitu pula dengan daerah dengan
amplitude negatif. Daerah-daerah dengan amplitudo positif atau daerah-daerah dengan
amplitudo negatif dalam satu molekul akan saling memperkuat satu dengan lainnya
membentuk satu ikatan. Namun demikian, jika daerah dengan amplitudo positif mengalami
tumpang tindih dengan daerah dengan amplitudo negative, maka daerah tersebut akan
saling meniadakan. Dalam molekul, orbital atom yang bertumpang tindih menghasilkan
orbital molekul yakni fungsi gelombang elektron dalam molekul. Orbital molekul ini dapat
diklasifikasikan menjadi orbital molekul ikatan, non-ikatan, atau anti ikatan sesuai dengan
besarnya partisipasi orbital itu dalam ikatan antar atom. Tingkat energi orbital molekul
ikatan lebih rendah, sementara tingkat energi orbital molekul anti ikatan lebih tinggi dari
tingkat energi orbital atom penyusunnya. Semakin besar selisih energi orbital ikatan dan
anti ikatan, semakin kuat ikatan.
Misal satu molekul terdiri dari dua atom A dan B. Bila tidak ada interaksi ikatan
dan anti ikatan antara A dan B, orbital molekul yang dihasilkan adalah orbital non ikatan.
Elektron menempati orbital molekul dari energi terendah ke energi yang tertinggi. Orbital
51. Pengantar Fisika Zat Padat
46
molekul terisi dan berenergi tertinggi disebut highest occupied molecular orbital (HOMO)
dan orbital molekul kosong berenergi terendah disebut lowest unoccupied molecular
orbital (LUMO). Bila dua fungsi gelombang dari dua atom dinyatakan dengan dan ,
orbital molekul adalah kombinasi linier orbital atom atau dikenal dengan nama linear
combination of the atomic orbitals (LCAO). Kombinasi linier orbital atom ini diungkapkan
dalam persamaan berikut
Perumusan persamaan gelombang dengan metode LCAO ini membantu
menggambarkan pergerakan elektron –elektron dalam logam yang sebelumnya hanya
digambarkan sebagai pergerakan elektron tunggal.
8.2 Dinamika Elektron dalam Logam
Pada pembahasan elektron bebas dalam logam, tinjauan pergerakan elektron hanya ditinjau
perilaku dari satu elektron saja. Pada bagian ini elektron-elektron tersebut digambarkan
memiliki perilaku yang berbeda-beda. Perilaku ini digambarkan sebagai fungsi-fungsi
gelombang. Fungsi-fungsi gelombang tersebut kemudian disederhanakan dengan metode
LCAO. Fungsi-fungsi gelombang tersebut bergerak dalam bentuk paket-paket gelombang
dengan kecepatan dan massa tertentu. Kecepatan paket-paket gelombang tersebut disebut
kecepatan grup dan massa dari paket gelombang (yang merupakan paket elektron) disebut
massa efektif.
Kecepatan grup yang merupakan kecepatan paket-paket gelombang dirumuskan dengan
persamaan sebagai berikut:
dengan ω adalah frekuensi sudut dan k adalah vektor gelombangnya. Hubungan antar ω
dengan E dituliskan dalam persamaan:
Sehingga kecepatan group menjadi :
Jika Kedua ruas dikalikan dengan maka akan diperoleh persamaan :
52. Pengantar Fisika Zat Padat
47
Dengan memasukkan definisi gaya listrik yang bekerja pada elektron, maka akan diperoleh
persamaan:
Sehingga massa efektif dari sebuah paket gelombang dapat dituliskan dengan persamaa:
8.3 Permukaan Fermi
Elektron-elektron bebas dalam logam dianggap menempati serangkaian tingkat
energi distrik dengan selang yang sangat rapat. Elektron-elektron tersebut berada pada
setiap tingkatan energy dengan mematuhi prinsip larangan pauli. Oleh sebab itu, setiap
tingkatan energi paling banyak hanya dapat memiliki 2N elektron. Dalam keadaan energi
paling rendah suatu logam, semua tingkat energi rendah telah terisi oleh 2N elektron
tersebut.. Sela energi antara tingkat-tingkat yang berturuttan tidak tetap melainkan
mengecil sejalan dengan naiknya tingkat energi. Karena setiap tempat hanya dapat
ditempati dua elektron, energi elektron yang menempati suatu tingkat energi rendah tidak
dapat diperbesar kecuali bila diberi tambahan energi yang cukup untuk melompat ke
tingkat kosong di bagian atas pita tersebut.
Energi pada keadaan dasar yang terisis penuh oleh electron dinamakan energi Fermi, yaitu
tingkat energi tertinggi yang ditempati elektron pada suhu T = 0K .
Seperti dijelaskan pada distribusi Fermi Dirac, jika suhu T > 0K , maka elektron akan
mampu bertransisi (loncat) ke tingkat energi yang lebih tinggi dengan memperhatikan
prinsip larangan Pauli. Semakin banyak elekton dalam suatu bahan, maka akan semakin
tinggi tingkat energinya.
Pergeran kecepatan grup dari paket gelombang ada suatu bahan akan dibatasi oleh
sebuah energi tetap dalam ruang k.Bagian ini disebut permukaan Fermi (Fermi surface).
Permukaan Fermi ini akan membatasi orbit yang terisi dan orbit yang tidak terisi pada
bahan logam. Hanya bahan logam yang memiliki permukaan Fermi. Volume dari
53. Pengantar Fisika Zat Padat
48
permukaan Fermi ini sangat tergantung pada kerapatan dari electron konduksi. Sedangkan
bentuk dari permukaan Fermi ini sangat tergantung dari potensial berkala dan ukuran dari
vector k.
54. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
49
BAB 9
SIFAT DAN BAHAN MAGNET
Pada bab ini, akan dibahas ide munculnya sifat kemagnetan yang yaitu konsep medan
magnet dan klasifikasi bahan-bahan magnet. Tiga besaran penting dari sifat magnet adalah
konsep medan magnet luar (H), konsep induksi magnet (B) dan konsep magnetisasi (M).
Bahasan lebih detail tentang sifat dan bahan magnet ini terdapat dalam diktat kuliah bahan
magnet dan superkonduktor (Risdiana, 2013). Pembahasan Bab 9 pada diktat ini
merupakan rangkuman dari diktat kuliah bahan magnet dan superkonduktor tersebut.
9.1 Medan Magnet (H), Induksi Magnet (B) dan Magnetisasi (M)
Medan magnet adalah sebuah besaran yang muncul karena adanya pergerakan
muatan listrik (arus listrik) pada sebuah bahan magnetik. Hukum Biot-Savart dengan tepat
memperkirakan munculnya medan magnet di sekitar kawat berarus. Hukum Biot-Savart ini
memungkinkan kita untuk menghitung besarnya medan magnet H yang ditimbulkan oleh
arus listrik yang dapat dituliskan dengan persamaan:
adalah vektor medan magnet, i adalah arus, r adalah jarak antara kawat yang dialiri arus
dengan tempat perhitungan medan magnet vektor satuan arah radial dan adalah vektor
yang besarnya merupakan diferensial panjang dari kawat yang dialiri arus.
Pengertian medan magnet (H) dan induksi magnet (B) seringkali tertukar satu sama
lain. Medan magnet H adalah sebuah besaran yang muncul karena adanya pergerakan
muatan listrik (arus listrik) pada sebuah bahan magnetik (medium). Sedangkan respon dari
bahan (medium) ketika pada bahan tersebut terdapat medan magnet (H) yang ditimbulakan
oleh arus listrik disebut induksi bagnet (B). Induksi magnet ini menggmbarkan pula
kerapatan fluks magnetik tiap satuan luas. Sehingga satuan untuk induksi magnet ini
adalah weber per meter persegi. Satu weber per meter persegi sama dengan 1 Tesla. Setiap
bahan magnet akan memiliki respon terhadap medan magnet yang dberikan. Respon
tersebut dijabarkan dalam sebuah besaran fisis yang disebut permeabilitas () yang secara
matematis dapat ditulis sebagai berikut:
=
55. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
50
Pada ruang bebas, nilai B akan sebanding dengan nilai H dengan satu konstanta
pembanding yaitu konstanta permeabilitas pada ruang hampa (0) yang nilainya 4 x 10-7
H m-1
.
Magnetsasi adalah sebuah besaran fisika yang menggambarkan sifat magnetik dari
suatu material. Magnetisasi biasa dilambangkan dengan symbol . merupakan sebuah
vektor yang sangat erat berkaitan dengan induksi magnet. Secara matematis, . sebanding
dengan yang dituliskan : = o
Kita dapat melihat bahwa kontribusi dari magnetisasi dan medan magnet terhhadap
besarnya induksi magnet memperlihatkan kesamaan. Hal tersebut kemudian dapat
dijabarkan dalam bentuk persamaan sederhana yang menggambarkan kontribusi dari dan
terhadap besarnya . sebagai berikut: = o ( + )
Besarnya M sebenarnya sangat tergantung dari sifat kemagnetan dari bahan yang sangat
bergantung dari suatu besaran yang disebut momen magnetik. Dalam kaitannya dengan
magnetik momen ini, Magnetisasi dirumuskan sebagai jumlah dari momen magnetik tiap
unit volume. Berbeda dengan H yang dimuncukan oleh arus listrik dari luar bahan, M di
munculkan oleh resultan spin dan momentum orbital sudut dari elektron yang ada pada
bahan. Perbandingan antara besarnya M dan H didefinisikan sebagai sebuah besaran fisis
yang disebut susceptibilitas. Secara matematis, susceptibilitas dituliskan sebagai :
Besarnya susceptibilitas menggambarkan tipikal respon dari bahan magnetik terhadap
medan magnet. Besaran ini dapat mengelompokkan bahan magnet ke dalam beberapa
kelompok bahan yaitu bahan diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik, ferrimagnetik,
antiferromagnetic dan bahan superkonduktor
9.2 Bahan Diamagnetik
Bahan diamagnet adalah bahan yang tidak memiliki total momen magnet permanen
pada tiap atomnya. Hal ini disebabkan karena seluruh elektron saling berpasangan.
Kemagnetan yang di miliki bahan tersebut berasal dari medan magnet luar ( ). Ketika
medan magnet luar dikenakan pada bahan tersebut maka akan terjadi induksi dipole
magnetik atom ataupun molekul sehingga menimbulkan medan magnet yang arahnya
berlawanan dengan medan magnet luar. Susceptibilitas pada bahan ini bernilai sangat kecil
dan bernilai negatif sebagai tanda bahwa magnetisasi yang muncul pada bahan ini
56. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
51
berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan pada bahan tersebut. Nilai
susceptibilitas berkisar dari - sampai dengan - . Kemagnetan ini berasal dari
pergantian dalam pergerakan orbit elektron yang di akibatkan oleh pengaruh medan
magnet. Berdasarkan Hukum Lenz, arus induksi memberikan kenaikan pada flux induksi
yang berlawanan terhadap perubahan dalam medan aplikasi. Sifat kemagnetan ini juga
aktif dalam bahan yang memiliki dipol magnet permanen (magnetik atom), tetapi sangat
lemah bila dibandingkan dengan kontribusi yang di berikan bahan magnet tersebut. Bahan
superkonduktor merupakan salah satu contoh bahan yang menunjukkan sifat
diamagnetisme yang sangat kuat. Dengan nilai susceptibilitas sebesar -1. Sehingga bahan
superkonduktor disebut memiliki sifat diamagnetik sempurna.
Semua bahan memiliki efek diamagnetisme, walaupun sering kali efek ini tertutupi
oleh sifat magnetisme yang lebih kuat pada bahan tersebut. Pada benda padat yang sifatnya
di dominasi oleh efek diamagnetik, terdapat momen magnetik induksi yang arahnya
berlawanan terhadap medan magnetik luar.
Contoh bahan diamagnet adalah Bismuth (Bi), Graphite, Cooper, Silver, dan
Mercury.
Contoh aplikasi bahan diamagnetik lebih ditekankan pada bahan yang memiliki sifat
diamgnetik sempurna. Peristiwa penolakan seluruh medan magnet luar menyebabkan efek
levitasi yang disebut efek Meissner. Keberadaan efek ini dimanfaatkan untuk keperluan
kereta cepat yang dapat melayang disepanjang lintasannya. Bahasan tentang efek ini akan
lebih detail dijelaskan pada bahasan bahan superkonduktor.
9.3 Bahan Paramagnetik
Bahan paramagnetik adalah bahan yang memiliki nilai magnetisasi yang lemah
dengan nilai susceptibilitas bernilai sangat kecil. Namun berbeda dengan bahan
diamagnetik, bahan paramagnetik memiliki susceptibilitas positif. Artinya magnetisasi
akan searah dengan arah medan magnet luar yang diberikan. Nilai susceptibilitas berkisar
antara 10-3
– 10-5
. Munculnya sifat paramagnetik berdasarkan pada adanya elektron yang
tidak berpasangan. Pada saat tidak diberikan medan magnet luar, susunan spin spin pada
bahan ini adalah acak. Spin-spin tersebut kemudian tersusun mengikuti arah medan luar
yang diberikan. Ketika medan magnetik luar dihilangkan kembali, maka posisi spin akan
kembali ke keadaan semula. Tidak terdapat efek histerisi (menyimpan/menyerap medan
aplikasi yang diberikan) pada bahan ini.
57. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
52
Pada medan magnet luar yang kecil serta suhu konstan, magnetik susceptibilitas pada
bahan diamagnetik dan paramagnetik adalah konstan. Pada keadaan ini dapat dituliskan
dan
Jelas bahwa untuk bahan paramagnetik, akan lebih besar dari satu, sedangkan pada
bahan diamagntik akan lebih besar dari satu. Sedangkan nilai akan sedikit lebih besar
dari nol untuk bahan paramagnetik dan dibawah nol untuk bahan diamagnetik.
Bahan paramagnetik memiliki permanen momen magnet walaupun tidak ada medan
magnet luar. Permanen momen magnet ini ditimbulkan oleh elektron tidak berpasangan.
Magnetisasi pada bahan paramagentik mengikuti hukum-hukum fisika yang dirumuskan
oleh Curie yang disebut hukum Curie. Hukum Curie ini menjabarkan secara matematis
persamaan magnetisasi sebagai berikut:
T adalah suhu dalam satuan Kelvin dan C adalah konstanta Curie yang nilainya bergantung
dari jenis bahan.
Contoh bahan paramagnetik adalah Tungsten, Aluminium dan Magnesium. Aplikasi bahan
paramagnetik banyak memanfaatkan kemampuan bahan untuk menyesuaikan arah spin
atau kutub magnet berdasarkan besarnya medan magnet luar yang diaplikasikan pada
bahan ini
9.4 Bahan Ferromagnetik
Feromagnetik merupakan bahan yang dapat termagnetisasi tanpa adanya medan magnet
aplikasi luar. Feromagnetik terjadi ketika momen magnetik pada semua titik memiliki arah
yang sama. Pada suhu yang cukup, keteraturan arah ini akan rusak dan akan berubah
menjadi paramagnetik. Suhu ketika terjadi keadaan tersebut dinamakan suhu Curie.
Sifat yang paling terkenal dari bahan ferromagnetik adalah sifat kemagnetan yang
disebut sebagai histerisis. Kurva histerisis pada bahan ferromagnetik digambarkan pada
Gambar 9.1
58. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
53
Gambar 9.1 Kurva hysteresis bahan feromagnetik
Gambar 9.1 menggabarkan kemampuan bahan untuk merekam medan magnet
aplikasi yang diberikan sehingga sifat magnetisasinya tetap muncul walaupun medan
magnet aplikasi telah dihilangkan.
Teori yang dapat menjelaskan munculnya sifat ferromagnetik pada suatu bahan
adalah Teori Weiss. Teori ini merepresentasikan interaksi antara satu momen magnetik
dengan momen lainnya pada satu volume tertentu yang dituliskan sebagai interaksi antara
medan magnet luar dengan keadaan magnetisasi bahan dan ditulis dengan persamaan:
e = ,
dengan e menggambarkan nilai medan magnet yang berinteraksi yang dikenal dengan
nama medan Weiss atau medan molekuler dan adalah sebuah konstanta yang nilainya
tergantung dari keadaan bahan.
Pada hampir seluruh bahan, sifat ferromagnetik akan muncul jika bahan tersebut berada
dibawah suhu Curienya (Tc). Diatas suhu Curie pada umumnya bahan bersifat
paramagnetik.Setiap bahan memiliki nilai suhu Curie yang berbeda beda. Untuk
menentukan besarnya Tc keberadaan medan Weiss dijadikan sebagai dasar perhitungan.
Sehingga jika medan aplikasi luar adalah a dan medan interaksi (medan Weiss) adalah e
maka jika suseptibilitas untuk bahan paramagnetik didefinisikan sebagai p,
Karena
Medan Magnet (H)
Magnetisasi (M)
Magnet (H)
59. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
54
maka
dan
dengan Tc =
dengan memasukkan persamaan untuk konstanta Curie, akan diperoleh
Persamaan ini memberikan hubungan antara konstanta Curie (Tc) dan (konstanta medan
molekul weiss). Jika = 0, maka Tc = 0 (yaitu jika → 0, tidak ada fase
transisi). Selanjutnya, jika T> Tc, dengan H = 0 memiliki solusi umum untuk M hanya
jika M = 0. Namun, untuk T <Tc, evaluasi numerik menunjukkan bahwa mereka
memiliki solusi umum M ≠ 0, sesuai dengan magnetisasi spontan yang terjadi ketika efek
termal menguasai medan molekuler.
Bahan ferromagnetik dewasa ini diaplikasikan untuk berbagai peralatan seperti
power generation, magnetik recording, electrical motors, permanen magnet, inductor serta
berbagai divais optoelektronik dan teknologi spintronik. Beberapa aplikasi lain bahan
ferromagnetik adalah untuk aplikasi transformer. Aplikasi ini memerlukan bahan yang
memiliki permeabilitas yang tinggi dan nilai histerisis yang rendah. Hal ini disebabkan
karena dengan karakteristik seperti itu, konversi energi yang efisien akan dapat terjadi.
9.5 Bahan Antiferromagnetik
Bahan yang menunjukkan sifat antiferromagnetik, momen magnetik atom atau molekul,
biasanya terkait dengan spin elektron yang teratur dalam pola yang reguler dengan
tetangga spin (pada sublattices berbeda) menunjuk ke arah yang berlawanan. Hal ini
seperti ferromagnetism dan ferrimagnetisme, suatu bentuk dari keteraturan magnet.
Umumnya, keteraturan antiferromagnetik berada pada suhu yang cukup rendah,
menghilang pada dan di atas suhu tertentu. Suhu Néel adalah suhu yang menandai
perubahan sifat magnet dari antiferromagnetik ke paramagnetik. Louis Néel adalah
ilmuwan yang pertama kali mengidentifikasi jenis antiferromagnetik. Di atas suhu Néel,
bahan biasanya bersifat paramagnetik.
60. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
55
Pada antiferromagnetik terjadi peristiwa kopling momen magnetik di antara atom-atom
atau ion-ion yang berdekatan. Peristiwa kopling tersebut menghasilkan terbentuknya
orinentasi spin yang antiparalel. Salah satu contoh bahan antiferromagnetik diperlihatkan
pada Gambar 9.2.
Gambar 9.2 Skema susunan spin-spin pada bahan antiferromagnetik. Magnitute untuk
setiap momen magnetik bernilai sama dengan arah spin yang saling berlawanan
(antiparallel)
Salah satu cara untuk menentukan momen magnetik secara klasik adalah dengan
menggunakan refleksi neutron, contohnya adalah MnO yang memiliki struktur seperti
NaCl. Bahan MnO dibuat ke dalam keadaan dua suhu yang berbeda yaitu pada suhu 800
K
dan yang satu lagi pada suhu 2930
K. Dengan cara yang klasik ini akan diamati refleksi
pancaran neutron yang terjadi pada setiap kisi dengan sudut hamburan tertentu. Dari
informasi-informasi yang didapatkan, nantinya akan diperoleh besar konstanta kisi dan
bentuk kisi dari bahan magnetik tersebut. Pada suhu 800
K dapat diklasifikasikan dengan
hubungan unit sel berupa kubik dengan konstanta kisi sebesar 8,85 Å. Sedangkan pada
suhu 2930
K refleksi memberi informasi bahwa unit sel berbentuk fcc dengan konstanta kisi
sebesar 4,43 Å. Tetapi dengan sinar X-ray baik pada suhu 800
K dan 2930
K diperoleh
konstanta kisi yang sama yaitu 4,43 Å. Sebagai kesimpulannya parameter kisi unit cell
sebenarnya bernilai 4,43 Å, tetapi pada suhu 800
K, ion Mn2+
tersusun secara
nonferromagnetik. Bila tersusun secara ferromagnetik seharusnya terjadi nilai refleksi yang
sama.Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa spin pada single plane [111] adalah
parallel, tetapi yang bersebelahan dengan daerah single plane tersebut adalah antiparalel.
Susunan spin tetap dengan hasil difraksi neutron dan dengan pengukuran magnetik. Oleh
karena itu bahan MnO merupakan antiferromagnetik. Spin antiferromagnetik akan tersusun
antiparalel dengan momen magnet total bernilai nol pada suhu di bawah Temperatur Neel.
Salah satu aplikasi bahan antiferromagnetik adalah untuk media penyimpan magnetik.
Hal ini didasari oleh beberapa alasan sebagai berikut: penyimpanan magnetik bergantung
61. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
56
pada orientasi balikan/putaran spin dalam bahan magnetik, dan ini bergantung pada batas-
batas bahan. Namun, para peneliti telah menunjukkan bahwa mereka dapat memanfaatkan
berbagai jenis bahan magnetik untuk mempercepat kecepatan tulis, meskipun perubahan
dalam orientasi magnetik mengambil jumlah waktu yang sama. Pada umumnya teknologi
hard drive berdasarkan pembalikan orientasi pada bahan magnet. Ketika medan aplikasi
diberikan pada bahan magnet, maka spin elektron akan mulai berputar. Kecepatan presesi
dan waktu yang dibutuhkan untuk flip spin elektron sebanding dengan kekuatan medan
magnet. Medan aplikasi yang lebih besar menyebabkan spin lebih cepat berputar untuk
presesi. Namun demikian, medan aplikasi yang terlalu besar dapat merusak keteraturan
spin magnet (merusak magnet).
Seperti yang telah diketahui, bahan antiferromagnetik memiliki dua kelompok atom
(spin). Spin-spin tersebut memiliki besar yang sama tetapi memiliki arah yang berbeda.
Putaran/getaran spin pada antiferromagnetik berprilaku seperti memiliki inersia, yang
berarti walaupun medan aplikasi tidak ada lagi, spinnya masih tetap berosilasi dan berputar.
Dinamika material dapat diamati dengan memvariasikan waktu antara pulsa magnetik dan
pengukuran pulsa. Flip spin memerlukan waktu beberapa picoseconds, sedangkan spin
terus berosilasi di sekitar orientasi baru untuk sekitar 100 picoseconds ketika medan
aplikasi dihilangkan. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah diamati pada ferromagnets dan
hanya bisa terjadi jika spin memiliki semacam inersia dan waktu yang diperlukan untuk
spin melakukan flip. Kelebihan ini menyebabkan medan magnet aplikasi hanya perlu
diberikan untuk 100 femtosekon pertama yang akan menyebabkan kecepatan menulis bisa
jauh lebih cepat.
9.6 Bahan Ferrimagnetik
Bahan ferrimagnetik adalah bahan yang memiliki susunan spin seperti
antiferromagnetik tetapi memiliki dua jenis spin yang besarnya berbeda seperti
diperlihatkan pada Gambar 9.3. Bahan ferrimagnetik secara makroskopik sangat mirip
dengan bahan ferromagnetik. Bahan ini memiliki magnetisasi spontan dibawah suhu
Currienya. Bahan ini juga memiliki sifat histerisis dan saturasi pada kurva magnetisasinya.
Gambar 9.3 Susunan spin pada bahan ferrimagnetik
62. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
57
Dua jenis spin yang yang memiliki besar yang berbeda digambarkan sebagai dua jenis
sublattice A dan B dengan besar momen magnet yang berbeda.
Bahan ferrimagnetik banyak digunakan untuk divais microwave seperti untuk
isolator, circulators, dan gyrators. Realisasi perangkat ini merupakan perilaku
gyromagnetik dari dipol magnet dasar, atau putaran elektron yang tidak terkompensasi,
pada bagian ini akan dijelaskan sifat materi intrinsik dan kriteria geometri dasar yang
diperlukan dalam desain isolator resonansi Waveguide persegi panjang.
9.7 Bahan Superkonduktor
Isi dari bagian ini merupakan pemadatan dari buku “Pengenalan Bahan Magnet dan
Superkonduktor Sifat dasar dan Karakteristiknya” (Risdiana, 2012).
Superkonduktor adalah bahan yang memiliki sebuah fenomena yaitu memiliki
resistivitas nol ketika didinginkan sampai suhu tertentu. Suhu ketika resistivitasnya
pertama kali menunjukkan nilai nol disebut suhu kritis (Tc). Pada bagian ini akan disajikan
sejarah penemuan sifat superkonduktivitas beseta perkembangan penelitiannya.
Pada tahun 1957, John Barden, Leon Cooper, dan Robert Schrieffer berhasil
menemukan teori mikroskopik dari superkonduktor yang lebih dikenal sebagai teori BCS
(Barden, Cooper, dan Schrieffer)1
. Konsep utama dari teori BCS ini adalah interaksi
elektron – phonon yaitu interaksi antara elektron dengan getaran elastik kisi kristal
(phonon) yang menyebabkan munculnya “gaya tarik” antara dua elektron untuk
berpasangan yang dikenal dengan nama pasangan Cooper (Cooper pair). Konsep Cooper
pair ini sangat berkaitan dengan konsep partikel Boson. Partikel Boson tidak mentaati
prinsip larangan Pauli sehingga beberapa partikel dapat menempati tingkat energi yang
sama. Prinsip inilah yang mendasari konsep Cooper pairs pada bahan superkonduktor.
Teori BCS sampai sekarang masih menjadi dasar utama teori superkonduktor khususnya
untuk superkonduktor konvensional dengan Tc yang rendah.
Pada tahun 1986, Bednorz dan Muller melaporkan bahwa bahan campuran La-Ba-
Cu-O dengan Cu (Cuprate) sebagai komponen penting yang bertanggung jawab terhadap
sifat-sifat elektroniknya menunjukkan gejala superkonduktivitas dengan Tc sebesar 30 K2
.
Penemuan ini membuka harapan baru untuk menemukan bahan superkonduktor berbahan
dasar Cuprate dengan Tc tinggi (High-Tc Superconducting Cuprates).
Selanjutnya K. Wu dan P. Chu dari Universitas Alabama dan Houston menemukan
bahan campuran baru yaitu YBa2Cu3O7 dengan Tc = 93 K3
. Tahun 1988, superkonduktor
63. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
58
cuprates Bi2Sr2Ca2Cu3O10 dan Tl2Ba2Ca2Cu3O10 berhasil ditemukan dengan Tc masing
masing 110 K4
dan 125 K5
. Tc tertinggi dari bahan superkonduktor ditemukan tahun 1993
pada bahan HgBa2Ca2Cu3O8 dengan Tc sebesar 135 K6
. Seluruh superkonduktor suhu
tinggi yang telah disebutkan adalah superkonduktor doping hole (hole-doped
superconductor), yang menunjukkan peranan doping hole dalam pembentukan
superkonduktor. Sistem lainnya yang masih merupakan keluarga superkonduktor berbahan
Cuprate adalah superkonduktor doping elektron (elektron-doped superconductor) yang
merupakan campuran bahan (Nd, Pr, Sm)-Ce-Cu-O dengan Tc sebesar 24 K7,8
.
Pada 2001, kelompok penelitian superkonduktor di Jepang yang dipimpin Prof.
Akimitsu menemukan superkonduktor dari bahan Magnesium Diboride (MgB2) dengan Tc
= 39 K9
. Penemuan ini dinilai sebagai penemuan yang sangat penting mengingat MgB2
merupakan superkonduktor intermetallic yang memiliki Tc yang tinggi yang setara dengan
jenis superkonduktor berbahan Cuprate.
Penelitian bahan superkonduktor tidak hanya difokuskan pada bahan-bahan yang
terbuat dari senyawa anorganik, tetapi juga pada superkonduktor berbahan dasar senyawa
organik yang pada umumnya bersifat isolator. McCoy dan Moore menunjukkan
keberadaan elektron radikal tidak berpasangan yang dapat meningkatkan konduktifitas
pada bahan tersebut10
.
Pada tahun 1973, bahan organik yaitu tetrathiafulvalene 7,7,8,8-tetracyano-p-
quinodimethane (TTF-TCNQ) yang memiliki sifat seperti logam berhasil disintesis11
.
Keberhasilan ini memicu para peneliti untuk menemukan bahan organik yang memiliki
sifat superkonduktivitas. Superkonduktor organik pertama yang berhasil disintesis adalah
(TMTSF)2PF6 (TMTSF = tetramethyl-tetraselenafulvalene) dengan Tc 0,9 K yang dapat
diamai jika bahan tersebut diberikan tekanan sebesar 12 kbar12
. Contoh lain molekul
organik yang dapat dijadikan sebagai bahan superkonduktor adalah bis(ethylenedithio)
tetrathiafulvalene (BEDT-TTF) dengan senyawa lengkap adalah κ-(BEDT-
TTF)2Cu(NCS)2 dengan Tc sebesar 10,4 K13
.
Superkonduktor memiliki berbagai sifat dasar yang membedakan bahan ini dengan
bahan lainnya. Beberapa sifat yang mencirikan keadaan superkonduktifitas adalah
resistivitas nol, efek Meissner, kuantisasi fluks magnetik (vorteks) serta efek Josephson.
Namun demikian, sifat bahan ini yang memiliki resistivitas nol menjadi salah satu bahasan
yang paling menarik dan banyak dikaji.
64. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
59
Pada suhu dibawah Tc, semua bahan superkonduktor memiliki nilai resistivitas nol
(ρ = 0). Pada keadaan ini, Cooper pairs akan terbentuk dan pasangan elektron ini bergerak
dengan satu gerak koheren. Getaran kisi dan kekotoran (impurity) yang menghambat laju
elektron (memunculkan nilai resistivitas) pada keadaan normal, tidak dapat menghambat
gerak koheren dari Cooper pairs pada bahan superkonduktor.
Pada suhu mutlak 0 K, kontribusi getaran kisi pada nilai resistivitas telah hilang.
Nilai resistivitas pada suhu mutlak ini bergantung sepenuhnya kepada tingkat impurity dari
bahan tersebut. Beberapa logam yang tidak memiliki impurity, tidak akan memiliki nilai
resistivitas pada suhu mutlak 0 K. Pada bahan superkonduktor, nilai resistivitas dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu nilai resistivitas ketika suhu lebih besar dari Tc (T > Tc)
dan ketika suhu lebih kecil atau sama dengan Tc (T ≤ Tc). Ketika suhu bahan lebih besar
dari Tc, bahan berada dalam keadaan normal, artinya bahan memiliki resistivitas yang
nilainya berubah sesuai dengan keadaan dasar dari bahan tersebut baik berupa konduktor,
semikonduktor ataupun isolator. Ketika suhu bahan lebih kecil atau sama dengan Tc, maka
bahan tersebut akan berubah dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor.
Salah satu karakter khas superkonduktor adalah adanya suhu kritis, medan magnet
kritis dan rapat arus kritis.
Suhu kritis (Tc) adalah suhu yang membatasi antara keadaan normal dan keadaan
superkonduktif. Keadaan normal adalah keadaan pada saat suhu bahan lebih tinggi dari
pada suhu kritis. Keadaan normal ini sangat tergantung pada jenis bahan superkonduktor
itu sendiri. Grafik resitivitas terhadap suhu (ρ-T) pada keadaan normal ketika T > Tc dapat
berupa grafik ρ-T konduktor ataupun semikonduktor. Jika pada saat keadaan normal bahan
bersifat konduktor, maka ketika suhu bahan tersebut diturunkan, getaran elektron akan
berkurang sehingga nilai resistivitas berkurang seiring dengan penurunan suhu. Jika pada
saat keadaan normal bahan bersifat semikonduktor, maka ketika suhu diturunkan, nilai
resistivitas bahan akan bertambah seiring dengan penurunan energi yang dimiliki untuk
melewati celah energi. Pada saat suhu bahan lebih kecil dari suhu kritis (T < Tc), elektron
tunggal akan berubah menjadi cooper pair yang menyebabkan terbentuknya
superkonduktor.
Resistivitas nol yang menjadi karakteristik penting dari bahan superkonduktor
dapat hilang tidak hanya dengan menaiknya suhu bahan diatas suhu kritisnya, tetapi dapat
juga terjadi karena penambahan besarnya medan magnet yang diberikan kepada bahan
tersebut. Seperti halnya suhu, besarnya medan magnet yang diberikan kepada bahan
65. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
60
superkonduktor memiliki batasan tertentu yang dapat mengubah keadaan bahan dari
superkonduktor ke keadaan normal. Batasan besar medan magnet ini dinamakan medan
magnet kritis (Hc). Besarnya medan magnet kritis sangat bergantung dari jenis dan
senyawa penyusun bahan superkonduktor tersebut sehingga nilainya akan berbeda untuk
unsur-unsur murni dan untuk paduan. Terdapat dua jenis medan magnet kritis pada bahan
superkonduktor yaitu medan magnet kritis 1 (Hc1) dan medan magnet kritis 2 (Hc2).
Hc1 adalah batasan nilai medan magnet kritis ketika efek Meissner dapat teramati.
Definisi Hc1 sama dengan definisi medan magnet kritis pada superkonduktor tipe-I. Pada
superkonduktor tipe-I ini, karena hanya memiliki satu nilai medan magnet kritis, simbol
untuk besarnya medan magnet kritis yang membatasi keadaan superkonduktor dengan
keadaan normal dituliskan Hc saja. Persamaan matematis dari Hc sebagai fungsi dari suhu,
untuk superkonduktor tipe-I adalah mendekati parabolik :
dimana Hc(0) adalah nilai dari medan kritis pada suhu nol mutlak.
Hc2 adalah batasan medan magnet kritis yang membatasi keadaan normal dengan
keadaan campuran yang berlaku untuk superkonduktor tipe-II. Untuk superkonduktor tipe-
II, terdapat dua medan kritis yang dapat diamati yaitu Hc1 yang telah dibahas pada bagian
sebelumnya dan Hc2 yang nilainya lebih tinggi dari Hc1 yang membatasi keadaan campuran
yang masih bersifat superkonduktor dan keadaan normal. Apabila medan yang diberikan
kurang dari Hc1, bahan superkonduktor secara total menolak medan tersebut serupa dengan
superkonduktor tipe-I. Pada medan diatas Hc1, fluks sedikit demi sedikit mulai
berpenetrasi seperti kawat-kawat halus mikoskopis yang disebut vorteks. Tiap vorteks
dikelilingi oleh area superkonduktif. Meskipun B tidak sama dengan nol pada saat nilai H
berada diantara Hc1 dan Hc2, resistivitas total dari bahan tersebut tetap nol. Hal ini dapat
diterangkan dengan persamaan dan pemisalan sederhana berikut ini.
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahan superkonduktor tipe II ini
terdiri dari dua domain yaitu domain normal pada daerah vorteks yang memiliki nilai
reistivitas tertentu dan domain superkonduktor yang memiliki nilai resitivitas nol. Kedua
domain tersebut membentuk susunan resistivitas paralel.
Resistivitas total bahan superkonduktor dapat dituliskan sebagai berikut.
66. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
61
Karena ρsuperkonduktor bernilai nol, maka berapapun besarnya ρnormal, ρtotal akan bernilai nol.
Pada saat nilai H lebih besar dari nilai Hc2, maka keadaan superkonduktor akan
berubah kembali menjadi keadaan normal.
Sifat superkonduktivitas tidak hanya dapat dihilangkan oleh kenaikan suhu yang
dibatasi oleh Tc dan medan magnet yang dibatasi oleh Hc, tetapi juga dapat dihilangkan
oleh arus listrik. Pada umumnya besaran fisis yang diperhitungkan mewakili besarnya arus
listrik adalah kerapatan arus listrik (J) yaitu besarnya arus dibagi dengan luas penampang
yang dilalui arus tersebut. Seperti halnya suhu dan medan magnet, kerapatan arus listrik
memiliki nilai batas yang dapat menghilangkan keadaan superkonduktor yang disebut rapat
arus kritis (Jc). Jc adalah rapat arus maksimum yang bisa diterima oleh sebuah
superkonduktor. Jika rapat arus yang dialirkan pada bahan superkonduktor melebihi Jc,
keadaan superkonduktor akan berubah menjadi keadaan normal seperti halnya jika bahan
tersebut berada pada T > Tc atau bahan tersebut mendapatkan medan aplikasi H > Hc.
Besarnya Jc sangat bergantung pada besarnya medan aplikasi dan suhu pada saat
medan aplikasi tersebut diberikan. Pada superkonduktor berbasis Cuprate, ketergantungan
Jc terhadap H dibagi menjadi tiga daerah. Daerah pertama adalah daerah ketika nilai Jc
turun sangat cepat sesaat ketika medan magnet diaplikasikan. Daerah ke dua adalah daerah
ketika nilai Jc hampir linier atau menurun dengan sangat lambat walaupun medan magnet
di tingkatkan. Pada daerah ini dapat dikatakan bahwa tidak terdapat kebergantungan Jc
terhadap H. Sebagai contoh, pada superkonduktor Bi2Sr2CaCu2O8 dibawah suhu 20 K, Jc
bernilai konstan sampai dengan nilai H yang cukup tinggi. Nilai Jc dan H akan menurun
seiring dengan kenaikan suhu disekitar bahan superkonduktor tersebut. Daerah ketiga
adalah daerah ketika Jc menuju nilai nol. Besarnya nilai Jc sangat menetukan pemakaian
suatu bahan superkonduktor untuk keperluan aplikasi di bidang elektronik.
Aplikasi bahan superkonduktor untuk keperluan industri didasari oleh beberapa
persyaratan penting yaitu nilai suhu kritis, medan magnet kritis dan kerapatan arus kritis
yang tinggi, mudah dibuat serta memiliki sifat mekanik yang baik. Beberapa aplikasi yang
sudah berkembang sekarang ini adalah aplikasi untuk “zero-loss power” kabel transmisi,
67. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
62
generator listrik, Magnetik Resonance Imaging (MRI) dan alat transportasi yang
memanfaatkan efek Meissner yaitu kereta Maglev (Magnetik levitation).
Daftar Pustaka:
Sumber utama: buku “Pengenalan Bahan Magnet dan Superkonduktor Sifat dasar dan
Karakteristiknya” (Risdiana, 2012).
[1] J. Bardeen, L. N. Cooper, J. R. Schrieffer, Phys. Rev. 106 (1957) 162.
[2] J. G. Bednorz and K. A. Muller, Phys. B 64 (1986) 189.
[3] M. K. Wu, J. R. Ashburn, C. J. Torng, P. H. Hor, R. L. Meng, L. Gao, Z. J. Huang, Y. Q.
Wang, W. C. Chu, Phys. Rev. Lett 58 (1987) 908.
[4] H. Maeda, Y. Takano, M. Fukutomi, T. Asano, Jpn. J. Appl. Phys. 27 (1987) L209.
[5] S. S. Parkin, V. Y. Lee, E. M. Engler, A. I. Nazzal, T. C. Huang, G. Gorman, R. Savoy, R.
Beyers, Phys. Rev. Lett 60 (1988) 2539.
[6] Schilling, M. Cntowi, J. D. Guo, H. R. Ott, Nature 363 (1993) 56.
[7] Y. Tokura, H. Takagi, S. Uchida, Nature 337 (1989) 345.
[8] H. Takagi, S. Uchida, Y. Tokura, Phys. Rev. Lett 62 (1989) 1197.
[9] J. Nagamatsu, N. Nakagawa, T. Muranaka, Y. Zenitani, J. Akimitsu, Nature 410 (2001) 63.
[10] H. N. Mc Coy, W. C. Moore, J. Am. Chem. Soc. 33 (1911) 273.
[11] P. W. Anderson, P. A. Lee, M. Saitoh, Solid State Commun. 13 (1973) 595
[12] K. Bechagaard, C. S. Jacobsen, K. Mortensen, H. J. Pedersen, N. Thorup, Solid state commun.
33 (1980) 1119.
[13] H. Urayama, H. Yaochi, G. Saito, K. Nozaw, T. Sugano, M. Kinoshita, S. Sato, K. Oshima, A.
Kawamoto, J. Tanaka, Chem. Lett. 55 (1988).
68. Diktat Bahan Magnet dan Superkonduktor
ANALISIS PEMBELAJARAN
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN
SATUAN ACARA PENGAJARAN
PENGANTAR FISIKA ZAT PADAT
(D10C.0500217)