2. CONTENT
Apa pengaruh Early retirement PLTU terhadap financial performance PLN?
Kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial program early retirement PLTU
Pilihan strategi dan kebijakan PLN dalam menghadapi early retirement
PLTU sebagai alternative solusi dengan finansial loss yang minimal
Early Retirement PLTU dan pekembangan bisnis ketenagalistrikan nasional
kedepan
Peraturan Pemerintah tentang Penghapusan Aset, Percepatan depresiasi
dan aspek perpajakan.
Peluang ‘monetisasi” program early retirement, misalnya terkait insentif
Carbon Tax, Negative carbon certificate dalam Emission Trading
Mechanism.
3. Apa pengaruh Early retirement PLTU terhadap
financial performance PLN?
• Beban biaya penghapusan PLTU meningkat, kerugian bertambah
• Setelah retirement PLTU, BPP meningkat karena biaya pembelian dari IPP
(Rp 1.015 per kWh) lebih tinggi dari biaya operasi PLTU (Rp 653 per kWh)
• Setelah retirement PLTU, produksi pembangkit sendiri PLN menurun dratis.
Kontribusi pembangkit sendiri milik PLN terhadap penjualan sekitar 65%
dan IPP 35%. Pembangkit milik PLN terdiri dari PLTU 42% dan pembangkit
lainnya 23% (2020).
• Setelah retirement PLTU, kontribusi pembelian dari IPP meningkat
kontribusi semula 35% menjadi 77% dari penjualan. Kontribusi
pembangkit PLN menurun menjadi ≤ 23%
• Terjadi “trade off” antara kapasitas dan liabiitas, batas keputusan optimal
pada kelayakan financial bagi PLN (gambar berikut ini)
4.
5.
6.
7.
8. TRADE OFF ANTARA “KAPASITAS DAN LIABILITAS”
Batas keputusan optimal pada “kelayakan finansial bagi PLN”
Alternatif - A Alternatif - B
Liabilitas PLN
Liabilitas PLN Kontribusi KIT-PLN
Kontribusi KIT-PLN
Time Time
Growth Growth
20. SKEMA FINANCIAL PENGEMBANGAN EBT - PASCA PLTU PENSIUN
PLTU Retirement
Zero Emission
1_PLTU milik
PLN
1.1_Pengembangan
EBT oleh PLN, COC
murah, MIRR yang
layak
1.1_Skema Financing:
- 100% hutang
- 70% hutang, dst
1.1_Value PLN meningkat, sejalan
dgn amanat:
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
1.1_Dampak financial bagi
PLN:
- PLN mampu bayar hutang
dan bunga
- Mengurangi beban subsidi
- PLN mampu menghasilkan
profitabiltas yg layak
- Sustainability bagi PLN
1.2_Pengembangan
EBT oleh IPP, COC
murah
1.1_Layak secara
financial bagi PLN
BERAWAL DISINI
HASIL AKHIR DISINI
21. Kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial program early
retirement PLTU
Kelayakan financial, terkait discounted cash inflow dan cash
outflow
- Kelayak financial dapat dicapai sebagaimana skema terlampir
Kelayakan ekonomi, terkait kelayakan financial dan externality
(social benefit > social cost)
- Memenuhi taget net zero emission (NZE)
- Memanfaatkan peluang incentive kemudahaan pendanaan EBT
- Dukungan lembaga keuangan internasional
- Bantuan subsidi APBN
- Perlu kepastian pembayaran bunga dan cicilan hutang
- Sustainability PLN dalam penguasaan pembangkit EBT
22. Usaha yang sehat (kelayakan keuangan atau
kelayakan ekonomi)
Undang-Undang BUMN nomor 19 tahun 2003 pasal 12.b, maksud dan tujuan pendirian persero,
yaitu; mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Undang-Undang Ketenagalistrikan, nomor 30 tahun 2009 pasal 2.1, pembangunan
ketenagalistrikan menganut asas, antara lain; mengandalkan pada kemampuan sendiri dan
kaidah usaha yang sehat.
Permasalahan pokok yang dihadapi PLN:
1) Bagaimana strategi dan kebijakan manajemen keuangan PLN mencapai tingkat profitabilitas
tanpa subsidi dari APBN ?
2) Bagaimana strategi dan kebijakan manajemen keuangan PLN agar memiliki kemampuan
sendiri membayar hutang yang semakin meningkat jumlahnya ?
23. SKEMA FINANCIAL PENGEMBANGAN EBT - PASCA PLTU PENSIUN
PLTU Retirement
Zero Emission
1_PLTU milik
PLN
1.2_Struktur kapital,
Debt to equity 70:30
1.1_Pengembangan
EBT oleh PLN, COC
murah, MIRR yang
1.1_Skema Financing:
- 100% hutang
- 70% hutang, dst
1.1_Value PLN meningkat, sejalan
dgn amanat:
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
1.2_Tarif lebih tinggi
selama 7 th, utk bayar
bunga dan cicilan hutang
IPP (debt 70%)
1.1_Dampak financial bagi
PLN:
- PLN mampu bayar hutang
dan bunga
- Mengurangi beban subsidi
- PLN mampu menghasilkan
profitabiltas yg layak
- Sustainability bagi PLN
1.2_Debt 70%, kontribusi
PLN 100% utk bayar bunga
dan cicilan hutang IPP
1.2_Financial risk/dampak
negatif bagi PLN:
- Beban CFO PLN meningkat
- BPP PLN meningkat
- Subsidi APBN meningkat
- Rugi PLN meningkat
- PLN sulit bayar hutang,
karena CFO PLN utk bayar
kewajiban keuangan IPP
- Kesulitas keuangan PLN masa
kini dan masa depan
- Komposisi kepemilikan KIT
dominan IPP
1.2_Menarik bagi
IPP,yang mengandalkan
PLN untuk bayar bunga
dan cicilan hutang bank
1.2_Pengembangan
EBT oleh IPP, COC
murah
1.2_Value PLN menurun, sulit
memenuhi amanat :
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
1.1_Layak secara
financial bagi PLN
1.2_Layak secara
ekonomis (social benefit
> social cost)
BERAWAL DISINI
HASIL AKHIR DISINI
1.2_SKEMA INI LEBIH LAYAK SECARA
FINANCIAL BILA DITANGANI SENDIRI
PLN (debt 70%)
1.2_Subsidi
meningkat
1.2_Secara financial
cenderung tidak layak
bagi PLN (bukti empiris,
current)
24. Dampak Finansial Retirement PLTU: Biaya
Subtitusi PLTU ke Pembelian TL
Pembelian TL dari IPP, th 2020
• Biaya pembelian TL (LR) = Rp 98.651.604 juta
• Pembelian TL (tabel 57) = 97.158.74 GWh
• Tarif pembelian rata-rata per kWh = Rp 1.015 per kWh
Biaya pembangkitan rata-rata PLTU (Tabel 68) = Rp 653 per kWh
Subtitusi PLTU ke pembelian TL IPP: Rp 362 per kWh
• Produksi PLTU th 2020 = 114.284.12 GWh (kontribusi PLTU 44%)
• Tambahan biaya subtitusi= Rp 41.270.851 atau Rp 41 triliun perth
25. Biaya Usaha th 2020
Jenis Biaya Rp T % Pemb GWh (T.57) Pemb/kWh
BBM 106 35%
Pembelian 99 33% 97,159 1,016
Sewa 3 1%
Pemeliharaan 22 7%
Kepegawaian 25 8%
Lainnya 7 2%
Penyusutan 39 13%
Total 301 100%
26. Pendapatan Usaha & EBIT th 2020
Jenis Pend Ush Rp T %
Penjualan TL (Rp274.9) 260.7 75%
BP 0.3 0%
Laiannya 4.3 1%
Subsidi, komp, stimulus (Rp14.2) 80.1 23%
Total Pend Ush 345.4 100%
Biaya Usaha 301 87%
EBIT 44.4 13%
EBIT (Tanpa Sub) -35.7
27. Subsidi: Stimulus Covid19= Rp 14,2 T
Catatan Pend Usaha th 2020:
1) Subsidi listrik = Rp 48.0 T
2) Pend Kompensasi = Rp 17.9 T
3) Stimulus Covid19 =Rp 14.2 T
Total dari APBN = Rp 89.1 T
28. Pilihan strategi dan kebijakan PLN dalam menghadapi early retirement
PLTU sebagai alternative solusi dengan finansial loss yang minimal
Pilihan strategi dan kebijakan PLN: terjadi “trade off” antara kapasitas dan
Liabilitas.
1) Mempertahankan komposisi penguasaan pembangkit sendiri 65% dari penjualan, dengan
konsekuensi menambah pinjaman baru
2) Mempertahankan jumlah hutang dengan konsekuensi komposisi penguasaan pembangkit
sendiri turun (dilute) menjadi 23% atau lebih kecil karena subsittusi pembangkit IPP.
Memanfaatkan peluang kemudahan pendanaan investasi pembangkit EBT,
dengan alternatif:
1) EBT yang layak secara financial, meringankan beban subsidi
2) EBT yang layak secara ekonomis, memerlukan tambahan sibsidi dan incentive dalam
meknaisme perdagangan karbon
29.
30. Early Retirement PLTU dan pekembangan bisnis ketenagalistrikan
nasional kedepan
• Early retirement PLTU masa kini, berdampak terhadap net income dan CFO PLN. Biaya operasi PLTU
relative murah dibanding pembangkit lainnya (Tabel 68, Statistik PLN 2019)
• Retirement PLTU masa depan yang akan ditransfer dari IPP setelah kontrak berakhir, menjadi risiko bagi
PLN karena ridak diperhitungkan pada saat negosiasi kontrak dengan IPP.
• Risiko PLN karena expected return pasca kontrak IPP akan memperoleh financial benefit PLTU yang
diserahkan dari IPP, ternyata hanya berpotensi sebagai PLTU retirement barang bekas tidak beroperasi.
• PLTU masa depan berpotensi memperoleh incentive pendanaan murah, atau kerugian karena peluang
incentive telah berakhir
• PLTU masa depan berpeluang direnegosiasi sejak sekarang, karena PLN tidak akan memperoleh
financial benefit pasca kontrak berakhir, sebagaimana diharapkan pada awal negosiasi kontrak, yaitu
PLN akan memperoleh sejumlah benefit dari sisa PLTU yang akan diterima sebagai benefit. Benefit atau
nilai residu PLTU hanya dalam bentuk PLTU retirement yang nilainya relative lebih kecil.
• PERATURAN MENTERI BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-
03/MBU/03/2021 pasal 5 : bagian dari restrukturisasi penjualan asset utk penyehatan BUMN ,
memberikan dampak yg lebih baik bagi BUMN
31.
32. TRANSISI ENERGY SEBAGAI ERA BARU KEBANGKITAN PLN MENGATASI KESULITAN
KEUANGAN (FINANCIAL DISTRESS)
Transisi energi sebagai opportunities bagi PLN untuk melakukan perubahan radikal melalui
pemanfaatan kekuatan internal yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga dan
menyebabkan PLN mengalami kesulitan keuangan atau financial distress. PLTU pensiun
sebagai titik awal PLN untuk mulai bangkit sebagai pemain tunggal dari hulu ke hilir.
Bisnis hulu pembangkitan dimanfaatkan pihak luar untuk menguras potensi financial benefit
PLN, sementara PLN menengani bisinis hilir distribusi dan mengalami kerugian, kesulitan cash
flow, dan membutuhkan subsisidi dalam jumlah yang signifikan.
Dengan transisi energi, maka pihak eksternal akan mengalami stagnasi pada saat PLTU mulai
dipensiunkan atau diakuisisi.
33. TRANSISI ENERGY SEBAGAI ERA BARU KEBANGKITAN PLN MENGATASI FINANCIAL
DISTRESS
Disinilah awal kebangkitan PLN untuk menjadi pemain tunggal dari hulu kehilir dan membatasi minat pihak
eksternal bisnis pembangkitan yang hanya memanfaatkan potensi PLN, dengan alternatif:
(a) PLN tidak menanggung cicilan hutang pihak eksternal melalui tarif yang ditinggikan, silahkan IPP atasi
sendiri jika mengalami defisir CFO, hal ini dipastikan tidak menarik bagi pihak luar yang menamakan diri
investor,
(b) PLN secara mandiri memanfaat potensi bisnis pembangkit, karena selama ini IPP hanya memiliki ekuitas
30% dan selebihnya 70% adalah kontribusi PLN, bahkan 30% ekuitas IPP dapat diminimalkan dengan
perolehan margin atas konstruksi yang ditangani sendiri dan discount pengadaan mesin yang
diperhitungkan sebagai komponen A,
(c) PLN membatasi tarif pembelian dari IPP dengan prinsif profit sharing (memperhitungkan total cost dan
total revenue dari hulu ke hilir, dan pembagian profit masing-masing pihak secara adil sesuai kontribusinya),
(d) kebijakan dispatch, yaitu minimal 70% alokasi untuk pembangkit milik PLN tanpa melihat variabel cost,
karena tanpa memberi alokasi pembangkit PLN maka fixed cost pembangkit PLN tetap diperhitungkan
secara financial, sehingga memberi alokasi produksi kapada IPP berarti PLN menggang dua kali fixed cost,
(e) meniadakan system TOP, sehingga pihak lembaga keuangan hanya memprioritaskan pendanaan bagi PLN
group, karena risiko pendanaan IPP tinggi bagi perbankan, dst…..
34. TRANSISI ENERGY SEBAGAI ERA BARU KEBANGKITAN PLN MENGATASI FINANCIAL
DISTRESS
Jika hal ini terjadi, maka pihak luar termasuk BUMN lainnya tidak tertarik dengan bisnis
pembangkitan, seperti halnya dengan bisnis distribusi yang tidak menarik bagi investor.
Untuk menjaga sustainability PLN, maka tarif dasar listrik hanya sebatas MC=MR atau pada
kisaran MC=AC plus margin, dengan tetap mempertahankan tarif cross subsidi.
Bila tarif terlalu agresif, akan mengundang competitor atau pihak eksternal mencari skema
baru untuk masuk menikmati atau menguras potensi PLN.
Selanjutnya, PLN akan mampu mengelola keuangannya secara mandiri dalam
menyelesaiakan liabilitas, memperoleh profitabilitas, dan meningkatkan value perusahaan
sebagaimana diamanatkan dalam UU BUMN no. 19/2003 dan UU ketenagalistrikan no.
30/2009….dst
35.
36.
37. Prof. Dr. Dr. Aminullah Assagaf, SE., MS., MM., M.Ak
SKEMA FINANCIAL PENGEMBANGAN EBT - PASCA PLTU PENSIUN
PLTU Retirement
Zero Emission
2_PLTU milik IPP
Diakuisi Investor
G7 dgn COC
murah
1_PLTU milik
PLN
2.1_Struktur kapital,
Debt to equity 70:30
1.1_Pengembangan
EBT oleh PLN, COC
murah, MIRR yang
1.1_Skema Financing:
- 100% hutang
- 70% hutang, dst
2.1.2_IPP tidak mampu,
bila IPP hanya
mengandalkan PLN untuk
bayar bunga dan cicilan
hutang bank
1.1_Value PLN meningkat, sejalan
dgn amanat:
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
2.1.1_Tarif ditinggikan
selama 7 th, utk bayar
bunga dan cicilan hutang
IPP (debt 70%)
1.1_Dampak financial bagi
PLN:
- PLN mampu bayar hutang
dan bunga
- Mengurangi beban subsidi
- PLN mampu menghasilkan
profitabiltas yg layak
- Sustainability bagi PLN
2.1.1_Debt 70%,
kontribusi PLN 100% utk
bayar bunga dan cicilan
hutang IPP
2.1.1_Financial risk/dampak
negatif bagi PLN:
- Beban CFO PLN meningkat
- BPP PLN meningkat
- Subsidi APBN meningkat
- Rugi PLN meningkat
- PLN sulit bayar hutang,
karena CFO PLN utk bayar
kewajiban keuangan IPP
- Kesulitas keuangan PLN masa
kini dan masa depan
2.1_Pengembangan
EBT oleh IPP, COC
2.1.2_Debt 70%,
kontribusi PLN 0% utk
bayar bunga dan cicilan
hutang IPP
2.1.2_Tarif berdasarkan
MCP (keuntungan max
IPP), dan IRR/MIRR yg
layak, debt 70%
ditanggung IPP bila CFO
negatif
2.1.2_Financial benefit /
dampak positif bagi PLN:
- CFO PLN tidak terganggu
- BPP PLN stabil
- Tidak membebani subsidi
- Rugi PLN menurun
- PLN mampu bayar hutang,
karena CFO tidak terbebani
kewajiabn keuangan IPP
- Keuangan PLN sehat
(terhindar financial distress)
2.1.1_Menarik bagi
IPP,yang mengandalkan
PLN untuk bayar bunga
dan cicilan hutang bank
2.1.1/2.1.2_Menarik
bagi IPP,yang
mengandalkan
pendanaan sendiri, bila
CFO defisit selama 7 th
2_PLTU milik
Investor
Pensiun 10-15 th
kedepan
2.2_Pengembangan
EBT oleh PLN, COC
murah, MIRR yang
layak
1.2_Pengembangan
EBT oleh IPP, COC
2.1.1_Value PLN menurun, sulit
memenuhi amanat :
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
2.1.2_Value PLN meningkat, sejalan
dgn amanat:
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
2.2_Skama Financing:
- 100% hutang
- 70% hutang, dst
2.2_Dampak financial bagi PLN:
- PLN mampu bayar hutang dan
bunga
- Mengurangi beban subsidi
- PLN mampu menghasilkan
profitabiltas yg layak
- Sustainability bagi PLN
2.2_Value PLN meningkat, sejalan
dgn amanat:
- UU BUMN No. 19/2003
- UU Ketenagalistrikan No. 30/2009
1.1_Layak secara
financial bagi PLN
2.1.1_Layak secara
ekonomis (social benefit
> social cost), secara
financial tidak layak bagi
PLN
2.2_Layak secara
financial bagi PLN
2.1.2_Layak secara
financial bagi PLN
2_Renegosiasi tarif IPP
ke PLN, skema BOT ke
PLN tdk menghasilkan
financial benefit bagi
PLN (PLTU pensiun)
BERAWAL DISINI
HASIL AKHIR DISINI
2.1.1_SKEMA INI
LEBIH LAYAK
SECARA FINANCIAL
BILA DITANGANI
SENDIRI PLN (debt
70%)
3_PLTU milik IPP
Diakuisi PLN atau
Holding PLTU dgn
COC murah
3_KEBIJAKAN
RESTRUKTURISASI
BUMN - HOLDING
PLTU
38. Peraturan Pemerintah tentang Penghapusan Aset,
Percepatan depresiasi dan aspek perpajakan
• Tahap pertama, sebagai asset tak beroperasi tdk diperhitungkan
sebagai biaya penyusutan
• Tahap kedua, proses penghapusan asset menimbulkan kerugian dan
mengurangi ekuitas pemerintah: mekanisme persetujuan RUPS
• Tahap ketiga, proses penjualan asset yang telah dihapus sebagai besi
tua atau barang bekas.
• Peraturan pemerintah tentang penghapusan:
1) PM BUMN th 2010: PER-02/MBU/2010
2) PM BUMN th 2014: PER-22/MBU/2014
3) PM BUMN th 2021: PER-03/MBU/2021, tgl. 29 Maret 2021
41. Holding PLTU
Holding PLTU
PLTU Akuisi
dari IPP
PLTU- EX PLN
PLTU - sementara dan
akan dibangun PLN
Aset, Liabilitas, dan
ekuitas PLN
diserahkan ke
Holding PLTU
Covenant Global
Bond PLN
53. Peluang ‘monetisasi” program early retirement, misalnya terkait insentif Carbon Tax,
Negative carbon certificate dalam Emission Trading Mechanism
• Memperoleh pendanaan dengan dana murah dari negara maju atau investor
• PLTU diakuisisi oleh investor negara maju, kemudian dipercepat penghapusannya
• Memperoleh insentif dalam mekanisme perdagangan karbon
• Perlakuan akuntansi
• Benefit-cost pengurangan karbon: studi kasus industry kelapa sawit
54. Mekanisme Perdagangan Emisi Karbon
Sejarah Timbulnya Mekanisme Perdagangan Emisi Karbon: Konsep tentang perdagangan
hak emisi karbon merupakan suatu hal yang relatif baru yang digunakan sebagai alat
ekonomi untuk mewujudkan upaya menjaga kelestarian lingkungan (Ducsai, 2009).
Dalam konsep tersebut diatur adanya kuota polusi atau batas jumlah emisi karbon yang
diizinkan untuk setiap entitas yang berhak mendapatkan kuota.
Entitas yang mendapatkan hak mengeluarkan emisi tersebut dapat menjual haknya jika
mampu beroperasi dengan jumlah emisi gas di bawah kuota yang diizinkan.
Sebaliknya entitas yang tidak mampu beroperasi sesuai dengan kuota emisi karbon yang
ditetapkan dapat membeli tambahan hak untuk mengeluarkan emisi karbon tersebut dari
entitas yang memiliki kelebihan kuota.
Dengan demikian nantinya mekanisme kekuatan pasar akan berlaku, sehingga sesuai
dengan prinsip dasar ekonomi, setiap entitas akan berupaya untuk mencari cara
mempertahankan efisiensi biaya.
55. Mekanisme Perdagangan Emisi Karbon
Dilihat dari aspek pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, jumlah total
kuantitas hak emisi karbon yang ditetapkan dan selanjutnya didistribusikan oleh
pemerintah atau pihak yang berwenang tidak akan meningkat sepanjang periode
perdagangan hak emisi gas.
Selain itu jumlah tersebut dalam jangka panjang akan dikurangi hingga mencapai
target penurunan jumlah polusi secara global.
Secara ekonomi hal ini akan mendorong penjual dan pembeli hak emisi karbon
berupaya untuk memperoleh pendapatan atau melakukan penghematan biaya.
Penjual akan mendapatkan laba dari penjualan per unit hak emisi karbon sedangkan
pembeli berupaya menekan pengeluarannya dengan menekan pengeluaran
polusinya.
Oleh karena itu aktivitas ini dapat mendorong penurunan jumlah polusi yang
dikeluarkan
56. Protokol Kyoto merupakan kesepakatan (sejak 1997) yang memuat tentang perdagangan hak emisi karbon,
dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/ pengeluaran karbondioksida
dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan hak emisi karbon dalam rangka menjaga
jumlah atau mengendalikan emisi gas-gas yang berhubungan dengan pemanasan global.
Protokol ini awalnya ditujukan untuk 37 negara industri maju yang beroperasi selama lebih dari 150 tahun dan
paling bertanggung jawab atas tingginya emisi gas rumah kaca 48 pada saat ini, namun pada 16 Februari 2005
sebanyak 141 negara telah meratifikasi protokol ini.
Protokol Kyoto menawarkan cara untuk mencapai target emisi gas rumah kaca secara efektif dan
menguntungkan melalui mekanisme pasar, yaitu melalui perdagangan hak emisi karbon. Konsep perdagangan
hak emisi karbon sebenarnya didasarkan pada penciptaan nilai melalui distribusi hak emisi karbon.
Suatu negara dapat menjalankan mekanisme perdagangan hak emisi karbon ini dengan cara menetapkan jumlah
total emisi karbon yang akan dikeluarkan selama periode kepatuhan (compliance period) sesuai dengan jumlah
yang telah disepakati dalam Protokol Kyoto.
Jumlah total emisi karbon yang telah ditetapkan tersebut selanjutnya didistribusikan ke berbagai entitas melalui
alokasi hak emisi karbon/ cadangan pengeluaran emisi (allowances to emit).
Masing-masing cadangan pengeluaran emisi memberikan hak untuk mengeluarkan 1 ton emisi CO2 atau gas
rumah kaca lainnya. Sebagian besar hak emisi karbon diberikan oleh pemerintah melalui mekanisme
perdagangan emisi karbon tanpa dipungut biaya atau gratis, tetapi jumlah yang diberikan ini biasanya lebih
rendah dibandingkan dengan jumlah tingkat emisi yang sebenarnya dikeluarkan oleh entitas yang bersangkutan.
Hal ini menyebabkan timbulnya kelangkaan yang mendorong proses penciptaan nilai bagi pemegang hak emisi
karbon tersebut.
PROTOKOL KYOTO
57. PROTOKOL KYOTO
Hak emisi karbon dapat diperdagangkan secara domestik (antarperusahaan) maupun secara regional
(antarnegara).
Jumlah cadangan pengeluaran emisi yang diperdagangkan antarnegara dibatasi agar negara pembeli
tetap memenuhi kewajibannya untuk menurunkan tingkat emisinya sesuai dengan kesepakatan dalam
Protokol Kyoto (Kyoto Protocol Reference Manual).
Mekanisme perdagangan emisi karbon ini (Emissions Trading) mulai berlaku di Uni Eropa yang dikenal
dengan European Emission Trading Scheme (EU ETS) sejak Januari 2005 (Deegan, C. 2006: 361).
Perdagangan hak emisi karbon pada tingkat nasional merupakan cara mengurangi jumlah emisi karbon
dengan cara yang cukup murah.
Penerbitan peraturan tentang batas jumlah emisi karbon yang harus dipatuhi akan menyebabkan batas
tersebut digunakan sebagai dasar pembebanan berbagai bentuk denda kepada perusahaan.
Selain itu perdagangan hak emisi karbon akan mendorong perusahaan untuk memutuskan mana yang
lebih menguntungkan, memproduksi produk pada tingkat harga emisi karbon pada saat itu atau
terpaksa menutup aktivitas produksinya untuk memperbaiki fasilitas produksinya agar dapat
memenuhi peraturan batas jumlah emisi (Ducsai: 2009).
Berdasarkan hal tersebut, diharapkan aktivitas pencemaran udara dapat berkurang melalui
pembebanan harga per unit polusi yang dikeluarkan.
58. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi
Karbon
Permasalahan perlakuan akuntansi yang timbul terkait dengan metode penilaian dan pencatatan hak emisi
karbon yang diberikan oleh pemerintah yang selanjutnya dapat diperdagangkan dan jika terdapat selisih
dengan pemakaian sesungguhnya.
Untuk mengatasinya, International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) berpedoman pada
International Financial Reporting Standards (IFRS) yang sudah ada dengan cara menerbitkan interpretasi atas
perlakuan terhadap mekanisme perdagangan hak emisi karbon.
Upaya penerbitan draf interpretasi dilakukan 2002- 2003 sebelum diluncurkannya EU ETS, tetapi draf ini masih
memiliki kelemahan karena pada saat itu pedoman pelaksanaan perdagangan hak emisi karbon masih belum
sempurna.
Masalah yang terkait dengan perlakuan akuntansi perdagangan hak emisi karbon pada saat diluncurkannya
draf tersebut adalah perlakuan pada saat jumlah cadangan pengeluaran emisi yang diberikan secara gratis oleh
pemerintah sama dengan jumlah emisi karbon yang sesungguhnya dikeluarkan oleh suatu entitas dan entitas
tersebut tidak menjualnya kepada pihak lain.
Hal ini menyebabkan tidak adanya selisih/ nilai pertukaran yang dapat diakui sebagai laba bersih atau rugi
bersih.
Oleh karena itu pencatatan laba/rugi hanya dapat dilakukan jika terdapat selisih lebih (kurang) dari pema-kaian
cadangan tersebut dan selisih ini diperdagangkan.
59. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Berdasarkan IFRIC 3 yang diterbitkan pada akhir 2004, perlakuan akuntansi terhadap hak emisi
karbon yang dialokasikan oleh pemerintah maupun yang diperoleh melalui pembelian diakui
sebagai aset tidak berwujud menurut IAS 38 (Intangible Assets).
Izin/ hak yang diberikan oleh pemerintah tanpa dipungut biaya merupakan bantuan pemerintah
sehingga pada awalnya akan diakui sebagai aset tidak berwujud sebesar nilai wajar (fair value) dan
akun lawannya adalah pendapatan tangguhan (deferred income/ credit) bantuan pemerintah sesuai
dengan IAS 20 (Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Assistance).
Selanjutnya perusahaan dapat memilih untuk mencatat aset tidak berwujud tersebut sebesar biaya
perolehan (at cost) atau nilai wajar (sepanjang pasar yang aktif untuk perdagangan izin tersebut
ada).
Selama tahun berjalan, setiap kali perusahaan mengeluarkan emisi gas, kewajiban akan diakui
sesuai dengan kewajiban perusahaan untuk menjaga jumlah emisi gasnya sebanyak hak emisi
karbon yang diberikan oleh pemerintah.
60. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Perlakuan akuntansi ini sesuai dengan IAS 37 tentang kewajiban diestimasi,
kewajiban kontinjensi, dan aset kontinjensi (Provisions, Contingent Liabilities And
Contingent Assets).
Kewajiban ini diukur pada akhir periode pelaporan dengan menggunakan acuan
nilai pasar yang berlaku.
Selama tahun berjalan, perusahaan akan menghapuskan pendapatan tangguhan
sebelumnya dan mengakui sebagai pendapatan secara sistematis di laporan laba
rugi.
Hak emisi karbon yang dicatat sebagai aset tidak berwujud, dihapuskan pada saat
dijual ke pasar atau diserahkan kembali ke pemerintah pada saat pelunasan/
penyelesaian kewajiban untuk mengeluarkan emisi karbon sebesar hak yang
diberikan/ dimiliki. Jika hak emisi karbon diperdagangkan di pasar yang aktif, maka
hak emisi karbon tersebut tidak boleh diamortisasi.
61. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Pendekatan biaya perolehan dan revaluasi menurut IFRIC 3 pada dasarnya membahas tentang
pengakuan aset dan kewajiban yang berhubungan dengan mekanisme perdagangan emisi gas seperti
EU ETS.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, IFRIC 3 menjelaskan tiga elemen dalam neraca yaitu (1) aset
tidak berwujud yang mencerminkan hak emisi karbon yang diperoleh secara cuma-cuma 50 dari
pemerintah atau melalui pembelian, (2) kewajiban yang timbul dari pengeluaran emisi secara fisik yang
jumlahnya sama dengan jumlah nilai dari hak yang telah diberikan dan harus diserahkan kembali pada
akhir periode kepada pemerintah untuk memenuhi persyaratan pengeluaran emisi karbon, dan (3)
elemen pendapatan tangguhan (deferred income) yang mencatat bantuan pemerintah pada saat hak
emisi gas diberikan secara cuma-cuma.
Sehubungan dengan hak emisi gas sebagai suatu aset, untuk pencatatan pertama kali selalu diukur
sebesar nilai wajar yang diterima.
Setelah pengakuan dan pencatatan pertama kali dari penerimaan hak emisi karbon sebagai aset tidak
berwujud, pengukuran untuk transaksi selanjutnya dapat menggunakan dua alternatif pilihan yaitu
berdasarkan pendekatan biaya per-olehan atau menggunakan pendekatan revaluasi.
Kedua alternatif tersebut akan melaporkan beban akibat penurunan harga pasar hak emisi karbon
berdasarkan aturan lower of cost or market (mana yang lebih rendah antara biaya perolehan atau harga
pasar).
73. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Perbedaan antara keduanya terjadi jika harga pasar naik sehingga menghasilkan selisih positif.
Berdasarkan metode biaya perolehan, tidak ada keuntungan yang direalisasi sampai dengan hak emisi karbon
tersebut dijual.
Sedangkan metode revaluasi mengakui adanya surplus yang termasuk dalam ekuitas dan dicatat dalam akun
surplus revaluasi. Nilai dari kewajiban dihitung dengan cara mengalikan jumlah hak emisi gas yang dibutuhkan
dengan harga pasar yang berlaku pada saat itu dan jumlah kewajiban ini akan meningkat sejalan dengan
peningkatan jumlah emisi yang digunakan.
Pencatatan timbulnya kewajiban ini akan diimbangi dengan timbulnya beban sebesar nilai yang sama sesuai
dengan jumlah hak emisi gas yang dibutuhkan untuk proses produksi. Elemen pendapatan tangguhan diakui
sebesar nilai wajar pada saat bantuan pemerintah berupa hak emisi karbon diberikan untuk pertama kalinya.
Selanjutnya pendapatan tangguhan ini diamortisasi secara sistematis dan diakui sebagai pendapatan yang
selanjutnya disandingkan dengan perubahan dalam jumlah kewajiban emisi yang telah dicatat sebagai beban.
Metode pencatatan seperti ini menimbulkan masalah ketidaksesuaian pada saat menerapkan matching
principle di laporan laba rugi.
Ketidaksesuaian (mismatch) dalam pelaporan ini akibat perbedaan perlakuan pengukuran dimana pengukuran
aset (baik menggunakan metode biaya perolehan maupun revaluasi), pendapatan tangguhan (diamortisasi
sebesar biaya perolehan), dan kewajiban (menggunakan nilai wajar) tidak konsisten sehingga menjadi tidak
wajar jika diperbandingkan di laporan keuangan.
74. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Penerapan IFRIC 3 mendapat penolakan akibat ada beberapa kelemahan prinsip yang menimbulkan
ketidakseimbangan dalam akuntansi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kelemahan tersebut
antara lain adalah dalam hal pengukuran aset dan kewajiban.
Jika untuk pencatatan aset menggunakan pendekatan biaya perolehan sedangkan pencatatan
kewajiban menggunakan nilai wajar, maka terjadi ketidakseimbangan dalam hal pengakuan aset dan
kewajiban pada akhir periode pelaporan dimana kewajiban dan aset akan saling menghapuskan pada
saat penyerahan hak emisi karbon sebagai pertanggungjawaban pengendalian pengeluaran emisi
dari entitas kepada pemerintah.
Kelemahan berikutnya terletak pada lokasi pelaporan dari timbulnya laba dan rugi dari transaksi aset
dan kewajiban. Jika pendekatan nilai wajar digunakan untuk menilai aset, perubahan dari nilai aset
akan diakui di posisi ekuitas sedangkan perubahan dari nilai kewajiban akan diakui dalam laporan
laba rugi.
Kelemahan yang terakhir terkait dengan ketidaksesuaian dalam hal periode pencatatan.
Hak emisi karbon diakui pada saat diperoleh, biasanya di awal tahun, sedangkan kewajiban emisi
diakui selama tahun berjalan secara sistematis pada saat terjadinya pengeluaran emisi gas dan
dicatat sebesar nilai wajar pada saat terjadinya. K
75. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Kelemahan-kelemahan inilah yang menyebabkan hanya sedikit perusahaan yang terlibat dalam
mekanisme perdagangan emisi karbon menerapkan IFRIC 3 secara suka-rela. Akhirnya beberapa
pendekatan diadopsi/ dikembangkan dalam praktik akuntansi untuk mengatasi kelemahan
tersebut antara lain pendekatan kewajiban bersih (net liability) dan pendekatan bantuan
pemerintah (government grant) (Ernst & Young Global Limited, 2009).
Dalam pendekalan kewajiban bersih, hak emisi karbon diberikan pemerintah dicatat sebesar nilai
nominal (yaitu 0 jika diberikan secara cuma-cuma) dan perusahaan hanya akan mencatat
kewajiban pada saat emisi karbon sesungguhnya dikeluarkan telah melampaui hak emisi karbon
yang telah diberikan oleh pemerintah.
Berdasarkan pendekatan ini hak emisi karbon yang dibeli dicatat seperti halnya pembelian aset
tidak berwujud lainnya. Jika perusahaan menggunakan pendekatan pencatatan bantuan
pemerintah sesuai IAS 20, maka hak emisi karbon yang diberikan pemerintah akan dicatat
pertama kali sebesar nilai wajar dan akun lawannya adalah pendapatan tangguhan (deferred
income) bantuan pemerintah di neraca.
76. Perlakuan Akuntansi atas Perdagangan Emisi Karbon
Selanjutnya pendapatan tangguhan ini akan dihapuskan secara sistematis dan diakui sebagai
pendapatan selama periode efektif hak emisi karbon yang diberikan.
Perlakuan akuntansi dengan pendekatan ini lebih mengikuti rekomendasi IFRIC 3, tetapi
pencatatan kewajiban tidak diukur berdasarkan harga pasar yang yang berlaku pada saat
penggunaan hak emisi karbon, melainkan berdasarkan jumlah nilai yang dicatat atas hak
emisi karbon yang diakui sebagai aset tidak berwujud.
Pada akhir periode efektif dari hak emisi karbon/ periode pelaporan nilai aset tidak berwujud
dapat digunakan untuk menghapus kewajiban pada akhir periode pelaporan karena jumlah
nilai dari kedua elemen tersebut sama. Ilustrasi penerapan ketiga pendekatan perlakuan
akuntansi atas izin emisi karbon dijelaskan pada contoh kasus berikut (Ernst & Young Global
Limited, 2009: 5).
Contoh
• Perusahaan menerima hak emisi karbon pada 1 Januari 2009, yang memberikan hak
untuk mengeluarkan emisi gas sebesar 10.000 ton emisi karbon untuk tahun yang
berakhir 31 Desember 2009. Harga pasar untuk hak emisi karbon yang berlaku pada 1
Januari 2009 adalah €10/ton. Data tentang harga pasar dan pengeluaran emisi karbon
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut
81. Sewa
• Sewa adalah suatu perjanjian dimana lessor
memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan
suatu aset selama periode waktu yang disepakati.
• Sewa diklasifikasikan atas :
• Sewa operasi / operating lease
• Sewa pembiayaan / capital lease
• Sewa sebagai alternatif pembiayaan menghemat
kas entitas.
• Sewa operasi disajikan off balance sheet (tidak
ditampilkan di laporan posisi keuangan sehingga
dapat meningkatkan beberapa rasio keuangan
efisiensi dan leverage.
82. Sewa Operasi
• Sewa jangka pendek
• Alat dapat digunakan oleh penyewa namun aset dimiliki oleh
pihak yang menyewakan.
• Tidak terjadi transfer ownership di akhir masa sewa.
• Pemeliharaan alat biasanya oleh yang menyewakan
• Penyajian dalam laporan keuangan
• Diakui dan disajikan sebagai beban sewa dalam laporan laba rugi
komprehensif.
• Tidak ada pencatatan aset, utang dan beban depresiasi (off
balance sheet)
83. Sewa Pembiayaan
• Sewa pembiayaan / capital lease / finance lease
• Merupakan bentuk pendanaan jangka panjang pembelian
secara angsuran
• Sewa pembiayaan “transfer risiko dan manfaat aset kepada
pihak leasse” kriteria umum sesuai dengan PSAK 30: sewa
dan ISAK 8 Transaksi yang Mengandung Sewa.
• Pengakuan :
• Pencatatan aset dan amortisasi oleh lessee
• Pencatatan utang dan beban bunga atas kontrak pembayaran
jangka panjang
• Lessor tidak lagi mengakui aset
• Piutang dan pendaptan bunga akan diakui oleh Lessor
84. Penyewa
(Lessee)
• Menggunakan
Pesewa (Lessor)
• Meminjamkan
SEWA
• Sewa adalah suatu perjanjian dimana lessor memberikan hak
kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode
waktu yang disepakati.
Aset spesifik
Dapat diidentifikasi
85. Awal Sewa vs Awal Masa Sewa
Awal Sewa (Inception of the lease) adalah tanggal yang lebih awal
antara tanggal perjanjian sewa dan tanggal pihak-pihak menyatakan
komitmen terhadap ketentuan-ketentuan pokok sewa. Pada tanggal
ini:
Sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi atau sewa pembiayaan
Untuk sewa pembiayaan , jumlah yang diakui pada awal masa sewa
ditentukan
Awal Masa Sewa (commencement of the lease term) adalah tanggal
saat lessee mulai berhak untuk menggunakan aset sewaan.
Tanggal ini merupakan tanggal pertama kali sewa diakui (yaitu pengakuan
aset, kewajiban, penghasilan atau beban sewa)
86. Klasifikasi Sewa
Lease = Sewa
Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah sewa yang
mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada
akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan (par. 8)
Sewa Operasi (Operating Lease) adalah sewa yang tidak
mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan aset (par. 8)
Klasifikasi sebagai sewa pembiayaan atau sewa
operasi didasarkan pada substansi transaksi dan
bukan pada bentuk kontraknya.
87. Indikator-indikator Klasifikasi (Par.10)
a) Sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa
sewa
b) Lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup
rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dapat
dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi
memang akan dilaksanakan
c) Masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun
hak milik tidak dialihkan
d) Pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum
secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan
e) Aset sewaan bersifat khusus dimana hanya lessee yang dapat
menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material
88. Indikator Tambahan (Par. 11)
• Jika lessee dapat membatalkan sewa, maka rugi lessor yang
terkait dengan pembatalan ditanggung oleh lessee
• Laba atau rugi dari fluktuasi nilai wajar residu dibebankan
kepada lessee
• Lessee memiliki kemampuan untuk melanjutkan sewa untuk
periode kedua dengan nilai rental yang secara substansial
lebih rendah dari nilai rental pasar
Indikator – indikator di atas tidak selalu
harus konklusif.