1. PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN
JURNAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teologi Pendidikan Islam
Semester II
Dosen pengampu :
Prof. Dr. H. Nurwadjah Ahmad, EQ
Dr. Hj. Andewi Suhartini, M.Ag
Oleh :
Asep Kurnia
NIM : 3200220007
PROGRAM PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN
2. Oleh
Asep Kurnia
Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor S3 UIN SGD Bandung
Askurmirza77@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji mengenai pemikiran teologi modern dan lebih
mengutamakan substansi dari pada form, dan mengfungsikan nilai-nilai Islam
untuk mengatasi persoalan keumatan yang konkrit seperti kebodohan, kemiskinan,
pengangguran, dan keterbelakangan sosial serta mengembangkan ilmu
pengetahuan dan sains dalam kerangka kesejahtraan dan ketentraman umat manusia
dimuka bumi ini. Pemikiran teologi yang ada pada masyarakat menjadikan warna
paradigma teologi Islam harus dapat di dialektikakan oleh para penganut teologi
yang lebih moderat, sehingga meninggalkan pola teologi klasik tidak berarti
meninggalkan totalitas tetapi merombak konstruk berfikir kearah substansi ijtihad
sesuai dengan pesan-pesan nilai kemanusian yang humanis.
Kata Kunci: Pemikiran, Teologi, Modern
ABSTRACT
This research aims to examine the modern theological thoughts and prioritize
substance rather than form, and function Islamic values to overcome concrete
social problems such as ignorance, poverty, unemployment, and social
underdevelopment as well as developing science and science within the framework
of the welfare and peace of the people. human being on this earth. Theological
thinking that exists in society makes the color of the paradigm of Islamic theology
must be dialecticized by adherents of more moderate theology, so that leaving the
classical theology pattern does not mean leaving the totality but changing the
thinking construct towards the substance of ijtihad in accordance with humanist
messages of human values.
Keywords: Thought, Theology, Modern.
PENDAHULUAN
Fenomena keberagamaan dalam agama Islam nampak semakin hari semakin
semarak, tetapi fenomena semarak pada permukaan tersebut bukanlah suatu
jaminan bahwa umat Islam pada zaman terakhir ini juga mengalami kekuatan secara
utuh, secara kwantitas mungkin Islam mengalami jumlah kwantitas meningkat
tetapi secara kualitas belum tentu hal yang sama terjadi, bahkan boleh saja
kemudian mengalami degradasi pengikisan terhadap paham-paham substasni ajaran
keagamaan yang ada. Dengan fenomena perkembangan yang ada tersebut, maka
sungguh memprihatinkan jika pada pase perkembangan saat ini, kelompok lain
lebih banyak dan cara pandangan lain telah menggiring umat islam masuk pada
wilayah teologi suram yang tidak lagi mengetahui arah jalan menuju pusaran Islam
3. sebenarnya. Hal ini juga terbukti dengan merajalelanya maksiat dan problematika
keagamaan dasar diinjak dan dilanggar oleh para pengikutnya.
Aqidah adalah hal yang amat penting, jika aqidah tidak lagi menjadi sesuatu
yang ideal yang dapat mengendalikan diri seseorang, maka manusia berada dalam
kegalauan yang panjang tidak dapat menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Sehingga benarlah uangkapan hadist yang menyebutkan bahwa manusia bagaikan
buih di dasar lautan yang di mainkan oleh ombak kesana kemari.
Cara pandang masyarakat dari berbagai kalangan dan kelas melihat Islam
dengan berbagai bentuk dan kepentingannya masingmasing, maka tidak heran
kalau wajah islam tersebut menjadi warna warni sesuai dengan selera situasi dan
kondisi yang ada, tetapi terkadang sebagian orang juga pemeluk agama melompati
batas tirani indikator-indikator prinsip dalam beragama sehingga terjerumus secara
tidak langsung pada kecenderungan subjektif terhadap pandangan yang beragam
tentang berbagai hal di dunia, antara lain, pandangan terhadap materialisme sebagai
pemicu keterasingan manusia dari penciptanya. Dengan demikian, maka manusia
harus memiliki prinsif, ukuran dalam mempermainkan semua indikator yang bakal
menggiringnya pada kesesatan panjang
Teologi Islam merupakan suatu istilah dari ilmu kalam, yang diambil dari
bahasa inggris, theology. William L. Reese mendefinisikannya dengan Discourse
or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan
mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih mengatakan, „‟Theology to be a
discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and
science.‟‟( Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran
wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove
mengatakan bahwa teologi yaitu suatu penjelasan tentang ke-Imanan, perbuatan,
dan pengalaman agama secara rasional.1
Teologi Islam merupakan ilmu yang membahas tentang sesuatu yang
fundamental dalam pembangunan ke-Islaman. Karna teologi Islam sangat
bersentuhan dengan aspek-aspek Aqidah atau pokok-pokok ke Imanan manusia.
Teologi sebagai bidang strategis dan sebagai landasan upaya pembaharuan
pemahaman dan pembinaan umat Isam. Teologi juga merupakan aspek penting
karna dapat berfungsi sebagai refleksi kritis bagi tindakan manusia.2
Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam. Para ahli membagi sejarah ini
menjadi 3 bagian penting secara periodik, yaiu periode klasik, periode pertengahan
dan periode modern1Pertama, periode klasik (650-1250 M) periode ini merupakan
zaman kemajuan yang dibagi dalam dua fase, yaitu: (1) fase ekspansi dan integrasi;
dan, (2) puncak kemajuan.Periode inilah yang melahirkan ulama-ulama besar,
seperti: Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, Imam Ahmad ibn Hambal.
Pada saat yang sama, ilmu kalam pun berkembang seiring dengan kuatnya pengaruh
yang masuk dari tradisi pemikiran filsafat Yunani kuno.Kedua, periode pertengahan
(1250-1800M). Periode ini dibagi menjadi dua fase juga, yaitu: (1) fase
kemunduran (1250-1500M), di mana pada fase ini terjadi desentralisasi dan
disintegrasi dalam tubuh umat Islam; dan (2) fase kemunduran, yang dimulai
1 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,2007, hlm.14
2 Muhammad In‟am Esha, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, UIN Malang Presss,Malang,2008,
hlm.88
4. dengan zaman kemajuan (1500-1700M). Setelah itu, terjadi kemunduran lagi pada
tahun 1700-1800 M, dengan runtuhnya tiga kerajaan besar yang merupakan simbol
kejayaan umat Islam.3
Ilmu kalam klasik adalah teologi islam yang pokok pembahasannya lebih
cenderung kepada pembahasan tentang ketuhanan. Pembahasan pokok teologis
yang terdapat dalam ilmu kalam klasik telah jauh menyimpang dari misinya yang
paling awal dan mendasar, yaitu liberasi dan emansipasi umat manusia..Padahal
semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi islam (tauhid)
sebagaimana tercermin di masa Nabi SAW sangatlah liberatif, progresif,
emansipatif, dan revolutif.4
Secara teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah, tetapi
dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial
dalam kehidupan manusia.ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial
lain, yaitu perubahan apalagi, di lihat dari pandanganajaran islam sendiri,
perubahan adalah sunnatullah yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan
alam raya secara keseluruhan. Pandangan umat islam terhadap modernitas barat
dapat dipologikan menjadi 3 kelompok, yaitu modrnis (ashraniyyun hadatsiyun),
tradisionalis atau salafi (salafiyyun) dan kaum elektis (tadzabdzub).5
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data-data dan bahan-
bahan yang berkaitan dengan tema pembahasannya. penelitian ini adalah subjek
dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data
adalah: Pertama, sumber data primer, maksudnya sumber-sumber yang
memberikan data secara langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber datanya berupa buku, jurnal, majalah,
dll. Kedua, sumber data sekunder, yaitu sumber-sumber lain yang diperoleh dari
sumber primer. Dalam penelitian ini sumber data sekunder berupa buku-buku lain
yang berhubungan dengan bahasan penelitian ini. Setelah keseluruhan data
terkumpul, maka langkah selanjutnya penulis menganalisa data tersebut sehingga
ditarik suatu kesimpulan. Untuk memperoleh hasil yang benar dan tepat dalam
menganalisa data, penulis menggunakan teknik analisis isi. Analisis isi (Content
Analysis) adalah penelitian yang bersifat informasi tertulis atau tercetak di media
massa.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Teologi Islam Modern
Dalam pemikiran Islam mencakup tiga pembahasan besar yang senantiasa
menjadi pokok bahasannya, antara lain adalah Filsafat Islam, Teologi Islam(ilmu
Kalam) dan Tasauf. Ketiga pembahasan ini akan dibahas secara mendasar.
3 Karina Purnama Sari, “Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik Dan Modern,” Jurnal Ad-
Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-Ilmu Keislaman,2018.
4 Drs. Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern
(CV.Pustaka Setia, 2005), hlm. 33.
5 Sari, “Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik Dan Modern.”
5. Sebelum menjadi sebuah keilmuan yang definitif , ilmu kalam mengalami
serangkaian sejarah panjang, ilmu kalam dapat dipahami dan dikonstruksi dengan
melacak akar geneologisnya didalam pemikiran pemikiran yang dicetuskan oleh
pemikir yang terlibat didalamnya dan mempertajamnya dengan membandingkan
dan melihat hasil-hasil pemikiran para sejarawan.
Term kalam, pada awalnya, memang belum menjadi terminologi khusus
sebagaimana yang kita pahami sekarang. Seiring dengan perkembangan sejarah,
term kalam kemudian mengalami pengkhususan makna, misalnya dapat kita lihat
pada penggunaan term sebagai istilah tehnis yang mengacu pada persoalan-
persoalan yang kemudian menjadi objek utama dalam pembahasan kalam. Adanya
term Mutakallimin yang digunakan ibnu Sa’ad (w. 845 m) untuk merujuk orang-
orang Murjiah yang berdiskusi tentang status orang- orang yang berdosa.
Puncak perkembangan term kalam terjadi setelah ia diadopsi sebagai nama bagi
sebuah disiplin keilmuan yang ditandai dengan muncul dan berkembangnya
pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dikalangan Islam, lebih gamblang lagi dijelaskan
bahwa term kalam menjadi nama bagi sebuah keilmuan yang definitif pada masa
khalifah al-Makmum (813 – 833 M).
Setidaknya ada tiga titik pandang argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan
ilmu kalam:
1. Taftazzani dalam Dirasat fi al-falsafah al-Islamiyah menjelaskan bahwa
keilmuan ini disebut dengan ilmu kalam karena persoalan pertama yang ia
bahas, dalam sejarahnya, adalah berkenaan dengan kalam Allah, apakah kalam
Allah bersifat hadis atau qadim.
2. Harun Nasution dalam teolgi Islam memandang dari dua perspektif(a).
Perspektif Objektif, yaitu karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah sabda
Tuhan(al-qur’an), sebuah persoalan yang telah menimbulkan pertentangan
keras dikalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan kesepuluh
Masehi(b).perspektif subjektif, yaitu karena para ahli kalam dalam sejarahnya
sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi.
3. Karena pemikir Islam ketika membahas persoalan-persoalan keyakinan
keyakinan dalam Islam menggunakan metode dialektika (al-jadali) yang oleh
orang arab disebut dengan kalam.6
Menurut Ahmad Hassan, modernisme adalah aliran aliran pemikiran keagamaan
yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Dengan demikian Islam harus beradaptasi dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di zaman modern.7
2. Paradigma Pemikiran Teologi Islam Modern
Jika membahas era yang modern, maka ukurannya adalah ada sesuatu yang
membutuhkan perubahan secara mendasar, ketika mencari hal mendasar batasan
antara teologi klasik dengan modern, maka yang dibutuhkan bukanlah objek
bahasannya tetapi kerangka pikir dan analisa terhadap problematika yang paling
6 Abbas, “Paradigma Dan Corak Pemikiran Teologi IslamKlasik Dan Modern,” Shautut Tarbiyah,
2015.
7 Ahmad Hassan,The Doctrin of Ijma in Islam,Islamabad:IslamicReserch Institute,
1976,h. 226-227
6. mendasar sehingga dapat memberikan kontruk pemikiran berubah dan baru tanpa
meninggalkan secara totalitas objek bahasan masa lalu melainkan cara pandang
solusif dan manfaat serta rahmat bagi kepentingan semua elemen yang ada dimuka
bumi.
Ruang lingkup ilmu kalam yang bersifat transenden spekulatif dalam
realitas historisnya banyak membicarakan tentang zat, sifat Tuhan, kenabian,
eskatologi, dosa besar, syurga dan neraka, azali dan non azalinya al-qur’an, hal
demikian mendapat kritikan karena ilmu kalam hanya mengubek-ubek persoalan
ketuhanan dengan berbagai tetek bengeknya, ilmu kalam condong melangit dan
kurang membumi, kehilangan elan vitalnya alias mandul. Dengan demikian ilmu
kalam dianggap membeku, tidak melihat kebutuhan teologi masyarakat abad
modern yang haus akan siraman dan bimbingan pemikiran yang sederhana dan
faktual.
Ada beberapa ciri yang menandai modernisme Islam yang telah dikenal luas
dalam kajian-kajian terdahulu. Hamilton Gibb menitik beratkan kepada ciri
“apologetik”. Ciri ini ditandai dengan sikap pembelaan terhadap Islam dari berbagai
tantangan yang datang dari kaum kolonial dan missionaris kristen. Apologia,
menurut Gibb dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan keunggulan Islam
daripada peradaban barat, tetapi ia menambahkan satu ciri lagi yakni
“Romantisme”. Hal itu terlihat dari cara mereka mengagung- agungkan zaman awal
dan zaman kegemilangan peradaban Islam dimasa lampau dalih apologetik lain
yang seringkali dikemukakan oleh kaum modernis, masih kata smith, adalah bahwa
kemunduran Islam bukanlah disebabkan kesalahan doktrin agama itu, melainkan
kesalahan penganut-penganutnya. Puncak kesalahan itu karena umat Islam adalah
telah melupakan agamanya. Dengan demikian ciri-ciri yang dikemukakan oleh
orintalis tersebut dikritik oleh Edward Said, Marshall G.S Hodgson dan Robert N
Bellah.8
3. Pemikiran Teologi Islam Modern
Secara teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah, tetapi
dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial
dalam kehidupan manusia.ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial
lain, yaitu perubahan apalagi, di lihat dari pandanganajaran islam sendiri,
perubahan adalah sunnatullahyang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan
alam raya secara keseluruhan.Pandangan umat islam terhadap modernitas barat
dapat dipologikan menjadi 3 kelompok, yaitu modrnis (ashraniyyun hadatsiyun),
tradisionalis atau salafi (salafiyyun) dan kaum elektis (tadzabdzub).Yang pertama
menganjurkan adopsi modernitas berat sebagai model yang tepat bagi masa kini.
Artinya sebagai model secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma
peradaban modern untuk masa kini dan amasa depa. Sikap kaum salafi sebaliknya
berupaya mengembalikan kejayaan islam masa lalu sebelum terjadinya
8 Abbas, “Paradigma Dan Corak Pemikiran Teologi IslamKlasik Dan Modern.”
7. penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang terakhir (kaum elektif) berupaya
menghadapi unsur-unsur yang terbaik, baik yang terdapat dalam model barat
modern maupun dalam islam masa lalu , serta menyatukan diantara keduanya dalam
bentuk yang dianggap memenuhi kedua model tersebut.Era modern secara umum
dimulai ketika masyarakat Eropa menyadari tentang pentingnya kembali berfikir
filsafat. Para pemikir Eropa kembali bergelut dalam dunia ide yang dikembangkan
dalamtataran praktis menjadi gerakan penciptaan alat-ala yang mampu
memudahkan segala urusan manusia. Mereka menyebutnya dengan „moda‟ atau
„modern‟. Era ini terjadi pada awal-awal abad ke-16, yang dikenal dengan istilah
‘renaissance’.
Sementara dalam islam, bermula dari kesadaran umat Islam untuk
bangkitdari ketepurukan pasca keruntuhan Bani Abbasiyah. Periode modern ini
terjadi sejak tahun 1800-an hingga sekarang. Pada periode ini, muncul banak tokoh
yang menyerukan ide-ide sekaligus gerakan pembaharuan yang bermuatan visi
peradaban islam. Mereka inimerupakan para pendakwah rasional.Berbicara tentang
corak pemikiran kalam modern, tentu saja akan sangat bervariasi, sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakanya. Pada masyarakat yang maju, barangkali
pemikiran kalamnya cenderung ke arah rasional, yang mengharuskan segala
sesuatu dapat bersifat logis dan empiris. Pada masyarakat berkembang,
kemungkinan besar berada pada garis tengahnya. Sementara pada masyarakat
tertinggal, pemikiran kalam akan cenderung mengarah pada konsep jabariyah yang
pasrah pada segala sesuatu yang saat itu ada di hadapannya.9
Corak pemikiran kalam para tokoh muslim di abad modern, seperti
Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Ismail Raji Al-Faruqi, Hasan Hanafi dan
lain sebagainya. Masing-masing menunjukkan corak yang berbeda dalam
memahami teks-teks agama, yang kemudian melahirkan paham kalamnya sendiri.
Salah satu tokoh kunci yang namanya tak pernah luput dari perhatian adalah
Muhammad Abduh, yang diperkenalkan oleh muridnya yang terkenal, yaitu Rasyid
Ridha. Tokoh yang satu itu, juga banyak disorot terkait dengan pemikiran
kalamnya. Ajaran Islam, yang kristalnya berupa Al-qur‟an dan Sunnah Nabi,
diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang
diproduksi oleh kurun zaman. Modernitas yang telah menjadi arus utama peradaban
dunia di abad 19 dan seterusnya telah menawarkan berbagai jani-janji kebahagiaan.
Namun dalam praktikya modernitas justru banyak menimbulkan persoalan baru.
Peradaban modern justru banyak melakukan dehumanisasi kehidupan manusia itu
sendiri. Dengan cita- cita kemajuan, peradaban modern banyak melakukan
kerusakan dan bencana yang menyengsarakan orang banyak. Manusia hanya
dipandang sebagai entitas fisik yang tak berdimensi spritual, maka peradaban
modern justru menjadikan makhluk yang teralienasi, dilanda kebingungan dan
kemapanan makna. Akibat modernisasi yang lepas dari dimensi spiritual, maka
seperti yang dikatakan oleh Doni Gahral Adian, manusia dihadapkan pada
kenyataan bahwa ia kehilangan kontrol atas hidupnya di mana ia terdeterminasi
9 Faizal Amin,Ilmu KalamSebuah Tawaran Pergeseran Paradigma Pengkajian Teologi Islam
(Pontianak:STAIN Pontianak Press,2012),hlm. 89-90
8. oleh hukum-hukum biorkasi, mekanisme pasar, hukum besi sejarah dan lain
sebagainya.
4. Pemikiran kalam Modern
Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh, Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten
Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. Bagi Abduh, di samping mempunyai ndaya
pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar
alaminya. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari manusia maka dia bukan manusia
lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat
perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan
kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.10
Muhammad Abduh hasan khairullah, pernah menduduki berbagai macam jabatan
kenegaraan, kemudian terpilih sebagai Mufti (ahli hukum) Negara di Mesir. Ia salah
seorang ulama besar yang menjadi reformer dunia Islam, pembawa nafas baru,
pembangkit daya ijtihad di zamannya hingga wafat.Abduh adalah seorang tokoh
salaf, yang banyak mencurahkan perhatiannya pada teks agama (Al-Qur‟an).
Kendati demikian, ia sangat menghargai peranan akal. Ia juga menguasai materi
perbedaan yang terjadi di antara kelompok teologi Islam. Muhammad abduh
berpendapat bahwa islam adalah agama tauhid, memahami tauhid, tidak lepas dari
penggunaan akal, di samping wahyu jadi sandaran. Akal punya ruang gerak yang
begitu lebar untuk memahaminya secara hakiki, sesuai dengan hakikatnya.11
Dalam hal memandang wahyu, Muhammad Abduh sejalan dengan kaum
Mu‟tazilah. Ia tidak sepakat dengan pandangan teologi Maturidiyah Samarkan dan
Bukhara, Asy‟ariyah yang tidak memberi kedudukan bagi wahyu. Dalam masalah
wahyu, untuk menetap suatu keputusan Muhammad Abduh dan Mu‟tazilah tidak
memberikan peran yang mutlak, tapi itu tidak berarti bahwa wahyu tidak
diperlukan. Wahyu tetap merupakan sandaran awal, di mana harus
diinterprestasikan dengan akal pikiran.Mengenal keadilan Tuhan, secara impilisit
menggambarkan keyakinan Muhammad Abduh akan adanya perbuatan-perbuatan
wajib bagi Tuhan. Paham akan adanya kewajiban bagi Tuhan ini sejalan dengan
penadapatnya bahwa kehendak Tuhan tidak bersifat absolute. Teorinya tentang
sunah Allah (sunnatullah) mengandung arti bahwa Tuhan tidak bertindak seperti
raja, yang zalim, yang tidak tunduk kepada hukum, tetapi Tuhan mengatur
segalanya sesuai dengan hukum-Nya. Menurut Abduh jalan yang dipakai untuk
mengetahui Tuhan, bukanlah wahyu saja, tetapi juga akal. Akal dengan kekuatan
yang ada dalam dirinya berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan
wahyu. Untuk memperkuat pengetahuan akal itu dan untuk menyampaikan kepada
manusia apa yang tidak diketahui akalnya. Inilah dasar sistem teologi Muhammad
Abduh yang juga diterapkan kepada aliran-aliran teologi Islam.Abduh menyebut
sifat-sifat Tuhan dalam Risalahnya. Mengenal masalah apakah sifat itu termasuk
10 Elamansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di Era Digital(Pontianak:
IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 157-160.
11 Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: PRENADAMEDIA
GROUP, 2014), hlm. 195-243.
9. esesnsi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terlretak di luar
kemampuan manusia utuk mengetahuinya. Walaupun demikian, Harun Nasution
melihat Abduh cenderung pada pendapat bahwa sifat Tuhan itu termasuk esensi
Tuhan, meski Abduh sendiri tidak tegas mengatakannya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa Muhammad Abduh cenderung pada corak teologi Mu‟tazilah, di mana
peranan akal sangat dominan dalam menetapkan suatu teori keputusan-keputusan
teologisnya. Hal ini tidak mengherankan, karena pada era modern, peranan akal
sangat kuat dalam teori-teori ilmu pengetahuan. Kondisi ini disebabkan oleh
kuatnya pengaruh filsafat dalam kehidupan modern pasca kebangkitan filsafat
Yunani di Barat.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, Penulis memberikan kesimpulan, Teologi
orientasinya pada transformasi sosial, melakukan langkah praktis karena perintah
Nash. Paradigma Pemikiran Teologi Islam modern merupakan Paradigma
pemikiran teologi Islam modern adalah “keharusan Ijtihad”, khususnya ijtihad pada
masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan), dan penolakan mereka terhadap
sikap Jumud (kebekuan berpikir) dan Taklid (mengikuti sesuatu tanpa pengertian).
Kaum modernis senantiasa menggalakkan ijtihad dan membedakan doktrin
kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah, dalam bidang ibadah, semua
peraturannya telah dirinci dengan syariah, sehingga tidak adalagi kreatisfitas dalam
hal ini, Dalam bidang Muamalah syariah hanya memberikan prinsip- prinsip umum,
disamping menetapkan hudud (batas-batas) yang tidak bisa dilampaui, dalam
muamalah ini kaum modernis berpendapat bahwa “kreatifitas harus didorong”.
Mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad Islam Akan kehilangan relevansinya dengan
zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, “Paradigma Dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik Dan Modern,”
Shautut Tarbiyah, 2015.
Abbas, “Paradigma Dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik Dan Modern.”
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,2007.
Ahmad Hassan, The Doctrin of Ijma in Islam, Islamabad:Islamic Reserch
Institute,1976.
Drs. Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga
Modern (CV.Pustaka Setia, 2005).
Elamansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di Era
Digital(Pontianak: IAIN Pontianak Press, 2017).
Faizal Amin, Ilmu Kalam Sebuah Tawaran Pergeseran Paradigma Pengkajian
Teologi Islam (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012).
10. Karina Purnama Sari, “Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik Dan Modern,”
Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-Ilmu Keislaman,
2018.
Muhammad In‟am Esha, Teologi Islam: Isu-isu Kontemporer, UIN Malang
Presss, Malang,2008.
Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2014).
Sari, “Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik Dan Modern.”