9 bulan 2018 lalu Egianus Kogoya dijuluki perang membela bangsa sendiri di nduga papua akhir masyarakat lari ke hutan selama 9 bulan tanpa makan,minum tidak mendapatkan pakaian yang lajak sampai ada memanggil 189 meninggal dunia dan 41 orang masih di bocak papua
direct by albert giban
#save ndugama papua
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Pemerintah kabupaten nduga
1. Pemerintah kabupaten nduga
Oleh ALBERT GIBAN
Kemensos Sebut Jumlah Pengungsi Nduga yang
Meninggal 53 Orang
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
menyebut 53 orang pengungsi korban konflik Nduga di Papua meninggal selama periode Desember
2018 hingga Juli 2019. Mereka menyatakan pengungsi meninggal dengan berbagai sebab, seperti
usia dan sakit.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan
mereka yang meninggal, 23 di antaranya anak-anak.
2. "Data pemkab dan Kemenkes itu sudah divalidasi, 53 orang meninggal diantaranya 23 anak-anak
tapi karena sakit, usia dan berbagai faktor lainnya.Tidak benar berita lebih dari 130 orang meninggal
dalam pengungsian," kata Harry seperti dikutip dari Antara, Selasa (30/7).
Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga Namia Gwijangge menegaskan ke 53 data korban meninggal
dunia tersebut merupakan hasil dari pendataan dan investigasi di 11 distrik yang terdampak konflik.
Lihat juga:
Bantah Ada Pengungsi Tewas, Kemensos Kirim Bantuan ke Nduga
"Data itu dari awal konflik bukan saat terjadi pengungsian," tegas Namia.
Dia merinci dari 53 orang yang meninggal 20 di antaranya adalah orang dewasa dan lansia.
Informasi mengenai pengungsi Nduga yang meninggal sebelumnya disampaikan oleh Tim
Solidaritas untuk Nduga. Tim menyatakan bahwa selama periode Desember 2018 hingga 16 Juli
2019, jumlah pengungsi Nduga yang meninggal mencapai 139 orang.
"Untuk bulan ini saja sampai 16 Juli, tiga orang meninggal dunia. Sebagian meninggal dalam proses
pengungsian dari Nduga ke Wamena dan ada yang meninggal di Wamena," kata peneliti dari
Marthinus Academy, Hipolitus Wangge, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/7).
Wangge merupakan anggota tim solidaritas tersebut. Dandim 1702 Jayawijaya Letkol Inf Chandra
Dianto mengatakan belum mendapatkan informasi soal jumlah tersebut.
"Terkait 130 orang meninggal karena kelaparan kami belum dapat info. Ada sekitar 53 yang
meninggal bukan karena kelaparan tapi ada yang sakit dan faktor lainnya," jelas Chandra.
9 Bulan Mengungsi Tanpa Bantuan, 184 Warga Nduga
Tewas, 41 antaranya Bocah
Reza Gunadha
Rabu, 09 Oktober 2019 | 14:03 WIB
3. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Jangan bedakan penanganan pengungsi orang Nduga dan masyarakat Wamena. Ini bukti
Presiden Jokowi dan jajarannya abaikan nasib mereka, ujar Sepi Wanimbo
Suara.com - Konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dengan
TNI - Polri yang sudah terjadi di Nduga sejak Desember 2018 hingga kekinian, masih
membuat ribuan warga mengungsi di kabupaten tetangga seperti Wamena, Lanny Jaya dan
daerah lainnya.
Dari pengungsian ini, tercatat 184 orang asli Nduga meninggal dunia. Sebanyak 41 orang di
antaranya adalah anak-anak berusia sekolah.
Ketua Pemuda Gereja Baptis Papua Sepi Wanimbo mengatakan, lebih tragisnya lagi,
pemerintah tampak menomorduakan para pengungsi Nduga.
4. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan
pemerintah. [dokumentasi]
“Coba bayangkan, 41 anak yang meninggal dunia di pengungsian ini adalah usia sekolah. Ini
bukti Presiden Jokowi dan jajarannya abaikan nasib mereka,” ujar Sepi Wanimbo
kepada Jubi.co.id, Rabu (9/10/2019).
Menurut Wanimbo, pemerintah pusat di Jakarta dan Pemprov Papua harus netral dan merata
dalam penanganan pengungsi, baik memberikan bantuan bahan makanan ataupun
ketersediaan rumah layak huni, seperti dilakukan terhadap pengungsi Wamena pascainsiden
23 September 2019.
5. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan
pemerintah. [dokumentasi]
“Jangan melihat dari kaca mata politik, tetapi harus melihat dari nilai kemanusiaannya.
Karena nilai manusia lebih berharga dan mahal, sehingga (dalam) menangani pengungsi
masyarakat Nduga dan masyarakat Jayawijaya (Wamena) harus netral,” katanya.
Ia membandingkan respons pemerintah pusat dan pemprov untuk penanganan pengungsi
karena longsor di Sentani dan Wamena, terasa lebih cepat membuka mata dan telinga
dibanding pengungsi masyarakat Kabupaten Nduga.
“Padahal pengungsi masyarakat Nduga sudah terbengkalai. Hidupnya tidak nyaman, selama
sembilan bulan membutuhkan pertolongan dari pemerintah,” ucapny
6. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa
bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Aleb Koyau, salah satu mahasiswa pada sebuah perguruan tinggai di Jayapura mengatakan,
pengungsi masyarakat dari Nduga dan Wamena sama-sama mencari perlindungan dan
kenyamanan.
7. Dia mempertanyakan makna lima sila pada Pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia.
“Di manakah sila kedua, ketiga dan kelima yang tertulis di Pancasila? Inikah cara negara
kita? Nilai-nilai Pancasila dikemanakan?,” katanya kesal.
Sumber: www.jubi.co.id
BACA JUGA
Desember - Juli, 53 Pengungsi Konflik
Nduga Meninggal Dunia
8. Anggota Brimob istirahat sejenak di Puncak Zaitun, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Nduga dalam pameran foto
Menjaga Peradaban di Perpustakaan Nasional Jakarta. Masyarakat menyebut tempat itu Puncak Pohon Zaitun karena
terdapat pohon zaitun. Pameran ini diadakan oleh Binmas Noken Polri. AKBP Edwin Louis Sengka
Sebanyak 53 orang pengungsi korban konflik Nduga di Papua meninggal selama
Desember 2018 hingga Juli 2019 karena usia, sakit, serta berbagai faktor lainnya.
"Dari data Pemerintah Kabupaten dan Kementerian Kesehatan yang sudah divalidasi,
ada 53 orang meninggal diantaranya 23 anak-anak," kata Direktur Jenderal
Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat di Wamena
Papua, Selasa, 30/7.
Harry Hikmat membantah kabar yang beredar bahwa ada lebih dari 130 orang
meninggal dalam pengungsian. Dia mengklaim Kemensos hadir langsung ke Wamena
untuk memastikan kronologis dan mendapatkan informasi yang akurat.
Selain itu, Kemensos juga datang untuk menyerahkan bantuan bagi pengungsi korban
konflik Nduga. Total bantuan yang diserahkan senilai Rp3,68 miliar berupa logistik,
makanan, sandang dan perlengkapan lainnya. Harry Hikmat sempat berdialog dengan
pengungsi yang berada di Gereja Weneroma di Wamena untuk mendapatkan
masukan terkait kondisi mereka.
Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga Namia Gwijangge menegaskan ke 53 data
korban meninggal dunia tersebut hasil dari pendataan dan investigasi di 11 distrik
yang terdampak konflik. "Jadi data itu dari awal konflik dan bukan saat terjadi
pengungsian," kata Namia. Dia merincikan dari 53 orang yang meninggal, anak-anak
sebanyak 23 orang, 20 orang dewasa dan sisanya lansia.
Ada pun Dandim 1702 Jayawijaya Letkol Inf Chandra Dianto mengatakan 53 yang
meninggal itu bukan karena kelaparan tapi ada yang sakit dan faktor lainnya. Dia
mengaku belum mendapatkan informasi adanya kabar 130 orang pengungsi yang
meninggal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua,
Theo Hesegem mengklaim memiliki data tentang 139 pengungsi Nduga yang
meninggal. "Bahkan ada lebih banyak yang meninggal, saya punya datanya," kata
Theo.
9. Wiranto Bantah Anggapan
Enggan Selesaikan Kasus HAM
Papua
Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers terkait kondisi terkini Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ada aturan main di bidang hukum yang tak bisa dipenuhi.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto
membantah tuduhan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat
di Papua dan Papua Barat yang tak terselesaikan. Menurutnya, pemerintah
10. bukan enggan menyelesaikannya tetapi ada aturan main di bidang hukum yang tak bisa dipenuhi.
"Sehingga dipermasalahkan seakan pemerintah enggan atau tak mau menyelesaikan pelanggaran
HAM berat di Papua dan Papua Barat," ujar Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Selasa
(3/9).
Berdasarkan data yang diterima, Wiranto memaparkan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Dulu ada keinginan untuk menginvestigasi 12 kasus pelanggaran HAM berat di Papua, tetapi
setelah disortir tak semua 12 kasus itu pelanggaran HAM berat.
Ia mengatakan, dalam kasus itu beberapa termasuk masalah kriminal dan sudah diselesaikan
melalui jalur hukum pidana dan KUHP oleh kepolisian dan kejaksaan. Wiranto menyebutkan,
ada tiga kasus yang direkomendasikan pelanggaran HAM berat, yakni Wasior 2001, Wamena
2003, dan Paneae 2014.
"Dan sudah terjadi satu kerja sama antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Jadi
pelanggaran HAM berat itu syaratnya harus satu proses penyidikan, penyelidikan awal, untuk
masuk ke sana," kata Wiranto.
Ia menjelaskan, penyidikan, hasil penyidikan harus dapat memenuhi persyaratan bahwa itu
pelanggaran HAM berat dan cukup bukti untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, antara Komnas
HAM dan Kejaksaan Agung belum menemukan titik temu untuk mengkategorikan pelanggaran
HAM berat.
Menurut Wiranto, apa yang sudah ditemukan Komnas HAM diserahkan ke Jaksa Agung.
Kemudian dicek, dipelajari, dianalisis, dan hasilnya belum memenuhi untuk dapat diteruskan
dalam proses-proses pengadilan. Sehingga dikembalikan lagi dan agak memakan waktu.
zah itu tak bisa dibedah dan menyebabkan penyelidikan terhambat karena tak ada kelengkapan
bukti. Ia melanjutkan, untuk kasus Wasior dan Wamena telah ada koordinasi antara Komnas
HAM dan Kejaksaan Agung yang terus berlanjut melengkapi syarat formal dan material pada
proses peradilan.
11. Untuk kasus Wasior, Mahkamah Militer Tinggi II tahun 2003 telah mengadili delapan anggota
Polri yang telah berkekuatan hukum tetap. Catatan di sini, bahwa pada 2003 peradilan untuk
Polri masih masuk peradilan militer.
"Kalau sudah diselesaikan satu kasus dengan satu proses peradilan, enggak usah dihukum dua
kali," lanjut Wiranto.
Sehingga, kata dia, sejumlah hal seperti di atas memang terjadi bukan karena pemerintah enggan
menyelesaikan. Akan tetapi, ada hal teknis yang harus diselesaikan terlebih dahulu maupun
secara teknis sebenarnya kasus itu sudah diselesaikan.
Namun, yang terus digaungkan bahwa pelanggaran HAM berat di Papua belum diselesaikan.
Menurut Wiranto, perlu ada dialog apakah terus digenjot melalui judicial, atau lewat non judicial
melalui pendekatan budaya.
"Kita kan punya lembaga adat yang bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara yang
kekeluargaan. Bahkan di Papua dan Papua Barat, ada istilah bakar batu. Antar suku pun, ada
yang terbunuh, ada acara adat bakar batu, selesai. Pesta-pesta, sembelih binatang, makan-makan,
menari-menari, selesai," jelas Wiranto.
Gubernur Papua: 180 Pengungsi Konflik Nduga
Meninggal, Tak Boleh Didiamkan
"Setelah TNI masuk ke Nduga, 180 masyarakat pengungsi yang meninggal seperti didiamkan. Ini
tidak boleh, karena orang Papua harus dihargai sama seperti masyarakat Indonesia yang lain."
12. Gubernur Papua Lukas Enembe. (Foto: www.papua.go.id)
KBR, Jakarta - Gubernur Papua Lukas Enembe menyesalkan kurangnya perhatian
publik terhadap pengungsi konflik Nduga.
“Padahal sebagian besar masyarakat Nduga yang mengungsi sudah meninggal. Data
yang saya (terima) ada sekitar 180 lebih meninggal dunia, dan itu bukan jumlah yang
sedikit,” kata Lukas, seperti dilansir situs Pemprov Papua, Rabu (9/10/2019).
“Media massa juga tidak pernah membicarakan ini. Kamu (pers) sudah tahu, tapi
dibiarkan,” katanya lagi.
Pemerintah Pusat Kurang Perhatian
Selain mengkritik media massa, Gubernur Papua Lukas Enembe juga mengkritik
kurangnya perhatian pemerintah pusat soal pengungsi konflik Nduga.
"Setelah TNI masuk ke Nduga, 180 masyarakat pengungsi yang meninggal seperti
didiamkan, baik secara nasional maupun internasional. Ini tidak boleh, karena orang
Papua harus dihargai sama seperti masyarakat Indonesia yang lain,” kata Lukas.
Gubernur Papua mengaku sudah berkoordinasi dengan sejumlah bupati di Papua untuk
menangani para pengungsi Nduga.
Namun, karena banyaknya jumlah pengungsi, ia berharap ada perhatian serius dan
bantuan dari pemerintah pusat. Menurut Gubernur Papua, sejak Desember 2018
sampai sekarang ada sekitar 5.000 warga Nduga yang mengungsi.
13. “Sebab kasus pengungsian masyarakat Kabupaten Nduga juga adalah masalah
kemanusiaan yang luar biasa. Sehingga kita harap ada perhatian semua pihak,”
ujarnya.
Gubernur Papua: 180 Pengungsi Konflik Nduga
Meninggal, Tak Boleh Didiamkan
"Setelah TNI masuk ke Nduga, 180 masyarakat pengungsi yang meninggal seperti didiamkan. Ini
tidak boleh, karena orang Papua harus dihargai sama seperti masyarakat Indonesia yang lain."
Gubernur Papua Lukas Enembe. (Foto: www.papua.go.id)
KBR, Jakarta - Gubernur Papua Lukas Enembe menyesalkan kurangnya perhatian
publik terhadap pengungsi konflik Nduga.
“Padahal sebagian besar masyarakat Nduga yang mengungsi sudah meninggal. Data
yang saya (terima) ada sekitar 180 lebih meninggal dunia, dan itu bukan jumlah yang
sedikit,” kata Lukas, seperti dilansir situs Pemprov Papua, Rabu (9/10/2019).
“Media massa juga tidak pernah membicarakan ini. Kamu (pers) sudah tahu, tapi
dibiarkan,” katanya lagi.
Pemerintah Pusat Kurang Perhatian
Selain mengkritik media massa, Gubernur Papua Lukas Enembe juga mengkritik
kurangnya perhatian pemerintah pusat soal pengungsi konflik Nduga.
14. "Setelah TNI masuk ke Nduga, 180 masyarakat pengungsi yang meninggal seperti
didiamkan, baik secara nasional maupun internasional. Ini tidak boleh, karena orang
Papua harus dihargai sama seperti masyarakat Indonesia yang lain,” kata Lukas.
Gubernur Papua mengaku sudah berkoordinasi dengan sejumlah bupati di Papua untuk
menangani para pengungsi Nduga.
Namun, karena banyaknya jumlah pengungsi, ia berharap ada perhatian serius dan
bantuan dari pemerintah pusat. Menurut Gubernur Papua, sejak Desember 2018
sampai sekarang ada sekitar 5.000 warga Nduga yang mengungsi.
“Sebab kasus pengungsian masyarakat Kabupaten Nduga juga adalah masalah
kemanusiaan yang luar biasa. Sehingga kita harap ada perhatian semua pihak,”
Polisi minta bukti soal ratusan orang
disebut meninggal dunia di Nduga
Masyarakat Nduga memilih mengungsi setelah TNI/Polri
menggelar operasi militer mengejar Kelompok Kriminal
Sipil Bersenjata (KKSB).
15. Pihak kepolisian meminta diberikan bukti terkait adanya informasi yang menyebut ratusan orang
telah meninggal dunia selama lebih dari enam bulan mengungsi di Kabupaten Nduga, Papua.
Diketahui, masyarakat Nduga memilih mengungsi setelah TNI/Polri menggelar operasi militer
mengejar Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo,
mempertanyakan bukti laporan Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga yang menyatakan sejak
Desember 2018 hingga Juli 2019 terdapat 184 korban kemanusiaan di Nduga.
"Bisa dibuktikan tidak? Kalau punya bukti dilaporkan. Jadi, tidak boleh berasumsi, harus
berdasarkan bukti," kata Dedi di Jakarta, Kamis (15/8).
Menanggapi permintaan masyarakat Papua untuk menarik pasukan TNI-Polri dari wilayah Nduga,
Dedi mengatakan, justru kehadiran TNI dan Polri di Kabupaten Nduga untuk memberikan jaminan
keamanan kepada masyarakat."Kehadiran TNI-Polri mengamankan setiap jengkal Tanah Air
16. Indonesia karena ini menyangkut kedaulatan negara. Negara harus hadir dan memberikan jaminan
keamanan," ucapnya.
Menurut dia, sebelum TNI-Polri melakukan operasi, wilayah Nduga secara sistematis dan masif
dikuasai oleh kelompok bersenjata, sehingga menjadikan wilayah itu tidak kondusif. Tindak
kejahatan seperti pemerasan, intimidasi, penganiayaan, pembunuhan dan pemerkosaan oleh
kelompok bersenjata kepada masyarakat disebutnya kerap tidak tertangani dengan baik.
"Mereka membangun markasnya di Nduga dan sudah diambil alih TNI-Polri. Mereka tidak bisa
mengontrol lagi Nduga dan beberapa distrik, mereka melakukan hal seperti itu," ujar Dedi.
Sebelumnya, Tim Kemanusiaan Nduga menyebut operasi keamanan di Kabupaten Nduga telah
mengakibatkan banyak korban meninggal dunia karena kelaparan dan minimnya fasilitas kesehatan
di tempat pengungsian. Masyarakat Nduga banyak yang harus mengungsi ke hutan hingga ke
beberapa kabupaten/kota lain.
Sponsored
Selain itu, berdasarkan laporan tim kemanusiaan, terdapat oknum TNI yang melakukan kekerasan
dan membakar sekolah serta rumah warga. Untuk itu, tim kemanusiaan meminta pada pemerintah
untuk menarikan TNI-Polri dari Nduga.
Penarikan pasukan TNi dan personel polisi dinilai perlu karena operasi keamanan di Nduga apabila
terus berlangsung, justru dinilai menghasilkan ketidakstabilan dan semakin banyak jatuhnya korban
jiwa di tempat pengungsian.
Pengungsi nduga papua
9 Bulan Mengungsi Tanpa Bantuan, 184 Warga Nduga
Tewas, 41 antaranya Bocah
Reza Gunadha
Rabu, 09 Oktober 2019 | 14:03 WIB
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Jangan bedakan penanganan pengungsi orang Nduga dan masyarakat Wamena. Ini bukti
Presiden Jokowi dan jajarannya abaikan nasib mereka, ujar Sepi Wanimbo
Suara.com - Konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dengan
TNI - Polri yang sudah terjadi di Nduga sejak Desember 2018 hingga kekinian, masih
membuat ribuan warga mengungsi di kabupaten tetangga seperti Wamena, Lanny Jaya dan
daerah lainnya.
Dari pengungsian ini, tercatat 184 orang asli Nduga meninggal dunia. Sebanyak 41 orang di
antaranya adalah anak-anak berusia sekolah.
17. Ketua Pemuda Gereja Baptis Papua Sepi Wanimbo mengatakan, lebih tragisnya lagi,
pemerintah tampak menomorduakan para pengungsi Nduga.
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa
bantuan pemerintah. [dokumentasi]
“Coba bayangkan, 41 anak yang meninggal dunia di pengungsian ini adalah usia sekolah. Ini
bukti Presiden Jokowi dan jajarannya abaikan nasib mereka,” ujar Sepi Wanimbo
kepada Jubi.co.id, Rabu (9/10/2019).
Menurut Wanimbo, pemerintah pusat di Jakarta dan Pemprov Papua harus netral dan merata
dalam penanganan pengungsi, baik memberikan bantuan bahan makanan ataupun
ketersediaan rumah layak huni, seperti dilakukan terhadap pengungsi Wamena pascainsiden
23 September 2019.
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa
bantuan pemerintah. [dokumentasi]
“Jangan melihat dari kaca mata politik, tetapi harus melihat dari nilai kemanusiaannya.
Karena nilai manusia lebih berharga dan mahal, sehingga (dalam) menangani pengungsi
masyarakat Nduga dan masyarakat Jayawijaya (Wamena) harus netral,” katanya.
Ia membandingkan respons pemerintah pusat dan pemprov untuk penanganan pengungsi
karena longsor di Sentani dan Wamena, terasa lebih cepat membuka mata dan telinga
dibanding pengungsi masyarakat Kabupaten Nduga.
“Padahal pengungsi masyarakat Nduga sudah terbengkalai. Hidupnya tidak nyaman, selama
sembilan bulan membutuhkan pertolongan dari pemerintah,” ucapnya.
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa
bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Aleb Koyau, salah satu mahasiswa pada sebuah perguruan tinggai di Jayapura mengatakan,
pengungsi masyarakat dari Nduga dan Wamena sama-sama mencari perlindungan dan
kenyamanan.
Dia mempertanyakan makna lima sila pada Pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia.
“Di manakah sila kedua, ketiga dan kelima yang tertulis di Pancasila? Inikah cara negara
kita? Nilai-nilai Pancasila dikemanakan?,” katanya kesal.
18. 9 Bulan Mengungsi Tanpa Bantuan, 184 Warga Nduga
Tewas, 41 antaranya Bocah
Reza Gunadha
Rabu, 09 Oktober 2019 | 14:03 WIB
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Jangan bedakan penanganan pengungsi orang Nduga dan masyarakat Wamena. Ini bukti
Presiden Jokowi dan jajarannya abaikan nasib mereka, ujar Sepi Wanimbo
Suara.com - Konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dengan
TNI - Polri yang sudah terjadi di Nduga sejak Desember 2018 hingga kekinian, masih
membuat ribuan warga mengungsi di kabupaten tetangga seperti Wamena, Lanny Jaya dan
daerah lainnya.
Dari pengungsian ini, tercatat 184 orang asli Nduga meninggal dunia. Sebanyak 41 orang di
antaranya adalah anak-anak berusia sekolah.
Ketua Pemuda Gereja Baptis Papua Sepi Wanimbo mengatakan, lebih tragisnya lagi,
pemerintah tampak menomorduakan para pengungsi Nduga.
19. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan
pemerintah. [dokumentasi]
“Coba bayangkan, 41 anak yang meninggal dunia di pengungsian ini adalah usia sekolah. Ini
bukti Presiden Jokowi dan jajarannya abaikan nasib mereka,” ujar Sepi Wanimbo
kepada Jubi.co.id, Rabu (9/10/2019).
Menurut Wanimbo, pemerintah pusat di Jakarta dan Pemprov Papua harus netral dan merata
dalam penanganan pengungsi, baik memberikan bantuan bahan makanan ataupun
ketersediaan rumah layak huni, seperti dilakukan terhadap pengungsi Wamena pascainsiden
23 September 2019.
20.
21. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan
pemerintah. [dokumentasi]
“Jangan melihat dari kaca mata politik, tetapi harus melihat dari nilai kemanusiaannya.
Karena nilai manusia lebih berharga dan mahal, sehingga (dalam) menangani pengungsi
masyarakat Nduga dan masyarakat Jayawijaya (Wamena) harus netral,” katanya.
Ia membandingkan respons pemerintah pusat dan pemprov untuk penanganan pengungsi
karena longsor di Sentani dan Wamena, terasa lebih cepat membuka mata dan telinga
dibanding pengungsi masyarakat Kabupaten Nduga.
“Padahal pengungsi masyarakat Nduga sudah terbengkalai. Hidupnya tidak nyaman, selama
sembilan bulan membutuhkan pertolongan dari pemerintah,” ucapnya.
22. Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan
pemerintah. [dokumentasi]
Aleb Koyau, salah satu mahasiswa pada sebuah perguruan tinggai di Jayapura mengatakan,
pengungsi masyarakat dari Nduga dan Wamena sama-sama mencari perlindungan dan
kenyamanan.
Dia mempertanyakan makna lima sila pada Pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia.
23. “Di manakah sila kedua, ketiga dan kelima yang tertulis di Pancasila? Inikah cara negara
kita? Nilai-nilai Pancasila dikemanakan?,” katanya kesal.
Pengungsi Nduga, Papua: 'Berhari-hari di
luar, bisa mati kelaparan di hutan'Hak atas fotoSTAF
STEEL/AFP/GETTY IMAGESImage captionAnak-anak pengungsi dari Kabupaten Nduga, Papua, sedang
belajar di sekolah darurat yang dibangun LSM di Wamena.
Delapan bulan setelah operasi gabungan TNI/Polri menyusul penembakan terhadap pekerja proyek
Jalan Trans Papua di Kabupaten Nduga, hingga kini pihak berwenang masih melakukan pengejaran
terhadap pelaku yang disebut berasal dari kelompok pro-kemerdekaan Papua.
Eskalasi konflik yang terus meningkat, menyebabkan ribuan orang diperkirakan melarikan diri dari Kabupaten
Nduga. Banyak di antaranya kini membutuhkan bantuan.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, yang mendampingi para
pengungsi di Wamena mengungkapkan selain kelaparan, para pengungsi kini dalam kondisi ketakutan akibat
eskalasi konflik yang terjadi antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua
Merdeka (TPNPB-OPM) pimpinan Egianus Kogoya.
"Sebenarnya mereka takut dua-duanya, takut TNI juga takut OPM soalnya mereka pegang senjata. Dua-duanya
pegang senjata, jadi kalau terjadi baku kontak senjata antara TNI/Polri dengan OPM, masyarakat bisa jadi
korban," ungkap Theo kepada BBC News Indonesia, Rabu (28/07).
Siapa Egianus Kogoya, 'otak' serangan pekerja proyek di Papua
Baku tembak Polisi-OPM di Papua kembali menelan korban: 'Kalau perang terus, korban terus
berjatuhan'
Baku tembak TNI-OPM: Proyek Trans Papua dilanjutkan tentara, warga harapkan gencatan
senjata
Yang terbaru, baku tembak antara pasukan gabungan TNI/Polri dan kelompok pro-kemerdekaan Papua terjadi
di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, hari Selasa (27/07). Sebelumnya, penyerangan terhadap pos pembangunan
Jalan Trans Papua, yang menewaskan satu anggota TNI pada akhir pekan lalu.
Bupati Nduga mendesak agar pemerintah segera menarik pasukan TNI/Polri dari wilayah tersebut dengan
alasan keamanan.
Namun, Kapendam Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi berkukuh pengejaran terus dilakukan untuk
menumpas kelompok yang dia sebut "melawan kedaulatan NKRI".
'Setiap saat bisa ada serangan'
"Kalau dikatakan saat ini Nduga tidak aman, itu memang sangat betul. Saat ini Nduga tidak aman karena setiap
saat ada serangan. Tetapi Nduga tidak aman bukan karena hadirnya TNI/Polri," ujar Aidi.
"Nduga tidak aman karena adanya kelompok pemberontak yang mengangkat senjata secara ilegal, melakukan
tindakan kekerasan, pembunuhan, pembantaian penyanderaan, pemerkosaan, dan yang penting, melakukan
tindakan perlawanan terhadap kedaulatan NKRI," kata Aidi.
24. Sebuah laporan investigasi terbaru mengungkap pengerahan pasukan gabungan TNI/Polri ke wilayah Nduga
"menyebabkan lebih dari 5.000 mengungsi, 139 di antaranya meninggal dunia".
Namun data ini dibantah oleh Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat.
"Kami sudah cek ke Kementerian Kesehatan tidak ada kejadian luar biasa. Data meninggal yang ada adalah
data yang memang angka maturity yang dianggap wajar, bahwa mereka meninggal karena usia dan sakit," jelas
Harry.
"Tidak ada informasi yang menyatakan 130-an meninggal karena meninggal, karena kelaparan, dan
sebagainya," imbuhnya.
Meski demikian, Kementerian Sosial mengakui saat ini pemerintah mengalami kendala dalam melakukan
pendataan pengungsi akibat konflik di kabupaten Nduga. Kendala tersebut dikarenakan banyak dari mereka
yang berada di rumah kerabatnya.
Hak atas fotoANYONG/AFP/GETTY IMAGESImage captionRatusan anak dari Kabupaten Nduga, Papua,
mengungsi ke Wamena untuk menghindari kontak senjata antara TNI-Polri dan TPNPB.
Bagaimana eskalasi konflik di Nduga?
Kapendam Cenderawasih Muhammad Aidi menjelaskan kondisi geografis Nduga, terutama di pedalaman,
yang minim infrastruktur, membuat kelompok pro-kemerdekaan "leluasa melakukan tindakan kekerasan,
terutama ke warga non-Papua atau pekerja pembangun infrastruktur jalan."
Aidi menuturkan, rentetan kejadian mulai dari penyerangan terhadap warga di ibu kota Nduga, Kenyam, yang
mengakibatkan tiga warga sipil tewas, termasuk anak-anak.
Ada juga penembakan terhadap dua pesawat Trigana yang selama ini mendukung transportasi di Nduga dan
kegiatan pendistribusian logistik di masyarakat pedalaman.
Oktober silam, lanjut Aidi, ada penyanderaan terhadap guru-guru, relawan dan tenaga medis di Mapenduma.
"Kemudian puncaknya pada 1 Desember 2018, penyerangan terhadap pekerja PT Istaka Karya, menyebabkan
28 orang dibantai, 17 ditemukan meninggal dunia di tempat, empat orang dinyatakan hilang hingga saat ini,"
ujar Aidi.
Hak atas fotoANTARA/WAHYU PUTRO AImage captionPresiden Joko Widodo (tengah) didampingi
Menko Polhukam Wiranto (kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan keterangan pers terkait
penembakan pekerja Trans Papua di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 5 Desember 2018.
Sejak itu pemerintah melakukan operasi gabungan TNI/Polri untuk mengejar para pelaku yang dia sebut
sebagai "pemberontak".
Sejak itu pula, baku tembak terus terjadi antara TNI/Polri dan TNPB-OPM.
Baku tembak antara kelompok bersenjata dan pasukan TNI terjadi di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, hari
Selasa (23/07).
Menurut Aidi, kelompok bersenjata menyerang prajurit TNI sekitar pukul 05.40 WIT.
"Kita memberikan perlawanan kemudian mereka melarikan diri ke hutan. Sebagian pasukan mengamankan
pos dan satu tim melakukan pengejaran," ujar Aidi.
25. Dalam pengejaran, TNI menemukan sejumlah barang bukti berupa satu pistol standar militer kalibar 9 mm dan
ratusan amunisi.
Beberapa hari sebelumnya, Prada Usaman Hambelo, seorang anggota TNI yang bertugas mengamankan
pembangunan Jalan Trans Papua, tewas dalam penyerangan di wilayah Kabupaten Nduga, hari Sabtu (20/7).
Penyerangan terhadap personel TNI dilakukan saat mereka berada di lokasi pembangunan Jembatan Yuguru-
Kenyam, Distrik Yuguru, Kabupaten Nduga, yang merupakan proyek strategis pemerintah pusat, yakni
Pembangunan Jalan Trans Papua.
Hak atas fotoDITJEN BINA MARGA KEMENTERIAN PUPRImage captionJalanan hasil proyek Trans
Papua di Nduga diklaim belum tersambung karena pengerjaan puluhan jembatan tertunda.
Bagaimana kondisi pengungsi terkini?
Akibat dari eskalasi konflik di Nduga, ribuan orang terpaksa mengungsi ke distrik sekitarnya. Sebagian dari
mereka mengungsi di Wamena, Timika, Yahukimo, dan Lanijaya.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengungkapkan para
pengungsi sangat membutuhkan tempat tinggal karena di Wamena, mereka tinggal di rumah kerabatnya.
"Mereka butuh perhatian soal makanan, minuman dan tempat tinggal. Ini satu rumah, ada tiga sampai lima
kepala keluarga," ujarnya.
"Kalau orang Nduga biasanya satu orang punya anak lima sampai sepuluh orang, kadang bisa sampai 12," kata
Theo.
Hak atas fotoYAYASAN KEADILAN DAN KEUTUHAN MANUSIA PAPUAImage captionPengungsi
Nduga yang kini tinggal di Wamena membutuhkan bantuan tempat tinggal.
Selain itu, mereka juga kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dan akses pendidikan.
Imbas dari konflik di tempat tinggalnya di Nduga, mereka pun kini kesulitan mencari mata pencaharian.
Laporan berjudul Investigation Report on the Growing of Nduga Conflict and Its Impact yang dirilis Tim
Solidaritas untuk Nduga bersama Tim Relawan Kemanusiaan di Wamena mengungkap pengerahan pasukan
gabungan TNI/Polri ke wilayah Nduga di Papua telah menyebabkan lebih dari 5.000 mengungsi, 139 di
antaranya meninggal dunia.
Menurut, Theo, kebanyakan dari mereka meninggal di hutan dalam perjalanan mereka mengungsi ke luar
Nduga.
Buntut penembakan pekerja di Nduga, 2.000 orang mengungsi ke Wamena, Papua
Kerumitan masalah Papua di balik penembakan di Nduga
Gubernur Papua: 'Momen Natal, tarik pasukan TNI/Polri dari Kabupaten Nduga'
"Pada saat mereka mengungsi keluar mereka tiga sampai empat hari sampai satu minggu dengan kondisi tidak
makan itu bisa membuat mereka mati di hutan," sebutnya.
"Dalam perjalanan anak-anak kecil bisa meninggal, kemudian orang tua yang umurnya sudah usia lanjut, itu
bisa juga meninggal di hutan," imbuhnya.
Namun, angka ini dibantah oleh irjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat.
26. Menurut Harry, berdasar pengecekan yang dilakukan Kementerian Kesehatan ke pusat krisis dan dinas
kesehatan, "tidak ada informasi yang menyatakan 130-an meninggal karena kelaparan."
Bagaiamana respons pemerintah pusat terkait konflik
Nduga?
Harry memastikan misi kemanusiaan dijalankan pemerintah untuk menangani pengungsi konflik Nduga.
Konflik berkepanjangan menyebabkan warga di Distrik Mbua, Yal, Yigi, Mapenduma, Nikuri, dan Mbulmu
Yalma mengungsi.
Diperkirakan sekitar 2.000 warga mengungsi yang tersebar di Distrik Mbua, Distrik Yal, Distrik Mbulmu
Yalma Kabupaten Nduga dan Kabupaten Wamena.
Harry mengakui banyak dari pengungsi kini tinggal di kerabatnya yang tinggal di Wamena, hingga membuat
honai itu tak lagi proporsional untuk ditinggali karena adanya tambahan anggota keluarga yang merupakan
korban dari konflik sosial di Nduga.
Hak atas fotoKEMENTERIAN SOSIALImage captionDistribusi bantuan pemerintah untuk pengungsi di
Wamena.
"Itu yang kita perlu cari solusi ke depan, apakah dengan ditambah honai baru, atau pembangunan rumah
sementara," jelas Harry.
Harry mengungkapkan bantuan tahap pertama yang telah disalurkan berupa sebanyak 50 ton beras terdiri dari
10 ton lewat Jayapura, 10 ton ke distrik Mbua, distrik Yal, distrik Mbulmu Yalma dan 30 ton melalui
Kabupaten Wamena.
"Bantuan itu sudah sampai di gudang provinsi bulan April, cuma dinas sosial provinsi pasti memperhatikan
kondisi situasi dan keamanan. Beberapa kesulitan yang dihadapi seperti masalah transportasi keamanan dan
sebagainya," jelas Harry.
Selain itu, pemerintah daerah juga menyalurkan bantuan bahan pokok berupa mie instan, gula pasir, minyak
goreng, garam, ikan kaleng, kopi dan beras.
Sementara, bantuan tahap kedua terdiri dari 250 paket perlengkapan bermain, 250 paket perlengkapan belajar
anak, 30 paket perlengkapan olahraga 30 paket, dan 850 perlengkapan kebutuhan kelompok rentan.
"Semua bantuan tersebut saat ini sudah berada di gudang dinas sosial propinsi papua dan siap diterbangkan ke
Wamena," ujarnya.
Adapun jumlah pengungsi pelajar SD, SMP, SMA sebanyak kurang lebih 600 orang yang terdata di Distrik
Mbua, Distrik Yal, Distrik Mbulmu Yalma Kabupaten Nduga.
Sedangkan di Kabupaten Wamena belum diketahui secara pasti karena kondisi pengungsi berada di keluarga
atau suku masing-masing.