1. KELOMPOK 1
MATA KULIAH KONSELING LINTAS BUDAYA
DULU, KINI, DAN NANTI
Dosen Mata Kuliah: Muhamad Disra Saputra, M.Pd.
Disusun Oleh:
Agus Riyadi (202001500363)
Anggi Syifa Aulia Hutagalung(202001500461)
Indah Triyani(202001500455)
RichaBaratama(202001500420)
Utik Apriyani (202001500438)
KELAS X7D
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI (UNINDRA)
TAHUN 2023
2. A. Pengertian Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akandapat
lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu
telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling danpengertian
budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu:
(1) adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses,
(4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat
keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemenyaitu: (1)
merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3)
manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Menurut Von-Tress (1988) konseling lintas budaya adalah
konseling ketika konselor dan kliennya berbeda secara budaya oleh karena
secara sosialisasi berbeda dalam memperoleh budaya, sub-budaya, rasial-
etnis, atau lingkungan sosial ekonominya. Pedersen (1988)
mempertimbangkan konseling lintas budaya sebagai suatu situasi dimana
dua orang atau lebih dengan cara yang berbeda dalam memandang
lingkungan sosial mereka yang dibawa bersama dalam suatu hubungan yang
bersifat membantu.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk
menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi
mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada
variabel-variabelnya (Ponterotto, Casas, Suzuki, dan Alexander, 1995;
Locke, 1992; Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain
menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari
kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna,
dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,
keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan
Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991). Dilihat
dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan
konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn
(1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling
individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist.
Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap
3. budaya konseli menjadi sangat penting. Ia menegaskan: It is important for
counselors to be sensitive to and considerate of a client's cultural makeup.
Clinicians encounter many challenging and complex issues when
attempting to provide accessible, effective, respectful and culturally
affirming chemical dependency treatment to a multi-cultural population of
Deaf and hard of hearing individuals. Dalam pandangan Rendon (1992)
perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun
berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat
dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah
pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda
etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang
melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti
seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten,
dan Sue, 1989:37). Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk
keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas
budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses
konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar
berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya
dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan
yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling
dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara
konselor dan klien.
Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi
dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi
masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien.
Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling,
faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat
penting. Bila terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang
4. diinginkan dan dirasakan oleh klien, dan kesulitan menangkap makna
ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh konselor, maka akan terjadi
hambatan dalam proses konseling.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor pekadan
tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya
antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, danantara
konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi
diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianutsangat
mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalamkehidupan
sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan
lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan
unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya
yangadadi lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutanbudaya lainyang ada
di sekitar individu.
Proses konseling memperhatikan, menghargai, dan menghormati
unsur-unsur kebudayaan tersebut. Pengentasan masalah individu sangat
mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan
konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya tertentu;
menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut
dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah
individu tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.
Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling
memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu
akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan
manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh
ilmu antropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan banyak
disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah miniatur
kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan
bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri, melainkan juga dari
sudut pandang budayanya, outside dan within him (Kneller, 1978). Manusia
adalah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial,
5. organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-
ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya
sebagai pencipta yang aktif manusia juga memberikan kontribusinya kepada
perkembangan budayanya (Ritzer, Kammeyer, dan Yetman, 1979).
Konseling lintas budaya menjadi salah satu cara dalam memberikan
pelayanan pada masyarakat. Konseling lintas budaya sudah pasti
mempertemukan budaya dari kedua belah pihak baik dari sisi konselor
ataupun dari sisi konseli. Penelitian ini didasari karena mengingat masih
banyak masyarakat yang mebatasi sesuatu dengan berdalih berbeda budaya
atau pun berbeda bahasa maka dari itu penilitian ini dilakukan agar layanan
konseling lintas budaya dapat diterapkan dalam masyarakat sehingga tidak
ada lagi diskriminasi tentang perbedaan bahasa, ras, warna, suku, tradisi
maupun budaya.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas budaya akan dapat
terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu
bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang
sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai,
keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena
antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling
lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan
layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak
memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
B. Latar Belakang Perlunya Konseling Lintas Budaya
Adanya proses akulturasi atau percampuran antara budaya. Adanya
berbagai keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini
dilakukan, terutama pendekatan psikodinamik, behaviorioristik, eksistensial
humanistik, yang kurang mempertimbangkan aspek budaya.
C. Tujuan Konseling Lintas Budaya
1) Dapat menciptakan sifat kebudayaan yang universal dan dinamis.
2) Dapat mengenal lebih jauh mengenai unsure-unsur budaya.
3) Mengenal berbagai perkembangan konseling lintas budaya di dunia.
6. D. Asumsi-Asumsi yang Mendasari Pendekatan Konseling Lintas Budaya
1) Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran
untuk kepentingan konseling;
2) Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3) Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap
outcome konseling.
E. Kendala dalam Konseling Lintas Budaya
Konseling Lintas Budaya relatif belum memiliki konsep, teknik dan
praktek yang mapan seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga sering
dijumpai berbagai masalah dan kendala dalam pelaksanaannya. Dalam
pandangan Samuel (2012) betapa pentingnya untuk memisahkan perbedaan
atas latar belakang budaya dengan perbedaan kemiskinan ataupun status
tertekan sehingga menghindari salah persepsi dan reaksi masyarakat sebagai
diskriminasi berpola kultural.
Menurut Sue (Jumarin, 2002: 43) bawasannya yang menjadi sumber
hambatan dan kegagalan dalam konseling lintas budaya antara lain:
1. Program pendidikan dan latihan konselor
Umumnya program pendidikan dan latihan konselor mengacu
pada budaya kelas menengah ras kulit putih, sehingga para konselor
kurang memiliki pemahaman, kesadaran, ketrampilan dan pengalaman
konseling yang memiliki budaya berbeda dengan budaya barat
(Amerika-Eropa).
2. Kesehatan mental
Program pendidikan dan latihan konselor umumnya
menghasilkan konselor yang cultur encapsulation. Mereka
berpandangan monokultural tentang kesehatan mental dan pandangan
stereotype yang negatif terhadap budaya lain.
3. Praktek Konseling
Pelaksanaan konseling profesioanal yang selama ini dilakukan
menggunakan pendekatan ilmiah, yang mengacu pada budaya
empiristik, individualistik, kebebasan dan sebagainya, dan kurang
7. memperhatikan aspek-aspek budaya lain dari subyek yang dilayani,
sehingga terjadi ketidakefektifan, saling berlawanan, dan
ketidakcocokan dengan budaya klien.
F. Isu dalam Konseling Lintas Budaya
Dalam konseling lintas budaya terdapat isu-isu yang berkembang dan
menjadi perhatian serius para konselor, antara lain:
1. Isu Etic dan Emic
Isu utama yang menjadi perhatian adalah para konselor yang
bersudut pandang emik, yaitu dominannya teori-teori yang berdasarkan
nilai-nilai budaya Eropa/Amerika (Samuel: 2012). Beberapa
kepercayaan dominan dari Eropa/Amerika yakni nilai-nilai individual,
pemecahan masalah yang berorientasi pada tindakan, etika kerja,
metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat.
Implementasi dari nilai-nilai ini dalam konseling menjadikan teori-teori
yang dibuat di di dalamnya tidak selalu berlaku untuk klien yangberbeda
budaya sehingga berpotensi terjadi bias dan kegagalan dalam
membangun hubungan baik antara klien dan konselor. Pandangan
pendekatan emik menurut Jumarin (2002) mengacu pada pandangan
bahwa data penelitian multikultural harus dilihat dari sudut pandang
budaya subyek yang diteliti atau indigenoes (budaya asli) dan unik.
Sedangkan pendekatan etic melibatkan peneliti yang berasal dari budaya
tertentu. Permasalahan etic dan emic menjadi perbedaan mengenai cara
mendiskripsikan suatu kebudayaan, dipandang dari dalam maupun dari
luar budaya klien.
2. Isu Sensitifitas Budaya
Dalam pandangan Pedersen seperti yang dikutip Samuel (2012),
ia percaya bahwa sangat penting bagi konselor untuk sensitif terhadap
tiga hal berikut:
a. Pengetahuan akan cara pandang klien yang berbeda budaya
b. Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana
seseorang merupakan produk dari pengkonsdisian budaya
8. c. Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda
budaya
3. Isu Pemahaman Sistem Budaya
Konselor perlu memahami cara kerja sistem budaya dan
pengaruhnya terhadap tingkah laku. Konselor yang memiliki
pengetahuan dan kesadaran tentang sistem budaya biasanya akan lebih
ahli dalam membantu anggota dari kelompok budaya tertentu, mampu
berbagi cara pandang yang sama dengan klien, ataupun membuat
intervensi yang lebih baik dan pantas, tapi tetap mempertahankan
integritas personal.
4. Isu Keefektifan Layanan Konseling
Samuel (2012) yang mengutip pendapat Sue (1978) yang
mengetengahkan bagaimana membuat panduan untuk konseling lintas
budaya yang efektif, yang masih aplikatif hinggga sekarang, antara lain:
a. Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka
pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan
dan diterima.
b. Konselor menyadari kualitas dan tradisi dari teori konseling yang
umum dan bersifat kultural.
c. Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang telah
mempengaruhi kehidupan para anggota kelompok minoritas.
d. Konselor mampu berbagi cara pandang dari klien dan tidak
menanyakan keabsahannya.
e. Konselor benar-benar kreatif dalam praktik konseling. Mereka dapat
menggunakan beragam keahlian konseling dan menerapkan teknik
konseling tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu.
5. Isu Hubungan Konselor-Klien VS Teknik-Teknik Konseling Konseling
multikultural lebih merupakan pengadaptasian
teknik-teknik yang dipakai konselor sesuai dengan latar budaya klien.
Sebaliknya para ahli lain lebih menekankan hubungan konselor-klien,
lebih mementingkan apa yang dilakukan dan yang harus dihindari
konselor, dan bagaimana melakukan kegiatan konseling dalam budaya
9. yang beragam, serta mempertanyakan prinsip-prinsip mana yang tetap
perlu dipertahankan dalam melakukan konseling multikultural.
6. Isu Hubungan Bilateral antara Konselor-Klien
Hubungan konselor dengan klien mengacu pada tingkat proses
belajar dalam konseling yang mempengaruhi konselor maupun klien.
Apabila kesenjangan budaya dalam konseling dapat terjembatani, maka
pengalaman subjektif yang terkomunikasi dalam proses konseling dapat
menjadi “jendela” yang dapat digunakan oleh konselor maupun klien
untuk saling “melirik” kebudayaan yang dianut oleh masing-masing
pihak (Jumarin, 2002). Dengan demikian konselor atau klien dapat
saling mempelajari cultural frame of reference yang dianut, sehingga
proses berbagai subjective word antara konselor dan klien. Hal ini
tampaknya agak sulit dilakukan karena dalam proses konseling
sebenarnya yang menjadi pusat perhatian adalah klien dengan segala
persoalannya, tujuan-tujuan hidupnya, dan harapan-harapannya.
7. Isu Dilema Autoplastic-Alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pada bagaimana
mengakomodasikan seseorang pada suatu latar dan struktur sosial yang
bersifat given (jadi). Konsep alloplastic mengacu pada pembentukan
realita eksternal yang sesuai dengan kebutuhan individu. Konsep-
konsep ini berkaitan dengan tujuan proses konseling, karena konsep-
konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor
dapat membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada, dan
seberapa jauh konselor dapat mendorong terbentuknya realita yangsama
dengan realita yang ada pada diri konselor. Secara sederhana isu ini
menyangkut apakah dalam konseling multikultural konselor dapat dan
perlu mengubah nilai-nilai budaya klien sesuai dengan nilai konselor
atau nilai-nilai budaya lain yang menurut pertimbangan konselor perlu
dilakukan. Tentu saja jika nilai budaya klien sudah bagus,konselor harus
mengikuti budaya klien, tetapi jika budaya klien bertentangan dengan
budaya masyarakat, atau nilai-nilai yang berlaku,
10. maka cukup beralasan jika konselor berusaha merubah nilai budaya
klien kearah nilai budaya yang lebih baru dan sesuai.
8. Isu perbedaan fisik
Contoh: seorang konselor tetap menerima apa adanya dengan keadaan
fisik klien yang berkulit hitam.
G. Contoh Konseling Budaya
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang
berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas
dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh,
konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada
klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku
atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara
orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur
lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai-
nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan
lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula
individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa
seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus
dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit
sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi
permasalahan tersendiri dalam proses konseling. Dalam praktik sehari-hari,
konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang
sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam
penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan
terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif
lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif
terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau
manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa
mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya.
11. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan
untuk timbul hambatan dalam konseling.
Perbedaan Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu
perbedaan jenis kelamin mempengaruhi konseling karena terkadang
konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bersifat
kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang berani mengambil resiko.
Konselor perempuan kadang menganggap laki-laki tidak boleh cengeng
dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau
perempuan menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender
mereka maka terkadang konselor menganggap aneh dan salah. Contoh :
konseli laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering
menangis maka konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas
dalam berbicara selayaknya laki-laki.
H. Karakteristik Konselor yang Efektif dalam Pelaksanaan Konseling
Lintas Budaya
Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki
dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia.
Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung
tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari
bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya.
Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu
sekaligus mempelajarinya. Konselor lintas budaya sadar terhadap
karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara
umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling,
sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan
konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling
akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh
klien.
12. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan
mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam
melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi
untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai,
norma, dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih
apabila konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang
mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran
kepercayaan.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus
mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik,
baik agama maupun budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau
observasi, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya rintangan selama
proses konseling.
Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat
memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki konselor. Untuk hal ini ada
aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai
kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak
boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan
bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh dipaksakan kepada
klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
Konselor lintas agama dan budaya dalam melaksanakan konseling harus
mempergunakan pendekatan ekletik. Pendekatan ekletik adalah suatu
pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan
beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan
masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang
mempunyai perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor harus
memiliki wawasan keilmuan yang luas.
Konseling lintas budaya adalah sebuah peran dan proses membantu
yang menggunakan modalitas dan menetapkan tujuan yang konsisten
terhadap pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai budaya klien,
13. mengidentifikasi identitas klien, dengan mencakup dimensi individual,
kelompok dan universal, mendukung penggunaan strategi-strategi dan
peran-peran universal dan budaya dalam proses konseling.
Konseling Lintas Budaya relatif belum memiliki konsep, teknik dan
praktek yang mapan seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga sering
dijumpai berbagai masalah dan kendala dalam pelaksanaannya. Masalah
yang muncul terkait isu fisik dalam konseling lintas budaya yaitu cacat fisik,
perbedaan warna kulit, perbedaan tinggi dan berat badan, pendengaran yang
kurang, tidak bisa melihat, komunikasi kurang jelas, kontak fisik dan kontak
mata.
Karakteristik konselor yang efektif dalam konseling lintas budaya yaitu
sadar terhadap nilai dan asumsi tiap individu, paham terhadap karakteristik
konselor, paham akan pengaruh adat budaya konseli, tidak mendorong klien
untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki konselor,
menekankan pendekatan eklektik.
I. SIMPULAN
Konseling lintas budaya adalah konseling ketika konselor dan kliennya
berbeda secara budaya oleh karena secara sosialisasi berbeda dalam
memperoleh budaya, sub-budaya, rasial-etnis, atau lingkungan sosial
ekonominya. Konseling lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang
dari kelompok-kelompok yang tertindas, yang tertindas itu dapat berupa
gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia.
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal
dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling
sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Konseling dipandang
sebagai "perjumpaan budaya" (cultural encounter) antara konselor danklien.
14. Konseling adalah proses pemberian bantuan yang terjadi dalam
hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah
klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien, faktor utama
yang memengaruhi yang merupakan alat yang memengaruhi yang
berkemampuan dan berbagai kemampuan dalam konseling. Ini adalah
kemampuan dalam konseling, bahasa merupakan alat yang memengaruhi
yang berbeda dalam kemampuan dalam konseling.