Teknik pembuatan gambar ragam hias seni rupa kelas 7
NYERI PSIKOGENIK
1. NYERI PSIKOGENIK
A.Siswanto
Divisi Psikosomatik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK KMK UGM
PENDAHULUAN
Nyeri psikogenik adalah gangguan nyeri yang berkaitan dengan faktor
psikologis. Beberapa problem emosi dapat menyebabkan, memperberat dan
memperlama keluhan nyeri. Keluhan nyeri psikogenik tidak berkorelasi dengan
gangguan fisik yang ditemukan. Nyeri psikogenik, baik nyeri akut ataupun nyeri
kronis menggambarkan adanya gangguan psikologis yang terjadi sebelumnya dan
yang mendasarinya, dibanding adanya injuri fisik yang mengenai sebelumnya.
Walaupun beberapa kasus nyeri psikogenik terjadi sebagai akibat/ respon dari
cidera sebelumnya, tapi pada kasus tertentu nyeri yang ada sebagai akibat
gangguan psikisnya. Namun pada sebagian besar kasus, nyeri yang ada sebagai
akibat stimulus fisik akan dirasa lebih hebat oleh penderita. Karena otak
merupakan pusat dari persepsi nyeri dan lokasi ketidaknyamanan, seseorang
dengan gangguan emosi akan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
memperlihatkan nyeri yang lebih hebat. Gambaran lain nyeri psikogenik adalah
akut (nyeri hanya sebentar dan kemudian hilang) dan kronis ( nyeri akan berlanjut
terus menerus, bisa beberapa minggu, bulan bahkan tahun ).
Diagnosis nyeri psikogenik ditegakkan apabila tidak ditemukan penyebab yang
lain.
PENYEBAB NYERI PSIKOGENIK
Ada tiga teori yang diperkirakan merupakan penyebab nyeri psikogenik
1. Faktor psikologis memicu nyeri psikogenik yaitu gangguan cemas, gangguan
bipolar, depresi, obsesif kompulsif, gangguan panik.
2. Nyeri psikogenik merupakan akibat dari cidera sebelumnya tapi belum
sepenuhnya sembuh.
3. Nyeri yang ada dirasakan lebih berat dari kenyataan cidera fisik yang ada.
SIMTOM NYERI PSIKOGENIK
Nyeri psikogenik jika bersifat kronik akan menyebabkan bermacam macam
simtom. Nyeri dapat ringan atau berat, tumpul atau tajam. Pada umumnya nyeri
psikogenik menyebabkan:
- Nyeri menetap walaupun minum obat-obatan.
- Kesulitan menggambarkan lokasi, kualitas, dan kedalaman nyeri.
- Nyeri tidak terlokalisir pada bagian tubuh tertentu.
- Bertambah beratnya nyeri tidak tergantung dari kondisi fisik yang mendasarinya.
Jika simtom-simtom ini tetap terjadi padahal penyebab fisik tidak ditemukan,
mungkin penderita mempunyai nyeri psikogenik.
TERAPI NYERI PSIKOGENIK
a. Terapi Farmakologis / Psikofarmaka
Reseptor NMDA (N-methyl- D-aspartate ) adalah reseptor kunci yang
diaktifkan oleh neurotransmiter glutamat. Jika glutamat yang dilepas berlebihan,
2. maka akan dapat mengikat reseptor NMDA yang kemudian akan meningkatkan/
memperlama terbukanya saluran tempat masuknya (channel) ion Ca. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan nyeri. Keadaan ini disebut hiperalgesia.
Terapi psikofarmaka antara lain:
SNRI, alpha 2 delta ligands, anti depresan trisiklik, anti konvulsan, dan
benzodiazepin. Obat-obatan tersebut diatas dapat digunakan pada keadaan:
- Gangguan mood, gangguan cemas
- Gangguan nyeri somatoform: fibromialgi, sindrom kolon iritabel, migrain,
sindrom lelah kronik dan lain-lain.
Terapi nyeri perifer dapat digumakan obat non steroid anti inflamasi
(NSAID) misal acetaminophen atau ibuprofen.
Opioid bukan pilihan untuk mengatasi nyeri psikogenik. Obat-obatan ini tidak
mampu mengatasi penyebab nyeri yang bersifat psikologis, bahkan dapat
mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan.
Terapi Nyeri Sentral
1.SNRI ( Serotonin Nor Epinefrin Reuptake Inhibitor )
a. Duloxetin: mengurangi keluhan nyeri walaupun tidak seluruhnya. Keluhan
dapat muncul lagi setelah obat dihentikan. Dosis: 60 sampai 120 mg per hari.
b. Milnacipran: Berefek lambat ( 2 sampai 4 minggu ). Jika tidak berefek dalam 6
sampai 8 minggu, maka dosisnya ditingkatkan atau tidak digunakan lagi. Dosis:
25 sampai 200 mg per hari.
c. Venlafaxin: Mengatasi nyeri seperti Duloxetin tapi tidak disetujui oleh FDA.
2. Alpha 2 delta ligands
Obat ini bekerja dengan menyebabkan sensitisasi sentral. Obat-obatan ini adalah:
a. Gabapentin: mempunyai struktur yang analog dengan GABA. Dosis: 300
sampai 1.800 mg per hari.
b. Pregabalin: mempunyai afinitas yang lebih tinggi dibanding gabapentin, aksi
obat lebih cepat. Dosis: 2 x 75mg/ hari dapat ditingkatkan sampai 2 x 300mg/
hari.
3. Anti depresan trisiklik
a. Amitriptilin: Mempunyai efek sedasi yang tinggi, mempunyai efek samping
anti kolinergik yang kuat. Dosis: 10-100mg/ hari.
b. Amoxapin: Mempunyai efek sedasi yang rendah dan efek samping anti
kolinergiknya sedang. Dosis: 50-100mg/ hari.
c. Clomipramin: Efek sedasinya rendah dan efek samping kolinergiknya rendah.
Dosis: 25-100mg/ hari.
d. Desipramin: Efeksidasi dan efek antikolinergiknya rendah. Dosis: 25-100mg/
hari.
4. Anti convulsan
Obat anti convulsan mempunyai peranan penting sebagai analgesia dengan cara
memblok aktifitan channel sodium, menstabilisasimembran neuronal presinap,
3. menurunkan pelepasan neurotransmiter eksitator dan mengurangi kerusakan
serabut nosiseptik. Yang termasuk obat-obatan ini adalah: Phenitoin dan
Carbamazepin.
5. Benzodiazepin
Termasuk obat-obat ini adalah temazepam (mengobati insomnia dan depresi),
lorazepam (mengurangi ansietas dan depresi), clonazepam (mengobati keluhan
nyeri kronik)
Terapi nyeri campuran dapat menggunakan terapi nyeri perifer dan terapi nyeri
sentral.
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Untuk beberapa orang, nyeri dapat diatasi tanpa menggunakan obat-obatan. Yaitu
antara lain dengan cara relaksasi, imagery, distraksi, dan stimulasi kulit. Tetapi
masalah ini memerlukan bantuan seseorang yang sudah ahli untuk mengajari
penderita di dalam pelaksanaannya. Namun demikian, obat-obatan anti nyeri perlu
juga diberikan.
Pilihan terapi non farmakologis untuk nyeri psikogenik antara lain.
1. Relaksasi. Relaksasi mengurangi rasa nyeri dengan cara mengurangi
ketegangan otot. Terapi relaksasi dapat membantu pasien untuk mempermudah
tidur, memberikan tambahan energi, mengurangi kelelahan, menurunkan
kecemasan, dan membuat metode pengurang nyeri lain dengan bekerja lebih baik.
Sebagai contoh: penggunaan obat-obat pereda nyeri atau penggunaan terapi
kompres panas-dingin hasilnya akan lebih cepat dan lebih baik ketika pada saat
yang sama dilakukan relaksasi.
2. Biofeedback: cara ini merupakan teknik tata laksana nyeri dengan cara
mengajari pasien secara sadar untuk mempengaruhi fungsi tubuhnya secara
normal. Misalnya, denyut jantung, ketegangan otot, dan tekanan darah. Idenya
adalah dengan penderita mengetahui secara sadar fungsi tubuhnya maka pasien
akan menyesuaikan diri antara aktifitas dan gejala nyerinya. Biofeedback
membantu menurunkan nyeri dengan cara tadi membantu pasien lebih rileks yang
pada gilirannya dapat membantu pasien mengurangi gejala fisiknya, yang
memburuk akibat stress. Pemeriksaan dengan elektromiografi atau EMG
merupakan salah satu jenis terapi biofeedback yang telah terbukti dapat membantu
dalam pengelolaan nyeri.
3. Imagery: cara ini menggunakan imajinasi di dalam mengurangi rasa sakit tetapi
tidak sepenuhnya diketahui mekanismenya. Teknik ini menggunakan semua
indera yang ada, penglihatan, rabaan, pendengaran, penciuman, dan pengecap.
Beberapa orang mempercayai bahwa imagery adalah salah satu bentuk dari
self-hypnosis. Imagery dapat mengurangi nyeri salama terapi dan beberapa jam
setelahnya. Jika seseorang harus berada di tempat tidur, atau tidak bisa pergi ke
luar rumah, dia dapat menggunakan cara ini untuk membayangkan sesuatu yang
menyenangkan di luar rumahnya, diharapkan cara ini dapat membuat penderita
rileks, mengurangi kebosanan, menurunkan kecemasan, dan membantu tidur.
4. 4. Electroterapi: Bnetuk electroterapi yang bisanya digunakan adalah
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), terapi ini berusaha untuk
menurunkan nyeri dengan stimulasi elektrik voltase rendah yang berinteraksi
dengan sistem syaraf sensorik.
RENCANA PENGOBATAN YANG EFEKTIF
Terapi nyeri kronik merupakan suatu tantangan dan terapi ini dapat menggunakan
beberapa tipe kombinasi terapi untuk menghilangkan nyeri. Terapi kombinasi
tersebut harus dipertimbangkan jika nyeri berlangsung 2-3 bulan atau lebih. Terapi
awal berguna untuk mencegah terjadinya perburukan nyeri. Tujuan terapi adalah
mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi tubuh, cara ini termasuk memperbaiki
tidur, keterampilan memecahkan masalah, menurunkan stress sehingga dapat
melakukan aktifitas seperti sebelumnya.
Tanpa pengobatan, individu yang mengalami nyeri psikogenik dapat mempunyai
perilaku yang negatif, termasuk penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, mudah
lelah, iritabel, hidup yang terisolasi, gangguan tidur, dan gangguan memori.
KESIMPULAN
Gangguan nyeri perlu ditangani seawal mungkin, jika menjadi kronis perlu
strategi yang diterapkan untuk mengelola distress sebelum berkembang menjadi
lebih buruk.
Ada beberapa tujuan pengelolaan nyeri supaya menjadi berhasil, yaitu:
1. Melibatkan pasien di dalam proses tata laksana.
2. Mengoptimalkan kenyamanan dan perbaikan fungsi tubuh sebelum terjadi
penurunan fungsi.
3. Perlu modifikasi gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Allahverdi, Ertuğrul. (2020). Psychosomatic Pain. 10.5772/intechopen.91328.
Cepeda MS, Carr DB, Lau J et al (2006) Music for pain relief. Cochrane
Database Syst Rev(2): CD004843.
Cepeda MS, Carr DB, Sarquis T et al (2007) Static magnetic therapy does not
decrease pain or opioid requirements: a randomized double-blind trial. Anesth
Analg 104(2): 290–4.
DeSantana JM, Santana-Filho VJ, Guerra DR et al (2008) Hypoalgesic effect of
the transcutaneous electrical nerve stimulation following inguinal herniorrhaphy:
a randomized, controlled trial. J Pain 9(7): 623–
Dowswell T, Bedwell C, Lavender T et al (2009) Transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) for pain relief in labour. Cochrane Database Syst Rev(2):
CD007214.
Erdogan M, Erdogan A, Erbil N et al (2005) Prospective, Randomized,
Placebo-controlled Study of the Effect of TENS on postthoracotomy pain and
pulmonary function. World J Surg 29(12): 1563–70.
Ernst E
5. & Pittler MH (1998) The effectiveness of acupuncture in treating acute dental pain:
a systematic review. Br Dent J 184(9): 443–7.
French SD, Cameron M, Walker BF et al (2006) Superficial heat or cold for low
back pain. Cochrane Database Syst Rev(1): CD004750.
Good M, Stanton-Hicks M, Grass JA et al (1999) Relief of postoperative pain with
jaw relaxation, music and their combination. Pain 81(1–2): 163–72.
Haase O, Schwenk W, Hermann C et al (2005) Guided imagery and relaxation in
conventional colorectal resections: a randomized, controlled, partially blinded
trial. Dis Colon Rectum 48(10): 1955–63.
Hattan J, King L & Griffiths P (2002) The impact of foot massage and guided
relaxation following cardiac surgery: a randomized controlled trial. J Adv Nurs
37(2): 199–207.
Hoffman HG, Patterson DR & Carrougher GJ (2000) Use of virtual reality for
adjunctive treatment of adult burn pain during physical therapy: a controlled
study. Clin J Pain 16(3): 244–50.
Hoffman HG, Richards TL, Van Oostrom T et al (2007) The analgesic effects of
opioids and immersive virtual reality distraction: evidence from subjective
and functional brain imaging assessments. Anesth Analg 105(6): 1776–83.
Jensen MP, Turner JA, Romano JM et al (1991) Coping with chronic pain: a
critical review of the literature. Pain 47(3): 249–83.
Johnston M & Vogele C (1993) Benefits of pscyhological preparation for surgery:
a meta analysis. Annals of Behavioral Medicine 15: 245–56.
Kabat-Zinn J (2003) Mindfulness-based interventions in context: past, present and
future. Clin Psychol: Sci Pract 10: 144–56.
Kihlstrom JF (1985) Hypnosis. Annu Rev Psychol 36: 385–418.
Mourilhe P, Stokes PE. Risks and Benefits of Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors in the Treatment of Depression. Drug Safety 1998;18(1):57-82.
Moller HJ, Volz HP. Drug Treatment of Depression in the 1990s. Drugs 1996;
Nov;52(5):625-638.
Nauman T. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors. The Review (North Shore
CDUP) 1995;Nov;1,2.