Dokumen tersebut membahas implementasi Resort Based Management (RBM) di kawasan konservasi Indonesia. RBM bertujuan memberdayakan unit terkecil yaitu resort untuk mengelola kawasan secara langsung dengan melibatkan masyarakat setempat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kawasan dan mengurangi konflik dengan masyarakat. Dokumen tersebut juga menjelaskan aspek spiritual dalam penerapan RBM seperti keikhlasan,
1. ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT”
Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP. *)
“Benarkah RBM bisa diterapkan ?”
Resort Based Management (RBM) merupakan salah satu kebijakan Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia yang ditargetkan dapat diimplementasikan disemua UPT
Taman Nasional pada Tahun 2014. Kebijakan ini selalu kami sampaikan setiap
membawakan materi kebijakan Kementerian Kehutanan. Saat menyampaikan materi
pembelajaran mata diklat kebijakan bidang PHKA pada salah satu diklat, salah seorang
peserta menyampaikan tanggapannya bahwa RBM hanya “MIMPI” bagi kami petugas
lapangan. Hal tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian khusus dan tantangan untuk
membuktikan bahwa RBM tidak hanya sebatas “MIMPI”, tapi dapat diimplementasikan
seperti di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Karimun Jawa.
Pada saat sosialisasi RBM di Makassar Tahun 2010, Kepala Balai Taman
Nasional Alas Purwo menutup presentasinya dengan mengatakan bahwa “RBM ini hanya
bisa berjalan apabila ada dukungan dari Kepala Balai Taman Nasional”. Pernyataan ini
tentu saja menjadi pertanyaan bagi siapapun yang mendengarnya untuk mengetahui
“Aspek utama berjalannya RBM di Taman Nasional Alas Purwo dan itu bukan MIMPI”.
Fenomena Resort
Resort merupakan jabatan non struktural yang dibentuk dengan keputusan
Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional (Pasal 31 P.03/Menhut-II/2007).
Didalam sebuah taman nasional terdapat beberbagai struktur yang diduduki oleh berbagai
tingkatan jabatan sampai dengan staf dilapangan. Resort merupakan garda terdepan
dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Atasan langsung dari resort adalah Kepala
Seksi. Orang-orang yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan
masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar taman nasional,
maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan illegal didalam sebuah kawasan
taman nasional, seperti berburu satwa, illegal loging, perambahan dan pencurian tumbuh-
tumbuhan langka yang dilindungi.
2. Bila mencermati hal tersebut diatas, begitu rumit dan kompleksnya sebuah
manajemen di taman nasional. Bagaimana sebuah kebijakan seolah-olah saling
menunggu. Kebijakan dalam sebuah taman nasional tergantung oleh Kepala Balai dan
seorang Menteri Kehutanan. Seorang Kepala Seksi dan Kepala Resort serta staf-nya tidak
bisa berbuat apa-apa jika sang pimpinan tidak memberikan instruksi. Dalam hal
pengamanan kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab petugas resort, resort tidak
bisa berbuat banyak. Karena kewenangan dan pengelolaan anggaran berada di tingkat
Balai. Pengelolaan ini tidak akan efektif mengingat luasnya kawasan hutan yang
dikelola dan banyaknya permasalahan gangguan terhadap kawasan hutan.
Olehnya itu dibutuhkan sebuah solusi yang cepat dalam pengelolaan taman
nasional. Tingginya konflik di taman nasional dan masih sering terjadinya kegiatan-
kegiatan illegal disebuah taman nasional membuat beberapa kalangan tidak mempercayai
sistem taman nasional dalam upaya penyelamatan sebuah kawasan hutan. Manajemen
kolaborasi dan pelibatan masyarakat didalam dan disekitar taman nasional harus
diterapkan. Bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan serasi dengan kawasan hutan.
Menikmati tinggal dikawasan hutan dan menjaga tempat tinggalnya dari kerusakan.
Resort harus dilibatkan secara penuh dalam sebuah perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring sebuah kegiatan/program di taman nasional. Beri kepercayaan dan ruang
gerak yang bebas untuk resort.
“Seksi dan Resort adalah ujung tombak didalam sebuah taman nasional. Biarkan
mereka membuat program dan mengelola program tersebut. Baik program dari anggaran
pemerintah maupun sumber dana yang lainnya. Karena mereka yang tahu situasi dan
kondisi dilapangan. Kenapa disebuah taman nasional dibentuk seksi dan resort? Karena
kepala balai tidak akan sanggup mengurusi semuanya. Seksi dan resort merupakan
perpanjangan tangan kepala balai. Kepala balai cukup mengevaluasi saja pekerjaan-
pekerjaan mereka” ungkap Waldemar Hasiholan (Widyaiswara Pusdiklat Kehutanan)
yang pernah menjadi Kepala Balai Taman Nasional dibeberapa taman nasional ketika
kami melakukan praktek lapangan bersama di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
3. Aspek Spiritual RBM
Untuk menerapkan RBM, maka RBM hendaknya diinterpretasikan tidak semata-
mata sebagai tuntutan “Renstra Kementerian Kehutanan” tetapi merupakan hasil dari
suatu proses “IQRA = Membaca”. Membaca dalam arti luas adalah membaca
keseluruhan gejala yang terjadi disekitar kita yang menyebabkan terjadinya kerusakan
alam yang merupakan amanah bagi rimbawan. Mengapa kita diminta membaca, tentu
agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan
mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah,
bahwa agar manusia tidak buta dan tidak terjebak pada suatu “kondisi” yang
menyebabkan alam semakin rusak ditengah semakin bertambahnya rimbawan di bumi
tercinta ini.
Hal inilah yang diterapkan di Taman Nasional Alas Purwo yaitu membaca
fenomena yang terjadi di tingkat resort. Proses membaca ini membutuhkan “Kecerdasan
Emosional dan Spiritual” yang tinggi sehingga diperlukan kemauan dan tingkat
keikhlasan yang tinggi dalam bekerja. Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih. Tingkat
kecerdasan dengan pemahaman “Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih” inilah yang mampu
membaca fenomena resort bahwa kegiatan resort telah menyimpang dari aturan yang
sesungguhnya.
Untuk memperbaiki hal tersebut, dibutuhkan komitmen moral. Komitmen moral
hanya bisa dilaksanakan apabila yang akan mengajak komitmen memiliki kecerdasan
spiritual dalam berkomitmen yaitu memiliki moral yang dapat menjadi contoh dan
teladan. Kecerdasan spiritual yang sudah built in dalam diri menjadi penyebab untuk
berpikir melingkar, sehingga diperoleh solusi untuk menghitung “Penghasilan Minimal”
dan “Tugas Minimal”
“Penghasilan Minimal” adalah penghasilan diluar gaji yang menjadi kebutuhan
minimal petugas Resort yang menyebabkannya bekerja menyimpang dari aturan.
Penghasilan minimal ini dihitung dan didukung oleh pernyataan komitmen moral dari
petugas resort dan pihak Balai. “Penghasilan Minimal” ini berasal dari pelaksanaan
“Tugas Minimal” Resort yang harus dikerjakan diluar dari tugas rutin yang menjadi tugas
pokoknya.
4. Dengan adanya “Tugas Minimal” yang akan menghasilkan “Penghasilan
Minimal” ini menjadi motivasi tersendiri bagi petugas resort untuk bekerja di lapangan
yaitu di tingkat resort. Apabila personil resort bekerja dilapangan melaksanakan tupoksi
dan tugas minimal yang menjadi kewajibannya, maka kita mulai mengetahui isi kawasan,
memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu
sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita
bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM,
yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan. Dengan semakin lengkapnya data
dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman
terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga
kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang
100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan
konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat
dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.
RBM dan Tuntutan Renstra
RBM perlu dipahami tidak hanya sebagai “Tuntutan Renstra” tetapi merupakan
amanah Tuhan Yang Maha Menciptakan untuk membangun kelembagaan pengelolaan
yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan
potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat
melakukan adaptasi ke dalam dan keluar. Hal ini tentu saja perlu tahapan proses yang
diawali dengan tahapan “IQRA”, sehingga RBM berjalan sesuai dengan tahapan proses
yang terencana dan mantap. Tidak spontanitas karena pemenuhan “Renstra”, dimana dari
aspek data sudah RBM namun dari aspek manajemen sesungguhnya belum menerapkan
RBM.
Berikut ini ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:
Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.
Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan
dan potensi yang dapat dikembangkan.
Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan menghadapi persoalan
internal dan eksternal.
5. Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi
sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan
berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.
Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan
melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.
Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan,
dan kualitas pekerjaan.
Menjadi Leading Agency dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan
internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan
memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-
prinsip kelestariannya.
Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya budaya “membaca”
yang didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data,
informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya
bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
RBM diharapkan berjalan sesuai dengan tahapan proses yang direncanakan
sehingga Resort sebagai unit manajemen terkecil menjadi kenyataan yaitu fungsi-fungsi
manajemen ada ditingkat resort. Dengan berfungsinya Resort sebagai Unit Manajemen
Terkecil, diharapkan permasalahan-permasalahan kawasan hutan tidak semakin kompleks
dan mengalami penurunan dari bentuk manajemen sebelumnya. (SS).
*) Widyaiswara Madya pada Diklat Kehutanan Makassar (085299305956)