Makalah ini membahas tentang ruang lingkup farmasi dalam bidang pemerintahan. Farmasi memiliki peran penting dalam instansi pemerintahan seperti Kementerian Kesehatan dan Pendidikan. Farmasi sosial mencakup berbagai aspek seperti kebijakan hukum, penelitian, dan pendidikan untuk mendukung tujuan kesehatan masyarakat. Perkembangan definisi dan orientasi farmasi juga sejalan dengan perkembangan di bidang kesehatan.
1. MAKALAH
TENTANG NINE STAR PHARMATICS DAN RUANG LINGKUP FARMASI
DALAM
BIDANG PEMERINTAHAN
Disusun oleh:
Sri yuliati
2. KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT karena atas petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Tanpa pertolongan Dia mungkin
penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik, Makalah ini disusun atas dasar tugas
dari Panitia ospek UMM.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ruang lingkup farmasi
dalam bidang industri, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Ruang Lingkup Farmasi Dalam Bidang pemerintahan”
yang menjelaskan bagaimana Ruang lingkup farmasi.
Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunannya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, itu semua tidak luput dari kodrat kami sebagai manusia biasa yang tidak luput dari
suatu kesalahan dan kekeliruan. Sehingga kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari
pembaca merupakan sesuatu yang berharga demi perbaikan kedepannya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin!
Malang, 30 agustus 2013
Penyusun
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan
bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi,
pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan
pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian
mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep
(prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang
sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai.
Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau
elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi
obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang yang
paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan
keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua aspek
kefarmasian seperti yang tercantum pada definisi di atas.
Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan pada
pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu dikatakan merupakan seni
(arts) dan pengetahuan (science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di
perguruan tinggi farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul
“Scoville‟s The Art of Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde” (Ilmu
Resep) karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-Undang No.
7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
1.2
Rumusan masalah
Bagaimanakah peran farmasi dalam bidang pemerintahan
1.3
Tujuan
Untuk mengetahui peran farmasi dalam bidang pemerintahan
4.
5. BAB II
PEMBAHASAN
2.1
VOKASI DAN KARIR DALAM BIDANG FARMASI
Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak menyerap
tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen
POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan
Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan
pada setiap Kantor Wilayah Dep.Kes dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat
II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif,
pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2000, telah terjadi perubahan
struktur, Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi
menjadi Badan POM yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula
struktur Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan
POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi. Departemen HANKAM, juga
memerlukan Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan
alat kesehatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan
dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang
Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi lulusan
Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA (Pengembangan
Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu program penataran dosen
dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan,
seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun
setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib kerja
sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat dilaksanakan pada
instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan
dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
6. 2.2
Farmasi sosial dan Kebijakan hukum kefarmasian di Indonesia
Dari penjelasan diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa farmasi sosial memiliki
cakupan yang sangat luas sehingga kita tidak membatasinya „hanya‟ pada tataran kebijakan
hukum farmasi di Indonesia. Tetapi benar bahwa hasil penelitian dibidang farmasi sosial
harus dijadikan dasar dalam pembuatan aturan main di bidang kefarmasian. Lahirnya
kebijakan yang tidak mendukung eksistensi apoteker di Indonesia tidak hanya disebabkan
karena kurangnya pendidikan farmasi sosial. Kasus UU praktek kefarmasian misalnya
sebagai contoh. Isu undang-undang ini hilang ditelan bumi dengan lahirnya PP 51 tahun
2009, seolah-olah kita sudah puas dengan mendapatkan PP tersebut. Jika kita melihat konten
UU praktek kedokteran dan PP 51 maka kita akan menyadari bahwa isinya dominan sama
mengenai hal-hal yang diatur (mungkin UU kedokteran dijadikan colap ?). Lalu mengapa
yang satu dalam bentuk UU yang satu bentuknya PP ?. Diresmikannya UU praktek
keperawatan saya pikir bisa menjadi pelajaran berharga dan bisa membantu kita menjawab
mengapa kita belum mampu memiliki UU sendiri. Apakah benar hanya karena kita
kekurangan mata kuliah farmasi sosial ?
Disini saya mau mengajak untuk membedakan tataran sosial dan politik dalam sebuah
aturan. Kita memang lemah dalam tataran sosial tetapi jika kita tarik ke masalah hukum
maka jelas penyebabnya adalah kekurangan kita dalam bidang politik (farmakopolitik ?).
Kurang kompaknya para apoteker menjadi salah satu sebab lemahnya nilai tawar apoteker
secara politik. IAI sebagai wadah bertemunya ide-ide besar yang harus dibawa untuk
diperjuangkan, nyatanya belum mampu diterima dan dirasakan secara penuh kehadirannya
oleh para apoteker. Teman-teman sejawat apoteker yang masuk ranah politik bisa dihitung
jari dan jikapun mereka mampu berperan secara nasional maka pastinya mereka lebih
tersandera oleh kepentingan partai daripada profesi. Inilah realita perpolitikan di Indonesia.
Sebenarnya kita punya perwakilan dibidang pemerintahan (Dirjen Bina Kefarmasian
dan Alkes, Depkes RI) yang saya nilai bisa memberikan andil besar dalam mempengaruhi
kebijakan. Tetapi sampai saat ini sepertinya belum maksimal (mohon saya dikoreksi),
buktinya SJSN seolah-olah tidak menghargai eksistensi apoteker.
7. 2.3
Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker
Sejak dikeluarkannya PP 25/80 diwajibkan kepada para Apoteker untuk mengikuti
pelatihan tambahan sebagai Apoteker Pengelola Apotik (APA). Dengan dikeluarkannya PP
tersebut maka kemampuan dan keterampilan Apoteker sebagai Pengelola Apotik perlu
ditingkatkan, khususnya dalam bidang manajemen, komunikasi personal, farmakologi dan
kewiraswastaan dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pengabdian profesi di Apotik.
Pelatihan ini dilaksanakan untuk semua Apoteker yang sudah mempunyai izin kerja dengan
pemberian sertifikat Apoteker Pengelola Apotik (APA). Setelah itu pada tahun 1984 materi
kompetensi APA itu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Apoteker.
2.4
Apoteker lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya
Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di
bidang kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara
di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health for All by
the year 2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh negara
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan yang
memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang produktif secara
sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan melalui suatu konsep bernama
“Primary Health Care” dalam konperensi internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep
itu dikenal dengan nama Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan kunci dalam
pencapaian tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan
hal dan keadilan sosial. Perkembangan terakhir pengembangan di bidang kesehatan pada
milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”. Paradigma sehat, bukan paradigma sakit,
berorientasi pada bagaimana mempertahankan keadaan sehat, bukan menekankan pada
manusia sakit yang sudah menjadi tugas rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan
farmasi yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti perkembangan
yang terjadi di bidang kesehatan.
The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1] mendefinisikan farmasi
sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian dari
8. pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi
secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan
pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta bulan
Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi
Farmasi sebagai berikut :
Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial
budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan
dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan
tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh obat
pada manusia dan hewan.
Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di atas,
farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika,
matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi
dan diterapkan.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola
dan didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya. Pengetahuan farmasi
disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan kepada
orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat
memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum
masyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya
untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif maupun secara
kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.
9. BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Pengayaan kurikulum pendidikan farmasi di Indonesia khususnya di Unhas adalah
sebuah keharusan untuk menjamin lengkapnya kebutuhan keilmuan dan kemampuan
yang dibutuhkan apoteker.
2. Farmasi sosial mencakup keilmuan yang luas dan bukanlah hal yang baru di
Indonesia.
3. Terbukanya peluang penelitian dibidang farmasi sosial bagi seluruh apoteker.
4. Persepsi farmasi sosial dan politik di Indonesia berbeda.
3.2
Saran
Dalam makalah yang telah kami susun masih banyak kekurangan, baik dari segi
bahasa, susunan maupun dari segi keterbatasan literatur. Oleh karena itu, pembaca di
harapkan untuk menambah dan melengkapi makalah ini supaya lebih mendalami
pengetahuan tentang ”Farmasi dalam bidang Pemerintahan”.