Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang keutamaan menangis karena rasa takut dan rindu kepada Allah, di mana menangis merupakan simbol keimanan bagi orang mukmin. Tangisan yang di landasi dengan iman akan menghasilkan rasa rindu untuk bertemu dengan Allah dan rasa takut akan siksaan-Nya.
1. MENANGIS KARENA TAKUT DAN RINDU
KEPADA ALLAH
Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA.
Sumber : idrusabidin.blogspot.com
SINOPSIS.
Bagi kaum lelaki, menangis merupakan aib yang tidak dibenarkan. Kapan pun
dan di mana pun. Karena, walau bagaimana, kelelakian adalah merupakan simbol
ketangguhan dan keperkasaan. Merupakan suatu tindakan cengeng jika tangisan
menghiasi mata sang lelaki. Tindakan yang biasanya lumrah bagi wanita, sebagai
ungkapan perasaannya, baik karena kesal atau karena rindu terhadap sang kekasih
(suami) atau pun lainnya. Di hadapan Allah swt, tidak ada yang perkasa. Tidak ada yang
gagah berani dan tidak ada pula yang hebat. Dia-lah yang memiliki segalanya. Sehingga
tangisan di hadapan-Nya, baik karena takut maupun rindu, merupakan simbol kehambaan
yang sudah seharusnya ditunjukkan oleh siapa pun. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. sebagai teladan sepanjang zaman.
Artinya, “Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu ketika,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta Aku agar membacakan al-Qur'an
kepadanya. (Dengan perasaan malu), Ibnu Mas'ud mengungkapkan, "Bagaimana
(mungkin) Aku membacakan al-Qur'an kepadamu wahai Rasulullah !? padahal al-Qur'an
ini diturunkan kepadamu ". "Saya ingin mendengarnya dari orang lain" ungkap beliau.
Maka, Ibnu Mas'ud pun memulai bacaannya dari surah an-Nisaa'. Ketika sampai pada
ayat 41 yang berbunyi, "Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu)..". Rasulullah pun dengan lembut
mengatakan, "Cukup". Ketika saya (Ibnu Mas'ud) menoleh kepadanya, ternyata air mata
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang bercucuran. (HR.Bukhari dan Muslim).
Kalangan sahabat sebagai siswa dalam madrasah Rasulullah, juga mewarisi
sikap demikian. Mereka adalah pribadi-pribadi yang cengeng di hadapan Allah swt di
malam hari, tetapi perkasa bak harimau di siang hari di hadapan musuh dan di medang
pertempuran.
2. Artinya, “Dari Anas radiyallahu ‘anhu, ia melaporkan, “Suatu ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam naik mimbar. Ia kemudian berkhutbah seperti biasanya.
Tetapi, khutbah ketika itu tidak sama dengan khutbah Rasulullah sebelumnya. Nuansanya
berbeda. Beliau mengatakan, "Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui maka pasti
kalian sedikit tertawa dan banyak menangis". Sahabat-sahabat beliau pun menutupi
wajah mereka sambil terdengar suara seperti kerumunan lebah (karena suara tangisan
mereka). (HR. Bukhari dan Muslim).
Ummat sebelum Islam (ahli kitab), yang beriman kepada Allah swt., juga
demikian keadannya. Keimananlah yang membuat mata mereka basah oleh air mata
kerinduan terhadap rahmat-Nya. Sebagaimana mereka menitikkan air mata karena takut
terhadap siksaan-Nya. Kondisi mereka dideskripsikan oleh Allah swt dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al
Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud, Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, Sesungguhnya janji Tuhan kami
pasti dipenuh. Mereka tersungkur dengan muka mereka sambil menangis sehingga Allah
pun senantiasa menambah ke-khusyu-an (dalam hati mereka)". (QS. al-Israa' : 107-109).
KEUTAMAAN MENANGIS KARENA ALLAH SWT.
Karena tangisan merupakan simbol keimanan bagi orang mukmin, maka
keutamaan yang di milikinya sangat mengesankan. Sebut saja misalnya sebuah riwayat
yang dirilis oleh Abu Hurairah r.a. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pernah menginformasikan,
"Tidaklah akan masuk nereka seseorang yang menangis karena takut kepada
Allah, sehingga air susu kembali ke asalnya (tempat keluarnya). Debu peperangan di
jalan Allah swt tidak akan menyatu selamanya dengan asap api neraka". (HR.Tirmidzi).
3. Bahkan orang yang menangis ketika mengingat Allah dalam keadaan sendirian
dengan hati yang terpaut dengan Allah swt. termasuk dalam kategori orang-orang yang
mendapatkan naungan di akhirat nanti. Hari di mana naungan tidak akan diperoleh
kecuali mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah swt. Abu Hurairah melaporkan,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda,
"Ada tujuh golongan yang diberikan tempat bernaung pada hari (kiamat). Hari
di mana manusia tidak mempunyai tempat bernaung kecuali naungan-Nya : Pemimpin
yang adil, pemuda yang tumbuh dalam nuansa ibadah kepada Allah swt., orang yang
tertambat hatinya dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka
berdua berkumpul dan berpisah karena cinta karena Allah. Seseorang yang diajak
(berbuat mesum) oleh seorang wanita bangShallallahu ‘Alaihi Wasallam an dan
berparas cantik, lalu ia jawab, "Saya takut kepada Allah", seseseorang yang bersedekah
dengancara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak menegetahui apa yang
dilakukan tangan kananya (ketika bersedakah), dan orang yang mengingat Allah kala
sendirian (dan dengan penuh ke-khusyu'an) , lalu matanya basah (karena takut dan rindu
kepada Allah swt.)". (HR.Muttafaq Alaihi).
Demikianlah tangisan yang di landasi dengan iman yang menghasilkan rasa
rindu (raja') untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Rasa yang juga dilapisi pula oleh rasa
takut (khauf) kepada-Nya karena adanya neraka yang merupakan simbol kemarahan-Nya.
Kedua faktor inilah yang berada dibalik tangisan orang-orang mukmin. Walaupun sisi
kerinduan yang paling mendominasi dirinya saat-saat air mata membasahi wajahnya.
RAJA' (HARAP) DAN KHAUF (TAKUT) YANG MELAHIRKAN TANGISAN.
Raja' adalah ketenangan hati dan kedamaian jiwa karena mengharapkan sesuatu
yang dicintai. Jika faktor-faktor pendukung raja' ini sempurna maka ia akan
menghasilkan tangisan yang mewujudkan perasaan tenang dan perasaan tentram. Namun
jika perangkat-perangkatnya tidak padu dan tidak apik, ia akan menghasilkan pribadi
yang terpedaya. Pribadi yang berharap dengan harapan yang berlebihan kepada Allah
swt. sehingga lupa bahwa di samping rahmat Allah yang ia harapkan, juga di sana ada
kemurkaan-Nya yang harus dipertimbangkan dan dihindari. Untuk peribadi demikian,
4. tangisan tidak bisa hadir pada pelupuk matanya. Perasaannya yang diselimuti oleh
harapan akan rahmat Allah membuatnya terlena. Sikap yang merefleksikan
ketidakkeritisan terhadap kualitas ibadah yang ia lakukan terhadap Zat yang diharapkan
rahmat-Nya (Allah Swt.).
Jika sikap kritis ini tidak hadir pada diri seseorang ketika melakukan amalan,
maka kualitas ibadahnya tidak lagi maksimal. Sikap kritis ini sering dikenal dengan
istilah muraqabah. Yaitu sebuah aktifitas yang mementingkan kritik ketika dan setelah
melakukan amalan. Apakah sudah layak dan pantas untuk dimajukan, dan bagiamana
seharusnya pada pase selanjutnya?. Sikap inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai
sikap cerdas seorang mukmin dalam beribadah. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . menegaskan,
"Orang yang cerdas adalah siapa yang selalu mengkeritisi dirinya dan beramal
(dengan malan yang baik) sebagai persiapan untuk (hidup) setelah mati nanti (akhirat)."
(HR. Tirmidzi)
Jika ditelusuri lebih mendalam, muraqabah ini merupakan implementasi dari
sikap khauf (rasa takut) seseorang jika amalannya belum pantas dan layak untuk
dipersembahkan. Baik ketidakpantasan itu dari segi kualitas maupun kuantitas. Inilah
yang sering kita dengar dari para ahli suluk bahwa dalam rangka melakukan spiritual
journey menuju Allah, hendaknya seseorang terbang dengan dua sayap, sayap al-khauf
dan sayap al-raja'. Hanya saja, pada saat tertentu, seperti sakit misalnya, sisi al-raja'
seharusnya lebih ditegaskan, karena nuansanya sedang berada pada level al-khauf.
Demikian pula ketika sedang segar bugar, dengan nuansa al-raja' yang lebih
mendominasi, sisi al-khauf perlu dihadirkan dan dipertegas keberadaanya.
Perangkat-perangkat al-raja' yang di maksud di sini, yang dengannya seseorang
tidak terpedaya adalah :
1. Mencintai apa yang diharapkan (mahabbah).
2. Merasa khawatir jika kehilangan apa yang diharapkan (khauf).
3. Selalu berusaha untuk mendapatkannya (.raja’)
Setiap orang yang berharap pasti merasa takut dan cemas jika tidak merasa yakin bisa
mendapatkan apa yang diharapkannya, dan bila orang yang sedang berjalan merasa
khawatir ketinggalan pasti ia berusaha untuk berlari.
Raja' adalan penantian terhadap sesuatu yang disenangi, setelah memenuhi
semua persyaratan yang butuhkan berdasarkan pada kemampuan seseorang. Raja' di sini
dikiaskan, misalnya, dengan penanaman tumbuhan. Semua orang yang akan menanam
5. pasti akan mencari lahan yang subur sebagai tempat persemaian. Di sanalah benih dengan
kualitas tinggi itu disemai. Selanjutnya ia melakukan perawatan yang baik dan terus
menerus sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan. Menyianginya dan menjaganya dari
berbagai serangan hama dan berbagai penyakit. Setelah itu, ia menunggu rahmat Allah
swt. hingga masa panen tiba. Inilah gambaran ideal dari sebuah raja'. Dan raja'
demikianlah yang dikehendaki setelah semuanya dilakukan dan diuapayakan.
Untuk lebih kongkritnya, dunia adalah sebuah ladang, sedang hasilnya akan
dipanen pada hari akhirat kelak. Sementara hati itu layaknya bumi. Iman laksana benih,
ketaatan ibarat pengolahan tanah dan usaha untuk menyianginya serta upaya untuk
mengalirkan air kepadanya. Sedang hati yang terpesona oleh dunia dan terbuai olehnya
adalah seperti tanah gersang yang tidak bisa menumbuhkan benih. Sementara pada hari
kiamat adalah waktu panen. Dan seseorang tidak akan memanen kecuali apa yang pernah
disemainya. Benih tidak akan tumbuh kecuali benih iman. Iman sangat jarang memberi
manfaat bila hatinya busuk dan akhlaknya buruk. Demikianlah gambaran yang dilukiskan
oleh Ahmad Farid dalam bukunya, 16 Langkah Menuju Puncak Kedamaian Jiwa.
KHAUF (RASA TAKUT) SEBAGAI PENYEIMBANG.
Jika raja' merupakan piranti kasih sayang yang dibukakan secara luas oleh
Allah bagi hamba-Nya, maka khauf merupakan cambuk yang dapat memicu mereka
untuk mendekat kepada-Nya. Memang benar, ujung dari raja' dan khauf adalah
kedekakatan dengan Allah. Karena memang untuk itulah jin dan manusia diadakan di
pentas kehidupan ini. Khauf merupakan kondisi seseorang yang merasakan sakit dan
terbakarnya hati akibat dari rasa takut akan terjadinya sesuatu yang tidak menyenagkan di
kemudian hari. Khauf-lah yang berperan dan mengerem nafsu manusia dari keserakahan,
angkara murka dan dosa. Dia pula yang mengikat manusia untuk menunjukkan ketaatan
kepada Allah swt.
Khauf sesungguhnya merupakan hasil dari pengenalan terhadap Allah swt
(ma'rifatullah). Pengenalan yang dihasilkan berdasarkan pada penelusuran terhadap
nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah swt. Ma'rifatullah demikian akan
merefleksiakan rasa takut sekaligus mewujudkan koreksi diri seorang muslim akan hak-
hak Yang Maha Agung, yang selama ini diabaikan atau belum termaksimalkan. Dengan
kata lain, dengan mengenal Allah secara baik maka secara otomatis kekerdilan manusia
akan tampak. Baik kekerdilan itu sebagai mahluk lemah maupun kekerdilan amaliah dan
kepicikan tingkat kepatuhan terhadap Sang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Dengan
demikian, orang yang paling takut kepada Allah swt adalah orang yang paling mengenal
dirinya setelah mengenal Tuhannya sendiri. Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah
sebagai penghulu para nabi menegaskan, sebagaimana dirilis oleh Imam Bukhari dalam
kitab Shahih-nya, "Demi Allah, Sungguh aku adalah orang yang paling tahu tentang
Allah dan paling takut kepada-Nya". (HR Bukhari).
6. Jika kita mengetahui bahwa para ulama merupakan pewaris nabi, maka tentunya
pula kita menyadari bahwa ulama pulalah yang memiliki tingkat pengenalan yang baik
tentang Allah swt. Dengan pengenalan demikian mereka kemudian menjadi mahluk yang
paling takut kepada-Nya. Asumsi ini ditegaskan oleh firman Allah yang berbunyi,
" Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".(QS
Fathir : 28).
Jika demikian, orang yang takut sesungguhnya bukanlah mereka yang
mengusap air matanya dan tidak pula yang sesegukan akibat tangisan yang menghiasi
wajahnya. Tetapi takut yang sebenarnya adalah mereka yang meninggalkan hal-hal yang
dikhawatirkan dapat menjerumuskannya ke dalam kubangan siksaan.
Abu al-Qasim al-Hakim berpesan, "Siapa yang takut dengan sesuatu, dia pasti
akan menghindari darinya. Dan siapa yang takut kepada Allah, dia akan berlari
menghindari siksa-Nya dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya". As-Syibli berkata,
"Setiap kali aku takut kepada kepada Allah, pasti Aku melihat pintu hikmah dan
pelajaran yang berharga". Yahya bin Muadz mengatakan, "Setiap orang mukmin yang
mengerjakan kemaksiatn, pasti ia akam mensikapinya dengan dua cara : Takut terhadap
siksaan dan berharap adanya ampunan".
Khauf akan membakar syahwat dan kenginan-keinginan terhadap perkara yang
haram. Sehingga kemaksiatan yang ia cintai berubah menjadi sesuatu yang paling ia
benci. Sebagaimana madu dibenci oleh orang yang sangat menyenaginya manakala ia
mengetahui bahwa terdapat racun padanya. Syahwat akan terbakar oleh rasa khauf
(takut). Bagian-bagian tubuhnya mempnyai tatakrama dan adab yang dipatuhi. Hatinya
menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ke-khusyu'an, rasa hina dan rendah diri di hadapan
Allah swt. Dia akan ditinggalkan oleh kesombongan, dendam, iri dan dengki. Bahkan
perhatiannya semakin tajam, karena pengaruh rasa khauf-nya dan memeperhatikan
terhadap akibat dan sanksi yang ia peroleh jika melanggar aturan. Kini perasaan selalu
terawasi yang dikenal dengan sebutan muraqabah menjadi aktifitas baru yang dibarengi
dengan usaha sungguh-sungguh yang disebut mujahadah untuk membersihkan jiwa dan
lahiriahnya dari dominasi syahwat dan prilaku setan.
Demikan besar urgensi khauf, sehingga sikap ini menghasilkan petunjuk,
rahmat, ilmu dan keridha'an Allah swt. Allah berfirman,
"Dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang
takut kepada Tuhannya". (QS. al-A'raf : 154).
7. Firman-Nya, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS.
Fathir : 28).
Juga firman-Nya,
"Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. yang
demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya". (QS.al-
Bayyinah : 8).
Allah swt selalu mewanti-wanti agar menajadikan khauf sebagai komponen
mendasar dari keimanan yang hanya pantas ditunjukkan kepada-Nya semata. Terhadap
setan yang biasanya dijadikan simbol yang ditakuti, Allah menegsakan bahwa, sikap
takut itu seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya semata. Karena Dia-lah sesungguhnya
yang pantas ditakuti. Dengan rasa takut kepada-Nya, setan yang biasanya menggetarkan
jiwa menjadi tidak berarti apa-apa. Setan hanya pantas dikhawatirkan jika seandainya
mengelabui manusia dari jalur menuju Allah swt.(baca : Kebenaran). Karenanya, Allah
menegaskan,
"Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti
(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah
kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang
beriman." (QS. Ali Imran : 175).
Selain faktor khauf dan raja' yang menghasilkan tangisan, juga terdapat
beberapa faktor yang merupakan wujud lain dari kedua faktor di atas. Di antaranya,
kesedihan terhadap peristiwa lampau yang menyedihkan bersama teman seperjuangan
dalam meniti jalan Allah swt. Sikap demikian ditunjukkan oleh Abdul Rahman bin Auf.
Sebagaimana riwayat beliau berikut :
Artinya, ”Dari Abdul Rahman bin ’Auf, bahwasanya, suatu ketika, saat ia disuguhi
makanan, padahal ia sedang puasa. (Sedangkan orang yang berpuasa biasanya sangat
mengharapkan makanan. Tetapi beliau teringat dengan saat-saat yang dilewatiya
bersama para sahabat utama yang telah syahid lebih dulu. Dengan menganggap remeh
8. dirinya dibanding mereka, beliau mengatakan,) "Mush'ab bin Umair telah terbunuh,
padahal ia lebih baik dariku". Ketika ia meninggal, kain kapan saja susah didapatkan
untuk mengapaninya. Hanya sebuah kain burdah yang digunakan untuk itu. Jika kain itu
ditarik untuk menutupi kepalanya, maka kakinya akan tersingkap. Tapi ketika kakinya
ditutup dengan kain tersebut, maka kelihatanlah kepalanya. Lalu dunia ini (dengan
segala kenikmatannya) dibukakan kuncinya, atau dengan redaksi lain, ia mengatakan,
”dunia ini telah diserahkan kepada kami (untuk dikuasai secara politis). Namun Saya
khawatir kalau semua kenikmatan ini adalah kebaikan kami yang disegarahkan
balasannya di dunia ini”. Lalu beliau menangis sejadi-jadinya hingga makanan tidak
lagi disentuh olehnya”. (HR. Bukhari)
Mush'ab bin Umair adalah seorang pemuda tampan yang hidup mewah bersama
kedua orang tuanya di Mekah pada masa jahiliah. Pakaiannya saja sangat berkelas dan
dipenuhi dengan aroma wewangian. Ia banyak diidolakan di kota Mekah oleh banyak
gadis. Tetapi setelah ia masuk Islam, kehidupannya berubah drastis dengan berusaha
menjauhi kemewahan dan memilih hidup sederhana. Bahkan pakaiannya ada yang
compang camping. Ia ikut hijrah ke kota Madinah dan hidup di sana sebagai muhajirin.
Ketika perang Uhud berkobar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyerahkan
bendera perang kepadanya. Di sanalah ia menemukan predikat sebagai syuhada Uhud.
Abdul Rahman bin Auf mengingat peristiwa itu kemudian mengatakan,
"Mereka (sahabat utama yang telah syahid) telah berlalu dan selamat dari godaan dunia
berupa harta rampasan perang yang begitu melimpah bagi generasi belakangan".
Kemudian ia melanjutkan, "Kami khawatir jika kebaikan kami disegerahkan (balasannya
di dunia berupa kenikmatan demikian)". Karena memang orang kafir disegerahkan
balasan kebikannya di dunia, sehingga di akhirat kelak mereka hanya mendulang siksa
yang tiada bertepian. Sedang orang mukmin bisa jadi mendapatkan balasan kebaikannya
di dunia maupun di akhirat. Tetapi balasan akhirat itulah sesungguhnya yang lebih
penting. Beliau khawatir jika kebaikannya disegerahkan balasannya di dunia ini, sehingga
ia menangis penuh kekhawatiran dan harapan. Ia pun meningalkan makanan.
Kasus lain yang mirip dengan kajadian tersebut di atas adalah riwayat yang
disampaikan oleh Anas radiyallahu anhu.
--
Anas melaporkan, ”Abu Bakar berkata kepada Umar radiyallahu anhuma,
setelah wafatnya Rasulullah saw, ”Ayo kita sama-sama pergi menemui Ummu Aiman
rdiyallahu anhuma, sebagaimana Rasulullah saw sering mengunjunginya. Tatkala kami
9. tiba dan bertemu dengannya, Ummu Aiman menangis (penuh kesedihan). Abu Bakar dan
Umar berkata kepadanya, ”Kenapa Anda menangis ?” Bukankah Anda tau bahwa
keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu lebih baik. Ummu Aiman menjawab, ”Saya
tidak menangis, saya juga tidak tahu bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu
lebih baik. Saya hanya menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Maka,
mendengar ungkapan Ummu Aiman tersebut, Abu Bakar dan Umar pun tidak tahan
menahan cucuran air matanya. Mereka berdua pun ikut menangis bersama Ummu
Aiman”. (HR Muslim)
Demikianlah potret tangisan sahabat yang lahir dari rasa khauf dan raja-'nya
kepada Allah swt. Semoga kita diberikan kemampuan menangisi dosa-dosa kita kepada
Allah. Amin.Wallahu a'lam.