1. 1
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tawadhu'
(Sifat Terpuji Yang Harus Dimiliki Setiap Muslim)
Pernahkah kita merenungkan kembali terhadap serangkaian peristiwa
penting yang bisa menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi diri kita? Misalnya: “apa yang
telah diperbuat oleh Allah subhânahu wa ta’âla terhadap Iblis la’anahullâh? Dan
apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya yang ‘pongah’
dengan kekuasaannya? Atau, kepada Qarun dengan semua kroni dan hartanya
yang melimpah? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka
semua dibinasakan Allah oleh subhanâhu wa ta’âla karena tidak memiliki sikap
tawadhu’, dan sebaliknya justeru menyombongkan dirinya kepada siapa pun
yang dianggap rendah.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Madârij as-Sâlikîn (II/333)
berkata: “Barangsiapa yang ‘angkuh’ untuk tunduk kepada kebenaran walaupun
datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya,
maka kesombongan orang tersebut esensi (hanyalah) kesombongan kepada
Allah. Karena Allah adalah Al-Haq, ucapan-Nya haq, agama-Nya haq. Yang
Benar (al-Haq) itu datangnya hanya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali.
Barangsiapa menyombongkan diri untuk tidak menerima ‘kebenaran’ yang
datang dari Allah, berarti ‘dia’ menolak segala yang datang dari Allah dan
menyombongkan diri di hadapan-Nya. Dan, ‘pasti’ Allah akan membalasnya
dengan ‘azab’ yang pedih.
Sudah seharusnya setiap manusia mengedepankan sikap tawadhu’.
Tawadhu’ (rendah hati) adalah sifat yang terpuji, lawannya adalah takabbur
(sombong). Tawadhu’ merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh
setiap muslim. Orang yang memiliki sifat ini, akan dicintai oleh teman-
temannya, keluarga, dan masyarakatnya. Nabi kita Muhammad shalllallâhu
‘alaihi wa sallam – misalnya -- adalah orang yang sangat tawadhu’, sehingga ia
sangat dicintai oleh para sahabat dan masyarakatnya. Imam asy-Syafi’i
rahimahullâh berkata; “Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia,
sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela”.
Iblis adalah contoh kongkret dari sosok yang memiliki sifat takabbur.
Dengan sombongnya ia mengaku di hadapan Allah subhânahu wa ta’âlâ, bahwa
2. 2
dia adalah lebih baik dari Adam ‘alaihis salâm. Ia mengatakan bahwa ‘api’ lebih
baik daripada ‘tanah’. Dengan demikian, ia menganggap dirinya yang
diciptakan dari bahan dasar ‘api’ lebih mulia daripada Adam, yang diciptakan
dari bahan dasar ‘tanah’; dan akhirnya merendahkan Adam. Sikap Iblis inilah
yang akhirnya mengundang kemarahan Allah subhânahu wa ta’âlâ, dan akhirnya
Allah pun mengusir Iblis dari Surga.
Sungguh. Allah tidak mencintai dan sangat membenci sifat takabbur ini.
Orang yang bersikap takabbur, mata hatinya akan dikunci oleh Allah subhânahu
wa ta’âlâ.“ Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan
sewenang-wenang”
َينِ
ذ
اَّلََون
ج
لِدا
ج
ُيََ ِفََِاتآيََِ
ذ
اّللََِبَِ
ْ
يغََانط
ْ
لجسََْم
ج
اهتأَۖ جبكَاًت
ْ
قمََندِعََِ
ذ
اّللََندِعوََينِ
ذ
اَّلَ
واجنآمَۚذكَٰكِلََجعب ْطيََج ذ
اّللَََعََ
ِ
ِ
ج
كََِب
ْ
لقََ ِ
ِبكتجمََارذبج
“(yaitu) orang-orang yang memerdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai
kepada mereka1
. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-
orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan
sewenang-wenang.”2
Sepanjang sejarah al-Qur’an banyak merekam manusia-manusia yang
memiliki sikap sombong ini. Fir’aun adalah sosok yang sangat sombong. Ia
pernah memerintahkan teknokrat pribadinya Hamman untuk membuat sebuah
bangunan yang tinggi agar ia sampai ke pintu-pintu langit dan dapat melihat
Tuhan Musa,
َالقوََ
ج
نْوعْرِفَايََ
ج
انامهََِنْابََ ِلَاًحَْصََ
ِ
ِلع
ذ
ّلََ
ج
غ
ج
لْبأََابب
ْ
س
ْ
اْلَ﴿٦٣﴾ََابب
ْ
سأَ
َِاتاوم ذالّسََعِل ذّطأفََلِإََـّلِإَِهََوسجمََ
ِ
ِنِإوََ
ج
ه
ُ
ن
ج
ظْلَاًبِذَكَۚذكوَٰكِلََنِ
ِيجزََنْوعْرِفِّلََجوءجسَ
َِهِلمعََ
ذ
د جصوََِنعََِيلِب ذالّسۚاموََجد
ْ
يكََنْوعْرِفََ
ذ
ّلِإََ ِفََاببتَ﴿٦٣﴾َ
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang
Tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat
1
Maksudnya, mereka menolak ayat-ayat Allah tanpa alasan yang datang kepada
mereka.
2
QS al-Mu’min/40: 35.
3. 3
melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta".
Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan Dia
dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah
membawa kerugian.”3
Selain itu, kesombongan Fir’aun yang sangat besar dan luar biasa
adalah ketika ia mengaku sebagai “tuhan yang paling tinggi”,
َالقفَانأََجم
ج
كُّبرََ
ْ
َع
ْ
اْل
“(seraya) berkata:"Akulah Tuhanmu yang paling tinggi."4
Akhirnya, Fir’aun menerima balasan dari kesombongannya sendiri. Ia
ditenggelamkan oleh Allah beserta pasukannya di Laut Merah. Pengakuannya
sebagai “tuhan yang paling tinggi” akhirnya pupus. Ternyata (pengakuan)
kesombongannya sebagai “tuhan”, tidak mampu menyelamatkan dirinya dari
azab Tuhan (Allah) Yang Maha Kuasa. Untuk memertahankan posisinya
sebagai “tuhan” ia ternyata harus menghimpun dan membayar para tukang sihir
dan bala tentaranya untuk melindunginya, yang pada akhirnya harus kandas
ketika harus melawan kekuasaan Allah.
Bercermin pada kegagalan orang-orang yang bersikap takabbur, ketika
kita tidak ingin gagal seperti mereka, sudah saatnya kita berbenah diri untuk
menjadi orang yang bersikap tawadhu’.
Allah berfirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu'
(rendah hati) ini,
َ
ج
ادبِعوََـ
ْ
ْحذالرَِنََينِ
ذ
اَّلََون
ج
ش
ْ
ميَََعََ ِضْر
ْ
اْلَا
ً
نْوهَاذِإوََجمجهباّطخََون
ج
لِها
ْ
اْلَوا
ج
القَ
اًمَلس
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik."5
Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak
congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang
3
QS al-Mu’min/40: 36-37.
4
QS an-Nâzi’ât/79: 24.
5
QS al-Furqân/25: 63.
4. 4
berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut Muhammad bin al-Hanafiah,
mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan
tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap
bersikap lemah lembut.
Jika dikatakan al-Haun, artinya ialah: “lemah lembut”. Sedangkan jika
dikatakan al-Hûn, artinya adalah: “hina”. Yang pertama merupakan sifat orang
yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat orang kafir.
Allah befirman,
ايَاه
ُ
يأََينِ
ذ
اَّلَواجنآمَنمََ
ذ
دتْريََْم
ج
نكِمَنعََِهِنيِدََفْوّسفََ ِت
ْ
أيََج ذ
اّللََمْوقِبََْمجهُبِ
ج
ُيَ
َ
ج
هونُبِ
ج
ُيوََة
ذ
ّلِذأَََعََيِنِم
ْ
ؤجم
ْ
الََةذّزِعأَََعََينِرِفَك
ْ
اّلََونجدِها
ج
ُيََ ِفََِيلِبسََِ
ذ
اّللََّلوَ
َون
ج
افَيََةمْولََمِئّلَۚذَٰكِلََ
ج
ل
ْ
ضفََِ
ذ
اّللََِهيِت
ْ
ؤجيَنمََجاءشيَۚج ذ
اّللوََع ِاسوََيمِلع
"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya), lagi Maha Mengetahui."6
Firman Allah, ”Adzillah ‘alal mu’minîn”, merupakan kerendahan hati
yang menunjukkan sikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, dan
bukan berarti merendahkan diri yang menjadikan pelakunya menjadi hina. Tapi
ini merupakan sifat lemah lembut yang membuat pelakunya penurut. Sebab
orang Mukmin itu penurut seperti yang disebutkan dalam hadits, "setiap
mukmin itu seperti onta yang penurut, sedangkan setiap orang munafik dan
fasik itu hina." Empat hal yang menempel pada diri orang yang hina: “pendusta,
pengadu domba, bakhil dan semena-mena”.
Sikap mukmin terhadap mukmin lainnya seperti sikap ayah yang selai
bisa menunjukkan kasih-sayang kepada anaknya. Sedangkan dalam
menghadapi orang kafir seperti binatang buas yang selalu siap menerkam ketika
menghadapi mangsanya.
6
QS al-Mâidah/5: 54.
5. 5
Dalam Shahîh Muslim disebutkan dari hadits Iyadh bin Himar
Radhiyallâhu ‘Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendah hati, hingga
seseorang tidak membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat
aniaya terhadap yang lain."7
Di dalam Shahîh Muslim juga disebutkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallâhu
‘Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun
seberat dzarrah."8
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa menunjukkan sikap
tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati sekumpulan anak-anak kecil,
maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Ada seorang budak wanita
yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika
beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di
rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. Beliau biasa
menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya,
memberi makan onta, makan bersama para pelayan, duduk bersama orang-
orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi
keperluan mereka, selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka,
memenuhi undangan siapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk
keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau
mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum,
rendah hati namun tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros, hatinya
mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melindungi
mereka.
Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya tentang makna tawadhu'. Maka
dia menjawab, "artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta
mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya."
7
HR Muslim dari Qatadah, Shahîh Muslim, VIII/160, hadits no. 7389.
8
HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, I/65, hadits no. 275.
6. 6
Ada yang berpendapat, tawadhu' artinya tidak melihat diri sendiri
memiliki nilai. Siapa yang melihat dirinya memiliki nilai berarti tidak memiliki
tawadhu'.
Menurut Ibnu Atha', tawadhu' artinya mau menerima kebenaran dari
siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu'. Maka siapa yang mencarinya dalam
kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari kobaran api.
Urwah bin Az-Zubair Radhiyallâhu ‘Anhumâ berkata, "Aku pernah
melihat Umar bin al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan
kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melakukan
hal ini." Umar pun menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang datang
kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan
yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya."
Abu Hurairah pernah diangkat sebagai gubernur. Suatu hari ketika dia
sedang memanggul kayu bakar, maka orang-orang berkata, "Beri jalan bagi
gubernur kita."
Umar bin Abdul Aziz mendengar kabar bahwa seorang anaknya
membeli sebuah cincin seharga seribu dirham. Maka Umar pun menulis surat
kepadanya, yang isinya, "Aku mendengar engkau telah membeli cincin seharga
seribu dirham. Jika suratku ini sudah engkau baca, maka juallah cincin itu dan
belilah makanan dan berikan kepada seribu orang. Lalu belilah cincin lain dari
besi seharga dua dirham. Tulislah di dalam cincin itu kalimat ini: Allah
merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya."
Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua
macam: Takabbur dan ambisi9
. Takabbur merupakan dosa Iblis yang terlaknat.
9
Keinginan yang besar untuk menjadi, memproleh atau mencapai sesuatu
yang diinginkan. Ambisi, pada dasarnya penting dimiliki oelh setiap orang. Karena
ambisilah yang menggerakkkan seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan berkarir. Tanpa
ambisi, seseorang seolah-olah tidak melakukan apa pun. Napoleon Hills, penulis buku
Think and Grow Rich, mengatakan bahwa kurangnya ambisi adalah satu faktor utama
yang menyebabkan kegagalan. Jalan mencapai tujuan tersendat-sendat karena Anda
tidak memiliki motivasi. Karena terlalu lamban, Anda pun menemui kegagalan.
Biasanya, orang yang berambisi akan berusaha membuat hasil pekerjaannya sesuai
standar tertentu, bukan asal jadi, asal cepat, atau asal memenuhi tenggat. Namun, Anda
perlu memiliki batasan dalam mengejar ambisi, yakni dengan memertimbangkan
lingkungan, nilai-nilai moral dan norma-norma di sekitar, etika, serta kondisi Anda
sendiri. Hati-hati, sebab tidak sedikit orang yang untuk mewujudkan ambisi, jadi
terobsesi. Alhasil, ambisinya berlebihan dan tak jarang ‘menghalalkan’ segala cara untuk
7. 7
Sedangkan dosa bapak kita, Adam, adalah ambisi dan syahwat. Kesudahannya
adalah taubat dan hidayah, sedangkan dosa Iblis mendorongnya untuk mencari
alasan dengan takdir. Dosa Adam menjadikannya mengakui dosa tersebut lalu
memohon ampunan. Orang yang memiliki sikap takabbur dan beralasan kepada
takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis.
Sedangkan yang memiliki syahwat meminta ampun dan bertaubat serta
mengakui dosanya, yang tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama
bapak mereka, Adam di dalam surga.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa "takabbur lebih jahat daripada
syirik. Sebab orang yang takabbur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada
Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan
kepada selain-Nya." Saya katakan, "Maka tidak heran jika Allah menjadikan
neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabbur, sebagaimana firman-
Nya,
وا
ج
ل
ج
خ
ْ
ادفََابوْبأََم
ذ
نهجََينِ ِاِلخَايهِفَۖس
ْ
ئِبلفَىو
ْ
ثمََينِ
ِ
ِبكتجم
ْ
ال
"Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kalian kekal di dalamnya. Maka amat
buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu." (QS an-Nahl/16: 29).
Rasulullah Shallallâhu Alaihi wa Sallam bersabda10
,
"Takabbur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia."
Al-Harawi, penulis kitab Manâzil as-Sâ'irîn, mengatakan, "yang
dimaksudkan tawadhu' ialah jika hamba tunduk kepada kekuasaan Allah."
Dengan kata lain, menerima kekuasaan Allah dengan penuh ketundukan dan
kepatuhan serta masuk ke dalam penghambaan kepada-Nya, menjadikan Allah
sebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang berkuasa terhadap budak-
budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa memiliki akhlak tawadhu'.
Karena itu Nabi Shallallâhu Alaihi wa Sallam menafsiri takabbur sebagai
kebalikan dari tawadhu', dengan bersabda, "Takabbur itu penolakan terhadap
kebenaran dan penghinaan terhadap manusia".
Menurutnya, tawadhu' ada tiga derajat, yaitu:
mencapai ambisinya. (http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/ambisi.itu.perlu/005
/001/ 49)
10
HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, I/65, hadits 275.
8. 8
1. Tawadhu' kepada agama, yaitu tidak menentangnya dengan pemikiran
dan penukilan, tidak menuduh dalil agama dan tidak berpikir untuk
menyangkal.
Tawadhu' kepada agama artinya tunduk kepada apa yang dibawa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan pasrah kepadanya. Hal ini bisa
dilakukan dengan tiga cara:
a. Tidak menentang sedikit pun darinya dengan empat macam
penentangan yang biasa dilakukan di dunia ini, yaitu dengan akal,
qiyas, perasaan dan penyiasatan. Yang pertama milik para teolog
yang menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak. Mereka
berkata, "Jika akal dan nash yang saling bertentangan, maka kami
mengutamakan akal dan kami abaikan nash." Yang kedua milik
orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli fiqih. Mereka
berkata, "Jika qiyas bertentangan dengan pendapat dan nash, maka
kami mengutamakan qiyas daripada nash dan kami tidak akan
berpaling kepada nash." Yang ketiga milik orang-orang yang
menyimpang dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan
bertentangan dengan nash, maka mereka mengutamakan perasaan
dan tidak peduli terhadap perintah nash. Yang keempat milik para
penguasa dan pemimpin yang sombong. Jika syariat dan kepentingan
politik saling bertentangan, maka mereka mengutamakan
kepentingan politik dan tidak mempedulikan hukum syariat. Empat
orang ini adalah orang-orang yang takabbur. Sedangkan yang
tawadhu' ialah yang bisa membebas-kan diri dari perkara-perkara ini.
b. Tidak menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil agama, dengan
menganggapnya sebagai dalil yang tidak tepat, tidak relevan, kurang
atau terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini, maka hendaklah dia
mencurigai pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang
seringkali terjadi, bahwa tidaklah seseorang menuduh suatu dalil
melainkan pemahamannyalah yang tidak tepat. Jika engkau melihat
suatu dalil yang terasa rumit untuk dipahami, maka itu menunjukkan
keagungannya dan di bawahnya tersimpan gudang ilmu, yang
kuncinya mungkin tidak ada pada dirimu.
c. Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah di dalam batinnya,
entah dengan perkataan maupun perbuatannya. Jika dia merasa
hendak menyangkal nash, maka dia harus menempatkan dirinya
seperti orang yang menyangkal perbuatan zina, mencuri, minum
khamr dan lain sebagainya. Penyangkalan ini merupakan masalah
yang amat besar di sisi Allah dan dapat menyeret kepada
kemunafikan. Tidak ada yang bisa menyelamatkan dari hal ini
9. 9
kecuali mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah
dan istiqamah, setelah ada keyakinan, bahwa keterangan tentang
kebenaran ada di belakang hujjah.
2. Meridhai orang Muslim sebagai saudara sesama hamba seperti yang
diridhai Allah bagi dirinya, tidak menolak kebenaran sekalipun dating
dari musuh dan menerima maaf dari orang yang meminta maaf.
Jika Allah sudah meridhai saudaramu sesama Muslim sebagai hamba,
maka apakah kamu tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Jika
engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah
diridhai Tuanmu sebagai hamba seperti dirimu, berarti itu adalah
takabbur.
Lalu takabbur macam apakah yang lebih buruk dari takabburnya hamba
terhadap hamba seperti dirinya, yang tidak mau bersaudara dengannya,
padahal tuannya sudah ridha keberadaannya sebagai hamba?
Derajat tawadhu' juga tidak dianggap sah sehingga seorang hamba mau
menerima kebenaran dari orang yang disukainya maupun dari orang
yang dibencinya. Bahkan dia harus mau menerimanya dari musuh
seperti dia menerimanya dari pelindungnya. Lalu jika ada yang berbuat
jahat kepadamu, yang datang kepadamu untuk meminta maaf, maka
tawadhu' mengharuskanmu menerima maafnya, tak peduli apakah
permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atau hanya
sekedar pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam hatinya, maka
harus diserahkan kepada Allah, seperti yang dilakukan Rasulullah
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang munafik yang
melarikan diri dari medan peperangan.
Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka meminta maaf. Maka beliau
menerima permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang tersimpan di
dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.
3. Tunduk kepada Allah, melepaskan pendapat dan kebiasaanmu dalam
mengabdi, tidak melihat hakmu dalam mu'amalah. Yang disebut
tawadhu' ialah pengabdianmu kepada Allah, beribadah kepada-Nya
seperti yang diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan menurut
pendapatmu sendiri. Yang membangkitkanmu untuk beribadah juga
bukan kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang membangkitkan orang yang
tidak memiliki bashîrah. Andaikan yang membiasakannya sesuatu
kebalikannya, tentu itulah yang akan menjadi kebiasaannya.
10. 10
Seorang hamba juga tidak boleh beranggapan bahwa dia memunyai hak
atas Allah karena amalnya. Apa yang harus dilakukannya adalah
beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk kepada-Nya. Selagi dia
menganggap memunyai hak atas Allah, maka mu'amalahnya menjadi ru-
sak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa mendatangkan murka-Nya. Tapi
bukan berarti hal ini menajikan hak Allah untuk memberikan balasan
dan pahala kepada orang yang beribadah kepada-Nya. Itu semata
merupakan hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik kepada
hamba, bukan merupakan hak hamba yang bisa diminta dari Allah, lalu
mereka bisa membuat ketentuan terhadap Allah karena amal mereka.
Jadi engkau harus bisa membedakan masalah ini secara seksama. Dalam
hal ini manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan:
a. Golongan yang mengatakan bahwa hamba terlalu lemah untuk
memiliki hak atas Allah, sehingga Allah sama sekali tidak memunyai
keharusan untuk memenuhi hak hamba dan berbuat baik kepada-nya.
b. Golongan yang melihat bahwa Allah memunyai kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhinya terhadap hamba, sehingga mereka
beranggapan bahwa hamba bisa menetapkan keharusan terhadap
Allah dengan amalnya. Dua golongan ini sama-sama menyimpang.
c. Golongan yang benar, yang mengatakan bahwa dengan amal dan
usahanya hamba tidak berhak mendapatkan keselamatan dan
keberuntungan dari Allah, amalnya tidak menjamin dirinya bisa
masuk surga dan menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika dia
mendapat karunia dan rahmat-Nya. Namun begitu Allah juga
menguatkan rahmat dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada
hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah berarti wajib, sekalipun
menggunakan kata "Agar, semoga, mudah-mudahan".
Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak melihat adanya hak atas Allah
bukan berarti dia harus menajikan apa yang diwajibkan Allah kepada dirinya
dan menajikan apa yang telah dijadikan-Nya sebagai hak bagi hamba. Nabi
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Mu'adz bin Jabal,
11. 11
"Ketika saya membonceng Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan tidak ada yang
menengahi keduanya melainkan hanya kursi kecil diatas pelana. Beliau bersabda,
"Wahai Muadz bin Jabal!" Jawabku, "Ya wahai Rasulullah! saya penuhi pangilan
anda", kemudian berjalan sesaat lalu bertanya, "Wahai Muadz bin Jabal!" jawabku,
"Ya, wahai Rasulullah saya penuhi panggilan anda", kemudian beliau berjalan sesaat
dan bertanya, "Wahai Mua'dz bin Jabal." Jawabku, "Ya wahai Rasulullah! saya penuhi
pangilan anda", beliau bersabda: "Apakah engkau tahu apa hak Allah atas para
hamba?" Jawabku, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Beliau bersabda: "Hak
Allah atas para hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya semata dan
tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun", Kemudian beliau berjalan sesaat dan
berseru, "Wahai Mu'adz bin Jabal." Jawabku; "Ya wahai Rasulullah, saya penuhi
panggilan anda." Beliau bersabda: "Apakah engkau tahu hak hamba atas Allah, jika
mereka melakukan itu?" Jawabku; "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu", beliau
bersabda: "Hak para hamba atas Allah adalah Dia tidak akan menyiksa mereka."11
"Saya berada di boncengan Rasulullah di atas keledai yang dinamakan Ufair." Beliau
lalu bersabda: "Wahai Mu'adz apakah kamu mengetahui apa hak Allah atas hamba dan
11
HR al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal, Shahîh al-Bukhâriy, VIII/74, hadits no.
6267.
12. 12
hak hamba atas Allah.' Mu'adz berkata, 'Aku lalu menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.' Beliau bersabda: "Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah kalian
menyembah Allah dan tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan hak hamba
atas Allah adalah agar tidak disiksa orang yang tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu
apa pun.' Mu'adz berkata, 'Saya lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, tidakkah boleh aku
memberitakannya kepada manusia?' Beliau menjawab: 'Jangan kamu
memberitahukannya kepada mereka sehingga mereka bersandar kepadanya'."12
Setelah memahami kajian tentang sikap tawadhu’, saya temukan tiga
indikator yang menandai seseorang yang yang bersikap tawadhu’ :
Pertama, seorang yang bersikap tawadhu’ akan selalu memiliki kesediaan
untuk selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam makna bukan
menganggap hina dirinya, namun merasa dirinya bukanlah orang yang
sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga,
dengan semua itu dirinya tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih
baik, dan lebih mulia daripada orang lain.
Kedua, seorang yang bersikap tawadhu’ akan selalu memiliki kesediaan
untuk menghargai orang lain.
Ketiga, seorang yang bersikap tawadhu’ akan selalu memiliki kesediaan
untuk menerima kebenaran dan nasihat dari orang lain.
Akhirnya, menjadi apa dan siapa pun diri kita, di mana pun dan kapan
pun, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: “sudah siapkah kita
menjadi muslim-sejati, yang selalu siap untuk bersikap tawadhu’ dan
mengucapkan selamat tinggal pada kesombongan?“
. Ibda‘ bi nafsik!
12
HR Muslim dari Mu’adz bin Jabal, Shahîh Muslim, I/43, 153.