1. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah..
Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga saat ini, Allah
masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya, dengan
harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh
Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari jumat ini semakin memberikan kita
kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.
Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa diantara
hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan inti dari
keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia akan kehilangan fungsi dan peran
utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah. Allah berfirman menegaskan tujuan
keberadaan manusia,
ُروُفَغْال ُزيِزَعْال َوُهَو اًلَمَع ُنَسْحَأ ْمُكُّيَأ ْمُكَوُلْبَيِل َةاَيَحْالَو َتْوَمْال َقَلَخ يِذَّلا
” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (Al-Mulk: 2)
Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal saja, karena
memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas,
amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt.
Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang
yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal
juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap
harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”. Dalam hal ini, hanya orang-orang yang
ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti
yang dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan
(bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan
mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh
kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)
Ma’asyiral Muslimin RahimakumuLlah…
Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini ini seharusnya
menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kita sehari-hari dalam
apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam konteks “hablum minaLlah atau Hablum
minannas”..karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan
yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia
harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu
diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.
Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa ditemukan
dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau berhadapan dengan seorang wanita yang
mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah akan senantiasa memelihara hambaNya
yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan
wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami
memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk
hamba-hamba Kami yang mukhlis“. (yusuf: 24). Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga
2. mendapat jaminan akan terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri
mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal
dengan ikhlas, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa
aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka
bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau
yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr: 39-40). Dengan redaksi yang sama, ayat ini
berulang dalam surah Shaad, “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka“.
(Shad: 82-83). Sungguh benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak
tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.
Ma’asyiral muslimin RahimakumuLlah…
Dalam tinjauan ilmu qira’at, para ulama qira’at berbeda dalam membaca kata “Al-
Mukhlashin” yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut. Sebagian qari’ membaca Al-
Mukhlashin dengan ism maf’ul dan sebagian lainnya membaca dengan isim fi’il Al-
Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ibnu Amir, membaca seluruh kalimat ini dalam
Al-Qur’an dengan bacaan “Al-Mukhlishin” yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama
dan ibadah mereka dari segala noda yang bertentangan dengan nilai tauhid. Sedangkan ulama
qira’at yang lain membaca Al-Mukhlashin yang artinya: Mereka yang dipelihara dan
mendapat taufik dari Allah untuk memiliki sifat Ikhlas. Berdasarkan qira’at ini, ikhlas dan
iman adalah mutlak anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki. Namun
setiap hamba diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa memperhatikan dan meningkatkan
kadar dan tingkt keikhlasannya dalam beramal. Bahkan Allah menyuruh kita meneladani
orang-orang yang mendapat petunjuk karena tidak pernah mengharapkan balasan dari
amalnya kecuali dari Allah swt, “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Yaasin: 21)
Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh sebuah amal, apapun
bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal sholih. Baik amal tersebut dilakukan
dalam skala pribadi maupun secara kolektif (bermasyarakat, berbangsa dan bernegara).
Bahkan keikhlasan dalam ruang lingkup kolektif sosial ternyata sesuatu yang berat dan
memerlukan lebih kesabaran. Dalam konteks ini, keikhlasan harus dibangun secara timbal
balik antara seluruh individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan serta persepsi
negatif terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin luas wilayah kerja seseorang,
maka semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau
ujian keikhlasan yang menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang dinyatakan
oleh Syekh Hasan Al-Banna’ dalam Risalahnya, yaitu: harta, kedudukan, popularitas, gelar,
ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan dan pujian dan sebagainya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumuLlah…
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut Dr. Ali Abdul Halim
Mahmud, keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang harus senantiasa
menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan dan beragam manusia
dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat
yang mendasar bagi seorang da’i yang harus senantiasa melaziminya adalah ikhlas. Oleh
karena itu, para ulama hadits menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan
mereka, agar karya tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat
3. ini. Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan kita
agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran ikhlas.
Para nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai da’i senantiasa menjadikan keikhlasan
sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai contoh Nabi Muhammad saw sebagai
teladan utama dalam hal ini mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah,
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan
risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan
kepada Tuhan nya“. (Al-Furqan: 57)
Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara berdampingan, seluruh nabi
Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari nabi Nuh,
Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib as. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam“. (Asy-Syu’ara':
109, 127, 145, 164, 180). Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan
dicontohkan dalam dakwah para nabi Allah swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan
diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i setelah mereka.
Ma’asyiral Muslimin rhimakumuLlah…
Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih, bersih, suci dari
campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Lawan dari ikhlas adalah
nifak dan riya’. Rasulullah saw bersabda tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya,
“Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan
kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan
dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang
tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di
depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang
sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus kemudi amal
sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena semakin berat dan mulia
sebuah tugas tentu akan semakin dibutuhkan keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan
pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya semakin baik tingkat dan kualitas
keikhlasannya. Keikhlasan juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya
amal sholih, bahkan ia yang paling utama, seperti yang dinyatakan oleh Abdullah bin Al-
Mubarak ketika menafsirkan ayat: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Tanpanya amal
seseorang akan sia-sia tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang
sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami, “Ikhlaslah kamu dalam
beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.
” ُهْنِم ُلْيِلالق َكْيِزْجَي َلَمَعْال ِصِلْخَ”أ
Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang kita
lakukan; diantaranya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan dan kesungguhan. Maka
amal yang cenderung apa adanya, serampangan, asal jadi, “pokoknya” dan amal yang tidak
konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini
tantangan terberat bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi
4. spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan motifasi yang menggerakkan
roda amal kita selama ini ???…