Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Faraidh: Kata Pengantar
1. KATA PENGANTAR
Ilmu Farā’id atau ilmu Mawārits (ilmu warisan) dikenal sebagai ilmu yang langka karena
dianggap rumit dan tidak menarik. Berurusan dengan angka-angka dan sistem kalkulasi
serta cara-cara menetapkan siapa saja yang masuk ke dalam kelompok penerima warisan
kadang-kadang membuat orang agak bingung atau takut akan terjebak dalam kesalahan-
kesalahan. Bagi sebagian orang, itu menjadi alasan menjauhi ilmu Mawārits ini. Kalau
ada diskusi atau perdebatan dalam masalah-masalah keagamaan biasanya orang akan
tertarik dan ingin terlibat memberikan pendapat, walaupun ia tidak ahli dalam bidang
tersebut; akan tetapi jika yang diperbincangkan adalah masalah dalam ilmu warisan,
biasanya orang akan menyerahkannya saja kepada yang ahli dan tidak mau merepotkan
diri. Hanya saja, orang biasanya akan repot kalau terkait dengan harta warisan yang akan
ia terima.
Pada sisi lain, kenyataan tersebut di atas telah menjadikan ilmu warisan sebagai
ilmu yang memiliki prestise tersendiri. Orang-orang yang memiliki ilmu ini patut merasa
bangga karena keistimewaan ilmu tersebut; mereka adalah kelompok exceptional.
Beberapa riwayat yang dikatakan berasal dari Nabi telah mendukung pandangan ini.
Disebutkan bahwa Ibn „Umar berkata, bahwasanya Rasulullah bersabda:
Ilmu itu ada tiga, selain dari itu adalah sisanya: ayat muhkamat, sunah yang aktual dan
farā‟id yang adil.
Dalam riwayat yang lain, dari Abū Hurayrah, ia berkata bahwasanya Rasulullah
bersabda kepadanya:
2. Pelajarilah Farā‟id dan ajarkanlah (kepada orang lain); sesungguhnya ia adalah
separuh ilmu; ia akan dilupakan dan ia adalah (ilmu) yang paling pertama dicabut dari
umatku.
Kedua hadis di atas diriwayatkan oleh Ibn Mājah. Hadis pertama di atas, selain
diriwayatkan oleh Ibn Mājah, juga diriwayatkan oleh Abū Dāwūd. Ibn Katsīr,1
dalam
kitab tafsirnya, ketika menjelaskan ayat 11 surat al-Nisā‟, mengutip kedua riwayat di
atas, namun mengenai hadis yang kedua di atas beliau mengatakan bahwa padanya ada
kelemahan. Beberapa riwayat melalui jalur yang lain tentang hadis yang sama, menurut
Ibn Katsīr, juga perlu dipertanyakan. Bahkan menurut al-Dzahabī,2
kedua hadis tersebut
lemah.
Beberapa perawi lain juga telah meriwayat hadis dengan pesan yang sama namun
dengan redaksi yang berbeda. Terlepas dari apakah hadis-hadis tersebut kuat atau lemah,
semuanya menunjukkan bahwa tradisi kajian ilmu warisan sejak awal telah dikenal
sangat mulia dan menempati kedudukan yang tinggi dalam keilmuan Islam. Sekalipun
hadis-hadis itu dapat dianggap tidak cukup meyakinkan berasal dari ucapan Nabi sendiri,
ia sudah cukup menggambarkan besarnya apresiasi para sahabat dan ulama terdahulu
terhadap ilmu warisan. Secara historis (dari sudut pandang sanad) dapat saja hadis-hadis
itu dianggap lemah, tetapi dari segi konteks dan muatannya, ia cukup kuat
mendeskripsikan karakter keilmuan para sahabat dan ulama tābi‘īn masa awal. Ilmu ini
sangat disanjung dan pakarnya sangat dihormati dan disegani.
Ilmu warisan berbicara mengenai persoalan yang sangat sensitif, yaitu pembagian
harta kekayaan. Harta adalah sesuatu yang diperebutkan oleh manusia dan orang-orang
tamak akan selalu membuat intrik untuk mendapatkannya lebih banyak dari haknya
meski dengan cara-cara yang tidak legal atau pun dengan membuat secara formal seolah-
olah hal tersebut legal. Sebagian keluarga dalam masyarakat kita mengalami keributan
soal harta warisan, sebagian yang lain mungkin membaginya sama rata tanpa mengikuti
prosedur pembagian yang telah ditetapkan. Farā’id adalah kata jamak dari farīdah,
artinya: tugas, kewajiban, ketentuan atau ketetapan. Dalam soal warisan, farīdah berarti
“ketentuan pembagian” atau hissah mafrūdah, yakni porsi (bagian) yang ditetapkan
1
Ibn Katsīr, (Muhaqqiq: Sāmī ibn Muhammad Salāmah) Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, Juz 2,
Majma„ al-Mālik Fahd li Tibā„ah al-Mushaf al-Syarīf, 1999, 224.
2
Ibid. Lihat tahqīq pada Footnote No. 5.
3. secara hukum untuk menjadi bagian atau hak seorang ahli waris. Dalam al-Qur‟an (al-
Nisā‟: 11), kata ini disebutkan dengan jelas:
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pembagian warisan adalah ketetapan dari Allah, karena (seperti tersebut dalam
ayat di atas) kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Hanya Allah yang tahu tentang hal tersebut, sedangkan kita harus
tunduk dan patuh pada ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Bagi sebagian orang,
terutama kaum feminis, pembagian dengan porsi yang tidak sama bagi laki-laki dan
perempuan tentu saja dirasakan tidak adil dan bersifat diskriminatif. Itu adalah protes
yang diajukan orang-orang yang hidup di zaman sekarang. Akan tetapi pada masa awal
Islam, ketika ayat ini baru diturunkan, dan ketika orang-orang mukmin masih
dipengaruhi oleh tradisi dan suasana masa jahiliah, protesnya sangat berbeda. Mereka
justru mempertanyakan: Mengapa kepada kaum perempuan dan anak-anak diberikan hak
mendapatkan harta warisan? Mereka tidak berperang dan tidak menunggang kuda dan
mereka memberikan kontribusi apa pun bagi kekayaan keluarga! Mengapa mereka
mendapatkan hak-hak seperti itu dengan mudah?
4. Dunia telah berubah dan persepsi manusia tentang makna keadilan dalam
mekanisme pendistribusian kekayaan tentu berubah juga. Kehidupan dan interaksi sosial
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sekarang di Indonesia, misalnya, jauh berbeda
dengan suasana di Arab zaman sebelum Islam. Sejarah, letak geografis, peradaban dan
lingkungan alam yang berbeda akan menciptakan perbedaan dalam pandangan dan
persepsi manusia tentang sesuatu. Karena itu tidak mengherankan jika dalam menafsirkan
ayat tentang warisan, para ulama juga berbeda pendapat. Di Indonesia mungkin Munawir
Syadzali yang pertama dengan lantang mempertanyakan pembagian harta warisan sesuai
dengan rumus ilmu , karena beliau melihat bahwa dalam kehidupan keseharian
umat Islam Indonesia, pendistribusian kekayaan dan pemberian kesempatan untuk
mendapatkan jatah dari orangtuan (Ayah) memang sering tidak berimbang antara anak
laki-laki dan perempuan. Jika semasa hidup si Ayah, anak laki-laki lebih banyak
menghabiskan hartanya, mengapa ketika si Ayah meninggal, si anak laki-laki lagi yang
akan lebih banyak mendapatkan warisan darinya? Pertanyaan seperti ini sah saja
diajukan. Pertanyaan Pak Munawir secara signifikan berbeda dari pertanyaan orang-
orang yang dipengaruhi tradisi jahiliah. Pak Munawir mempertanyakan keseimbangan
dalam pemberian kasih sayang Ayah kepada anaknya yang laki-laki dan perempuan.
Anak laki biasanya dibelikan kendaraan dan diberikan kesempatan untuk melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sementara anak perempuan biasanya tidak
demikian. Jadi secara lahiriah anak laki-laki telah lebih mendominasi kekayaan Ayahnya
semasa si Ayah masih hidup, maka akan bijaksana, menurut Pak Munawir, jika hal
tersebut dipertimbangkan dalam pembagian harta warisan.
Pertanyaan orang-orang jahiliah lebih mengacu pada sumber kekayaan itu sendiri.
Orang-orang perempuan dan anak-anak dianggap tidak mempunyai kontribusi dalam
pendapatan ekonomi atau harta kekayaan. Karena itu mereka tidak perlu mendapatkan
hak dari kekayaan orang yang meninggal. Jika demikian halnya, maka bagaimana
seandainya ada perempuan dalam sebuah keluarga yang juga kreatif bersama laki-laki
bekerja mencari nafkah dan berbisnis? Mungkin mereka tidak dapat menolak
memberikan bagian dari kekayaan orang telah meninggal itu kepada perempuan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas memang terkesan kritis dan mengacu pada
upaya mendapatkan keadilan. Akan tetapi siapa yang dapat mengukur hati orang yang
5. telah meninggal: ia ingin memberikan kepada siapa sisa hartanya itu? Ketentuan al-
Qur‟an tentang pembagian harta warisan, mengacu pada satu prinsip penting, bahwa
harta kekayaan orang yang telah meninggal pada dasarnya tidak menjadi milik siapa-
siapa. Harta itu menjadi milik Allah; dan Allah memberikannya kepada siapa yang
dianggap-Nya patut. Karena itu ia menjadi Ilmu . Soal bahwa para ahli waris itu
bermurah hati dan ingin memberikan haknya kepada orang lain, itu adalah masalah yang
berbeda. Mungkin juga mereka bersepakat untuk membagikan harta warisan itu secara
bersama. Itu adalah hak mereka.
Dalam tradisi jahiliah, sebelum ayat tentang warisan itu diturunkan, umumnya
orang memang beranggapan bahwa kekayaan orang-orang yang telah meninggal itu
hanya berhak untuk diambil oleh laki-laki yang dewasa, sebab merekalah yang merasa
cukup berjasa menghadirkan harta kekayaan itu dan mereka pula yang nantinya akan
bertanggung jawab terhadap perempuan anak-anak yang ditinggalkan. Akan tetapi siapa
yang dapat menjamin tanggung jawab itu? Pertanyaan yang lebih penting adalah: Apakah
perempuan memang tidak berhak sama sekali atas harta kekayaan? Ketika menjelaskan
sebab turun ayat tentang warisan, Ibn Katsīr mengutip riwayat dari Imam Ahmad, bahwa
seorang perempuan, yang tidak lain adalah istri Sa„d ibn al-Rābi„, seorang sahabat yang
syahid dalam perang Uhud, datang sambil membawa dua orang anak perempuannya
kepada Nabi dan menjelaskan bahwa paman mereka telah mengambil semua harta yang
ditinggalkan oleh suaminya, sementara kedua anak tersebut tidak akan dapat menikah
kalau tidak memiliki harta. Pada waktu itu turunlah ayat yang menetapkan warisan dan
Rasulullah memanggil paman kedua anak tersebut dan menyuruhnya membagikan harta
warisan itu sesuai perintah al-Qur‟an.3
Sekali lagi, pembagian harta warisan memang sensitif dan rumit. Di Mahkamah
Syar„iyah Banda Aceh, setelah kasus-kasus perceraian, yang paling banyak diajukan
adalah masalah harta warisan. Harta kekayaan memang dikejar oleh manusia, maka tanpa
pendistribusian kekayaan yang adil, manusia akan mudah terjebak dalam konflik dan
keserakahan. Di samping, kesadaran bahwa sesungguhnya harta kekayaan itu adalah
anugerah dan cobaan dari Allah, harus ditanamkan dalam benak umat Islam. Dalam soal
3
Ibid. Juz 2, 226.
6. warisan, prinsip-prinsip persaudaraan juga harus diperhatikan di samping penegakan
keadilan.
Buku yang ditulis Hj. Elbi Hasan Basri, M. Ag. yang ada di tangan pembaca ini
adalah sebuah ikhtiar membuat Ilmu Warisan menjadi mudah dan terarah bagi siapa yang
ingin mempelajari dan menerapkannya. Sebagai pakar dalam bidangnya, Hj. Elbi telah
melakukan kajian yang sungguh-sungguh tentang berbagai persoalan warisan dan
menguraikannya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Terlepas dari berbagai
perbedaan pendapat, buku ini telah menyajikan sebuah konsep keilmuan yang ringkas
namun lengkap tentang Ilmu Warisan dan pantas untuk dijadikan sumber rujukan dan
kajian ulang oleh para peminat ilmu yang langka dan penting ini.
Banda Aceh, Agustus 2007
Eitor
Zulkarnaini Abdullah
Fakultas Syari‟ah IAIN Ar-Raniry