1. 11
BAB II
GIZI KURANG PADA BALITA
2.1 Defenisi
2.1.1. Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk mepertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari
organ-organ serta menghasilkan energi. 13
2.1.2. Gizi Kurang pada Balita
Gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang makan yang
terjadi pada balita ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa
nutrien tidak terpenuhi atau nutrien-nutrien tersebut hilang dengan jumlah
yang lebih besar daripada yang didapat. 13
Gizi kurang adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat
Badan menurut Umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah
underweight. 18
2. 12
2.2. Pemantauan dan Klasifikasi Gizi Kurang
Upaya penyediaan data dan informasi status gizi terutama kurang energi
protein (KEP) secara nasional telah dilakukan sejak pelita IV. Salah satu
kegiatan sehubungan dengan penyediaan data adalah Pemantauan Status
Gizi (PSG). Kegiatan PSG dimulai dengan suatu proyek panduan di tiga
provinsi yaitu Jawa Tengah, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Kegiatan
ini dilakukan pada tahun 1985 dengan tujuan untuk mempelajari cara
memperoleh gambaran status gizi pada tingkat kecamatan guna memantau
perkembangan status gizi.
Pada tahun 1999, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI,
melakukan pemantauan status gizi. Tujuan kegiatan ini adalah tersedianya
informasi status gizi balita secara berkala dan terus menerus, guna evaluasi
perkembangan status gizi balita, penetapan kerjasama dan perencanaan
jangka pendek.
Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang
sering disebut reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan
Indonesia adalah WHO-NCHS (World Health Organization β National
Centre for Health Statistic. Pada Loka Karya Antropometri tahun 1975 telah
diperkenalkan baku Harvard. Berdasarkan Semi Loka Antropometri di
Ciloto tahun 1991, telah direkomendasikan penggunaan baku rujukan WHO-
NCHS.
Berdasarkan baku Harvard, status gizi dapat dibagi menjadi empat,
yaitu:
3. 13
1) Gizi lebih untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas
2) Gizi baik untuk well nourished
3) Gizi kurang untuk under weight yang mencakup mild dan
moderate PCM (Protein Calori Malnutrition).
4) Gizi buruk untuk severe PCM , termasuk marasmus,
kwashiorkor dan marasmus-kwashiokor.
Klasifikasi status gizi masyarakat menurut Direktorat Bina Gizi
Masyararat Depkes RI tahun 1999 sebagai berikut:
Tabel 2.1
Klasifikasi Status Gizi Masyarakat
Kategori Cut of point *)
Gizi lebih < 120 % median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi baik 80 β 120% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi sedang 70 β 79,9% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi kurang 60 β 69,9% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi buruk < 60% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Dikutip dari: Supriasa IDN, Bakri B, Fajar I 14
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persentase terhadap
median adalah persentil dann standar deviasi unit (SD). Persentil 50 sama
4. 14
dengan median atau nilai tengah dari jumlah populasi yang berada diatasnya
dan setengahnya berada dibawahnya. NCHS merekomendasikan persentil ke
50 sebagai batas gizi baik dan kurang, serta presentil 95 sebagai bataas gizi
lebih dari gizi baik.
Standar deviasi unit disebut Z-skor. WHO menyarankan cara ini untuk
meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Status gizi dapat
diklasifikasikan dengan menggunakan Z-skor sebagai batas ambang
kategori. Rumus perhitungan Z-skor adalah sebagai berikut: 14
π β π πππ =
πππππ πππππ£πππ’ ( π π’ππππ) β πππππ ππππππ ππππ’ ππ’ππ’πππ
πππππ π ππππππππ ππππ’ ππ’ππ’πππ
Dibawah ini adalah kategori status gizi menurut indikator yang
digunakan dan batasan-batasannya.
Tabel 2.2
Baku Antropometri Menurut Standar WHO β NCHS
Indikator Status Gizi Keterangan
Berat Badan
menurut Umur
(BB/U), anak
Gizi lebih
Gizi baik
Gizi kurang
>2 SD
- 2 SD s/d 2 SD
< - 2 SD s/d β 3 SD
5. 15
umur 0 β 60 bulan Gizi buruk < - 3 SD
Tinggi Badan
menurut Umur
(TB/U), anak
umur 0 β 60 bulan
Sangat pendek
Pendek
Normal
Tinggi
< - 3 SD
>= -3 SD s/d < - 2 SD
>= - 2 SD
> 2 SD
Berat badan
Menurut Tinggi
Badan (BB/TB),
anak umur 0 β 60
bulan
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
< - 3 SD
>= - 3 SD s/d < - 2 SD
>= - 2 SD s/d <= 2 SD
> 2 SD
Indeks Massa
Tubuh menurut
Umur (IMT/U),
anak umur 0 β 60
bulan
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
< - 3 SD
-3 SD s/d < -2 SD
-2 SD s/d 2 SD
> 2 SD
Indeks Massa
Tubuh menurut
Umur (IMT/U),
anak umur 5-18
tahun
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Obesitas
< - 3 SD
-3 SD s/d < -2 SD
-2 SD s/d 1 SD
> 1 SD s/d 2 SD
> 2 SD
Dikutip dari : Indonesia 18
6. 16
Berikut beberapa tipe keadaan gizi kurang yaitu:
1) Berat badan kurang (underweight)
Underweight merupakan situasi seseorang yang berat badannya lebih
rendah daripada berat yang adekuat menurut usianya. Berat badan
kurang dapat diidentifikassi jika berat badan menurut usia (weight-for-
age) < 2 SD di bawah standar internasional.
2) Marasmus
Suatu kondisi dimana berat badan menurut usia (weight-for-age) <
60% dari standar internasional.
3) Kwashiokor
Ditandai dengan adanya edema dan berat badan menurut usia (weight-
for-age) < 80% dari standar internasional.
4) Kwashiokor marasmus
Gejala yang tampak berupa edema dan berat badan menurut usia
(weight-for-age) < 60% dari standar internasional.
5) Perlisutan tubuh (wasting)
Ditandai dengan berat badan menurut tinggi badan (weight-for-height)
< 2 SD di bawah standar internasional.
6) Tubuh pendek (stunting)
Tinggi badan menurut usia (height-for-age) < 2 SD di bawah standar
internasional.
7) Defisiensi energi yang kronis
7. 17
Indeks massa tubuh (berat badan (kilogram) / tinggi badan (meter2)) <
18,5.
2.3. Mekanisme Fisiologi yang Menyebabkan Gizi Kurang 13
Ada lima mekanisme yang dapat mengakibatkan defisiensi nutrien
yaitu mekanisme yang bekerja sendiri atau berupa gabungan yang dapat
mengurangi status gizi, sebagai berikut:
2.3.1. Penurunan asupan nutrien
Biasanya terjadi pada bencana kelaparan atau anoreksia akibat sakit kronis
seperti anoreksia nevrosa.
2.3.2. Penurunan absorpsi nutrien
Misalnya malabsorpsi karbohidrat dan asam amino yang menyeluruh pada
penyakit kolera sebagai akibat dari waktu transit intestinal yang cepat dan
malabsorpsi gula setelah terjadi defisiensi laktase yang ditimbulkan oleh
diare.
2.3.3. Penurunan pemakaian nutrien dalam tubuh
Misalnya pada penggunaan obat antimalaria yang menganggu
metabolisme folat dan defisiensi enzim kongenital yang sebagian
membatasi lintasan metabolik nutrien seperti yang terjadi pada
fenilketonuria.
2.3.4. Peningkatan kehilangan nutrien
Hal ini sering terjadi melalui traktus gastrointestinal dan dapat juga
melalui kulit dan urin, misalnya protein-losing-enteropathy pada penyakit
8. 18
inflamasi usus dan kehilangan nutrien melalui kulit yang terbakar serta
terkelupas.
2.3.5. Peningkatan kebutuhan nutrien
Keadaan patologis ini terjadi seperti pada kasus inflamasi kronis, misalnya
peningkatan laju metabolik pada keadaan demam atau hipertiroidisme.
Dalam pengertian fisiologi, kelima mekanisme tersebut
menjelaskan mengapa keseimbangan nutrien dapat menjadi negatif.
2.4. Sindrom Klinis Gizi Kurang 13
Ada dua sindrom klinis gizi kurang yang parah (dikenal dengan istilah
kekurangan energi protein) yaitu marasmus dan kwashiokor. Marasmus
ditandai oleh pelisutan tubuh yang ekstrem seperti tubuh penderita
marasmus terlihat hanya β tulang dan kulit β. Marasmus merupakan adaptasi
fisiologis terhadap keterbatasan energi dari makanan. Pada keadaan ini
terjadi pengurangaan secara nyata jumlah jaringan lemak dan subkutan di
samping terdapat pula atropi jaringan viseral. Penderita marasmus akan
membatasi aktifitas fisiknya dan memiliki laju metabolisme serta pergantian
protein yang menurun dalam upaya untuk menghemat nutrien. Jika
dibandingkan dengan orang yang sehat, penderita marasmus memiliki resiko
untuk meninggal atau mengalami disabilitas karena infeksi.
Kwashiokor merupakan kumpulan klinis gejala edema dan gizi
kurang. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak balita dan biasanya
9. 19
disertai dengan iritabilitas, anoreksia, serta ulserasi pada kulit. Perubahan
metabolisme terjadi lebih berat pada kwashiokor dan case fatality rate
(CFR) pada keadaan ini lebih tinggi dibandingkan marasmus. Kwashiokor
merupakan keadaan defisiensi protein dari makanan.
The welcome Trust Working Party mendefinisikan marasmus dengan
kriteria berat badan menurut usia yang berada dibawah 70% dari standar
nasional dan kwashiokor sebagai keaadaan edema dengan berat badan
menurut usia dibawah 80% dari standar tersebut. Jika keadaan edema dan
perlisutan berat terjadi bersama-sama, keadaan ini dinamakan marasmus
kwashiokor. Gambaran klinisnya menyerupai gabungan keduanya dan
biasanya prognosisnya menjadi lebih buruk.
2.5. Defisiensi Mikronutrien 13
Pada penderita giiz kurang, terdapat pula malnutrisi mikronutrien
akibat substansi mikronutrien yang kurang. Hal ini sangat sulit untuk
diketahui. Defisiensi endemik zat besi, iodium dan vitamin A sudah sering
terjadi di seluruh dunia. Mikronutrien lainnya yang kini semakin menjadi
persoalan kesehatan masyarakat adalah defisiensi vitamin D, kalsium, zinc,
vitamin B12 dan riboflavin. Walaupun asupan makronutrien sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi defisiensi mikronutrien dapat tetap
terjadi ketika makanan yang dikonsumsi memiliki kepadatan nutrien yang
rendah. Defisiensi ini paling banyak ditemukan dan mengenai sepertiga
penduduk dunia, berikut daftar mikronutrien yang dibutuhkan tubuh:
10. 20
Tabel 2.3
Daftar Mikronutrien yang Dibutuhkan Oleh Tubuh
Mikronutrien Manifestasi Klinis Defisiensi
Zat besi Anemia, perkembangan kognitif yang buruk,
peningkatan kerentanan terhadap infeksi
Iodium Perkembangan Kognitif yang buruk
Kalsium Pengurangan mineralisasi tulang
Vitamin A Kerusakan pada kornea dan retina yang
menimbulkan kebutaan parsial; peningkatan
intensitas penyakit diare dan malaria
Vitamin D Riketsia, penurunan densitaas tulang
Zinc Kegagalan tumbuh kembang, peningkatan
insiden dan severitas diare, pneumonia serta
malaria
Vitamin B12 Anemia, neuropati
Riboflavin Anemia, luka-luka di sekitar mulut, bibir yang
merah dan pecah-pecah.
Dikutip dari: Gibney MJ, et.all 13
Disamping defisiensi vitamin dan mineral dalam makanan, komposisi
genetik dapat menjadi determinan penting yang menentukan defisiensi
mikronutrien. Asupan asam folat yang rendah dari makanan dalam periode
11. 21
di sekitar pembuahan (periode perikonsepsional) ternyata berkaitan
dengan cacat kongenital tuba neuralis di sejumlah negara barat.
2.6. Prevalensi Defisiensi Gizi 13
Gizi kurang dapat mempengaruhi perkembangan prenatal dari awal
kehamilan dan di sepanjang usia kanak-kanak. Gizi dapat pula
mempengaruhi kemampuan fungsional orang dewasa, setidaknya dalam
waktu yang singkat. Berikut prevalensi beberapa kondisi yang merupakan
dampak dari masalah gizi adalah:
2.6.1. Berat badan lahir rendah
Di negara-negara berkembang, bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan
intrauterin yang terjadi karena gizi ibu yang buruk dan angka infeksi yang
meningkat jika dibandingkan di negara maju. 16% bayi di seluruh dunia
dilahirkan dengan BBLR (< 2500 gram) dan 95% dari bayi-bayi ini tinggal
di negara-negara berkembang. Angka Prevalensi tersebut berkisar dari
sekitar 50% di Bangladesh hingga 6% di negara-negara maju.
2.6.2. Stunting dan wasting
Stunting (tubuh yang pendek) dan wasting (pelisutan tubuh) di
diagnosis melalui pemeriksaan antropometri. Standar nilai tengah
dijadikan acuan secara internasional menurut usia dan jenis kelamin
mereka. Kekurangan berat badan yang sedang (moderat) menunjukkan
bahwa berat badan menurut usia kurang dari -2 SD di bawah nilai tengah /
12. 22
median dari NCHS (The Nasional Center for Health Statistic), stunting
yang sedang menunjukkan tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2
SD dan wasting yang sedang menunjukkan berat badan menurut tinggi
badan yang kurang dari -2 SD. Nilai di bawah -3 SD menunjukkan
keadaan yang parah. Bentuk gizi kurang berat lainnya adalah kwashiokor
dengan gejala edema yang menyertai berat badan yang kurang. Keadaan
gizi kurang sebelumnya disebut KEP (Kekurangan Energi Protein) atau
PEM (Protein Energy Malnutrition).
Namun demikian, ketika anak-anak tersebut mengalami keadaan
gizi kurang sebagai akibat dari asupan energi dan protein yang rendah,
makanan mereka biasanya juga kurang mengandung berbagai macam
mikronutrien. Meskipun prevalensi gizi kurang pada anak-anak mengalami
penurunan, namun prevalensi tersebut dianggap masih tinggi. Di negara-
negara berkembang, 29% anak balita menunjukkan keadaan gizi kurang
yang sedang, 33% menunjukkan kejadian tubuh pendek (stunting) yang
sedang dan 10% menunjukkan perlisutan tubuh (wasting) yang sedang.
Di negara-negara yang paling miskin, 40% anak-anak balita
mengalami berat badan yang kurang dan 45% mengalami kejadian tubuh
pendek (stunting). Angka prevalensi anak-anak dengan gizi kurang yang
sedang dan berat diperkirakan telah mengalami penurunan secara global
dari 38% pada tahun 1980 menjadi 30% pada tahun 1997 dan 29% pada
tahun 2001. Namun demikian, beberapa negara di kawasan Sub Sahara
Afrika terus memperlihatkan peningkatan prevalensi gizi kurang pada
13. 23
anak-anak. Dengan demikian, keadaan gizi kurang tetap menjadi
permasalahan kesehatan masyarakat yang sangat penting.
2.6.3. Anemia karena defisiensi besi
Prevalensi anemia dijadikan sebagai indikator alternatif untuk
defisiensi zat besi pada tatanan kesehatan masyarakat. Prevalensi anemia
ditentukan oleh kadar hemoglobin dalam darah. Titik cut off kadar
hemoglobin darah untuk mendefinisikan anemia berbeda menurut usia.
Bagi anak yang berusia 6-59 bulan, kadar hemoglobinnya adalah 110 gram
/ liter, usia 5-11 tahun dengan kadar hemoglobin normal 115 gram / liter,
anak berusia 12-14 tahun 120 gram / liter. Tidak terdapat data
komprehensif terbaru tentang prevalensi anemia pada anak-anak, tetapi
estimasi angka prevalensi anemia (kadar hemoglobin < 110 gram / liter)
pada tahun 1985 untuk kadar balita adalah 46-51% di negara berkembang
dan 7-12% di negara maju.
Anemia karena defisiensi zat besi sering ditemukan pada
lingkungan yang buruk, misalnya di populasi imigran Inggris. Defisiensi
zat besi merupakan penyebab anemia yang paling sering ditemukan dan
paling prevalen pada anak-anak yang berusia 6 hingga 24 bulan.
2.6.4. Defisiensi Zinc
Defisiensi zat ini tidak dapat diketahui, tetapi keadaan ini lazim
ditemukan dalam populasi yang mengonsumsi sedikit daging dan
memakan makanan dengan kandungan fitat serta serat yang tinggi
sehingga mengurangi bioavailabilitas zinc. Pola makan seperti ini sering
14. 24
dijumpai di banyak negara berkembang. Zinc juga hilang dari tubuh ketika
terjadi penyakit diare. Kebutuhan akan zinc meningkat selama periode
pertumbuhan yang cepat misalnya pada bayi dan masa kehamilan. Oleh
karena itu, pada banyak negara berkembang kemungkinan terdapatnya
defisiensi zinc sangat besar karena anak-anak kecil menunjukkan pola
makan yang buruk dan penyakit diare yang sering terjadi.
2.6.5. Defisiensi Iodium
Indikator untuk menilai gangguan akibat kekurangan iodium
(GAKI) adalah nilai tengah kadar iodium dalam urin (median urinary
iodine) dan prevalensi penyakit gondok (goiter). Nilai median normal
untuk kadar iodine dalam urin adalah 100-200 ΞΌ gram / liter. Nilai 50-99 ΞΌ
gram / liter menunjukkan defisiensi ringan, 20-49 ΞΌ gram / liter
menunjukkan defisiensi sedang dan nilai di bawah 20 ΞΌ gram / liter
menunjukkan defisiensi berat. Keberadaan penyakit gondok di nilai
melalui inspeksi dan palpasi serta intensitas penyakitnya diklasifikasikan
menurut ukuran kelenjar gondok tersebut. Kriteria untuk menyingkirkan
kemungkinan GAKI sebagai permasalahan kesehatan masyarakat adalah
prevalensi penyakit gondok di bawah 5% dari populasi penduduk.
Anak-anak usia sekolah biasanya kelompok sasaran untuk kegiatan
surveilens. Menurut WHO, 13% populasi penduduk dunia (740 juta orang)
sudah terkena GAKI dan 30% lainnya beresiko untuk terkena GAKI.
Hampir 50 juta penduduk diyakini sudah menderita bentuk tertentu
kelainan neurologi atau gangguan kognitif yang berkaitan dengan GAKI.
15. 25
Defisiensi iodium merupakan keadaan yang sering terjadi pada
kawasan yang tanahnya kurang mengandung iodium sebagai akibat dari
penapisan yang terjadi karena curah hujan yang tinggi, banjir, pencairan
salju serta perlongsoran salju. Oleh karena itu, daerah pegunungan
menjadi kawasan yang paling beresiko terjangkit defisiensi iodium.
2.6.6. Defisiensi Vitamin A
Diagnosis defisiensi vitamin A ditegakkan melalui kadar retinol
serum. Kadar retinol serum dibawah 20 ΞΌ gram / liter (0,70 mol/ liter)
dilkasifikasikan sebagai keadaan defisiensi vitamin A yang sedang dan
kadar di bawah 10 ΞΌ gram / liter (0,35 mol/ liter) diklasifikasikan sebagai
keadaan yang berat. WHO menyatakan bahwa defisiensi vitamin A
merupakan permasalahan kesehatan masyarakat pada 118 negara di
seluruh dunia dan prevalen khususnya di Afrika serta Asia Tenggara.
Sekitar 100 β 140 juta anak menderita defisiensi vitamin A dan
antara seperempat juta dan setengah juta dari anak-anak ini menjadi buta
setiap tahunnya dengan separuh diantaranya yang meninggal dalam waktu
12 bulan setelah mereka kehilangan penglihatannya.
2.7. Penilaian Status Gizi 14
Penilaian terhadap status gizi seseorang dapat dilakukan secara
langsung dan tidak langsung. Berikut cara melakukan penilaian tersebut:
16. 26
2.7.1. Penilaian status gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu:
1) Antropometri
(1) Pengertian
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
(2) Penggunaan
Antropometri umumnya digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan
ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan
tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
(3) Jenis parameter
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal
dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar panggul
dan tebal lemak di bawah kulit.
(4) Indeks antropometri
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status
gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks
17. 27
antropometri. Untuk tinggi badan dan berat badan digunakan
baku HARVARD yang di sesuaikan untuk Indonesia (100% baku
Indonesia = 50 persentile baku Harvard)
2) Klinis
(1) Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat terlihat pada jaringan
epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut
dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
(2) Penggunaan
Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat
(rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi
secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu
atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui
tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik
yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
3) Biokimia
(1) Pengertian
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada
18. 28
berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh
seperti hati dan otot.
(2) Penggunaan
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah
lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan
kimia faal dapat lebih banyak menolong untuk menentukan
kekurangan gizi yang spesifik.
4) Biofisik
(1) Pengertian
Pentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan.
(2) Penggunaan
Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian
buta senja epidemik (epidemic of night blindnes). Cara yang
digunakan adalah tes adaptasi gelap.
2.7.2 Penilaian status gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langssung dapat dibagi tiga yaitu:
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengertian
dan penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai berikut:
19. 29
1) Survei konsumsi makanan
(1) Pengertian
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi
yang dikonsumsi.
(2) Penggunaan
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat gizi.
2) Statistik vital
(1) Pengertian
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
(2) Penggunaan
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator
tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
3) Faktor ekologi
(1) Pengertian
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi
beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah
20. 30
makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi
seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
(2) Penggunaan
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk
mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar
untuk melakukan program intervensi gizi.
Keadaan gizi kurang dalam masyarakat biasanya dinilai dengan
menggunakan kriteria antropometri statik atau data yang berhubungan
dengan jumlah makronutrien yang ada di dalam makanan yakni protein
dan energi. 13
Berat badan menurut usia lebih dari 2 standar deviasi (SD) dibawah
median kurva referensi tersebut merupakan kriteria untuk menegakkan
diagnosa keadaan gizi kurang. 13
Kriteria antropometrik digunakan untuk mendefinisikan keadaan
gizi kurang pada semua kelompok umur. Komisi dari The International
Dietary Energy Consultative Group mendefinisikan defisiensi energi yang
kronis berdasarkan pada indeks massa tubuh (IMT) orang dewasa.
Status gizi (Nutrition status) adalah ekspresi dari keseimbangan
antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi
tersebut atau keadaan fisioligik akibat dari tersedianya zat gizi dalam
seluler tubuh. 13
21. 31
2.8 Etiologi 13
Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi
individu yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling
mempengaruhi, yaitu:
2.8.1. Faktor penyebab langsung, terdiri atas 2 bagian:
1) Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang
tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat
makanan beragam, bergizi seimbang dan aman.
Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat
produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam
sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh
semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Khusus untuk
bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu:
(1) Inisiasi menyusu dini
(2) Memberikan ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
(3) Pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari
makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia
6 bulan
(4) ASI terus diberikan sampai anak berusia 2 tahun.
2) Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang
berkaitan langsung dengan tingginya kejadian penyakit menular dan
22. 32
buruknya kesehatan lingkungan. Cakupan universal untuk imunisasi
lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang
perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis
sanitasi yang merupakan faktor penyebab tidak langsung.
2.8.2. Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih,
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak
merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang
baik, ruangan dalam rumah terkena sinar matahari dan lingkungan rumah
yang bersih.
Faktor yang lain juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan, pola
asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
masyarakat. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat
pendapatan keluarga.
Pendidikan wanita, akses pada pelayanan kesehatan dan air bersih
sangat penting untuk mengurangi prevalensi gizi kurang. Faktor makanan
juga perlu untuk diperhatikan seperti jumlah atau kualitas protein dalam
makanan, kandungan atau perbedaan mikronutrien dalam sereal yang
menjadi makanan pokok.
Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial dapat disebabkan oleh
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari
rendahnya konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Dibawah ini dapat
digambarkan penyebab dari masalah gizi di Indonesia:
23. 33
Gambar 2.1
Penyebab Masalah Gizi
Dikutip dari: Indonesia. 2010
Defisiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di
kalangan anak-anak ialah akibat kekurangan zat gizi sebagai akibat
kekurangan konsumsi makan dan hambatan mengabsorpsi zat gizi. Zat
OutcomeStatus gizi ibu dan anak
Penyebab
langsung
Status infeksiKonsumsi makanan
Pelayanan
kesehatan dan
kesehatan
lingkungan
Pola asuh pemberian
ASI / MP ASI, pola
asuh psikososial,
penyediaan MP ASI,
kebersihan dan sanitasi
Ketersediaan
dan Pola
Konsumsi
Rumah Tangga
Penyebab tidak
langsung
Daya beli, Akses pangan, Akses informasi dan
Pelayanan
Akar
masalah
Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi,
Pendidikan
Pembangunan Ekonomi, Politik, Sosial dan
Budaya
24. 34
energi digunakan oleh tubuh sebagai sumber tenaga yang tersedia pada
makanan yang mengandung karbohidrat, protein yang digunakan oleh
tubuh sebagai pembangun yang berfungsi untuk memperbaiki sel-sel
tubuh. Kekurangan zat gizi pada anak disebabkan karena anak mendapat
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan anak
atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kebutuhan
gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi yaitu
pendapatan keluarga, karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan,
pengetahuan ibu tentang gizi, pekerjaan, paritas), karakteristik Anak (jenis
kelamin, urutan anak dalam keluarga). 19
Selain akses terhadap pangan yang rendah, makanan ini hamil yang
kurang kalori dan protein atau terserang penyakit, bayi baru lahir yang
tidak diberi kolostrum, bayi sudah diberi MP ASI sebelum usia 4 β 6
bulan, pemberian makanan padat pada bayi yang terlalu lambat, anak yang
berusia kurang dari 2 tahun diberi makanan kurang atau densitas energinya
kurang, makanan tidak mempunyai kadar zat gizi mikro yang cukup,
penanganan diare yang tidak benar dan makanan kotor . terkontaminasi
juga merupakan penyebab kerjadinya kurang gizi pada anak.
2.9. Akibat Gangguan Gizi terhadap Fungsi Tubuh
2.9.1. Dampak bagi tubuh
25. 35
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan
secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu
atau lebih zat-zat gizi essensial. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor
primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan
seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh
kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan,
kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah dan sebaginya.
Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi
tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan di konsumsi, misalnya
faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan seperti gigi
geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna dan kekurangan
enzim.
Faktor-faktor yang menganggu absorpsi zat-zat gizi adalah adanya
parasit, penggunaan laksan / obat pencuci perut dan sebaginya. Faktor-
faktor yang mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi lebih
adalah penyakit hati, diabetes mellitus, kanker, penggunaan obat-obat
tertentu, minuman beralkohol dan sebaginya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ekskresi sehingga menyebabkan banyak kehilangan zat-zat
gizi adalah banyak kencing (polyuria), banyak keringat dan penggunaan
26. 36
obat-obat. Perkembangan terjadinya kekurangan gizi adalah sebagai
berikut:
Gambar 2.2
Perkembangan Terjadinya Kondisi Kurang Gizi
Dikutip dari: Almtsier Sunita. 2009
Kekurangan
makanan (faktor
primer)
Kekurangan gizi
Faktor kondisi
(faktor sekunder)
Kekurangan gizi Depresi perubahan
biokimia
Perubahan
fungsional
Perubahan
anatomis
Cadangan zat
gizi
27. 37
Di beberapa bagian di dunia terjadi masalah gizi kurang atau
masalah gizi lebih secara epidemis. Negara-negara berkembang seperti
sebagian besar Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada
umumnya mempunyai masalah gizi kurang.
Dampak kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat-zat
gizi apa yang kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang
dalam kuantitas dan kualitas) menyebabkan gangguan pada proses-proses:
1) Pertumbuhan
Anak-anak yang menderita gizi kurang tidak dapat tumbuh secara
optimal. Protein yang ada di dalam tubuh digunakan sebagai zat
pembakar sehingga otot-otot menjadi lembek dan rambut mudah
rontok. Anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah
ke atas rata-rata lebih tinggi daripada yang berasal dari keadaan sosial
ekonomi rendah.
2) Produksi tenaga
Kekurangan energi berasal dari makanan, menyebabkan seseorang
kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja dan melakukan aktifitas.
Orang menjadi malas, merasa lemah dan produktifitas kerja menurun.
3) Pertahanan tubuh
Daya tahan terhadap tekanan atau stres menurun. Sistem imunitas dan
antibodi berkurang sehinga orang mudah terserang infeksi seperti
pilek, batuk dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat membawa
kematian.
28. 38
4) Struktur dan fungsi otak
Kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap
perkembangan mental. Otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua
tahun. Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak
secara permanen.
Penelitian dari BBLR menunjukkan bahwa penurunan berat otak besar
12 persen dan otak kecil 30 persen, juga mengalami penurunan jumlah
sel otak besar 5 persen dan otak kecil 31 persen. Pengukuran tingkat
kecerdasan pada anak umur 7 tahun yang sebelumnya pernah
menderita KEP (Kurang Energi Protein) berat memiliki rata-rata IQ
sebesar 102, KEP ringan adalah 106 dan anak yang bergizi baik adalah
112. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan gizi masa lalu dapat
mempengaruhi kecerdasan di masa yang akan datang. Anak yang
memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) dan stunting
(tubuh pendek) yang sangat rendah dari standar WHO mempunyai
resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient sebesar
10-15 poin. 7
5) Perilaku
Baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa yang kurang gizi
menunjukkan perilaku tidak tenang. Mereka mudah tersinggung,
cengeng dan apatis.20
29. 39
2.9.1 Dampak kurang gizi terhadap nilai ekonomi 8
Kurang gizi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap nilai
ekonomi yang hilang akibat kurang gizi tersebut. Dalam perhitungan nilai
ekonomi, prevalensi kurang gizi secara keseluruhan masih relatif tinggi,
maka bangsa Indonesia pada tahun 2003 kehilangan nilai ekonomi sebesar
22,6 triliun rupiah atau 1,43% dari nilai GDP (Gross Domestic product)
pada tahun 2003. Nilai ekonomi tersebut dihitung berdasarkan biaya
langsung maupun tidak langsung yang muncul dari 3 masalah gizi utama
yaitu gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) memberikan kontribusi
sebesar 4,5 triliun rupiah, KEP memberikan kontribusi sebesar 5 triliun
rupiah, anemia pada orang dewasa memberikan kontribusi sebesar 7,3
triliun rupiah dan anemia pada anak memberikan kontribusi sebesar 5,9
triliun rupiah.
Apabila prevalensi dan 3 masalah gizi utama di Indonesia konstan
sampai dengan tahun 2010 maka diperkirakan bangsa Indonesia akan
kehilangan nilai ekonomi yang sangat tinggi mencapai 186,1 triliun
rupiah. Sebaliknya apabila 3 masalah gizi tersebut dapat ditanggulangi
dengan menggunkan strategi intervensi yang efektif maka intervensi
tersebut dapat mendatangkan nilai ekonomi sebesar 55,8 triliun rupiah
sampai dengan tahun 2010.
30. 40
2.10 Penanggulangan Masalah Gizi Kurang
Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan secara
terpadu antar departemen dan kelompok profesi, melalui upaya-upaya
peningkatan pengadaan pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi
pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan
masyarakat, serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi
pangan. Semua upaya ini bertujuan untuk memperoleh perbaikan pola
konsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam dan seimbang dalam
mutu gizi. 20
Negara-negara yang tergabung dalam PBB pada sidang tahun 2010
telah sepakat bahwa untuk mencapai tujuan MDGβs 1, percepatan dan
kelestarian pencapaian tujuan pembangunan pangan dan gizi perlu
difokuskan pada upaya-upaya sebagai berikut: 7
2.10.1 Peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian secara simultan
akan berdampak tidak saja pada penurunan kelaparan tetapi juga pada
penurunan kematian ibu dan anak melalui perbaikan gizi, serta tingginya
pendapatan keluarga dan pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan upaya ini,
petani penggarap perlu akses langsung pada pupuk, bibit unggul, peralatan
pertanian, irigasi air setempat dan lumbung pasca panen.
2.10.2 Ketahanan pangan diarahkan pada pemerataan akses pada pangan yang
beragam mengacu pada konsumsi makanan lokal dan kebutuhan gizi yang
berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Wilayah sangat rawan pangan
31. 41
mendapat prioritas utama untuk distribusi pangan termasuk makanan
pendamping ASI bagi keluarga miskin dan distribusi makanan fortifikasi.
2.10.3 Paket intervensi dengan pendekatan pelayanan berkelanjutan difokuskan
pada ibu pra hamil, ibu hamil, bayi dan anak baduta.
2.10.4 Implementasi program standar emas makanan bayi dengan inisiasi
menyusu dini, pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, pemberian
makanan pendamping asi secara bertahap dari makanan keluarga dan ASI
dilanjutkan hingga anak berusia 2 tahun, baik pada kondisi stabil maupun
dalam keadaan darurat akibat bencana.
Berdasarkan pada kesepakatan global tersebut, kebijakan dan strategi
pangan dan gizi nasional Indonesia untuk periode 2011-2015 dirumuskan
sebagai berikut:
Penanganan masalah gizi memerlukan upaya komprehensif dan
terkoordinasi, mulai dari proses produksi pangan beragam, pengolahan,
distribusi hingga konsumsi yang cukup nilai gizinya dan aman
dikonsumsi. Oleh karena itu, kerjasama lintas bidang dan lintas program
terutama pertanian, perdagangan, perindustrian, transportasi, pendidikan,
agama, kependudukan, perlindungan anak, ekonomi, kesehatan,
pengawasan pangan dan budaya sangat penting dalam rangka sinkronisasi
dan integrasi kebijakan perbaikan status gizi masyarakat.
Kesepakatan yang telah dicapai pada beberapa pertemuan di tingkat
dunia untuk mempercepat pencapaian MDGs telah direspons dengan
32. 42
komitmen nasional untuk menyediakan sumber daya terutama untuk sektor
prioritas seperti pendidikan dan kesehatan, penambahan lapangan kerja
dan mengurangi kesenjangan diantara keluarga kaya dan keluarga miskin
melalui program memandirikan masyarakat dan pemberian subsidi
kebutuhan pokok untuk masyarakat miskin.
1) Kebijakan
Peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui
ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup
bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan
mekanisme koordinasi lintas program serta kemitraan.
2) Strategi
(1) Perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil,
bayi dan anak melalui peningkatan ketersediaan dan jangkauan
pelayanan kesehatan berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi
efektif pada ibu pra hamil, ibu hamil, bayi dan anak baduta.
(2) Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui
peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan
pada keluarga rawan pangan dan miskin.
(3) Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui
peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada
makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah
tangga yang tersertifikasi.
33. 43
(4) Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui
peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal
serta non formal terutama dalam perubahan perilaku atau budaya
konsumsi pangan yang difokuskan pada penaganekaragaman
konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup
bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu.
(5) Penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguaatan
kelembagaan pangan dan gizi di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten kota yang mempunyai kewenangan merumuskan
kebijakan dan program bidang pangan dan gizi termasuk sumber
daya serta penelitian dan pengembangan.
Selain dari upaya tersebut, mulai tahun 2000 pemerintah telah
menaikan anggaran untuk mengatasi masalah gizi ini. Pada tahun 2005
anggaran untuk program giiz berkisar Rp. 716,7 milyar tetapi seiring
dengan penambahan anggaran tersebut, prevalensi kurang gizi ditahun
yang sama juga turut meningkat (28%). Alasan lemahnya komitmen
terhadap program gizi adalah: 21
1) Intervensi gizi tidak menimbulkan dampak ekonomi langsung pada
daerah
2) Program gizi masih dianggap hanya cost center bukan revenue center
3) Tidak tahu dampak ekonomi akibat kurang gizi
34. 44
4) Kurang βkelihatanβ disbanding sector lain seperti infrastruktur, tenaga
kerja, transportasi danlain sebagainya.
5) Tidaj tahu jeis-jenis intervensi yang lebih cepat ketimbang perbaikan
ekonomi.
6) Kurang gizi tidak dianggap sebagai masalah hak manusia
7) Penderita yang kurang gizi biasanya βtidak memiliki suaraβ
Maka dari itu, upaya penanggulangan masalah gizi kurang harus
dilakukan secara terpadu antara lain:
1) Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama melalui
peningkatan produksi beraneka ragam pangan;
2) Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang diarahkan
pada pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan
tingkat rumah tangga;
3) Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan di mulai
dari tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas
dan Rumah Sakit.
Hasil penelitian menyatakan bahwa intergrasi dari keterampilan orang
tua dan rangsangan psikososial dini pada anak yang mengalami gizi
kurang di sarana pelayanan kesehatan primer memungkinkan dan
efektif untuk dilakukan untuk meningkatkan perkembangan dan aspek
kognitif anak. 22
4) Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistim
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG);
35. 45
5) Peningkatan komunikasi, informasi dan educasi di bidang pangan dan
gizi masyarakat;
6) Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan berbagai produk
pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas;
7) Intervensi langsung kepada sasaran melalui Pemberian Makanan
Tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan
sirup besi serta kapsul minyak beriodium;
8) Peningkatan kesehatan lingkungan;
9) Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, iodium dan zat
besi;
10) Upaya pengawasan makanan dan minuman;
11) Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.
Melalui Instruksi Prosiden No. 8 tahun 1999 telah dicanangkan
Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi, yang
diarahkan pada: 20
1) Pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat
rumah tangga;
2) Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan cakupan, kualitas
pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi di
masyarakat;
3) Pemantapan kerjasama lintas sektor dalam pemantauan dan
penaggulangan masalah gizi melalui SKPG; dan
4) Peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan.