Dokumen tersebut membahas masalah kemiskinan di Indonesia dan rekomendasi kebijakan untuk pengentasannya. Kemiskinan masih menjadi masalah besar dengan jumlah penduduk miskin sekitar 28 juta jiwa. Sebab-sebab kemiskinan berbeda antara perkotaan dan pedesaan. Pemerintah telah mengembangkan berbagai program pengentasan kemiskinan namun hasilnya bervariasi.
2. 2
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA PENGENTASAN KEMISKINAN
[Prof. Dr. Bambang Setiaji]
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta
MASALAH
Salah satu hal penting dalam visi dan misi Jkw‐ Jk adalah masalah pengentasan
kemiskinan. Bahkan seluruh pembangunan ekonomi tidak bermakna bila hanya
meningkatkan yang sudah kaya, dan tidak meningkatkan kesejahteraan kelompok
miskin.
Kemiskinan disebabkan oleh kualitas pekerjaan yang kurang baik, missal tanah yang
terlalu kecil, bahkan tidak memiliki tanah sama sekali, akhirnya mereka hanya menjadi
buruh tani yang dibayar rendah. Karena produktifitas dan keuntungan usaha
pertanian yang kecil, upah sektor pertanian yang rendah menjadi sebab tidak
tercukupinya kebutuhan minimum kelompok buruh tani.
Di sektor kelautan disebabkan oleh tidak dimilikinya sarana melaut yang memadai.
Jelajah yang pendek, misalnya tidak memiliki fasilitas pendingin ikan yang diperlukan
untuk menjelajah laut dalam yang jauh dan menguntungkan. Akibatnya penghasilan
nelayan rendah dan demikian juga pekerjanya.
Di sektor industri, disebabkan oleh kualitas bisnis yang kurang, disebabkan oleh
ketiadaan barang modal, teknologi, kualitas produksi, dan pemasaran, akhirnya
omset yang rendah, laba yang rendah dan akhirnya upah buruh yang rendah. Pekerja
di sektor industri rumah tangga dan informal adalah locus kemiskinan.
Bahkan di industri formalpun Upah Minimum yang ditetapkan oleh pemerintah,
walaupun sudah meningkat, belum sepadan dengan meningkatnya standar hidup dan
harga‐harga. Jadi secara keseluruhan buruh adalah locus kemiskinan, dan kebijakan
upah minimum adalah faktor kunci.
Untuk pekerja mandiri yang lain, baik di sektor perdagangan, jasa lain, dan produksi,
sering berupa setengah pengangguran, produktifitas sangat rendah, sehingga tidak
mencukupi untuk mengejar standar hidup yang terus meningkat.
Locus kemiskinan yang paling nyata adalah pengangguran yang berarti tidak memiliki
penghasilan sama sekali.
3. 3
REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Perbaiki sumber penghasilannya: kebijakan upah.
2. Dorong lahirnya 5 juta wirausaha baru (kecil, menengah dan besar), yang gesit,
berbasis pengetahuan dan teknologi yang lebih baik, di sektor pertanian, kelautan,
industri pengolahan, dan jasa‐jasa.
3. Usaha usaha kecil yang dipelopori oleh para sarjana dengan kualitas SDM yang lebih
baik, yang gesit, berorientasi domestik dan internasional dan sangat
menguntungkan. Mereka akan mampu memperbaiki upah pekerja dan memperbaiki
kemiskinan. Bahkan merekrut para pengangguran yang semula menjadi beban
keluarga miskin berubah menjadi penyumbang keluarga.
4. Berikan subsidi bunga bank bagi wirausaha baru, khususnya para sarjana. Subsidi
bunga dan bukan modal hanya memerlukan anggaran yang kecil, dan bank tetap
akan berhati‐hati melepas kredit.
5. Permudah perkembangan bisnis dengan perijinan dan berbagai supporting yang
memungkinkan dengan sasaran akhir untuk memperbaiki nasib para pekerja. Pada
saat yang sama Upah Minimum Regional bisa ditingkatkan.
6. Buat pekerjaan umum infra struktur pedesaan/perkampungan terutama di masa tidak
ada pekerjaan, supaya rakyat memperoleh sumber pendapatan yang bermartabat.
7. Bagi manula yang berusia 65 tahun ke atas yang mungkin karena modernisasi hidup
sendiri atau hidup dalam keluarga miskin, pantas diberi tunjangan oleh negara.
Mereka pada masa muda sudah bekerja dengan upah yang rendah sehingga
mendorong ekonomi tumbuh. Maka pada masa tua pantas mendapat santunan
Negara dengan kartu Manula Lestari, melalui bank/kantor pos.
8. Dengan menurunkan biaya sekolah, biaya rumah sakit, biaya air bersih, sanitasi, toilet,
perumahan, dan inflasi umum maka kemiskinan dan ekonomi umum rakyat banyak
akan membaik.
11. 11
NOTA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (PK):
TREND, PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
[Sugeng Bahagijo]
Direktur Eksekutif, INFID
PERKEMBANGAN DAN DATA KEMISKINAN
Indonesia tergolong negara kelas menengah (middle income) yang “kantong” kaum
miskinnya terbesar, baik dibandingkan dengan rata‐rata negara menengah maupun
dibandingkan dengan negara‐negara dengan kue pembangunan (PDB) terbesar di dunia
anggota G20.
Disamping mewarisi pertumbuhan ekonomi yang positif selama 10 tahun terakhir dan
rata‐rata pendapatan per kapita 3.500 USD, disisi lain, pemerintah yang baru juga diwarisi
oleh angka Ketimpangan yang meningkat drastik dari level 0.35 tahun 2005, menjadi 0.41
(Indeks Gini) pada tahun 2013, yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Jumlah penduduk atau warga miskin makin menurun tiap tahun, setidaknya dari data
dan klaim pemerintah. Tahun 2014, jumlah penduduk miskin berjumlah 28 juta jiwa. Jumlah
ini masih sangat besar. Lebih besar dari total penduduk Malaysia (22 juta), lebih dari 2,5 kali
penduduk DKI Jakarta (9 juta) dan hampir 10 kali penduduk Propinsi Sulawesi Selatan (3
juta).
Tabel 1: Jumlah Penduduk Miskin
Tahun Jumlah (juta)
2004 36. 1
2008 35
2010 31
2011 29.9
2013 28.6
2014 27*
*Proyeksi
Jumlah penduduk miskin perlu dilihat dalam dua konteks: jumlah penduduk dan
jumlah angkatan kerja dan angka pengangguran terbuka. Pada tahun 2014, jumlah
penduduk Indonesia adalah 252,3 juta jiwa (proyeksi), jumlah angkatan kerja berjumlah
1,48 juta orang, dan jumlah pengangguran terbuka berjumlah 6.9 juta orang.
12. 12
Meski secara umum kemiskinan ditandai oleh kurangnya pendapatan, aset dan
pekerjaan (jobholder vs jobless), namun sebab‐sebab kemiskinan berbeda beda di
perkotaan dan pedesaan. Pemulung di kota memiliki pendapatan yang tetap, meski hidup
di kolong jembatan dan tidak mampu membiayai pendidikan anak‐anaknya.
Sebaliknya, kemiskinan di pedesaan ditandai oleh ketiadaa lahan, modal yang lemah
dan kekurangan pendapatan, meski memiliki rumah. Kemiskinan di pedesaan ditandai juga
oleh lemahnya kesempatan menikmati barang dan jasa layanan pemerintah seperti
pelayanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja.
Sebab lain kemiskinan ketiadaan jaminan sosial karena penduduk terpapar resiko
hidup (menjadi tua, meninggal) dan resiko sosial (PHK, menganggur, perceraian, sakit)
tanpa dilindungi oleh sistem jaminan sosial modern. Karena sistim jaminan sosial publik
Indonesia (kesehatan dan Ketenagkerjaan) belum berjalan atau melindungi semua
warganegara (universal), dan hanya melindungi sebagian kecil lapisan penduduk (PNS, TNI
dan kelompokk swasta profesional). JKN dan Jaminan Ketenagkerjaan masih sedang
dibangun.
Pemerintah melalui TNP2K telah mengembangkan dan memiliki data penduduk
miskin yang sama (unified data base), yang digunakan oleh semua kementrian dan lembaga
pemerintah, sebagai rujukan agar program diselenggarakan secara tepat sasaran. Data
yang tunggal ini akan memudahkan perancangan dan evaluasi program‐program
pemerintah.
Pemerintah telah mengembangkan berbagai macam program pengurangan
kemiskinan mulai dari PKH, PNPM, KUR, BOS dan Raskin, Jampersal dan sebagainya.
Cakupan wilayah dan penerima manfaat dari masing‐masing program bervariasi. PNPM
memiliki cakupan yang luas. Demikian juga dengan Raskin dan Bos dan Jampersal.
Sementara PKH memiliki cakupan wilayah dan penerima manfaat lebih sempit dan
terbatas. Tidak mengejutkan bila capaian dan hasil dari masing‐masing program berbeda‐
beda.
Besaran anggaran untuk seluruh program‐program penanggulangan kemiskinan
diperkirakan antara 50‐80 Triliun. Dalam APBN 2014, terdapat pos Belanja Sosial sebesar
Rp.73, 2 Triliun. Sebelumnya, tahun 2013, sebesar Rp. 93 Triliun. Angka persisnya barangkali
masih dapat diperdebatkan, namun jelas bahwa secara nominal, dana untuk PK tiap tahun
terus meningkat, sejalan dengan membesarnya volume APBN. Namun demikian,
dibandingkan dengan volume belanja Subsidi BBM dan Belanja Barang, maka trend yang
terlihat nyata dan jelas adalah, belanja sosial selalu lebih kecil (Lihat Tabel 2 dan 3).
13. 13
Tabel 2: Belanja Sosial vs Subsidi BBM
Tahun Belanja Sosial (Triliun Rp) Subsidi BBM (triliunRp)
2005 24.9 104
2008 57.7 223
2010 68.6 140
2011 71.1 255
2012 75.6 306
2013 92.3 332
2014 73.2 364*
*proyeksi
KEBIJAKAN DAN PROGRAM‐PROGRAM KEMISKINAN
Kemiskinan dapat diatasi melalui setidaknya 2 jalur utama. (i) Melalui pasar kerja;
antara lain melalui ketersediaan lapangan kerja dan upah layak dan luas sempitnya
kapasitas industrialisasi dan pertanian dalam menyerap angkatan kerja; (ii) Intervensi
pemerintah melalui (a) Kebijakan Fiskal dan Moneter; (b) Sistem Jaminan Sosial; (c)
Program‐program pemerintah; termasuk didalamnya subsidi pertanian dan penyediaan air
bersih dan sanitasi.
Pemerintah dapat mempengaruhi jalur pertama secara tidak langsung baik melalui
kebijakan upah minimum maupun melalui investasi dalam negeri dan FDI. Sebaliknya,
pemerintah dapat menenetukan atau mengendalikan secara langsung melalui jalur kedua :
yaitu melalui kebijakan fiskal, sistim jaminan sosial, dan program‐program PK yang
diselenggarakannya
Secara skematis, maka kedudukan atau porsi dari program‐program PK pemerintah
paling jauh akan memiliki bobot separuh dalam menurunkan kemiskinan. Sisanya akan
harus dilakukan melalui kebijakan makro ekonomi melalui kebijakan fiskal (pajak, subsidi)
dan moneter (suku bungan, inflasi)
Tabel 4: Dua Jalur Penanggulangan Kemiskinan
Jalur Pasar
(Pemerintah Mempengaruhi)
Peran Pemerintah
(Pemerintah Mengendalikan )
Pembukaan Lapangan Kerja Jaminan Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat/JKN)
Upah yang Payak Pelayanan Pendidikan (Kartu Indonesia Pintar)
Suku bunga Perbankan
Program‐Program PK (PNPM, PKH, Raskin, BOS,
BLT, BLSM, dll)
Jumlah investasi
Pelayanan Perumahan (Rumah Deret), Air Minum
dan Sanitasi, Perlindungan Aset warga (Rumah,
Tanah, Tabungan)
Informasi Pasar Kerja Kebijakan Alokasi APBN dan APBD
Kebijakan Pajak (PPh, PPn)
Kinerja Kementrian Tenaga Kerja, Pertanian,
Kesehatan dan Pendidikan
14. 14
Keberhasilan program‐program PK dapat diukur dari setidaknya dua kriteria dan
dimensi. yaitu (a) Efisiensi dan efektivitas, dalam arti kebijakan dan program telah
mencapai dengan biaya dan kelembagaan yang ada; Kriteria ini penting dalam menilai
sejauh mana operasi dan teknis kelembagaanya efektif dan efisien dalam menyediakan jasa
dan barang layanan itu sampai ke tangan pengguna/warganegara dengan tepat waktu dan
dalam mutu yang dapat diterima.
Selain itu, kebijakan juga dapat diukur dari sejauh mana (b) dampak program tersebut
kepada pemecahan masalah kemiskinan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari berbagai
indikator yang relevan seperti jumlah penerimanya, jumlah lapangan kerja, angka
pengangguran, jumlah penurunan angka putus sekolah, jumlah penurunan angka kematian
ibu, dan seterusnya.
Selama 10 tahun terakhir, Kebijakan dan program‐program pemerintah PK dapat
digolongkan kepada beberapa upaya, antara lain (i) penyediaan sarana dan prasarana di
pedesaan, di wilayah yang kekurangan sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, pasar
dan sebagainya; (ii) penyediaan modal kerja dengan bunga rendah seperti KUR (Kredit
untuk rakyat) yang disalurkan melalui perbankan seperti BRI; dan (iii) penyediaan
pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas dan Jampersal; (iv) Penyediaan dana bantuan
untuk sekolah seperti Bos.
Tabel 3: Jenis dan Tipe program PK
Nama Program Jenis/Tipe Cakupan
PNPM Prasarana pedesaan. Pembangunan
Sarana dan Prasarana desa. Jenis proyek
ditentukan oleh partisipasi warga, sesuai
kebutuhan. Termasuk kelompok simpan
pinjam. Didampingi oleh fasilitator.
Seluruh Indonesia
PKH Pendapatan. Pemberian Dana Tunai
Bersyarat kepada warga miskin (Orang
tua wajib menyekolahkan anak dan Kaum
ibu wajib memeriksakan kesehatan di
Posyandu dan Puskesmas setempat)..
Khusus untuk
keluarga miskin di
beberapa propinsi
Raskin Pangan. Pemberian beras dengan harga
dibawah harga pasar (bersubsidi) untuk
Gakin (keluarga miskin)
Keluarga Miskin di
seluruh Indonesia
Jampersal Kesehatan. Pelayanan Kesehatan gratis
untuk ibu bersalin yang memerlukan
(universal, tidak hanya yang miskin)
Untuk semua
warga di seluruh
Indonesia
BOS Pendidikan.Bantuan untuk sekolah
termasuk untuk pembangunan sarana
dan prasarana sekolah
Seluruh Indonesia
15. 15
KENDALA DAN PERMASALAHAN
Dilihat dari “Nawa Cita” dan “Negara Hadir” serta Kemandirian Ekonomi, yang
menjadi visi‐misi Jokowi JK, maka Kebijakan dan program‐program PK 10 tahun terakhir
dapat dikatakan sebagai (i) negara tidak hadir karena pelayanan kebutuhan dasar
ditumpukan dan diandalkan pada pendekatan Pasar (you get what you pay) ketimbang
pendekatan Hak (you get what you need).
(ii) Jika negara hadir, dalam bentuk berbagai program‐program pemerintah, maka
terdapat banyak kelemahan dalam operasi dan kelembagaannya. Sehingga barang dan jasa
dari pemerintah tidak sampai, terlambat diterima, dan atau terlalu lemah untuk untuk
meringankan dan menolong warga yang sedang membutuhkannya ( kematian ibu, balita
kurang gizi, .
Diperiksa dari pendekatan Kualitas Manusia dan Keunggulan ekonomi, maka program
Kebijakan dan program‐program PK terutama pada bidang Kesehatan dan Pendidikan lebih
banyak menundukkan diri pada kebutuhan jangka pendek ketimbang kebutuhan jangka
panjang. Kebutuhan jangka panjang artinya memenuhi kekurangan dan defisit yang selama
dialami Indonesia: defisit dokter, insinyur, ahli hukum ekonomi, peneliti Biotek, dll.
Secara teknis operasi dan kelembagaan, kendala dan permasalahan dapat diringkas
ke dalam satu frasa: Kelemahan Teknis dan kelembagaan; Artinya, kelemahan pelaksanaan,
pengawasan, pendataan dan sebagainya. Berikut ini beberapa kendala dan permasalahan
yang apabila diatasi akan dapat meningkatkan kualitas dan dampak program‐program PK
pemerintah di tahun‐tahun 2015‐2019 mendatang:
1) Pengukuran dan Data Kemiskinan. Pemerintah belum atau tidak memiliki data angka
kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi program‐program pemerintah dijalankan,
yang ada adalah data tahunan angka kemiskinan. Hal ini tentu menyulitkan untuk bisa
menilai sejauh mana hasil dan keberhasilan seluruh program‐program PK pemerintah.
2) Pendekatan Kebijakan. Kebijakan dan program PK selama ini hanya memusatkan diri
pada pengurangan KEMISKINAN, dan tidak sekaligus pengurangan KESENJANGAN. di
RPJM dan RKP serta Nota APBN pemerintah, ukuran keberhasilan pembangunan
tidak/belum diukur dengan penurunan kesenjangan/ketimpangan (penurunan Gini
Rasio). Implikasinya, pemerintah hanya menggunakan pendekatan “targeted”, dan
melupakan pendekatan “universal”.
3) Pendekatan Program Program‐program PK pemerintah masih bertumpu pada
pendekatan “the needy” (“untuk yang miskin saja”) yaitu pendekatan targeted.
Sementara banyak bidang memerlukan pendekatan yang universal (untuk semua),
seperti dalam hal jaminan kesehatan, pelayanan pendidikan dan pelayanan
ketenagakerjaan.
4) Penganggaran. Program‐program PK banyak tetapi kualitas dan dampaknya sangat
beragam mulai minimal hingga berdampak penting. Alokasi terbesar untuk program‐
program PK adalah PNPM dengan dana 11 T. sementara program lainnya hanya
berkisar 1‐3 T per tahun.
16. 16
5) Cakupan dan skala program minimal. Beberapa program pemerintah terlalu kecil
dalam hal cakupan wilayah dan penerimanya, dengan dana yang minimal. Yang
berakibat besaran manfaat yang diterimanya juga tidak signifikan. Akibatnya,
manfaat dan dampak program‐program PK sulit diukur secara nasional dan agregat
dalam menurunkan kemiskinan. Misalnya saja PKH. Cakupan PKH tidak bersifat
nasional dan dengan alokasi dana program yang kecil.
6) Metode Penyaluran Subsidi yang keliru. Subsidi Pupuk, Benih (subsidi Pertanian)
memainkan peran penting secara konsep. Dengan jumlah dana yang dialokasikan
cukup besar. Pada tahun 2013 jumlahnya 17 Triliun. Metode penyaluran subsidi selama
lebih berupa subsidi kepada produsen ketimbang subsidi pengguna atau petani. Hal
ini yang berakibat salah sasaran dan manfaatnya atau dana subsidi itu dibajak atau
dikorupsi melalui kerjasama elit politik dan penerima dana sibsidi (Pusri, BUMN
Pertanian, dll). Akibatnya manfaatnya tidak dirasakan (“negara tidak hadir”). Padahal
pemerintah bisa memberikan subsidi langsung Tunai kepada para petani dan nelayan
dan membebaskan mereka untuk membelanjakannya
7) Kendala Pusat dan Daerah. Ditinjau dari aspek anggaran, selama ini peran pemerintah
daeh (kota dan Kab) sangat minimal. Sebagian besar pemerintah daerah hanya
mengalokasikan kurang dari 5 persen APBD untuk kesehatan dan pendidikan,
Sementata pemerintah Kota dan Kab mengalokasikan lebih dari 60 persen untuk
belanja eksekutif dan DPRD.
8) Program PK terlalu banyak ragamnya. Dari program PNPM hingga BOS, dari PKH
hingga Raskin, secara manajemen dan kelembagaan, pemerintah menjebakkan diri
pada rentang tugas yang rumit dan tanpa koordinasi. Pemerintah juga tidak memiliki
standar teknis capaian dan akuntabilitas pada tiap program‐program karena masing‐
masing dierahkan kepada kementrian dan lembaga yang mengelolanya (PNPM di
Kemendagri, PKH di Kemensos, Bos di Kementrian Pendidikan, dll)
9) Kualitas Kelembagaan yang buruk. Penyaluran berbagai program seringkali juga tidak
efektif karena kinerja dan kelemahan birokrasi di kementrian dan lembaga
pemerintah pusat: (i) keterlambatan, hingga tahunan bukan saja hari, minggu atau
bulan.; misalnya saja penyaluran untuk siswa kelas 2 SMP, yang ternyata hanya
diterima ketika dia sudah kelas 2 SMA (ii) Kegiatan yang tidak dilakukan, misalnya
penyediaan dan distribusi obat‐obat untuk rumah sakit rumah sakit pemerintah
daerah oleh kemenkes. UKP4 memiliki data tentang kinerja berbagai program,
termasuk keterlebatan dan berbagai kendala lain, sebagai hasil pemantauan langsung
ke lapangan melalui uji petik di beberapa kab dan kota.
10) Silo‐silo birokrasi dan Kelembagaan: Program‐program PK dikelola oleh berbagai
lembaga, tanpa kordinasi yang baik dan terukut. PNPM oleh Kemendagri, BOS oleh
Kemntrian Pendidikan, dan PKH oleh Kemensos, Subsidi Pertanian oleh kementrian
Pertanian dan seterusnya, dan masing bergerak dengan egonya masing masing (silo‐
silo). Upaya memiliki data base keluarga miskin patut dipuji akan tetapi masih banyak
hal dan aspek yang belum dapat disatukan atau dikoordinasi.
17. 17
REKOMENDASI‐REKOMENDASI
Rekomendasi Umum
1) Ujian politik dan teknis bagi pemerintah Jokowi adalah merevisi APBN, bagaimana
melakukan perubahan APBN untuk menciptakan ruang fiskal yang memadai untuk
mendanai program‐program prioritas Jokowi JK sebagaimana dijanjikan
2) Pemerintah Jokowi JK perlu menciptakan ruang fiskal, 2‐3% PDB atau sekitar 100‐300
T, untuk mendanai berbagai intervensi atau program‐program prioritas pemerintah
Jokowi JK, dengan 3 cara (i) mengalihkan sebagian dana subsidi BBM dan Energi
untuk program‐program PK; (ii) penghematan belanja barang birokrasi (honor,
perjalanan dinas, dll); (iii) Menaikkan tarif PPH Orang Pribadi untuk menyasar
kelompok Superkaya yang berpendapatan diatas 1 milair dan 5 Miliar per tahun
dengan tarif 40‐45%.
3) Kebijakan PK harus sekaligus menurunkan Ketimpangan. Oleh Karena itu, pemerintah
juga harus memfokuskan diri pada pelaksanaan Jaminakan Kesehatan (Kartu
Indonesia Sehat) dan Jaminan Ketenagakerjaan. Pemerintah Jokowi JK perlu
mengukur keberhasilan pembangunan dengan indikator (a) penurunan Ketimpangan
(penurunan Gini Rasio), disamping (b) penurunan angka kemiskinan dan (c) angka
pengangguran
4) Pemerintah menempuh Dua Jalur PK: Jalur Pasar dan Jalur Pemerintah. Dalam Jalur
pemerintah, 3 intervensi yang harus diutamakan : Dukungan Fiskal (Belanja Sosial),
Jaminan Sosial dan Bantuan Sosial. Untuk kebijakan fiskal, pemerintah perlu merubah
Kebijakan Pajak PPH Orang Pribadi perlu dirubah untuk mencerminkan keadilan.
Batas atas pendapatan pajak (PPh Pribadi superkaya) perlu diubah dari Rp. 500 juta
dengan tarif 35 persen perlu ditambah dengan (a) lapisan pendapatan Rp 1 miliar ke
atas, (b) pendapatan Rp 5 miliar ke atas dan (c) lapisan Rp 10 Miliar pertahun ke atas
dengan tarif berkisar antara 40‐45 persen, sesuai dengan standar Uni Eropa.
5) Pemerintah Jokowi perlu menyelaraskan anggaran pemerintah daerah (kota dan
Kabupaten) melalui “politik fiskal” yaitu dengan cara : (a) mematok batas
atas/maksimum bagi belanja eksekutif, DPRD dan Belanja pegawai tidak lebih dari 50%
APBD . (b) mematok batas bawah/minimum untuk belanja pendidikan dan kesehatan
tidak kurang dari 30% APBD (untuk pendidikan dan kesehatan. Kemenkeu tidak akan
mencairkan dana pusat ke pemerintah kota dan kab (APBD) jika rencana APBD tidak
mematuhi kaidah fiskal tersebut diatas.
Rekomendasi Khusus
1) Subsidi Pertanian (Pupuk, Benih dll) diubah dari subsidi produsen kepada subsidi
konsumen KEPADA petani secara langsung. Subsidi dapat diberikan secara tunai
kepada kelompok petani dan nelayan untuk membeli bibit, pupuk, modal kerja, kapal
nelayan dan sebagainya.
18. 18
2) Berbagai program‐program PK perlu dimerger ke dalam 4‐5 program besar dengan
tujuan menciptakan cakupan dan dampak yang lebih besar dan memudahkan
pengelolaan, pelaporan dan akuntabilitas, serta didanai secara memadai (well‐
finance) untuk wilayah yang luas yang menjadi sasaran:
i. Karftu Indonesia Sehat (blok Kesehatan: Jampersal, Jamkesmas, dll)
ii. Kartu Indonesia Pintar (Blok Pendidikan: BOS, dll)
iii. Jaminan Tunai (Blok Bantuan Sosial: Raskin, PKH, dll)
iv. Kartu Indonesia Mandiri (Blok Jaminan Ketenagekerjaan)
v. Program Pemberdayaan Masyarakat (Blok Pemberdayaan: PNPM, dll)
3) Pemerintah Perlu mengalokasikan dana tambahan APBN untuk premi Jaminan
Kesehatan bagi kelompok yang ditanggung pemerintah (PBI) sesuai premi yang
dipatok oleh Kemenkes: dari Rp. 19 T ke 30 T pada APBN 2015.
4) Pemerintah perlu meminta BPS dan Bappenas memproduksi dan mengadakan data‐
data kemiskinan baru untuk memudahkan pemantauan dan pengukuran hasil
program‐program pemerintah : Data sebelum intervensi pemerintah dan sesudah
intervensi pemerintah.
5) Perlu dipikirkan Badan Tersendiri untuk PK yang langsung mengawasi dan
mengkoordinasi semua program‐program PK, yang didukung oleh unit pemantauan
program dan unit teknis analisa kebijakan.
5) UKP4 dan BPKP perlu diperluas wewenang tidak hanya memantau penyerapan
anggaran dan realisasi rencana, tetapi juga menilai kinerja dan kualitas
implementasinya. Artinya, kedua lembaga itu juga diberi wewenang untuk
mengusulkan pendekatan kebijakan dan desain dan metode teknis pelaksanaannya.
LAMPIRAN:
Perincian Rencana Aksi Kemiskinan
MENDESAK ‐100 HARI 1 TAHUN
Cetak Biru Kartu Indonesia Sehat (JKN) Pengadaan Data Kemiskinan Baru
Alokasi Dana Untuk Premi Pbi Jaminan
Kesehatan (JKN)
Studi Kelayakan Dana 1 Juta Untuk
Keluarga Miskin/Jaminan Tunai
Cetak Biru Kartu Indonesia Pintar Perpres Penyelasaran APBD Sesuai
Prioritas Jokowi Jk
Cetak Biru Percepatan Jaminan
Ketenagakerjaan (Kartu Indonesia
Mandiri)
Pembentukan Badan Penanggulangan
Kemiskinan
Pepres Penyatuan/Merger Berbagai
Program PK
Studi Kelayakan Tunjangan Pengangguran
(Unemployment Benefits)
Cetak Biru Perbaikan Perumahan
Perkotaan (Rumah Deret)
Cetak Biru Jaminan Tunai Indonesia
19. 19
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
POKJA PENGENTASAN KEMISKINAN
[Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D]
Guru Besar Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM dan
Direktur Program Magister Ekonomika Pembangunan UGM
MASALAH UMUM PEMBANGUNAN
Masalah pokok ekonomi Indonesia adalah tingkat kesejahteraan masyarakat yang
relatif masih rendah.Hal tersebut tercermin pada tingkat pendapatan per kapita yang
relatif rendah yakni sebesar US$4.810 pada tahun 2012 (bandingkan dengan Malaysia:
US$16.530 pada periode yang sama) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih
rendah yakni 0,629 pada tahun 2013 (peringkat 121 dari 173 negara)
Rekomendasi Kebijakan:
Strategi pembangunan yang harus dilakukan adalah redistribution with growth!
Perekonomian tumbuh sekaligus merata! Ini strategi yang dilakukan oleh beberapa negara
Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang) beberapa dekade yang lalu. Strategi ini
memiliki beberapa implikasi kebijakan:
1. Pertumbuhan ekonomi ‘tidak harus’ terlalu tinggi (cukup misalnya sekitar 6% per
tahun) tetapi inklusif (inilah esensi dari demokrasi ekonomi). Oleh karena itu, prioritas
utama harus diberikan kepada sektor/subsektor yang banyak melibatkan pelaku
ekonomi menengah bawah.
2. Pengembangan UMKM & Koperasi yang merupakan salah satu pilar ekonomi
Indonesia menjadi suatu keharusan. Oleh karena itu Kementerian UMKM & Koperasi
harus direvitalisasi dan refungsionalisasi sebagai alat demokrasi ekonomi.
3. Peningkatan pembangunan sektor pertanian secara umum menjadi suatu
keniscayaan. Sektor pertanian di Indonesia selain merupakan sektor yang sangat
strategis dalam hal penyerapan tenaga kerja juga sebagai basis pembangunan
(endogenous development) Indonesia menuju kemandirian ekonomi. Ingat
pengalaman Jepang dan Korea Selatan misalnya. Sebelum mereka mengembangkan
program, industrialisasi, sektor pertanian mereka dibangun dengan kokoh terlebih
dahulu.
4. Untuk menjamin agar pertumbuhan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat,
implikasi poin 1: Pertumbuhan penduduk harus dikendalikan (misalnya ditekan sampai
20. 20
1%, sekarang sekitar 1,34% per tahun). Di sini arti penting kita melakukan revitalisasi
Program KB dan BKKB.
5. Pembangunan di kawasan daerah tertinggal dan perbatasan harus dilakukan dengan
baik. Khusus daerah perbatasan harus mendapat perhatian khusus karena berbatasan
dengan negara tetangga. Masalah kedaulatan politik bisa terganggu jika
kesejahteraan masyarakat perbatasan rendah.
MASALAH KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan masalah kronis dan akut di Indonesia. Ini merupakan
“pekerjaan rumah besar” sebagai bangsa. Dengan kriteria garis kemiskinan yang “sangat
longgar’ pun jumlah penduduk miskin di Indonesia masih banyak. Pada 2012 adalah 28,594
juta atau 11,66 persen (18,086 juta atau 14,7 persen di perdesaan dan 10,507 juta atau 8,6
persen di perkotaan)
Rekomendasi Kebijakan:
1. Peningkatan pembangunan pertanian, khususnya subsektor pangan dan perikanan
(nelayan) karena di kedua subsektor merupakan kantong kemiskinan
2. Pembangunan perdesaan berbasis lokal
3. Pengembangan potensi ekonomi kawasan pesisir dan perbatasan
4. Peningkatan pengembangan UMKM & Koperasi
5. Pemetaan dan pemantauan kemiskinan secara lebih akurat agar arah “subsidi” tepat
guna
6. Peningkatan pembangunan infrastruktur di daerah perdesaan dan kawasan
tertinggal
7. Pengintensifan program KB di kalangan penduduk miskin, khususnya daerah
perdesaan.
MASALAH DISPARITAS PENDAPATAN
Kondisi distribusi pendapatan di Indonesia belakangan ini semakin butuk. Bahkan
terburuk sepanjang sejarah perekonomian Indonesia yang ditandai oleh tingginya Indeks
Gini yakni 0,413 pada tahun 2013. Selain itu disparitas regional juga masih buruk yang
ditandai oleh masih dominannya kontribusi Jawa terhadap ekonomi Indonesia yakni 57
persen. Kondisi distribusi pendapatan (perorangan dan regional) yang buruk sangat
potensial menimbulkan keresahan sosial, konflik horizontal di masyarakat, dan
separatisme.
Rekomendasi Kebijakan:
1. Peningkatan produktivitas SDM melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sarana
dan prasarana pendidikan & kesehatan
21. 21
2. Peningkatan pembangunan kawasan pesisir (nelayan) dan kelautan
3. Peningkatan pengembangan UMKM & Koperasi di daerah perdesaan.
4. Peningkatan pembangunan infrastruktur di kawasan tertinggal & peningkatan
konektivitas antar daerah (khususnya pembangunan prasarana jaringan transportasi:
jalan raya dan pelabuhan laut)
5. Perbaikan sistem kelembagaan: sistem perpajakan yang berkeadilan, perbaikan akses
ke sumberdaya produktif, dan regulasi lainnya
6. Peningkatan pembangunan pertanian subsektor pangan (sebagian besar penduduk
miskin bergerak di subsektor ini)
7. Peningkatan pembangunan di kawasan tertinggal dan perbatasan.
22. 22
BAB II
PEREKONOMIAN DAN
KEBIJAKAN FISKAL
23. 23
DEMOKRASI:
DAULAT RAKYAT BUKAN DAULAT TUANKU
[Prof. Dr. Sri Edi Swasono]
Guru Besar UI, Penasehat Menteri BAPPENAS, Ketum Majelis Luhur Tamansiswa,
Penerima “Anugerah HB IX” dari UGM
Demokrasi adalah “daulat Rakyat”, bukan “daulat Tuanku” atau “daulat pasar”.
Pemerintahan demokratis adalah pemerintahan cap rakyat, bukan cap tuanku, bukan pula
cap partai, cap teknokrat ataupun cap kleptokrat.
Demokrasi politik menuntut partisipasi politik dan emansipasi politik seluruh rakyat.
Demikian pula demokrasi ekonomi menuntut partisipasi ekonomi dan emansipasi ekonomi.
Demokratisasi politik sarat dengan nilai‐nilai kultural dan fatsoen lokal, demikian pula
demokrasi ekonomi mengemban nilai‐nilai kultural dan tatanan lokal. Tanpa demokrasi
ekonomi akan terbentuk konsentrasi kekuatan ekonomi yang akan mengatur dan
mendikte demokrasi politik. Demokrasi ekonomi merupakan “the political struggle of the
twenty‐first century” (JW Smith, 2000), sebagai upaya mendobrak pola perdagangan
konspiratif masa lalu yang membentukkan imperialisme korporasi saat ini (ibidum).
Demokrasi menjadi tuntutan modernisasi, yang bukan harus westernisasi. Ada
demokrasi Barat ada pula demokrasi Timur. Indonesia menegaskan demokrasi bikinannya
sendiri (custom‐made), suatu consociational democracy, demokrasi berdasar konsensus.
Demokrasi Indonesia memangku pluralisme Indonesia, mengedepankan prinsip “semua
diwakili”, bukan sekedar “semua dipilih”. Demokrasi Indonesia terselenggara di parlemen
melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (bukan sekedar Majelis Rakyat), yang terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan‐utusan dari Daerah‐Daerah dan
Golongan‐Golongan. Inilah Demokrasi Pancasila berdasar “asas bersama”, demokrasi yang
mengutamakan musyawarah untuk mufakat, bukan yang serba melalui voting. Bahwa
Amandemen UUD 1945 meminggirkan prinsip “semua diwakili” sebagai custom‐made
democracy‐nya Indonesia, adalah suatu “kecelakaan konstitusional”, suatu kelengahan
kultural kebarat‐baratan berdasar “asas perorangan” (individualisme).
***
Sangat menarik mendengar penegasan Capres Jokowi: “…saya hanya akan tunduk
kepada konstitusi dan amanat rakyat…”.
Tunduk kepada konstitusi adalah tunduk pada UUD 1945 yang berlaku (hasil
amandemen), yang berarti mengandung “kecelakaan konstitusional” itu. Berarti bila
24. 24
Jokowi menjadi Presiden RI ia akan terlibat masalah bagaimana menyelenggarakan
demokrasi Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila, khususnya berkaitan dengan Sila ke‐4.
Tuntutan kembali ke UUD 1945 makin marak: dimulai dari tuntutan kembali
sepenuhnya kepada UUD 1945 asli, sampai mengamandemen ulang UUD 1945 asli dan
mengamandemen UUD 1945 hasil amandemen. Inilah dinamika tuntutan konstitusional
yang akan dihadapi Jokowi.
Seorang Presiden bertunduk kepada amanat rakyat, berarti tunduk kepada wakil‐
wakil rakyat di parlemen. Parlemen kita adalah hasil voting, sebagaimana saya tulis
(Kompas, 9/8/2011), wakil‐wakil rakyat tidak terpilih sepenuhnya berdasar vox populi vox
Dei, tetapi kental dengan politik uang – vox populi vox argentum, yaitu demokrasinya
blantik‐blantik politik. Kemudian DPR bukanlah lagi “dewan perwakilan rakyat”, tetapi
lebih merupakan “dewan perwakilan partai” dengan superioritas pimpinan partai.
***
Capres Jokowi menolak pula pemberitaan media yang dikutipkan oleh Prabowo
Subianto, bahwa Jokowi mengabaikan peran koperasi. Jokowi menegaskan berita itu
bohong, sebaliknya menyatakan bahwa koperasi sangat penting. Di sini Jokowi menjadi
sealiran dengan gerakan koperasi yang sempat hampir berputus‐asa menghadapi UUD
Koperasi, UU No. 17/2012, yang kapitalistik dan borjuistik, yang membunuh gerakan
koperasi. Kita mensyukuri judicial review diterima MK, UU Koperasi ini dibatalkan oleh MK.
Penegasan Jokowi tentang posisi penting koperasi tentu merupakan komitmen
konstitusionalnya yang terkait dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar demokrasi
ekonomi Indonesia. Koperasi adalah wadah ekonomi rakyat. Berpaham kerakyatan dan
membela ekonomi rakyat bukan monopoli orang‐orang komunis, melainkan merupakan
kewajiban konstitusional. Di sinilah sebenarnya titik temu pandangan ekonomi Jokowi dan
Prabowo Subianto. Dengan demikian diharapkan bahwa ekonomi Indonesia dapat
diluruskan kembali sesuai Pasal 33 UUD 1945, dengan menegaskan hakikat demokrasi
ekonominya: bahwa “kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang‐
seorang, bahwa cabang‐cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar‐
besar kemakmuran rakyat”. Penegasan konstitusional ini sering dengan tugas
pemerintahan Negara untuk melaksanakan cita‐cita nasionalnya: “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia…”.
Cita‐cita nasional yang strukturalistik begini hanya bisa dilaksanakan dengan
menggelar suatu perencanaan pembangunan nasional, yang tidak bisa menyandarkan
pada kehendak dan selera pasar‐bebas. Apalagi kita wajib ikut melaksanakan ketertiban
dunia, berarti kita wajib ikut mendesain wujud dan mekanisme globalisasi, tidak sekedar
menjadi bangsa antisipatif dan sekedar menjadi obyek kekuatan global.
25. 25
***
Pasal 33 adalah local wisdom Indonesia, suatu master piece (Bintoro Tjokroamidjojo,
Bappenas, 1973). Dengan Pasal 33 inilah kita menegaskan custom‐made economic
democracy‐nya Indonesia, artinya kita mengakhiri pola‐pikir swing of pendulum dari “kiri”
ke “kanan” atau sebaliknya, kita menolak westernism yang terperangkap pola‐pikir
komunisme versus kapitalisme itu‐itu saja. Pasal 33 bukan “jalan kiri”, bukan “jalan kanan”,
bahkan bukanlah “jalan tengah”, tetapi adalah “jalan lain”, suatu “jalan lurus”, yang para
pendiri Republik menyebutnya sebagai “jalan Pancasila”. Saya ingin mengungkap di sini
bahwa Jakob Oetama pernah menegur saya (saya tulis di Kompas, 16/8/2005) tentang
keheranannya mengapa banyak ekonom mengagumi “jalan ketiga”‐nya Anthony Giddens.
Dikatakan Jakob Oetama The Third Way‐nya Giddens tertinggal (55 tahun) dari Pasal 33‐nya
Hatta.
Berpikir dalam konteks (swing of pendulum) adalah obsolit. Bahwa Francis Fukuyama
menulis tentang the “end of history” (1992) dan menyatakan bahwa “demokrasi liberal
Barat merupakan bentuk final dari pemerintahan manusia”, telah terbantahkan oleh fakta
dan juga disanggah oleh Samuel Huntington (1996) yang mengemukakan pandangan
tentang dominannya the “clash of civilizations”.
Saat ini kita ditantang untuk berpikir dalam konteks shifts of paradigm (pergeseran
paradigma) dari manusia yang digambarkan sebagai homo‐economicus, ke manusia sebagai
homo‐humanus, homo‐socius, homo‐religious dan homo‐magnificus. Di mana humanisme
menjadi titik sentralnya. Dari sinilah kita harus mengangkat pentingnya “daya kerjasama”,
bukan hanya “daya saing”. Setelah Tembok Berlin runtuh (1989) umat manusia
paradigmatik bicara lagi tentang “alle Menschen werden Bruder” – menuntut the
brotherhood of men. APEC, ASEAN‐AEC dan seterusnya adalah forum kerjasama, bukan
forum persaingan bantai‐membantai. Kepentingan nasional harus diutamakan.
[Asli makalah ini untuk Harian KOMPAS, dan telah dimuat di KOMPAS, 16 Agustus 2014]
26. 26
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
(APBN)
[Dr. R. Maryatmo]
Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta
APBN mempunyai fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Yang dimaksud fungsi
stabilisai adalah bahwa struktur, serta besaran APBN baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi stabilitas moneter di Indonesia, yakni stabilitas suku bunga,
harga, dan kurs. Fungsi alokasi APBN adalah bahwa alokasi anggaran dapat menjadi daya
dorong dan dinamika kinerja dan pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Fungsi alokasi anggaran ini juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan
prioritas pencapaian kinerja dan pertumbuhan sector yang penting dan dibutuhkan
masyarakat. Fungsi distribusi APBN berkaitan dengan fungsi APBN untuk distribusi
pendapatan, dan pengentasan kemiskinan serta pelestarian lingkungan.
Agar ketiga fungsi APBN itu bisa berjalan baik, perlu beberapa syarat yang harus ada
dalam proses anggaran:
1) Penyusunan program dan anggaran harus ditangan pemerintah dan departemennya.
Kontrol boleh di tangan DPR.
2) Proses penyusunan, realisasi, serta evaluasi program dan anggaran harus bersih dari
korupsi dan kepentingan politik.
3) Selayaknya sebuah institusi anggaran merupakan konsekuensi dari program. Program
diturunkan dari sebuah perencanaan jangka menengah (REPELITA) dan jangka
panjang (GBHN). Setiap program harus memiliki tolok ukur capaian secara terukur.
Setiap program harus dievaluasi pencapaiannya. Harus ada monitoring dan evaluasi
untuk memastikan bahwa a) program sesuai (in line) dengan program jangka
menengah dan jangka panjang. b) program mencapai sasaran seperti ditunjukkan
oleh tolok ukur yang sudah ditentukan sebelumnya. c) perlu ada penjelasan jika
program tidak sesuai dengan tolok ukur capaiannya.
4. Perencanaan program dan anggaran bisa dilakukan oleh depertemen pemerintah
(BAPENAS?), dengan mendengarkan visi misi presiden, dan masukan departemen
yang menangani program di lapangan.
5. Pemerintah perlu mendefinisikan dengan jelas sasaran subsidi. Subsidi BBM sekarang
ini sudah sangat jelas jauh dari sasaran, karena yang menerima subsidi justru bukan
orang, instritusi, atau kelompok masyarakat yang seharusnya menerima subsidi.
Pemerintah harus mencari alternatif cara pencapaian sasaran subsidi. Salah satu cara
27. 27
yang efektif adalah subsidi secara langsung (cash transfer) untuk sasaran yang
sungguh membutuhkan.
6. Dengan gencarnya pemekaran, pemerintah perlu mendifinisikan kembali pembagian
peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara jelas, agar tujuan
jangka panjang, jangka menengah, dan fungsi APBN bisa tercapai. Pemekaran yang
tak terkendali mengindikasikan bahwa wewenang daerah begitu besar, sehingga
setiap daerah menginginkan pemekaran yang dirasa lebih menguntungkan daripada
kesatuan daerah yang lebih besar. Perlu diingat bahwa pemekaran membutuhkan
dana penyelenggaraan pemerintah yang lebih besar.
7. Untuk meminimalkan korupsi, pemerintah perlu segera menerapkan “single
identity”, melalui e‐ktp. Semua transaksi harus menggunakan identitas e‐ktp
tersebut. Transaksi bank, pajak, paspor, dlsb harus menggunakan data base e‐ktp
tersebut. Perlu pendifinisian yang jelas tentang wewenang akses terhadap data base
tersebut, agar ranah “privacy” tidak dilanggar.
28. 28
AGENDA NASIONAL 5 TAHUN KE DEPAN:
MENATA DAN MENGAKTIFKAN PEREKONOMIAN INDONESIA
YANG INKLUSIF DAN BERDAULAT
[Dr. Darmin Nasution]
Mantan Gubernur Bank Indonesia 2010‐3013
[Pengantar: Naskah ini adalah bahan dan hasil dari diskusi terbatas Tm Ahli Seknas
Jokowi, yang berupaya menjawab tantangan bangsa ke depan, dan langkah‐langkah yang
harus dilakukan – seknas jokowi].
PETA PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN
Pengalaman bangsa kita selama hampir tujuh dasawarsa ini menunjukkan bahwa,
dibalik berbagai kemajuan yang telah dicapai, ekonomi Indonesia tetap saja belum keluar
dari sejumlah kelemahan dasar. Berbagai kelemahan dasar dimaksud, merupakan
persoalan struktural yang berkelindan dengan unsur kelembagaan yang tetap terbelakang.
Sebagai akibatnya ekonomi Indonesia sejauh ini tetap rentan terhadap setiap gejolak yang
terjadi secara internal maupun eksternal. Tentu saja beberapa dari kelemahan dasar
tersebut merupakan warisan dari masa pra‐kemerdekaan. Akan tetapi dalam masa yang
sedemikian panjang seyogianya kita telah mampu melahirkan perbaikan yang perlu,
bahkan mengantisipasi dinamika ke depan. Kita memang telah berhasil keluar dari julukan
kelompok negara miskin, tepatnya Indonesia dikategorikan sebagai negara berpendapatan
menengah bawah‐ sekalipun tingkat kemiskinan masih meru pakan fenomena yang luas
dan dalam. Hal ini terutama berakar dari minimnya dukungan kelembagaan dan fasilitasi
kebijakan memupuk kapasitas ekonomi rakyat.
Sektor pertanian khususnya penghasil pangan kita –secara luas, termasuk peternakan
dan perikanan‐ tetap belum mampu melahirkan perbaikan yang berarti. Ketidak jelasan
politik pertanahan praktis tidak memberi peluang bagian terbesar masyarakat
memperbaiki kesejahteraannya secara berkesinambungan. Dengan penguasaan lahan
yang kecil –terutama di Jawa‐ tentu saja mustahil mendedikasikan hidup secara penuh
sebagai penghasil pangan. Sebagai akibatnya penduduk terpaksa mencari pekerjaan
tambahan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan keadaan tersebut ditambah
pembangunan prasarana pendukung yang terbatas, tentu sulit bagi petani meningkatkan
produktivitas. Situasi para petani lebih dipersulit lagi menghadapi struktur pasar dan
jaringan distribusi yang eksploitatif. Bagian harga yang diterima petani tidak beranjak
29. 29
banyak. Padahal sumberdaya tanah, air, cahaya matahari, dan manusia tersedia, walaupun
tidak semuanya tersebar secara merata. Alih‐alih menjadi negara eksportir yang unggul
dalam bidang yang sangat strategis ini, Indonesia malah semakin tergantung dari luar.
Sementara itu dua sumberdaya penting, yaitu tanah dan air makin jelas mengalami
kerusakan, karena tidak terawat dengan baik. Hal ini jelas menjadi bomb waktu yang bukan
hanya mengancam kelesetarian lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko kedaulatan
pangan, menghadapi gejala pemanasan global.
Perkembangan di bidang‐bidang lain juga tidak menggembirakan. Negara Indonesia
yang besar –dalam ukuran luas wilayah maupun jumlah penduduk‐ditandai dengan
kegiatan industri dan jasa modern yang terbatas. Kemunduran yang terjadi paska krisis
besar Asia 1998 semakin mendorong Indonesia mengeksploitasi sumberdaya alam, baik
pertambangan (non‐migas) maupun kehutanan dan perkebunan. Bahkan perkembangan
industri padat karya yang sebelumnya cukup significant belakangan semakin kehilangan
daya saing. Keadaan ini sangat terkait dengan lemahnya pengembangan SDM (persisnya
human capital) dan juga infrastruktur dan kelembagaan. Beberapa tahun belakangan
sektor industri dan PMA mulai menggeliat kembali. Akan tetapi orientasinya lebih kepada
barang konsumsi dibarengi property dan real‐estate. Oleh karena itu strategi dan kebijakan
industrialisasi mendesak untuk diarahkan pada pengolahan hasil pertambangan,
perkebunan dan kehutanan, serta penghasil bahan baku/penolong dan barang modal.
Hanya dengan cara itu keseimbangan eksternal ekonomi Indonesia tetap terjaga dengan
dinamika internal yang berkelanjutan. Berarti industrialisasi perlu didukung dengan
pengembangan infrastruktur, human capital, kelembagaan (ekonomi dan non‐ekonomi),
keuangan dan fiskal. Dalam hubungan ini perlu sekali disadari bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan. Berarti peran konektivitas dan konfigurasi wilayah sangat penting, baik
di lihat dari sumberdaya, sarana‐prasarana, dan sebaran penduduk.
Sejauh ini kapasitas perekonomian nasional–termasuk tingkat pertumbuhannya‐ tidak
mampu menyerap angkatan kerja sehingga fenomena setengah penganggur (disguised
unemployment dan underemployment) semakin menggejala disamping pengangguran
terbuka. Fenomena ini lebih dikenal sebagai sektor informal yang cenderung permanen.
Oleh karena itu penting sekali mengarahkan dan mendorong kelembagaan agar
mengembangkan akses –secara efisien‐ kepada pelbagai kegiatan ekonomi, baik di sektor
pertanian rakyat, industri dan jasa UMKM, serta prasarana. Perhatian pemerintah perlu
diutamakan kepada kelembagaan di sektor keuangan, SDM, serta pengetahuan dan
teknologi. Kelembagaan meliputi peraturan perundangan, pasar, institusi (baik pemerintah
maupun swasta) dan proses bisnis. Termasuk juga dalam hal ini mengefektifkan
kelembagaan keamanan dan penegakan hukum. Pemerintah dan lembaga‐lembaga sosial
diaktifkan untuk menegakkan disiplin dasar di pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat
dalam rangka membangun karakter bangsa. Dengan demikian potensi pelbagai
sumberdaya benar‐benar menjadi tumpuan perkembangan ekonomi dan pembangunan
yang inklusif dan berkeadilan.
Membangun Indonesia tidak bisa tidak perlu berangkat dari kesadaran akan kekayaan
dan kelimpahan sumberdayanya di satu pihak, serta kelangkaan modal, pengetahuan‐
30. 30
teknologi, kelembagaan‐organisasi‐etos kerja‐proses bisnis, dan peng uasaan tanah di
pihak lain. Upaya strategis dimulai dari memaksimumkan penerimaan negara, disusul
dengan kofigurasi pengeluaran yang tepat sasaran. Kampanye dan sosialisasi berhemat
dan gemar menabung secara berkelanjutan untuk meningkatkan tabungan dan investasi
nasional. Hanya dengan cara itu kita secara bertahap melepaskan diri dari ketergantungan
kepada modal luar beserta bias kebijakan (seperti tingkat bunga tinggi) yang pada
gilirannya membebani dan merugikan kepentingan nasional.
Uraian ini selanjutnya lebih ditekankan kepada kebijakan dan langkah‐langkah yang
perlu ditempuh dalam jangka pendek sampai menengah berdasarkan peta permasalahan
ekonomi dewasa ini. Sasaran utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan dan berkesinam bungan. Sebagai bagian dari strategi jangka menengah‐
panjang uraian ini sekaligus merupakan fondasi untuk keluar dari jebakan “middle‐income
trap” dan mengantar bangsa ini mencapai negara maju dalam dua dasawarsa ke depan.
PRIORITAS DAN KONFIGURASI KEBIJAKAN
1. Reformasi Pertanian:
Mengembangkan modal petani (termasuk nelayan dan peternak):
a. Tujuan: mengangkat dan mengukuhkan kesejahteraan petani; menstabilkan dan
menggiring turun inflasi; mendukung perbaikan keseimbangan eksternal (NPI);
membangun kedaulatan pangan, membangun keunggulan dalam produk hortikultura
tropis;
b. Basis Kebijakan:
• Mengatur kewajiban pengolahan persil tanah sesuai peruntukannya,
• Menetapkan “Pedoman dan Standar” prasarana pedesaan terutama jaringan
irigisasi tersier serta jalan dan jembatan dalam rangka allokasi bantuan desa
sebagai pelaksanaan Undang‐undang Desa’
• Memperkuat kelembagaan dan peran BULOG meliputi penyuluhan dan
pendidikan petani dalam pengenalan jenis tanaman, cara bercocok tanam,
mendorong lahirnya kluster usaha pertanian, pengolahan dan penyimpanan,
disamping pembelian dan pembentukan stok pangan,
• Membangun bersama Pemerintah Daerah sistem informasi –a.l. tentang cuaca,
harga dan pasar, pedagang pengumpul, dan pilihan tanaman dan bidang kegiatan‐
yang bisa diakses dengan telpon genggam sederhana,
• Memperkuat BPN melakukan sertifikasi tanah rakyat, teristimewa di pedesaan,
• Menyusun “Pedoman dan Standar” dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dalam
pembukaan lahan baru untuk para petani dan peternak,
• Menyusun paket kebijakan mendorong BUMN dan swasta membangun kapal
penangkap ikan yang lebih terjangkau nelayan, serta usaha pembekuan dan
pemrosesan ikan,
31. 31
• Mengembangkan usaha dan atau kegiatan pemuliaan (pembibitan) ternak seperti
sapi, kambing, unggas, dll., serta penyebaran dan distribusinya,
• Bekerjasama dengan Otoritas terkait mengembangkan program memperluas
jangkauan terhadap lembaga keuangan termasuk pembiayaan usaha petani
(financial inclusion),
• Membangun sarana/prasarana pasar –termasuk pergudangan oleh swasta‐ dan
angkutan di wilayah pertanian (lihat juga kebijakan penyelesaian subsidi dan
pengembangan SJSN).
2. Reorientasi Kebijakan dan revitalisasi Industrialisasi:
a. Tujuan: membangun kebijakan, peraturan, kelembagaan mendukung industrialisasi
yang berbasis sumberdaya nasional, meningkatkan nilai tambah, mendukung
perkembangan UMKM kerajinan dan industri.
b. Basis kebijakan:
• Merumuskan paket kebijakan termasuk insentif mendorong perkembangan
industry bahan baku/penolong dan barang modal secara bertahap, dengan
memperhatikan efisiensi/daya saing,
• Melaksanakan UU Minerba dengan memperhatikan aspek skala ekonomi dan
prasarana,
• Merumuskan kebijakan termasuk insentif dan disinsentif mendorong pengolahan
lebih lanjut –secara bertahap‐ produk hasil kehutanan dan perkebunan,
• Mendukung pengembangan sentra kerajinan dan UKM dalam bidang prasarana
(seperti trotoar, tempat parkir, dan sentra pemasaran) tenaga konsultan, disain,
dan teknik processing, serta jaring pengadaan bahan‐bahan.
• Bekerja sama dengan Pemda mengadakan events seperti bazar dan pameran
setempat sebagai ajang mempertemukan pengrajin/UKM dengan konsumen dan
lembaga keuangan,
• Bekerja sama dengan Pemda dan Otoritas terkait membangun sistem informasi –
yang bisa diakses dengan HP sederhana‐ tentang pelbagai produk beserta profil
para pengrajin dan UKM (lihat juga kebijakan di sektor pertanian/pangan).
3. Mengembangkan Sektor Jasa:
a. Tujuan: mengevaluasi, mem‐benchmark, serta menyempurnakan peraturan,
kelembagaan, standar produk, serta pelaku perdagangan dan disribusi produk hasil
rakyat untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, serta transformasi struktural;
b. Basis Kebijakan:
• Menugaskan Kemendag dan BULOG bekerjasama dengan Pemda terkait untuk
menyusun konsep, proses bisnis, dan kelembagaan mengefisienkan mekanisme
dan jaringan distribusi/perdagangan hasil pangan, holtikultura, ternak, ikan, dan
hasil kerajinan,
32. 32
• Menugaskan Kemendag dan Kemenperin mengidentifikasi teknik meningkatkan
standar mutu dan pilihan pasar (luar negeri) komoditi hasil perkebunan dan
kehutanan rakyat,
• Menugaskan Kemendag (BPEN) bekerjasama dengan Kemenaker
mengidentifikasi kompetensi dan proses bisnis, serta mendorong lahirnya
kegiatan jasa pendukung peningkatan ekspor dari FOB menjadi CIF,
• Merancang paket kebijakan dan proses transformasi struktural perpindahan
penduduk dari sektor pertanian (informal) ke sektor jasa perkotaan –terutama
perdagangan, bangunan, dan pengangkutan‐. Proses transfromasi ini berlangsung
secara bertahap dengan dukungan peraturan, kelembagaan, dan
insentip/disinsentip.
• Mengaktifkan mekanisme penetapan standar kompetensi pelbagai kegiatan
sektor jasa dan industri, serta mendorong kelahiran lembaga pelatihan
(sertifikasi) dan akreditasi.
4. Mengoptimumkan Keuangan, Birokrasi, dan Pembiayaan
a. Tujuan: meningkatkan penerimaan negara, mengefektif dan mengefisienkan birokrasi
pemerintahan (terutama perijinan dan pelayanan umum) serta mengoptimumkan
pembiayaan/ pengeluaran negara.
b. Basis Kebijakan:
• Memaksimumkan penerimaan pajak, bea‐cukai, dan non‐pajak dengan konsolidasi
data/informasi dan menggunakan metode bench‐marking dll,
• Melakukan reorientasi fungsi‐fungsi dan peran Pemerintah dan BUMN, dengan
memperjelas hal‐hal yang perlu dilaksanakan pemerintahan dan BUMN,
• Merumuskan kembali dan mempertajam fungsi dan tugas‐tugas yang
dilaksanakan setiap Badan, Kementerian, Komisi dan Lembaga pemerintahan
lainnya, didasarkan pada tolok ukur efektivitas dan efisiensi,
• Melakukan reorientasi allokasi anggaran negara dan lembaga pemerintahan
sejalan dengan reorientasi fungsi dan perannya, berdasarkan sasaran dan kinerja
yang ditetapkan. Misalnya anggaran pendidikan perlu direview allokasi antara
pengembangan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar sekolah,
dan pendidikan/pelatihan kompetensi dan ketrampilan,
• Membuat peraturan (PP) yang mengatur setiap pengeluaran/pencairan dana
APBN/APBD –termasuk sub‐kontrak sampai dua tingkat) wajib dalam bentuk alat
keuangan non‐cash, dalam rangka pemberantasan korupsi,
• Membuat UU tentang perijinan dan pelayanan publik, yang mengatur kewajiban
setiap instansi Pemerintah (Pusat maupun Daerah) menerbitkan peraturan
pelaksanaan yang memuat sekurangnya persyaratan, prosedur, biaya (jika ada),
waktu penyelesaian, pelaksanaan ijin, serta sanksi pelanggaran (meminimumkan
praktek KKN).
33. 33
5. Reformasi Subsidi
a. Tujuan: mereformasi subsidi negara kearah yang tepat sasaran dan terukur,
meningkatkan kesejehteraan rakyat, dan membangun energi alternatip dan
terbarukan.
b. Basis Kebijakan:
• Menyempurnakan konsep dan selanjutnya merancang skenario dan jadwal
pelaksanaan SJSN yang layak dan berkelanjutan,
• Menyusun skenario dan jadwal pengurangan subsidi komoditi –terutama subsidi
BBM, listrik, pupuk dsb.‐ dan mentransformasi penghematan dananya menjadi
subsidi orang (SJSN), pembangunan prasarana pedesaan, dan prasarana ekonomi
dalam rangka industrialisasi,
• Memobilisasi dunia usaha termasuk UKM membangun berbagai energi alternatip
dan terbarukan, seperti biomass, panas bumi, tenaga air (termasuk mikro‐hidro),
hasil tanaman/perkebunan, batubara, energi matahari, dll.,
• Menyusun skenario merubah pemakaian pupuk dari urea menjadi NPK untuk
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
6. Ketenaga Kerjaan (human capital)
a. Tujuan: mendorong dan mengefektifkan sistim pendidikan, pelatihan dan sertifikasi
angkatan kerja untuk meningkatkan mutu SDM dan daya saing.
b. Basis Kebijakan:
• Menyusun standar pengetahuan dan kompetensi setiap mata pelajaran, serta
praktek dan pekerjaan laboratorium pendidikan dasar dan lanjutan,
• Mengatur mekanisme, kelembagaan, dan proses bisnis pemantauan, penilaian,
dan tindak lanjut terhadap pencapaian standar pengetahuan dan kompetensi
pendidikan,
• Menyempurnakan peraturan dan mendukung langkah melahirkan standar
kompetensi, sertifikasi, dan akreditasi pelbagai keahlian dan ketrampilan,
• Menyusun paket kebijakan mendorong lahirnya berbagai kelembagaan pelatihan
dan sertifikasi,
• Merevitalisasi jalur pendidikan kejuruan pada tingkat pendidikan menengah,
untuk mendukung peningkatan kapsitas dan standar ekonomi masyarakat,
terutama UMKM,
• Membangun serta merevitalisasi lembaga pengembangan benih, terutama
tanaman pangan dan holtikutura, ternak dan unggas, serta ikan.
7. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan
a. Tujuan: membangun prasarana sistem informasi harga, pedagang pengumpul dan
eceran, tingkat bunga dan pembiayaan, untuk meningkatkan efisiensi dan posisi
tawar dan pendidikan petani.
34. 34
b. Basis Kebijakan:
• Menjalin kerjasama Pemerintah, BI dan OJK, beserta Pemda membangun sistim
informasi –yang bisa diakses dengan HP‐ tentang ramalan cuaca, alamat dan
nomor HP pedagang pengumpul, tingkat harga pelbagai produk –terutama hasil
pertanian dan saprodi‐ baik di tingkat pedagang pengumpul maupun di pasar
eceran.
• Menyusun peraturan pelaksanaan –yang meliputi standar operasi dan keamanan‐
dalam rangka memfasilitasi terwujudnya brancheless banking dan agen bank serta
e‐money,
• Menyusun paket kebijakan termasuk insentip dan disinsentip untuk
menggerakkan lembaga keuangan menjangkau dan melayani usaha perorangan
mikro dan UMKM.
• Menyusun konfigurasi kebijakan dalam bidang produksi pangan (dalam arti luas),
transformasi subsidi, efisiensi jaringan distribusi pangan, mengembangkan
sarana‐prasarana dan konektivitas dalam rangka menstabilkan dan menggring
inflasi ke arah yang sepadan dengan di negara‐negara tetangga,
• Bekerjasama erat dengan otoritas terkait mengefisienkan operasi lembaga‐
lembaga keuangan untuk menggiring tingkat bunga yang mampu dijangkau
ekonomi masyarakat.
35. 35
Masalah dan Rekomendasi Kebijakan
KELOMPOK KERJA BIDANG APBN DAN FISKAL
[Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D]
Guru Besar Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM dan
Direktur Program Magister Ekonomika Pembangunan UGM
MASALAH
Masalah fiskal yang utama di Indonesia adalah defisit anggaran. Defisit anggaran di
Indonesia disebabkan 2 hal utama: rendahnya penerimaan pemerintah terutama dari pajak
dan besarnya subsidi energi khususnya BBM. Defisit anggaran belanja tersebut yang
ditutup dengan utang pemerintah (pinjaman DN/LN dan Surat Berharga Negara).
Meskipun mengalami defisit anggaran tetapi masih batas toleransi berdasarkan UU N0.
17/2003 tentang Keuangan Negara yakni maksimum 3% dari PDB (defisit APBN kita berkisar
2,4% dari PDB pada tahun 2014).
Sumber penerimaan pemerintah dari DN: pajak, SDA, laba BUMN, dan penerimaan
lainnya. Data pada tahun 2013 menunjukkan bahwa:
penerimaan dari pajak sekitar Rp1.148T (tax ratio hanya berkisar 12 persen; tax ratio
negara‐negara maju rata‐rata di atas 30%).
penerimaan dari pengelolaan SDA sekitar Rp203T
penerimaan dari laba BUMN hanya sekitar Rp36T
Rekomendasi Kebijakan:
1. Perlunya reformasi sistem perpajakan dan peningkatan jumlah WP agar tax ratio
meningkat. Pembentukan badan penerimaan negara dari pajak dan bea cukai yang
langsung di bawah kendali Presiden menjadi suatu keniscayaan. Kebijakan‐kebijakan
yang mendorong peningkatan jumlah WP seperti pemutihan pajak atau penurunan
tariff pajak mungkin bisa dilakukan.
2. Peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur pajak sehingga mereka bisa berkembang
menjadi aparatur yang professional dan berintegritas tinggi.
3. Harus dilakukan reorganisasi & restrukturasi BUMN dan penerapan GCG pada seluruh
BUMN agar daya saing dan kinerjanya meningkat. Selain itu, penerapan prinsip
economies of scope melalui program merger beberapa BUMN harus dilakukan agar
36. 36
daya saing internasionalnya meningkat.BUMN yang tidak mencapai economies of
scale (skala yang ekonomis) bila perlu ditutup.
4. Renegosiasi kontrak karya dengan pihak asing dalam pengelolaan SDA.
Untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, subsidi energi,
khususnya BBM harus dihapuskan secara bertahap. Tidak ada cara yang paling efektif
untuk menghemat pemakaian energi kecuali melalui kebijakan harga! Hal ini juga mendidik
masyarakat agar rasional dalam konsumsi energi.
37. 37
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP):
STATUS, PROBLEM DAN REKOMENDASI1
[Dr. rer. Pol. Sony Mumbunan, MSc]
Pakar fiskal dan ekonom di Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia
STRUKTUR PNBP
Sebagai gambaran, dalam struktur penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
sumbangan sektor Migas (196 triliun Rupiah) merupakan bagian terbesar dari total
penerimaan PNBP Sumber Daya Alam (226 triliun Rupiah). Dalam APBN 2014, sektor Migas
diharapkan menyumbang sekitar 87 persen total dari total PNBP SDA, sementara sektor
Non‐migas sebesar 13% di mana 80% dari pangsa penerimaan ini disumbangkan oleh PNBP
mineral dan batubara. (Tabel 1).
Tabel 1. Anggaran Penerimaan dari PNBP dalam APBN 2014
Komponen PNBP
Penerimaan (dalam
Milyar Rupiah)
% Total SDA
% SDA Non‐
migas
Total PNBP SDA 225.954,7
PNBP Migas 196.508,3 86,97
Minyak bumi 142.943,1 62,26
Gas alam 53.565,2 23,71
PNBP Nonmigas 29.446,4 13,03
Mineral dan batubara 23.599,7 10,44 80,14
Kehutanan 5,017,0 2,22 17,04
Perikanan 250,0 0,11 0,85
Panas bumi 579,7 0,26 1,97
1
Draft background text ini disiapkan oleh Dr.rer.pol. Sonny Mumbunan, MSc., pakar fiskal dan ekonom di
Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia. Memperoleh Doktor Ilmu Ekonomi bidang Keuangan
Publik dan Ekonomi Lingkungan dari Universitaet Leipzig, Jerman (magna cum laude) dan menjadi konsultan
kajian fiskal dan keuangan publik untuk World Bank, Pemerintah Norwegia, Pemerintah Jerman, Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu), dan Unit Kerja Presiden Bidang Pemantauan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4).
38. 38
PNBP SEKTORAL
Dalam bagian berikut akan diberikan paparan dari beberapa PNBP sektoral
terpenting. Paparan singkat ini mengangkat snapshot kondisi saat ini dan problematikanya
berdasarkan bukti (evidence‐based) yang diambil dari kajian‐kajian paling mutakhir tentang
PNBP di berbagai sektor. Sejumlah rekomendasi, baik yang umum maupun teknis,
diberikan di bagian terakhir.
PNBP Migas
PNBP Migas merupakan penyumbang PNBP SDA terbesar kita (sekitar 80% PNBP
total). PNBP Minyak dipungut dari revenue yang menjadi bagian kontraktor (setelah
dikurangi kewajiban Domestic Market Obligation/DMO untuk kebutuhan dalam negeri)
dan bagian pemerintah (setelah dikurangi pajak, pungutan dan fee kegiatan hulu Migas),
sementara PNBP Gas dipungut dari revenue yang menjadi bagian pemerintah (setelah
dikurangi pajak, pungutan dan fee). Potensi lebih dari PNBP Migas tidak digali; Sejauh ini
tidak ada upaya sistematis untuk meningkatkan DMO.
Pada saat ini, kecenderungan peningkatan PNBP Migas lebih disebabkan oleh
peningkatan harga minyak dan bukan oleh peningkatan hasil lifting minyak bumi.
Kenaikan 1 persen harga minyak dunia menyebabkan kenaikan 1,8% PNBP; sementara
kenaikan 1 persen jumlah ekspor minyak karena kenaikan produksi dalam negeri 1 persen
menyebabkan 15,5% kenaikan PNBP.2
PNBP Pertambangan (Mineral dan Batubara)
Sumbangan PNBP Pertambangan terbilang tidak optimal, baik bila dibandingkan
dengan sumbangan yang diberikan pajak maupun yang diberikan PNBP SDA Migas.
Kendati sekitar 3 dari 10 orang superkaya di Indonesia (versi Majalah Forbes) menjadi kaya
karena batubara dan mineral, sumbangan PNBP mineral dan batubara tergolong kecil,
hanya sekitar 10 persen dari total penerimaan PNBP Sumber Daya Alam dalam APBN 2014
(pada tahun‐tahun sebelumnya, proporsi ini lebih kecil lagi).
Potensi kehilangan penerimaan negara dari batubara antara tahun 2010 sampai 2012
total sebesar 1,2 milyar Dollar (atau rata‐rata 400 milyar Dollar per tahun) atau setara
dengan sekitar 13,5 triliun Rupiah (atau rata‐rata 4,5 triliun Rupiah saban tahun).3
Adapun
potensi kerugian atau kehilangan penerimaan negara dari royalty mineral lain (nikel, bijih
2
Angka‐angka taksiran ini diperoleh dengan estimasi Structural Vector Autoregressive (SVAR)
menggunakan empat variabel: harga minyak dunia, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, jumlah ekspor
minyak domestik, dan pendapatan negara dari minyak.
3
Angka ini dihasilkan dari perbandingan antara data ekspor batubara di Kementerian Perdagangan
(volume dan nilai Free on Board/FOB) dan data penerimaan negara di Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
39. 39
besi/pasir besi, timbal, bauksit dan mangan) adalah sebesar 24,6 juta Dollar pada tahun
2011 atau setara dengan 271,3 milyar Rupiah.
Problem administrasi PNBP Minerba bersumber dari problem (1) tata laksana PNBP
yang mencakup penetapan jenis dan tarif, penghitungan kewajiban, penagihan,
penyetoran, pengelolaan dan alokasi PNBP, di mana hal‐hal ini tersangkut persoalan data
pendukung dan database; (2) regulasi termasuk tidak sinkronnya substansi aturan UU
tentang PNBP dengan aturan perundang‐undangan yang lain; (3) organisasi dan SDM (4)
hilangnya potensi PNBP dari tidak dilaksanakannya kewajiban PNBP.
PNBP Kehutanan
PNBP Kehutanan datang dari objek penerimaan kayu dan non‐kayu. PNBP terbesar
berasal dari Dana Reboisasi/DR dan Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH (masing‐masing
sebesar 56% dan 27%, pada tahun 2011). Realisasi penerimaan dari dua objek PNBP ini tidak
mencerminkan potensinya. Sebagai contoh, realisasi PNBP dari PSDH hanya separuh (51%,
rata‐rata tertimbang) dari potensi penerimaanya pada tahun 2008 sampai 2011.4
Problem dari belum optimalnya PNBP kehutanan, baik dari rendahnya realisasi
maupun rendahnya potensi penerimaan, datang dari semua penjuru aliran penerimaan
(revenue flow) dan aliran informasi (information flow) dalam sistem administrasi PNBP
kehutanan. Persoalan dalam sistem administrasi PNBP kehutanan mencakup antara lain
persoalan data pungutan penerimaan, harga dan tarif, serta pengawasan dan kepatuhan
pembayaran.
PNBP Perikanan
Penerimaan sektor perikanan tidak mencerminkan potensinya. Revenue loss sektor
perikanan sangat tinggi: dalam pungutan hasil perikanan, realisasi PNBP di tingkat daerah
hanya 16,5 persen dari potensinya, sementara di tingkat pusat realisasi PNBP tak sampai
separuh potensinya (42%).5
Kendati jumlah kapal penangkap ikan meningkat setiap tahun
(sekitar 1,6 persen per tahun), PNBP SDA Perikanan menunjukkan kecenderungan
penurunan. Selang waktu 2005‐2009, PNBP SDA Perikanan tidak pernah mencapai target
dan terus mengalami penurunan sekitar 19% per tahun. (Untuk PNBP Perikanan non‐SDA,
mengalami peningkatan).
Penyebab penurunan PNBP ini antara lain karena menurunnya fishing effort, deplesi
SD perikanan (karena kontaminasi air laut dan overfishing), rendahnya produkfitifas
nelayan (waktu melaut yang singkat karena menggunakan kapal ukuran kecil, di bawah 3
4
Angka ini dihasilkan dari simulasi yang membandingkan nilai PSDH perkiraan dan realisasi dengan nilai
PSDH potensi. Data yang digunakan adalah data produksi kayu hutan alam dengan definisi, penggolongan,
harga dan tarif kayu yang berlaku sesuai ketentuan perundang‐undangan (bukan harga pasar).
5
Angka ini diperoleh dari simulasi yang membandingkan realisasi penerimaan Pungutan Hasil Perikanan
(PHP) dengan produksi ikan tangkap, tarif PNBP dan skema bagi hasil pusat dan daerah.
40. 40
GT), kenaikan harga BBM dan kekurangan pasokan BBM, illegal fishing dan problem tata
kelola kelautan.
REKOMENDASI
Rekomendasi Umum
Secara umum, solusi atas persoalan PNBP bakal berpusar pada dua hal berikut.
Pertama, meningkatkan potensi penerimaan yang secara konseptual dapat dicapai
dengan jalan:
• Menaikkan tarif PNBP yang belum optimal mencerminkan biaya kegiatan ekstraksi
dan pangsa rente yang sepatutnya menjadi milik pemerintah, misalnya meningkatkan
tarif batubara.
• Meluaskan cakupan potensi dari objek PNBP, misalnya memperluas Domestic Market
Obligation dalam bagian pemerintah di sektor Migas.
• Mengenakan pungutan PNBP pada sektor‐sektor atau objek‐objek yang penting dan
membawa keuntungan besar namun selama ini belum dikenakan PNBP, misalnya
PNBP hasil perkebunan kelapa sawit.
Kedua, meningkatkan realisasi penerimaan yang secara konseptual dapat dicapai dengan
jalan membenahi dan menyempurnakan sistem administrasi PNBP. Antara lain dengan
membenahi regulasi dan kelembagaan (mensinkronkan substansi aturan tentang PNBP
dengan aturan perundang‐undangan yang lain, mengatasi keterbatasan kelembagaan
dalam pengelolaan PNBP di pusat dan daerah, dan menutup potensi kehilangan/kerugian
negara dari PNBP).
Rekomendasi Khusus
Rekomendasi khusus yang diberikan berkenaan dengan peningkatan potensi
penerimaan dan realisasi penerimaan dari PNBP akan sangat bergantung dari konteks
spesifik dari sektor dan objek PNBP bersangkutan. Sebagai sebuah ilustrasi, pada bagian
berikut akan ditampilkan rekomendasi khusus untuk contoh kasus sektor pertambangan
mineral dan batubara (Tabel 2). Rekomendasi ini mencakup keseluruhan bagian sistem
administrasi PNBP, dari perencanaan sampai alokasi PNBP.
41. 41
Tabel 2. Permasalahan, penyebab dan rekomendasi: sistem administrasi pertambangan dan mineral
Permasalahan Penyebab Saran/Rekomendasi
Proses perencanaan: Penetapan Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP
Tarif dan jenis tarif yang
ditetapkan tidak sesuai dengan
perkembangan di lapangan,
termasuk dalam pasar produk
mineral dan batubara dunia
a. Tidak adanya data dan informasi yang
memadai untuk mendukung penetapan tarif
dan jenis tarif yang sesuai dengan kondisi riil
yang terjadi
b. Tidak dilakukannya revisi secara reguler
terhadap PP PNBP
Penetapan RPP jenis dan tarif
atas jenis PNBP menjadi PP
memakan waktu yang lama untuk
ditetapkan
Proses penetapan PP Jenis dan tarif atas jenis
PNBP melibatkan banyak instansi. Pembahasan
di setiap instansi memakan waktu yang lama dan
mensyaratkan adanya data dan informasi
pendukung yang memadai.
a. Kementerian ESDM agar membangun database yang
komprehensif
b. Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan terkait
kewajiban Kementerian/Lembaga untuk melakukan revisi
secara reguler terhadap jenis dan tarif atas jenis PNBP
yang ada di setiap kementerian/lembaga.
c. Kementerian Keuangan mengeluarkan panduan tentang
tata cara revisi PP tarif dan jenis PNBP d. Kementerian
ESDM berkoordinasi dengan Kem. PPN/BAPPENAS
menyusun potensi dan pemanfaatan mineral dan
batubara untuk keperluan ketahanan energi dan
penerimaan negara dari sektor minerba .
Tarif dan jenis tarif PNBP yang
berlaku terhadap mineral dan
batubara yang berlaku pada KK
lebih rendah dibandingkan tarif
yang berlaku pada IUP Mineral.
Tarif PNBP untuk royalti yang
berlaku pada PKP2B lebih tinggi
dibandingkan dengan yang
berlaku pada IUP Batubara.
a. Tafsir terhadap Pasal 169 UU No. 4 tahun
2009 tentang Minerba yang bersifat
menghargai keberlakuan kontrak secara
mutlak
b. Kontrak yang hadir lebih dahulu dari terbitnya
UU No.4 tahun 2009 dan PP No. 9 tahun 2012
c. Pembahasan kontrak/perpanjangan kontrak
KK/PKP2B kurang melibatkan kementerian
keuangan
Kementerian ESDM melakukan negosiasi dengan KK/PKP2B
untuk menyesuaikan klausul pembayaran royalti dan iuran
tetap dalam kontrak dengan memperhatikan tarif pada PP
No. 9 tahun 2012 dengan melibatkan Kementerian Keuangan
sebagai Bendahara Umum Negara yang berperan dalam
pengelolaan PNBP
Tidak semua KK/PKP2B bersedia
untuk melakukan renegosiasi
kontrak termasuk aspek
penyesuaian pembayaran
royalti/iuran tetap
a. KK/PKP2B diuntungkan dengan tarif dan jenis
tariff yang ada dalam kontrak dibandingkan
dengan mengikuti PP tarif dan jenis tarif atas
PNBP minerba
b. Tafsir kementerian ESDM (Ditjen Minerba)
tentang batas waktu penyesuaian KK/PKP2B
a. Kementerian ESDM harus merenegosiasikan KK/PKP2B
sesuai dengan amanat UU No.4 tahun 2009 sesuai
dengan Pasal 169 poin b: ketentuan yang tercantum
dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat‐
lambatnya 1 tahun sejak UU 4/2009 diundangkan kecuali
mengenai penerimaan negara. Didalam poin c,
42. 42
terhadap UU No. 4 tahun 2009 selambat‐
lambatnya 1 tahun sesuai dengan pasal 169
poin (b), merupakan batas waktu proses
renegosiasi dimulai dan bukan batas akhir
selesainya renegosiasi.
c. Adanyan perilaku menunda‐nunda dari pihak
KK/PKP2B untuk menyepakati usulan
pemerintah, terutama berkaitan dengan
kewajiban KK/PKP2B.
pengecualian tersebut adalah upaya peningkatan
penerimaan negara.
b. Kementerian ESDM sebagai perwakilan pihak Pemerintah
merumuskan langkah selanjutnya (termasuk pengaturan
sanksi) jika proses renegosiasi dalam rangka penyesuaian
kalausul kontrak terhadap UU No. 4 Tahun 2009, tidak
selesai dilakukan.
2. Proses perhitungan kewajiban PNBP
Tidak akuratnya perhitungan
volume dan kualitas mineral dan
batubara yang akan dijual oleh
pelaku usaha, sebagai dasar
untuk perhitungan kewajiban
royalti
a. Pemerintah tidak melakukan pengecekan
ulang terhadap perhitungan volume dan
kualitas mineral dan batubara yang dilakukan
Surveyor yang ditunjuk
b. Minimnya pengawasan proses
pengapalan/pengangkutan mineral dan
batubara
c. Adanya kemungkinan terjadinya konflik
kepentingan dalam pelaksanaan tugas
surveyor
d. Tidak adanya akses terhadap sistem
pelaporan surveyor oleh Ditjen Minerba.
e. Tersebarnya pelabuhan ekspor mineral dan
batubara di berbagai titik
f. Terdapatnya perbedaan Peraturan Menteri
Perdagangan terkait tata niaga minerba
a. Kementerian ESDM mengoptimalkan peran Tekmira
sebagai pembanding terhada laporan Surveyor
b. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan
Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perhubungan untuk memastikan tidak
terjadinya kebocoran/kesalahan dalam perhitungan
kewajiban PNBP termasuk opsi pembayaran jasa surveyor
oleh pemerintah
c. Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan
merevisi aturan tata niaga minerba antara lain:
penyetoran PNBP sebelum pengapalan dan pengaturan
ekportir terbatas
d. Kementerian Perhubungan berkoordinasi dengan
Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM,
Kementerian Keuangan dan Pemda terkait dengan
pengaturan pelabuhan mineral dan batubara.
e. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan
dan Kementerian ESDM untuk mengimplementasiksan
sistem data terpadu (INSW) lalu lintas perdagangan
mineral dan batubara
43. 43
3. Proses penagihan kewajiban PNBP
Tidak tertagihkannya semua
piutang negara (royalti dan iuran
tetap) oleh pemerintah kepada
pelaku usaha
a. Ditjen Minerba tidak memiliki database untuk
memonitoring besarnya kewajiban PNBP
setiap wajib bayar KK/PKP2B/IUP oleh karena
data produksi dan penjualan tidak
disampaikan secara real time oleh pelaku
usaha KK/PKP2B kepada Ditjen Minerba dan
IUP kepada kepala daerah. Hanya
disampaikan dalam bentuk laporan reguler
(bulanan, triwulanan, semesteran dan
tahunan)
b. Belum semua IUP berstatus clean and clear
c. Terbatasnya jumlah KK/PKP2B/IUP yang
diaudit
d. Kementerian keuangan sebagai BUN, belum
memiliki daftar wajib bayar PNBP Minerba.
Termasuk tidaksemua pelaku usaha (IUP)
tercatat sebagai wajib pajak (hanya sekitar
30an% IUP yang tercatat sebagai wajib pajak).
e. Lemahnya pengawasan terhadap metode
self‐assessment dalam perhitungan
kewajiban PNBP.
f. Penagihan kewajiban royalti dan iuran tetap
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ditjen
Minerba
g. Tidak disyaratkannya pembayaran royalti
sebagai syarat dikeluarkannya Laporan
Surveyor (LS) untuk komoditas batubara h.
Tidak adanya Permen ESDM tentang tata cara
penagihan dan pembayaran PNBP
a. Kementerian Keuangan bersama‐sama dengan
Kementerian ESDM membangun Sistem Pengelolaan
PNBP Minerba berbasis IT yang antara lain memuat:
database produksi, database penjualan, database ekspor
impor, database pelaku usaha, database lokasi usaha
berbasis spasial berikut sistem monitoring dan evaluasi
nya. Sistem berbasis IT ini terintegrasi secara real time
dengan semua stakeholder terkait.
b. Kementerian ESDM berkoordinasi dengan lembaga audit
untuk memastikan dilakukannya audit pada seluruh
KK/PKP2B dan IUP Kategori besar
c. Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan
berkoordinasi untuk mendata semua wajib bayar PNBP
dan memastikan IUP terdaftar sebagai wajib pajak .
Semua WP minerba adalah Waba.
d. Sebagaimana PP 22/2005, Kementerian Keuangan
meminta BPKP untuk melakukan audit pada seluruh
KK/PKP2B dan IUP kategori besar.
e. Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan
menyusun aturan yang mendorong kepatuhan
pembayaran PNBP termasuk kebijakan dan sistem
pembayaran PNBP sebelum pengapalan mineral dan
batubara
f. Kementerian Keuangan melakukan monitoring secara
proaktif kepada Kementerian ESDM terkait Pelaksanaan
kewajiban pelaporan pengelolaan PNBP dan Pelaksanaan
kewajiban pembayaran/penyetoran PNBP
g. Kementerian ESDM menetapkan Permen ESDM tentang
tata cara penagihan dan pembayaran PNBP
44. 44
4. Proses penyetoran kewajiban PNBP
Tidak terbayarkannya kewajiban
PNBP secara segera sesuai
dengan amanah UU No. tahun
1997 tentang PNBP
a. Tidak diterbitkannya Peraturan Menteri
ESDM tentang tata cara pembayaran dan
penyetoran PNBP, sehingga pembayaran
PNBP minerba didasarkan atas SE Ditjen
Minerba yang memberikan keleluasaan
pembayaran royalti, maksimal 1 bulan setelah
pengapalan/penjualan.
b. Belum optimalnya implementasi sistem
informasi dan monitoring pelaksanaan
pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP, yang
dikembangkan oleh Ditjen Minerba c. Tidak
dikenakannya sanksi yang tegas terhadap
pelaku usaha yang terlambat membayarkan
kewajiban iuran tetap dan royalti d. Tidak
dijadikannya pembayaran royalti sebagai
salah satu syarat penerbitan LS
a. Kementerian ESDM merevisi Surat Edaran Direktur
Jenderal Mineral dan Batubara KESDM No.
04.E/35/DJB/2012 tentang Penyampaian Laporan Iuran
Tetap dan Iuran Produksi
b. Kementerian ESDM menyusun Peraturan Menteri tentang
tata cara pengenaan, pemungutan, dan penyetoran PNBP
pada Kementerian ESDM.
c. Kementerian Keuangan untuk segera
mengimplementasikan Modul Penerimaan Negara untuk
PNBP pada Tahun 2013.
d. Untuk komoditas batubara, Kementerian ESDM
berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Keuangan untuk menerbitkan aturan yang
antara lain mensyaratkan pembayaran royalti sebagai
salah satu syarat penerbitan
Tidak dilengkapinya Bukti setor
royalti dan iuran tetap (Surat
Setoran Bukan Pajak) dengan
informasi yang jelas tentang
tujuan pembayaran dan identitas
penyetor
a. Keengganan wajib setor (pelaku usaha) untuk
mencantumkan identitas dan tujuan
penyetoran dengan lengkap.
b. Belum diterapkannya aplikasi Modul
Penerimaan Negara untuk PNBP minerba
a. Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM
berkoordinasi untuk merevisi formulir SSBP dan
menyusun sistem dan mekanisme yang memastikan agar
semua SSBP/revisinya dilengkapi dengan identitas
penyetor dan informasi lainnya.
b. Kementerian Keuangan agar segera menerapkan modul
penerimaan negara, termasuk untuk PNBP mineral dan
batubara yang terkoneksi dengan sistem penerimaan
keuangan negara lainnya
Tidak ditembuskannya bukti
setor PNBP kepada Pihak‐pihak
terkait.
a. Minimnya sosialisasi kepada wajib setor
b. Tidak adanya mekanisme/sistem untuk
menembuskan bukti setor PNBP secara
otomatis kepada pihak‐pihak terkait
(termasuk kepada pemerinta daerah)
a. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan
Kementerian ESDM untuk menyusun mekanisme dan
sistem agar SSBP bisa diakses oleh semua pihak terkait
b. Kementerian ESDM agar segera menerbitkan Permen
ESDM tentang tata cara penagihan dan penyetoran PNBP
45. 45
dengan mengatur antara lain tata cara/mekanisme
penyerahan copy SSBP kepada pihak terkait
Penyetoran PNBP melewati batas
waktu pembayaran satu bulan
setelah pengapalan.
a. Tidak diterapkannya sanksi yang tegas
kepada pelaku usaha yang melanggar batas
waktu penyetoran
b. Belum optimalnya implementasi sistem
informasi dan monitoring pelaksanaan
pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP.
a. Kementerian Keuangan membuat aturan, mekanisme dan
infrastruktur untuk memastikan kewajiban terkait PNBP
telah dilaksanakan dengan benar dan tepat waktu oleh
Wajib Bayar.
b. Kementerian ESDM memprioritaskan penyelesaian dan
mengoptimalkan implementasi sistem informasi dan
monitoring pelaksanaan pembayaran PNBP oleh
KK/PKP2B/IUP.
5. Proses penyimpanan
Terdapat setoran yang bukan
jenis PNBP Mineral dan Batubara
yang masuk ke dalam akun
penerimaan PNBP Mineral dan
Batubara.
a. Belum diterapkannya aplikasi Modul
Penerimaan
b. Tidak lengkapnya informasi yang ada dalam
Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP)
a. Kementerian Keuangan untuk segera
mengimplementasikan MPN untuk PNBP yang terkoneksi
dengan sistem penerimaan keuangan negara lainnya
b. Kementerian keuangan dan kementerian ESDM
berkoordinasi untuk menyusun sistem dan mekanisme
yang memastikan agar semua SSBP dilengkapi dengan
identitas penyetor dan informasi lainnya
6. Proses pembagian PNBP
Rekonsiliasi PNBP antar
Kementerian/Lembaga dan Antar
Pemerintah Daerah yang masih
bersifat manual
Belum optimalnya implementasi sistem
informasi dan monitoring pelaksanaan
pembayaran PNBP oleh KK/PKP2B/IUP, yang
dikembangkan oleh Ditjen Minerba
a. Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM
berkoordinasi untuk menyusun sistem/mekanisme
rekonsiliasi
Ketimpangan informasi antara
pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
Tidak adanya sistem informasi dan database
yang dapat diakses secara bersama oleh pihak
terkait (Kemkeu, Kemendagri, KemESDM,
Pemda) untuk memantau besaran PNBP
Minerba dan perkiraan dana yang akan
dibagihasilkan ke setiap daerah.
a. Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan
Kemendagri berkoordinasi membangun sistem yang
mengalirkan informasi dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah dan sebaliknya.
b. Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan
Kemendagri, Kemen ESDM dan PEMDA untuk
membangun sistem satu pintu aliran informasi Minerba.
46. 46
REKOMENDASI KEBIJAKAN PAJAK
[Yustinus Prastowo, M.Hum., M.A.]
Direktur Eksekutif CITA/Center for Indonesia Taxation Analysis
OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT
SEBUAH OUTLINE6
6
Disiapkan oleh Yustinus Prastowo, M.Hum., M.A. (Direktur Eksekutif CITA/Center for Indonesia Taxation
Analysis) untuk keperluan terbatas. Pengutipan sebagian atau seluruhnya dan penyebarluasan tanpa ijin
penulis tidak diperkenankan. Penulis dapat dihubungi di yustinus.prastowo@cita.or.id atau
jpras07@gmail.com dan HP 0812 9180933.
I. Target capaian :
Peningkatan penerimaan pajak yang signifikan, yaitu kenaikan bertahap rasio
pajak (perbandingan total penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto)
dari 12% menjadi 16% dalam waktu 5 tahun ke depan.
II. Latar Belakang:
Kontribusi penerimaan pajak dalam APBN sekitar 75% atau Rp 1.100 triliun.
Tax Gap (selisih antara potensi pajak dengan pajak yang dapat dipungut)
masih tinggi, berkisar Rp 350‐450 triliun per tahun.
Rasio pajak (perbandingan total penerimaan pajak terhadap Produk
Domestik Bruto) masih berkisar 12%.
Rerata rasio pajak negara sebaya (low middle‐income countries) adalah 19‐
24%
Jumlah wajib pajak masih sekitar 25 juta, jauh dari jumlah optimal sekitar
64 juta. Wajib Pajak juga masih didominasi orang pribadi karyawan.
Administrasi perpajakan yang belum sederhana dan mudah.
Pemenuhan dan perlindungan hak wajib pajak yang belum baik dan
konsisten.
47. 47
BAGAN ARUS REFORMASI PERPAJAKAN
III. Langkah‐langkah Strategis:
Reformasi Perpajakan menyeluruh (mencakup Tax Policy, Tax Law, dan Tax
Administration), dan meliputi langkah‐langkah:
1. Menyusun Cetak Biru Kebijakan Pajak yang berkeadilan, yang mencakup
prinsip dasar perpajakan, akomodasi hak‐hak warganegara sebagai
pembayar pajak, dan penataan kelembagaan.
2. Melakukan amandemen menyeluruh Undang‐undang Perpajakan yang
mengakomodasi prinsip‐prinsip kebijakan pajak berkeadilan.
3. Membangun sistem administrasi perpajakan yang baik, yang tercermin dari
efisiensi (cost of collection) dan efektivitas (cost of compliance).
Dilakukan sekaligus
(komprehensif), saling terkait
(integral), dan terukur
(measurable)
Tax Law
Amandemen menyeluruh
perundang‐undangan yang
menjamin prinsip‐prinsip
kebijakan pajak berkeadilan
Tax Administration
Membangun sistem administrasi
perpajakan yang baik, yang
tercermin dalam efisiensi (cost of
collection) dan efektivitas (cost of
compliance)
Reformasi
Perpajakan
Dilakukan
sekaligus
(komprehensif),
saling terkait
(integral), dan
terukur
(measurable)