Dokumen tersebut membahas efektivitas peran pemerintah terhadap hak masyarakat lokal dan transmigran dalam program transmigrasi. Dokumen menyebutkan perlu revisi UU Transmigrasi agar lebih memperhatikan perlindungan hak masyarakat lokal dan menanggulangi masalah yang sering timbul akibat perbedaan budaya antara transmigran dan masyarakat lokal.
efektivitas Peran Pemerintah Terhadap Hak Masyarakat Lokal dan Para Transmigran dalam Penempatan Wilayah dan Pemberian Sertifikat Tanah
1. EFEKTIVITAS PERAN PEMERINTAH TERHADAP
HAK MASYARAKAT LOKAL DAN PARA TRANSMIGRAN
DALAM PENEMPATAN WILAYAH DAN PEMBERIAN
SERTIFIKAT TANAH
OLEH
DR. MARONI, S.H.,M.HUM
(Materi pada FGD Penguatan Fungsi Legislasi DPD RI
Di Unila tgl 15 Juni 2017)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
2. EFEKTIVITAS PERAN PEMERINTAH
PADA PROGRAM TRANSMIGRASI
PROBLEM HUKUM:
PERAN PEMERINTAH
BELUM OPTIMAL
OBJEK PERAN PEMERINTAH
PADA PROGRAM TRANSMIGRASI
DASAR HUKUM PERAN PEMERINTAH
PADA PROGRAM TRANSMIGRASI
UU NO. 15 TH 1997 JO UU NO. 29 TH 2009 TTG
TRANSMIGRASI
PERLINDUNGAN
KEPENTINGAN HUKUM
MASYARAKAT LOKAL
PERLINDUNGAN
KEPENTINGAN HUKUM
PARA TRANSMIGRAN
LEBIH MENGATUR KEPENTINGAN HUKUM
TRANSMIGRAN DAN BELUM MEMPERHATIKAN
KEPENTINGAN HUKUM MASYARAKAT LOKAL
UU TRANSMIGRASI
PERLU DIREFISI
3. PERAN PEMERINTAH BERDASARKAN
UU TRANSMIGRASI
Antara lain:
1. Pemerintah menetapkan Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Lokasi Permukiman Transmigrasi (Ps 18)
2. Pemerintah menyediakan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi (Ps 23).
3. Penempatan transmigran di permukiman transmigrasi dilaksanakan setelah ada kepastian kesempatan kerja
atau usaha dan tempat tinggal (Ps 30).
4. Pembinaan masyarakat transmigrasi dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi diarahkan untuk
mencapai kesejahteraan dan kemandirian serta integrasi masyarakat transmigrasi dengan penduduk sekitar
dan kelestarian lingkungannya secara berkelanjutan (Ps 32).
5. Pembinaan masyarakat transmigrasi dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi meliputi bidang :
a. ekonomi untuk menuju terciptanya tingkat swasembada;
b. sosial budaya untuk menuju pemenuhan kebutuhan pelayanan umum
c. masyarakat serta terjadinya proses integrasi dan akulturasi yang menyeluruh antara transmigran dan
masyarakat sekitar;
d. mental spiritual untuk menuju pembinaan manusia yang ulet, mandiri, beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
e. pengembangan kelembagaan pemerintahan untuk menuju kesiapan pembentukan perangkat desa
definitif; dan
f. lingkungan permukiman untuk menuju terpeliharanya kelestarian lingkungan
hidup di sekitar permukiman transmigrasi (Ps 32 ayat 4).
4. HAK-HAK TRANSMIGRAN
Transmigran pada Transmigrasi Umum berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berupa:
a. perbekalan, pengangkutan, dan penempatan di Permukiman Transmigrasi;
b. lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik;
c. sarana produksi; dan
d. catu pangan untuk jangka waktu tertentu (Pasal 13 UU No. 29 Tahun 2009).
Transmigran pada Transmigrasi Swakarsa Berbantuan berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah berupa:
a. pelayanan perpindahan dan penempatan di Permukiman Transmigrasi;
b. sarana usaha atau lahan usaha dengan status hak milik atau dengan status lain sesuai dengan pola usahanya;
c. lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik;
d. sebagian kebutuhan sarana produksi; dan
e. bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha (Pasal 14 UU No. 29 Tahun 2009).
Transmigran pada Transmigrasi Swakarsa Mandiri berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
berupa:
a. pengurusan perpindahan dan penempatan di Permukiman Transmigrasi;
b. bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau lapangan usaha atau fasilitasi mendapatkan lahan usaha;
c. lahan tempat tinggal dengan status hak milik; dan
d. bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha (Pasal 15 UU No. 29 Tahun 2009).
5. HAK MASYARAKAT LOKAL
Pasal 22 PP No. 3 Tahun 2014
(1) Tanah masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c didahului
dengan pelepasan hak dari masyarakat hukum adat.
(2) Pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memberikan:
a. prasarana dan sarana permukiman yang bermanfaat bagi masyarakat adat yang
bersangkutan; dan/atau
b. kesempatan untuk memperoleh perlakuan sebagai Transmigran di Permukiman
Transmigrasi.
(3) Pelaksanaan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didahului dengan
musyawarah yang dituangkan dalam berita acara.
(4) Pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Tanah yang telah dilakukan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
permohonan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. PROBLEMA TRANSMIGRASI
Tidak semua penduduk tempatan dapat menerima kehadiran transmigrasi dengan tangan terbuka, ada kalanya mereka
menerima dengan keterpaksaan, ini dikarenakan:
1. Adanya anggapan bahwa para transmigran diperlakukan istimewa oleh pemerintah dengan berbagai fasilitas yang
mereka dapatkan. Sementara penduduk setempat berjibaku dengan kondisi yang lebih memprihatinkan. Mereka
sebagai tuan rumah pada kondisi nyata ternyata lebih miskin dari orang luar yang datang dan mendiami wilayah
mereka.
2. Akar tradisi dan budaya adalah masalah lain yang sering menjadi pemicu, karena penduduk setempat beranggapan
bahwa lahan yang berikan kepala para trasmigrasi merupakan lahan mereka yang seharusnya dimaksimal untuk
kesejahteraan masyarakat setempat. Lahan ini kemudian menjadi bersertifikat sementara lahan penduduk tempatan
hanya bersadarkan pengakuan dan saling percaya diantara mereka.
3. Para transmigrasi hampir bisa dipastikan tidak mengerti adat dan kebiasaan setempat, perbeaan ini kemudian bisa
menimbulkan sikap antipati karena para pendatang dianggap tidak menghargai penduduk tempatan.
4. Arogansi Budaya, kenyataan dilapangan tidak bisa kita pungkiri, penduduk dari jawa sangat-sangat jarang yang mau
belajar bahasa setempat, jikapun dia menikah dengan penduduk setempat pasangannya akan diajarkan dan
“diminta” menggunakan bahasa jawa. Ini kemudian memantik rasa ego pada sebagian orang, akibatnya pendatang
dianggap sombong dan tidak mau menyatu dengan masyarakat setempat, sederhana tapi bisa jadi petaka (Aldy M.
Arifin, http://www.kompasiana.com, diakses 14-6-2017).
Contoh Kasus di Desa Pulung Kencana Lampung Utara pada tahun 1990 (sekarang Tubaba), yaitu para transmigran telah
lebih dari 10 tahun hanya memegang sertifikat tanah, namun lahannya masih dikuasai oleh masyarakat lokal yang telah
lama bermukim dilahan tersebut. Karena hilang kesabaran maka oleh beberapa orang transmigran tanaman penduduk
lokal yang berada di atas lahan tersebut ditebangi yang akhirnya menjadi kasus perusakan.
7. SOLUSI
Problema tersebut diatas bisa ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat bersama-sama dengan pemerintah
Daerah setempat, yaitu para calon transmigrasi tidak cukup hanya dibekali dengan pengetahuan dan
keterampilan pekerjaan, tetapi disisipkan sedikit tentang adat dan budaya setempat agar kelak datang
di lokasi baru tidak gagap budaya.
Selain itu pemerintah perlu sedikit mendengarkan adanya keluhan-keluhan dari penduduk, para
pemuka agama, tokoh-tokoh adat setempat dan bila dianggap perlu masyarakat sekitar mendapatkan
perlakuan yang sama dari pemerintah. Apa tidak menyakitkan hati, para transmigaran mendapatkan
fasilitas perumahan yang cukup baik, sementara penduduk setempat masih tinggal digubuk (Aldy M.
Arifin, http://www.kompasiana.com, diakses 14-6-2017).
Perlu melakukan revisi terhadap UU Transmigrasi dengan lebih meningkatkan perlindungan terhadap
kepentingan hukum masyarakat lokal yang harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana jangan sampai
adanya kebijakan yang baru, ibaratnya “membangunkan macan tidur”.