Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter,
Dr. Stevens dan Dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. (http://spiritia.or.id/li/pdf/LI562.pdf: 2013)
Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini, diantaranya eritema multiforme mayor, namun yang lajim ialah sindrom stevens-johnson (SSJ). Juga ada varian yang lebih parah lagi, yang disebut sebagai nekrolisis epidermal toksik (toxic epidermal necrolysis/TEN).
Karena kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE). Nekrolisis epidermal diklasifikasi dalam 3 kelompok berdasarkan luas permukaan tubuh total di mana epidermis mengalami epidermolisis, yaitu SSJ (luas permukaan tubuh yang terkena <10%), />30%).1
Insiden keseluruhan SSJ diperkirakan 1-6 kasus/juta/tahun1, dapat mengenai semua ras.2 Rasio laki-laki/perempuan ialah 2:1.3 Angka kematian SSJ 5–21% dan TEN >30%.1 Sindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian sehingga perlu penanganan cepat dan tepat/optimal.
1. Definisi
Berikut ini beberapa pendapat mengenai definisi Sindrom Stevens-Johnson.
Menurut Kamus Dorland, 2010, Sindrom Stevens-Johnson adalah sindrom yang dulunya diduga sebagai bentuk eritema multiforme yang berat. Gejala-gejala respirasi prodromal mendahului lesi-lesi mukokutan yang khas dan gejala-gejala lain. Pada area kulit yang luas dan membran mukosa oronasal, genital dan kolon timbul makula dan menjadi nekrotik; krusta hemoragik tampak pada bibir. Lesi pada mata dapat mencakup konjungtivitis, iritis, keratitis, dan perforasi serta kekeruhan kornea, yang menyebabkan kebutaan. Paru,gastrointestinal, jantung, dan dan ginjal juga dapat terlibat, seringkali berakibat fatal.
Menurut Adhi Djuanda, tahun 2009, Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas, dan dapat menyebabkan kematian. (Valeyrie-Allanore L, Roujeau J-C. 2008. Dalam Jurnal M. Athuf Thaha, 2009)
5. PENGERTIAN
Berikut ini beberapa pendapat mengenai
definisi Sindrom Stevens-Johnson :
• Menurut Kamus Dorland, 2010, Sindrom Stevens-
Johnson adalah sindrom yang dulunya diduga
sebagai bentuk eritema multiforme yang berat.
• Menurut Adhi Djuanda, tahun 2009, Sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang
mengenai kulit selaput lendir di orifisium, dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.
6. PENYEBAB
Penyebabnya tidak selalu mudah untuk
dipahami, tetapi lebih dari separuh kasus
diyakini disebabkan oleh obat-obatan.
Sebagian kecil karena Human
Immunodeficiency Virus infeksi, vaksinasi,
penyakit graft-versus-host, Systemic Lupus
Erythematosus, neoplasma, dan radiasi.
(Raylene M Rospond. 2008)
7. TANDA DAN GEJALA
Mulainya penyakit akut dapat disertai
gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan. Pada SSJ ini terlihat trias
kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan
selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata
8. PATOFISIOLOGI
• Penyakit ini menurut Adhi Djuanda, 2009, sama
dengan NET disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut
klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau
gejala reaksi tersebut tergantung kepada sel
sasaran (target cell).
• Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit
berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat
akan terjadi aktivitas sel T. termasuk CD4 dan
CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang
lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan
CD8 pada epidermis.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada penyakit
NE dapat berupa sepsis, gagal organ multisistem
(>30%), komplikasi paru (>15%), komplikasi mata
(20-75%) (yang merupakan komplikasi lambat,
akibat gangguan fungsi epitel konjungtiva
sehingga terjadi kekeringan gangguan lakrimasi
dengan konsekuensi terjadi radang kronis,
fibrosis, ektropion, trikiasis, simblefaron, ulkus
kornea dan kebutaan). (Valeyrie-Allanore L,
Roujeau J-C. 2008. Dalam Jurnal M. Athuf Thaha,
2009)
10. PERAWATAN
Asuhan pasien yang dapt diberikan antara
lain termasuk penghentian obat yang
mengganggu, prosedur tindakan untuk
mengatasi luka bakar derajat tiga (meliputi
penggantian cairan dan elektrolit),
keseimbangan cairan dan nutrisi harus benar-
benar diperhatikan, terlebih-lebih karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi
dimulut dan ditenggorokan dan kesadaran dapat
menurun.
12. PENGKAJIAN
• Identitas
• Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama
Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat Psikososial
• Pola Fungsional Gordon
• Pemeriksaan Fisik
13. DIAGNOSA KEPERAWATAN
• Gangguan integritas kulit b/d inflamasi dermal
dan epidermal
• Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b/d kesulitan menelan
• Gangguan rasa nyaman, nyeri b/d inflamasi pada
kulit
• Gangguan intoleransi aktivitas b/d kelemahan
fisik
• Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan
b/d konjungtivitis
14. INTERVENSI
1. Gangguan integritas kulit b/d inflamasi
dermal dan epidermal
• Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi
dan sensori serta perubahan lainnya yang
terjadi.
• Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang
lembut.
• Jaga kebersihan alat tenun.
• Kolaborasi dengan tim medis.
15. LANJUTAN……
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b/d kesulitan menelan
• Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak
disukai.
• Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi
sering.
• Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
• Kolaborasi dengan ahli gizi.
16. 3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada
kulit
• Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan
intensitasnya.
• Berikan tindakan kenyamanan dasar ex:
pijatan pada area yang sakit
• Pantau TTV
• Berikan analgetik sesuai indikasi.
17. 4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d.
kelemahan fisik
• Kaji respon individu terhadap aktivitas
• Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-
hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien
• Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas
klien.
18. 5.Gangguan Persepsi sensori: kurang
penglihatan b.d konjungtifitis
• Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
• Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat
dilihat/tidak.
• Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan
pengelihatan.
• Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat
diterima klien.