1. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » UntukKita Renungkan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/09/untuk-kita-renungkan/ 1/5
Untuk Kita Renungkan
April 9th, 2014 by kafi
[Al-Islam edisi 701, 11 Jumaduts Tsaniyah 1435 H – 11 April 2014 M]
Renungan ini dihadirkan atas dorongan iman dan tanggungjawab kepada Islam, umat Nabi
Muhammad Saw dan Allah SWT. Sebab agama Islam ini adalah nasihat. Rasul Saw bersabda:
«ْمِﮭِﺗﱠﻣَﺎﻋ َو َنْﯾِﻣِﻠْﺳُﻣْﻟا ِﺔﱠﻣِﺋَﻷ َو ،ِﮫِﻟ ْوُﺳَرِﻟ َو ،ِﮫِﺑَﺎﺗِﻛِﻟ َو ،ِ:َلﺎَﻗ ِ؟ﷲ َل ْوُﺳَر ﺎَﯾ ْنَﻣِﻟ :ﺎَﻧْﻠُﻗ ،ُﺔَﺣْﯾ ِﺻﱠﻧاﻟ ُنْﯾِّد»اﻟ
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa, ya Rasulullah?” Beliau Saw. menjawab,
“Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan mereka semuanya
(kaum Muslim).” (HR Muslim dari Tamin ad-Dari)
Baru saja rakyat negeri Muslim terbesar di dunia ini menyaksikan perhelatan pemilu legislatif.
Tiga bulan ke depan akan kembali menyaksikan pemilu presiden. Dalam pandangan Islam,
pemilu adalah salah satu, bukan satu-satunya cara (uslub) yang bisa digunakan untuk memilih
para wakil rakyat yang duduk di majelis perwakilan, atau untuk memilih penguasa. Sebagai
salah satu cara, dalam pandangan Islam, tentu saja pemilu ini tidak wajib.
Ini tentu berbeda dengan cara pandang demokrasi, yang menjadikan pemilu sebagai satu-
satunya cara legal untuk memeroleh mandat kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif.
Karenanya, pemilu dalam demokrasi merupakan keharusan dan sifatnya wajib. Tanpanya,
kekuasaan legislatif, eksekutif bahkan yudikatif bisa dinyatakan ilegal, karena diperoleh bukan
dari mandat rakyat. Meski realitanya, pandangan ini terbantahkan oleh berbagai fakta silih
bergantinya kekuasaan, baik di negeri ini atau di negeri lain.
Terlepas dari perbedaan cara pandang itu, yang pasti keterlibatan atau ketidakterlibatan kita di
dalam pemilu yang baru saja dilangsungkan atau pada pemilu mendatang sama-sama harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sebab, tidak ada tindakan kita sekecil apapun,
kecuali pasti diketahui dan dicatat oleh Allah.
﴿ ٌۭدﯾِﻌَﻗ ِلﺎَﻣِّﺷٱﻟ ِنَﻋَو ِﯾنِﻣَﯾْٱﻟ ِنَﻋ ِﺎنَﯾِّﻘَﻠَﺗُﻣْٱﻟ ﻰﱠﻘَﻠَﺗَﯾ ْذِإ ﴾١٦﴿ ِدﯾ ِر َوْٱﻟ ِلْﺑَﺣ ْنِﻣ ِﮫْﯾَﻟِإ ُبَرْﻗَأ ُنَْﺣﻧ َو ُۖۥﮫُﺳْﻔَﻧ ۦِﮫِﺑ ُسِْوﺳ َوُﺗ ﺎَﻣ ُمَﻠْﻌَﻧ َو َنٰـَﺳﻧِْٱﻹ َﺎﻧْﻘَﻠَﺧ ْدَﻘَﻟَو
﴾١٨﴿ ٌۭدﯾِﺗَﻋ ٌﯾبِﻗَر ِﮫْﯾَدَﻟ ﱠﻻِإ ٍل ْوَﻗ نِﻣ ُظِﻔْﻠَﯾ ﺎﱠﻣ ﴾١٧
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu) ketika dua
malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain
duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (TQS Qaf [50]: 16-18)
2. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » UntukKita Renungkan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/09/untuk-kita-renungkan/ 2/5
Ayat ini tidak hanya menegaskan kemahatahuan Allah, tetapi Allah SWT juga menugaskan dua
malaikat, masing-masing mencatat amal baik dan buruk kita. Imam al-Qurthubi menjelaskan,
bahwa ayat ini menegaskan, bahwa Allah tidak hanya mengawasi kita sendiri, tetapi Allah SWT
juga menugaskan malaikat untuk mengawasi dan mencatat perbuatan kita. Tujuannya agar
kelak mereka menjadi saksi di hadapan Allah, saat kita dimintai pertanggungjawaban. Supaya,
kita tidak bisa mengelak lagi dari tuntutan Allah SWT.
Lebih dahsyat lagi, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, bukan hanya
badan kita, tetapi seluruh organ yang melekat di badan kita. Masing-masing anggota tubuh kita
akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Allah SWT berfirman:
] ًُوﻻﺋْﺳَﻣ ُﮫْﻧَﻋ ََﺎنﻛ َكِﺋَٰﻟوُأ ﱡلُﻛ َداَؤُﻔْﻟا َو َرَﺻَﺑْﻟا َو َﻊْﻣﱠﺳاﻟ ﱠنِإ[
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (TQS al-Isra’ [17]: 36)
Semua itu harus kita pertanggungjawabkan kelak.
]َونُﻠَﻣْﻌَﯾ واُﻧَﺎﻛ ﺎَﻣِﺑ مُﮭُﻠُﺟْرَأ َو ْمِﮭِﯾدْﯾَأ َو ْمُﮭُﺗَﻧِﺳْﻟَأ ْمِﮭْﯾَﻠَﻋ ُدَﮭْﺷَﺗ َم ْوَﯾ[
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa
yang dahulu mereka perbuat.” (TQS an-Nur [24]: 24)
Untuk itu, Allah SWT telah menurunkan syariah untuk mengatur kehidupan kita. Maka, diterima
atau tidaknya pertangungjawaban kita ditentukan oleh sesuai atau tidak dengan syariat-Nya.
Jika sesuai, akan diterima, dan jika tidak, akan ditolak. Nabi saw bersabda:
«ﱞدَر َوُﮭَﻓ ﺎَﻧُرْﻣَأ ِﮫْﯾَﻠَﻋ َسْﯾَﻟ ًﻼَﻣَﻋ َلَِﻣﻋ ْنَﻣ»
“Siapa saja yang melakukan amal perbuatan, yang tidak sesuai dengan tuntunan kami,
maka perbuatan itu akan tertolak.” (HR Muslim)
Meski hukum asal pemilu itu sebagai uslub adalah mubah, tetapi untuk apauslub itu digunakan
penting untuk diperhatikan. Dalam pemilu legislatif,uslub ini digunakan untuk memilih wakil
rakyat yang bertugas untuk membuat UU, melantik presiden, dan melakukan check and
balanceterhadap kekuasaan yang lain. Sedangkan dalam pemilu presiden, atau
pilkada, uslub ini digunakan untuk memilih orang yang akan memimpin rakyat.
Memilih wakil rakyat untuk melakukan tugas dan fungsi check and balance, atau muhasabah li
al-hukkam, mengoreksi penguasa, tentu boleh. Karena, pemilih memberikan wakalah kepada
3. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » UntukKita Renungkan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/09/untuk-kita-renungkan/ 3/5
wakilnya untuk melakukan tugas yang dibolehkan, bahkan bisa jadi wajib. Namun, memilih wakil
rakyat untuk melakukan tugas membuat UU tentu tidak boleh. Mekanisme pembuatan UU di
parlemen bukan mekanisme yang dibenarkan oleh Islam. Karena, UU yang lahir dari parlemen
pastilah UU yang tidak lahir dan terpancar dari akidah Islam. Kalaulah ada yang diambil dari
Islam, proses pengambilannya bukan didasarkan pada pertimbangan dalil, atau karena
perintah wahyu; melainkan karena hasil kesepakatan wakil rakyat (manusia) atau berdasarkan
suara terbanyak. UU inilah yang kemudian dijalankan oleh presiden dan kepala daerah di
bawahnya.
Karena itu, memilih wakil untuk melantik presiden dan kepala daerah di bawahnya untuk
menjalankan UU seperti ini tentu tidak dibenarkan. Karena, sama saja dengan memberikan
mandat kepadanya untuk melakukan maksiat kepada Allah SWT. Ini tentu tidak boleh. Hukum
yang sama juga berlaku dalam pemilu presiden, atau pilkada, di mana pemilu ini digunakan
untuk memilih orang yang akan memimpin rakyat, namun bukan dengan Islam, melainkan
dengan UU positif buatan manusia.
Maka, sungguh mengherankan, ketika ada yang memfatwakan wajibnya memilih pemimpin,
tanpa melihat pemimpin seperti apa, dan bagaimana dia memimpin rakyatnya. Juga sama
mengherankan, ketika ada yang mengatakan, jika umat Islam tidak memilih, maka negeri
mayoritas Muslim ini akan dikuasai oleh orang non-Muslim, orang kafir. Sebab, masalahnya
bukan sampainya orang Islam ke tampuk kekuasaan, melainkan sampainya Islam di sana. Apa
artinya, jika seorang Muslim berkuasa, tetapi tidak untuk Islam dan tidak untuk menerapkan
hukum Islam? Maka, dia tak ubahnya dengan orang non-Muslim yang berkuasa. Karena, sama-
sama tidak menerapkan Islam.
Ada juga yang mengatakan, “Dari pada tidak sama sekali, lebih baik berkuasa, dan
menerapkan hukum semampunya”, dengan alasan:
]ُﮫﱡﻠَﺟ ُكَرْﺗُﯾ َﻻ ُﮫﱡﻠُﻛ ُكَْردُﯾَﻻ َﺎ[ﻣ
“Apa yang tidak bisa diraih semuanya, jangan ditinggalkan semuanya.”
Kaidah ini tentu tidak salah, yang salah adalah implementasinya. Bagaimana mungkin orang
atau partai yang tidak memperjuangan Islam secara kaffah, kemudian menggunakan kaidah ini
untuk membenarkan secuil kekuasaan yang diraihnya untuk membenarkan tindakannya?
Mereka juga tahu, bahwa secuil kekuasaannya itu nyatanya tidak bisa digunakan untuk
memenangkan Islam. Tidakkah pelajaran dari Mursi di Mesir cukup untuk menyadarkan kita?
Bahkan, andai pun mereka memenangkan pemilihan dengan telak, belum tentu bisa berkuasa.
Sebagaimana pula yang pernah dialami FIS di Aljazair.
Banyak yang kemudian menggunakan logika matematika dalam berpolitik. Jika seluruh kursi,
4. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » UntukKita Renungkan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/09/untuk-kita-renungkan/ 4/5
atau mayoritas kursi di parlemen mereka kuasai, kemudian pemilu presiden mereka
menangkan, maka mereka bisa berkuasa penuh, dan melakukan apapun untuk kepentingan
Islam. Benarkah? Logika seperti ini hanyalah asumsi, hipotesis, sebatas pengandaian. Karena
realitasnya tidak demikian. Politik bukanlah hitungan matematika, dengan kepastian mutlak.
Tetapi politik adalah seni berbagai kemungkinan. Bisa jadi orang atau partai yang menang
tidak berkuasa, seperti FIS di Aljazair. Bisa jadi, menang tetapi hanya berkuasa sementara,
seperti Mursi dan Ikhwan di Mesir. Bisa jadi, tidak menang, tetapi bisa berkuasa, seperti
Soeharto pasca Supersemar, dan kasus-kasus lainnya. Inilah realita politik.
Karena itu, di dalam kamus politik tidak ada yang pasti. Dalam menghadapi ketidakpastian
politik, yang paling penting sesungguhnya adalah sikap kita. Kita memang tidak boleh bersikap
apolitik, atau tidak berpolitik. Karena dalam pandangan Islam, berpolitik untuk mengurusi
urusan umat dengan Islam hukumnya wajib. Namun, yang lebih penting adalah, apakah ketika
kita melakukan semuanya itu terikat dengan Islam atau tidak? Terikat dengan perintah dan
larangan Allah atau tidak? Mengikuti tuntunan Rasulullah atau tidak? Karena semua tindakan
kita akan diminta pertangungjawaban di hadapan Allah SWT kelak.
Meski tampak mustahil, berat dan belum terlihat hasilnya, tetapi jika semua yang kita lakukan
sesuai dengan Islam, terikat dengan perintah dan larangan Allah, serta mengikuti tuntutanan
Rasulullah, maka nilainya telah terpatri di sisi Allah, di Lauh al-Mahfudh. Sebaliknya, meski
tampak nyata, dan banyak yang telah dilakukan, namun jika semua yang dilakukan itu tidak
sesuai dengan Islam, tidak terikat dengan perintah dan larangan Allah, serta tidak mengikuti
tuntunan Rasulullah Saw., maka semuanya itu sia-sia. Karena nilainya di sisi Allah nihil. Catatan
di Lauh al-Mahfudh pun dipenuhi dengan catatan maksiat dan dosa. Karena itu renungkan apa
yang sudah kita perbuat, termasuk pilihan sikap kita, apakah terikat dan sesuai dengan syariah
Islam, atau tidak. Dan selanjutnya, hasil renungan itu harus dijadikan pelajaran ke depan, agar
kita bisa lepas dari kemaksiatan dan kembali terikat kepada syariah Islam dan
menerapkannya. Denga itu semoga kita bisa mengharap rahmat Allah, keridhaan-Nya dan
pahala surga-Nya. Wallâh waliy at-tawfik. []
Komentar Al Islam:
Pemerintah meminta PT Freeport Indonesia hanya mendivestasikan sahamnya sebanyak 30%,
padahal divestasi saham dimungkinkan maksimal mencapai 51%. (detikfinance, 7/4)
1. Itu bukti, pemerintah lembek atau bahkan tunduk kepada freeport. Juga bukti,
pemerintah tak serius menyelamatkan kekayaan milik rakyat untuk kesejahteraan
rakyat.
2. Tambang seperti freeport adalah milik umum seluruh rakyat. Mestinya bukan
divestasi, tetapi diambilalih dan dikembalikan menjadi milik umum.
3. Kekayaan alam milik rakyat yang dirampok oleh kaum kafir imperialis hanya bisa
diselamatkan kembali dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, dan tentu saja di
5. 9/4/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » UntukKita Renungkan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/04/09/untuk-kita-renungkan/ 5/5
bawah naungan Khilafah Rasyidah.