Dokumen tersebut membahas peraturan perundang-undangan terkait kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia, mulai dari UUD 1945, UU Ketenagakerjaan, UU Jaminan Sosial, sampai peraturan menteri terkait K3. Dokumen ini menjelaskan hak dan kewajiban pengusaha serta pekerja dalam rangka menjamin kesehatan dan keselamatan kerja.
2. HIERARKI PERUNDANGAN DI INDONESIA
Undang-Undang No 12 Th 2011 Pasal 7 Ayat 1
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
• a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
• c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
• d. Peraturan Pemerintah;
• e. Peraturan Presiden;
• f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
• g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3. PERATURAN MENTERI?
• Berdasarkan UU No. 12/2011 Peraturan Menteri (PerMen) tidak diatur dalam
ketentuan Pasa l1 ayat (1).
Keberadaan Permen diatur dalam Pasal 8 ayat(1) dan ayat (2).
Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 menegaskan:
• Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan
4. KETENTUAN POKOK K3
• UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
• Penjelasan : setiap warga negara memiliki hak dan bebas untuk bekerja dan
menghidupi dirinya serta keluarganya tanpa ada pelarangan dari pihak lain
5. Memuat aturan tentang penyediaan, penyebaran dan penggunaan tenaga kerja,
pembinaan keahlian serta perlindungan tenaga kerja
6. UU No. 1 Tahun 1970 ttg Keselamatan Kerja
Mengatur tentang syarat-syarat keselamatan kerja, kewajiban dari pengurus, sanksi terhadap pelanggaran terhadap
undang-undang ini dan juga mengatur tentang Panitia Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Pasal 1
“Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja,
atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber
bahaya
Pasal 8
- Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan
diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
- Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja secara berkala pada Dokter
Pasal 9
- Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat kerjanya;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
7. Pasal 10
- Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 11
- Kewajiban Melaporkan Kecelakaan Kerja.
Kewajiban dan Hak Kerja
Pasal 12
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan
kerja;
b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan;
d. Meminta pada Pengurus agas dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan yang
diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja
serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya
8. Tentang Kesehatan
Pasal 23
Wajibnya menyelenggarakan Kesehatan kerja untuk mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal, meliputi pelayanan kesehatan kerja dan pencegahan PAK, dan syarat
kesehatan kerja.
9. • UU 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan
Pasal 86
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 87
• Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
10. UU No. 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Pasal 13 : Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
Pasal 17 : Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan
membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi :
• a. jaminan kesehatan;
• b. jaminan kecelakaan kerja;
• c. jaminan hari tua;
• d. jaminan pensiun; dan
• e. jaminan kematian.
UU No 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
No.Per.01/Men/1976 tentang Kewajiban Latihan bagi dokter perusahaan
Didalamnya memuat antara lain :
Setiap perusahaan diwajibkan mengirimkan dokternya untuk dilatih dalam
bidang hiperkes dan keselamatan kerja
Definisi dokter perusahaan adalah dokter yang ditunjuk dan bekerja
diperusahaan dan bertanggungjawab atas hiperkes dan keselamatan kerja
12. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI No. Per.02/MEN/1980
TENTANG PEMERIKSAAN KESEHATAN TENAGA KERJA DALAM
PENYELENGGARAAN KESELAMATAN KERJA.
Pemeriksaan Kesehatan sebelum bekerja ditujukan agar tenaga kerja yang
diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak
mempunyai penyakit menular, dan cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan
Pemeriksaan Kesehatan Berkala, sekurang-kurangnya 1 kali dalam setahun
Pemeriksaan Kesehatan khusus
Dilakukan terhadap:
a. tenaga kerja yang telah mengalami kecelakaan atau penyakit yang
memerlukan perawatan yang lebih dari 2 (dua minggu).
b. tenaga kerja yang berusia diatas 40 (empat puluh) tahun atau tenaga kerja
wanita dan tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja muda yang melakukan
pekerjaan tertentu.
13. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER.04/MEN/1987 TENTANG PANITIA PEMBINA KESELAMATAN
DAN KESEHATAN KERJA SERTA TATA CARA PENUNJUKAN AHLI
KESELAMATAN KERJA
Pembentukan P2K3 wajib bagi perusahaan dengan tenaga kerja lebih 100
orang
P2K3 juga wajib dibentuk oleh perusahaan dengan tenaga kerja dibawah
100 orang tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang beresiko
tinggi akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran
radio aktif
14. Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan pekerja yang
susunannya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota
Tugas P2K3 memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun
tidak kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan
dan kesehatan nkerja.
15. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG
SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Memuat Pedoman Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan kesehatan
Kerja (SMK3)
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang
atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh
karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan
kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit
akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.
16. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR :
PER.01/MEN/1981 TENTANG KEWAJIBAN MELAPOR PAK
Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau ingkungan kerja.
Bila dalam Px berkala dan khusus ditemukan PAK maka pengurus wajib
melapor secara tertulis kepada Disnaker setempat, paling lama 2x24 jam
- Pengurus wajib menyediakan APD (alat pelindung diri ) secara dan TK
harus memakai APD yang diwajibkan untuk pencegahan PAK
- TK berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan pada
tempaat kerja yang diragukan keadaan pencegahannya terhadap PAK
17. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR :
KEP.333/MEN/1989 TENTANG DIAGNOSIS DAN PELAPORAN PENYAKIT
AKIBAT KERJA
Format Pelaporan Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan melalui serangkaian
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan kondisi pekerja serta lingkungannya
untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara penyakit dan
pekerjaannya
18. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/XII/2008
TENTANG PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENILAIAN CACAT KARENA
KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA.
Masalah kesehatan di bidang Kulit, Neurologi, Penyakit Dalam, Psikiatri,
Uraian kecacatan
19. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I. NO.KEP. 187/MEN/1999 TENTANG PENGENDALIAN
BAHAN KIMIA BERBAHAYA DI TEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.I.
Bahan Kimia Berbahaya adalah bahan kimia dalam bentuk tunggal atau campuran yang berdasarkan sifat
kimia dan atau fisika dan atau toksikologi berbahaya terhadap tenaga kerja, instalasi dan lingkungan.
Pengendalian berbahaya kimia berbahaya sebagaimana dimaksud pasal 2 meliputi :
a. penyediaan lembar data keselamatan bahan (LDKB) dan label.
b. penunjukan petugas K3 Kimia dan Ahli K3 Kimia. /PT
Kriteria bahan kimia berbahaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) terdiri dari :
a. bahan beracun.
b. bahan sangat beracun.
c. cairan mudah terbakar.
d. cairan sangat mudah terbakar.
e. gas mudah terbakar.
f. bahan mudah meledak.
g. bahan reaktif.
h. bahan oksidator.
20. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR: KEP. 68/MEN/IV/2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN HIV/ AIDS DI TEMPAT KERJA
Kewajiban pengusaha melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di tempat kerja.
Memberikan perlindungan kepada Pekerja/Buruh Dengan HIV/AIDS dari tindak
dan perlakuan diskriminatif;
Menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) khusus untuk
pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS
Pengusaha dilarang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat
suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja/buruh atau kewajiban
pemeriksaan kesehatan rutin.
Tes HIV hanya dapat dilakukan terhadap pekerja/buruh atas dasar kesukarelaan
dengan persetujuan tertulis dari pekerja/ buruh yang bersangkutan,
21. - PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR
PER.13/MEN/X/2011 TAHUN 2011 TENTANG NILAI AMBANG BATAS FAKTOR
FISIKA DAN FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA
- Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE‐01/MEN/1997 Tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Kimia Di Udara Lingkungan Kerja
- PERATURAN MENTERI PERBURUHAN NO.7 TAHUN 1964 Tentang SYARAT
KESEHATAN, KEBERSIHAN SERTA PENERANGAN DALAM TEMPAT KERJA
(SAAT INI PERATURAN DIATAS TERSEBUT SUDAH DICABUT)
22. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5
TAHUN 2018 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
LINGKUNGAN KERJA
Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar faktor
bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu
23. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber
dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah
bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya.
NAB faktor fisika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi iklim
kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan
magnet.
NAB faktor kimia meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut,
aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia.
24. Syarat-Syarat K3 Lingkungan kerja adalah sebagai berikut:
Pengendalian faktor fisiko dan faktor kimia agar berada di bawah NAB
Pengendalian faktor bilogi, ergonomi dan psikologi agar memenuhi
standar
Penyediaan fasilitas kebersihan dan sarana higiene di tempat kerja yang
bersih dan sehat
Penyediaan personil K3 yang memiliki kompetensi dan kewenangan k3 di
bidang Lingkungan Kerja
26. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN
2016 TENTANG STANDAR DAN PERSYARATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
KERJA INDUSTRI
Menetapkan NAB lingkungan kerja industri