Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas akhir Yesus dalam Budayaku untuk perkuliahan Kristologi Dasar ampuan Dr. Bernardus Agus Rukiyanto, Sj, Program Studi Pendidikan Agama Katolik,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Catatan Penulis : Biijaklah jika ingin mengutipnya, saya tahu jika kalian merupakan mahasiswa juga sekaligus sebagai pewarta yang Cerdas dan Humanis. Harapan saya,kalian dapat menghargai hasil karya dan jerih payah orang lain.
Tuhan Memberkati.
Kisi kisi Ujian sekolah mata pelajaran IPA 2024.docx
TUGAS AKHIR YESUS DALAM BUDAYA MASYARAKAT KEPULAUAN TANIMBAR PROVINSI MALUKU (Andre Ohoirat)
1. TUGAS AKHIR
YESUS DALAM BUDAYA MASYARAKAT
KEPULAUAN TANIMBAR PROVINSI MALUKU
Mata Kuliah: Kristologi Dasar
Dosen Pengampu: Dr. Bernardus Agus Rukiyanto, Sj
Disusun Oleh:
Andre Ohoirat 161414085
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
2. PENGANTAR
Dalam kehidupan kita setiap hari, sering kali kita mengalami perjumpaan dengan
Yesus. Perjumpaan yang kita alami dengan Yesus disini bukan secara langsung bertatap
muka, melainkan melalui sikap dan tindakan yang kita lakukan secara berulang ulang
maupun kebiasan kebiasaan hidup yang bersifat membangun. Hal inilah yang kemudian
melatar belakangi suatu tradisi atau kebudayaan di suatu daerah.Jika kita berbicara mengenai
agama dan budaya, secara umum biksa dibilang bahwa agama bersumber dari Allah,
sementara budaya bersumber dari manusia. Agama merupakan karya nyata Allah, dan budaya
adalah karya manusia. Itu berarti, agama bukan bagian dari budaya dan budaya pun bukan
bagian dari agama. Walaupun demikian bukan berarti bahwa agama dan budaya terpisah
sama sekali, melainkan berhubungan baik satu dengan yang lain. Melalui agama, Allah yang
merupakan Sang Pencipta menyampaikan ajaran-Nya harus dijalani oleh manusia. Ajaran
Allah, yang dengan istilah agama ini senantiasa mewarnai corak kebudayaan yang dihasilkan
oleh manusia yang memeluknya.
Kita tentu mengenal bahwa katekese inkulturatif adalah gereja yang memerlukan
inkulturasi agar iman kristiani dapat mengakar pada budaya yang ada di daerah itu.
Melalui katekese inkulturasi ini nilai-nilai luhur yang ada pada budaya daerah setempat
dapat digali untuk menemukan nilai-nilai kristiani yang terkandung di dalamnya. Melalui
sabda yang telah menjadi manusia, Allah selaku sang pencipta berkenan untuk solider
dengan umatnya. Kita selaku manusia tentu dapat menemukan Allah dalam kehidupan
kita bermasyarakat dan berbudaya, hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa Allah memiliki
kehendak yang menyelamatkan.
Hal lainnya yang dapat kita temui yakni inkulturasi ini tidak lepas dari liturgi
gereja. Konsili Vatikan II dengan jelas menegaskan bahwa unsur-unsur yang ada pada
budaya setempat perlu diintegrasikan di dalam liturgi gereja sebagai perayaan iman. Hal
ini sungguh-sungguh mengungkapkan iman kita yang tumbuh dari budaya setempat.
Aturan dan rubrik yang ada pada liturgi gereja memang liturgi perlu, namun jangan sampai
membuat kita jatuh pada rubrisisme,dimana kita terlalu memperhatikan aturan dan
rinciannya sehingga liturgi pun menjadi kaku. Katekese inkulturatif ini tentu akan sangat
membantu umat agar tidak jatuh pada rubrisisme, malah sebaliknya melalui inkulturasi ini
justru semakin menyadarkan kita tentang arti pentingnya penghayatan liturgi melalui
unsur-unsur budaya dimana kita berada.
3. BAB I
BUDAYAKU
Kepulauan Tanimbar merupakan salah satu wilayah yang terletak di provinsi
Maluku, tepatnya berada dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dalam
beberapa sumber, dikatakan bahwa kata tersebut sulit untuk dipastikan artinya. Dari
sumber lain yang diperoleh juga disebutkan bahwa Tanimbar berasal dari penggalan
kata tnebar yang berarti pria besar atau sesuatu yang baru saja muncul dan menampakan
dirinya. Terdapat beberapa nama yang mengarah kepada kepulauan Tanimbar atau
masyarakat yang hidup di kepulauan itu. Nama tersebut ada yang diberikan oleh
masyarakat lain yang bukan merupakan masyarakat tanimbar dan ada pula yang diberikan
oleh masyarakat Tanimbar sendiri. Nama yang dimaksud yaitu Timor Lao,
Ntnebar, dan Tanempar. Timor Lao berarti Timor Jauh. Nama Timor Lao tidak dikenal
serta tidak digunakan oleh masyarakat Tanimbar untuk menyebut dirinya. Nama tersebut
hanya dipakai oleh masyarakat asing untuk menyebut kepulauan Tanimbar. Sebelum
memeluk agama Katolik dan Kristen Protestan seperti saat ini, masyarakat Tanimbar telah
percaya kepada kekuatan-kekuatan gaib dalam alam. Selain itu untuk konsep ketuhanan
sendiri secara umum yang dipercaya oleh orang Tanimbar adalah Lere Bulin. Lere adalah
matahari dan Bulin adalah bulan. Saat berlangsungnya gerhana bulan, tetua adat dari desa
tertentu bertanya kepada bulan dan jika bulan kembali terbit dan menyebut nama suatu
desa, maka desa itu akan diserang dan dibakar.Hanya Tetua adatlah yang memiliki kuasa
untuk berjuma dengan Tuhan yang mereka sembah. Tetua adat adalah mereka yang dipilih
langsung oleh seluruh masyarakat yang mempunyai tugas untuk bertemu dengan Tuhan
dan mempunyai untuk menangani hal hal yang berkaitan dengan adat dalam suatu
desa. Tetua adat mempunya kemampuan untuk mengikat matahari dimana orang
Tanimbar mengenal mereka dengan sebutan mangket lerar yang berarti orang yang
memiliki kuasa untuk mengikat matahari. Di kepulauan Tanimbar terdapat empat suku
besar dengan bahasa dan kepercayaannya masing-masing yaitu suku Yamdena, Fordata,
Selaru, dan Seluwasa. Masyarakat yang menempati kepulauan tanimbar ini biasanya diberi
nama sesuai dengan nama dari suku tempat mereka tinggal. Mengingat ada beraneka
ragam bahasa dan kepercayaan dari setiap suku ini, dan sumber yang terbatas maka
penulis hanya membatasi diri dan membahas penghayatan akan Yang Ilahi menurut
masyarakat Yamdena dan Fordata.
4. BAB II
GELAR YESUS YANG SESUAI
Masyarakat Tanimbar dalam penghayatannya akan Yang Ilahi menganut suatu
Monoteis yakni Yang Ilahi hanya satu, sama halnya dengan Yesus yang merupakan satu
pribadi namu dikenal dengan gelar yang berbeda beda. Walau demikian paham monoteis
ini dimaknai secara heterogen. Yang Ilahi atau Yang Esa diyakini secara berbeda-beda
dan penghayatan itu pula sangat antropomorfis sifatnya. Masyarakat tanimbar
menggunakannya sebagai acuan hubungan-hubungan di antara mereka, untuk
melukiskan Yang Ilahi yang secara tersirat juga merupakan perwujudan dari gelar-gelar
yang dimiliki oleh Yesus.
1. Yang Ilahi dimaknai sebagai Lanit Vavan dan Ompak Lanit-Saryamrene
(Yesus sebagai Tuhan)
Lanit Vavan dan Ompak lanit Bumi Langit Saryamrene , yang berarti: Tuhan
pencipta alam semesta dan yang menguasaai jagat raya atau dengan kata lain sebagai
penguasa langit dan bumi. Dalam filosofi masyarakat Tanimbar Ompak Lanit
dianggap sebagai kesatuan antara laki-laki dan perempuan. Ompak diyakini sebagai
penjelmaan perempuan, dan lanit sebagai penjelmaan laki-laki. Kedua element ini
bersatu dikala peristiwa hujan. Masyarakat meyakini bahwa hujan merupakan benih-
benih yang jatuh dari langit dan untuk memberi kesuburan bagi bumi (Ompak)
sehingga tanaman-tanaman tumbuh.
Keyakinan inilah yang menjadi dasar dimana setiap kali masyarakat Tanimbar
hendak membuat kebun baru ataupun memanen hasil kebun seringkali mengadakan
upacara syukuran di ladang ataupun juga di desa mereka sebagai nemtuk ucapan
syukur untuk Tuhan penguasa langit juga bumi (Ompak-Lanit) karena berkat yang
selama mereka mengolah kebun hingga memperoleh hasilnya.
5. 2. Yang Ilahi dimaknai sebagai Mele/Mela. (Yesus sebagai Raja/Penguasa)
Mela dikaitkan dengan kata lanit (langit) untuk menegaskan posisi tertinggi
dari Mela, sehingga tidak jarang muncul ucapan Mele lanit yang merujuk pada Yang
Ilahi sendiri sebagai penguasa langit. Mela sendiri dalam masyarakat Tanimbar
dimaknai sebagai kaum bangsawan, artinya bahwa di dalam lingkungan leluhurnya
tidak terdapat budak-budak (kawar), Mele (Yamdena) dan Mela (Fordata) dapat
diterjemahkan sebagai penguasa. di Tanimbar masyarakat yang disebut Mele ini
menduduki posisi yang paling terhormat karena mereka adalah turunan dari kepala-
kepala kampung/adat. Kemudian untuk Kawar dan Iri melambangkan masyarakat
awam, yang hanya mendengar serta melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Mele.
Penyebutan yang lebih halus digunakan yaitu: Keyai dan famudi dalam bah.
Yamdena(yang sulung dan bungsu) atau juga dalam bah. Fordata: Iyaan natau
Iwarin ditujukan untuk mereka yang pertama atau kemudian masuk dan mendiami
sebuah kampung. Jadi mereka yang pertama masuk disebut sebagai keyai sementara
mereka yang datang kemudian dikenal sebagai famudi dan mungkin hal ini yang
menjadi latar belakang penyebutan Mele dan Kawar.
3. Lere-Bulan/Lere Wulan (Yesus sebagai Anak Manusia)
Suatu persembahan lain yang diberikan untuk Yang Ilahi yaitu Lere-
Bulan yang memiliki arti; Matahari dan Bulan, dalam bahasa Selaru dikenal; Hula-
Sou, sedangkan di Fordata; Lera-Wulan. Lere (matahari) disimbolkan sebagai laki-
laki, dan bulan sebagai perempuan. Terdapat tiga acuan yang dapat ditempuh untuk
mengerti dan memahami Lere-Bulan. Pertama, Lere-Bulan dipersonifikasikan sebagai
persatuan antara laki-laki dan perempuan. Lere adalah symbol laki-laki yang punya
tenaga dan kuasa, simbol kekuatan, keperkasaan sedangkan Bulan adalah symbol
perempuan, lemah, feminim. Selanjutnya adalah, Lere-Bulan dipandang sebagai
simbol kekuasaan Yang Ilahi sebagai pengatur waktu siang dan malam, gelap dan
terang, mengatur waktu manusia seperti pergantian hari dan itu berarti dimulai
sesuatu yang baru; mengatur tatanan hidup manusia dan memberikan arah dan
langkah. Ini menandakan otoritas dari Lere-Bulan. Terakhir adalah Lere-Bulan
dipandang sebagai symbol Tuhan yang berkuasa dan penuh kemuliaan karena berada
di tempatnya yang jauh tinggi dari manusia Transenden), namun juga dekat dengan
manusia, karena mengatur waktu/hari-hari hidup manusia.
6. BAB III
YESUS DALAM BUDAYAKU
Masyarakat Tanimbar, terkhususnya pada suku Yamdena dan Fordata memiliki
keyakinan bahwa dunia ini merupakan ciptaan dari Yang Ilahi termasuk juga manusia
yang mendiaminya. Walaupun menghayati Tuhan Yang sama dan satu namun berbeda
dalam penyebutannya, hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan suku,tempat tinggal
dan bahasa. Demikian ada dua model penyebutan Yang Ilahi yaitu Rat’we (Suku
Yamdena) dan Ubula’a (Suku Fordata),berikut akan dijelaskan pada bagian berikut:
1. Ra’tu
Ada beraneka ragampenyebutan istilah Yang Ilahi dengan dialeknya ada yang
menyebutkan Rat, Ra’tu, Rat’w, akan tetapi seringkali istilah ini ditujukan untuk
menyebut Tuhan Sang Pencipta yang dibedakan dengan para leluhur atau ada-ada
supranatural lainnya. Bukan juga dalam arti sebagai seorang permaisuri dari Raja
yang dikenal lazimnya dengan sebutan Ratu. Penyebutan Ra’tu, Rat’we merupakan
penyebutan yang digunakan oleh masyarakat yang menempati Pulau Yamdena
(Yamdena Selatan dan Utara) untuk menyebut Yang Ilahi.Walau demikian
penyebutan ini belum bisa dipastikan kebenarannya mengapa sehingga penyebutan
istilah ini dipakai oleh masyarakat yang mendiami pulau Yamdena dalam penyebutan
terhadap Yang Ilahi.
Hal ini dapat kita jumpai saat kalipara tua-tua atau ibu dan bapa tengah berceritera
kepada anaknya. Biasanya sejarah atau cerita diawali dengan kalimat “nangin nangin
o..andrit radu arat’we rafsaw beber” sebagai awalan sebelum masuk pada sebuah
cerita. Andrit menyimbolkan perempuan/ibu, sementara Arat’we menggambarkan
sosok seorang lelaki perkasa. Mungkin saja atas penggambaran inilah sehingga
istilah Ra’twe atas salah satu cara dimaknai sebagai seorang bapa pemberi kehidupan,
karena menikah dengan Andrit seorang perempuan, sehingga menghasilkan
keturunan. Dilain sisi Arat’we juga diyakini merupakan titik alur pembuka dari
sebuah sejarah atau cerita sama halnya Andrit.
7. 2. Ubula’a
Jika masyarakat Yamdena menyebut Yang Ilahi sebagai Rat’we, hal berbeda
ditemukan pada masyarakat Fordata. Penyebutan Ubula’a dipakai secara khusus oleh
Masyarakat Fordata,Selaru dan Seluwasa) untuk menggambarkan Yang Ilahi. Ubula’a
yang berasal dari kata: Ubu yang berarti Leluhur dan Ila’a: yang berarti Agung atau
besar, sehingga Ubuila’a berarti leluhur agung atau besarSering juga ditemukan
bahwa Yang Ilahi disebut dengan nama Ubula’a atau Ubu. Pandangan tentang
Ubula’a ini didasari atas gambaran masyarakat Fordata tentang Ubu Nusin atau
leluhur. Ubu nusin merupakan penyebutan lain untuk leluhur yang sudah tiada, dan
diyakini bahwa dapat membantu mereka dalam kesulitan hidup seperti: dalam
pelayaran laut, menunjukan obat-obatan, bagaimana membuat busur panah, tombak,
berburu, bercocok tanam, mengajarkan cara menenun dan memintal serta
menganyam tikar, atas salah satu cara Ubula’a dipandang berdasar pada sifat-sifat
Ubunusin ini.
Sehingga jika kita berdasar pada sifat-sifat Ubu nusin sebagai interpretasi Ubula’a
kita dapat menarik kesimpulan bahwa Ubula’a adalah Dia Yang menguasai seluruh
aspek kehidupan manusia mulai dari seperti bercocok tanaman, sakit penyakit, darat
(nuhu) dan laut (tahat), keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
8. BAB IV
SIMPULAN DAN PENUTUP
Budaya, dan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masing-masing masyarakat.
Dimana dengan melalui budaya yang dimiliki dapat direalisasikan dengan kehidupan serta
penghayatan hidup setiap hari. Hal tersebut dipergunakan oleh masyarakat sebagai acuan
dalam kehidupan setiap hari sehingga ia dapat bertindak dan berbuat sesuai dengan budaya,
peraturan yang ada dalam budaya maupun agama itu sendiri. Budaya, tradisi dan agama
saling berkaitan satu sama lain, dan semuanya memiliki nilai positif.
Keyakinan warga masyarakat di kepulauan Tanimbar terkhususnya yang menempati pulau
Yamdena mengenai eksistensi Yesus mempunyai dasar yang sangat dipengaruhi dari
kebudayaan dan iman Kristisni . Refleksi tersebut dapat dilihat dalam sejarah hidup
masyarakatnya dan akan terus hidup meskipunmengalami pergantian zaman. Beberapa
konsep tentang Yesus dalam budaya seperti yang telah digambarkan menunjukkan tantang
adanya pengakuan keberadaan dan ke Esa - an Nya sehingga dalam perjalanan hidup setiap
hari , konsep itu dinyatakan juga dihidupi secara nyata dalam iman Kristiani , di mana Yesus
diakui dan diyakini sebagai Tuhan yang memberi keselamatan , sebagai Sumber Kehidupan
dan Jalan Kebenaran . Tentu saja , pengakuan ini diwujudkan dalam kehidupan adat istiadat
yang ada di tempat mereka tinggal.
Demikian penulis mencoba memaparkan secara garis besar penghayatan Yang Ilahi menurut
masyarakat Tanimbar khususnya masyarakat Yamdena dan Fordata. Besar harapan penulis
semoga uraian singkat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk memiliki gambaran dan
yang cukup terkait konsep dan penghayatan masyarakat Tanimbar (Yamdena-Fordata)
tentang Yang Ilahi.
9. DAFTAR PUSTAKA
B. A Rukiyanto, Pewartaan di Zaman Global, Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Drabbe, The Unique Moluccan photographs of Petrus Drabbe Tanimbar, Alphen aan den
Rijn, Nederland : Periplus, 1995.
Drabbe, Etnografi Tanimbar, Terj. Karel Mouw, Jakarta, 1981.
P. A Wuritimur, Yang Ilahi Menurut Penghayatan Orang Tanimbar,STF-SP, 1993
P.R Renwarin: Life In The Saryamrene, An Anthropological exploration of the Yamdena,
Leiden: Leiden University, Institute of Cultural & social studies, 1989.
Yohanes Purwanto, dkk.,Antropologi dan Etnobiologi Masyarakat Yamdena di Kepulauan
Tanimbar, Jakarta: The TLUP Tech. Ser. no 4, 2004.