Dokumen tersebut membahas pentingnya mengajarkan kebijaksanaan di perguruan tinggi selain pengetahuan. Universitas seharusnya mendidik mahasiswa untuk berpikir kritis, berkomunikasi efektif, memecahkan masalah, dan memahami budaya lain. Kebijaksanaan dapat diajarkan dengan memperkenalkan konsepnya dan memberi kesempatan mahasiswa untuk menerapkannya dalam berbagai konteks. Kurikulum perlu diranc
1. Tidak hanya Kecerdasan, Dunia Membutuhkan Kebijaksanaan
Oleh: Ega Jalaludin
Jika kita bertanya kepada semua mahasiswa tentang apa tujuan
universitas tempat ia belajar, kemungkinan jawaban yang sering kita
temukan adalah “universitas didirikan untuk menciptakan dan menyebarkan
ilmu pengetahuan”. Semua cendekiawan tahu bahwa hal tersebut adalah
aspek inti normatif dari kebanyakan didirikannya universitas: kapasitas
penelitian yang merupakan inti bagi kemajuan pengetahuan manusia, dan
mentransmisikan informasi itu kepada dunia, baik melalui penerbitan jurnal
atau dalam pengajaran di ruang kelas. Meski diakui, yang terakhir,
“menyebarkan di ruang kelas melalui kuliah”, terbukti terlalu tidak banyak
yang efektif dan terkesan normatif.
Jika kita ajukan pertanyaan lain, “Apa yang dipelajari oleh seorang
sarjana setelah selesai kuliah?”, saya yakin, setiap sarjana akan menjawab
dengan memberikan jawaban seperti fisika, manajemen, sosiologi, politik dan
literatur komparatif lainnya. Padahal, alih-alih menawarkan konten mata
kuliah yang telah ada di mana-mana, mengapa universitas tidak
mendengarkan kebutuhan dunia dan melalui riset-riset yang dilakukan
akademisinya mengajarkan kemampuan dan keterampilan yang dianggap
benar-benar penting di ruang kelas pada mahasiswanya?
Peran universitas sebagai penyebar informasi tentu sangat berharga di
hadapan penerbit jurnal internasional atau pada tingkat yang lebih rendah
lagi. Meski tak jarang, informasi ini seringkali dipertanyakan kredibilitasnya,
mengingat jurnal-jurnal yang dianggap kredibel pun mudah diakses penulis
hanya dengan menggunakan kompensasi (meski) yang tidak murah dan
koneksi (tidak sulit jika ada yang pertama). Akhirnya, hasil penelitian
terkesan tidak penting, yang penting adalah kemampuan komersil dan
koneksi setiap peneliti.
Universitas sebenarnya tahu apa yang harus dilakukan —dengan
mendengarkan apa yang sebetulnya diikrarkan: “berpikir kritis, komunikasi
yang efektif, pemecahan masalah, dan pemahaman lintas budaya” adalah
hasil yang dihargai secara universal. Kita semua setuju, dan tentu saja
semua ingin melihat setiap mahasiswa (setelah empat tahun studi) muncul
dengan keterampilan ini. Singkatnya, kemampuan-kemampuan ini lah yang
kita sebut dengan satu kata: kebijaksanaan. Namun, konsepsi
kebijaksanaan secara populer selalu terikat dengan visiualisasi mistis dan
manusia tua yang tabah, kuno dengan kemampuan pemahaman yang diam
dan lembut. Sehingga, asosiasi ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan tidak
dapat diakses oleh anak-anak muda atau milenial dan, mengerikannya,
seolah-olah ia harus didapat melalui keheningan meditasi yang panjang dan
pengalaman seumur hidup.
2. Padahal, tidak selalu begitu. Kebijaksanaan sejati adalah kemampuan
untuk menerapkan pengetahuan seseorang secara tepat ketika dihadapkan
dengan situasi terbaru, dan universitas dapat mengajarkan kepada
mahasiswanya bahwa dengan memperkenalkan konsep kebijaksanaan dan
memberi mahasiswa banyak kesempatan sepanjang pendidikan mereka
untuk menerapkannya dalam konteks yang berbeda. Semua terasa mungkin
dilakukan. Sesederhana itu.
Dalam perspektif psikologi, Menurut Takahashi dan Overton (2002)
kebijaksanaan (wisdom) dipahami sebagai “Ekspresi” dari fungsi yang
terpadu dari beberapa proses psikologis dalam konteks tertentu.
Sedangkan Labouvie-Vief (Sternberg, 2002) mendefinisikan wisdom sebagai
landasan operasi intelektual dan biasanya dikaitkan dengan “logos” (alasan)
dalam “mitos” (inti dari proses inter dan intrapersonal).
Sementara Kramer (Sternberg,2002) berpendapat
bahwa wisdom didasarkan pada relativistik dan dialektis penalaran,
pengembangan yang terkait dengan pengembangan yang dapat
mempengaruhi regulasi, dan Ardelt (2003) menjelaskan wisdom sebagai
kombinasi pada cognitive, reflective, dan affective yang ada pada kepribadian
seseorang. Wisdom merupakan perspektif kognitif-perkembangan yang telah
terkait dengan proses pemikiran yang memungkinkan seorang mahasiswa
untuk beradaptasi terhadap situasi kehidupan terutama menghadapi kondisi
yang tak terduga (pasti) dan berbagai kondisi alam.
Setiap universitas dapat menerapkan dimensi “Wisdom” berdasarkan
temuan Aldert seperti menekankan aspek Cognitive, pemahaman tentang
pemaknaan hidup dan keinginan untuk mengetahui kebenaran, yaitu untuk
memahami arti dan makna. Terkati dengan fenomena dan peristiwa,
terutama dengan yang berhubungan dengan intra dan interpersonal.
Meliputi akan kemampuan pengetahun dan proses penerimaan;
aspek Reflective, yakni persepsi terhadap suatu fenomena dan kejadian-
kejadian dari berbagai perspektif, serta menghindari penilaian subjektif.
Membutuhkan self-examination, self-awareness, dan self-insight; terakhir
aspek Affective yakni kemampuan yang meliputi empati dan rasa saling
menyayangi disertai dengan motivasi untuk menjaga perasaan orang lain,
dan hal ini tentu saja membutuhkan transendensi self-centeredness.
Sebagaimana kita tahu, konsep paling sering ditemukan dalam
metodologi belajar di universitas manapun adalah “menghafal”. Akan tetapi,
bagaimanapun, membedakan antara fakta dan klaim dalam sebuah subjek
asing, negosiasi bisnis yang efektif dalam kesepakatan bisnis, serta
menoleransi budaya-budaya yang baru adalah bentuk kebijaksanaan.
Karena itu semua, kebijaksanaan, diterima atau tidak, memang harus
diajarkan. Tentu saja itu tidak dapat diberikan secara accidentally atau
sebagai kurikulum sampingan dari pengajaran materi kuliah. Hal itu
membutuhkan pengidentifikasian asas-asas yang menopangnya dan dengan
3. disiplin mengkontekstualisasikan ulang, sehingga mahasiswa dapat
mengembangkan kedalaman penguasaan dan keluasan penerapannya
setelah gelar sarjana diraihnya.
Jika universitas ingin berhasil dalam misi yang dinyatakan
bersama “menciptakan dan menyebarkan pengetahuan”, maka setiap
lembaga harus fokus mendesain ulang kurikulumnya. Kurikulum yang
memiliki dimensi cognitive, reflective, dan affective. (sumber: bigthink)
Selamat membijak. ^_^