Dokumen tersebut merupakan panduan terminologi yang dikembangkan oleh kelompok kerja internasional untuk mendiskusikan istilah-istilah terkait perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, serta memberikan definisi dan pertimbangan mengenai penggunaan istilah-istilah tersebut.
The United Nations Convention on the Rights of the Child (UN-CRC) mengakui hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan pelecehan. Sehingga, individu dan organisasi yang bersinggungan dan berhubungan dengan anak harus memastikan mereka dilindungi dan aman dari bahaya ketika berpartisipasi dalam berbagai kegiatan.
Untuk menjamin hak anak ini maka sistem perlindungan anak di Indonesia itu sendiri diatur melalui UU Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002, direvisi menjadi UU No. 35 Tahun 2014, dan revisi ke II melalui UU No.17 Tahun 2016.
Tujuan dari adanya KKA ID-COP adalah untuk melindungi hak-hak anak yang terlibat dalam program dan kegiatan ID-COP, serta memastikan bahwa staf, perwakilan, dan staf organisasi kemitraan mengerahkan langkah bijaksana untuk memastikan bahwa anak-anak yang berinteraksi dengan mereka diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, dan dilindungi dari segala jenis kekerasan. KKA ID-COP ini juga bertujuan agar menjadi panduan agar para mitra ID-COP dapat konsisten menjalankan kode etik dalam berkolaborasi antar lembaga, ketika mereka harus menjalankan sebuah kegiatan bersama anak-anak.
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017ECPAT Indonesia
Dalam mewujudkan visi misinya, ECPAT Indonesia memilih beberapa strategi, diantaranya penelitian, sosialisasi, pelatihan, kerjasama, Focus Group Discussion (FGD) dll. Kiprah ECPAT Indonesia
selama 13 tahun, telah menemukan banyak permasalahan anak di Indonesia, diantaranya anak putus sekolah, anak terpapar pornografi melalui smartphone, perkawinan anak, hubungan seks anak dengan anak, anak mengalami kekerasan seksual, anak menjadi pekerja atau sebagai pencari nafkah, keseluruhan kasus yang ECPAT Indonesia temukan rentan menjadi pintu masuk terjadinya eksploitasi seksual komersial.
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...ECPAT Indonesia
Modul ditulis untuk fasilitator pelatihan, dimana peserta pelatihan terdiri dari Perangkat Desa (diantaranya
terdiri dari Bendahara/Sekretaris, Kepala Desa dan Perwakilan dari Badan Perwakilan Desa(BPD)),
Pemerintah Daerah (diantaranya perwakilan dari Dinas Pariwisata, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perijinan/PTSP dan Tenaga
Kesehatan), Polisi, Stakeholder Pariwisata (diantaranya berasal dari perwakilan, Travel, SPA, Karaoke, Guide,
Driver Trevel, Hotel, Pengusaha Warnet), Tenaga Pendidik, PKK, PHRI, Kelompok Sadar Wisata, Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat, NGO, Karang Taruna, Forum Anak. Dimana keberadaan dan profesinya
selama ini terkait erat dengan upaya perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual di daerah
tujuan wisata. Modul ini sebagai alat bantu bagi fasilitator untuk menyampaikan informasi dan melatih
peserta pelatihan dari daerah tujuan wisata untuk menyiapkan diri dalam membuat strategi perlindungan
anak dalam menghadapi ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kolaborasi Sektor Swasta di Lingkungan Pariwisata (Dalam Upaya Pencegahan Eks...ECPAT Indonesia
Bedasarkan Konvensi Hak Anak, setiap anak memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh semua pihak, tak terkecuali pelaku usaha. Setiap dunia usaha pasti melakukan hubungan dengan anak-anak sebagai konsumer, anak dari pekerja, anak
sebagai calon pekerja di masa depan.
Oleh karena itu, ECPAT Indonesia bersama aliansi Down to Zero membuat Panduan tentang bagaimana cara sektor swasta berperdan dalam mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak.
Sulit dipungkiri bahwa di masa depan tidak ada bangsa yang dapat bersembunyi dari arus tanpa batas di era globalisasi. Era dimana pergaulan dunia semakin terbuka lebar yang bukan saja membawa keuntungan, namun juga diikuti dengan dampak yang sulit dikendalikan. Masa depan menjadi semakin sulit ditebak dan terkadang terjadi diluar dugaan sehingga memberikan kejutan-kejutan yang mengancam kehidupan masyarakat baik dari dimensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Arus lintas batas di era globalisasi pun masuk dalam ranah-ranah yang sulit dikendalikan, termasuk pornografi yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga anak-anak. Bahkan, pornografi anak menjadi ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan yang besar sehingga anak-anak kerap dijadikan target baik sebagai objek maupun sebagai konsumen. Maraknya pornografi yang melibatkan anak-anak ini tidak terlepas dari pengaruh internet dan pengaruh media sosial yang menggandrungi kehidupan anak-anak.
Meskipun belum tersedia data secara global, namun beberapa lembaga yang melakukan pendataan menemukan pornografi yang melibatkan anak-anak meningkat secara tajam. The NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children) Cybertipline, lembaga yang berada di Amerika Serikat dan menangani laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber memaparkan, telah lebih dari 7,5 juta laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber tercatat sejak tahun 1998. Menariknya, laporan meningkat tajam sejak tahun 2015 dengan jumlah laporan mencapai sekitar 4,4 juta atau lebih dari separuhnya. Pada tahun 2016, INHOPE, asosiasi pengaduan
konten melalui internet, menemukan bahwa terdapat 8,4 juta URL/situs yang mengandung konten pornografi anak dan tersebar di seluruh dunia.
Terdapat juga indikasi bahwa konten pornografi anak diedarkan oleh pelaku melalui platform yang lebih tersembunyi, seperti jaringan berbagi file online (termasuk peer-to-peer) atau melalui ‘Dark Net’ atau teknik perangkat lunak yang di enkripsi. Dalam konteks Indonesia, anak-anak Indonesia mengalami dua hal yaitu menjadi target kejahatan pornografi dan terpapar pornografi. Ditemukan sejumlah fakta bahwa anak-anak di Indonesia dijadikan objek pornografi baik oleh pelaku kejahatan yang tidak terorganisir maupun oleh pelaku kejahatan yang terorganisir untuk dikomersialisasikan. Sebut saja kasus
Tjandra di Surabaya yang berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 gambar yang mengandung konten pornografi anak yang dia dapat melalui media sosial yang kemudian diketahui bahwa beliau menyebarkan dan memperjual belikan gambar-gambar tersebut ke jaringan pedofil internasional.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anakk menginisiasi lahirnya Desa/Kelurahan Bebas Pornografi
anak. Desa/Kelurahan Bebas Pornografi anak adalah suatu kawasan desa/ kelurahan yang pemerintah, penduduk, dan pihak yang berkepentingan memiliki komitmen dan program konkret dan berkelanjutan dalam mencegah dan menanggulangi pornografi anak.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak merupakan sebuah bentuk perilaku tidak hanya dimaknai sebagai hubungan seksual biasa tetapi juga merupakan serangan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak yang menimbulkan perlukaan pada organ seksual, menimbulkan dampak psikologis pada korban dan bahkan menimbulkan luka atau lecet pada organ tubuh lainnya hingga menimbulkan kematian. Agresiftas seksual anak memiliki pola tidak sama dengan orang dewasa, sebagian besar kekerasan seksual yang dilakukan anak, dilakukan secara berkelompok. Eskalasi seksual tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga di perdesaan bahkan di pedalaman sekalipun. Faktor yang paling dominan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap terjadinya kekerasan seksual adalah paparan pornografi yang dialami oleh anak. Faktor-faktor lain tidak bisa diangap remeh yaitu pengaruh teman sebaya, minimnya pendidikan dalam memanfaatkan bahaya internet pada anak, terbatasnya pengetahuan orang tua dan guru dalam melindungi anakanak dari bahaya internet.
The United Nations Convention on the Rights of the Child (UN-CRC) mengakui hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan pelecehan. Sehingga, individu dan organisasi yang bersinggungan dan berhubungan dengan anak harus memastikan mereka dilindungi dan aman dari bahaya ketika berpartisipasi dalam berbagai kegiatan.
Untuk menjamin hak anak ini maka sistem perlindungan anak di Indonesia itu sendiri diatur melalui UU Perlindungan Anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002, direvisi menjadi UU No. 35 Tahun 2014, dan revisi ke II melalui UU No.17 Tahun 2016.
Tujuan dari adanya KKA ID-COP adalah untuk melindungi hak-hak anak yang terlibat dalam program dan kegiatan ID-COP, serta memastikan bahwa staf, perwakilan, dan staf organisasi kemitraan mengerahkan langkah bijaksana untuk memastikan bahwa anak-anak yang berinteraksi dengan mereka diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, dan dilindungi dari segala jenis kekerasan. KKA ID-COP ini juga bertujuan agar menjadi panduan agar para mitra ID-COP dapat konsisten menjalankan kode etik dalam berkolaborasi antar lembaga, ketika mereka harus menjalankan sebuah kegiatan bersama anak-anak.
Catatan Akhir Tahun ECPAT Indonesia - Tahun 2017ECPAT Indonesia
Dalam mewujudkan visi misinya, ECPAT Indonesia memilih beberapa strategi, diantaranya penelitian, sosialisasi, pelatihan, kerjasama, Focus Group Discussion (FGD) dll. Kiprah ECPAT Indonesia
selama 13 tahun, telah menemukan banyak permasalahan anak di Indonesia, diantaranya anak putus sekolah, anak terpapar pornografi melalui smartphone, perkawinan anak, hubungan seks anak dengan anak, anak mengalami kekerasan seksual, anak menjadi pekerja atau sebagai pencari nafkah, keseluruhan kasus yang ECPAT Indonesia temukan rentan menjadi pintu masuk terjadinya eksploitasi seksual komersial.
Modul Pelatihan Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Kome...ECPAT Indonesia
Modul ditulis untuk fasilitator pelatihan, dimana peserta pelatihan terdiri dari Perangkat Desa (diantaranya
terdiri dari Bendahara/Sekretaris, Kepala Desa dan Perwakilan dari Badan Perwakilan Desa(BPD)),
Pemerintah Daerah (diantaranya perwakilan dari Dinas Pariwisata, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perijinan/PTSP dan Tenaga
Kesehatan), Polisi, Stakeholder Pariwisata (diantaranya berasal dari perwakilan, Travel, SPA, Karaoke, Guide,
Driver Trevel, Hotel, Pengusaha Warnet), Tenaga Pendidik, PKK, PHRI, Kelompok Sadar Wisata, Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat, NGO, Karang Taruna, Forum Anak. Dimana keberadaan dan profesinya
selama ini terkait erat dengan upaya perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual di daerah
tujuan wisata. Modul ini sebagai alat bantu bagi fasilitator untuk menyampaikan informasi dan melatih
peserta pelatihan dari daerah tujuan wisata untuk menyiapkan diri dalam membuat strategi perlindungan
anak dalam menghadapi ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kolaborasi Sektor Swasta di Lingkungan Pariwisata (Dalam Upaya Pencegahan Eks...ECPAT Indonesia
Bedasarkan Konvensi Hak Anak, setiap anak memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh semua pihak, tak terkecuali pelaku usaha. Setiap dunia usaha pasti melakukan hubungan dengan anak-anak sebagai konsumer, anak dari pekerja, anak
sebagai calon pekerja di masa depan.
Oleh karena itu, ECPAT Indonesia bersama aliansi Down to Zero membuat Panduan tentang bagaimana cara sektor swasta berperdan dalam mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak.
Sulit dipungkiri bahwa di masa depan tidak ada bangsa yang dapat bersembunyi dari arus tanpa batas di era globalisasi. Era dimana pergaulan dunia semakin terbuka lebar yang bukan saja membawa keuntungan, namun juga diikuti dengan dampak yang sulit dikendalikan. Masa depan menjadi semakin sulit ditebak dan terkadang terjadi diluar dugaan sehingga memberikan kejutan-kejutan yang mengancam kehidupan masyarakat baik dari dimensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Arus lintas batas di era globalisasi pun masuk dalam ranah-ranah yang sulit dikendalikan, termasuk pornografi yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga anak-anak. Bahkan, pornografi anak menjadi ladang bisnis yang menjanjikan keuntungan yang besar sehingga anak-anak kerap dijadikan target baik sebagai objek maupun sebagai konsumen. Maraknya pornografi yang melibatkan anak-anak ini tidak terlepas dari pengaruh internet dan pengaruh media sosial yang menggandrungi kehidupan anak-anak.
Meskipun belum tersedia data secara global, namun beberapa lembaga yang melakukan pendataan menemukan pornografi yang melibatkan anak-anak meningkat secara tajam. The NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children) Cybertipline, lembaga yang berada di Amerika Serikat dan menangani laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber memaparkan, telah lebih dari 7,5 juta laporan eksploitasi seksual anak di ranah siber tercatat sejak tahun 1998. Menariknya, laporan meningkat tajam sejak tahun 2015 dengan jumlah laporan mencapai sekitar 4,4 juta atau lebih dari separuhnya. Pada tahun 2016, INHOPE, asosiasi pengaduan
konten melalui internet, menemukan bahwa terdapat 8,4 juta URL/situs yang mengandung konten pornografi anak dan tersebar di seluruh dunia.
Terdapat juga indikasi bahwa konten pornografi anak diedarkan oleh pelaku melalui platform yang lebih tersembunyi, seperti jaringan berbagi file online (termasuk peer-to-peer) atau melalui ‘Dark Net’ atau teknik perangkat lunak yang di enkripsi. Dalam konteks Indonesia, anak-anak Indonesia mengalami dua hal yaitu menjadi target kejahatan pornografi dan terpapar pornografi. Ditemukan sejumlah fakta bahwa anak-anak di Indonesia dijadikan objek pornografi baik oleh pelaku kejahatan yang tidak terorganisir maupun oleh pelaku kejahatan yang terorganisir untuk dikomersialisasikan. Sebut saja kasus
Tjandra di Surabaya yang berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 gambar yang mengandung konten pornografi anak yang dia dapat melalui media sosial yang kemudian diketahui bahwa beliau menyebarkan dan memperjual belikan gambar-gambar tersebut ke jaringan pedofil internasional.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anakk menginisiasi lahirnya Desa/Kelurahan Bebas Pornografi
anak. Desa/Kelurahan Bebas Pornografi anak adalah suatu kawasan desa/ kelurahan yang pemerintah, penduduk, dan pihak yang berkepentingan memiliki komitmen dan program konkret dan berkelanjutan dalam mencegah dan menanggulangi pornografi anak.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak merupakan sebuah bentuk perilaku tidak hanya dimaknai sebagai hubungan seksual biasa tetapi juga merupakan serangan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak yang menimbulkan perlukaan pada organ seksual, menimbulkan dampak psikologis pada korban dan bahkan menimbulkan luka atau lecet pada organ tubuh lainnya hingga menimbulkan kematian. Agresiftas seksual anak memiliki pola tidak sama dengan orang dewasa, sebagian besar kekerasan seksual yang dilakukan anak, dilakukan secara berkelompok. Eskalasi seksual tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga di perdesaan bahkan di pedalaman sekalipun. Faktor yang paling dominan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap terjadinya kekerasan seksual adalah paparan pornografi yang dialami oleh anak. Faktor-faktor lain tidak bisa diangap remeh yaitu pengaruh teman sebaya, minimnya pendidikan dalam memanfaatkan bahaya internet pada anak, terbatasnya pengetahuan orang tua dan guru dalam melindungi anakanak dari bahaya internet.
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakECPAT Indonesia
sebagai sebuah jaringan organisasi dan individu yang konsern terhadap penghapusan eksploitasi seksual komeridal terhadap anak (ESKA), ECPAT berharap agar masyarakat dunia dapat menjamin bahwa anak-anak d seluruh dunia terbebas dari semua bentuk ekploitasi
Eksploitasi seksual pada anak online adalah sebuah masalah global yang berkembang dengan cepat dan membutuhkan sebuah respon yang komprehensif.
ECPAT bekerja untuk meningkatkan pengetahuan dan membangun kapasitas para anggotanya dan para pemangku kepentingan lain dalam memerangi isu eksploitasi
seksual pada anak online tersebut. Agar dapat secara efektif bekerja pada sebuah solusi, yang menjadi titik awal adalah agar semua pemangku kepentingan mengenali apa yang menjadi masalah tersebut. Setidaknya, hal ini membutuhkan sebuah
pemahaman dasar tentang berbagai perwujudan eksploitasi seksual pada anak online tersebut dan bagaimana para pelaku menjadikan anak-anak sebagai korban. Disamping itu, penting untuk menggunakan sebuah bahasa bersama ketika
mendiskusikan setiap pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah ini untuk memastikan pemahaman dan mencegah persepsi yang salah tentang sifat dan
seriusnya isu ini. Idealnya, ide-ide bersama ini juga harus ditangkap dalam kerangka kerja hukum nasional dan regional yang mengkriminalkan dan menghukum perbuatan-perbuatan seperti itu dengan sanksi yang sebanding dan disuasif.
Booklet ini berisi 3 seri lembar fakta yang terkait dengan eksploitasi seksual pada
anak online yang memberikan sumber-sumber yang mudah dan siap untuk
dipergunakan oleh setiap orang yang tertarik dengan isu ini. Seri pertama terdiri dari
lembar fakta yang menjelaskan berbagai perwujudan eksploitasi seksual pada anak
online. Seri kedua mencakup 5 kerangka kerja hukum regional dan/atau
internasional yang relevan yang memuat berbagai ketentuan tentang satu
perwujudan eksploitasi seksual pada anak online atau lebih. Terakhir, seri ketiga
terdiri dari lembar fakta Internet dan Teknologi yang menjelaskan berbagai istilah
dan alat yang relevan untuk memahami internet dan bagaimana berbagai teknologi
(berpotensi) untuk digunakan oleh para pelaku kejahatan seks anak atau orang-
orang yang berusaha untuk menghalangi para pelaku tersebut.
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHPECPAT Indonesia
Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) adalah suatu jenis kejahatan model baru yang sedang mendapat perhatian diduniasaat ini. Kejahatan ini terdiri dari Prostitusi anak, Pornografi anak, Perdagangan anak untuk tujuan seksual, Pariwisata seks anak dan perkawinan anak. Walaupun tidak
ada data yang pasti mengenai berapa jumlah korban ESKA saat ini, namun temuan beberapa organisasi cukup mengagetkan.
UNICEF Indonesia pernah melakukan penelitian tentang anak yang menjadi korban ESKA dan ditemukan ada sekitar 40.000-70.000 anak yang menjadi korban ESKA. ILO pernah melakukan penelitian tentang pelacuran anak dibeberapa kota di Indonesia dan menemukan fakta ada sekitar 24.000 anak-anak yang dilacurkan. Bahkan sejak 2005 sampai 2014, IOM Indonesia berhasil memulangkan korban perdagangan manusia ke wilayah-wilayah Indonesia sebanyak 7,193 dari
jumlah itu ditemukan sebanyak 82% adalah perempuan dan 16% dari total tersebut adalah anak-anak yang merupakan anak-anak korban perdagangan untuk tujuan seksual.
Indonesia saat ini tidak memiliki undang-undang yang khusus mengatur masalah ESKA. Undang-undang hanya memasukan ESKA secara terpisah di beberapa peraturan pidana lain, seperti contohnya UU tentang pornografi, di dalam undang-undang ini pornografi anak hanya menjadi bagian dari tindak pidana intinya yaitu pidana pornografi, begitu juga yang terdapat dalam undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, di mana perdagangan anak dengan tujuan eksploitasi
seksual hanya masuk menjadi salah satu bagian saja dalam undang-undang ini.
Pada RKUHP pada bagian Buku II sebenarnya tindak pidana ESKA sudah sebagian masuk dalam rancangannya, seperti tindak pidana pornografi anak dan tindak pidana perdagangan anak untuk tujuan seksual, pasal-pasal tersebut tersebar di beberapa bagian. Namun jika ditilik dengan lebih detil maka terhadap rumusan itu masih diperlukan penajaman definisi-definisi terkait ESKA. Baik yang sesuai dengan Undang-Undang khusus yang telah ada, juga dari instrumen Internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia, agar rumusan dalam rancangan KUHP tersebut lebih baik.
ECPAT Indonesia
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Modul Smart School Online Untuk Orang Tua “Eksploitasi Seksual Anak di Ranah ...ECPAT Indonesia
Modul edukasi tentang Eksploitasi seksual anak di ranah online saat ini telah berhasil di selesaikan oleh tim penulis dari ECPAT Indonesia didalam program “Smart School Online” untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dan pemahamannya dalam menyikapi perkembangan internet saat ini. Modul ini merupakan salah satu modul dari 3 seri modul program “Smart School Online” yang melengkapi modul lainnya.
Secara khusus modul ini memberikan panduan bagi fasilitator untuk menjawab kekhawatiran orang tua, guru dan masyarakat terhadap situasi eksploitasi seksual komerisal anak di ranah online, agar fasilitator dapat berperan lebih optimal dalam mengedukasi masyarakat dengan mengedepankan upaya pencegahan dan memberikan respon yang tepat bila mendapati situasi tersebut.
Melibatkan anak dan orang muda sebagai agen perubahan (agent of change) merupakan proses yang sangat kompleks sekaligus menantang karena harus merubah peranan tradisional anak sebagai obyek sosialisasi, elemen yang menurut dan harus tunduk pada kekuasaan dalam sistem keluarga dan masyarakat yang menjadi SUBYEK dalam menentukan hidup mereka. Struktur tradisional yang memposisikan anak sebagai OBYEK tindakan dan keputusan orang dewasa, tidak selalu memberikan hasil yang sesuai dengan kepentingan terbaik anak. Menggalang partisipasi anak dan orang muda berarti mengubah struktur kekuasaan tradisional itu . Oleh karena itu, Konvensi Hak-hak Anak (KHA) PBB memandang perlu memberikan kewajiban bagi orang dewasa untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan atau pendapat anak. Inilah yang disebut partisipasi. Anak dan orang muda zaman ini mengalami perubahan arus informasi yang sangat berbeda dengan
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di IndonesiaECPAT Indonesia
Tidak ada yang ingin anak-anak Indonesia yang disebut-sebut sebagai penerus bangsa, terjerat dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasadi sekitar mereka. nasib anak-anak negeri ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak dan masuk dalam situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). ESKA merupakan bentuk kejahatan yang menimpa anak-anak dalam bentuk pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pariwisata seks anak
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan TantangannyaECPAT Indonesia
Prostitusi dalam sejarah di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan dahulu kala, para raja-raja memiliki jumlah selir yang jumlahnya banyak dan para selir tersebut mendapatkan imbalan dari mulai uang sampai kehidupan yang nyaman yang disediakan oleh kerajaan tersebut. Pada jaman kolonial Belanda pun prostitusi ternyata makin meluas dan berkembang, banyaknya para pekerja asing yang datang ke Indonesia pada saat itu malah makin menyuburkan praktek-praktek prostitusi pada saat itu dan ditambah dengan peraturan yang dikeluarkan oleh kolonial Belanda pada saat itu yang melarang pendatang asing untuk menikah dengan perempuan lokal Pada saat ini, praktik prostitusi atau pelacuran dilakukan secara gelap. Meski dianggap sebagai kejahatan moral, aktivitas prostitusi di Indonesia tersebar luas. Unicef memperkirakan, sebanyak 30% pelacur perempuan di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Tak hanya itu, banyak mucikari yang masih berusia remaja. Akhir-akhir ini bahkan marak pemberitaan tentang artis-artis Indonesia yang juga bekerja di sektor prostitusi. Penyebaran lokalisasi di Indonesia hingga tahun 2014, data Kemensos menyebutkan dari 161 lokalisasi di Indonesia, baru 23 di antaranya yang ditutup. Seiring dengan perkembangan teknologi, prostitusi pun sekarang bisa diakses melalui dunia online atau internet atau yang sekarang disebut dengan prostitusi online, hal inilah yang sekarang marak terjadi dan menjadi fenomena baru didalam bisnis prostitusi.
4. Dunia Pariwisata dalam Perlindungan Anak - ECPAT IndonesiaECPAT Indonesia
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiECPAT Indonesia
Buku Panduan ini disusun sebagai bahan untuk memperkuat kapasitas dan pemahaman dalam mencegah dan menanggulangi eksploitasi terhadap anak yang berpotensi terjadi di wisata perdesaan.
Situasi eksploitasi anak di destinasi wisata merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu atau terorganisir untuk memanfaatkan anak-anak yang berada di destinasi wisata untuk pemenuhan ekonomi maupun seksual. Kejahatan ini secara terselubung terjadi di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu perspektif kolaborasi sehingga situasi fenomena ini lebih disadari oleh masyarakat, dan tercipta upaya kreatif dan menarik dalam memerangi eksploitasi anak di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Diharapkan Buku Panduan ini diharapkan dapat membantu komunitas perlindungan anak dan pariwisatas setempat, khususnya PATBM dan Pokdarwis, dalam memfasilitasi pelatihan, pertemuan-pertemuan dan pendampingan untuk perlindungan anak dari eksploitasi di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Seri buku literasi digital eksploitasi seksual pada anak online, sebuah pem...literasi digital
Eksploitasi seksual pada anak online kini merupakan masalah global yang berkembang dengan
cepat dan butuh respons yang komprehensif. Butuh pemahaman bersama dari seluruh pemangku
kepentingan untuk mencegah banyak persepsi yang salah tentang sifat dan isu ini. Seri lembar fakta ini memberikan sumber-sumber yang mudah dan siap digunakan oleh semua pihak yang tertarik dengan isu ini.
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)ICT Watch
Dokumentasi #LiveStreaming Rilis Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet https://www.youtube.com/watch?v=Hv161zrCMuo
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar).
I. LATAR BELAKANG 1
II. KOMITMEN GLOBAL SEBAGAI PEDOMAN DASAR 3
A. Landasan Hukum Dan Kebijakan 5
B. Mekanisme Pelaporan 7
C. Perhatian Utama Dalam Skala Nasional 11
D. Program Pendidikan Dan Kesadaran Masyarakat 12
III. ANAK DAN AKTIVITAS DI DUNIA MAYA 13
A. Aktivitas Anak Online Di Indonesia 16
B. Perangkat Yang Digunakan Saat Berinternet 17
C. Motivasi Menggunakan Internet Dan Aktivitas Online 17
IV. KONTEN YANG MENYALAHGUNAKAN ANAK 19
A. Definisi 19
B. Naungan Hukum 22
C. Kajian Regional 23
D. Ketersediaan Alat Dan Instrumen Untuk Investigasi 25
E. Pelatihan Penggunaan Alat Dan Membangun Awareness
(Terhadap Konten Yang Menyalahgunakan Anak) 27
F. Format/Prosedur Pelaporan 29
G. Strategi (Termasuk Hukum) Berkaitan Dengan
Pengurangan Konten Yang Menyalahgunakan Anak 30
V. DAFTAR PRIORITAS NASIONAL DALAM HAL PERLINDUNGAN
ANAK DI RANAH MAYA 34
A. Peta Komprehensif Kebijakan Yang Sudah Tersedia Terkait
Perlindungan Anak Di Ranah Maya 34
B. Fokus Utama Perlindungan Anak Di Ranah Maya Dalam
Skala Nasional 36
C. Program Dan Aktivitas Pemberdayaan Dan
Pendidikan Publik 36
D. Usulan Alur Mekanisme Pelaporan Yang Spesifik 38
E. Pemberdayaan Anak
Menentang Pornografi dan Eksploitasi Terhadap AnakECPAT Indonesia
sebagai sebuah jaringan organisasi dan individu yang konsern terhadap penghapusan eksploitasi seksual komeridal terhadap anak (ESKA), ECPAT berharap agar masyarakat dunia dapat menjamin bahwa anak-anak d seluruh dunia terbebas dari semua bentuk ekploitasi
Eksploitasi seksual pada anak online adalah sebuah masalah global yang berkembang dengan cepat dan membutuhkan sebuah respon yang komprehensif.
ECPAT bekerja untuk meningkatkan pengetahuan dan membangun kapasitas para anggotanya dan para pemangku kepentingan lain dalam memerangi isu eksploitasi
seksual pada anak online tersebut. Agar dapat secara efektif bekerja pada sebuah solusi, yang menjadi titik awal adalah agar semua pemangku kepentingan mengenali apa yang menjadi masalah tersebut. Setidaknya, hal ini membutuhkan sebuah
pemahaman dasar tentang berbagai perwujudan eksploitasi seksual pada anak online tersebut dan bagaimana para pelaku menjadikan anak-anak sebagai korban. Disamping itu, penting untuk menggunakan sebuah bahasa bersama ketika
mendiskusikan setiap pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah ini untuk memastikan pemahaman dan mencegah persepsi yang salah tentang sifat dan
seriusnya isu ini. Idealnya, ide-ide bersama ini juga harus ditangkap dalam kerangka kerja hukum nasional dan regional yang mengkriminalkan dan menghukum perbuatan-perbuatan seperti itu dengan sanksi yang sebanding dan disuasif.
Booklet ini berisi 3 seri lembar fakta yang terkait dengan eksploitasi seksual pada
anak online yang memberikan sumber-sumber yang mudah dan siap untuk
dipergunakan oleh setiap orang yang tertarik dengan isu ini. Seri pertama terdiri dari
lembar fakta yang menjelaskan berbagai perwujudan eksploitasi seksual pada anak
online. Seri kedua mencakup 5 kerangka kerja hukum regional dan/atau
internasional yang relevan yang memuat berbagai ketentuan tentang satu
perwujudan eksploitasi seksual pada anak online atau lebih. Terakhir, seri ketiga
terdiri dari lembar fakta Internet dan Teknologi yang menjelaskan berbagai istilah
dan alat yang relevan untuk memahami internet dan bagaimana berbagai teknologi
(berpotensi) untuk digunakan oleh para pelaku kejahatan seks anak atau orang-
orang yang berusaha untuk menghalangi para pelaku tersebut.
Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam RKUHPECPAT Indonesia
Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial Anak dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) adalah suatu jenis kejahatan model baru yang sedang mendapat perhatian diduniasaat ini. Kejahatan ini terdiri dari Prostitusi anak, Pornografi anak, Perdagangan anak untuk tujuan seksual, Pariwisata seks anak dan perkawinan anak. Walaupun tidak
ada data yang pasti mengenai berapa jumlah korban ESKA saat ini, namun temuan beberapa organisasi cukup mengagetkan.
UNICEF Indonesia pernah melakukan penelitian tentang anak yang menjadi korban ESKA dan ditemukan ada sekitar 40.000-70.000 anak yang menjadi korban ESKA. ILO pernah melakukan penelitian tentang pelacuran anak dibeberapa kota di Indonesia dan menemukan fakta ada sekitar 24.000 anak-anak yang dilacurkan. Bahkan sejak 2005 sampai 2014, IOM Indonesia berhasil memulangkan korban perdagangan manusia ke wilayah-wilayah Indonesia sebanyak 7,193 dari
jumlah itu ditemukan sebanyak 82% adalah perempuan dan 16% dari total tersebut adalah anak-anak yang merupakan anak-anak korban perdagangan untuk tujuan seksual.
Indonesia saat ini tidak memiliki undang-undang yang khusus mengatur masalah ESKA. Undang-undang hanya memasukan ESKA secara terpisah di beberapa peraturan pidana lain, seperti contohnya UU tentang pornografi, di dalam undang-undang ini pornografi anak hanya menjadi bagian dari tindak pidana intinya yaitu pidana pornografi, begitu juga yang terdapat dalam undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, di mana perdagangan anak dengan tujuan eksploitasi
seksual hanya masuk menjadi salah satu bagian saja dalam undang-undang ini.
Pada RKUHP pada bagian Buku II sebenarnya tindak pidana ESKA sudah sebagian masuk dalam rancangannya, seperti tindak pidana pornografi anak dan tindak pidana perdagangan anak untuk tujuan seksual, pasal-pasal tersebut tersebar di beberapa bagian. Namun jika ditilik dengan lebih detil maka terhadap rumusan itu masih diperlukan penajaman definisi-definisi terkait ESKA. Baik yang sesuai dengan Undang-Undang khusus yang telah ada, juga dari instrumen Internasional yang telah di ratifikasi oleh Indonesia, agar rumusan dalam rancangan KUHP tersebut lebih baik.
ECPAT Indonesia
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Modul Smart School Online Untuk Orang Tua “Eksploitasi Seksual Anak di Ranah ...ECPAT Indonesia
Modul edukasi tentang Eksploitasi seksual anak di ranah online saat ini telah berhasil di selesaikan oleh tim penulis dari ECPAT Indonesia didalam program “Smart School Online” untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pengetahuan dan pemahamannya dalam menyikapi perkembangan internet saat ini. Modul ini merupakan salah satu modul dari 3 seri modul program “Smart School Online” yang melengkapi modul lainnya.
Secara khusus modul ini memberikan panduan bagi fasilitator untuk menjawab kekhawatiran orang tua, guru dan masyarakat terhadap situasi eksploitasi seksual komerisal anak di ranah online, agar fasilitator dapat berperan lebih optimal dalam mengedukasi masyarakat dengan mengedepankan upaya pencegahan dan memberikan respon yang tepat bila mendapati situasi tersebut.
Melibatkan anak dan orang muda sebagai agen perubahan (agent of change) merupakan proses yang sangat kompleks sekaligus menantang karena harus merubah peranan tradisional anak sebagai obyek sosialisasi, elemen yang menurut dan harus tunduk pada kekuasaan dalam sistem keluarga dan masyarakat yang menjadi SUBYEK dalam menentukan hidup mereka. Struktur tradisional yang memposisikan anak sebagai OBYEK tindakan dan keputusan orang dewasa, tidak selalu memberikan hasil yang sesuai dengan kepentingan terbaik anak. Menggalang partisipasi anak dan orang muda berarti mengubah struktur kekuasaan tradisional itu . Oleh karena itu, Konvensi Hak-hak Anak (KHA) PBB memandang perlu memberikan kewajiban bagi orang dewasa untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan atau pendapat anak. Inilah yang disebut partisipasi. Anak dan orang muda zaman ini mengalami perubahan arus informasi yang sangat berbeda dengan
Eksploitasi Seksual Komersia Anak di IndonesiaECPAT Indonesia
Tidak ada yang ingin anak-anak Indonesia yang disebut-sebut sebagai penerus bangsa, terjerat dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasadi sekitar mereka. nasib anak-anak negeri ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak dan masuk dalam situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). ESKA merupakan bentuk kejahatan yang menimpa anak-anak dalam bentuk pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan pariwisata seks anak
Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia dan TantangannyaECPAT Indonesia
Prostitusi dalam sejarah di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan dahulu kala, para raja-raja memiliki jumlah selir yang jumlahnya banyak dan para selir tersebut mendapatkan imbalan dari mulai uang sampai kehidupan yang nyaman yang disediakan oleh kerajaan tersebut. Pada jaman kolonial Belanda pun prostitusi ternyata makin meluas dan berkembang, banyaknya para pekerja asing yang datang ke Indonesia pada saat itu malah makin menyuburkan praktek-praktek prostitusi pada saat itu dan ditambah dengan peraturan yang dikeluarkan oleh kolonial Belanda pada saat itu yang melarang pendatang asing untuk menikah dengan perempuan lokal Pada saat ini, praktik prostitusi atau pelacuran dilakukan secara gelap. Meski dianggap sebagai kejahatan moral, aktivitas prostitusi di Indonesia tersebar luas. Unicef memperkirakan, sebanyak 30% pelacur perempuan di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Tak hanya itu, banyak mucikari yang masih berusia remaja. Akhir-akhir ini bahkan marak pemberitaan tentang artis-artis Indonesia yang juga bekerja di sektor prostitusi. Penyebaran lokalisasi di Indonesia hingga tahun 2014, data Kemensos menyebutkan dari 161 lokalisasi di Indonesia, baru 23 di antaranya yang ditutup. Seiring dengan perkembangan teknologi, prostitusi pun sekarang bisa diakses melalui dunia online atau internet atau yang sekarang disebut dengan prostitusi online, hal inilah yang sekarang marak terjadi dan menjadi fenomena baru didalam bisnis prostitusi.
4. Dunia Pariwisata dalam Perlindungan Anak - ECPAT IndonesiaECPAT Indonesia
Materi dalam Talkshow : Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19. Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah sebagai refleksi upaya perlindungan anak di wilayah pariwisata yang selama ini telah dilakukan, serta agenda kedepan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
KPPPA bekerjasama dengan ECPAT Indonesia sejak tahun 2018, telah berhasil menyusun Pedoman Desa/Kelurahan Bebas dari Pornografi. Pedoman tersebut disusun berdasarkan hasil assesmen ditingkat kelurahan/desa, yang melibatkan stakeholder desa/kelurahan, organisasi masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hingga ditahun 2019 KPPPA dengan ECPAT Indonesia telah membentuk dan mendampingi 9 Desa/Kelurahan yang telah mendeklarasikan menjadi Desa bebas dari pornografi anak. Dimana Desa-Desa tersebut bersama masyarakat bahu membahu membangun sistem pencegahan dan penanganan serta perlindungan anak dari pornografi.
Berdasarkan pada keberhasilan tersebut KPPPA dengan ECPAT Indonesia kembali akan melanjutkan program kerjasama di tahun 2021 dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Pornografi anak di Indonesia, dengan membangun sistem perlindungan anak dari bahaya pornografi berbasis Desa/Kelurahan.
Buku Panduan Wisata Perdesaan Ramah Anak Bebas EksplotasiECPAT Indonesia
Buku Panduan ini disusun sebagai bahan untuk memperkuat kapasitas dan pemahaman dalam mencegah dan menanggulangi eksploitasi terhadap anak yang berpotensi terjadi di wisata perdesaan.
Situasi eksploitasi anak di destinasi wisata merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu atau terorganisir untuk memanfaatkan anak-anak yang berada di destinasi wisata untuk pemenuhan ekonomi maupun seksual. Kejahatan ini secara terselubung terjadi di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu perspektif kolaborasi sehingga situasi fenomena ini lebih disadari oleh masyarakat, dan tercipta upaya kreatif dan menarik dalam memerangi eksploitasi anak di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Diharapkan Buku Panduan ini diharapkan dapat membantu komunitas perlindungan anak dan pariwisatas setempat, khususnya PATBM dan Pokdarwis, dalam memfasilitasi pelatihan, pertemuan-pertemuan dan pendampingan untuk perlindungan anak dari eksploitasi di destinasi wisata, khususnya wisata perdesaan.
Seri buku literasi digital eksploitasi seksual pada anak online, sebuah pem...literasi digital
Eksploitasi seksual pada anak online kini merupakan masalah global yang berkembang dengan
cepat dan butuh respons yang komprehensif. Butuh pemahaman bersama dari seluruh pemangku
kepentingan untuk mencegah banyak persepsi yang salah tentang sifat dan isu ini. Seri lembar fakta ini memberikan sumber-sumber yang mudah dan siap digunakan oleh semua pihak yang tertarik dengan isu ini.
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)ICT Watch
Dokumentasi #LiveStreaming Rilis Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet https://www.youtube.com/watch?v=Hv161zrCMuo
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar).
I. LATAR BELAKANG 1
II. KOMITMEN GLOBAL SEBAGAI PEDOMAN DASAR 3
A. Landasan Hukum Dan Kebijakan 5
B. Mekanisme Pelaporan 7
C. Perhatian Utama Dalam Skala Nasional 11
D. Program Pendidikan Dan Kesadaran Masyarakat 12
III. ANAK DAN AKTIVITAS DI DUNIA MAYA 13
A. Aktivitas Anak Online Di Indonesia 16
B. Perangkat Yang Digunakan Saat Berinternet 17
C. Motivasi Menggunakan Internet Dan Aktivitas Online 17
IV. KONTEN YANG MENYALAHGUNAKAN ANAK 19
A. Definisi 19
B. Naungan Hukum 22
C. Kajian Regional 23
D. Ketersediaan Alat Dan Instrumen Untuk Investigasi 25
E. Pelatihan Penggunaan Alat Dan Membangun Awareness
(Terhadap Konten Yang Menyalahgunakan Anak) 27
F. Format/Prosedur Pelaporan 29
G. Strategi (Termasuk Hukum) Berkaitan Dengan
Pengurangan Konten Yang Menyalahgunakan Anak 30
V. DAFTAR PRIORITAS NASIONAL DALAM HAL PERLINDUNGAN
ANAK DI RANAH MAYA 34
A. Peta Komprehensif Kebijakan Yang Sudah Tersedia Terkait
Perlindungan Anak Di Ranah Maya 34
B. Fokus Utama Perlindungan Anak Di Ranah Maya Dalam
Skala Nasional 36
C. Program Dan Aktivitas Pemberdayaan Dan
Pendidikan Publik 36
D. Usulan Alur Mekanisme Pelaporan Yang Spesifik 38
E. Pemberdayaan Anak
Riset disrupting harm sendiri merupakan riset yang dilakukan oleh ECPAT Internasional, UNICEF, dan Interpol dengan bekerjasama dengan ECPAT Indonesia dengan subjek penelitian yaitu keselamatan anak di ranah daring.
Buku Panduan Terminologi Perlindungan Anak dari EksploitasiECPAT Indonesia
Istilah dan bentuk eksploitasi seksual dan/atau eksploitasi ekonomi terhadap anak terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Buku panduan ini mengadaptasi terminologi Eksploitasi di tingkat global yaitu “Terminology Guidelines for The Protection of Children From Sexual Exploitation and Sexual Abuse” yang diterbitkan oleh ECPAT International dan disesuaikan dengan peraturan perundangan Indonesia dan pengalaman pelaku perlindungan anak, yang disesuaikan dengan peraturan perundangan Indonesia dan pengalaman pelaku perlindungan anak, diharapkan dapat menambah referensi/rujukan untuk memahami dinamika eksploitasi yang terjadi terhadap anak.
Semoga panduan ini berkontribusi signifikan dalam upaya penegakan hukum dan pengembangan kebijakan perlindungan anak untuk memastikan Anak Indonesia terbebas dari segala bentuk eksploitasi.
Buku yang memuat tentang terminologi/istilah seputar eksploitasi yang terjadi pada anak. Dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Regional Conference of Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitat...ECPAT Indonesia
Anda akan menemukan laporan konferensi regional tahunan tentang ‘memerangi kekerasan terhadap anak’, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Prancis dan ECPAT Indonesia.
Konferensi ini setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada hakim, lembaga penegak hukum, dan LSM dari berbagai negara untuk bertemu, berbagi pengalaman, saling belajar dan membuat jaringan yang kuat.
Laporan Hasil Pemantauan di Jabodebek 2021-2022.pdfECPAT Indonesia
Sejak tahun 2021 ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Bandungwangi untuk melakukan asesmen terkait dengan kasus eksploitasi seksual anak dalam prostitusi yang terjadi di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi). Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran pola, modus, besaran jumlah kasus dan profile korban eksploitasi seksual anak dalam prostitusi termasuk kerentanannya mengalami kekerasan. Di Tahun 2022 kami kembali melakukan asesmen, sehingga laporan ini merupakan temuan yang kami persembahkan kepada anak-anak Indonesia, masyarakat, pemerintah, Lembaga perlindungan anak, dan pihak-pihak yang peduli dengan upaya perlindungan anak dari eksploitasi seksual. Semoga hasil temuan ini bermanfaat menjadi refleksi, acuan data untuk upaya penghapusan segala bentuk eksploitasi seksual anak di Indonesia.
Laporan IWF Mengenai AI dan Kekerasan Seksual AnakECPAT Indonesia
Internet Watch Foundation (IWF) telah menyelidiki laporan pertamanya tentang materi pelecehan seksual terhadap anak (CSAM) yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI).
Investigasi awal mengungkap dunia teknologi teks-ke-gambar. Singkatnya, Anda mengetikkan apa yang ingin Anda lihat di generator online dan perangkat lunak akan menghasilkan gambar.
Teknologinya cepat dan akurat – gambar biasanya sangat cocok dengan deskripsi teks. Banyak gambar dapat dihasilkan sekaligus – Anda hanya dibatasi oleh kecepatan komputer Anda. Anda kemudian dapat memilih favorit Anda; mengeditnya; arahkan teknologi untuk menghasilkan apa yang Anda inginkan.
ECPAT Indonesia adalah jaringan nasional dari 22 organisasi dan 2 individu
dari 11 provinsi di Indonesia untuk menentang Eksploitasi Seksual Anak (ESA),
meliputi eksploitasi seksual anak dalam prostitusi, perdagangan anak untuk
tujuan seksual, eksploitasi seksual anak di sektor pariwisata dan perjalanan,
eksploitasi seksual anak online, dan perkawinan anak.
ECPAT Indonesia membuat Catatan Akhir Tahun (CATAHU) tahun 2022 yang merupakan bentuk tanggung jawab ECPAT Indonesia kepada publik di wilayah Indonesia dan secara khusus ditujukan kepada donor, lembaga jaringan, stakeholder yang selama ini bekerja bersama-sama untuk memperjuangkan hak-hak anak.
Pada akhir tahun 2022 kemarin, Cianjur telah dilanda gempa bumi sekuat 5,6 SR yang telah menewaskan ratusan orang dan ribuan orang lainnya luka-luka. Gempa ini pun terus berlanjut dengan beberapa gempa susulan yang membuat semakin banyaknya korban berjatuhan, tak terkecuali anak-anak. Kehilangan tempat tinggal, hilangnya harta dan benda, hingga kejiwaan terguncang yang menyebabkan trauma pun turut dirasakan. Melihat hal ini, ECPAT Indonesia bekerjasama dengan Kinder Nothilfe Germany memutuskan untuk membuat gerakan bersama yang bertujuan untuk menolong korban -terkhusus anak dan perempuan- di Cianjur.
Bagian ini akan menjelaskan tentang internet dan cara kerjanya serta media sosial. Termasuk di dalamnya resiko keamanan bagi anak di dunia online (daring) dan bagaimana menghindari resiko tersebut. Pada bagian akhir akan dijelaskan tentang bagaimana melakukan pelaporan jika ditemukan situs / media sosial yang mengandung konten negatif yang berbahaya bagi anak, serta beberapa fitur/tools yang dapat mengurangi resiko anak terpapar konten negatif. Praktek untuk penggunaannya dilakukan agar dapat dipahami langkah-langkah penggunaannya secara sistematis
modul ini dibuat agar para orang tua, komunitas dan masyarakat luas dapat mengetahui secara mendalam tentang bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak melalui media daring, peraturan yang berlaku di Indonesia serta hal-hal yang dapat dilakukan mencegah bahaya eskploitasi seksual melalui media daring terjadi pada anak-anak. Sehingga diharapkan, orang tua, komunitas dan masyarakat dapat lebih berperan aktif dalam melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi seksual anak melalui media daring.
Tips JAGO Agar Privasi Anak Tetap Aman di Media Sosial ECPAT Indonesia
Sosial media menjadi tempat bermain yang asik dan seru untuk anak-anak, Namun terkadang anak belum tahu bagaimana mereka melindungi privasi mereka di media sosial.
Hal ini tentunya berisiko bagi keamanan anak. Untuk itu, kita juga perlu meningkatkan kewaspadaan dan sikap yang bijak dalam menggunakan media digital. Berikut adalah tips JAGO agar privasi anak tetap aman di Media Sosial.
Waspada Media Sosial Menjadi Sarana Eksploitasi Seksual AnakECPAT Indonesia
Sosial media menjadi salah satu paltfom yang sangat digemari anak untuk menghabiskan waktu luangnya. Mereka bisa berinteraksi dengan teman, mengetahui informasi terkini, dan mendapatkan hiburan.
Intensitas penggunaan sosial media yang tinggi, membuat anak rentan terhadap eksploitasi seksual di dunia online. Yuk kenali eksploitasi seksual anak online melalui infografis ini supaya kita lebih waspada dan tidak mudah menjadi korbannya.
Apakah kamu pernah mengalami eksploitasi seksual anak online? Langkah apa sih yang kamu lakukan supaya terhindar dari kejahatan ini? Yuk share komentar kamu dipostingan ini.
Dunia digital saat ini semakin berkembang dengan pesat, semua kegiatan yang dilakukan pasti selalu melibatkan internet didalamnya. Hal ini membuat dunia juga semakin cepat mengalami perubahan.
Melihat kondisi tersebut, generasi muda juga bisa mengambil peran loh! Ayo kita kejar sebelum ketinggalan! Daripada hanya menjadi penikmat saja, kita juga bisa berpartisipasi dalam membuat konten positif. Nah, ada beberapa tips nih untuk para kreator muda agar tetap aman saat membuat konten! Kalau kamu paling suka buat konten tentang apa? Kasih komentar dibawah yuk!
ARAH KEBIJAKAN DAK DALAM RANGKA IDENTIFIKASI DAN ANALISA USULAN DAK 2025 KALT...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKERASAN SEKSUAL
1. 1
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI
SEKSUAL DAN KEKERASAN SEKSUAL
2. 2
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
TERMINOLOGI DAN SEMANTIK
Kelompok Kerja Antar Lembaga tentang
Eksploitasi Seksual Anak
3. 3
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan
Kekerasan Seksual
Diadopsi oleh Kelompok Kerja Antar Lembaga di Luxembourg, 28 Januari
2016
Teks ditulis oleh Susanna Greijer dan Jaap Doek dan disetujui oleh Kelompok
Kerja Antar Lembaga
ISBN: 978-92-61-21491-3 (versi cetak)
978-92-61-21501-9 (versi elektronik)
Asli bahasa Inggris, cetakan pertama, Juni 2016
Alih Bahasa Indonesia, cetakan Pertama, Januari 2019
Diterjemahkan oleh : Ramlan
Editor : Ahmad Sofian
Hak Cipta ECPAT International, bersama dengan ECPAT Luxembourg
Karya ini berada dibawah izin Creative Commons Attribution-NonCommercial-
NoDerivatives 4.0 Izin Internasional. Untuk melihat salinan izin ini, kunjungi
http://creativecommons.org/licenses/bync-nd/4.0/.
Izin untuk menterjemahkan karya ini harus diperoleh melalui
ECPAT International
328/1 Phayathai Road
Rachathewi, Bangkok 10400
Thailand
Tel: +66 2 215 3388
Fax: +66 2 215 8272
Email: info@ecpat.net
Website: www.ecpat.net
4. 4
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Ucapan Terima Kasih
Isi terbitan ini dibentuk dari serangkaian diskusi dengan Kelompok Kerja Antar
Lembaga (Interagency Working Group – IWG) dan masukan dari organisasi-organisasi
yang berpartisipasi dalam rangkaian diskusi tersebut, dan ucapan terima kasih khusus
diberikan kepada orang-orang berikut ini: Maud de Boer-Buquicchio (Pelapor Khusus
PBB tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak) dan anggota
staf terkait dari Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Benyam
Mezmur (Komite Afrika untuk Hak dan Kesejahteraan Anak), Beatrice Schulter dan
Anita Goh (Child Rights Connect), Gioia Scappucci (Dewan Sekretariat Eropa), Anete
Paavilainen (Europol), Sarah Jane Mellor (Asosiasi Internasional Hotline Internet –
INHOPE), Victor Giorgi (Instituto Interamericano del niño, la niña y adolescentes (OEA),
Sandra Marchenko (Pusat Internasional untuk Anak-Anak Hilang dan Dieksploitasi),
Yoshie Noguchi (Kantor Buruh Internasional), Carla Licciardello (Uni Telekomunikasi
Internasional), Michael Moran (INTERPOL), Nancy Zuniga (Plan International),
Karen Flanagan (Save the Children Australia dan International), Elda Moreno (Kantor
Perwakilan Khusus Sekretaris Jendral PBB untuk Kekerasan padaAnak), Olga Khazova
dan Kirsten Sandberg (Komite PBB untuk Hak Anak), Clara Sommarin (UNICEF).
Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada para pengamat ahli proyek ini yang telah
berkontribusi melalui penyusunan draft saran dan kata sambutan ahli, dan secara
khusus kepada: Rebecca Meiksin dan Ana Maria Buller (London School of Hygiene &
Tropical Medicine), Lucie Shuker (Universitas Bedfordshire, The International Centre:
Researching child sexual exploitation, violence and traficking), Anastasia Anthopoulos
and Florence Bruce (Oak Foundation), John Carr (penasehat ahli), Milena Grillo
(Fundación Paniamor), Ariane Couvreur (ECPAT Belgia).
Dukungan finansial dari ECPAT Luksemburg dan koordinasi, penelitian dan penyusunan
draft Panduan Bahasa Inggris, Prancis dan Spanyol oleh koordinator proyek, Dr.
Susanna Greijer, membuat proyek ini mungkin untuk dilakukan dan layak untuk
disebutkan di sini. Professor Jaap Doek telah memberikan bimbingan dan dukungan
yang sangat berarti selama proses ini. Peserta pelatihan ECPAT Teresa Cruz Olano,
Déborah Diallo, dan Emilie Saey juga layak untuk mendapatkan ucapan terima kasih
atas bantuan mereka dalam penelitian tersebut dan dalam menyusun draftterbitan ini
dalam versi bahasa Spanyol dan Prancis.
Dewan Eropa juga telah berkontribusi pada draft awal bahasa Prancis melalui
layanan penerjemahannya dan ECPAT Internasional telah membuat terjemahan awal
bahasa Spanyol serta pengeditan versi akhirnya mungkin untuk dilakukan. Kelompok
Telekomunikasi Internasional dan UNICEF telah menjadi tuan rumah pertemuan
Kelompok Kerja Antar Lembaga di Jenewa dan Kelompok Telekomunikasi Internasional
juga telah menyediakan template untuk penerbitan karya ini sebagai sebuah buku
elektronik, dan ECPAT Luxembourg dan Pemerintah Luxembourg telah membuat
pertemuan akhir Kelompok Kerja Antar Lembaga mungkinn untuk dilakukan.
5. 5
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Prakata
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam usaha-usaha kita untuk
menghormati, melindungi dan mengimplementasikan hak-hak anak. Agar komunikasi
dengan dan antara anak, orang tua, aparat pemerintah, profesional dan relawan yang
bekerja dengan atau untuk anak bisa dilakukan dengan seefektif mungkin, maka kita
harus menggunakan berbagai istilah dan konsep yang dipahami oleh semua aktor ini
dan mereka anggap lebih menghargai.
Selama dekade yang lalu, orang yang bekerja untuk pencegahan dan penghapusan
eksploitasi seksual dan kekerasan seksual telah berjibaku dengan istilah-istilah baru
seperti grooming, Sexting dan live streaming kekerasan seksual anak. Pada saat yang
sama, istilah-istilah seperti pelacuran anak dan pornografi anak telah semakin dikritisi
(termasuk, pada saat itu, oleh para korban kejahatan yang sangat keji ini) dan banyak
diganti dengan istilah-istilah alternatif yang dianggap tidak begitu membahayakan atau
memberi stigma pada anak tersebut. Belum jelas apakah dan bagaimana hal-hal baru
dan perubahan-perubahan terminologi ini seharusnya mengarah pada pendekatan-
pendekatan atau aksi-aksi yang berbeda, dan telah ada keprihatinan yang lebih besar
bahwa sejumlah perubahan pada istilah-istilah yang sudah ada (khususnya istilah-
istilah hukum yang telah ditetapkan) bisa mengakibatkan kebingungan atau kurangnya
pemahaman, dan bahkan menghalangi pencegahan dan penghapusan eksploitasi
seksual anak secara efektif, kecuali jika perubahan ini terjadi secara bersamaan oleh
banyak aktor perlindungan anak.
Pada inisiatif ECPAT, sebuah Kelompok Kerja Antar Lembaga telah dibentuk untuk
menyusun draft Panduan Terminologi untuk perlindungan anak dari eksploitasi seksual
dan kekerasan seksual. Komitmen dan masukan yang sangat berharga dari para
anggota Kelompok Kerja tersebut telah mengarah pada pengadopsian, di Luksemburg,
Panduan yang dipaparkan dalam dokumen ini (oleh karena itu disebut “Panduan
Luksemburg).
Tujuan dokumen ini adalah untuk memberi semua orang dan lembaga yang bekerja
untuk pencegahan dan penghapusan semua bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan
seksual anak sebuah panduan untuk pemahaman dan penggunaan istilah dan konsep
yang berbeda yang mungkin mereka temui dalam kerja mereka. Harapan kami adalah
bahwa Panduan ini akan disebarluaskan secara luas dan bahwa semua aktor akan
membiasakan diri mereka sendiri dengan arti dan kemungkinan penggunaan berbagai
istilah dan konsep yang dipaparkan dalam Panduan ini. Kami percaya bahwa dengan
melakukan hal itu, mereka akan berkontribusi pada perlindungan anak dari semua
bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual dengan lebih efektif.
Jaap E. Doek
Ketua Kelompok Kerja Antar Lembaga
6. 6
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Kelompok Kerja Antar Lembaga
Kelompok Kerja Antar Lembaga tersebut terdiri dari perwakilan dari organisasi-
organisasi berikut ini (dalam urutan alpabet):
- African Committee on the Rights and Welfare of the Child
- Child Rights Connect
- Council of Europe Secretariat
- ECPAT
- Europol
- INHOPE – The International Association of Internet Hotlines
- Instituto Interamericano del niño, la niña y adolescentes (OEA)
- International Centre for Missing and Exploited Children
- International Labour Office
- International Telecommunication Union
- INTERPOL
- Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights
- Plan International
- Save the Children International
- Special Representative of the United Nations Secretary General on Violence
against Children
- United Nations Commitee on the Rights of the Child
- United Nations Special Rapporteur on the sale of children, child prostitution and
child pornography
- United Nations Children’s Fund (UNICEF)
Pengamat proyek
- London School of Hygiene & Tropical Medicine
- Oak Foundation
- University of Bedfordshire, The International Centre: Researching child sexual
exploitation, violence and trafficking
Sanggahan
Panduan Terminologi ini merupakan rangkaian orientasi yang dapat digunakan sebagai
sebuah alat untuk meningkatkan perlindungan anak dari kekerasan seksual.Akan tetapi,
harus dicatat bahwa pandangan-pandangan yang diberikan dalam Panduan ini tidak
harus mencerminkan posisi resmi organisasi internasional yang berpartisipasi dalam
proyek tersebut atau sekretariat mereka. Baik organisasi seperti itu maupun setiap
orang yang bertindak atas nama mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
penggunaan informasi yang dimuat dalam Panduan ini. Disamping itu, harus dicatat
bahwa tidak satu pun dari organisasi-organisasi yang berpartisipasi dalam proyek
ini, atau sekretariat mereka, punya niat untuk memiliki lebih dahulu keputusan akhir
pada masa yang akan datang yang dibuat oleh badan-badan yang memerintah, yang
membuat perjanjian atau yang menafsirkan perjanjian.
7. 7
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
Prakata
Kelompok Kerja Antar Lembaga
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan
Kekerasan Seksual
Pendahuluan
Peta Jalan ke Panduan Terminologi
Panduan Terminologi
A. Anak
A.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
A.2. Pertimbangan terminologi
A.3. Istilah-istilah terkait
A.3.i Usia dewasa
A.3.ii Usia persetujuan seksual
A.3.iii Orang yang belum dewasa
A.3.iv Anak
A.3.v Remaja
A.3.vi Anak usia belasan
A.3.vii Orang muda/remaja
A.3.viii Anak dalam lingkungan online
B. Penyalahgunaan seksual terhadap anak
B.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
B.2. Instrumen yang tidak mengikat
B.3. Pertimbangan terminologi
B.4. Istilah terkait
B.4.i Serangan seksual terhadap anak
C. Kekerasan seksual anak
C.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
C.2. Instrumen yang tidak mengikat
C.3. Pertimbangan terminologi
C.4. Istilah terkait
C.4.i Inses
C.4.ii Perkosaan anak
C.4.iii Pencabulan terhadap anak
C.4.iv Sentuhan seksual terhadap anak
C.4.v Pelecehan seksual terhadap anak
C.4.vi Kekerasan seksual anak secara online
D. Eksploitasi seksual anak
D.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
D.2. Instrumen yang tidak mengikat
D
4
5
6
11
12
16
17
17
18
19
20
20
22
23
24
25
25
26
28
28
28
29
35
35
36
36
37
37
39
39
39
40
40
41
42
44
44
44
11
8. 8
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
D.3. Pertimbangan terminologi
D.4. Istilah terkait
D.4.i Eksploitasi seksual komersial anak
D.4.ii Dipesan
D.4.iii Eksploitasi seksual anak online
E. Eksploitasi seksual anak dalam/untuk pelacuran
E.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
E.2. Instrumen yang tidak mengikat
E.3. Pertimbangan terminologi
E.4. Istilah terkait
E.4.i Anak dalam (sebuah situasi) pelacuran
E.4.ii Pelacur anak
E.4.iii Pekerja seks anak
E.4.iv Anak/remaja/orang muda yang menjual seks
E.4.v Pelacuran sukarela/yang melibatkan diri sendiri
E.4.vi Seks transaksional
E.4.vii Penggunaan anak untuk pertunjukan pornografi
F. Pornografi anak
F.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
F.2. Instrumen yang tidak mengikat
F.3. Pertimbangan terminologi
F.4. Istilah terkait
F.4.i Materi kekerasan seksual anak/materi eksploitasi seksual anak
F.4.ii Materi kekerasan seksual anak yang dihasilkan komputer/secara digital
F.4.iii Gambar anak yang diseksualkan/erotika anak
F.4.iv Konten/materi seksual yang dihasilkan sendiri
F.4.v Sexting
F.4.vi (Paparan pada) konten berbahaya
F.4.vii Korupsi anak untuk tujuan seksual
G. Kekerasan seksual anak online yang disiarkan secara langsung
G.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
G.2. Pertimbangan terminologi
G.3. Istilah terkait
G.3.i Streaming kekerasan seksual anak yang disiarkan secara langsung
G.3.ii Kekerasan seksual anak yang harus dipesan
G.3.iii Pariwisata seks anak webcam/kekerasan seks anak webcam
H. Permohonan anak untuk tujuan seksual
H.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
H.2. Instrumen yang tidak mengikat
H.3. Pertimbangan terminologi
H.4. Istilah terkait
H.4.i Grooming (online/offline) untuk tujuan seksual
H.4.ii Bujuk rayu seksual anak online
H.4.iii Pemerasan seksual anak
45
47
47
49
49
51
51
51
52
53
53
54
55
55
55
56
58
60
60
61
61
65
65
67
70
71
73
74
75
76
76
77
78
78
79
79
80
80
81
81
84
84
85
85
9. 9
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
I. Eksploitasi seksual anak dalam konteks perjalanan dan pariwisata
I.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
I.2. Instrumen yang tidak mengikat
I.3. Pertimbangan terminologi
I.4. Istilah terkait
I.4.i Pariwisata seks anak
J. Penjualan anak
J.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
J.2. Instrumen yang tidak mengikat
J.3. Pertimbangan terminologi
K. Perdagangan anak
K.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
K.2. Instrumen yang tidak mengikat
K.3. Pertimbangan terminologi
L. Pernikahan anak/dini
L.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
L.2. Instrumen yang tidak mengikat
L.3. Pertimbangan terminologi
L.4. Istilah terkait
L.4.i Pernikahan paksa
L.4.ii Pernikahan umur belasan
L.4.iii Pernikahan sementara
M. Praktik berbahaya
M.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
M.2. Instrumen yang tidak mengikat
M.3. Pertimbangan terminologi
N. Bentuk-bentuk perbudakan/perbudakan anak modern
N.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
N.2. Instrumen yang tidak mengikat
N.3. Pertimbangan terminologi
O. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
O.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
O.2. Instrumen yang tidak mengikat
O.3. Pertimbangan terminologi
P. Korban eksploitasi seksual dan/atau kekerasan seksual anak
P.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
P.2. Instrumen yang tidak mengikat
P.3. Pertimbangan terminologi
P.4. Istilah terkait
P.4.i Pengidentifikasian korban
P.4.ii Orang yang selamat/penyintas
P.4.iii Anak yang menjadi sasaran eksploitasi seksual/kekerasan seksual
P.4.iv Pengorbanan
86
86
87
87
89
89
90
90
91
91
93
93
94
95
97
97
97
99
102
102
104
105
106
106
106
106
110
110
111
111
114
114
114
115
118
118
118
119
121
121
123
124
125
10. 10
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
P.4.v Pengorbanan diri sendiri
P.4.vi Pengorbanan kembali
P.4.vii Pengorbanan sekunder
Q. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak
Q.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
Q.2. Instrumen yang tidak mengikat
Q.3. Pertimbangan terminologi
Q.4. Istilah terkait
Q.4.i Pelaku seks
Q.4.ii Pelaku seks anak (child sex offender)
Q.4.iii Sub kategori pelaku kejahatan seksual terhadap anak
Q.4.iv Pelaku seks anak lintas negara
Q.4.v Pelaku seks anak yang melakukan perjalanan
Q.4.vi Wisatawan seks anak
Q.4.vii Pelaku seks anak (juvenile sex offender)
Q.4.viii Fasilitator
Q.4.ix Pelanggan/klien/John
Akronim
Ikhtisar istilah dan rekomendasi
125
126
127
128
128
128
129
130
130
131
131
135
136
136
137
138
139
140
142
11. 11
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari
Eksploitasi dan Kekerasan Seksual
Pendahuluan
Kata itu penting karena kata mempengaruhi bagaimana kita menggambarkan masalah,
memprioritaskan isu dan memberi respon. Penggunaan bahasa dan istilah yang tidak
konsisten dapat mengarah pada respon kebijakan dan hukum yang tidak konsisten
tentang hal yang sama. Walaupun telah ada definisi hukum untuk sejumlah kejahatan
seksual pada anak, masih ada banyak kebingungan seputar penggunaan terminologi
yang berbeda terkait dengan eksploitasi seksual dan kekerasan seksual pada anak.
Bahkan, walaupun istilah yang sama digunakan, masih sering ada ketidaksesuaian
tentang arti istilah tersebut yang sebenarnya dan hal ini dapat mengarah pada
penggunaan kata-kata yang sama untuk merujuk pada tindakan atau situasi yang
berbeda. Hal ini telah menciptakan tantangan yang besar untuk pengembangan
kebijakan dan program, pengembangan perundang-undangan dan pengumpulan data
dan dapat mengarah pada respon yang kurang memadai dan metode untuk mengukur
dampak atau menetapkan sasaran yang terbatas dan tidak efektif. Dalam konteks
kekerasan dan eksploitasi seksual anak lintas negara, kesulitan-kesulitan ini semakin
bertambah.
Tidak adanya kesepakatan pada tingkat internasional tentang beberapa istilah atau
bahasa yang seharusnya digunakan telah berdampak pada usaha-usaha global untuk
pengumpulan data dan pengidentifikasian berbagai pengandaian tentang eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual anak. Kebingungan dalam penggunaan bahasa
dan istilah dapat menghalangi dan merusak program advokasi dan kerjasama antar
pemerintah dan antar lembaga. Menterjemahkan berbagai istilah ke dalam berbagai
bahasa memberi tantangan lebih lanjut. Tanpa adanya pemahaman konseptual
yang jelas tentang (dan kesesuaian dengan) artinya, menterjemahkan istilah-istilah
tersebut secara akurat ke dalam berbagai bahasa menjadi sebuah tugas berat dan
membutuhkan banyak sumber daya.
Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan konseptual yang lebih baik tentang terminologi
untuk memastikan advokasi, kebijakan dan hukum yang lebih kuat dan lebih konsisten
dalam semua bahasa di seluruh belahan dunia. Untuk melahirkan kejelasan yang
lebih baik dalam konseptualisasi, definisi dan penterjemahan eksploitasi anak dan
kekerasan seksual anak, dibutuhkan sebuah dialog berbagai pemangku kepentingan
yang melibatkan suara berbagai aktor pada semua tingkatan. Mengingat perubahan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sangat cepat yang pada akhirnya
membawa berbagai perwujudan eksploitasi seksual dan kekerasan seksual anak baru,
maka sangat penting untuk membentuk sebuah pemahaman yang sama dalam usaha
global untuk memberantas pelanggaran hak anak ini.
Inisiatif ECPAT Internasional bertujuan untuk mengatasi kurangnya kesepakatan
diantara badan PBB, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam hak
anak serta lembaga penegak hukum internasional dan regional terkait dengan istilah
apa yang harus digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk eksploitasi seksual
dan kekerasan seksual anak yang berbeda-beda. Pada September 2014, dibentuk
sebuah Kelompok Kerja Antar Lembaga yang terdiri dari perwakilan dari berbagai
12. 12
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
pemangku kepentingan kunci. Dengan memanfaatkan berbagai keahlian yang dimiliki
oleh para perwakilan Kelompok Kerja Antar Lembaga dan organisasi mereka masing-
masing, maka diluncurkan sebuah analisa mendalam dan diskusi tentang terminologi
dan definisi yang berlangsung selama lebih dari setahun. Kelompok Kerja Antar
Lembaga tersebut diketuai oleh Professor Jaap Doek, mantan Ketua Komite PBB untuk
Hak Anak. Bersamaan dengan diskusi Kelompok Kerja Antar Lembaga tersebut, maka
diadakan sebuah proses konsultasi tentang perlindungan anak dengan kelompok ahli
yang lebih besar dengan bahasa Inggris, Prancis dan Spanyol sebagai bahasa asli/
bahasa kerja.
Panduan Terminologi ini mewakili hasil inisiatif antar lembaga dan berisi berbagai
istilah yang umumnya digunakan oleh para profesional dan lembaga internasional
dalam program mereka tentang pencegahan dan penghapusan eksploitasi seksual
dan kekerasan seksual anak. Berbagai istilah ini dimaksudkan bersifat “universal” dan
dapat diterapkan pada berbagai program untuk menentang fenomena ini dalam semua
situasi, termasuk situasi kemanusiaan.
Arti dari setiap istilah tersebut dijelaskan dari sudut pandang ilmu Bahasa dan
penggunaannya dianalisa. Jika ada kebutuhan dalam penggunaan istilah tertentu,
maka kebutuhan tersebut akan disebutkan. Disamping itu, penggunaan istilah-istilah
tertentu tidak disarankan. Untuk setiap istilah yang telah didefinisikan dalam berbagai
instrumen hukum internasional dan/atau regional, maka definisi-definisi seperti itu telah
dimasukkan. Jika sesuai, informasi dari Komentar Umum tentang badan perjanjian
hak asasi manusia serta resolusi dan rekomendasi oleh organisasi internasional dan
regional juga digunakan. Semua organisasi yang berpartisipasi juga telah berkontribusi
dengan memberikan laporan dan terbitan relevan yang telah dibuat oleh organisasi
mereka masing-masing.
Sudah banyak yang berubah dalam beberapa tahun belakangan ini dalam terminologi
yang digunakan dalam bidang perlindungan anak, khususnya sebagai akibat dari
penggunaan internet untuk melakukan berbagai bentuk eksploitasi dan/atau kekerasan
seksual, contohnya “online grooming” dan “live streaming of sexual abuse”. Walaupun
standar internasional belum mencerminkan semua fenomena baru ini, Panduan
Terminologi memuat sebuah analisa awal tentang istilah-istilah yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena tersebut yang bertujuan untuk mengklarifikasi arti dan memberi
saran tentang penggunaannya. Mengingat sifat eksploitasi seksual dan kekerasan
seksual anak yang selalu berubah-ubah, khususnya eksploitasi seksual dan kekerasan
seksual anak yang dilakukan melalui perangkat TIK, maka Panduan Terminologi ini
mungkin perlu dikaji ulang secara reguler.
Peta Jalan ke Panduan Terminologi
Tantangan pertama dan utama bagi Kelompok Kerja Antar Lembaga adalah untuk
memutuskan istilah-istilah mana yang harus dimasukkan dalam Panduan Terminologi
tersebut. Keputusan untuk memasukkan sebuah istilah didasarkan pada aturan/kriteria
berikut ini:
- Istilah tersebut memiliki sebuah definisi hukum dalam perjanjian internasional
dan/atau regional terkait dengan eksploitasi seksual dan/atau kekerasan
seksual anak.
- Istilah tersebut, walaupun tidak memiliki sebuah definisi hukum menurut hukum
internasional, sering digunakan dalam konteks eksploitasi seksual dan/atau
13. 13
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
kekerasan seksual anak.
- Istilah tersebut digunakan untuk perbuatan yang tujuan utamanya adalah untuk
memfasilitasi, memungkinkan, menyebarkan, menghasut atau terlibat dalam
eksploitasi seksual atau kekerasan seksual pada seorang anak.
- Istilah tersebut menciptakan kesalahpahaman diantara pemangku kepentingan
yang berbeda-beda terkait dengan hak anak dan hak atas perlindungan dari
eksploitasi seksual dan kekerasan seksual menurut hukum internasional.
- Istilah tersebut mensahkan, mendorong, menyebarkan atau menghasut
stereotipe, sikap masyarakat, keyakinan budaya atau norma yang
membahayakan atau merusak hak anak atas perlindungan dari eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual.
Aturan-aturan ini telah menjadi panduan yang baik tetapi tidak selalu tegas. Dalam
beberapa kesempatan, Kelompok Kerja Antar Lembaga tersebut menemukan sebuah
istilah yang tidak dicakup oleh salah satu aturan tersebut walaupun cukup signifikan
untuk dimasukkan dalam Panduan tersebut.
Disamping itu, Kelompok Kerja Antar Lembaga tersebut telah mendiskusikan masukan
dari berbagai kategori anak yang dianggap sangat berisiko untuk menjadi korban
eksploitasi atau kekerasan seksual seperti anak jalanan, anak yang melarikan diri
dari rumah, anak pengungsi yang tidak didampingi dan anak yang bekerja. Kelompok
Kerja Antar Lembaga tersebut telah memutuskan untuk tidak memasukkan kelompok-
kelompok ini. Anak-anak seperti itu bisa menjadi korban dari banyak pelanggaran hak
lainnya dan memasukkan mereka dalam Panduan ini, berarti mengkhususkan salah
satu dari risiko tersebut dan bisa berakibat pada sebuah pelabelan yang ingin dihindari
oleh Kelompok Kerja Antar Lembaga tersebut.
Tantangan selanjutnya bagi Kelompok Kerja Antar Lembaga tersebut adalah untuk
menentukan urutan struktur istilah-istilah tersebut ke dalam Panduan. Telah disepakati
untuk bergerak dari istilah kunci “anak” ke istilah-istilah yang lebih umum seperti
kekerasan seksual pada anak dan eksploitasi seksual anak yang diikuti oleh istilah-
istilah yang lebih khusus seperti pelacuran anak, pornografi anak dan kekerasan seksual
atau eksploitasi seksual online dan dalam perjalanan dan pariwisata. Beberapa bagian
akhir menjelaskan tentang korban eksploitasi seksual dan kekerasan seksual anak
serta pelaku kejahatan seksual pada anak. Di dalam setiap bagian yang menjelaskan
tentang istilah-istilah (umum dan khusus) ini, Kelompok Kerja Antar Lembaga
tersebut juga telah mengidentifikasi istilah-istilah yang berkaitan secara langsung dan
memasukkannya dalam sub-bagian.
Tantangan terakhir adalah penomoran bagian dan sub-bagian tersebut. Kelompok
Kerja Antar Lembaga tersebut memutuskan untuk menggunakan penomoran yang
sama persis untuk versi bahasa yang berbeda-beda agar lebih mudah untuk membuat
perbandingan diantara versi-versi tersebut. Hal ini membutuhkan penggunaan sebuah
nomor dengan penyebutan “Dipesan” ketika sebuah istilah tertentu tidak dimasukkan
dalam salah satu versi bahasa tetapi ada dalam versi bahasa yang lain.
Untuk sebuah pemahaman dan penggunaan yang layak dari Panduan, ada dua istilah
yang membutuhkan perhatian khusus yaitu: “anak” dan “aktifitas seksual”.
Untuk cakupan dokumen ini, organisasi yang berpartisipasi sepakat bahwa istilah
“anak” seharusnya merujuk pada setiap orang di bawah usia 18 tahun sesuai dengan
14. 14
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Konvensi Hak Anak (KHA).1
Meskipun demikian, untuk tujuan kejelasan, istilah pertama
yang ditangani oleh Panduan Terminologi adalah “anak”. Hal ini dimaksudkan untuk
menggambarkan perdebatan yang masih ada terkait dengan konsep “anak”.
Disamping itu, istilah “aktifitas seksual” merujuk pada setiap tindakan seksual eksplisit
dan non-eksplisit nyata atau tiruan atau tindakan yang bersifat seksual. Istilah “aktifitas
seksual” sering kali digunakan di dalam definisi kekerasan dan eksploitasi seksual
anak tetapi cakupan pastinya jarang didefinisikan. Baik KHA (1989) maupun Protokol
Opsionalnya tentang PenjualanAnak, PelacuranAnak dan PornografiAnak (2000)2
tidak
secara jelas mendefinisikan istilah “aktifitas seksual”. Protokol Opsional tersebut hanya
menyebutkan aktifitas-aktifitas seksual yang eksplisit seperti itu (walaupun aktifitas-
aktifitas seksual tersebut bisa tiruan) dan gagal untuk menjelaskan secara tepat apa
saja yang dimasukkan dalam pendapat ini dan oleh karena itu, hal ini meninggalkan
sebuah celah potensial dalam hukum internasional terkait dengan aktifitas-aktifitas
seksual yang dianggap “non-eksplisit”. Sebuah definisi hukum tentang “tingkah laku
eksplisit secara seksual” diberikan oleh Dewan Konvensi Eropa tentang Perlindungan
Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual (“Konvensi Lanzarote”)3
dan
penjelasanya pada 2007, termasuk dalam pendapat ini “setidaknya tindakan-tindakan
nyata atau tiruan berikut ini: a) hubungan seksual, termasuk alat kelami ke alat kelamin,
mulut ke alat kelamin, anus ke alat kelamin atau mulut ke anus, antara anak, atau antara
orang dewasa dan anak, dengan jenis kelamin yang sama atau lawan jenis; b) sifat
kebinatangan; c) onani; d) kekerasan sadistik atau masohistik dalam sebuah konteks
seksual; atau e) pameran/pertunjukan alat kelamin atau daerah pinggang seorang anak
yang dapat membangkitkan nafsu. Tidak masalah apakah perbuatan yang digambarkan
tersebut nyata atau tiruan.”4
Disamping itu, dalam laporan implementasi pertamanya
yang diadopsi pada Desember 2015, Komite Lanzarote “mengundang para Pihak untuk
mengkaji ulang perundang-undangan mereka untuk menangani semua bahaya besar
bagi integritas seksual anak-anak dengan tidak membatasi pelanggaran pidananya
pada hubungan seksual atau tindakan-tindakan serupa”.5
Sekarang, tidak ada keraguan bahwa semua bentuk perbuatan seksual yang melibatkan
penetrasi seharusnya dimasukkan ke dalam cakupan “aktifitas seksual” tetapi,
sebagaimana yang telah ditunjukkan di atas, definisi hukum juga telah memasukkan
onani dan pertunjukan alat kelamin anak yang dapat membangkitkan nafsu sebagai
tingkah laku eksplisit secara seksual. Dalam perlindungan anak dari eksploitasi seksual
1 Majelis Umum PBB, “Konvensi Hak Anak”, diadopsi di New York, 20 November 1989
htpp://www.un.org/documents/ga/res/44/a44r025.htm
2 Majelis Umum PBB, Protokol Opsional KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak
dan Pornografi Anak, diadopsi pada tanggal 25 Mei 2000 http://www.ohchr.org/EN/Pro-
fessionalInterest/Pages/OPSCCRC.aspx
3 Dewan Eropa, “Konvensi tentang Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan
Kekerasan Seksual, diadopsi oleh Komite Menteri”, Seri Traktat Dewan Eropa (CETS)
201, Lanzarote, 25 Oktober 2007 http://www.coe.int/en/web/conventions/full-list/-/con-
ventions/treaty/201
4 Dewan Eropa, “Laporan Penjelasan untuk Konvensi Dewan Eropa tentang Perlind-
ungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual”, 2007, ayat 143 https://
rm.coe.int/CoERMPublicCommonSearchServices/DisplayDCTMContent?documen-
tId=09000016800d3832
5 Komite Para Pihak Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Anak dari Eksploitasi
Seksual dan Kekerasan Seksual, “Laporan Implementasi Pertama: Perlindungan Anak
dari Kekerasan Seksual dalam Lingkar Kepercayaan”, 2015, diadopsi pada tanggal 4
Desember 2015 http://www.coe.int/en/web/children/lanzarote-commitee
15. 15
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
dan kekerasan seksual, sepertinya penting sekali untuk fokus pada tindakan-tindakan
yang membahayakan integritas seksual anak. Untuk tujuan dokumen ini, pendapat
tentang “aktifitas seksual” memasukkan aktifitas-aktifitas seksual eksplisit dan non-
eksplisit yang menyebabkan bahaya seperti itu.
16. 16
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Panduan Terminologi
Ketiga lingkaran berikut ini menunjukkan bagaimana sebuah istilah tertentu dapat
digunakan:
O Lingkaran kosong menunjukkan bahwa sebuah istilah dapat digunakan tanpa
keprihatinan khusus apapun dalam konteks perlindungan anak dari eksploitasi seksual
dan kekerasan seksual: Arti istilah tersebut kelihatannya dapat dipahami secara
umum tanpa adanya kebingungan dan/atau istilah tersebut tidak membahayakan anak
tersebut. Istilah-istilah dengan sebuah lingkaran kosong akan disertai dengan tulisan:
“Istilah ini sepertinya memiliki sebuah arti yang telah disetujui secara umum dan/atau
dapat digunakan tanpa memberikan stigma dan/atau membahayakan anak tersebut.”
Ø Lingkaran yang disilang satu menunjukkan sedikit ketidaksetujuan tentang apakah
istilah tersebut sebaiknya digunakan atau tidak, atau tentang bagaimana istilah tersebut
sebaiknya digunakan (mis: dengan arti itu) dan menyarankan untuk memberikan
perhatian khusus kapan dan bagaimana menggunakan istilah tersebut dalam konteks
perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Istilah-istilah
dengan lingkaran yang disilang satu akan disertai dengan tulisan: “Perhatian khusus
sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.”
⊗ Lingkaran yang disilang dua menunjukkan istilah-istilah yang sebaiknya dibatasi
atau benar-benar dihindari dalam konteks perlindungan anak dari eksploitasi seksual
dan kekerasan seksual. Istilah-istilah dengan lingkaran yang disilang dua akan disertai
dengan tulisan: “Penggunaan istilah ini sebaiknya dihindari.”
17. 17
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
A. Anak (Child)
O Istilah ini sepertinya memiliki sebuah arti yang telah disetujui secara umum dan/atau
dapat digunakan tanpa memberikan stigma dan/atau membahayakan anak tersebut.
A.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum6
“Anak” bukan sebuah istilah yang sering diperdebatkan dan oleh karena itu digunakan
dalam banyak instrumen hukum internasional. Walaupun definisi hukum secara
tekstual, “anak” dapat sedikit bervariasi, tergantung pada instrumen tersebut, jelas
bahwa ada sebuah pemahaman universal tentang pendapat hukum tersebut:
i. 1989: Pasal 1 KHA menyatakan bahwa, “yang dimaksud anak dalam Konvensi
ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan
undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.”
ii. 1990: Pasal 2 PiagamAfrika tentang Hak dan KesejahteraanAnak menyatakan
bahwa “yang dimaksud anak dalam Piagam ini adalah setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun.”7
iii. 1999: Pasal 2 Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No. 182
tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Konvensi ILO 182)
menyatakan bahwa istilah “anak” berlaku pada “semua orang dibawah usia
18 tahun”.8
iv. 2000: Protokol Opsional KHA tentang penjualan anak, pelacuran anak dan
pornografi anak, dalam Mukadimahnya, secara eksplisit merujuk pada Pasal
1 KHA.
v. 2000: Pasal 3(d) Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum
Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak, suplemen Konvensi
PBB untuk menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional (“Protokol
Palermo”) mendefinisikan anak sebagai “setiap orang yang berusia dibawah
18 tahun”.9
vi. 2001: Konvensi Dewan Eropa tentang Kejahatan Siber (“Konvensi Budapest”)
menggunakan istilah “orang yang belum dewasa” dalam Pasal 9 yang terkait
dengan pornografi anak dan menyatakan bahwa istilah tersebut mencakup
6 Instrumen hukum yang dirujuk dalam seluruh dokumen ini mengikuti: pertama,urutan
hirarki (instrumen internasional sebelum instrumen regional) dan kedua, urutan kro-
nologi (tahun adopsi dari masa lalu sampai masa sekarang).
7 Sidang Kepala Negara dan Pemerintah Organisasi Persatuan Afrika, “Piagam Afrika
tentang Hak dan Kesejahteraan Anak”, diadopsi pada Sidang Biasa ke-26 di Addis
Ababa, 9-11 Juli 1990 http://acerwc.org/theafrican-charter-on-the-rights-and-welfare-
of-the-child-acrwc/
8 Organisasi Buruh Internasional, Konvensi tentang Pelarangan dan Aksi Segera untuk
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak”, diadopsi di Jenewa,
17 Juni 1999 http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:12100:0::NO::P12100_ILO_
CODE:C182
9 Majelis Umum PBB, “Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perda-
gangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak, Suplemen Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Menghapuskan Kejahatan Terorganisir Transnasional, diadopsi
di Palermo, 12-15 Desember 2000 https://www.unodc.org/documents/middleeastand-
northafrica/organised-crime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANS-
NATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND_THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf
18. 18
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
semua orang di bawah usia 18 tahun. Akan tetapi, sebuah Negara Peserta
boleh mensyaratkan batas usia yang lebih rendah yang tidak boleh kurang
dari 16 tahun.10
vii. 2007: Konvensi Lanzarote menyatakan dalam Pasal 3(a) bahwa anak adalah
“setiap orang dibawah usia 18 tahun”.
A.2. Pertimbangan terminologi
Harus dicatat bahwa dokumen ini tidak harus mendefinisikan siapa anak tetapi lebih
pada cakupan keberlakuannya dalam hukum internasional: ketentuan-ketentuan
tersebut berlaku pada semua orang di bawah usia 18 tahun, dengan atau tanpa
pengecualian. Misalnya, Pasal 1 KHAmembuat sebuah pengecualian pada keberlakuan
KHA yang menyebutkan kemungkinan bahwa usia dewasa dicapai sebelum usia 18
tahun menurut hukum nasional. Hal ini juga yang terjadi dengan Protokol Opsional
KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak yang secara
eksplisit merujuk kembali pada Pasal 1 KHA dan oleh karena itu mengadopsi cakupan
keberlakuan yang sama.
Pada sisi yang lain, Piagam Afrika tentang Hak dan Kesejahteraan Anak tidak
membolehkan pengecualian seperti itu: tanpa memandang ketentuan-ketentuan
tentang usia dewasa dalam hukum dalam negeri, ketentuan-ketentuan Piagam Afrika
tersebut berlaku pada semua orang dibawah usia 18 tahun. Hal yang sama juga berlaku
untuk Konvensi ILO 182.
Meskipun ada pengecualian yang disebutkan oleh KHA, penting untuk dicatat bahwa
Komite Hak Anak (Komite KHA) secara konsisten telah merekomendasikan agar
semua negara memperluas cakupan KHA pada semua orang di bawah usia 18 tahun.11
Walaupun menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa semua orang di bawah
usia 18 tahun dianggap anak-anak dan mendapatkan hak dan perlindungan sesuai
dengan status ini, harus diakui juga bahwa anak-anak yang usianya lebih tua (usia
remaja), mereka umumnya dirujuk (khususnya dalam konteks non-hukum) sebagai
“remaja” atau “anak usia belasan” (lihat Bagian A.3.V dan A.3.VI).
Kesimpulan: Sejalan dengan sebagian besar instrumen hukum internasional dan
praktik internasional, organisasi yang berpartisipasi menasehatkan bahwa istilah
“anak” dipahami sebagai setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun.
10 Dewan Eropa, “Konvensi tentang Kejahatan Siber”, Seri Traktat Dewan Eropa 185,
diadopsi di Budapest, 23 November 2001 http://www.conventions.coe.int/Treaty/EN/
Treaties/Html/185.htm
11 Komite KHA, “Langkah-Langkah Implementasi Umum”, Komentar Umum No. 5,
diadopsi pada sidang ke-34, 19 September-3 Oktober 2003 http://docstore.ohchr.org/
SelfServices/FilesHandler.ashx?enc=6QkG1d%2fPPRiCAqhKb7yhsiQql8gX5Zxh0c-
QqSRzx6Zd2%2fQRsDnCTcaruSeZhPr2vUevjbn6t6GSi1feVp%2bj5HTLU2Ub%2f-
PZZtQWn0jExFVnWuhiBbqgAj0dWBoFGbK0c
19. 19
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
A.3. Istilah-istilah terkait
A.3.i Usia dewasa
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
Usia dewasa ditentukan dalam undang-undang, dan di banyak negara ditetapkan pada
usia 18 tahun. Ini adalah usia yang didefinisikan secara hukum dimana seseorang
menjadi orang dewasa dengan semua hak dan tanggung jawab yang melekat pada
masa dewasa. Ini berarti seseorang memiliki kemampuan penuh untuk bertindak atau
terlibat dalam aktifitas dan/atau urusan hukum apapun dan bertanggung jawab atas
tindakannya sendiri seperti kewajiban kontrak atau pertanggungjawaban atas kelalaian.
Secara umum, kewajiban orang tua untuk memberi dukungan kepada seorang anak
berakhir ketika anak tersebut mencapai usia dewasa.12
Kadang-kadang, seseorang bisa mendapatkan kapasitas untuk mengambil keputusan
penuh dari seseorang yang telah mencapai usia dewasa walaupun belum mencapai
usia tertentu melalui tindakan tertentu, misalnya dengan memasuki pernikahan.13
Hal
itu juga bisa sebagai akibat dari emansipasi (lihat Bagian A.3.III tentang “anak” di
bawah ini).
Sebagai sebuah penanda usia, usia dewasa umumnya merupakan istilah yang
disalahpahami dan kadang-kadang dibingungkan dengan tanda-tanda umur lainnya
seperti usia persetujuan menikah, usia persetujuan seksual atau usia minimum
tanggung jawab pidana.
Kesimpulan: Karena risiko kebingungan yang telah disebutkan di atas, perhatian harus
diberikan untuk memastikan bahwa istilah ini digunakan dengan benar. Disamping itu,
istilah tersebut sebaiknya digunakan dalam konteks hukum dan kurang relevan dalam
bidang-bidang lain.
12 Misalnya, lihat Hukum AS, “Definisi Hukum dan Istilah Hukum Yang Telah Didefi-
nisikan” http://definitions.uslegal.com/a/age-ofmajority/
13 Infra, Bagian L tentang “pernikahan anak/dini”.
20. 20
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
A.3.ii Persetujuan Seksual (Sex Consent)
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
A.3.ii.a Definisi hukum
i. 2007: Konvensi Lanzarote, dalam Pasal 18 tentang kekerasan seksual,
merujuk pada “usia hukum untuk aktifitas-aktifitas seksual” (Pasal 18(1)(a))
dan menyerahkan kepada Negara Peserta Konvensi Lanzarote tersebut untuk
memutuskan usia dibawahnya dilarang untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas
seksual dengan anak (Pasal 18(2)).
ii. 2011: Direktif Uni Eropa (UE) 2011/93 tentang Memerangi Kekerasan Seksual
dan Eksploitasi Seksual Anak dan Pornografi Anak menggunakan, dalam Pasal
2, ungkapan “usia persetujuan seksual” dan menyatakan bahwa itu berarti “usia
dibawahnya, sesuai dengan hukum nasional, dilarang untuk terlibat dalam
aktifitas seksual dengan seorang anak.”14
A.3.ii.b Pertimbangan terminologi
Tidak ada perjanjian internasional yang menetapkan usia hukum untuk aktifitas-aktifitas
seksual. KHA, Protokol Opsional dan Konvensi ILO 182 membisu terkait dengan usia
persetujuan seksual dan menyerahkan sepenuhnya kepada Negara untuk menetapkan
usia ini. Usia hukum persetujuan seksual berbeda-beda antara satu negara dengan
negara lainnya walaupun banyak negara yang menetapkan usia persetujuan seksual
antara usia 14 dan 16 tahun.15
Konvensi Lanzarote dan banyak sistem hukum nasional membuat perbedaan antara
hubungan seksual diantara teman sebaya (dibawah 18 tahun) dan hubungan seksual
antara anak dan orang dewasa. Untuk mengakui kapasitas anak yang telah berkembang
tersebut dan fakta bahwa anak-anak yang telah mencapai usia persetujuan seksual
memiliki hak untuk terlibat dalam hubungan seksual (asalkan ini tidak bersifat eksploitatif
dan abusif). Konvensi Lanzarote telah memberi sebuah pengecualian pada kewajiban
Negara Peserta untuk mengkriminalkan perbuatan tertentu. Hal ini dilakukan dengan
merujuk pada “usia dibawahnya dilarang untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual
dengan anak” atau “usia sah untuk aktifitas seksual” (Pasal 18(1)(a) dan Pasal 23). Oleh
karena itu, misalnya, permohonan dari seorang anak di atas usia persetujuan seksual
tidak berarti sebuah pelanggaran pidana dengan sendirinya (tetapi bisa demikian,
tergantung pada keadaan tersebut).16
Disamping itu, Negara boleh memutuskan
untuk tidak mengkriminalkan tindakan-tindakan yang menyebabkan anak tersebut
menyaksikan kekerasan seksual atau aktifitas seksual (“korupsi anak”(Pasal 22)) jika
anak tersebut telah mencapai usia persetujuan seksual. Terakhir, Negara Peserta
Konvensi Lanzarote boleh memutuskan untuk tidak mengkriminalkan pembuatan atau
14 Direktif 2011/93/UE Parlemen dan Dewan Eropa tanggal 13 Desember 2011 tentang
memerangi kekerasan seksual dan eksploitasi seksual anak dan pornografi anak dan
mengganti Keputusan Kerangka Kerja Dewan 2004/68/JHA http://eur-lex.europa.eu/
legal-content/EN/TXT/?uri=celex%3A32011L0093 (Catat bahwa Direktif tersebut telah
dirujuk secara salah sebagai 2011/92/UE dalam website Eur-lex).
15 Beberapa negara menetapkan batas usia tersebut lebih rendah, misalnya Jepang,
dimana usia persetujuan seksual adalah 13 tahun. KUHP Jepang, Pasal 176 dan
177,http://www.oecd.org/site/adboecdantcorruptioninitiative/46814456.pdf
16 Jika keadaan Konvensi Lanzarote Pasal 18.1.b. berlaku. Untuk informasi lebih lanjut
tentang hal ini, infra, Bagian H tentang permohonan anak untuk tujuan seksual.
21. 21
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
kepemilikan bahan pornografi jika pembuatan tersebut dilakukan dengan persetujuan
seorang anak yang telah mencapai usia persetujuan seksual dan jika kepemilikan
tersebut hanya untuk penggunaan pribadi (Pasal 20(3)).
Berdasarkan pada hal-hal di atas, jelas bahwa KHA, Protokol Opsional dan Konvensi
Lanzarote tetap membisu terkait dengan persetujuan seksual dan menyerahkannya
pada negara untuk membuat undang-undang tentang masalah tersebut (KHA dan
Protokol Opsional) atau mengakui kapasitas anak yang telah berkembang dengan
menggunakan batas usia persetujuan seksual (Konvensi Lanzarote) yang di negara-
negara Eropa paling sering ditetapkan pada usia 14, 15 atau 16 tahun (Direktif UE
2011/93). Catat juga bahwa Direktif UE 2011/93 menyatakan bahwa lamanya hukuman
penjara untuk kejahatan-kejahatan yang terkait dengan eksploitasi seksual atau
kekerasan seksual anak bisa berbeda-beda, tergantung pada beratnya kejahatan
tersebut dan apakah anak tersebut sudah mencapai usia persetujuan seksual atau
belum.17
Kesimpulan: Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman atau
wilayah abu-abu dalam undang-undang tersebut, harus jelas bahwa usia persetujuan
seksual sebagaimana yang didefinisikan oleh hukum berarti bahwa melibatkan anak
dibawah usia tersebut dalam aktifitas seksual dilarang dalam semua keadaan dan
bahwa persetujuan dari anak seperti itu secara hukum tidak relevan. Seorang anak pada
atau diatas usia persetujuan seksual boleh, dengan persetujuannya, dilibatkan dalam
aktifitas-aktifitas seksual. Akan tetapi, tidak ada seorang anak pun yang seharusnya
pernah dapat, dalam keadaan apapun, secara hukum memberi persetujuan pada
eksploitasi atau kekerasannya sendiri. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk
mengkriminalkan semua bentuk eksploitasi seksual anak sampai usia 18 tahun dan
menganggap setiap dugaan “persetujuan”pada tindakan yang eksploitatif atau abusif
tidak batal.18
17 Direktif 2011/93/EU, supra 14, Pasal 3(5)
18 Misalnya, lihat Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Pen-
gamatan tentang Swiss dibawah Konvensi 182: “Komite tersebut menekankan bahwa
penting untuk membuat sebuah perbedaan antara usia persetujuan seksual dan kebe-
basan untuk terlibat dalam pelacuran”, 2014 http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=10
00:13100:0::NO:13100:P13100_COMMENT_ID:3145249
Lihat juga kasus hukum Piagam Eropa tentang Hak Sosial, yang, dalam kasus FAFCE
v. Irlandia, menyatakan bahwa: Pasal 7§10 mensyaratkan bahwa semua tindakan
eksploitasi seksual pada anak dikriminalkan […] Negara harus mengkriminalkan aktif-
itas-aktifitas yang telah didefinisikan terkait dengan anak dibawah usia 18 tahun tanpa
memandang usia persetujuan seksual nasional yang lebih rendah”, Laporan 89/2013,
Keputusan 12 September 2014, pasal 58.
http://www.coe.int/t/dghl/monitoring/socialcharter/Complaints/CC89Merits_en.pdf
22. 22
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
A.3.iii Orang yang belum dewasa
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
“Orang yang belum dewasa” adalah sebuah istilah yang sering terlihat dalam teks
perundang-undangan. Dalam sebagian besar kamus, orang yang belum dewasa
dirujuk sebagai sebuah istilah hukum yang menunjukkan seseorang yang “dibawah
umur dimana anda secara hukum menjadi orang dewasa”19
– yaitu, yang belum
mencapai usia dewasa – yang dapat dicapai sebelum (atau setelah) usia 18 tahun,
tergantung pada perundang-undangan dari setiap negara. KHA tidak menggunakan
istilah ini sama sekali dan sebagai penggantinya menggunakan istilah “anak” untuk
merujuk pada setiap orang dibawah usia 18 tahun.
Khususnya dalam bahasa Prancis dan Spanyol, istilah “orang yang belum dewasa”
dapat mengirim sebuah pesan yang menyesatkan tentang anak-anak yang tidak
memiliki kapasitas dan/atau “lebih sedikit” daripada orang dewasa. Oleh karena itu,
istilah “orang dibawah umur 18 tahun” sering lebih dipilih dalam konteks non-hukum.
Tidak ada stigma khusus atau konotasi negatif terkait dengan orang dibawah umur 18
tahun yang dapat digunakan untuk merujuk pada anak-anak secara netral.
Istilah “orang yang belum dewasa” juga digunakan dalam kaitannya dengan kebebasan
– yaitu, “orang yang belum dewasa yang bebas”. Bebas berarti tidak atau tidak lagi
dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan hukum, sosial atau politik.20
Istilah tersebut
memiliki konotasi positif ketika merujuk pada, misalnya, kebebasan perempuan selama
1960an dan perolehan hak dan kesempatan.
Akan tetapi, istilah ini juga dipandang dalam konteks masa kanak-kanak dan secara
khusus terkait dengan pernikahan anak sebagai sebuah cara untuk menjadi bebas dan
kemudian dapat memiliki sebuah konotasi yang berbeda. Memang, ada risiko bahwa
seorang anak yang bebas bisa kehilangan perlindungannya sebagai seorang anak
menurut hukum nasional.21
Orang yang belum dewasa yang bebas bisa jadi seseorang
yang, karena orang tuanya telah meninggal atau sebaliknya tidak dalam sebuah posisi
untuk mengasuhnya, bertanggung jawab atas keluarganya dan/atau rumah tangganya.
Orang yang belum dewasa juga dapat dibebaskan melalui perintah pengadilan (kadang-
kadang dengan persetujuan orang tua) sebagai akibat dari keterlibatannya dalam
sebuah aktifitas usaha dan karena secara ekonomi telah mandiri. Di beberapa negara,
seorang anak juga bisa menjadi bebas jika dia menikah (secara sukarela atau tidak
sukarela) atau menjadi tentara.22
Kebebasan dapat saja akibat dari sebuah keputusan
pengadilan, ketentuan hukum atau situasi de facto.
19 Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Cambridge Dictionaries online juga meru-
juk istilah tersebut sebagai sebuah istilah hukum.
20 Misalnya, lihat Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Cambridge Advanced Learner’s
Dictionary dan Thesaurus.
21 Komite KHA, Hak Anak atas Kebebasan dari Semua Bentuk Kekerasan”, Komentar
Umum No. 13, Dok. KHA/C/GC/13, diadopsi pada 18 April 2011 http://www2.ohchr.org/
english/bodies/crc/docs/CRC.C.GC.13_en.pdf,
menyatakan bahwa “Komite tersebut mempertimbangkan bahwa Pasal 19 [perlind-
ungan dari semua bentuk kekerasan] juga berlaku pada anak-anak dibawah umur 18
tahun yang telah mencapai kedewasaan atau kebebasan melalui pernikahan dini dan/
atau kawin paksa.”
22 Sebagai contoh lihat http://www.crckids.org/child-support/child-emancipation/
23. 23
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Kesimpulan: Karena artinya dapat sangat berbeda-beda, tergantung pada perundang-
undangan nasional dan kadang-kadang memiliki sebuah konotasi negatif, istilah
“orang yang belum dewasa” sebaiknya jangan terlalu sering digunakan dalam konteks
eksploitasi seksual dan kekerasan seksual dan disiapkan untuk isu-isu hukum.
Terkait dengan istilah “orang yang belum dewasa yang bebas”, harus hati-hatiagar tidak
menggunakan istilah tersebut dengan cara yang akan mengeluarkan orang seperti itu
dari perlindungan yang seharusnya semua anak dapatkan, tanpa memandang situasi
kehidupan dan status mereka.
A.3.iv Anak (Juvenile)
ØPerhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
“Anak (Juvenile)” adalah istilah lain yang sering digunakan untuk merujuk pada orang
dibawah usia 18 tahun. Aslinya, istilah tersebut diambil dari kata Latin jevenis yang
berarti “muda”, “orang muda”.23
Sekarang, istilah tersebut sering digunakan dalam
konteks peradilan pidana dimana istilah tersebut memiliki arti yang jelas dan tepat yang
merujuk pada anak yang berkonflik dengan hukum yaitu, “pelaku anak”24
atau “anak
nakal”. Istilah tersebut juga, walaupun tidak terlalu sering, digunakan terkait dengan
korban yaitu, “korban anak”.25
Dalam bahasa Prancis dan Spanyol, istilah ini utamanya digunakan sebagai kata
sifat dan bukan sebagai kata benda. Ketika istilah tersebut digunakan sebagai kata
sifat dalam bahasa Inggris, istilah tersebut sering memiliki konotasi yang agak negatif
yang mengungkapkan ketidaksetujuan (mis: seseorang yang bertindak atau menjadi
nakal).26
Kesimpulan: “Anak (juvenile)” adalah sebuah istilah yang paling tepat untuk digunakan
dalam konteks hukum, khususnya dalam bidang peradilan anak dan hanya untuk anak
yang telah mencapai usia tanggung jawab pidana.
23 Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictionary
24 Cambridge Dictionaries merujuk istilah ini (kata benda) sebagai sebuah istilah hukum
dan memberi contoh “kejahatan anak”, “pelaku anak”.
25 Misalnya, lihat Departemen Hukum AS, Kantor Peradilan Anak dan Pencegahan
Kejahatan, “Pelaku dan Korban Anak: Laporan Nasional 2014” http://www.ojjdp.gov/
ojstatbb/nr2014/html/chp2.html
26 Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictionary dan Cambridge Dictionaries online.
24. 24
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
A.3.v Remaja
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
Walaupun sebagian besar kamus mendefinisikan remaja sebagai “[…] orang muda
dalam proses berkembang dari seorang anak menjadi dewasa”, 27
dan oleh karena
itu, dengan cara non-angka, sejumlah lembaga PBB telah mendefinisikan “remaja”,
baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Spanyol, sebagai seseorang sampai usia
19 tahun,28
dan masa remaja sebagai “masa dalam pertumbuhan dan perkembangan
manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebelum masa dewasa, dari umur
10 sampai 19 tahun”.29
Akan tetapi, istilah “remaja” bukan sebuah istilah hukum dan
istilah tersebut tidak dirujuk sama sekali dalam KHA atau Protokol Opsional.
Istilah “remaja” telah dimasukkan dalam judul Kongres Dunia III untuk Menentang
Eksploitasi Seksual Anak dan Remaja karena para pemangku kepentingan yang
menggunakan bahasa Prancis menjelaskan bahwa “anak” dalam bahasa Prancis
utamanya merujuk pada anak yang sangat muda dan tidak termasuk remaja. Istilah
“remaja” dapat menjadi sebuah cara untuk mendefinisikan tahap “penghubung” antara
masa anak-anak dan masa dewasa dan oleh karena itu, mengakui bahwa remaja (yang
secara hukum masih anak-anak jika dibawah usia 18 tahun) masih berada dalam tahap
pengembangan kapasitas dimana mereka dapat mengambil sebagian tanggung jawab
atau tanggung jawab penuh atas tindakan-tindakan tertentu (mis: persetujuan seksual
atau hak untuk bekerja yang telah diatur) sembari juga mengakui kurangnya kapasitas
hukum penuh mereka dan, yang terpenting, kurangnya kemampuan untuk memberi
persetujuan pada kekerasan atau eksploitasi.
Kesimpulan: Ketika istilah ini digunakan dalam konteks eksploitasi seksual dan
kekerasan seksual pada anak, penting untuk membedakan antara remaja sampai umur
18 tahun (yang secara hukum seharusnya dianggap anak) dan remaja berusia 18 tahun
keatas dan untuk memastikan bahwa remaja dibawah usia 18 tahun memperoleh hak
dan perlindungan yang diberikan kepada semua anak.
27 Misalnya, lihat Oxford Dictionary online. http://www.oxforddictionaries.com/definition/
english/adolescent
28 Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UNDESA), “Definisi Remaja”, http://
www.un.org/esa/socdev/documents/youth/fact-sheets/youth-definition.pdf
29 Organisasi Kesehatan Dunia, “Kesehatan Ibu, Bayi, Anak dan Remaja: Perkembangan
Remaja”, http://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/adolescence/dev/en/
25. 25
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
A.3.vi Anak usia belasan
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
Istilah “anak usia belasan” terkait erat dengan istilah “remaja” dan kedua istilah ini
sering didefinisikan dengan cara yang sama persis, khususnya terkait dengan batas
usia atas 19 tahun.30
Berbicara secara semantik, istilah “anak usia belasan” memiliki
definisi yang sangat jelas: anak usia belasan berarti seseorang yang berusia antara 13
dan 19 tahun – yaitu, seseorang yang berada dalam usia “belasan”nya – oleh karena
itu merujuk pada akhiran bahasa Inggris “belasan” dalam kata “tiga belasan”, “empat
belasan”, dst.
Kesimpulan: Walaupun tidak ada indikasi khusus yang menentang penggunaan
istilah ini, harus berhati-hati ketika istilah tersebut digunakan dalam konteks eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual pada anak untuk membedakan antara anak usia
belasan sampai usia 18 tahun dan anak usia belasan berusia 18 tahun dan lebih serta
untuk memastikan bahwa anak usia belasan dibawah usia 18 tahun mendapatkan hak
dan perlindungan yang diberikan kepada semua anak.
A.3.vii Orang muda/pemuda
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
PBB mendefinisikan pemuda sebagai “masa transisi dari ketergantungan dari masa
anak-anak ke kemandirian masa dewasa. Oleh karena itu, sebagai sebuah kategori,
pemuda lebih berubah-ubah daripada kelompok umur tetap lainnya.”31
Untuk tujuan
statistik, PBB mendefinisikan “pemuda”sebagai kelompok umur 15-24 tahun32
dan Bank
Dunia telah mengadopsi definisi yang sama.33
PBB menggunakan istilah “pemuda” dan
“orang muda” secara bergantian.34
Dalam programnya terkait dengan kekerasan pasangan intim, WHO merujuk
“perempuan” sebagai seseorang yang berusia dari 15 tahun35
dan “perempuan muda”
30 Misalnya, bandingkan definisi “remaja”oleh PBB dengan definisi “remaja” yang san-
gat jelas dan tidak bisa ditentang yang dapat dijumpai dalam sebagian besar kamus.
Misalnya, bercampurbaurnya kedua istilah ini juga bisa berasal dari fakta bahwa istilah
“anak usia belasan” tidak ditemukan dalam bahasa Prancis dan Spanyol dan utaman-
ya diterjemahkan kedalam kedua bahasa ini sebagai “remaja”.
31 Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UNDESA), “Definisi Pemuda”, http://
www.un.org/esa/socdev/documents/youth/fact-sheets/youth-defnition.pdf
32 Majelis Umum PBB, “Program Aksi Dunia untuk Pemuda sampai Tahun 2000 dan
Seterusnya”, Resolusi 50/81, 1995. Ayat 9 resolusi ini menyatakan bahwa PBB men-
definisikan pemuda sebagai kelompok umur 15-24 tahun. Kelompok umur yang sama
dinyatakan kembali dalam Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/56/117 pada 2001,
Komisi untuk Perkembangan Sosial Resolusi E/2007/26 & E/CN.5/2007/8 pada 2007
dan Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/62/126 pada 2008. Lihat http://www.un.org/
esa/socdev/documents/youth/factsheets/youth-defnition.pdf
33 Misalnya, lihat http://www.youthpolicy.org/mappings/internationalyouthsector/directory/
actors/worldbank/
34 Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UNDESA), “Definisi Pemuda”, supra
31.
35 WHO, “KekerasanterhadapPerempuan: Pasangan Intim dan Kekerasan Seksual ter-
hadap Perempuan”, Lembar Fakta No. 239, diperbaharui pada November 2014 www.
who.int/mediacentre/factsheets/fs239/en
26. 26
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
sebagai seseorang berusia 15-24 tahun.36
Dari sudut pandang perlindungan anak,
hal ini bisa menjadi masalah. Definisi WHO tentang kekerasan pasangan intim yaitu
“hubungan seks paksa dan bentuk-bentuk paksaan seks lainnya”,37
dan meliputi anak
perempuan belia dalam hubungan abusif dengan orang dewasa yang jauh lebih tua
yang sebaliknya didefinisikan sebagai eksploitasi seksual atau kekerasan seksual
anak untuk semua anak dibawah umur 18 tahun.
Piagam Pemuda Afrika mendefinisikan “pemuda” sebagai “setiap orang yang berusia
antara 15 dan 35 tahun” dan menggunakan istilah “pemuda” dan “orang muda” tersebut
secara bergantian. Piagam tersebut juga menyatakan bahwa orang muda yang berusia
antara 15 dan 17 tahun (yaitu pemuda dibawah umur 18 tahun) harus dianggap sebagai
orang yang belum dewasa.38
Kesimpulan: Ketika menggunakan istilah-istilah ini dalam konteks eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual anak, harus dijelaskan apakah istilah-istilah tersebut
memasukkan orang yang berusia 18 tahun atau lebih atau tidak. Disamping itu, harus
berhati-hati untuk memastikan hak hukum orang-orang yang berusia dibawah 18 tahun.
A.3.viii Anak dalam lingkungan online
Ø Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada bagaimana istilah ini digunakan.
Arti istilah “anak” sebagaimana yang dirujuk di atas dalam bab ini kadang-kadang lebih
sulit untuk ditangkap dalam ruang lingkup online karena istilah tersebut bisa terkait
dengan dua isu yang berbeda:
1. Tindakan anak secara online: Anak yang melakukan sebuah tindakan dalam
lingkungan online tidak berbeda dengan anak yang offline, bahkan jika haknya
untuk mengakses layanan online tertentu tanpa persetujuan orang tua bisa
sangat diperbolehkan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun. Walaupun
anak yang berumur di bawah batas usia yang telah ditentukan (mis: 13 tahun
untuk banyak layanan media sosial) bisa lebih rentan daripada anak-anak yang
usianya lebih tua, semua orang muda yang berusia dibawah 18 tahun berhak
atas perlindungan khusus.
2. Gambaran anak secara online: Anak tetaplah anak pada saat tertentu, tetapi
masa anak-anak, secara definisi, merupakan status sementara dan pasti
berlalu, yang akan anak tinggalkan saat dia semakin tua dan memasuki
masa dewasa. Akan tetapi, gambar kekerasan seksual anak tersebut dapat
tetap berada di dunia maya (online) jauh setelah dia mencapai masa dewasa
dan terus dikonsumsi (mis: disebarkan, dipertukarkan, dijual dan dibeli).
Pengorbanan anak dapat terjadi di satu negara pada waktu tertentu tetapi,
melalui penyebarluasan materi kekerasan seksual anak, dapat terus berlanjut
di berbagai negara dengan perundang-undangan yang berbeda atau pada
momen waktu yang sudah sangat jauh.
36 WHO dan Program Bersama PBB tentang HIV dan AIDS (UNAIDS), “Kekerasan ter-
hadap Perempuan dan HIV/AIDS: Persimpangan Kritis”, Seri Buletin Informasi No. 1,
http://www.who.int/hac/techguidance/pht/InfoBulletinIntimatePartnerViolenceFinal.pdf
37 Ibid.
38 Kepala Negara dan Pemerintah Uni Afrika, “Piagam Pemuda Afrika”, diadopsi di Ban-
jul, Juli 2006. http://africayouth.org/youth_charter
27. 27
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Semuanya, yaitu Protokol Opsional, Konvensi Lanzarote dan Konvensi Budapest,
mencakup tindakan-tindakan yang melampaui pembuatan materi kekerasan
seksual anak, termasuk diantaranya unsur pokok kejahatan tersebut, menyediakan,
menyebarkan, mengirimkan, mendapatkan dan memiliki materi kekerasan seksual
pada anak,39
tidak tergantung pada waktu yang telah berlalu sejak pembuatan materi
kekerasan seksual anak tersebut. Memang, Konvensi Lanzarote juga memasukkan
gambaran buatan atau foto realistis anak yang sebenarnya tidak ada (Pasal 20).
Kesimpulan: Anak adalah setiap orang dibawah usia 18 tahun, apakah dia bertindak
dalam lingkungan online atau offline. Perlindungan dari eksploitasi seksual dan
kekerasan seksual seharusnya tidak dikurangi oleh fakta bahwa anak bertindak secara
online.
Disamping itu, terkait dengan keterwakilan anak secara online tersebut, gambar ilegal
seorang anak tetap ilegal karena orang yang digambarkan dalam gambar tersebut
telah menjadi orang dewasa dan dia masih menjadi korban materi kekerasan seksual
anak (yaitu pornografi anak menurut hukum internasional dan banyak sistem hukum
nasional). Oleh karena itu, gambar atau rekaman seorang anak secara online tetaplah
seorang anak bahkan ketika orang yang digambarkan telah memasuki usia dewasa.
39 Konvensi Budapest, Supra 10, Pasal 9, Pasal 3(c) Protokol Opsional KHA tentang
penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak (supa 2) juga menyebutkan
menyebarluaskan, mengekspor, mengimpor dan menjual.
28. 28
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
B. Kekerasan seksual pada anak
O Istilah ini sepertinya memiliki sebuah arti yang telah disetujui secara umum dan/atau
dapat digunakan tanpa memberikan stigma dan/atau membahayakan anak tersebut.
B.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
i. 1989: KHA tidak mendefinisikan “kekerasan seksual”, tetapi memasukkan
“kekerasan seksual” dalam definisinya tentang “kekerasan” dalam Pasal 1940
dan secara khusus membahas perlindungan dari eksploitasi seksual dan
kekerasan seksual dalam Pasal 34.
ii. 2011: Konvensi Dewan Eropa tentang Pencegahan dan Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(“Konvensi Istanbul”) merujuk “kekerasan seksual” dalam Pasal 36. Disamping
itu, Pasal 3 Konvensi Dewan Eropa tersebut secara eksplisit juga memperluas
cakupan instrumen tersebut untuk memasukkan anak perempuan dibawah usia
18 tahun.41
B.2. Instrumen yang tidak mengikat
Istilah “kekerasan seksual” semakin banyak digunakan dalam resolusi Majelis Umum
PBB dan Dewan Hak Asasi Manusia. Berikut ini adalah beberapa contohnya.
i. 2010: Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia A/HRC/13/L.21 tentang Hak
Anak: Perang terhadap Kekerasan Seksual.42
ii. 2011: Resolusi Majelis Umum PBB 66/140 tentang Anak Perempuan
menyebutkan kekerasan seksual terhadap anak.43
iii. 2011: Resolusi Majelis Umum PBB 66/141 tentang Hak Anak, Ayat 23,
menyebutkan perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak lain.44
iv. 2011: Komentar Umum Komite KHA No. 13 tentang Hak Anak atas
Kebebasan dari Semua Bentuk Kekerasan memberikan sebuah definisi
yang luas tentang kekerasan terhadap anak yang memasukkan kekerasan
dan eksploitasi seksual. Komentar tersebut mendefinisikan lebih lanjut
tentang eksploitasi seksual dan kekerasan seksual sebagai “(a) Rayuan
atau paksaan kepada seorang anak untuk terlibat dalam aktifitas seksual
yang tidak sah atau secara psikologis membahayakan; (b) Penggunaan
anak dalam eksploitasi seksual komersial; dan (c) Penggunaan anak dalam
40 “Negara-Negara Peserta akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif,
sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan
fisik atau mental, luka atau kekerasan, pelelantaran atau perlakuan yang menelan-
tarkan, perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk kekerasan seksual, saat dalam
pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak.”
41 Dewan Eropa, “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Seri Traktat Dewan Eropa No.
210, diadopsi di Istanbul, 11 Mei 2014 http://www.coe.int/en/web/conventions/full-list/-/
conventions/treaty/210
42 Maret 2010 http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/LTD/G10/123/83/PDF/
G1012383.pdf?OpenElement
43 Diadopsi pada 19 Desember 2011 http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?sym-
bol=%20A/RES/66/140
44 Diadopsi pada 19 Desember 2011 http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?sym-
bol=%20A/RES/66/141
29. 29
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
gambar audio atau visual kekerasan seksual anak; (d) Pelacuran anak,
perbudakan seks, eksploitasi seksual dalam perjalanan dan pariwisata,
perdagangan (di dalam dan antar negara) dan penjualan anak untuk tujuan
seksual dan perkawinan paksa. Banyak anak mengalami pengorbanan
seksual yang tidak disertai oleh paksaan atau pengekangan fisik tetapi
meskipun demikian yang secara psikologis mengganggu, eksploitatif dan
traumatis.”45
v. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan
Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dalam Asosiasi Negara Asia
Tenggara (ASEAN), dalam Mukadimahnya, merujuk kebutuhan untuk
“mencegah dan melindungi [perempuan dan anak] dari dan respon pada
semua bentuk kekerasan, kekerasan dan eksploitasi […], termasuk
perempuan dan anak yang dieksploitasi secara seksual.”46
B.3. Pertimbangan terminologi
Walaupun istilah “kekerasan” sering digunakan terkait dengan beberapa bentuk
tindakan fisik; “keras” berarti “memiliki dampak yang besar atau kuat”.47
Walaupun
kamus bahasa Inggris sering merujuk “kekerasan” sebagai penggunaan kekuatan
fisik, juga diakui bahwa kekerasan berarti “tindakan atau kata yang dimaksudkan untuk
melukai orang.”48
Memang, semakin diakui bahwa kekerasan terhadap anak tidak
hanya bisa bersifat fisik tetapi juga psikologis dan seksual.49
Ide tentang “kekerasan seksual” umumnya digunakan ketika merujuk pada orang
dewasa dan sering dikaitkan dengan kekerasan berbasis jender dan wacana kesehatan
masyarakat dan sering dikaitkan dengan perkosaan.50
Deklarasi tentang Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 1993,
mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “setiap tindakan kekerasan
berbasis jender yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, bahaya atau
penderitaan fisik, seksual atau psikologis pada perempuan, termasuk ancaman
untuk melakukan tindakan seperti itu, paksaan atau perampasan kebebasan dengan
sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan umum atau pribadi.”51
Kekerasan
terhadap perempuan termasuk, tetapi tidak terbatas pada, “kekerasan fisik, seksual
dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, kekerasan seksual
45 Komite KHA, Komentar Umum No. 13, ayat 25.
46 ASEAN, “Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
di ASEAN” diadopsi pada Pertemuan ke-23, 9 Oktober
47 Lihat Oxford Advanced Learner’s Dictionary, asal dari kata “keras”.
48 Cambridge Advanced Learner’s Dictionary dan Thesaurus.
49 Lihat rujukan Resolusi Majelis Umum PBB dan Komite KHA yang telah disebutkan di
atas, Komentar Umum No. 13.
50 Misalnya, lihat E. Krug dkk, Laporan Dunia tentang Kekerasan dan Kesehatan, Jene-
wa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2006, Bab 6, hal. 149, dimana dijelaskan
bahwa “kekerasan seksual termasuk perkosaan, yang didefinisikan sebagai penetrasi
atau penembusan paksa – walaupun hanya sedikit – alat kelamin perempuan atau
anus secara fisik dengan menggunakan penis atau bagian tubuh lainnya atau se-
buah benda. Percobaan untuk melakukan hal demikian dikenal sebagai percobaan
perkosaan. Perkosaan terhadap seseorang oleh dua pelaku atau lebih juga dikenal
sebagai perkosaan beramai-ramai. Kekerasan seksual bisa termasuk bentuk-bentuk
penyerangan lain pada organ intim, termasuk kontak paksa antara mulut dan penis,
kemaluan perempuan atau anus.”
51 Dok. A/RES/48/104, 20 Desember 1993, Pasal 1.
30. 30
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan terkait dengan mahar,
perkosaan dalam pernikahan, pemotongan alat kelamin perempuan dan praktik-
praktik tradisional lain yang membahayakan perempuan, kekerasan non pasangan
dan kekerasan yang terkait dengan eksploitasi; kekerasan fisik, seksual dan psikologis
yang terjadi dalam masyarakat umum, termasuk perkosaan, kekerasan seksual,
pelecehan seksual dan intimidasi di tempat kerja, lembaga pendidikan dan ditempat
lain; perdagangan perempuan dan pelacuran paksa; dan kekerasan fisik, seksual dan
psikologis yang dilakukan atau dimaafkan oleh negara, dimanapun kekerasan tersebut
terjadi”.52
Deklarasi 1993 telah menjadi sebuah teks referensi pada tingkat global dan telah
memandu, misalnya, program WHO, yang, pada 2002, mendefinisikan kekerasan
seksual sebagai “setiap tindakan seksual, percobaan untuk mendapatkan sebuah
tindakan seksual, komentar atau rayuan seksual yang tidak diingini, atau tindakan
untuk memperdagangkan, atau jika tidak diarahkan, seksualitas seseorang dengan
menggunakan paksaan, oleh setiap orang tanpa memandang hubungan mereka
dengan korban, dalam situasi apapun, termasuk tetapi tidak terbatas pada rumah
dan tempat kerja”.53
Ditetapkan lebih lanjut bahwa “paksaan” dapat termasuk “seluruh
spektrum tingkat paksaan. Terlepas dari paksaan fisik, paksaan bisa termasuk intimidasi
psikologis, penculikan atau ancaman-ancaman lain.”54
Kajian Sekretaris Jenderal PBB tentang Kekerasan terhadap Anak dan Laporan Dunia
tentang Kekerasan terhadapAnak yang menyertai kajian tersebut menekankan kembali
wacana tentang kekerasan terhadap anak pada tingkat PBB55
dan mengambil KHA
(khususnya Pasal 19) dan definisi WHO tentang kekerasan sebagai titik awal. Kajian
tersebut secara sistematis merujuk kekerasan seksual dan mengkontekstualkannya
dalam berbagai situasi, termasuk, antara lain, kekerasan seksual, eksploitasi seksual,
pelecehan seksual dan pelanggaran seksual terkait dengan internet. Sejak saat itu,
jumlah Majelis Umum PBB dan resolusi Komite HakAnak yang semakin meningkat telah
merujuk pada kekerasan seksual terhadap anak,56
secara khusus sering menangani
eksploitasi seksual dan kekerasan seksual anak. Dalam beberapa tahun terakhir,
wacana dalam bidang perlindungan anak juga telah bergerak kearah bahasa yang
lebih “berbasis kekerasan” (mis: kekerasan terhadap anak (violence against children)
sebagai pengganti kekerasan anak (child abuse)).
Walaupun tidak ada definisi hukum yang disetujui secara internasional tentang
kekerasan seksual, yang tidak disebutkan baik dalam KHAmaupun Protokol Opsional,57
penting untuk mencatat bahwa Pasal 7 Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana
Internasional memasukkan kejahatan terhadap kemanusiaan diantaranya “perkosaan,
perbudakan seks, pelacuran paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa atau bentuk
kekerasan seksual lain dengan keberatan yang seimbang” (ketika dilakukan sebagai
52 Ibid., pasal 2.
53 E. Krug dkk., Laporan Dunia tentang Kekerasan dan Kesehatan, supra 50, Bab 6, hal.
149.
54 Ibid.
55 P.S. Pinheiro, Laporan Dunia tentang Kekerasan terhadap Anak, New York, UN, 2006.
56 Sebagai contoh, lihat Resolusi Majelis Umum PBB 66/140 (2011), 66/141 (2011),
68/146 (2013).
57 Akan tetapi, sebaiknya diingat bahwa KHA versi bahasa Prancis menggunakan termi-
nologi violence sexuelle yang teks bahasa Inggris rujuk sebagai kekerasan seksual
(sexual abuse). Lihat Pasal 19 dan 34 KHA.
31. 31
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
bagian dari sebuah serangan yang menyebarluas atau sistematis yang diarahkan pada
penduduk sipil manapun, dengan pengetahuan tentang serangan tersebut).58
Dalam sebuah laporan kepada Dewan Keamanan PBB, Sekretaris Jenderal PBB
menyatakan, “Menurut hukum internasional, kekerasan seksual tidak sama artinya
dengan perkosaan. Undang-undang dan hukum kasus Pengadilan Internasional untuk
Bekas Yugoslavia dan Rwanda dan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone, dan Unsur-
unsur Kejahatan dari Pengadilan Pidana Internasional, mendefinisikan kekerasan
seksual juga termasuk perbudakan seks, pelacuran paksa, kehamilan paksa, sterilisasi
paksa dan bentuk kekerasan seksual lain dengan keberatan yang seimbang, yang
bisa, tergantung pada keadaan, memasukkan situasi-situasi serangan tidak senonoh,
perdagangan, pemeriksaan medis yang tidak layak dan pencarian telanjang.59
Perincian
pelanggaran kekerasan seksual kedalam kategori-kategori yang telah dibuat di atas
memungkinkan sebuah pendekatan pada pencegahan yang lebih terfokus.60
Ide tentang “kekerasan seksual” semakin sering digunakan sebagai istilah payung
yang memasukkan eksploitasi seksual dan kekerasan seksual.61
Hal ini sejalan dengan
Komentar Umum Komite KHA No. 13 yang telah disebutkan di atas, yang secara jelas
menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak dapat bersifat fisik dan mental, dan
bahwa kekerasan mental termasuk “perlakuan salah psikologis, kekerasan mental,
kekerasan verbal dan kekerasan emosional atau penelantaran”.62
Sebuah pendekatan
serupa dapat ditemukan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diadopsi
oleh Majelis Umum PBB pada September 2015,63
yang memasukkan eksploitasi
seksual sebagai sebuah bentuk kekerasan. Pelaksanaan Agenda untuk Pembangunan
58 Majelis Umum PBB, “Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional” (aman-
demen terakhir pada 2010), diadopsi pada tanggal 7 Juli 1998, Pasal 7(g).
59 Sekretaris Jenderal PBB, “Laporan tentang Pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan
1820 (2008) dan 1888 (2009)”,
Dok. A/65/592 – S/2010/604, Ayat 4. Lihat juga Resolusi Dewan Keamanan tentang
kekerasan seksual dalam konflik 1820(2008), 1888(2009), dan 1325 (2000).
60 Misalnya, perbudakan seks atau pelacuran paksa bisa berbeda dalam kaitannya den-
gan logikanya dari pelaksanaan kebijakan khusus tentang kehamilan paksa selama
kampanye “pembersihan etnis” yang dirancang untuk mencapai tujuan militer atau
politik, atau perkosaan yang terjadi bersama-sama dengan perampasan untuk mener-
or penduduk atau sebagai akibat dari terlalu lemahnya struktur komando dan kontrol.
Tergantung pada situasi pelanggaran tersebut, kekerasan seksual dapat berupa
kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, aksi penyiksaan atau aksi genosida
utama.
61 Lihat WHO, Laporan Dunia tentang Kekerasan dan Kesehatan. Lihat juga Komite
Tetap Antar Lembaga (Inter-Agency Standing Committee – IASC), Panduan untuk
Mengintegrasikan Intervensi Kekerasan Berbasis Jender dalam Konteks Kemanu-
siaan, hal. 323, yang menggunakan definisi WHO dan menambahkan bahwa “[k]
ekerasan seksual termasuk, setidaknya, pemerkosaan, kekerasan seksual dan
eksploitasi seksual” dan “kekerasan seksual memiliki banyak bentuk, termasuk
perkosaan, perbudakan seks dan/atau perdagangan, kehamilan paksa, pelecehan
seksual, eksploitasi dan/atau kekerasan seksual, dan aborsi paksa.”
62 Komite KHA, Komentar Umum No. 13, Ayat 4 dan 25. Dalam Komentar Umum terse-
but, Komite tersebut juga menekankan bahwa pilihan istilah kekerasan (violence)
“tidak harus ditafsirkan dengan cara untuk meminimalisir dampak, dan harus menan-
gani, bentuk-bentuk bahaya non-fisik dan/atau tidak sengaja (antara lain seperti pene-
lantaran dan perlakuan salah psikologis)”.
63 Majelis Umum PBB, “Merubah Dunia Kita: Agenda untuk Pembangunan Berkelanjutan
2030”, Dok. A/RES/70/1, 25 September 2015 http://www.un.org/ga/search/view_doc.
asp?symbol=A/RES/70/1&Lang=E
32. 32
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
Berkelanjutan 2030 memerlukan monitoring perkembangan tentang penghapusan
semua bentuk kekerasan terahadap perempuan dan anak perempuan (Sasaran 5.2)64
dan penghapusan semua bentuk kekerasan pada anak (Sasaran 16.2).65
Disamping
itu, perhatian yang lebih besar yang diberikan pada kekerasan seksual pada anak
perempuan tercermin dalam data yang dikumpulkan pada tingkat nasional. Laporan
Perempuan, Trend dan Statistik Dunia 2015 yang dibuat oleh Divisi Statistik PBB66
berisi data tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan
dan, berdasarkan pada Deklarasi PBB 1993 tentang Kekerasan terhadap Perempuan
mendefinisikan kekerasan seksual sebagai “setiap bentuk tingkah laku seksual
berbahaya dan tidak diinginkan terhadap seseorang. Kekerasan seksual merupakan
kontak seksual abusif, keterlibatan paksa dalam tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual atau yang telah dilakukan dengan seorang perempuan tanpa persetujuannya,
pelecehan seksual, kekerasan verbal dan ancaman yang bersifat seksual, pembukaan,
sentuhan yang tidak diinginkan dan inses”.
Penggunaan istilah “kekerasan” yang semakin meningkat, khususnya ketika digunakan
untuk merujuk pada eksploitasi seksual dan kekerasan seksual, telah meningkatkan
kepedulianterkaitdenganfokusyangbisadiberikanolehistilahinipadatindakan-tindakan
perbuatan, dengan risiko melakukan tindakan-tindakan kelalaian (mis: penelantaran/
kurangnya pengawasan/kurangnya pengasuhan orang tua yang mengarah pada
kerentanan anak pada kekerasan/eksploitasi seksual) kurang terlihat. Hal ini juga telah
digarisbawahi dalam bidang kekerasan berbasis jender, dimana perhatian tersebut
sering diberikan pada orang-orang yang “melakukan” kekerasan, mengabaikan fakta
bahwa kekerasan merupakan akibat dari “kelalaian” dari “perbuatan”.67
Terkait dengan
anak-anak, Komite PBB, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan Pengadilan Hak
Asasi Manusia Antar Amerika semuanya telah jelas tentang fakta bahwa kekerasan
terhadap anak merupakan kegagalan untuk melindungi anak-anak dari bahaya atau
luka dan adalah kewajiban negara untuk berbuat demikian (kewajiban positif).68
“Kekerasan seksual” telah menjadi sebuah istilah penting dalam penyusunan program
dan pembuatan kebijakan dan semakin sering ditemukan dalam wacana umum. Ketika
ditafsirkan secara luas, istilah tersebut memiliki keuntungan, yaitu menjadi sebuah
istilah yang mencakup semua, termasuk semua derajat kekerasan dan semua bentuk
penderitaan yang ditimbulkan (fisik, psikologis atau seksual) serta semua jenis tindakan
(melalui kontak, tanpa kontak, oleh kelalaian). Pada satu sisi, penting bagi para
64 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 5 PBB, Sasaran 2: “Menghapus semua bentuk
kekerasan terhadap semua perempuan dan anak perempuan dalam ruang publik dan
pribadi, termasuk perdagangan serta eksploitasi seksual dan jenis-jenis eksploitasi
lain”.
65 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, Sasaran 2: Akhiri kekerasan, eksploitasi,
perdagangan dan semua bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”.
66 http://unstats.un.org/unsd/gender/aboutWW2015.html. Panduan untuk pembuatan
statistik tentang kekerasan seksual terhadap perempuan yang diterbitkan oleh Divisi
Statistik PBB juga memasukkan sebuah “daftar aksi minimum” yang harus dipertim-
bangkan: http://unstats.un.org/unsd/gender/docs/Guidelines_Statisitics_VAW.pdf
67 Sebagai contoh, lihat A. Basu, “Kekerasan Berbasis Jender: Tindakan Perbuatan dan
Tindakan Kelalaian” [web blog], 23 November 2015 http://unfoundationblog.org/gen-
der-based-violence-acts-of-commission-and-acts-of-omission/
68 Komite KHA, Komentar Umum No. 13, Ayat 20; Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa,
“Kasus X dan Y v. Belanda”, Keputusan tanggal 26 Maret 1985; Pengadilan Hak Asasi
Manusia Antar Amerika, “Kasus Gonzalez dkk. (Ladang Kapas”) v. Meksiko” Keputusan
tanggal 16 November 2009.
33. 33
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
pembuat kebijakan dan pembuat undang-undang untuk mencari sebuah pendekatan
yang terintegrasi untuk perlindungan anak dari semua pelanggaran martabat manusia
dan integritas seksual mereka dan pada sisi yang lain, untuk memonitor dan bertindak
untuk mencegah dan merespon bentuk-bentuk kekerasan seksual baru dan untuk
mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan perlindungan anak
yang efektif, termasuk memberikan mekanisme rujukan yang layak.69
Terkait dengan anak-anak, istilah “kekerasan seksual” dan “eksploitasi seksual”,
sebagaimana yang akan ditunjukkan dalam bagian-bagian berikut ini secara lebih
terperinci, benar-benar ditetapkan dalam hukum internasional dan tetap menjadi kunci
ketika menangani pelanggaran hak-hak anak yang bersifat seksual. Dalam banyak
sistem hukum dalam negeri,70
serta dalam hukum UE,71
penggunaan kekerasan dapat
mewakili sebuah faktor yang mengganggu dalam kejahatan seksual terhadap anak.
Terakhir, kekerasan seksual bisa merupakan sebuah bentuk penyiksaan atau perlakuan
atau hukuman lain yang kejam, tidak berprikemanusiaan atau merendahkan dalam
keadaan tertentu. Konvensi PBB untuk Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Berperikemanusiaan atau Menghinakan menyatakan
bahwa “’penyiksaan’ berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani,
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau
dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan
69 Mekanisme rujukan adalah sebuah kerangka kerjasama dimana aktor negara me-
menuhi kewajiban mereka untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak korban.
Komite KHA, dalam Komentar Umum No. 13 mereka, menyatakan dalam Ayat 50 bah-
wa “Orang yang menerima laporan tersebut seharusnya memiliki panduan yang jelas
dan mendapatkan pelatihan tentang kapan dan bagaimana untuk merujuk masalah
tersebut kepada lembaga manapun yang bertanggung jawab untuk mengkoordinir
respon tersebut. […] Para profesional yang bekerja di dalam sistem perlindungan anak
harus dilatih tentang kerjasama antar lembaga dan protokol untuk kerjasama. Pros-
es tersebut akan termasuk: (a) penilaian partisipatoris berbagai disiplin ilmu tentang
kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang anak, pengasuh dan keluarga tersebut,
yang meminta dan memberi pertimbangan layak pada pandangan-pandangan anak
serta pandangan-pandangan pengasuh dan keluarga tersebut; (b) membagikan ha-
sil-hasil penilaian tersebut kepada anak, pengasuh dan keluarga tersebut; (c) rujukan
anak dan keluarga tersebut ke berbagai layanan untuk memenuhi kebutuhan-kebutu-
han itu; dan (d) tindak lanjut dan evaluasi tentang kecukupan intervensi tersebut.”
70 Beberapa contoh: di Brazil “Dos crimes contra a liberdade sexual” http://www.oas.
org/juridico/MLA/sp/bra/index.html; di Argentina “Delitos contra la integridad sexual”
http://www.infoleg.gov.ar/infolegInternet/anexos/15000-19999/16546/texact.htm#17; di
Spanyol “Delitos contra la libertad e indemnidad sexuales” https://www.boe.es/legisla-
cion/
codigos/codigo.php?id=038_Codigo_Penal_y_legislacion_complementaria&modo=1;
di Prancis “Des ateintes àl’intégrité physique ou psychique de la personne” http://
www.legifrance.gouv.fr/afchCode.do?cidTexte=LEGITEXT000006070719; di Jerman
“Offences against sexual self-determination” https://www.gesetze-im-internet.de/en-
glisch_stgb/englisch_stgb.html
71 Direktif 2011/93/EU, supra 14, Pasal 9 tentang “keadaan yang mengganggu”: “Sejauh
ini, keadaan-keadaan berikut ini belum membentuk bagian dari unsur-unsur pokok
dari kejahatan tersebut […], Negara Anggota harus mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan bahwa keadaan-keadaan berikut ini bisa, sesuai den-
gan ketentuan-ketentuan hukum nasional terkait, dipandang sebagai keadaan yang
mengganggu […]”: (g): ”Kejahatan tersebut merupakan kekerasan serius atau menye-
babkan bahaya serius pada anak tersebut.”
34. 34
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau
memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan
pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut, ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah atau orang
lain yang berbuat dalam sebuat kapasitas resmi.”72
Komite PBB untuk Menentang
Penyiksaan telah menyatakan bahwa Komite tersebut memandang “kekerasan seksual
dan perdagangan sebagai tindakan-tindakan penyiksaan berbasis jender dan berada
dalam bidang Komite tersebut”,73
dan telah berulang kali mengaitkan kekerasan seksual
dengan penyiksaan.74
Sebuah pendekatan serupa dapat ditemukan didalam Komisi
Hak Asasi Manusia Antar Amerika yang telah mengakui dan membuka sesi dengar
pendapat tentang berbagai laporan siksaan seksual terhadap perempuan di Meksiko
yang juga berjanji untuk meneruskan tema tersebut.75
Disamping itu, Komite Hak Anak
PBB yang dibentuk berdasarkan Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik76
mengakui bahwa kekerasan dan kekerasan seksual bisa berbentuk penyiksaan atau
perlakuan kejam, tidak berperikemanusiaan atau merendahkan.77
Perjanjian tersebut
dengan sengaja menahan diri dari menguraikan sebuah definisi penyiksaan yang
eksplisit, atas dasar bahwa sifat, tujuan dan keseriusan sebuah tindakan – bukan
72 Diadopsi pada tanggal 10 Desember 1984, Pasal 1.
73 Misalnya, lihat http://www1.umn.edu/humanrts/svaw/law/un/enforcement/comtorture.
htm. Akan tetapi, harus dicatat bahwa, Komite PBB untuk Menentang Penyiksaan
hanya mempertimbangkan kekerasan yang dilakukan oleh Negara Peserta dan tidak
menangani isu-isu terkait dengan perorangan atau aktor non-Negara secara ekslusif.
Misalnya, lihat http://www.ohchr.org/
Documents/Publications/FactSheet17en.pdf
74 Misalnya, dalam Kesimpulan Pengamatannya tentang Laporan Periodik Kelima Fed-
erasi Rusia, (29 Oktober-23 November 2012), Komite untuk Menentang Penyiksaan
mengungkapkan keprihatinan berikut ini (Ayat 14): “Meskipun ada laporan yang terus
menerus tentang sejumlah tuduhan terkait banyak bentuk kekerasan pada perem-
puan di seluruh Negara Peserta, Komite untuk Menentang Penyiksaan prihatin bahwa
hanya ada sejumlah kecil laporan, penyelidikan dan penuntutan terhadap tindakan-tin-
dakan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk
perkosaan dalam pernikahan.” Baru-baru ini, Kesimpulan Pengamatannya tentang
laporan awal tentang Irak (11012 Agustus 2015), Komite untuk Menentang Penyik-
saan mengungkapkan keprihatinan khususnya terkait “laporan tentang para pejuang
ISIL yang memperkosa para tawanan perempuan, dan tentang fakta bahwa kelompok
ekstrimis ini telah mengadakan sebuah pola kekerasan seksual, penculikan dan perd-
agangan manusia yang menyasar perempuan dan anak perempuan yang berasal dari
kelompok agama dan suku minoritas (lihat S/2015/203, ayat 28-31). Komite tersebut
juga merasa prihatin dengan laporan tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh
para anggota tentara Irak dan milisi dari semua pihak yang berkonflik. Komite tersebut
juga lebih prihatin tentang impunitas nyata yang diperoleh oleh para pelaku tinda-
kan-tindakan seperti itu (pasal 1, 2, 4 dan 16).”
75 Lihat http://hrbrief.org/2015/03/reports-of-sexual-torture-of-women-in-mexico/
76 Komite Hak Anak PBB adalah sebuah badan monitoring traktat untuk Perjanjian In-
ternasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik yang dibentuk berdasarkan pada Pasal
28 Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, 23 Maret 1976, 999U.N.T.S
1057.
77 Sebagai contoh, lihat Kesimpulan Pengamatanoleh Komite Hak Asasi Manusia berikut
ini: Cabo Verde, Dok. PBB
CCPR/C/CPV/CO/1; Honduras, Dok. PBB CCPR/C/HND/CO/1; Kenya, Dok. PBB
CCPR/C/KEN/CO/3, ayat 17; Malawi,
Dok. PBB CCPR/C/MWI/CO/1, ayat 15; Mozambik, Dok. PBB CCPR/C/MOZ/CO/1,
ayat 17. Lihat juga Komite Hak Anak PBB, “V.D.A dan Argentina”, Komunikasi No.
1608/2007, 29 Maret 2011, Dok. PBB CCPR/C/101/D/1608/2007.
35. 35
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
sebuah daftar pelanggaran atau kejahatan yang telah ada sebelumnya – seharusnya
menentukan apakah itu penyiksaan.78
Dalam semua keadaan, Negara diwajibkan
untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi anak-anak dari bentuk kekerasan
atau kekerasan seksual apapun, baik yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak
dalam sebuah kapasitas resmi, diluar kapasitas resmi mereka, atau dalam sebuah
kapasitas pribadi.79
Kesimpulan: Kekerasan pada anak mencakup eksploitasi seksual dan kekerasan
seksual anak dan dapat digunakan sebagai sebuah istilah payung untuk secara
bersama-sama merujuk pada fenomena-fenomena ini, baik terkait dengan tindakan
perbuatan dan kelalaian dan dikaitkan dengan kekerasan fisik dan psikologis.
Pada saat yang sama, dalam kerangka kerja yang lebih luas ini, penting juga untuk
tetap mempertahankan sebuah fokus yang lebih sempit pada perwujudan khusus
kekerasan terhadap anak yang berbeda-beda untuk mengembangkan strategi-strategi
perlindungan dan pencegahan yang tepat serta respon korban anak yang spesifik
sesuai dengan kasus tersebut. Dari perspektif hak anak, yang jadi masalah adalah
bahwa perlindungan yang diberikan atau dicari baik melalui perundang-undangan
maupun kebijakan harus seluas dan seefektif mungkin yang tidak meninggalkan ruang
celah dan mendapatkan semua perlindungan dan kebebasan anak dari bahaya.
B.4 Istilah terkait
B.4.i Serangan seksual pada anak
O Istilah ini kelihatannya memiliki sebuah arti yang telah disetujui secara umum dan/
atau dapat digunakan tanpa memberikan stigma dan/atau membahayakan anak
tersebut.
“Serangan seksual” didefinisikan sebagai “aksi atau sebuah tindakan memaksa
seseorang yang tidak memberi persetujuan untuk terlibat dalam aktifitas seksual;
sebuah kejahatan yang melibatkan kontak seksual paksa” atau “kontak seksual yang
biasanya melibatkan paksaan pada seseorang tanpa persetujuan”.80
78 Komite Hak Anak PBB, “Pasal 7 (Pelarangan Penyiksaan atau Perlakuan atau Huku-
man Kejam, Tidak Berperikemanusiaan atau Merendahkan Lain)”, Komentar Umum
CCPR No. 20, 10 Maret 1992, Ayat 4.
79 Ibid., Ayat 2.
80 Lihat Oxford British dan World English Dictionary dan Merriam-Webster Dictionary.
36. 36
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
C. Kekerasan seksual anak
O Istilah ini sepertinya memiliki sebuah arti yang telah disetujui secara umum dan/atau
dapat digunakan tanpa memberikan stigma dan/atau membahayakan anak tersebut.
C.1. Definisi dalam instrumen yang mengikat secara hukum
i. 1989: KHA merujuk pada “semua bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan
seksual” dalam Pasal 34, yang menjelaskan tentang syarat bagi Negara
Peserta untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi dan kekerasan seksual
sebagai berikut ini: “Untuk tujuan ini, Negara-Negara Peserta khususnya
akan mengambil langkah-langkah yang layak, bilateral dan multilateral
untuk mencegah: (a) Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap
kegiatan seksual yang tidak sah; (b) Penggunaan anak secara eksploitatif
dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lain yang tidak sah; (c)
Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan-pertunjukan dan
materi-materi pornografi.”
ii. 1999: Piagam Afrika tentang Hak dan Kesejahteraan Anak merujuk dalam
Pasal 27 pada “semua bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual”.
iii. 2007: Konvensi Lanzarote merujuk pada “eksploitasi seksual dan kekerasan
seksual anak”. Mukaddimah tersebut menyatakan bahwa “semua bentuk
kekerasan seksual anak, termasuk tindakan yang dilakukan di luar negeri,
merusak kesehatan dan perkembangan psikososial anak.” Konvensi
tersebut menyatakan lebih lanjut dalam Pasal 3(b) bahwa “eksploitasi
seksual dan kekerasan seksual anak harus memasukkan tingkah laku
sebagaimana yang dirujuk dalam Pasal 18 sampai 23 dari Konvensi ini.” Ini
mencakup kekerasan seksual, pelanggaran terkait dengan pelacuran anak,
pornografi anak, keikutsertaan anak dalam pertunjukan pornografi, korupsi
anak dan permohonan anak untuk tujuan seksual. Pasal 18(1) secara
khusus merujuk pada “kekerasan seksual”, yang pasal tersebut definisikan
untuk tujuan-tujuan kriminalisasi sebagai berikut: “(a) melibatkan dalam
aktifitas-aktifitas seksual seorang anak yang, menurut ketentuan-ketentuan
hukum nasional yang relevan, belum mencapai usia hukum untuk aktifitas-
aktifitas seksual”81
dan: “(b) melibatkan dalam aktifitas-aktifitas seksual
seorang anak dimana: kekerasan, paksaan atau ancaman digunakan;
atau sebuah posisi kepercayaan, kewenangan atau pengaruh pada anak
tersebut disalahgunakan, termasuk dalam keluarga; atau sebuah situasi
yang sangat rentan disalahgunakan, utamanya karena kecacatan mental
atau fisik atau sebuah situasi ketergantungan.”
iv. 2011: Direktif UE 2011/93 menyatakan, dalam Pasal 3nya, sebuah definisi
yang seksama tentang pelanggaran terkait dengan kekerasan seksual dan
memasukkan dalam definisi itu fakta yang menyebabkan seorang anak
menyaksikan aktifitas-aktifitas seksual atau kekerasan seksual, terlibat
dalam aktifitas-aktifitas seksual dengan seorang anak dan menggunakan
kekerasan, paksaan atau ancaman kepada seorang anak untuk masuk
kedalam aktifitas-aktifitas seksual dengan pihak ketiga.
81 Harus dicatat bahwa Pasal 18(3) menyatakan bahwa Pasal 18(1)(a) tidak mencakup
aktifitas seksual yang disetujui bersama diantara anak-anak.
37. 37
Panduan Terminologi untuk Perlindungan Anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual
C.2 Instrumen yang tidak mengikat
Istilah “kekerasan seksual anak” sering digunakan dalam resolusi Majelis Umum PBB
dan Dewan Hak Asasi Manusia tentang hak anak (dikenal sebagai Resolusi Omnibus)
dan dokumen-dokumen internasional dan regional lain yang tidak mengikat (mis:
dokumen Dewan Eropa).
C.3. Pertimbangan terminologi
KHA tidak menjelaskan apa perbedaan antara kekerasan seksual anak dan eksploitasi
seksual anak. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa kekerasan seksual anak
tidak membutuhkan unsur imbalan dan dapat terjadi hanya untuk tujuan kepuasan
seksual dari orang yang melakukan tindakan tersebut, sedangkan eksploitasi seksual
anak dapat dibedakan dengan sebuah ide pokok tentang imbalan (untuk mengetahui
informasi lebih lanjut tentang eksploitasi seksual anak, lihat infra, Bagian D). Fitur
kekerasan seksual anak yang berulang (walaupun tidak sangat diperlukan) adalah
bahwa kekerasan seksual anak dilakukan oleh seseorang yang tidak asing bagi korban
dan yang memiliki bentuk kewenangan atau kekuasaan atas mereka.82
Kewenangan
seperti itu dapat didasarkan pada ikatan keluarga (mis: sanak keluarga), sebuah posisi
kewenangan atau kontrol (mis: guru, pelatih) atau faktor-faktor lain. Kekuasaan yang
dimiliki oleh seseorang atas seorang anak juga dapat berasal dari jalinan sebuah
hubungan kepercayaan atau ketergantungan, untuk tujuan memanipulasi anak tersebut
untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual.83
Menurut kamus-kamus utama, kekerasan merujuk pada perlakuan kejam atau kasar,
termasuk seksual, seseorang, khususnya secara reguler atau berulang-ulang.84
Fakta
bahwa seseorang yang menyalahgunakan seorang anak secara seksual lebih sering
adalah seseorang yang kenal dengan anak tersebut daripada yang tidak kenal juga
memfasilitasi pengulangan tindakan tersebut.85
PBB telah memberikan sebuah definisi umum yang sangat luas tentang kekerasan
seksual (tidak secara khusus terkait dengan anak), merujuk pada “gangguan fisik nyata
atau ancaman yang bersifat seksual, apakah dengan paksaan atau dibawah kondisi
yang tidak setara atau memaksa”.86
82 Misalnya, lihat Pinheiro, Laporan Dunia tentang Kekerasan pada Anak, supra 55, Bab
3. Laporan Penjelasan untuk Konvensi Lanzarote (ayat 48) juga menerangkan bahwa
statistik menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual anak biasanya adalah orang-
orang yang dekat dengan korban.
83 Ibid.
84 Lihat Oxford British and World English Dictionary.
85 Sepertinya ada sebuah hubungan yang jelas antara fakta bahwa pelaku kekerasan
seksual pada anak sering kali pengasuh yang dikenal dan dipercaya dan fakta bahwa
kekerasan seksual pada anak terjadi secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang
lama, dengan cara yang semakin invasif secara seksual. Sebagai contoh, lihat WHO,
“Panduan untuk Layanan Medis-Hukum untuk Korban Kekerasasn Seksual”, Jenewa,
WHO, 2003, Bab 7, hal. 76.
86 Sekretariat PBB, “Buletin Sekretaris Jenderal tentang Langkah-Langkah Khusus
untuk Perlindungan dari Eksploitasi dan Kekerasan Seksual”, 9 Oktober 2003, Ba-
gian 1https://oios.un.org/resources/2015/01/ST-SGB-2003-13.pdf. Komite Tetap Antar