SlideShare a Scribd company logo
1 of 32
Download to read offline
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



                                  KATA PENGANTAR


    “Karena di sana ada harapan kesuksesan dalam memerangi HIV/AIDS, seluruh dunia harus
                             bersatu dalam sebuah aliansi global.”

                                 Koffi Annan, Pendahuluan – Deklarasi Komitmen (Juni, 2001)



Ketika kita memasuki dekade ketiga perjuangan melawan epidemi global AIDS, sangat jelas
– meskipun teknologi telah berkembang dan meningkat; ARV mulai tersedia di negara-negara
yang tidak pernah kita bayangkan akan mampu menyediakan obat tersebut; dan pemerintah
serta kelompok masyarakat berhasil membuka beberapa pintu yang tidak pernah dibuka
sebelumnya – namun, kita tahu bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus
dilakukan ke depannya. Sebuah pekerjaan yang tidak akan pernah bisa dilakukan sendirian.

Kami menyadari bahwa lebih banyak pemimpin dibutuhkan dari kedua belah pihak –
pemerintah dan kelompok masyarakat. Pemimpin yang tidak hanya tahu bagaimana untuk
bertindak dan berbicara, tetapi juga untuk duduk dan mendengarkan. Dan yang paling
penting, pemimpin yang tahu bagaimana caranya bekerjasama dengan konstituen mereka, dan
dengan para pemimpin lainnya. Melalui Forum UNGASS Indonesia, kami mencoba untuk
mengejar ide kolaborasi antara jaringan nasional dan organisasi yang berdiri atas dasar
keinginan dan komitmen bersama, untuk bekerja bersama dalam menghadapi salah satu
epidemi terburuk yang ada di dunia: AIDS. Dan jika dunia sekalipun pernah mengajarkan kita
tentang “ide”, adalah bahwa hal itu tidak akan pernah bisa sempurna ketika kita
merealisasikannya. Namun, pengejaran ide adalah hal yang membuat Forum UNGASS
Indonesia tetap berjalan di jalurnya.

Melalui Forum UNGASS Indonesia, kami memenuhi salah satu peran mendasar kami sebagai
pergerakan berbasis masyarakat sipil: sebagai pengawas. Namun, kami menyadari bahwa
kami tidak seharusnya hanya mengawasi kemajuan pemerintah maupun pihak luar lainnya,
namun kami juga menggunakan kesempatan untuk merefleksikan kemajuan kami sebagai
sebuah gerakan masyarakat sipil. Meskipun kami menemukan banyak kemajuan yang telah
dilakukan oleh pemerintah, lembaga bi-multilateral dan kelompok masyarakat, kami juga
menemukan banyak ruang-untuk-perbaikan yang signifikan, yang sekali lagi, hanya dapat
ditingkatkan jika kita menemukan cara untuk bekerja sama.

Forum UNGASS Indonesia ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam membentuk forum, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
untuk kemitraannya dan HIVOS untuk dukungannya. Namun, Forum UNGASS Indonesia
ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada GESTOS, LACCASO dan Ford
Foundation, khususnya, atas dukungan yang tiada akhir bagi forum.

Untuk dunia yang lebih baik,

Forum UNGASS AIDS Indonesia

Anggota forum:  JOTHI – IPPI – PKNI – GWL­Ina – OPSI – MAP – JSG – IKON – OUR 
VOICE  –  LP3Y  –  PITA  –  KPI  –  GERBANG  –  Pantura  Plus  –  REMPAH  –  Bina  Hati  – 
STIGMA – Solidaritas Perempuan 




                                                                
                                          Hal. 1 
                                                                
Forum UNGASS-AIDS Indonesia






                                 
                 Hal. 2 
                                 
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



A.    PENDAHULUAN

Menguatkan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah tugas penting bagi
pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam rangka memperkuat respon
nasional terhadap HIV/AIDS. Tidak dapat disangkal bahwa OMS telah terlibat dalam
respon nasional terhadap HIV dan AIDS sejak dini bahkan ketika pemerintah belum
siap untuk menghadapi stigma dan diskriminasi yang sejalan dengan perkembangan
epidemi.

Sejak tahun 2007, koalisi perwakilan masyarakat sipil telah bekerja sangat keras
untuk menangkap elemen-elemen dalam respon nasional terhadap HIV/AIDS yang
mungkin terlewatkan dalam mekanisme pelaporan nasional kepada UNAIDS
dikarenakan perumusan indikator. Pada tahun 2008, Forum UNGASS-AIDS
Indonesia menyerahkan laporan independen pertama mereka kepada UNAIDS.

Di tahun 2009, forum melanjutkan proses dengan tambahan anggota dan
diselenggarakan oleh JOTHI (Jaringan ODHA Indonesia). Saat ini Forum UNGASS
Indonesia memiliki 18 anggota OMS, yang terdiri dari lima LSM berskala nasional
yang merupakan LSM dari mereka yang terkena dampak HIV dan 13 LSM yang
bergerak di lingkup HIV. Pada periode pelaporan tahun 2010, komitmen kembali
dinyatakan untuk berkontribusi dalam pelaporan UNGASS 2010 dengan menyusun
sebuah laporan bayangan yang menyoroti aspek-aspek kualitatif dari indikator
UNGASS yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan negara. Untuk melakukan hal
tersebut, koalisi melakukan studi lapangan di enam kota, melakukan wawancara
mendalam dengan pemangku kepentingan terkait dan mengkaji data sekunder. Hasil
tersebut kemudian digunakan dalam laporan ini untuk menyoroti analisis kami
terhadap indikator terkait. Karena laporan ini didasarkan pada studi lapangan yang
didanai oleh GESTOS, LACASSO, Ford Foundation dan HIVOS untuk menilai
situasi jender dan pengawasan hak asasi manusia terkait kekerasan pada perempuan,
masalah kesehatan seksual dan reproduksi, dan HIV dan AIDS – tidak semua
indikator UNGASS relevan dengan laporan ini.


B.    TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN

Tujuan dari pelaksanaan penjajakan ini adalah sebagai berikut:

     1. Untuk memahami bagaimana isu-isu hak asasi manusia dinyatakan,
        diimplementasikan, dan diawasi dalam kaitannya dengan pencegahan HIV dan
        AIDS.
     2. Untuk menyoroti bagaimana isu-isu yang berkaitan dengan anak, remaja, dan
        wanita dinyatakan dalam respon terhadap HIV dan AIDS yang sudah
        berlangsung.
     3. Untuk memahami aspek kualitatif pengalaman dalam mengakses atau
        memanfaatkan layanan dan program pencegahan HIV dan AIDS.
     4. Untuk memahami masalah kepemimpinan antara lembaga pemerintah, mitra
        pembangunan, dan organisasi masyarakat sipil dalam pelaksanaan Strategi
        Nasional yang berkaitan dengan epidemi HIV dan AIDS.




                                                            
                                       Hal. 3 
                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



C.   METODOLOGI

C.1. Lokasi penjajakan dan pengumpul data
Penjajakan ini dilaksanakan di enam kota: Aceh, Jakarta, Jogjakarta, Samarinda,
Manado dan Jayapura (lihat Gambar 1). Lokasi ini ditentukan berdasarkan prevalensi
HIV dan AIDS yang terlaporkan (Depkes RI – 2009). Data dikumpulkan dari bulan
September-Desember 2009. Anggota Forum UNGASS dan anggota LSM lokal
diundang untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data. Mereka dilatih untuk
menggunakan instrumen penjajakan dan untuk mengumpulkan data sekunder dari
instansi terkait.


C.2. Nara sumber dan pengumpulan data
Nara sumber kami adalah sukarelawan yang direkrut melalui LSM lokal, kecuali
mereka yang mewakili institusi sektoral pemerintah, Komisi AIDS Nasional, dan
Lembaga Hak Asasi Manusia, serta mitra pembangunan di Jakarta. Lihat Tabel 1
(terlampir) untuk penjelasan lebih lanjut.


Tabel 1: Peta lokasi penelitian




                                                                           




Dalam Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah), 165 nara sumber
berpartisipasi mewakili populasi kunci (39), pekerja seks wanita (39), pasangan
seksual wanita penasun (37), kalangan pemuda (43), LSM terkait HIV (7). Exit
interview kami mampu melibatkan 13 klien. Wawancara mendalam dilakukan pada
28 individu yang bekerja di berbagai organisasi terkait HIV dan AIDS (lihat tabel 1)




                                                           
                                      Hal. 4 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



Data sekunder diperoleh melalui KPA, Komisi Hak Asasi Perempuan, Komisi Hak
Asasi Manusia, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Kami juga mengambil data
dari mitra pembangunan, khususnya UNAIDS, FHI-ASA, dan HCPI.


Tabel 1: Nara sumber

                              FGD                  Wawancara mendalam               Exit interview

Nara sumber           ‐ Populasi kunci1        Provinsi/Kota:                   Pasien HIV yang
                      ‐ Pekerja seksual                                         mengakses layanan
                         wanita                Dinas Kesehatan                  kesehatan di rumah
                      ‐ Pasangan seksual       Komisi AIDS                      sakit atau puskesmas
                         penasun               Kepala Sekolah SMA
                      ‐ Remaja/pemuda          (pemerintah)
                       -                       Nasional:                        -

                                               KPA
                                               KPAI (perlindungan anak)
                                               Komisi Hak Asasi Manusia
                                               Komisi Hak Asasi Perempuan
                                               HCPI
                                               FHI
Jumlah nara            6 – 8 nara sumber per   1 nara sumber                    1 – 3 nara sumber
sumber                 kelompok

Jenis kelamin          Proporsional            -                                -

Pengalaman             Sudah pernah            Mitra pembangunan: paling        (Akan) selesai
terkait AIDS           mengakses layanan       tidak sudah mengelola program    menjalankan layanan
                       terkait HIV/AIDS        HIV/AIDS selama 3 tahun          yang sedang dijalani

Usia                   Remaja/pemuda           -                                -
                       berusia 15-24 tahun



C.5. Analisis data
Seperti yang dinyatakan dalam tujuan penelitian dan metodologi, sebagian besar data
dan informasi yang kami kumpulkan bersifat kualitatif. Dalam analisis ini kami
tertarik untuk melihat kategori pengalaman umum dan pendapat yang berkaitan
dengan intervensi dan program HIV yang sudah ada. Analisis ini akan dihubungkan
dengan analisis kami pada data sekunder dan informasi yang tersedia.


C. 4. Persetujuan Etika
Persetujuan etika merupakan sebuah proses dan diperoleh melalui Komite Etika
Universitas Katolik Atma Jaya (Lihat surat no 827/LPPM-KE/12/2009 – terlampir).
Seluruh nara sumber beserta populasi kunci, remaja/pemuda, pekerja seks wanita, dan
pasangan seksual wanita penasun diminta untuk menandatangani informed consent
                                                        
1
    
Anggota populasi kunci: homoseksual, waria, lesbian, pengguna narkotika, ODHA, dan pekerja seks.


                                                                        
                                                   Hal. 5 
                                                                        
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



(surat pernyataan kesediaan) setelah diberikan informasi mengenai assessment
(penjajakan) ini. Masalah kerahasiaan diperlakukan secara serius dalam assessment
(penjajakan) ini.


D. HASIL
Uraian dari hasil penelitian kami berikut ini dikategorikan ke dalam Indikator Inti
UNGASS (Guideline of UNGASS on AIDS 2010 Reporting – Pedoman UNGASS
tentang Pelaporan AIDS 2010). Tidak semua indicator relevan dalam pelaporan ini.
Hanya indikator yang termasuk dalam penjajakan kami yang kami sertakan dalam
laporan ini. Sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya, kami lebih tertarik untuk
meneliti sisi kualitatif atau pengalaman subjektif daripada aspek kuantitatif (lingkup,
cakupan, besaran) dari indikator ini.


D.1. INDIKATOR UNGASS 1 & 2: KEPEMIMPINAN – PEMBIAYAAN
PEMERINTAH DAN KEBIJAKAN HIV

D.1.a. Kepemimpinan Pemerintah
Sejak pelaksanaan Strategi Nasional 2007-2010, kepemimpinan baru di KPA telah
mampu memobilisasi sumber daya dari pemangku kepentingan lokal, nasional, dan
internasional – termasuk Global Fund. Kami sangat menghargai komitmen
pemerintah untuk mendukung pencegahan, perawatan, serta pengobatan HIV dan
AIDS. Pendanaan untuk HIV dan AIDS telah meningkat secara signifikan dari tahun
2006 hingga 2010. Bahkan, pendanaan domestik telah melebihi pendanaan asing pada
tahun 2008/9. Dalam sambutannya, Presiden Bambang Yudhoyono menyatakan
bahwa:
“Pemerintah Indonesia juga telah secara signifikan meningkatkan alokasi sumber 
daya dalam negeri untuk AIDS.  Antara tahun 2006 hingga 2009, anggaran yang 
dialokasikan untuk AIDS meningkat 7 kali lipat, dari US$ 11 miliar menjadi US$ 73 
miliar.   Anggaran  provinsi  dan  daerah  juga  meningkat  sekitar  350%,  dari  Rp  20 
juta menjadi Rp 74 juta.”2
Sebagai tambahan, KPA telah mampu memberikan kesempatan dan kebebasan nyata
bagi perwakilan dari komunitas yang terkena dampak HIV untuk berpartisipasi dalam
perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program terkait
AIDS. Presiden memuji kebijakan inklusi tersebut dan menunjukkan bahwa beliau
akan mempertahankan kepemimpinan dan melanjutkan advokasi konstruksif seperti
yang tersirat di bawah ini:
“… pendekatan yang komprehansif, berbelas kasih dan inklusif.”3
Laporan ini juga menghargai upaya bersama untuk mensinergikan Strategi Nasional
2010-2014 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

                                                        
2
    Diunduh dari: http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2009/08/09/1202.html, 22 Maret 2010.
3
    Ibid.


                                                                            
                                                            Hal. 6 
                                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



2010-2014. Hal ini berarti bahwa strategi nasional diadopsi dan dilaksanakan oleh
seluruh departemen sektoral dan akan dilaksanakan secara sesuai.
Kami juga ingin mencatat bahwa sejak tahun 2005 pemerintah telah meluncurkan
asuransi kesehatan negara bersubsidi (JAMKESMAS) yang dapat diakses oleh
ODHA. Bahkan, Undang-Undang No. 36/2009 tentang kesehatan yang baru
diberlakukan berisikan mandat kepada pemerintah pusat untuk mengalokasikan 5%
dari anggaran nasional dan kepada pemerintah provinsi untuk mengalokasikan 10%
dari anggarannya untuk membiayai pelayanan kesehatan termasuk JAMKESMAS.
Laporan ini juga ingin mengapresiasi peningkatan transparansi dalam penganggaran
pemerintah untuk HIV dan AIDS. Kami mengakui bahwa informasi mengenai
penganggaran dan implementasi program di KPA relatif lebih mudah untuk
didapatkan.
Harus diakui bahwa kepemimpinan di KPA mampu menarik pemangku kepentingan
yang berpengaruh untuk bersama-sama secara sukses mengajukan proposal Global
Fund putaran 8 dan 9. Untuk lima tahun ke depan Global Fund akan memainkan
peran penting dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS.
Laporan ini, bagaimanapun juga, memiliki beberapa catatan antara lain:
       1. Sulit untuk mendapatkan informasi mengenai penganggaran dan implementasi
          program di kementerian sektoral (departemen). Sedangkan KPA, sebagai
          koordinator dan lembaga multi-sektoral, telah berkomitmen pada investasi
          program yang minim-biaya, berdampak-besar yang pasti berfokus pada
          populasi dengan resiko tinggi, populasi dengan resiko yang tidak lebih tinggi
          akan ditangani oleh program-program sektoral. OMS memiliki pengetahuan
          yang sangat sedikit mengenai apa yang telah dikembangkan,
          diimplementasikan, dan apa dampak program sektoral HIV dan AIDS.
          Tampaknya mekanisme koordinasi di KPA belum mampu untuk menegakkan
          transparansi pada lembaga sektoral. Salah satu konsekuensi koordinasi longgar
          tersebut adalah praktek yang tidak dipantau oleh lembaga buruh migran yang
          memberlakukan tes wajib seperti yang tercantum di bawah ini.
       2. Berdasarkan NASA (National AIDS Spending Assesment 2008 – Assessment
          (Penjajakan) Pengeluaran Nasional untuk AIDS tahun 2008)4 pengeluaran
          keseluruhan untuk HIV dan AIDS di tahun 2008 adalah sebesar USD
          50.831.105 dimana 60,97% (USD 30.989.683) dibiayai oleh sektor
          internasional dan 39,03% (USD 19.841.422) oleh sektor domestik/publik
          (pemerintah pusat dan daerah). Hampir separuh dari pengeluaran HIV dan
          AIDS digunakan untuk pencegahan (47,5%), sedangkan pengeluaran untuk
          pengelolaan program dan pembiayaan sumber daya manusia mencapai 29,06%
          dan pengeluaran untuk pengobatan dan perawatan sebesar 14,41% sementara
          pengeluaran bagi anak-anak rentan dan anak yatim piatu (OVC) dan
          perlindungan sosial masih tetap rendah. Tidak ada data yang cukup untuk
          mengetahui besarnya penyerapan oleh pemerintah. Global Fund adalah
          sumber pendanaan terbesar dari sektor multilateral di Indonesia semenjak


                                                        
4
    
KPA
(2008),
National AIDS Spending Assesment.



                                                                            
                                                            Hal. 7 
                                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



             tahun 2008 sementara tidak ada data yang cukup untuk menunjukkan peran
             sektor swasta nasional.
      3. Laporan penganggaran yang tersedia oleh pemerintah daerah tidak
         dikumpulkan berdasarkan provinsi dan jumlah kontribusi. Selain itu, penting
         untuk mengetahui bagaimana anggaran pemerintah daerah diinvestasikan. Ada
         indikasi bahwa rencana strategis HIV dan AIDS di kementerian sektoral tidak
         memperoleh cukup dukungan dari pihak berwenang di provinsi/kota atau
         kabupaten5. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah,
         pihak berwenang di provinsi dan kabupaten dapat menyusun prioritas
         pembangunan mereka sendiri. Informasi anggaran gabungan dibutuhkan untuk
         advokasi masyarakat di tingkat provinsi/kota/kabupaten.
      4. Masalah administratif dan teknis dalam mengakses JAMKESMAS biasanya
         menghalangi ODHA untuk memanfaatkan skema ini. Studi lapangan kami
         menemukan contoh sebagai berikut:
             “… tidak sebanding… Bagaimanapun juga saya harus pergi ke rumah sakit…
             Pihak rumah sakit mengatakan tidak ada ruangan kosong. Saya juga harus
             membayar dan harus tandatangan di sini, di sana… untuk waria seperti saya
             yang ngga punya KTP… sangat sulit… saya mungkin sudah mati kalau saya
             harus mengikuti keseluruhan prosedurnya…” (FGD – populasi kunci,
             Jakarta)
             “… Hanya di rumah sakit ini saya bisa menggunakan JAMKESMAS dan
             JAMKESDA… Rumah sakit ini bisa membantu kita mengisi persyaratan
             administratif untuk asuransi…” (Exit Interview – klien HIV – Jogja)
             “… Jika saya menggunakan asuransi pemerintah, biasanya dokter akan
             memberkan kami resep obat yang tidak disokong JAMKESMAS karena obat
             yang disokong tidak tersedia… jadi, bagaimanapun juga kami harus tetap
             membayar…” (FGD – populasi kunci, Jakarta)
      5. Dengan merujuk pada implementasi Global Fund putaran 8, pengamatan
         terbatas kami menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di CCM kurang
         transparan, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan PR (resipien utama)
         dan lembaga pelaksana. Meskipun OMS menjadi wakil dalam CCM pada
         tahun 2007-2009, OMS berada di luar konstituensi CCM serta tidak menerima
         banyak informasi dan kesempatan untuk memberikan masukan kepada CCM6.
         Selain itu, semua informasi terkait CCM tersedia dalam bahasa Inggris.
         Meskipun CCM sekarang ini memiliki kesekretariatan, kesekretariatan
         tersebut belum mampu menciptakan mekanisme yang menjamin transparansi
         dan akuntabilitas kepada publik.




                                                        
5
   UNESCO (2010) assessment (penjajakan) respon sektor pendidikan terhadap HIV dan AIDS
mengungkapkan komitmen yang bervariasi dari otoritas pendidikan di tingkat provinsi/kota.
6
  CCM II Advocacy Project Report “Enggaging CS Representative in CCM Global Fund Indonesia”,
(Irwanto et al., 2010).


                                                                            
                                                            Hal. 8 
                                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



D.1.b. Peran Mitra Pembangunan
Peran mitra pembangunan tidak diragukan lagi sangat penting dalam meningkatkan
respon nasional kita terhadap HIV dan AIDS. Mereka telah berperan dalam
menyediakan bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas, implementasi program,
serta dalam mengembangkan situasi kebijakan yang memungkinkan untuk
dilaksanakannya intervensi yang efektif. Saat ini kita melihat usaha yang lebih
terpadu dari mitra pembangunan untuk menyinkronkan bantuan mereka dengan
strategi nasional. Bahkan, banyak program HIV dan AIDS yang menempel pada
infrastruktur kesehatan pemerintah yang sudah ada. Sejak tahun 2006, seluruh inisiatif
mitra pembangunan telah dikoordinasikan oleh KPA sesuai dengan prinsip Tiga Pilar
(Three-ones) pada kerangka berpikir, koordinasi, serta monitoring dan evaluasi. Pada
tahap awal respon nasional kita terhdap HIV dan AIDS, mitra pembangunan sanggup
membawa wakil-wakil komunitas rentan dan terdampak untuk memiliki posisi
menonjol dalam pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Mengingat
Indonesia sekarang ini dianggap sebagai negara dengan penghasilan menengah,
dukungan internasional dan bilateral bagi negara yang akan diterima negara ini akan
menjadi lebih berkurang.
Oleh karena itu, laporan ini ingin memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
      1. Kami mengamati kurangnya negosiasi mendalam dan serius pada strategi exit
         antara mitra pembangunan dan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan
         respon berbasis komunitas terkait HIV dan AIDS yang didukung oleh mitra
         pembangunan. Penghapusan secara bertahap oleh ASA-FHI, sebagai contoh,
         telah mengurangi jumlah LSM dari 135 menjadi hanya 25 LSM per Maret
         2010 yang sebagian didukung oleh ASA dan mitra pembangunan lainnya7.
         Selebihnya harus mencari sumber daya sendiri demi mempertahankan
         kegiatan mereka. Melaksanakan pengembangan kapasitas dan layanan kepada
         masyarakat selama kurang dari seperempat tahun tidak dapat diterima. Kami
         berharap bahwa dalam keadaan seperti ini pemerintah daerah (KPAD) dan
         Global Fund secara alami akan mengambil alih. Tetapi hal ini tidak terjadi.
         Jika banyak dari mereka akhirnya menutup kegiatan atau layanan mereka, ini
         akan menjadi kehilangan yang besar bagi komunitas dan menyia-nyiakan
         investasi tahunan.
      2.     Hasil ini mencerminkan keengganan, ketidaksiapan, atau kurangnya apresiasi
             pada inisiatif dalam bentuk apapun di luar infrastruktur pemerintah.
             Masyarakat lupa bahwa sebelum pemerintah mulai menyediakan layanan bagi
             ODHA dan komunitas, LSM-LSM kecil tersebut sudah ada dan melakukan
             penjangkauan, menyediakan informasi, dan menciptakan perbedaan. Banyak
             dari mereka tidak dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan mereka, karena
             mereka dikondisikan untuk tergantung pada donor.




                                                        
7
    Wawancara dengan perwakilan FHI tertanggal: 15 Desember 2009.


                                                                            
                                                            Hal. 9 
                                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



D.1.c. Peran OMS dan Kepemimpinan OMS
Komunitas selalu menjadi elemen utama dalam masyarakat kita untuk merespon
tantangan atau masalah yang melanda atau mempengaruhi kesejahteraan anggotanya.
Semenjak pengakuan resmi bahwa Indonesia telah dipengaruhi HIV, sejumlah orang
di Bali, Surabaya, dan Jakarta mengambil inisiatif untuk memobilisasi sumber daya
untuk menghadapi tantangan tersebut. Sejumlah LSM berdiri dan ketika Indonesia
menerima bantuan internasional untuk mengatasi masalah ini, LSM mulai
bermunculan secara signifikan untuk mengambil peluang yang ditawarkan.
Mengingat HIV dan AIDS merupakan epidemi yang penuh dengan stigma dan
diskriminasi, infrastruktur pemerintah – termasuk rumah sakit – cukup tahan untuk
menerima atau memulai program yang berkaitan dengan HIV.
Oleh karena itu, adalah wajar jika masyarakat sipil mengambil kepemimpinan perang
melawan epidemi bersama dengan stigma dan diskriminasi. Oleh karena itu, adalah
wajar juga bahwa ketika mitra pembangunan mencari kemitraan, mereka menemukan
sebagian besar LSM yang menyambut peluang tersebut. Hanya setelah reformasi
politik dan pergerakan yang kuat berbasis hak-hak dasar di tahun 1998 dan
setelahnya, infrastruktur pemerintah lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat
sipil. KPA didirikan pada tahun 1994 melalui Keputusan Presiden No. 36 sebagai
badan multisektoral yang bertugas untuk mengkoordinasikan respon nasional
terhadap HIV dan AIDS. Badan ini tetap murni sebagai institusi negara sampai
Strategi Nasional kedua tahun 2003-2007 diluncurkan ketika prinsip GIPA diadopsi.
Kemitraan yang lebih dinamis antara instansi pemerintah, mitra pembangunan, dan
masyarakat sipil muncul belakangan ini ketika KPA menerima mandat baru di tahun
2006.
Selain dari LSM nasional yang sudah lama berdiri seperti PKBI, Spiritia dan YPI, saat
ini kami memiliki enam (6) jaringan komunitas yang terdampak HIV: Jangkar, IPPI,
GWL-Ina, PKNI, JOTHI dan OPSI. Jaringan-jaringan ini mewakili ratusan aktivitas
berbasis masyarakat di seluruh bangsa. Meskipun kami menyaksikan banyak
kemajuan dalam gerakan OMS, laporan ini ingin menekankan pada beberapa hal di
bawah ini:
    1. Sebagain besar LSM tergantung pada donor atau proyek. Mereka kekurangan
       masukan dari pemerintah dan komunitas. Situasi ini menempatkan mereka
       pada posisi yang rentan, khususnya ketika sumber utama mereka berhenti atau
       ditarik keluar.
    2. Sebagain besar LSM ini melakukan kegiatan khusus yang berkaitan dengan
       HIV dan AIDS. Hanya sedikit dari mereka yang menangani masalah lebih luas
       seperti jender, kemiskinan, akses terhadap keadilan dan hak asasi manusia.
       Dengan demikian, mereka terisolasi dari gerakan pembanguan dengan
       pengarusutamaan sosial, budaya, dan politik.
    3. Studi lapangan kami juga menunjukkan bahwa sebagian besar laporan yang
       dibuat oleh LSM ditujukan pada penyedia dana (donor) mereka. Mereka
       kekurangan transparansi, dan oleh karena itu, akuntabilitas, kepada konstituen
       komunitas mereka sendiri.




                                                           
                                       Hal. 10 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



    4. Kurangnya transparansi ini mempersulit setiap upaya bersama untuk
       menyelaraskan atau mensinergikan kegiatan mereka dari dampak yang
       optimal dan mengurangi tumpang tindih atau pengulangan yang tidak perlu.


REKOMENDASI:
    1. KPA sebagai lembaga multi-sektoral harus memperkuat peran untuk
       mengkoordinasikan kebijakan, program, dan kegiatan terkait HIV di tingkat
       kementrerian sektoral. Setidaknya di KPA tersedia data mengenai kegiatan
       sektoral dan praktek terbaik yang dilaporkan.
    2. Pemerintah harus memberikan contoh transparansi, akuntabilitas, dan
       keberlanjutan dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS. Mereka harus
       dapat mempromosikan prinsip good governance (tata kelola yang baik) tidak
       hanya untuk kebijakan kelembagaan dan program mereka sendiri tetapi juga
       untuk CCM sebagai mekanisme implementasi Global Fund.
    3. KPA, lembaga pemerintah lainnya (khususnya Depkes), dan mitra
       pembangunan, harus mampu memformulasikan strategi keluar yang dapat
       dikerjakan yang dapat menjamin keberlanjutan program dan kegiatan OMS.
       KPAP (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi) dan sumber daya lainnya
       harus dimobilisasi untuk mengadopsi program dan kegiatan ini ketika donor
       utama mereka berhenti memberikan bantuan.
    4. OMS harus lebih waspada dalam mengantisipasi akhir proyek yang
       didanai. Mereka harus membiasakan diri mereka untuk mengembangkan
       kemitraan dengan pemangku kepentingan lain, khususnya dengan konstituen
       mereka sendiri, sektor swasta atau dengan koalisi internasional OMS. Mereka
       harus mencari dan belajar dari praktek terbaik dari LSM yang lebih lama
       seperti Spiritia, YPI, dan PKBI.
    5. Mitra pembangunan harus mencakupkan bantuan teknis dalam hal
       keterampilan manajemen bagi LSM yang akan dapat membantu
       mempertahankan program dan kegiatan mereka.




D.2. INDIKATOR UNGASS 4: PERAWATAN HIV (TERAPI
ANTIRETROVIRAL)

Penyediaan ARV telah menjadi salah satu intervensi yang paling penting dalam
strategi nasional untuk mencegah kematian dan penyebaran infeksi HIV lebih
lanjut. Data yang tersedia menunjukkan bahwa saat ini (Depkes, Desember 2009)
terdapat 15.422 ODHA yang menerima dan mengkonsumsi ARV diantara 50.510
klien dengan HIV yang saat ini menjalani pengobatan (Lihat Tabel 4).

Data juga menunjukkan bahwa Indonesia semakin baik dalam menjalankan kebijakan
ini. Kematian akibat infeksi oportunistik yang mencapai 46% pada tahun 2006, pada
tahun 2008 bisa ditekan hanya menjadi 17%. Kematian setelah mengkonsumsi ARV
pada tahun 2008 adalah 11,2% dan pada tahun 2009 menjadi 10,8%. Kehilangan


                                                         
                                      Hal. 11 
                                                         
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



kontak juga semakin membaik, dari 5,6% di tahun 2008 menjadi 5% pada tahun
2009. Dibalik peningkatan secara kuantitatif, kita masih perlu memperhatikan hal-hal
berikut ini:

1. Tidak jelas dari data yang tersedia bagaimana ODHA di Papua – dimana epidemi
   ini   sudah      bersifat   umum      –   dapat  mengakses     ARV     secara
   berkelanjutan. Barraclaugh, et al., 2008 memperkirakan bahwa terdapat sekitar
   2.600 ODHA yang membutuhkan terapi ARV pada tahun 2009-2010 dan saat ini
   hanya sekitar 400 sampai 500 orang (20%) yang menerimanya. Serapan yang
   rendah ini menunjukkan beberapa masalah dalam sistem kesehatan yang
   menyediakan terapi ARV.

2. Kami tidak memiliki layanan untuk mendeteksi resistensi terhadap
   ARV. Beberapa ODHA telah mengkonsumsi ARV untuk beberapa waktu dan
   menemukan bahwa jumlah viral load tidak berkurang dan menjadi sakit.

3. Meskipun diakui bahwa penyediaan ARV semakin membaik, kita masih
   menghadapi masalah dalam hal pengaturan rantai pasokan, terutama di kota satelit
   atau kota-kota kecil. Masalah ini juga menyebabkan beberapa klien pada akhirnya
   mengakses ARV yang dijual secara komersial.

4. Ketidaktersediaan ARV pediatrik, terutama dalam bentuk sirup dalam hampir
   setiap layanan yang tersedia. Beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan
   resep dengan dosis obat yang tidak pasti, dihitung dari dosis orang
   dewasa. Karena kegiatan ini sebagian didukung oleh Global Fund, kami harus
   mencatat bahwa saat ini kami tidak memiliki akses pada laporan implementasi
   Global Fund terkait dengan masalah ini.

5. Studi UIC-ARC (2010) menunjukkan bahwa banyak penasun yang mengakses
   ARV menemui banyak masalah kesehatan mental, termasuk kelelahan, yang
   mempengaruhi kepatuhan mereka dan dapat mengakibatkan resistensi.

Studi lapangan kami menemukan hal-hal berikut:

 “… Kami merasakan ketika pasokan ARV dihentikan selama dua minggu – dalam kasus ini
akhirnya kami meminjam dari teman…” (FGD – populasi kunci, Jogja)

“… Saya tinggal di Klaten, saya harus mengakses layanan di RS Sardjito di Jogja..” (Exit
interview, Jogja)

“… Saya memiliki pengalaman ketika pasokan ARV saya tidak tersedia selama dua minggu.
Dokter memberikan saya resep dimana beliau mengatakan untuk membeli substitusi ARV di
apotek… Saya tidak tahu obat apa itu…” (FGD – populasi kunci, Manado)

“… anak saya berusia tahun dan membutuhkan ARV. Dokter memberikan dia Neviral &
Duviral karena Zidofudin habis pasokannya…” (DKT Perempuan, Jakarta)




                                                             
                                        Hal. 12 
                                                             
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



Tabel 4: Situasi perawatan ARV di Indonesia (2008 dan 2009)

    Tanggal                               November 2009              Desember 2008
                                          Jumlah    %                Jumlah    %
                                           pasien                     pasien
    Menjalani perawatan HIV              50510                         36628
    Tidak layak                          17335           34.3         13268      36.2
    Layak                                33175           65.7         23360      63.8
    Tidak pernah menjalani terapi ARV    7791            23.5          5480      23.5
    Pernah menjalani terapi ARV          25384           76.5         17880      76.5
    Meninggal dunia                      2729            10.8          2005      11.2
    Hilang kontak                        1272            5              998       5.6
    Ditransfer                           932             3.7            649       3.6
    Berhenti                             15442           60.8         10616      59.4
    Masih menjalani terapi ARV           5009            19.7          3612      20.2
    Orisinil lini 1                      12358           246.7         8444     233.8
    Substitusi lini 1                    2734            54.6          1994      55.2
    Pindah ke lini 2                     30              0.6            178       4.9
    Jumlah rumah sakit                             163                    150
IV Laporan triwulan DepKes, Des 2009.



REKOMENDASI

      1. Kami membutuhkan informasi lebih lanjut tentang situasi di Papua. Jarak
         geografis, budaya dan faktor-faktor politik telah memberi kontribusi pada
         kerentanan Tanah Papua atas ketelantaran yang dilakukan oleh pemerintah
         pusat. Sangat penting bahwa semua laporan nasional harus secara eksplisit
         mencakupkan situasi di daerah ini.

      2. Kami akan mendukung upaya bersama pemerintah untuk meminimalkan
         insiden habisnya pasokan ARV, terutama di kota-kota kecil dan
         kabupaten. Mekanisme laporan dapat diciptakan yang memungkinkan klien
         ARV dari tingkat kabupaten dapat melaporkan keluhan mereka.

      3. Kami mendesak pemerintah untuk memberlakukan ketersediaan ARV
         pediatrik sebagai hal yang mendesak.

      4. Layanan terapi ARV harus dihubungkan dengan layanan kesehatan mental
         lainnya untuk menangani masalah komplikasi emosional, termasuk kelelahan,
         dan memastikan kepatuhan.




                                                                  
                                        Hal. 13 
                                                                  
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



D.3. INDIKATOR UNGASS 5: PMTCT

Indonesia mulai melihat dampak tak terelakkan dari HIV bagi anak-anak dan
pemuda. Menurut laporan tahunan Depkes (2009), selama lima tahun terakhir kita
telah menyaksikan peningkatan pesat infeksi HIV pada anak-anak dan pemuda (lihat
Gambar 2). Meskipun rendahnya cakupan PMTCT di Indonesia pada tahun 2008
(kurang dari 10%) kami ingin memberikan catatan pada beberapa hal berikut:
1. Sebagian besar layanan PMTCT di klinik antenatal di kota-kota besar di pulau
   Jawa disokong oleh LSM (Gustav, 2008). Kita membutuhkan lebih banyak
   investasi pada struktur kesehatan pemerintah di provinsi-provinsi, terutama di
   Papua dan daerah lain dengan prevalensi tinggi HIV di antara para
   perempuan. Menimbang bahwa hanya 31% penduduk di Tanah Papua, sebagai
   contoh, yang mengetahui ketersediaan tempat tes dan hanya 20% dari ODHA
   yang membutuhkan terapi ARV yang menerima layanan tersebut, menyediakan
   layanan PMTCT di daerah tersebut tampaknya tetap menjadi tantangan besar.
2. Penjajakan lapangan kami juga menunjukkan bahwa informasi yang
   menghubungkan VCT, PMTCT, dan pencegahan HIV/AIDS sering tidak begitu
   jelas.
3. Kebanyakan layanan PMTCT tersedia di kota-kota besar dan di
   Jawa. Peningkatan layanan di kota-kota kecil dan wilayah lain secara serius
   diperlukan.
4. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk isu-isu kekerasan seksual (domestik),
   trafficking, dan segala macam eksploitasi seksual lainnya terhadap perempuan dan
   anak-anak saling berhubungan erat dengan kerentanan perempuan dan anak-anak
   untuk terinfeksi HIV. Isu-isu ini harus diintegrasikan dalam strategi AIDS
   nasional (lihat juga Indonesia Country Progress Report on Sex Trafficking of
   Children and Young Person, 2009).
5. Menurut laporan UNAIDS mengenai penularan HIV dalam hubungan intim
   pasangan (2009) adalah penting untuk memasukkan dan mengintegrasikan
   pelayanan tentang seksualitas laki-laki dalam semua layanan kesehatan seksual
   dan reproduksi yang dikhususkan bagi perempuan. Dalam hal ini, kami melihat
   kebutuhan dan kurangnya ketentuan dan integrasi.
6. Ketakutan akan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, yang dapat ditemukan
   dalam institusi pelayanan dan perawatan, tetap merupakan hambatan penting
   dalam pemanfaatan layanan PMTCT oleh ibu atau wanita hamil (lihat UNAIDS
   Intimate Partner Report, 2009).


Penjajakan lapangan kami menemukan hal-hal berikut ini:

“… tidak semua ODHA paham tentang PMTCT. Saya mempunyai teman yang HIV
positif yang terkejut dan sedih ketika dia tahu bahwa dia hamil. Dia tidak mau hamil.
Ketika dia diberitahu bahwa ada layanan PMTCT di rumah sakit lokal yang bisa
mengurangi kemungkinan bayinya terinfeksi HIV, dia merasa lega…” (FGD –
populasi kunci, Jogja)



                                                           
                                       Hal. 14 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



“… Di sini (di Manado) informasi mengenai PMTCT tidak cukup. Tentang apa itu…,
Saya tidak tahu…” (FGD – wanita, Manado)

“Di sini, dokter selalu menyarankan klien ODHA untuk jangan hamil… jadi, layanan
PMTCT tidak tersedia secara umum…” (FGD - wanita, Manado)

“Banyak wanita positif yang hamil merasa khawatir bahwa mereka mungkin tidak
bisa memperoleh layanan yang berkualitas dan aman karena stigma akan statusnya
sebagai ODHA… oleh karena itu, banyak dari mereka tidak terbuka mengenai
serostatus mereka… karena ketika pekerja kesehatan mengetahui bahwa klien mereka
HIV positif, banyak dari mereka ketakutan…” (FGD - wanita, Manado)


Gambar 2: Kasus kumulatif HIV dan AIDS pada usia 0-19 tahun (1995-2009)




Sumber: Depkes, 2009 (dilaporkan pada bulan Juni dan dimutakhirkan pada 7 Agustus 2009)



REKOMENDASI

    1. Lebih banyak informasi dibutuhkan harus disediakan di layanan terkait HIV
       yang menghubungkan VCT, PMTCT, dan ARV.

    2. Penyedia layanan harus bekerja sangat keras untuk memastikan bahwa
       layanan mereka bebas dari stigma dan diskriminasi. Sebagai tambahan,
       layanan yang didirikan di daerah berisiko tinggi harus dapat menjangkau klien
       daripada hanya menunggu klien datang untuk mengakses layanan. Lebih
       penting lagi, seksualitas dan kesehatan reproduksi laki-laki juga harus menjadi
       bagian dari layanan yang ada untuk membantu klien laki-laki untuk
       memahami resiko dan bisa melindungi pasangannya.



                                                                   
                                            Hal. 15 
                                                                   
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



    3. Pelayanan kesehatan mental, terutama konseling individu dan keluarga harus
       tersedia di semua layanan PMTCT.

    4. Sangat mendesak untuk memasukkan isu-isu kekerasan terhadap perempuan
       dan isu-isu terkait lainnya dalam Rencana Strategi Nasional.


D.4. INDIKATOR UNGASS 7 & 8: TES HIV (UMUM DAN POPULASI
DENGAN RESIKO TINGGI)

Diakui bahwa VCT adalah kunci untuk intervensi dini dan pengobatan. Kami juga
menghargai upaya bersama untuk meningkatkan ketersediaan VCT melalui LSM,
klinik, dan puskesmas. Laporan ini ingin memberikan beberapa catatan sebagai
berikut:

    1. Tidak ada tinjauan ataupun evaluasi terhadap kualitas standar layanan
       VCT. Dikarenakan banyaknya pelatihan dan ratusan layanan VCT yang
       berdiri, kualitas layanan harus dipastikan. Studi lapangan kami dan laporan
       oleh Solidaritas Perempuan menunjukkan adanya praktek VCT yang tidak
       tepat.

    2. Ada banyak insiden tes non-sukarela yang tidak tercatat. Solidaritas
       Perempuan melaporkan bahwa sebagian besar pekerja migran telah dites tanpa
       konseling sebelum keberangkatan mereka sebagai bagian dari pemeriksaan
       kesehatan wajib. Selama pemeriksaan kesehatan, mereka tidak diberitahu
       pemeriksaan kesehatan macam apa yang akan mereka jalani. Informed consent
       (surat pernyataan kesediaan) tidak diberikan. Ketika tes menunjukkan hasil
       yang reaktif, pekerja migran diberitahu bahwa dia tidak layak dan karenanya
       tidak dapat diberangkatkan. Untuk penjelasan lebih lanjut mereka akan dirujuk
       ke LSM atau rumah sakit yang menyediakan layanan terkait HIV (Solidaritas
       Perempuan, 2009).

    3. Banyak klien yang pergi untuk melakukan VCT tidak mengambil hasil
       tes. Mungkin ada beberapa alasan untuk ini tindakan ini. Pertama, klien begitu
       takut akan hasil dan tidak yakin akan manfaat dari tes yang dilakukan. Kedua,
       klien merasa bahwa mereka tidak mungkin mampu mengatasi hal yang akan
       terjadi setelah mereka mengetahui hasil tes (reaktif) dan, oleh karena itu,
       memilih untuk tidak tahu. Banyak klien VCT yang mungkin telah
       menyaksikan teman-teman sebaya mereka yang menjadi depresi setelah
       mengetahui hasil tes yang positif. Wawancara dengan penasun yang menerima
       kabar buruk setelah melakukan VCT menunjukkan bahwa banyak dari mereka
       yang terpuruk emosi dan jiwanya, tidak bisa berpikir jernih, dan bahkan ada
       beberapa yang bunuh diri (ARC-UIC, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
       meningkatkan pelayanan VCT tanpa menyediakan dukungan kesehatan mental
       lanjutan dapat menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Ketiga,
       banyak orang mungkin sudah pernah mendengar cerita tentang diskriminasi
       terhadap ODHA. Cerita seperti itu membuat mereka percaya bahwa tidak ada
       keuntungan apapun ketika seseorang didiagnosis menderita HIV.




                                                           
                                       Hal. 16 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



Studi lapangan kami menemukan hal-hal berikut ini:

1. Kesulitan dalam mengakses layanan VCT

“… untuk layanan terkait HIV, seharusnya disediakan di tempat-tempat yang mudah
untuk diakses. Jadi, ketika kami harus mengakses layanan, kami tidak harus pergi ke
rumah sakit… karena hal itu sulit…” (FGD – populasi kunci, Manado)

“… ya, tanpa mengatakan apapun dia mengambil darah saya… ketika saya tanya…
dia jawab… ‘Kamu tahu itu untuk apa’…” (FGD - wanita, Papua)

“… kami sering ditanya mengapa kami suka pergi keluar malam-malam… kami
diminta untuk merubah kebiasaan kami… kami melakukan itu karena itu adalah
pekerjaan kami… setelah itu kami lebih suka pergi ke VCT keliling yang disediakan
oleh LSM…” (FGD – populasi kunci, Jogja)

2. Layanan HIV dan AIDS menyediakan contoh buruk dan membantu
mempromosikan stigma negatif dan diskriminasi pada ODHA.

“… Saya sedang hamil ketika itu tetapi saya tidak terinfeksi HIV. Suami saya adalah
orang yang terinfeksi HIV. Ketika dokter memeriksa saya, secara tiba-tiba dia
langsung memasangkan masker, menggunakan sarung tangan, sesuatu yang tidak dia
lakukan ketika kehamilan saya masih berada di trimester pertama. Dia memutuskan
bahwa saya tidak bisa melahirkan anak saya di rumah sakit tersebut karena
peralatan yang tidak lengkap. Saya bilang berulang kali kalau saya sudah dites
sebanyak tiga kali dan saya dan bayi sehat. Tetapi dia tetap bersikeras kalau saya
tidak bisa melahirkan bayi saya di sana…” (FGD - wanita, Jakarta)
“… mereka tahu kalau saya HIV positif sehingga mereka membuat saya menunggu
dari pagi hingga sore (di ruang tunggu dokter). Ketika saya tanya ‘Kenapa?’…,
suster menjawab ‘Kamu HIV positif’…, saya malu di depan pasien lainnya” (FGD -
wanita, Jakarta)
“… ketika saya pergi ke dokter gigi di puskesmas, saya diminta untuk menunggu
hingga pasien habis… suster menjelaskan ke saya itu karena saya HIV positif. Dia
juga bilang kalau dia bersikap baik dengan meminta saya menunggu daripada
menolak saya…” (FGD - wanita, Jakarta)
“… di tengah-tengah wawancara pekerjaan, pihak manajemen menghentikan
wawancara ketika mereka tahu bahwa saya adalah mantan pecandu…” (FGD –
populasi kunci, Samarinda)
“… Pacar saya tidak sadar ketika dia dibawa ke rumah sakit. Darahnya dites dan
positif. Saya ikutan tidak sadar. Tetangga saya diberitahu tentang hal itu. Kami diusir
jam 1 pagi. Mereka bilang bahwa kami membawa penyakit ganas dan bisa
menginfeksi orang lain di lingkungan…” (FGD – wanita, Samarinda)




                                                             
                                        Hal. 17 
                                                             
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



REKOMENDASI

      1. Lebih banyak informasi mengenai manfaat VCT bagi orang yang terlibat atau
         berhubungan dengan orang yang terlibat dalam perilaku berisiko harus
         tersedia di semua program dan kegiatan terkait HIV.

      2. VCT harus dihubungkan langsung dengan layanan lain, khususnya dengan
         konseling pasangan, konseling trauma atau kecanduan, perawatan kesehatan
         dasar, IMS, LJSS, dan layanan terapi substitusi. Bila memungkinkan,
         dianjurkan bahwa layanan tersebut disediakan secara terpadu.


D.5. INDIKATOR UNGASS 9: PROGRAM PENCEGAHAN PADA POPULASI
DENGAN RESIKO TINGGI

Kelompok-kelompok masyarakat yang termasuk dalam populasi dengan resiko tinggi:
   a. IBBS-MARP 2007/2008 (MOH, 2008)8: Pekerja seks komersial (PSK-pria
      dan wanita; langsung dan tidak langsung), pengguna narkoba suntik
      (penasun), homoseksual, waria, LSL, pelanggan PSK, pria yang terlibat dalam
      pekerjaan berisiko, nelayan, pengemudi truk dan ojek), dan remaja.

      b. Strategi Nasional 2010-2014: Pekerja seks komersial (laki-laki/perempuan),
         pelanggan PSK, pasangan seksual pelanggan PSK, LSL, dan penasun.

      c. Tim estimasi tahun 2009: semua yang disebut di atas (b), narapidana9

Berdasarkan inklusi di atas, kita dapat mencatat bahwa buruh migran, pasangan
seksual penasun, petugas dan personel militer, dan mungkin kelompok masyarakat
lain yang mungkin berisiko karena pekerjaan mereka, orientasi seksual, atau
kontak/hubungan dengan individu beresiko tinggi tidak termasuk dalam penjajakan
dan strategi pencegahan/intervensi apapun.

Berikut ini adalah sejumlah tantangan dengan intervensi yang ada saat ini:

      1. Data: Menurut tim estimasi 2009 (KPA, 2010) tidak semua kelompok
         masyarakat bisa diperkirakan berdasarkan data yang ada, baik tingkat nasional
         maupun tingkat provinsi/kota/kabupaten. Bahkan, banyak dari kelompok
         masyarakat ini (PSK langsung, LSL, pelanggan dari PSK, laki-laki yang
         terlibat dalam pekerjaan beresiko) memiliki data yang sangat sedikit.

      2. Investasi: Karena sumber daya dan prioritas yang terbatas – tidak semua
         kelompok masyarakat yang terdaftar di IBBS-MARP menerima investasi yang
         seimbang untuk pencegahan. PSK, penasun, dan LSL telah diperlakukan
         sebagai kelompok sasaran utama untuk pencegahan. Narapidana sudah mulai
         mendapatkan perhatian. Pelanggan dari PSK dan pasangan seksual mereka,
         dan semua kelompok masyarakat lainnya yang tercantum di atas (termasuk
                                                        
8
 Depkes (2008). Surveilans terpadu Biologik dan Perilaku 2007/2008.
9
 Tim Estimasi 2009, Estimasi populasi rawan tertular HIV dan ODHA 2009. Disajikan di Jakarta, 8
Februari 2010.


                                                                            
                                                            Hal. 18 
                                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



       remaja) yang saat ini tidak dianggap sebagai kelompok sasaran prioritas.

    3. Kelompok sasaran sekunder dan tersier: Strategi pencegahan yang ada saat ini
       perlu mendefinisikan dan mengidentifikasi kelompok sasaran sekunder dan
       tersier untuk pencegahan secara lebih serius. Pelanggan PSK dan pasangan
       seks penasun harus dipertimbangkan secara serius sebagai kelompok sasaran
       sekunder dan pasangan seksual pelanggan PSK sebagai kelompok sasaran
       tersier untuk KIE dan program pencegahan lainnya.

    4. Melampaui populasi dengan resiko tinggi: Meskipun dipahami dan penting
       untuk mendefinisikan populasi dengan resiko tinggi dalam Strategi Nasional,
       jelas sekali bahwa strategi ini mungkin berbahaya bagi keseluruhan strategi
       pencegahan HIV jika kita mengabaikan populasi lain yang kurang berisiko
       tetapi memiliki kaitan yang erat. Sudah dipahami bahwa sebagian besar
       anggota populasi kunci juga terlibat dalam hubungan seksual dengan pasangan
       tetap (perempuan) yang beresiko tidak sadar akan terinfeksi HIV (UNAIDS,
       2009; FHI-ARC, 2010). Di sisi lain, kelompok lain yang saat ini tidak
       dianggap sebagai populasi berisiko tinggi sebenarnya merupakan kelompok
       yang sangat berisiko, terutama pemuda yang berhenti sekolah, mereka yang
       bekerja di lingkungan dengan resiko tinggi, dll. Oleh karena itu, sangat
       penting untuk menggabungkan pendekatan populasi resiko spesifik dan
       sektoral. KPAN harus bertahan pada populasi dengan resiko tinggi tetapi
       mendelegasikan tanggung jawab kepada lembaga-lembaga sektoral dan
       membantu dalam memperkuat respon mereka. Kami percaya bahwa
       mekanisme seperti ini tidak ada di KPA.

       Sebagai contoh:
          a. Kemenhankam: rekrutan dan personel militer
          b. Kemendiknas: siswa sekolah dan keluarga mereka
          c. Kemensos: PSK langsung dan tidak langsung, pelanggan dari PSK,
             LSL yang tinggal di jalan, remaja yang berhenti sekolah
          d. Depkes dan BKKBN: populasi umum, anak-anak usia sekolah, anak-
             anak yang berhenti sekolah
          e. Kemenakertrans: tempat kerja, buruh migran dan keluarga mereka
          f. Kemenkum dan HAM: narapidana dan keluarga mereka

       Sebagaimana yang diindikasikan sebelumnya, meskipun mekanismenya sudah
       tersedia, KPA harus mendukung pelaporan dan pendistribusian sehingga
       masyarakat mengetahui prestasi dan tantangan mereka.

    5. Prinsip GIPA: Semenjak diadopsi oleh Paris AIDS Summit pada tahun 1994,
       kami telah berusaha untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip
       tersebut. Hambatan teknis, budaya, dan hukum telah menurunkan partisipasi
       populasi terdampak HIV secara signifikan dalam perencanaan dan
       pengambilan keputusan di tingkat lokal dan nasional. KPA telah bekerja
       sangat keras untuk mengembangkan lingkungan kerja yang inklusif yang
       harus dihargai dan dipelihara.
       Pencapaian dalam menerima Global Fund ronde 8 dan 9 merupakan bukti
       nyata dari kerja keras KPA untuk melibatkan para pemangku kepentingan
       penting dalam proses penulisan proposal. Kami perlu mengingatkan bahwa,


                                                           
                                       Hal. 19 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



          bagaimanapun juga, pengamatan kami terhadap pelaksanaan program Global
          Fund masih dirasa kurang dalam hal transparansi dan kolaborasi yang
          konstruktif serta partisipasi organisasi masyarakat yang terdampak HIV.
          Laporan ini ingin menyatakan keprihatinannya karena bahkan di antara OMS
          yang mewakili masyarakat yang terdampak HIV di CCM, tidak ada cukup
          penjangkauan yang melampaui batas-batas kelompok tertentu. Dengan kata
          lain, anggota terpilih yang mewakili orang-orang yang positif atau jaringan
          atau organisasi spesifik lainnya, misalnya, hanya akan bertanggung jawab
          kepada konstituen langsung mereka sementara banyak ODHA yang mungkin
          tidak termasuk dalam jaringan mereka. Dalam situasi dimana sumber daya
          untuk pencegahan masih sangat terbatas, terutama pemerintah dan pendanaan
          asing, kita harus bisa memberdayakan masyarakat untuk bertanggung jawab
          dan membantu diri mereka sendiri dengan menggunakan sumber daya sendiri
          yang tersedia.

      6. Terdapat hambatan yang signifikan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip GIPA
         di Indonesia selama ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif
         terhadap populasi dengan resiko tinggi. Wawancara kami dengan anggota
         Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa
         terdapat 19 peraturan setingkat provinsi, 134 peraturan setingkat kota, dan 1
         peraturan daerah yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengkriminalisasi atau
         mendiskriminasi kelompok-kelompok orang tertentu berdasarkan pekerjaan
         dan orientasi seksual mereka (KOMNAS Perempuan, 2010). KPA sebagai
         lembaga negara multi-sektoral harus menyatakan kebijakan inklusif kepada
         Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri.


    Penjajakan lapangan menemukan hal-hal berikut ini:

       1. Ada banyak bahan KIE yang didistribusikan di masyarakat. Berbeda-beda dari
          segi format dan isi. Sebagian besar materi ini didistribusikan ke
          target/kelompok sasaran yang sangat terbatas, terutama yang dianggap
          sebagai penerima program tertentu oleh LSM atau lembaga layanan tertentu.

       2. Di Papua, kebanyakan materi KIE tidak dianggap sebagai instrumen yang
          efektif untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai HIV dan
          AIDS dan bagaimana menghindari infeksi tersebut. Banyak materi KIE
          dirancang untuk menyentuh sub-populasi yang bisa membaca, sedangkan
          banyak populasi yang terdampak HIV merupakan kelompok dengan tingkat
          pendidikan yang sangat rendah atau tidak berpendidikan sama sekali.

           “… ada banyak brosur tentang HIV dan AIDS tetapi didistribusikan oleh
           LSM untuk orang-orang tertentu, populasi umum tidak diberitahu…” (FGD
           – wanita, Jayapura)

           “… kebanyakan orang dewasa dan orang tua di Papua tidak pernah sekolah
           – mereka tidak tahu bagaimana caranya membaca brosur-brosur tersebut…”
           (FGD – wanita, Jayapura)




                                                             
                                         Hal. 20 
                                                             
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



    3. Kelompok target juga mendambakan partisipasi aktif sehingga mereka bisa
       membantu membuat materi KIE cocok untuk kelompok masyarakat tertentu
       dan berurusan dengan masalah tertentu spesifik yang dihadapi kelompok
       tersebut.

       “Mengapa tidak membuat materi KIE sesuai dengan tahapan – dari informasi
       dasar hingga lanjutan? Dalam kasus ini, kami masyarakat biasa bisa
       memahaminya…” (FGD – PSK, Jakarta)

       “… ide yang bagus untuk melibatkan pekerja seks di Kelurahan sehingga
       anggota PKK bisa paham bahaya dan posisi kami sebagai pekerja seks…”
       (FGD – PSK, Jakarta)

    4. Informasi mengenai HIV dan AIDS dan mengenai kesehatan seksual dan
        reproduksi bagi remaja dan pemuda harus ditulis dan disampaikan melalui
        media yang mengerti pemuda, seperti majalah remaja, radio, dan TV. Banyak
        dana telah dihabiskan untuk mengembangkan media yang tidak efektif.

       “… untuk radio… informasi mengenai HIV dan AIDS harus disusun dalam
       pesan yang lebih sederhana dan mudah dipahami…” (FGD – populasi
       kunci, Jakarta)

       “… ada banyak uang yang dihabiskan untuk mencetak selebaran – kenapa
       tidak menginvestasikan semuanya ke rumah produksi – biarkan mereka
       menangani masalah dengan lebih professional yang sesuai dengan kelompok
       target sehingga informasi menjadi lebih menarik. … Saya juga menyadari
       partisipasi rendah dari anggota komunitas yang terdampak…” (FGD –
       populasi kunci, Jakarta).


REKOMENDASI

    1. Walaupun upaya terkonsentrasi untuk mengekang epidemi di populasi dengan
       resiko tinggi sangat penting, tetapi selalu ada kemungkinan infeksi merebak ke
       populasi umum. Perhatian lebih untuk remaja, orang yang terlibat dalam
       pekerjaan yang dapat mengakibatkan perilaku berisiko, pasangan dari penasun
       dan pelanggan PSK, dan narapidana harus didukung dan harus memiliki
       strategi spesifik. KPA, kementerian sektoral, dan OMS harus membahas
       strategi sesegera mungkin.

    2. ODHA dari populasi kunci harus secara aktif terlibat untuk melindungi
       pasangan seksual mereka, terutama istri-istri mereka.

    3. KPA harus tegas ketika berhadapan dengan kebijakan inklusif kementerian
       sektoral. Hal ini telah didukung sendiri oleh Presiden ketika ICAAP IX di
       Bali.

   4. Materi KIE untuk kelompok sasaran sekunder dan tersier harus disesuaikan
      dengan karakteristik kelompok sasaran.
D.6. INDIKATOR UNGASS 10: DUKUNGAN BAGI ANAK YANG


                                                           
                                       Hal. 21 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



TERDAMPAK OLEH HIV DAN AIDS

Menurut data Depkes terakhir (Desember 2009), terdapat 1.280 anak-anak usia 0-18
tahun yang hidup dengan AIDS. Mengingat perkiraan jumlah ODHA (296.000),
mungkin ada lebih dari 500.000 orang yang terdampak HIV dan AIDS. Sudah jelas,
oleh karenanya, bahwa kita mungkin berhadapan dengan fenomena puncak gunung
es.

Perhatian kepada anak yang terdampak HIV dan AIDS di Indonesia baru
dimulai. Kementrian Sosial menyediakan paket bantuan bagi anak dengan HIV untuk
membantu mereka mengakses pelayanan kesehatan, membayar biaya yang berkaitan
dengan sekolah, dan menyediakan modal kecil untuk menambah pendapatan
keluarga. Program ini berjalan di 4 propinsi. Sejumlah LSM di Jakarta dan beberapa
kota di Jawa dan Bali telah merawat anak dengan HIV dan mereka yang terkena
dampak epidemi (yatim piatu). Mereka sering menemukan bahwa anak yang
dilahirkan dari orangtua yang terinfeksi HIV ditinggalkan oleh keluarga besar
mereka. Mereka masih kesulitan dalam memperoleh dukungan untuk mengakses tes
HIV, ARV, dan pengobatan untuk infeksi oportunistik. Banyak anak yang tidak
didiagnosis atau dites sebelum mereka sakit parah dan jumlah CD4 mereka sangat
rendah. Ketika sero-status mereka terungkap, mereka harus bersaing untuk
mendapatkan perawatan umum dan layanan pengobatan gratis dengan anak-anak sakit
lainnya. Anak-anak yang menjalani terapi ARV dan mampu bersekolah beresiko
mendapatkan stigma dan diskriminasi. Orang tua biasanya enggan untuk
mengungkapkan situasi dan kondisi anak-anak mereka dikarenakan kurangnya
kepercayaan pada sistem yang berlaku10. Di banyak kasus, biasanya sudah terlambat.


REKOMENDASI:

     1. Data anak yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS harus ditingkatkan
        dan dibuat tersedia bagi masyarakat umum.

     2. Anak-anak mungkin menerima dampak negatif HIV karena stigma dan
        diskrimasi yang terus bertahan terhadap ODHA. Orangtua dengan HIV tidak
        dapat menemukan kehidupan yang layak karena masyarakat tidak memperoleh
        informasi yang cukup baik tentang penyakit ini. Pemerintah memiliki banyak
        pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memberikan informasi ke publik
        dan untuk menghilangkan hambatan sosial dan ekonomi pada ODHA.
.
     3. Seharusnya ada kebijakan yang jelas berkaitan dengan akses bagi anak dengan
        HIV/AIDS di rumah sakit dan layanan perawatan lainnya sebagai bentuk
        tanggung jawab akan respon yang tepat dan cepat dan bukan untuk
        menciptakan konflik kepentingan bagi anak-anak lain yang sedang sakit.

       4. Kementrian Pendidikan Nasional seharusnya menyusun kebijakan untuk
              melindungi anak-anak yang terinfeksi dan terdampak oleh HIV dan AIDS
              dalam sistem pendidikan/sekolah. Adalah kewajiban negara untuk melindungi
                                                        
10
  Wawancara dengan 30 orangtua anak yang terinfeksi HIV oleh Lentera Anak Pelangi, Universitas
Atma Jaya, Januari 2010.


                                                                    
                                            Hal. 22 
                                                                    
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



       hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan. Kementrian
       maupun KPA tidak bisa menyerahkan masalah serius ini dengan hanya
       menerbitkan kebijakan pemerintah di tingkat provinsi/kota/kabupaten. Hal ini
       sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hak Asasi
       Manusia dan hukum adalah kewenangan pemerintah pusat.

    5. Anak-anak yatim piatu dan yang seringkali ditinggalkan oleh keluarga besar
       mereka memerlukan bantuan dan pelayanan khusus. LSM harus bisa
       mengakses paket bantuan pemerintah yang disediakan bagi anak-anak ini.

    6. Intervensi bagi anak-anak ini harus meliputi layanan psikososial dan kesehatan
       mental.


D.7. INDIKATOR UNGASS 11: PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
BERBASIS HIV DI SEKOLAH

Kami ingin menekankan bahwa sektor pendidikan di Indonesia, meskipun merupakan
sektor konservatif, telah membuat banyak terobosan maju dalam merespon epidemi
HIV dan AIDS. Manual bagi guru telah tersedia sejak tahun 2000 mengenai
pendidikan kecakapan hidup yang berkaitan dengan kesehatan dan perkembangan
lanjutan (terbaru) telah menyertakan kesehatan seksual dan reproduksi dan
penyalahgunaan narkoba. Isu-isu ini telah dimasukkan dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 sesuai dengan tingkat pendidikan.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 tahun 2008 tentang Pembinaan
Kesiswaan sudah diterbitkan dimana pencegahan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan
Obat adalah kegiatan wajib. Bahkan, sektor ini memiliki “Strategi Pencegahan HIV
melalui pendidikan” sendiri yang dirumuskan pada tahun 2004 dan semenjak tahun
2007 telah tersedia dalam media cetak.

Di Papua, HIV dan AIDS telah masuk dalam sektor pendidikan. Bahkan, banyak
sekolah sudah mampu memberikan pelatihan layanan di tempat bagi para guru
tentang HIV dan AIDS bekerjasama dengan LSM nasional dan internasional
(UNESCO, 2010).

Tantangan berikut ini, bagaimanapun juga, tetap harus serius ditangani:

    1. Distribusi buku "Strategi Pencegahan HIV melalui Pendidikan" tidak
       mencapai sekolah di tingkat provinsi atau tidak digunakan sebagai acuan
       utama.

    2. Walaupun topik HIV dan AIDS serta penyalahgunaan narkoba telah
       terintegrasi dalam Standar Kompetensi Minimum di SMP dan SMA tahun
       2006, sektor pendidikan mengalami kesulitan untuk merespon HIV dan AIDS
       secara efektif karena:
           a. Tidak semua sekolah memiliki materi yang tepat untuk menangani isu
               HIV dan AIDS. Dapat ditemukan bahan berkualitas pada informasi
               terkait HIV dan kecakapan hidup, tetapi distribusi materi dibatasi oleh
               sumber daya yang tersedia.


                                                             
                                        Hal. 23 
                                                             
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



            b. Kebanyakan guru belum pernah dilatih dalam penanggulangan HIV
               dan AIDS dan tidak merasa mampu untuk mengajar siswa pada topik
               ini.
            c. Budaya dan agama menjadi hambatan bagi guru untuk memberikan
               informasi mengenai seks, seksualitas, dan kesehatan seksual dan
               reproduksi.
            d. Prioritas guru adalah mengajar kompetensi inti untuk ujian akhir
               nasional, yang mungkin secara substansial tidak berhubungan dengan
               HIV dan AIDS.

    3. Kami juga menyadari bahwa World Population Fund dan BKKBN telah
       menyediakan informasi berbasis internet mengenai kesehatan seksual dan
       reproduksi seperti DAKU (Dunia Remajaku Seru) dan CERIA. Program ini
       diakses oleh sekolah dan anak-anak yang berhenti sekolah untuk belajar
       tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.

penjajakan kami menunjukkan bahwa siswa memerlukan sasaran dan informasi yang
terus terang mengenai isu terkait epidemi HIV dan mereka biasanya mencari
informasi menggunakan media popular dan dunia maya.

Upaya terpadu dibutuhkan untuk mencari dan menggunakan peluang di sektor
pendidikan dalam usaha untuk memberikan informasi dan mendidik siswa tentang
pencegahan HIV. Kegiatan ekstrakurikuler, program kesehatan sekolah, pelatihan
bagi guru mengenai layanan sebelum dan layanan di tempat adalah beberapa peluang
yang telah digunakan untuk membawa isu HIV dan AIDS ke dalam sistem. Mungkin
ada lebih banyak kesempatan di luar kelas dan buku teks sekolah yang masih bisa
dieksplorasi.


REKOMENDASI:

    1. Upaya terpadu harus lebih banyak diinvestasikan untuk memberikan informasi
       bagi anak-anak yang berada di dalam dan di luar sekolah. Mitra pembangunan
       dan KPA serta kemetrian sektoral lainnya harus bekerja sama untuk
       memanfaatkan apa yang telah dikembangkan dan diuji oleh sektor pendidikan,
       BKKBN, dan Kemensos untuk menjangkau khalayak yang seluas
       mungkin. Tantangan yang lebih serius bisa ditemukan di Tanah Papua dimana
       budaya, bahasa, tingkat pendidikan, dan wilayah geografis bisa menghambat
       kegiatan pencegahan yang efektif. Usaha khusus sangat dibutuhkan di wilayah
       ini.

    2. Ada banyak LSM atau OMS (termasuk yang berbasis agama) yang mampu
       memberikan informasi dan pelatihan yang efektif. KPA (juga Komisi
       Penanggulangan AIDS tingkat provinsi/kota/kabupaten) harus menjalin
       kemitraan dengan mereka. Hal ini sangat penting karena kebanyakan Komisi
       Penanggulangan AIDS tingkat provinsi/kota/kabupaten yang baru dibentuk
       belum siap untuk bekerja sendiri untuk menjalankan program yang efektif.


D.8. INDIKATOR UNGASS 12-21: PENGETAHUAN DAN PERILAKU DARI


                                                          
                                       Hal. 24 
                                                          
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



POPULASI DENGAN RESIKO TINGGI

IBBS-MARP 2007/8 dengan jelas mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai
pencegahan HIV di antara kelompok resiko tinggi telah membaik. Lebih dari 69
hingga 89% tahu bahwa penggunaan kondom dan hubungan setia dapat mencegah
infeksi HIV. Namun, 24 hingga 75% dari responden juga mengungkapkan
pemahaman yang salah mengenai bagaimana HIV ditularkan. Pada aspek perilaku,
pengawasan juga menunjukkan bahwa perilaku berbagi jarum suntik di antara
penasun dan keterlibatan dalam seks komersial yang tidak aman masih sering
dilakukan oleh kelompok resiko tinggi. Laporan ini ingin memberikan perhatian ada
beberapa hal di bawah ini:

    1. Intervensi perubahan perilaku yang mencakup penyediaan informasi dan
       keterampilan yang relevan sangat berguna dan telah membantu kelompok
       resiko tinggi untuk mengubah perilaku berisiko mereka.

    2. Masalah yang dihadapi, bagaimanapun juga, adalah untuk mempertahankan
       atau memelihara perubahan perilaku. Di bawah ini adalah penyebab kegagalan
       dalam mempertahankan perubahan perilaku yang konstruktif:
           a. Pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan penanganan
              pecandu narkoba dan mereka yang "terpaksa" bekerja dalam
              lingkungan yang berisiko, seperti pekerja seks. Penjajakan cepat pada
              penasun perempuan dan program pengurangan dampak buruk
              mengungkapkan insiden pelanggaran hak asasi manusia selama
              penangkapan dan penahanan oleh petugas kepolisian (Yayasan Stigma,
              2010).
           b. Kriminalisasi anggota populasi kunci, terutama kepada anggota
              kelompok minoritas seksual, pekerja seks, penasun, dan tahanan –
              seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya.
           c. Intervensi yang mempromosikan hukuman dan pengucilan sosial
              kepada anggota populasi dengan resiko tinggi.
           d. Keyakinan dan praktek yang salah mengenai penggunaan kondom
              sering kali didukung oleh tokoh masyarakat.
           e. Dalam layanan pengurangan dampak buruk (Harm Reduction),
              kepemimpinan di pemerintahan, khususnya di Kemenkes, KPA dan
              BNN, telah gagal mencapai konsensus mengenai penyediaan jarum
              bersih/steril. Program pengurangan dampak buruk yang satu ini masih
              menemukan kontroversi dan menciptakan kebingungan di kalangan
              pekerja lapangan, staf HR di puskesmas, dan calon klien.
           f. Undang-undang mengenai otonomi daerah sering disalahartikan oleh
              otoritas legislatif dan eksekutif kabupaten bahwa mereka mungkin
              dapat menciptakan instrumen hukum sendiri yang menyimpang dari
              hukum nasional. Beberapa Peraturan Daerah yang mengkriminalisasi
              minoritas seksual, misalnya, tidak didukung oleh hukum nasional yang
              berlaku.




REKOMENDASI:


                                                          
                                      Hal. 25 
                                                          
Forum UNGASS-AIDS Indonesia




    1. Upaya berkelanjutan untuk mengembangkan kebijakan inklusif dengan
       menghilangkan atau mengurangi hambatan hukum/kebijakan, sosial-budaya,
       dan agama secara serius diperlukan. Hentikan kriminalisasi kepada populasi
       kunci berdasarkan mata pencaharian beresiko, penggunaan narkoba, atau
       status minoritas seksual mereka. KPA dan OMS harus memberikan informasi
       lebih banyak kepada masyarakat untuk menghilangkan bias dan prasangka
       terhadap anggota mitra-mitra mereka.

    2. Partisipasi yang berarti dan signifikan anggota populasi dengan resiko tinggi
       dalam perencanaan, desain, dan implementasi program harus
       difasilitasi. Koordinasi dan kerjasama dengan dan antara kelompok yang
       beragam ini harus ditingkatkan.

    3. Intervensi psiko-sosial dan pelayanan kesehatan mental harus ditambahkan
       dalam intervensi yang ada saat ini untuk mengatasi pengalaman traumatis
       yang berhubungan dengan kecanduan dan diskriminasi jangka panjang,
       pengungkapan serostatus, hubungan dengan orang dekat dan mencari
       pemecahan berkaitan dengan keyakinan yang salah tentang diri dan situasi
       mereka.




                                                           
                                       Hal. 26 
                                                           
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



DAFTAR PUSTAKA


Barraclaugh,A., Clark, M., Heltzer, N., Hudyono, Y. (February, 2008). Report of
       HIV/AIDS commodities survey and supply chain status assessment in Tanah
       Papua: Survey of HIV/AIDS commodities in Tanah Papua. Arlington, VA:
       SCMC and Pepfar.

BPS (2009). A socio-economic impact study of HIV and AIDS on Households. Draft
      report.

FHI-ARC (2010). Perilaku dan jaringan seksual pengguna napza suntik. Jakarta:
      ARC-FHI.
Gustav, R. 2008. Monitoring UNGASS-AIDS Goals on Sexual and Reproductive
       Health.

Irwanto et al., 2010. CCM II Advocacy Project Report “Enggaging CS Representative
       in CCM Global Fund Indonesia”.

KOMNAS Perempuan (March, 2009). Atas Nama Otonomi Daerah; Pelembagaan
    Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia.

KPAN (2008). Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan
     Remaja 2007-2010. Jakarta: KPAN.
Solidaritas Perempuan (2009). Mandatory testing on Indonesian migrant workers:
       2007 report. Jakarta: Solidaritas perempuan, CARAM Asia, UNIFEM.
STIGMA (2010). Pengalaman Perempuan Penasun dalam Mengakses Pelayanan
     harm Reduction: Sebuah kajian cepat. Draft report.
UIC-ARC (2010a). Factors related to ARV adherence among IDU in Jakarta and
     Bali – Report of Pilot 1 phase 2.
UNAIDS (2009). HIV transmission in intimate partner relationships in Asia. Geneva:
     UNAIDS.
UNESCO (2010). Education response to HIV, drugs, and sexuality in Indonesia: An
     assessment on the integration of reproductive health, HIV, and drug abuse,
     issues in Junior and Senior High Schools in Papua, Maluku, West
     Kalimantan, Riau islands, DKI Jakarta, and Bali. Monograph report. Jakarta:
     Atma Jaya HIV/AIDS Research Center and UNESCO.




                                                         
                                     Hal. 27 
                                                         
Forum UNGASS-AIDS Indonesia






                                 
                 Hal. 28 
                                 
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



LAMPIRAN

Tabel 03: Jumlah responden 
                       FOCUS GROUP DISCUSSIONS

                                 PASANGAN                          Exit      Wawancara
     Kota     POPUL    PEKRJA                    REMAJ
                                  SEKSUAL                       Interviews   mendalam
               ASI      SEKS                     A/PEM    LSM
                                  PENASUN
              KUNCI    WANITA                     UDA
                                  (WANITA)

     Aceh         7      6           5               8              1        3

     Jaka         6      7           9               8              3        1 (LSM)
     rta

     Jogja        9      6           6               6     7        3        3 (Kepala
     karta                                                                   sekolah, P-
                                                                             AC, Dinkes
                                                                             kota)

     Sama         6      6           6               8              3        4 (Kepala
     rinda                                                                   sekolah,
                                                                             Dinkes,
                                                                             KPAP,
                                                                             LSM)

     Man          6      6           6               6              2        4 (Dinkes,
     ado                                                                     Kepala
                                                                             sekolah,
                                                                             LSM,
                                                                             KPAP)

     Jaya         5      8           5               7              1        4 (Kepala
     pura                                                                    sekolah,
                                                                             Dinkes,
                                                                             LSM,
                                                                             KPAP)

     Instit                                                                  9 (KPAN,
     usi                                                                     KPAI,
     nasio                                                                   Komnas
     nal                                                                     HAM,
                                                                             Komnas
                                                                             Perempuan,
                                                                             FHI, HCPI)

     TOT          39     39          37              43    7       13             28
     AL

  




                                                            
                                          Hal. 29 
                                                            
Forum UNGASS-AIDS Indonesia






                                 
                 Hal. 30 
                                 
Forum UNGASS-AIDS Indonesia



Persetujuan etika




                                             
                             Hal. 31 
                                             

More Related Content

Similar to UNGASS FORUM

TUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docx
TUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docxTUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docx
TUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docxRusdi75
 
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...ECPAT Indonesia
 
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docx
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docxGAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docx
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docxjosen sembiring
 
Laporan pencegahan perkawinan anak
Laporan pencegahan perkawinan anakLaporan pencegahan perkawinan anak
Laporan pencegahan perkawinan anakAvida Virya
 
Majlis aids malaysia
Majlis aids malaysiaMajlis aids malaysia
Majlis aids malaysiaYang Lai Wan
 
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
 Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer  Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer RegitaWyartiningtyaz
 
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...RegitaWyartiningtyaz
 
Laporan kegiatan jrky triwulan VI
Laporan kegiatan jrky triwulan VILaporan kegiatan jrky triwulan VI
Laporan kegiatan jrky triwulan VIMardi Yono
 
10995 article text-35086-1-10-20171001
10995 article text-35086-1-10-2017100110995 article text-35086-1-10-20171001
10995 article text-35086-1-10-20171001FRISKASEPTIAPANJAITA
 
kemitraaan remaja
kemitraaan remaja kemitraaan remaja
kemitraaan remaja frans04
 
paper dampak hiv aids remaja
paper dampak hiv aids remajapaper dampak hiv aids remaja
paper dampak hiv aids remajajimisi
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdfDian631634
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdfDian631634
 
Pendewasaan Usia Perkawinan
Pendewasaan Usia PerkawinanPendewasaan Usia Perkawinan
Pendewasaan Usia PerkawinanRajabul Gufron
 
SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018
SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018
SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018TiyaPurnanita
 
Stigma HIV dan AIDS
Stigma HIV dan AIDSStigma HIV dan AIDS
Stigma HIV dan AIDSstapa center
 
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)ICT Watch
 
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdfAdvokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdfECPAT Indonesia
 

Similar to UNGASS FORUM (20)

TUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docx
TUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docxTUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docx
TUGAS MAKALAH (AL ADZHIM ARYA PRATAMA).docx
 
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
PANDUAN TERMINOLOGI UNTUK PERLINDUNGAN ANAK DARI EKSPLOITASI SEKSUAL DAN KEKE...
 
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docx
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docxGAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docx
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV.docx
 
Laporan pencegahan perkawinan anak
Laporan pencegahan perkawinan anakLaporan pencegahan perkawinan anak
Laporan pencegahan perkawinan anak
 
Majlis aids malaysia
Majlis aids malaysiaMajlis aids malaysia
Majlis aids malaysia
 
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
 Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer  Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
 
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer y...
 
Laporan kegiatan jrky triwulan VI
Laporan kegiatan jrky triwulan VILaporan kegiatan jrky triwulan VI
Laporan kegiatan jrky triwulan VI
 
PMSDDTS18122017.pdf
PMSDDTS18122017.pdfPMSDDTS18122017.pdf
PMSDDTS18122017.pdf
 
UNICEF INDONESIA
UNICEF INDONESIAUNICEF INDONESIA
UNICEF INDONESIA
 
10995 article text-35086-1-10-20171001
10995 article text-35086-1-10-2017100110995 article text-35086-1-10-20171001
10995 article text-35086-1-10-20171001
 
kemitraaan remaja
kemitraaan remaja kemitraaan remaja
kemitraaan remaja
 
paper dampak hiv aids remaja
paper dampak hiv aids remajapaper dampak hiv aids remaja
paper dampak hiv aids remaja
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr.pdf
 
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
56528-ID-kesehatan-reproduksi-pada-kurikulum-madr (1).pdf
 
Pendewasaan Usia Perkawinan
Pendewasaan Usia PerkawinanPendewasaan Usia Perkawinan
Pendewasaan Usia Perkawinan
 
SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018
SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018
SIK DATA KASUS HIV DI INDONESIA 2013-2018
 
Stigma HIV dan AIDS
Stigma HIV dan AIDSStigma HIV dan AIDS
Stigma HIV dan AIDS
 
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
 
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdfAdvokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
Advokasi dari Riset Disrupting Harm.pdf
 

More from Indonesia AIDS Coalition

5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft
5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft
5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draftIndonesia AIDS Coalition
 
3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief
3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief
3 investment-framework-summary-unaids-issues-briefIndonesia AIDS Coalition
 
2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper
2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper
2 supplementary-webappendix-if-lancet-paperIndonesia AIDS Coalition
 
11 community systems-strengthening_framework-updated-nov-2011
11 community systems-strengthening_framework-updated-nov-201111 community systems-strengthening_framework-updated-nov-2011
11 community systems-strengthening_framework-updated-nov-2011Indonesia AIDS Coalition
 
Perbandingan harga obat arv generik import dan lokal
Perbandingan harga obat arv generik import dan lokalPerbandingan harga obat arv generik import dan lokal
Perbandingan harga obat arv generik import dan lokalIndonesia AIDS Coalition
 
Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia
Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh IndonesiaRumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia
Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh IndonesiaIndonesia AIDS Coalition
 
Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012
Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012
Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012Indonesia AIDS Coalition
 
Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312
Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312
Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312Indonesia AIDS Coalition
 

More from Indonesia AIDS Coalition (20)

13 tfm request-info_note_en1
13 tfm request-info_note_en113 tfm request-info_note_en1
13 tfm request-info_note_en1
 
12 r11 css-info_note_en1
12 r11 css-info_note_en112 r11 css-info_note_en1
12 r11 css-info_note_en1
 
9 core global-fund_strategy_en1
9 core global-fund_strategy_en19 core global-fund_strategy_en1
9 core global-fund_strategy_en1
 
8 if-qa
8 if-qa8 if-qa
8 if-qa
 
7 itpc-community-treatment-2.0-report
7 itpc-community-treatment-2.0-report7 itpc-community-treatment-2.0-report
7 itpc-community-treatment-2.0-report
 
6 discussion-paper-investment-framework
6 discussion-paper-investment-framework6 discussion-paper-investment-framework
6 discussion-paper-investment-framework
 
5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft
5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft
5 community-mobilization-and-if-programmatic-areas-draft
 
4 community-mobilization-and-the-if
4 community-mobilization-and-the-if4 community-mobilization-and-the-if
4 community-mobilization-and-the-if
 
3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief
3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief
3 investment-framework-summary-unaids-issues-brief
 
2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper
2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper
2 supplementary-webappendix-if-lancet-paper
 
1 investment-framework-lancet-paper
1 investment-framework-lancet-paper1 investment-framework-lancet-paper
1 investment-framework-lancet-paper
 
11 community systems-strengthening_framework-updated-nov-2011
11 community systems-strengthening_framework-updated-nov-201111 community systems-strengthening_framework-updated-nov-2011
11 community systems-strengthening_framework-updated-nov-2011
 
Perbandingan harga obat arv generik import dan lokal
Perbandingan harga obat arv generik import dan lokalPerbandingan harga obat arv generik import dan lokal
Perbandingan harga obat arv generik import dan lokal
 
Harga Eceren Tertinggi Obat generik
Harga Eceren Tertinggi Obat generikHarga Eceren Tertinggi Obat generik
Harga Eceren Tertinggi Obat generik
 
Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia
Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh IndonesiaRumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia
Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia
 
Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012
Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012
Country Progress Report for UNGASS on AIDS 2012
 
Chai arv ceiling_pricelist_201105_english
Chai arv ceiling_pricelist_201105_englishChai arv ceiling_pricelist_201105_english
Chai arv ceiling_pricelist_201105_english
 
Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011Pedoman ART 2011
Pedoman ART 2011
 
Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312
Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312
Infocus Vol 2 Bahasa-Treatment access-0312
 
List Buku IAC
List Buku IACList Buku IAC
List Buku IAC
 

UNGASS FORUM

  • 1.
  • 2. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 KATA PENGANTAR “Karena di sana ada harapan kesuksesan dalam memerangi HIV/AIDS, seluruh dunia harus bersatu dalam sebuah aliansi global.” Koffi Annan, Pendahuluan – Deklarasi Komitmen (Juni, 2001) Ketika kita memasuki dekade ketiga perjuangan melawan epidemi global AIDS, sangat jelas – meskipun teknologi telah berkembang dan meningkat; ARV mulai tersedia di negara-negara yang tidak pernah kita bayangkan akan mampu menyediakan obat tersebut; dan pemerintah serta kelompok masyarakat berhasil membuka beberapa pintu yang tidak pernah dibuka sebelumnya – namun, kita tahu bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan ke depannya. Sebuah pekerjaan yang tidak akan pernah bisa dilakukan sendirian. Kami menyadari bahwa lebih banyak pemimpin dibutuhkan dari kedua belah pihak – pemerintah dan kelompok masyarakat. Pemimpin yang tidak hanya tahu bagaimana untuk bertindak dan berbicara, tetapi juga untuk duduk dan mendengarkan. Dan yang paling penting, pemimpin yang tahu bagaimana caranya bekerjasama dengan konstituen mereka, dan dengan para pemimpin lainnya. Melalui Forum UNGASS Indonesia, kami mencoba untuk mengejar ide kolaborasi antara jaringan nasional dan organisasi yang berdiri atas dasar keinginan dan komitmen bersama, untuk bekerja bersama dalam menghadapi salah satu epidemi terburuk yang ada di dunia: AIDS. Dan jika dunia sekalipun pernah mengajarkan kita tentang “ide”, adalah bahwa hal itu tidak akan pernah bisa sempurna ketika kita merealisasikannya. Namun, pengejaran ide adalah hal yang membuat Forum UNGASS Indonesia tetap berjalan di jalurnya. Melalui Forum UNGASS Indonesia, kami memenuhi salah satu peran mendasar kami sebagai pergerakan berbasis masyarakat sipil: sebagai pengawas. Namun, kami menyadari bahwa kami tidak seharusnya hanya mengawasi kemajuan pemerintah maupun pihak luar lainnya, namun kami juga menggunakan kesempatan untuk merefleksikan kemajuan kami sebagai sebuah gerakan masyarakat sipil. Meskipun kami menemukan banyak kemajuan yang telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga bi-multilateral dan kelompok masyarakat, kami juga menemukan banyak ruang-untuk-perbaikan yang signifikan, yang sekali lagi, hanya dapat ditingkatkan jika kita menemukan cara untuk bekerja sama. Forum UNGASS Indonesia ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam membentuk forum, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional untuk kemitraannya dan HIVOS untuk dukungannya. Namun, Forum UNGASS Indonesia ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada GESTOS, LACCASO dan Ford Foundation, khususnya, atas dukungan yang tiada akhir bagi forum. Untuk dunia yang lebih baik, Forum UNGASS AIDS Indonesia Anggota forum:  JOTHI – IPPI – PKNI – GWL­Ina – OPSI – MAP – JSG – IKON – OUR  VOICE  –  LP3Y  –  PITA  –  KPI  –  GERBANG  –  Pantura  Plus  –  REMPAH  –  Bina  Hati  –  STIGMA – Solidaritas Perempuan      Hal. 1     
  • 3. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
     Hal. 2     
  • 4. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 A. PENDAHULUAN Menguatkan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah tugas penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam rangka memperkuat respon nasional terhadap HIV/AIDS. Tidak dapat disangkal bahwa OMS telah terlibat dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS sejak dini bahkan ketika pemerintah belum siap untuk menghadapi stigma dan diskriminasi yang sejalan dengan perkembangan epidemi. Sejak tahun 2007, koalisi perwakilan masyarakat sipil telah bekerja sangat keras untuk menangkap elemen-elemen dalam respon nasional terhadap HIV/AIDS yang mungkin terlewatkan dalam mekanisme pelaporan nasional kepada UNAIDS dikarenakan perumusan indikator. Pada tahun 2008, Forum UNGASS-AIDS Indonesia menyerahkan laporan independen pertama mereka kepada UNAIDS. Di tahun 2009, forum melanjutkan proses dengan tambahan anggota dan diselenggarakan oleh JOTHI (Jaringan ODHA Indonesia). Saat ini Forum UNGASS Indonesia memiliki 18 anggota OMS, yang terdiri dari lima LSM berskala nasional yang merupakan LSM dari mereka yang terkena dampak HIV dan 13 LSM yang bergerak di lingkup HIV. Pada periode pelaporan tahun 2010, komitmen kembali dinyatakan untuk berkontribusi dalam pelaporan UNGASS 2010 dengan menyusun sebuah laporan bayangan yang menyoroti aspek-aspek kualitatif dari indikator UNGASS yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan negara. Untuk melakukan hal tersebut, koalisi melakukan studi lapangan di enam kota, melakukan wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan terkait dan mengkaji data sekunder. Hasil tersebut kemudian digunakan dalam laporan ini untuk menyoroti analisis kami terhadap indikator terkait. Karena laporan ini didasarkan pada studi lapangan yang didanai oleh GESTOS, LACASSO, Ford Foundation dan HIVOS untuk menilai situasi jender dan pengawasan hak asasi manusia terkait kekerasan pada perempuan, masalah kesehatan seksual dan reproduksi, dan HIV dan AIDS – tidak semua indikator UNGASS relevan dengan laporan ini. B. TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN Tujuan dari pelaksanaan penjajakan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memahami bagaimana isu-isu hak asasi manusia dinyatakan, diimplementasikan, dan diawasi dalam kaitannya dengan pencegahan HIV dan AIDS. 2. Untuk menyoroti bagaimana isu-isu yang berkaitan dengan anak, remaja, dan wanita dinyatakan dalam respon terhadap HIV dan AIDS yang sudah berlangsung. 3. Untuk memahami aspek kualitatif pengalaman dalam mengakses atau memanfaatkan layanan dan program pencegahan HIV dan AIDS. 4. Untuk memahami masalah kepemimpinan antara lembaga pemerintah, mitra pembangunan, dan organisasi masyarakat sipil dalam pelaksanaan Strategi Nasional yang berkaitan dengan epidemi HIV dan AIDS.     Hal. 3     
  • 5. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 C. METODOLOGI C.1. Lokasi penjajakan dan pengumpul data Penjajakan ini dilaksanakan di enam kota: Aceh, Jakarta, Jogjakarta, Samarinda, Manado dan Jayapura (lihat Gambar 1). Lokasi ini ditentukan berdasarkan prevalensi HIV dan AIDS yang terlaporkan (Depkes RI – 2009). Data dikumpulkan dari bulan September-Desember 2009. Anggota Forum UNGASS dan anggota LSM lokal diundang untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data. Mereka dilatih untuk menggunakan instrumen penjajakan dan untuk mengumpulkan data sekunder dari instansi terkait. C.2. Nara sumber dan pengumpulan data Nara sumber kami adalah sukarelawan yang direkrut melalui LSM lokal, kecuali mereka yang mewakili institusi sektoral pemerintah, Komisi AIDS Nasional, dan Lembaga Hak Asasi Manusia, serta mitra pembangunan di Jakarta. Lihat Tabel 1 (terlampir) untuk penjelasan lebih lanjut. Tabel 1: Peta lokasi penelitian   Dalam Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah), 165 nara sumber berpartisipasi mewakili populasi kunci (39), pekerja seks wanita (39), pasangan seksual wanita penasun (37), kalangan pemuda (43), LSM terkait HIV (7). Exit interview kami mampu melibatkan 13 klien. Wawancara mendalam dilakukan pada 28 individu yang bekerja di berbagai organisasi terkait HIV dan AIDS (lihat tabel 1)     Hal. 4     
  • 6. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 Data sekunder diperoleh melalui KPA, Komisi Hak Asasi Perempuan, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Kami juga mengambil data dari mitra pembangunan, khususnya UNAIDS, FHI-ASA, dan HCPI. Tabel 1: Nara sumber FGD Wawancara mendalam Exit interview Nara sumber ‐ Populasi kunci1 Provinsi/Kota: Pasien HIV yang ‐ Pekerja seksual mengakses layanan wanita Dinas Kesehatan kesehatan di rumah ‐ Pasangan seksual Komisi AIDS sakit atau puskesmas penasun Kepala Sekolah SMA ‐ Remaja/pemuda (pemerintah) - Nasional: - KPA KPAI (perlindungan anak) Komisi Hak Asasi Manusia Komisi Hak Asasi Perempuan HCPI FHI Jumlah nara 6 – 8 nara sumber per 1 nara sumber 1 – 3 nara sumber sumber kelompok Jenis kelamin Proporsional - - Pengalaman Sudah pernah Mitra pembangunan: paling (Akan) selesai terkait AIDS mengakses layanan tidak sudah mengelola program menjalankan layanan terkait HIV/AIDS HIV/AIDS selama 3 tahun yang sedang dijalani Usia Remaja/pemuda - - berusia 15-24 tahun C.5. Analisis data Seperti yang dinyatakan dalam tujuan penelitian dan metodologi, sebagian besar data dan informasi yang kami kumpulkan bersifat kualitatif. Dalam analisis ini kami tertarik untuk melihat kategori pengalaman umum dan pendapat yang berkaitan dengan intervensi dan program HIV yang sudah ada. Analisis ini akan dihubungkan dengan analisis kami pada data sekunder dan informasi yang tersedia. C. 4. Persetujuan Etika Persetujuan etika merupakan sebuah proses dan diperoleh melalui Komite Etika Universitas Katolik Atma Jaya (Lihat surat no 827/LPPM-KE/12/2009 – terlampir). Seluruh nara sumber beserta populasi kunci, remaja/pemuda, pekerja seks wanita, dan pasangan seksual wanita penasun diminta untuk menandatangani informed consent                                                          1 
Anggota populasi kunci: homoseksual, waria, lesbian, pengguna narkotika, ODHA, dan pekerja seks.     Hal. 5     
  • 7. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 (surat pernyataan kesediaan) setelah diberikan informasi mengenai assessment (penjajakan) ini. Masalah kerahasiaan diperlakukan secara serius dalam assessment (penjajakan) ini. D. HASIL Uraian dari hasil penelitian kami berikut ini dikategorikan ke dalam Indikator Inti UNGASS (Guideline of UNGASS on AIDS 2010 Reporting – Pedoman UNGASS tentang Pelaporan AIDS 2010). Tidak semua indicator relevan dalam pelaporan ini. Hanya indikator yang termasuk dalam penjajakan kami yang kami sertakan dalam laporan ini. Sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya, kami lebih tertarik untuk meneliti sisi kualitatif atau pengalaman subjektif daripada aspek kuantitatif (lingkup, cakupan, besaran) dari indikator ini. D.1. INDIKATOR UNGASS 1 & 2: KEPEMIMPINAN – PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAN KEBIJAKAN HIV D.1.a. Kepemimpinan Pemerintah Sejak pelaksanaan Strategi Nasional 2007-2010, kepemimpinan baru di KPA telah mampu memobilisasi sumber daya dari pemangku kepentingan lokal, nasional, dan internasional – termasuk Global Fund. Kami sangat menghargai komitmen pemerintah untuk mendukung pencegahan, perawatan, serta pengobatan HIV dan AIDS. Pendanaan untuk HIV dan AIDS telah meningkat secara signifikan dari tahun 2006 hingga 2010. Bahkan, pendanaan domestik telah melebihi pendanaan asing pada tahun 2008/9. Dalam sambutannya, Presiden Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa: “Pemerintah Indonesia juga telah secara signifikan meningkatkan alokasi sumber  daya dalam negeri untuk AIDS.  Antara tahun 2006 hingga 2009, anggaran yang  dialokasikan untuk AIDS meningkat 7 kali lipat, dari US$ 11 miliar menjadi US$ 73  miliar.   Anggaran  provinsi  dan  daerah  juga  meningkat  sekitar  350%,  dari  Rp  20  juta menjadi Rp 74 juta.”2 Sebagai tambahan, KPA telah mampu memberikan kesempatan dan kebebasan nyata bagi perwakilan dari komunitas yang terkena dampak HIV untuk berpartisipasi dalam perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program terkait AIDS. Presiden memuji kebijakan inklusi tersebut dan menunjukkan bahwa beliau akan mempertahankan kepemimpinan dan melanjutkan advokasi konstruksif seperti yang tersirat di bawah ini: “… pendekatan yang komprehansif, berbelas kasih dan inklusif.”3 Laporan ini juga menghargai upaya bersama untuk mensinergikan Strategi Nasional 2010-2014 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)                                                          2 Diunduh dari: http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2009/08/09/1202.html, 22 Maret 2010. 3 Ibid.     Hal. 6     
  • 8. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 2010-2014. Hal ini berarti bahwa strategi nasional diadopsi dan dilaksanakan oleh seluruh departemen sektoral dan akan dilaksanakan secara sesuai. Kami juga ingin mencatat bahwa sejak tahun 2005 pemerintah telah meluncurkan asuransi kesehatan negara bersubsidi (JAMKESMAS) yang dapat diakses oleh ODHA. Bahkan, Undang-Undang No. 36/2009 tentang kesehatan yang baru diberlakukan berisikan mandat kepada pemerintah pusat untuk mengalokasikan 5% dari anggaran nasional dan kepada pemerintah provinsi untuk mengalokasikan 10% dari anggarannya untuk membiayai pelayanan kesehatan termasuk JAMKESMAS. Laporan ini juga ingin mengapresiasi peningkatan transparansi dalam penganggaran pemerintah untuk HIV dan AIDS. Kami mengakui bahwa informasi mengenai penganggaran dan implementasi program di KPA relatif lebih mudah untuk didapatkan. Harus diakui bahwa kepemimpinan di KPA mampu menarik pemangku kepentingan yang berpengaruh untuk bersama-sama secara sukses mengajukan proposal Global Fund putaran 8 dan 9. Untuk lima tahun ke depan Global Fund akan memainkan peran penting dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS. Laporan ini, bagaimanapun juga, memiliki beberapa catatan antara lain: 1. Sulit untuk mendapatkan informasi mengenai penganggaran dan implementasi program di kementerian sektoral (departemen). Sedangkan KPA, sebagai koordinator dan lembaga multi-sektoral, telah berkomitmen pada investasi program yang minim-biaya, berdampak-besar yang pasti berfokus pada populasi dengan resiko tinggi, populasi dengan resiko yang tidak lebih tinggi akan ditangani oleh program-program sektoral. OMS memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai apa yang telah dikembangkan, diimplementasikan, dan apa dampak program sektoral HIV dan AIDS. Tampaknya mekanisme koordinasi di KPA belum mampu untuk menegakkan transparansi pada lembaga sektoral. Salah satu konsekuensi koordinasi longgar tersebut adalah praktek yang tidak dipantau oleh lembaga buruh migran yang memberlakukan tes wajib seperti yang tercantum di bawah ini. 2. Berdasarkan NASA (National AIDS Spending Assesment 2008 – Assessment (Penjajakan) Pengeluaran Nasional untuk AIDS tahun 2008)4 pengeluaran keseluruhan untuk HIV dan AIDS di tahun 2008 adalah sebesar USD 50.831.105 dimana 60,97% (USD 30.989.683) dibiayai oleh sektor internasional dan 39,03% (USD 19.841.422) oleh sektor domestik/publik (pemerintah pusat dan daerah). Hampir separuh dari pengeluaran HIV dan AIDS digunakan untuk pencegahan (47,5%), sedangkan pengeluaran untuk pengelolaan program dan pembiayaan sumber daya manusia mencapai 29,06% dan pengeluaran untuk pengobatan dan perawatan sebesar 14,41% sementara pengeluaran bagi anak-anak rentan dan anak yatim piatu (OVC) dan perlindungan sosial masih tetap rendah. Tidak ada data yang cukup untuk mengetahui besarnya penyerapan oleh pemerintah. Global Fund adalah sumber pendanaan terbesar dari sektor multilateral di Indonesia semenjak                                                          4 
KPA
(2008),
National AIDS Spending Assesment.
     Hal. 7     
  • 9. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 tahun 2008 sementara tidak ada data yang cukup untuk menunjukkan peran sektor swasta nasional. 3. Laporan penganggaran yang tersedia oleh pemerintah daerah tidak dikumpulkan berdasarkan provinsi dan jumlah kontribusi. Selain itu, penting untuk mengetahui bagaimana anggaran pemerintah daerah diinvestasikan. Ada indikasi bahwa rencana strategis HIV dan AIDS di kementerian sektoral tidak memperoleh cukup dukungan dari pihak berwenang di provinsi/kota atau kabupaten5. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah, pihak berwenang di provinsi dan kabupaten dapat menyusun prioritas pembangunan mereka sendiri. Informasi anggaran gabungan dibutuhkan untuk advokasi masyarakat di tingkat provinsi/kota/kabupaten. 4. Masalah administratif dan teknis dalam mengakses JAMKESMAS biasanya menghalangi ODHA untuk memanfaatkan skema ini. Studi lapangan kami menemukan contoh sebagai berikut: “… tidak sebanding… Bagaimanapun juga saya harus pergi ke rumah sakit… Pihak rumah sakit mengatakan tidak ada ruangan kosong. Saya juga harus membayar dan harus tandatangan di sini, di sana… untuk waria seperti saya yang ngga punya KTP… sangat sulit… saya mungkin sudah mati kalau saya harus mengikuti keseluruhan prosedurnya…” (FGD – populasi kunci, Jakarta) “… Hanya di rumah sakit ini saya bisa menggunakan JAMKESMAS dan JAMKESDA… Rumah sakit ini bisa membantu kita mengisi persyaratan administratif untuk asuransi…” (Exit Interview – klien HIV – Jogja) “… Jika saya menggunakan asuransi pemerintah, biasanya dokter akan memberkan kami resep obat yang tidak disokong JAMKESMAS karena obat yang disokong tidak tersedia… jadi, bagaimanapun juga kami harus tetap membayar…” (FGD – populasi kunci, Jakarta) 5. Dengan merujuk pada implementasi Global Fund putaran 8, pengamatan terbatas kami menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di CCM kurang transparan, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan PR (resipien utama) dan lembaga pelaksana. Meskipun OMS menjadi wakil dalam CCM pada tahun 2007-2009, OMS berada di luar konstituensi CCM serta tidak menerima banyak informasi dan kesempatan untuk memberikan masukan kepada CCM6. Selain itu, semua informasi terkait CCM tersedia dalam bahasa Inggris. Meskipun CCM sekarang ini memiliki kesekretariatan, kesekretariatan tersebut belum mampu menciptakan mekanisme yang menjamin transparansi dan akuntabilitas kepada publik.                                                          5 UNESCO (2010) assessment (penjajakan) respon sektor pendidikan terhadap HIV dan AIDS mengungkapkan komitmen yang bervariasi dari otoritas pendidikan di tingkat provinsi/kota. 6 CCM II Advocacy Project Report “Enggaging CS Representative in CCM Global Fund Indonesia”, (Irwanto et al., 2010).     Hal. 8     
  • 10. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 D.1.b. Peran Mitra Pembangunan Peran mitra pembangunan tidak diragukan lagi sangat penting dalam meningkatkan respon nasional kita terhadap HIV dan AIDS. Mereka telah berperan dalam menyediakan bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas, implementasi program, serta dalam mengembangkan situasi kebijakan yang memungkinkan untuk dilaksanakannya intervensi yang efektif. Saat ini kita melihat usaha yang lebih terpadu dari mitra pembangunan untuk menyinkronkan bantuan mereka dengan strategi nasional. Bahkan, banyak program HIV dan AIDS yang menempel pada infrastruktur kesehatan pemerintah yang sudah ada. Sejak tahun 2006, seluruh inisiatif mitra pembangunan telah dikoordinasikan oleh KPA sesuai dengan prinsip Tiga Pilar (Three-ones) pada kerangka berpikir, koordinasi, serta monitoring dan evaluasi. Pada tahap awal respon nasional kita terhdap HIV dan AIDS, mitra pembangunan sanggup membawa wakil-wakil komunitas rentan dan terdampak untuk memiliki posisi menonjol dalam pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Mengingat Indonesia sekarang ini dianggap sebagai negara dengan penghasilan menengah, dukungan internasional dan bilateral bagi negara yang akan diterima negara ini akan menjadi lebih berkurang. Oleh karena itu, laporan ini ingin memberikan beberapa catatan sebagai berikut: 1. Kami mengamati kurangnya negosiasi mendalam dan serius pada strategi exit antara mitra pembangunan dan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan respon berbasis komunitas terkait HIV dan AIDS yang didukung oleh mitra pembangunan. Penghapusan secara bertahap oleh ASA-FHI, sebagai contoh, telah mengurangi jumlah LSM dari 135 menjadi hanya 25 LSM per Maret 2010 yang sebagian didukung oleh ASA dan mitra pembangunan lainnya7. Selebihnya harus mencari sumber daya sendiri demi mempertahankan kegiatan mereka. Melaksanakan pengembangan kapasitas dan layanan kepada masyarakat selama kurang dari seperempat tahun tidak dapat diterima. Kami berharap bahwa dalam keadaan seperti ini pemerintah daerah (KPAD) dan Global Fund secara alami akan mengambil alih. Tetapi hal ini tidak terjadi. Jika banyak dari mereka akhirnya menutup kegiatan atau layanan mereka, ini akan menjadi kehilangan yang besar bagi komunitas dan menyia-nyiakan investasi tahunan. 2. Hasil ini mencerminkan keengganan, ketidaksiapan, atau kurangnya apresiasi pada inisiatif dalam bentuk apapun di luar infrastruktur pemerintah. Masyarakat lupa bahwa sebelum pemerintah mulai menyediakan layanan bagi ODHA dan komunitas, LSM-LSM kecil tersebut sudah ada dan melakukan penjangkauan, menyediakan informasi, dan menciptakan perbedaan. Banyak dari mereka tidak dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan mereka, karena mereka dikondisikan untuk tergantung pada donor.                                                          7 Wawancara dengan perwakilan FHI tertanggal: 15 Desember 2009.     Hal. 9     
  • 11. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 D.1.c. Peran OMS dan Kepemimpinan OMS Komunitas selalu menjadi elemen utama dalam masyarakat kita untuk merespon tantangan atau masalah yang melanda atau mempengaruhi kesejahteraan anggotanya. Semenjak pengakuan resmi bahwa Indonesia telah dipengaruhi HIV, sejumlah orang di Bali, Surabaya, dan Jakarta mengambil inisiatif untuk memobilisasi sumber daya untuk menghadapi tantangan tersebut. Sejumlah LSM berdiri dan ketika Indonesia menerima bantuan internasional untuk mengatasi masalah ini, LSM mulai bermunculan secara signifikan untuk mengambil peluang yang ditawarkan. Mengingat HIV dan AIDS merupakan epidemi yang penuh dengan stigma dan diskriminasi, infrastruktur pemerintah – termasuk rumah sakit – cukup tahan untuk menerima atau memulai program yang berkaitan dengan HIV. Oleh karena itu, adalah wajar jika masyarakat sipil mengambil kepemimpinan perang melawan epidemi bersama dengan stigma dan diskriminasi. Oleh karena itu, adalah wajar juga bahwa ketika mitra pembangunan mencari kemitraan, mereka menemukan sebagian besar LSM yang menyambut peluang tersebut. Hanya setelah reformasi politik dan pergerakan yang kuat berbasis hak-hak dasar di tahun 1998 dan setelahnya, infrastruktur pemerintah lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat sipil. KPA didirikan pada tahun 1994 melalui Keputusan Presiden No. 36 sebagai badan multisektoral yang bertugas untuk mengkoordinasikan respon nasional terhadap HIV dan AIDS. Badan ini tetap murni sebagai institusi negara sampai Strategi Nasional kedua tahun 2003-2007 diluncurkan ketika prinsip GIPA diadopsi. Kemitraan yang lebih dinamis antara instansi pemerintah, mitra pembangunan, dan masyarakat sipil muncul belakangan ini ketika KPA menerima mandat baru di tahun 2006. Selain dari LSM nasional yang sudah lama berdiri seperti PKBI, Spiritia dan YPI, saat ini kami memiliki enam (6) jaringan komunitas yang terdampak HIV: Jangkar, IPPI, GWL-Ina, PKNI, JOTHI dan OPSI. Jaringan-jaringan ini mewakili ratusan aktivitas berbasis masyarakat di seluruh bangsa. Meskipun kami menyaksikan banyak kemajuan dalam gerakan OMS, laporan ini ingin menekankan pada beberapa hal di bawah ini: 1. Sebagain besar LSM tergantung pada donor atau proyek. Mereka kekurangan masukan dari pemerintah dan komunitas. Situasi ini menempatkan mereka pada posisi yang rentan, khususnya ketika sumber utama mereka berhenti atau ditarik keluar. 2. Sebagain besar LSM ini melakukan kegiatan khusus yang berkaitan dengan HIV dan AIDS. Hanya sedikit dari mereka yang menangani masalah lebih luas seperti jender, kemiskinan, akses terhadap keadilan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, mereka terisolasi dari gerakan pembanguan dengan pengarusutamaan sosial, budaya, dan politik. 3. Studi lapangan kami juga menunjukkan bahwa sebagian besar laporan yang dibuat oleh LSM ditujukan pada penyedia dana (donor) mereka. Mereka kekurangan transparansi, dan oleh karena itu, akuntabilitas, kepada konstituen komunitas mereka sendiri.     Hal. 10     
  • 12. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 4. Kurangnya transparansi ini mempersulit setiap upaya bersama untuk menyelaraskan atau mensinergikan kegiatan mereka dari dampak yang optimal dan mengurangi tumpang tindih atau pengulangan yang tidak perlu. REKOMENDASI: 1. KPA sebagai lembaga multi-sektoral harus memperkuat peran untuk mengkoordinasikan kebijakan, program, dan kegiatan terkait HIV di tingkat kementrerian sektoral. Setidaknya di KPA tersedia data mengenai kegiatan sektoral dan praktek terbaik yang dilaporkan. 2. Pemerintah harus memberikan contoh transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS. Mereka harus dapat mempromosikan prinsip good governance (tata kelola yang baik) tidak hanya untuk kebijakan kelembagaan dan program mereka sendiri tetapi juga untuk CCM sebagai mekanisme implementasi Global Fund. 3. KPA, lembaga pemerintah lainnya (khususnya Depkes), dan mitra pembangunan, harus mampu memformulasikan strategi keluar yang dapat dikerjakan yang dapat menjamin keberlanjutan program dan kegiatan OMS. KPAP (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi) dan sumber daya lainnya harus dimobilisasi untuk mengadopsi program dan kegiatan ini ketika donor utama mereka berhenti memberikan bantuan. 4. OMS harus lebih waspada dalam mengantisipasi akhir proyek yang didanai. Mereka harus membiasakan diri mereka untuk mengembangkan kemitraan dengan pemangku kepentingan lain, khususnya dengan konstituen mereka sendiri, sektor swasta atau dengan koalisi internasional OMS. Mereka harus mencari dan belajar dari praktek terbaik dari LSM yang lebih lama seperti Spiritia, YPI, dan PKBI. 5. Mitra pembangunan harus mencakupkan bantuan teknis dalam hal keterampilan manajemen bagi LSM yang akan dapat membantu mempertahankan program dan kegiatan mereka. D.2. INDIKATOR UNGASS 4: PERAWATAN HIV (TERAPI ANTIRETROVIRAL) Penyediaan ARV telah menjadi salah satu intervensi yang paling penting dalam strategi nasional untuk mencegah kematian dan penyebaran infeksi HIV lebih lanjut. Data yang tersedia menunjukkan bahwa saat ini (Depkes, Desember 2009) terdapat 15.422 ODHA yang menerima dan mengkonsumsi ARV diantara 50.510 klien dengan HIV yang saat ini menjalani pengobatan (Lihat Tabel 4). Data juga menunjukkan bahwa Indonesia semakin baik dalam menjalankan kebijakan ini. Kematian akibat infeksi oportunistik yang mencapai 46% pada tahun 2006, pada tahun 2008 bisa ditekan hanya menjadi 17%. Kematian setelah mengkonsumsi ARV pada tahun 2008 adalah 11,2% dan pada tahun 2009 menjadi 10,8%. Kehilangan     Hal. 11     
  • 13. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 kontak juga semakin membaik, dari 5,6% di tahun 2008 menjadi 5% pada tahun 2009. Dibalik peningkatan secara kuantitatif, kita masih perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Tidak jelas dari data yang tersedia bagaimana ODHA di Papua – dimana epidemi ini sudah bersifat umum – dapat mengakses ARV secara berkelanjutan. Barraclaugh, et al., 2008 memperkirakan bahwa terdapat sekitar 2.600 ODHA yang membutuhkan terapi ARV pada tahun 2009-2010 dan saat ini hanya sekitar 400 sampai 500 orang (20%) yang menerimanya. Serapan yang rendah ini menunjukkan beberapa masalah dalam sistem kesehatan yang menyediakan terapi ARV. 2. Kami tidak memiliki layanan untuk mendeteksi resistensi terhadap ARV. Beberapa ODHA telah mengkonsumsi ARV untuk beberapa waktu dan menemukan bahwa jumlah viral load tidak berkurang dan menjadi sakit. 3. Meskipun diakui bahwa penyediaan ARV semakin membaik, kita masih menghadapi masalah dalam hal pengaturan rantai pasokan, terutama di kota satelit atau kota-kota kecil. Masalah ini juga menyebabkan beberapa klien pada akhirnya mengakses ARV yang dijual secara komersial. 4. Ketidaktersediaan ARV pediatrik, terutama dalam bentuk sirup dalam hampir setiap layanan yang tersedia. Beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan resep dengan dosis obat yang tidak pasti, dihitung dari dosis orang dewasa. Karena kegiatan ini sebagian didukung oleh Global Fund, kami harus mencatat bahwa saat ini kami tidak memiliki akses pada laporan implementasi Global Fund terkait dengan masalah ini. 5. Studi UIC-ARC (2010) menunjukkan bahwa banyak penasun yang mengakses ARV menemui banyak masalah kesehatan mental, termasuk kelelahan, yang mempengaruhi kepatuhan mereka dan dapat mengakibatkan resistensi. Studi lapangan kami menemukan hal-hal berikut: “… Kami merasakan ketika pasokan ARV dihentikan selama dua minggu – dalam kasus ini akhirnya kami meminjam dari teman…” (FGD – populasi kunci, Jogja) “… Saya tinggal di Klaten, saya harus mengakses layanan di RS Sardjito di Jogja..” (Exit interview, Jogja) “… Saya memiliki pengalaman ketika pasokan ARV saya tidak tersedia selama dua minggu. Dokter memberikan saya resep dimana beliau mengatakan untuk membeli substitusi ARV di apotek… Saya tidak tahu obat apa itu…” (FGD – populasi kunci, Manado) “… anak saya berusia tahun dan membutuhkan ARV. Dokter memberikan dia Neviral & Duviral karena Zidofudin habis pasokannya…” (DKT Perempuan, Jakarta)     Hal. 12     
  • 14. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 Tabel 4: Situasi perawatan ARV di Indonesia (2008 dan 2009) Tanggal November 2009 Desember 2008 Jumlah % Jumlah % pasien pasien Menjalani perawatan HIV 50510 36628 Tidak layak 17335 34.3 13268 36.2 Layak 33175 65.7 23360 63.8 Tidak pernah menjalani terapi ARV 7791 23.5 5480 23.5 Pernah menjalani terapi ARV 25384 76.5 17880 76.5 Meninggal dunia 2729 10.8 2005 11.2 Hilang kontak 1272 5 998 5.6 Ditransfer 932 3.7 649 3.6 Berhenti 15442 60.8 10616 59.4 Masih menjalani terapi ARV 5009 19.7 3612 20.2 Orisinil lini 1 12358 246.7 8444 233.8 Substitusi lini 1 2734 54.6 1994 55.2 Pindah ke lini 2 30 0.6 178 4.9 Jumlah rumah sakit 163 150 IV Laporan triwulan DepKes, Des 2009. REKOMENDASI 1. Kami membutuhkan informasi lebih lanjut tentang situasi di Papua. Jarak geografis, budaya dan faktor-faktor politik telah memberi kontribusi pada kerentanan Tanah Papua atas ketelantaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Sangat penting bahwa semua laporan nasional harus secara eksplisit mencakupkan situasi di daerah ini. 2. Kami akan mendukung upaya bersama pemerintah untuk meminimalkan insiden habisnya pasokan ARV, terutama di kota-kota kecil dan kabupaten. Mekanisme laporan dapat diciptakan yang memungkinkan klien ARV dari tingkat kabupaten dapat melaporkan keluhan mereka. 3. Kami mendesak pemerintah untuk memberlakukan ketersediaan ARV pediatrik sebagai hal yang mendesak. 4. Layanan terapi ARV harus dihubungkan dengan layanan kesehatan mental lainnya untuk menangani masalah komplikasi emosional, termasuk kelelahan, dan memastikan kepatuhan.     Hal. 13     
  • 15. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 D.3. INDIKATOR UNGASS 5: PMTCT Indonesia mulai melihat dampak tak terelakkan dari HIV bagi anak-anak dan pemuda. Menurut laporan tahunan Depkes (2009), selama lima tahun terakhir kita telah menyaksikan peningkatan pesat infeksi HIV pada anak-anak dan pemuda (lihat Gambar 2). Meskipun rendahnya cakupan PMTCT di Indonesia pada tahun 2008 (kurang dari 10%) kami ingin memberikan catatan pada beberapa hal berikut: 1. Sebagian besar layanan PMTCT di klinik antenatal di kota-kota besar di pulau Jawa disokong oleh LSM (Gustav, 2008). Kita membutuhkan lebih banyak investasi pada struktur kesehatan pemerintah di provinsi-provinsi, terutama di Papua dan daerah lain dengan prevalensi tinggi HIV di antara para perempuan. Menimbang bahwa hanya 31% penduduk di Tanah Papua, sebagai contoh, yang mengetahui ketersediaan tempat tes dan hanya 20% dari ODHA yang membutuhkan terapi ARV yang menerima layanan tersebut, menyediakan layanan PMTCT di daerah tersebut tampaknya tetap menjadi tantangan besar. 2. Penjajakan lapangan kami juga menunjukkan bahwa informasi yang menghubungkan VCT, PMTCT, dan pencegahan HIV/AIDS sering tidak begitu jelas. 3. Kebanyakan layanan PMTCT tersedia di kota-kota besar dan di Jawa. Peningkatan layanan di kota-kota kecil dan wilayah lain secara serius diperlukan. 4. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk isu-isu kekerasan seksual (domestik), trafficking, dan segala macam eksploitasi seksual lainnya terhadap perempuan dan anak-anak saling berhubungan erat dengan kerentanan perempuan dan anak-anak untuk terinfeksi HIV. Isu-isu ini harus diintegrasikan dalam strategi AIDS nasional (lihat juga Indonesia Country Progress Report on Sex Trafficking of Children and Young Person, 2009). 5. Menurut laporan UNAIDS mengenai penularan HIV dalam hubungan intim pasangan (2009) adalah penting untuk memasukkan dan mengintegrasikan pelayanan tentang seksualitas laki-laki dalam semua layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang dikhususkan bagi perempuan. Dalam hal ini, kami melihat kebutuhan dan kurangnya ketentuan dan integrasi. 6. Ketakutan akan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, yang dapat ditemukan dalam institusi pelayanan dan perawatan, tetap merupakan hambatan penting dalam pemanfaatan layanan PMTCT oleh ibu atau wanita hamil (lihat UNAIDS Intimate Partner Report, 2009). Penjajakan lapangan kami menemukan hal-hal berikut ini: “… tidak semua ODHA paham tentang PMTCT. Saya mempunyai teman yang HIV positif yang terkejut dan sedih ketika dia tahu bahwa dia hamil. Dia tidak mau hamil. Ketika dia diberitahu bahwa ada layanan PMTCT di rumah sakit lokal yang bisa mengurangi kemungkinan bayinya terinfeksi HIV, dia merasa lega…” (FGD – populasi kunci, Jogja)     Hal. 14     
  • 16. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 “… Di sini (di Manado) informasi mengenai PMTCT tidak cukup. Tentang apa itu…, Saya tidak tahu…” (FGD – wanita, Manado) “Di sini, dokter selalu menyarankan klien ODHA untuk jangan hamil… jadi, layanan PMTCT tidak tersedia secara umum…” (FGD - wanita, Manado) “Banyak wanita positif yang hamil merasa khawatir bahwa mereka mungkin tidak bisa memperoleh layanan yang berkualitas dan aman karena stigma akan statusnya sebagai ODHA… oleh karena itu, banyak dari mereka tidak terbuka mengenai serostatus mereka… karena ketika pekerja kesehatan mengetahui bahwa klien mereka HIV positif, banyak dari mereka ketakutan…” (FGD - wanita, Manado) Gambar 2: Kasus kumulatif HIV dan AIDS pada usia 0-19 tahun (1995-2009) Sumber: Depkes, 2009 (dilaporkan pada bulan Juni dan dimutakhirkan pada 7 Agustus 2009) REKOMENDASI 1. Lebih banyak informasi dibutuhkan harus disediakan di layanan terkait HIV yang menghubungkan VCT, PMTCT, dan ARV. 2. Penyedia layanan harus bekerja sangat keras untuk memastikan bahwa layanan mereka bebas dari stigma dan diskriminasi. Sebagai tambahan, layanan yang didirikan di daerah berisiko tinggi harus dapat menjangkau klien daripada hanya menunggu klien datang untuk mengakses layanan. Lebih penting lagi, seksualitas dan kesehatan reproduksi laki-laki juga harus menjadi bagian dari layanan yang ada untuk membantu klien laki-laki untuk memahami resiko dan bisa melindungi pasangannya.     Hal. 15     
  • 17. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 3. Pelayanan kesehatan mental, terutama konseling individu dan keluarga harus tersedia di semua layanan PMTCT. 4. Sangat mendesak untuk memasukkan isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan isu-isu terkait lainnya dalam Rencana Strategi Nasional. D.4. INDIKATOR UNGASS 7 & 8: TES HIV (UMUM DAN POPULASI DENGAN RESIKO TINGGI) Diakui bahwa VCT adalah kunci untuk intervensi dini dan pengobatan. Kami juga menghargai upaya bersama untuk meningkatkan ketersediaan VCT melalui LSM, klinik, dan puskesmas. Laporan ini ingin memberikan beberapa catatan sebagai berikut: 1. Tidak ada tinjauan ataupun evaluasi terhadap kualitas standar layanan VCT. Dikarenakan banyaknya pelatihan dan ratusan layanan VCT yang berdiri, kualitas layanan harus dipastikan. Studi lapangan kami dan laporan oleh Solidaritas Perempuan menunjukkan adanya praktek VCT yang tidak tepat. 2. Ada banyak insiden tes non-sukarela yang tidak tercatat. Solidaritas Perempuan melaporkan bahwa sebagian besar pekerja migran telah dites tanpa konseling sebelum keberangkatan mereka sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan wajib. Selama pemeriksaan kesehatan, mereka tidak diberitahu pemeriksaan kesehatan macam apa yang akan mereka jalani. Informed consent (surat pernyataan kesediaan) tidak diberikan. Ketika tes menunjukkan hasil yang reaktif, pekerja migran diberitahu bahwa dia tidak layak dan karenanya tidak dapat diberangkatkan. Untuk penjelasan lebih lanjut mereka akan dirujuk ke LSM atau rumah sakit yang menyediakan layanan terkait HIV (Solidaritas Perempuan, 2009). 3. Banyak klien yang pergi untuk melakukan VCT tidak mengambil hasil tes. Mungkin ada beberapa alasan untuk ini tindakan ini. Pertama, klien begitu takut akan hasil dan tidak yakin akan manfaat dari tes yang dilakukan. Kedua, klien merasa bahwa mereka tidak mungkin mampu mengatasi hal yang akan terjadi setelah mereka mengetahui hasil tes (reaktif) dan, oleh karena itu, memilih untuk tidak tahu. Banyak klien VCT yang mungkin telah menyaksikan teman-teman sebaya mereka yang menjadi depresi setelah mengetahui hasil tes yang positif. Wawancara dengan penasun yang menerima kabar buruk setelah melakukan VCT menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang terpuruk emosi dan jiwanya, tidak bisa berpikir jernih, dan bahkan ada beberapa yang bunuh diri (ARC-UIC, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa meningkatkan pelayanan VCT tanpa menyediakan dukungan kesehatan mental lanjutan dapat menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Ketiga, banyak orang mungkin sudah pernah mendengar cerita tentang diskriminasi terhadap ODHA. Cerita seperti itu membuat mereka percaya bahwa tidak ada keuntungan apapun ketika seseorang didiagnosis menderita HIV.     Hal. 16     
  • 18. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 Studi lapangan kami menemukan hal-hal berikut ini: 1. Kesulitan dalam mengakses layanan VCT “… untuk layanan terkait HIV, seharusnya disediakan di tempat-tempat yang mudah untuk diakses. Jadi, ketika kami harus mengakses layanan, kami tidak harus pergi ke rumah sakit… karena hal itu sulit…” (FGD – populasi kunci, Manado) “… ya, tanpa mengatakan apapun dia mengambil darah saya… ketika saya tanya… dia jawab… ‘Kamu tahu itu untuk apa’…” (FGD - wanita, Papua) “… kami sering ditanya mengapa kami suka pergi keluar malam-malam… kami diminta untuk merubah kebiasaan kami… kami melakukan itu karena itu adalah pekerjaan kami… setelah itu kami lebih suka pergi ke VCT keliling yang disediakan oleh LSM…” (FGD – populasi kunci, Jogja) 2. Layanan HIV dan AIDS menyediakan contoh buruk dan membantu mempromosikan stigma negatif dan diskriminasi pada ODHA. “… Saya sedang hamil ketika itu tetapi saya tidak terinfeksi HIV. Suami saya adalah orang yang terinfeksi HIV. Ketika dokter memeriksa saya, secara tiba-tiba dia langsung memasangkan masker, menggunakan sarung tangan, sesuatu yang tidak dia lakukan ketika kehamilan saya masih berada di trimester pertama. Dia memutuskan bahwa saya tidak bisa melahirkan anak saya di rumah sakit tersebut karena peralatan yang tidak lengkap. Saya bilang berulang kali kalau saya sudah dites sebanyak tiga kali dan saya dan bayi sehat. Tetapi dia tetap bersikeras kalau saya tidak bisa melahirkan bayi saya di sana…” (FGD - wanita, Jakarta) “… mereka tahu kalau saya HIV positif sehingga mereka membuat saya menunggu dari pagi hingga sore (di ruang tunggu dokter). Ketika saya tanya ‘Kenapa?’…, suster menjawab ‘Kamu HIV positif’…, saya malu di depan pasien lainnya” (FGD - wanita, Jakarta) “… ketika saya pergi ke dokter gigi di puskesmas, saya diminta untuk menunggu hingga pasien habis… suster menjelaskan ke saya itu karena saya HIV positif. Dia juga bilang kalau dia bersikap baik dengan meminta saya menunggu daripada menolak saya…” (FGD - wanita, Jakarta) “… di tengah-tengah wawancara pekerjaan, pihak manajemen menghentikan wawancara ketika mereka tahu bahwa saya adalah mantan pecandu…” (FGD – populasi kunci, Samarinda) “… Pacar saya tidak sadar ketika dia dibawa ke rumah sakit. Darahnya dites dan positif. Saya ikutan tidak sadar. Tetangga saya diberitahu tentang hal itu. Kami diusir jam 1 pagi. Mereka bilang bahwa kami membawa penyakit ganas dan bisa menginfeksi orang lain di lingkungan…” (FGD – wanita, Samarinda)     Hal. 17     
  • 19. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 REKOMENDASI 1. Lebih banyak informasi mengenai manfaat VCT bagi orang yang terlibat atau berhubungan dengan orang yang terlibat dalam perilaku berisiko harus tersedia di semua program dan kegiatan terkait HIV. 2. VCT harus dihubungkan langsung dengan layanan lain, khususnya dengan konseling pasangan, konseling trauma atau kecanduan, perawatan kesehatan dasar, IMS, LJSS, dan layanan terapi substitusi. Bila memungkinkan, dianjurkan bahwa layanan tersebut disediakan secara terpadu. D.5. INDIKATOR UNGASS 9: PROGRAM PENCEGAHAN PADA POPULASI DENGAN RESIKO TINGGI Kelompok-kelompok masyarakat yang termasuk dalam populasi dengan resiko tinggi: a. IBBS-MARP 2007/2008 (MOH, 2008)8: Pekerja seks komersial (PSK-pria dan wanita; langsung dan tidak langsung), pengguna narkoba suntik (penasun), homoseksual, waria, LSL, pelanggan PSK, pria yang terlibat dalam pekerjaan berisiko, nelayan, pengemudi truk dan ojek), dan remaja. b. Strategi Nasional 2010-2014: Pekerja seks komersial (laki-laki/perempuan), pelanggan PSK, pasangan seksual pelanggan PSK, LSL, dan penasun. c. Tim estimasi tahun 2009: semua yang disebut di atas (b), narapidana9 Berdasarkan inklusi di atas, kita dapat mencatat bahwa buruh migran, pasangan seksual penasun, petugas dan personel militer, dan mungkin kelompok masyarakat lain yang mungkin berisiko karena pekerjaan mereka, orientasi seksual, atau kontak/hubungan dengan individu beresiko tinggi tidak termasuk dalam penjajakan dan strategi pencegahan/intervensi apapun. Berikut ini adalah sejumlah tantangan dengan intervensi yang ada saat ini: 1. Data: Menurut tim estimasi 2009 (KPA, 2010) tidak semua kelompok masyarakat bisa diperkirakan berdasarkan data yang ada, baik tingkat nasional maupun tingkat provinsi/kota/kabupaten. Bahkan, banyak dari kelompok masyarakat ini (PSK langsung, LSL, pelanggan dari PSK, laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan beresiko) memiliki data yang sangat sedikit. 2. Investasi: Karena sumber daya dan prioritas yang terbatas – tidak semua kelompok masyarakat yang terdaftar di IBBS-MARP menerima investasi yang seimbang untuk pencegahan. PSK, penasun, dan LSL telah diperlakukan sebagai kelompok sasaran utama untuk pencegahan. Narapidana sudah mulai mendapatkan perhatian. Pelanggan dari PSK dan pasangan seksual mereka, dan semua kelompok masyarakat lainnya yang tercantum di atas (termasuk                                                          8 Depkes (2008). Surveilans terpadu Biologik dan Perilaku 2007/2008. 9 Tim Estimasi 2009, Estimasi populasi rawan tertular HIV dan ODHA 2009. Disajikan di Jakarta, 8 Februari 2010.     Hal. 18     
  • 20. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 remaja) yang saat ini tidak dianggap sebagai kelompok sasaran prioritas. 3. Kelompok sasaran sekunder dan tersier: Strategi pencegahan yang ada saat ini perlu mendefinisikan dan mengidentifikasi kelompok sasaran sekunder dan tersier untuk pencegahan secara lebih serius. Pelanggan PSK dan pasangan seks penasun harus dipertimbangkan secara serius sebagai kelompok sasaran sekunder dan pasangan seksual pelanggan PSK sebagai kelompok sasaran tersier untuk KIE dan program pencegahan lainnya. 4. Melampaui populasi dengan resiko tinggi: Meskipun dipahami dan penting untuk mendefinisikan populasi dengan resiko tinggi dalam Strategi Nasional, jelas sekali bahwa strategi ini mungkin berbahaya bagi keseluruhan strategi pencegahan HIV jika kita mengabaikan populasi lain yang kurang berisiko tetapi memiliki kaitan yang erat. Sudah dipahami bahwa sebagian besar anggota populasi kunci juga terlibat dalam hubungan seksual dengan pasangan tetap (perempuan) yang beresiko tidak sadar akan terinfeksi HIV (UNAIDS, 2009; FHI-ARC, 2010). Di sisi lain, kelompok lain yang saat ini tidak dianggap sebagai populasi berisiko tinggi sebenarnya merupakan kelompok yang sangat berisiko, terutama pemuda yang berhenti sekolah, mereka yang bekerja di lingkungan dengan resiko tinggi, dll. Oleh karena itu, sangat penting untuk menggabungkan pendekatan populasi resiko spesifik dan sektoral. KPAN harus bertahan pada populasi dengan resiko tinggi tetapi mendelegasikan tanggung jawab kepada lembaga-lembaga sektoral dan membantu dalam memperkuat respon mereka. Kami percaya bahwa mekanisme seperti ini tidak ada di KPA. Sebagai contoh: a. Kemenhankam: rekrutan dan personel militer b. Kemendiknas: siswa sekolah dan keluarga mereka c. Kemensos: PSK langsung dan tidak langsung, pelanggan dari PSK, LSL yang tinggal di jalan, remaja yang berhenti sekolah d. Depkes dan BKKBN: populasi umum, anak-anak usia sekolah, anak- anak yang berhenti sekolah e. Kemenakertrans: tempat kerja, buruh migran dan keluarga mereka f. Kemenkum dan HAM: narapidana dan keluarga mereka Sebagaimana yang diindikasikan sebelumnya, meskipun mekanismenya sudah tersedia, KPA harus mendukung pelaporan dan pendistribusian sehingga masyarakat mengetahui prestasi dan tantangan mereka. 5. Prinsip GIPA: Semenjak diadopsi oleh Paris AIDS Summit pada tahun 1994, kami telah berusaha untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Hambatan teknis, budaya, dan hukum telah menurunkan partisipasi populasi terdampak HIV secara signifikan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan di tingkat lokal dan nasional. KPA telah bekerja sangat keras untuk mengembangkan lingkungan kerja yang inklusif yang harus dihargai dan dipelihara. Pencapaian dalam menerima Global Fund ronde 8 dan 9 merupakan bukti nyata dari kerja keras KPA untuk melibatkan para pemangku kepentingan penting dalam proses penulisan proposal. Kami perlu mengingatkan bahwa,     Hal. 19     
  • 21. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 bagaimanapun juga, pengamatan kami terhadap pelaksanaan program Global Fund masih dirasa kurang dalam hal transparansi dan kolaborasi yang konstruktif serta partisipasi organisasi masyarakat yang terdampak HIV. Laporan ini ingin menyatakan keprihatinannya karena bahkan di antara OMS yang mewakili masyarakat yang terdampak HIV di CCM, tidak ada cukup penjangkauan yang melampaui batas-batas kelompok tertentu. Dengan kata lain, anggota terpilih yang mewakili orang-orang yang positif atau jaringan atau organisasi spesifik lainnya, misalnya, hanya akan bertanggung jawab kepada konstituen langsung mereka sementara banyak ODHA yang mungkin tidak termasuk dalam jaringan mereka. Dalam situasi dimana sumber daya untuk pencegahan masih sangat terbatas, terutama pemerintah dan pendanaan asing, kita harus bisa memberdayakan masyarakat untuk bertanggung jawab dan membantu diri mereka sendiri dengan menggunakan sumber daya sendiri yang tersedia. 6. Terdapat hambatan yang signifikan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip GIPA di Indonesia selama ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap populasi dengan resiko tinggi. Wawancara kami dengan anggota Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa terdapat 19 peraturan setingkat provinsi, 134 peraturan setingkat kota, dan 1 peraturan daerah yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengkriminalisasi atau mendiskriminasi kelompok-kelompok orang tertentu berdasarkan pekerjaan dan orientasi seksual mereka (KOMNAS Perempuan, 2010). KPA sebagai lembaga negara multi-sektoral harus menyatakan kebijakan inklusif kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri. Penjajakan lapangan menemukan hal-hal berikut ini: 1. Ada banyak bahan KIE yang didistribusikan di masyarakat. Berbeda-beda dari segi format dan isi. Sebagian besar materi ini didistribusikan ke target/kelompok sasaran yang sangat terbatas, terutama yang dianggap sebagai penerima program tertentu oleh LSM atau lembaga layanan tertentu. 2. Di Papua, kebanyakan materi KIE tidak dianggap sebagai instrumen yang efektif untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai HIV dan AIDS dan bagaimana menghindari infeksi tersebut. Banyak materi KIE dirancang untuk menyentuh sub-populasi yang bisa membaca, sedangkan banyak populasi yang terdampak HIV merupakan kelompok dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. “… ada banyak brosur tentang HIV dan AIDS tetapi didistribusikan oleh LSM untuk orang-orang tertentu, populasi umum tidak diberitahu…” (FGD – wanita, Jayapura) “… kebanyakan orang dewasa dan orang tua di Papua tidak pernah sekolah – mereka tidak tahu bagaimana caranya membaca brosur-brosur tersebut…” (FGD – wanita, Jayapura)     Hal. 20     
  • 22. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 3. Kelompok target juga mendambakan partisipasi aktif sehingga mereka bisa membantu membuat materi KIE cocok untuk kelompok masyarakat tertentu dan berurusan dengan masalah tertentu spesifik yang dihadapi kelompok tersebut. “Mengapa tidak membuat materi KIE sesuai dengan tahapan – dari informasi dasar hingga lanjutan? Dalam kasus ini, kami masyarakat biasa bisa memahaminya…” (FGD – PSK, Jakarta) “… ide yang bagus untuk melibatkan pekerja seks di Kelurahan sehingga anggota PKK bisa paham bahaya dan posisi kami sebagai pekerja seks…” (FGD – PSK, Jakarta) 4. Informasi mengenai HIV dan AIDS dan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja dan pemuda harus ditulis dan disampaikan melalui media yang mengerti pemuda, seperti majalah remaja, radio, dan TV. Banyak dana telah dihabiskan untuk mengembangkan media yang tidak efektif. “… untuk radio… informasi mengenai HIV dan AIDS harus disusun dalam pesan yang lebih sederhana dan mudah dipahami…” (FGD – populasi kunci, Jakarta) “… ada banyak uang yang dihabiskan untuk mencetak selebaran – kenapa tidak menginvestasikan semuanya ke rumah produksi – biarkan mereka menangani masalah dengan lebih professional yang sesuai dengan kelompok target sehingga informasi menjadi lebih menarik. … Saya juga menyadari partisipasi rendah dari anggota komunitas yang terdampak…” (FGD – populasi kunci, Jakarta). REKOMENDASI 1. Walaupun upaya terkonsentrasi untuk mengekang epidemi di populasi dengan resiko tinggi sangat penting, tetapi selalu ada kemungkinan infeksi merebak ke populasi umum. Perhatian lebih untuk remaja, orang yang terlibat dalam pekerjaan yang dapat mengakibatkan perilaku berisiko, pasangan dari penasun dan pelanggan PSK, dan narapidana harus didukung dan harus memiliki strategi spesifik. KPA, kementerian sektoral, dan OMS harus membahas strategi sesegera mungkin. 2. ODHA dari populasi kunci harus secara aktif terlibat untuk melindungi pasangan seksual mereka, terutama istri-istri mereka. 3. KPA harus tegas ketika berhadapan dengan kebijakan inklusif kementerian sektoral. Hal ini telah didukung sendiri oleh Presiden ketika ICAAP IX di Bali. 4. Materi KIE untuk kelompok sasaran sekunder dan tersier harus disesuaikan dengan karakteristik kelompok sasaran. D.6. INDIKATOR UNGASS 10: DUKUNGAN BAGI ANAK YANG     Hal. 21     
  • 23. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 TERDAMPAK OLEH HIV DAN AIDS Menurut data Depkes terakhir (Desember 2009), terdapat 1.280 anak-anak usia 0-18 tahun yang hidup dengan AIDS. Mengingat perkiraan jumlah ODHA (296.000), mungkin ada lebih dari 500.000 orang yang terdampak HIV dan AIDS. Sudah jelas, oleh karenanya, bahwa kita mungkin berhadapan dengan fenomena puncak gunung es. Perhatian kepada anak yang terdampak HIV dan AIDS di Indonesia baru dimulai. Kementrian Sosial menyediakan paket bantuan bagi anak dengan HIV untuk membantu mereka mengakses pelayanan kesehatan, membayar biaya yang berkaitan dengan sekolah, dan menyediakan modal kecil untuk menambah pendapatan keluarga. Program ini berjalan di 4 propinsi. Sejumlah LSM di Jakarta dan beberapa kota di Jawa dan Bali telah merawat anak dengan HIV dan mereka yang terkena dampak epidemi (yatim piatu). Mereka sering menemukan bahwa anak yang dilahirkan dari orangtua yang terinfeksi HIV ditinggalkan oleh keluarga besar mereka. Mereka masih kesulitan dalam memperoleh dukungan untuk mengakses tes HIV, ARV, dan pengobatan untuk infeksi oportunistik. Banyak anak yang tidak didiagnosis atau dites sebelum mereka sakit parah dan jumlah CD4 mereka sangat rendah. Ketika sero-status mereka terungkap, mereka harus bersaing untuk mendapatkan perawatan umum dan layanan pengobatan gratis dengan anak-anak sakit lainnya. Anak-anak yang menjalani terapi ARV dan mampu bersekolah beresiko mendapatkan stigma dan diskriminasi. Orang tua biasanya enggan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi anak-anak mereka dikarenakan kurangnya kepercayaan pada sistem yang berlaku10. Di banyak kasus, biasanya sudah terlambat. REKOMENDASI: 1. Data anak yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS harus ditingkatkan dan dibuat tersedia bagi masyarakat umum. 2. Anak-anak mungkin menerima dampak negatif HIV karena stigma dan diskrimasi yang terus bertahan terhadap ODHA. Orangtua dengan HIV tidak dapat menemukan kehidupan yang layak karena masyarakat tidak memperoleh informasi yang cukup baik tentang penyakit ini. Pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memberikan informasi ke publik dan untuk menghilangkan hambatan sosial dan ekonomi pada ODHA. . 3. Seharusnya ada kebijakan yang jelas berkaitan dengan akses bagi anak dengan HIV/AIDS di rumah sakit dan layanan perawatan lainnya sebagai bentuk tanggung jawab akan respon yang tepat dan cepat dan bukan untuk menciptakan konflik kepentingan bagi anak-anak lain yang sedang sakit. 4. Kementrian Pendidikan Nasional seharusnya menyusun kebijakan untuk melindungi anak-anak yang terinfeksi dan terdampak oleh HIV dan AIDS dalam sistem pendidikan/sekolah. Adalah kewajiban negara untuk melindungi                                                          10 Wawancara dengan 30 orangtua anak yang terinfeksi HIV oleh Lentera Anak Pelangi, Universitas Atma Jaya, Januari 2010.     Hal. 22     
  • 24. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan. Kementrian maupun KPA tidak bisa menyerahkan masalah serius ini dengan hanya menerbitkan kebijakan pemerintah di tingkat provinsi/kota/kabupaten. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia dan hukum adalah kewenangan pemerintah pusat. 5. Anak-anak yatim piatu dan yang seringkali ditinggalkan oleh keluarga besar mereka memerlukan bantuan dan pelayanan khusus. LSM harus bisa mengakses paket bantuan pemerintah yang disediakan bagi anak-anak ini. 6. Intervensi bagi anak-anak ini harus meliputi layanan psikososial dan kesehatan mental. D.7. INDIKATOR UNGASS 11: PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP BERBASIS HIV DI SEKOLAH Kami ingin menekankan bahwa sektor pendidikan di Indonesia, meskipun merupakan sektor konservatif, telah membuat banyak terobosan maju dalam merespon epidemi HIV dan AIDS. Manual bagi guru telah tersedia sejak tahun 2000 mengenai pendidikan kecakapan hidup yang berkaitan dengan kesehatan dan perkembangan lanjutan (terbaru) telah menyertakan kesehatan seksual dan reproduksi dan penyalahgunaan narkoba. Isu-isu ini telah dimasukkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 sesuai dengan tingkat pendidikan. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan sudah diterbitkan dimana pencegahan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Obat adalah kegiatan wajib. Bahkan, sektor ini memiliki “Strategi Pencegahan HIV melalui pendidikan” sendiri yang dirumuskan pada tahun 2004 dan semenjak tahun 2007 telah tersedia dalam media cetak. Di Papua, HIV dan AIDS telah masuk dalam sektor pendidikan. Bahkan, banyak sekolah sudah mampu memberikan pelatihan layanan di tempat bagi para guru tentang HIV dan AIDS bekerjasama dengan LSM nasional dan internasional (UNESCO, 2010). Tantangan berikut ini, bagaimanapun juga, tetap harus serius ditangani: 1. Distribusi buku "Strategi Pencegahan HIV melalui Pendidikan" tidak mencapai sekolah di tingkat provinsi atau tidak digunakan sebagai acuan utama. 2. Walaupun topik HIV dan AIDS serta penyalahgunaan narkoba telah terintegrasi dalam Standar Kompetensi Minimum di SMP dan SMA tahun 2006, sektor pendidikan mengalami kesulitan untuk merespon HIV dan AIDS secara efektif karena: a. Tidak semua sekolah memiliki materi yang tepat untuk menangani isu HIV dan AIDS. Dapat ditemukan bahan berkualitas pada informasi terkait HIV dan kecakapan hidup, tetapi distribusi materi dibatasi oleh sumber daya yang tersedia.     Hal. 23     
  • 25. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 b. Kebanyakan guru belum pernah dilatih dalam penanggulangan HIV dan AIDS dan tidak merasa mampu untuk mengajar siswa pada topik ini. c. Budaya dan agama menjadi hambatan bagi guru untuk memberikan informasi mengenai seks, seksualitas, dan kesehatan seksual dan reproduksi. d. Prioritas guru adalah mengajar kompetensi inti untuk ujian akhir nasional, yang mungkin secara substansial tidak berhubungan dengan HIV dan AIDS. 3. Kami juga menyadari bahwa World Population Fund dan BKKBN telah menyediakan informasi berbasis internet mengenai kesehatan seksual dan reproduksi seperti DAKU (Dunia Remajaku Seru) dan CERIA. Program ini diakses oleh sekolah dan anak-anak yang berhenti sekolah untuk belajar tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. penjajakan kami menunjukkan bahwa siswa memerlukan sasaran dan informasi yang terus terang mengenai isu terkait epidemi HIV dan mereka biasanya mencari informasi menggunakan media popular dan dunia maya. Upaya terpadu dibutuhkan untuk mencari dan menggunakan peluang di sektor pendidikan dalam usaha untuk memberikan informasi dan mendidik siswa tentang pencegahan HIV. Kegiatan ekstrakurikuler, program kesehatan sekolah, pelatihan bagi guru mengenai layanan sebelum dan layanan di tempat adalah beberapa peluang yang telah digunakan untuk membawa isu HIV dan AIDS ke dalam sistem. Mungkin ada lebih banyak kesempatan di luar kelas dan buku teks sekolah yang masih bisa dieksplorasi. REKOMENDASI: 1. Upaya terpadu harus lebih banyak diinvestasikan untuk memberikan informasi bagi anak-anak yang berada di dalam dan di luar sekolah. Mitra pembangunan dan KPA serta kemetrian sektoral lainnya harus bekerja sama untuk memanfaatkan apa yang telah dikembangkan dan diuji oleh sektor pendidikan, BKKBN, dan Kemensos untuk menjangkau khalayak yang seluas mungkin. Tantangan yang lebih serius bisa ditemukan di Tanah Papua dimana budaya, bahasa, tingkat pendidikan, dan wilayah geografis bisa menghambat kegiatan pencegahan yang efektif. Usaha khusus sangat dibutuhkan di wilayah ini. 2. Ada banyak LSM atau OMS (termasuk yang berbasis agama) yang mampu memberikan informasi dan pelatihan yang efektif. KPA (juga Komisi Penanggulangan AIDS tingkat provinsi/kota/kabupaten) harus menjalin kemitraan dengan mereka. Hal ini sangat penting karena kebanyakan Komisi Penanggulangan AIDS tingkat provinsi/kota/kabupaten yang baru dibentuk belum siap untuk bekerja sendiri untuk menjalankan program yang efektif. D.8. INDIKATOR UNGASS 12-21: PENGETAHUAN DAN PERILAKU DARI     Hal. 24     
  • 26. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 POPULASI DENGAN RESIKO TINGGI IBBS-MARP 2007/8 dengan jelas mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai pencegahan HIV di antara kelompok resiko tinggi telah membaik. Lebih dari 69 hingga 89% tahu bahwa penggunaan kondom dan hubungan setia dapat mencegah infeksi HIV. Namun, 24 hingga 75% dari responden juga mengungkapkan pemahaman yang salah mengenai bagaimana HIV ditularkan. Pada aspek perilaku, pengawasan juga menunjukkan bahwa perilaku berbagi jarum suntik di antara penasun dan keterlibatan dalam seks komersial yang tidak aman masih sering dilakukan oleh kelompok resiko tinggi. Laporan ini ingin memberikan perhatian ada beberapa hal di bawah ini: 1. Intervensi perubahan perilaku yang mencakup penyediaan informasi dan keterampilan yang relevan sangat berguna dan telah membantu kelompok resiko tinggi untuk mengubah perilaku berisiko mereka. 2. Masalah yang dihadapi, bagaimanapun juga, adalah untuk mempertahankan atau memelihara perubahan perilaku. Di bawah ini adalah penyebab kegagalan dalam mempertahankan perubahan perilaku yang konstruktif: a. Pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan penanganan pecandu narkoba dan mereka yang "terpaksa" bekerja dalam lingkungan yang berisiko, seperti pekerja seks. Penjajakan cepat pada penasun perempuan dan program pengurangan dampak buruk mengungkapkan insiden pelanggaran hak asasi manusia selama penangkapan dan penahanan oleh petugas kepolisian (Yayasan Stigma, 2010). b. Kriminalisasi anggota populasi kunci, terutama kepada anggota kelompok minoritas seksual, pekerja seks, penasun, dan tahanan – seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya. c. Intervensi yang mempromosikan hukuman dan pengucilan sosial kepada anggota populasi dengan resiko tinggi. d. Keyakinan dan praktek yang salah mengenai penggunaan kondom sering kali didukung oleh tokoh masyarakat. e. Dalam layanan pengurangan dampak buruk (Harm Reduction), kepemimpinan di pemerintahan, khususnya di Kemenkes, KPA dan BNN, telah gagal mencapai konsensus mengenai penyediaan jarum bersih/steril. Program pengurangan dampak buruk yang satu ini masih menemukan kontroversi dan menciptakan kebingungan di kalangan pekerja lapangan, staf HR di puskesmas, dan calon klien. f. Undang-undang mengenai otonomi daerah sering disalahartikan oleh otoritas legislatif dan eksekutif kabupaten bahwa mereka mungkin dapat menciptakan instrumen hukum sendiri yang menyimpang dari hukum nasional. Beberapa Peraturan Daerah yang mengkriminalisasi minoritas seksual, misalnya, tidak didukung oleh hukum nasional yang berlaku. REKOMENDASI:     Hal. 25     
  • 27. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 1. Upaya berkelanjutan untuk mengembangkan kebijakan inklusif dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan hukum/kebijakan, sosial-budaya, dan agama secara serius diperlukan. Hentikan kriminalisasi kepada populasi kunci berdasarkan mata pencaharian beresiko, penggunaan narkoba, atau status minoritas seksual mereka. KPA dan OMS harus memberikan informasi lebih banyak kepada masyarakat untuk menghilangkan bias dan prasangka terhadap anggota mitra-mitra mereka. 2. Partisipasi yang berarti dan signifikan anggota populasi dengan resiko tinggi dalam perencanaan, desain, dan implementasi program harus difasilitasi. Koordinasi dan kerjasama dengan dan antara kelompok yang beragam ini harus ditingkatkan. 3. Intervensi psiko-sosial dan pelayanan kesehatan mental harus ditambahkan dalam intervensi yang ada saat ini untuk mengatasi pengalaman traumatis yang berhubungan dengan kecanduan dan diskriminasi jangka panjang, pengungkapan serostatus, hubungan dengan orang dekat dan mencari pemecahan berkaitan dengan keyakinan yang salah tentang diri dan situasi mereka.     Hal. 26     
  • 28. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 DAFTAR PUSTAKA Barraclaugh,A., Clark, M., Heltzer, N., Hudyono, Y. (February, 2008). Report of HIV/AIDS commodities survey and supply chain status assessment in Tanah Papua: Survey of HIV/AIDS commodities in Tanah Papua. Arlington, VA: SCMC and Pepfar. BPS (2009). A socio-economic impact study of HIV and AIDS on Households. Draft report. FHI-ARC (2010). Perilaku dan jaringan seksual pengguna napza suntik. Jakarta: ARC-FHI. Gustav, R. 2008. Monitoring UNGASS-AIDS Goals on Sexual and Reproductive Health. Irwanto et al., 2010. CCM II Advocacy Project Report “Enggaging CS Representative in CCM Global Fund Indonesia”. KOMNAS Perempuan (March, 2009). Atas Nama Otonomi Daerah; Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia. KPAN (2008). Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan Remaja 2007-2010. Jakarta: KPAN. Solidaritas Perempuan (2009). Mandatory testing on Indonesian migrant workers: 2007 report. Jakarta: Solidaritas perempuan, CARAM Asia, UNIFEM. STIGMA (2010). Pengalaman Perempuan Penasun dalam Mengakses Pelayanan harm Reduction: Sebuah kajian cepat. Draft report. UIC-ARC (2010a). Factors related to ARV adherence among IDU in Jakarta and Bali – Report of Pilot 1 phase 2. UNAIDS (2009). HIV transmission in intimate partner relationships in Asia. Geneva: UNAIDS. UNESCO (2010). Education response to HIV, drugs, and sexuality in Indonesia: An assessment on the integration of reproductive health, HIV, and drug abuse, issues in Junior and Senior High Schools in Papua, Maluku, West Kalimantan, Riau islands, DKI Jakarta, and Bali. Monograph report. Jakarta: Atma Jaya HIV/AIDS Research Center and UNESCO.     Hal. 27     
  • 29. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
     Hal. 28     
  • 30. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 LAMPIRAN Tabel 03: Jumlah responden  FOCUS GROUP DISCUSSIONS PASANGAN Exit Wawancara Kota POPUL PEKRJA REMAJ SEKSUAL Interviews mendalam ASI SEKS A/PEM LSM PENASUN KUNCI WANITA UDA (WANITA) Aceh 7 6 5 8 1 3 Jaka 6 7 9 8 3 1 (LSM) rta Jogja 9 6 6 6 7 3 3 (Kepala karta sekolah, P- AC, Dinkes kota) Sama 6 6 6 8 3 4 (Kepala rinda sekolah, Dinkes, KPAP, LSM) Man 6 6 6 6 2 4 (Dinkes, ado Kepala sekolah, LSM, KPAP) Jaya 5 8 5 7 1 4 (Kepala pura sekolah, Dinkes, LSM, KPAP) Instit 9 (KPAN, usi KPAI, nasio Komnas nal HAM, Komnas Perempuan, FHI, HCPI) TOT 39 39 37 43 7 13 28 AL        Hal. 29     
  • 31. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
     Hal. 30     
  • 32. Forum UNGASS-AIDS Indonesia 
 Persetujuan etika     Hal. 31