Forum UNGASS-AIDS Indonesia menilai kepemimpinan pemerintah dalam merespon HIV/AIDS telah meningkatkan pendanaan dan keikutsertaan masyarakat sipil. Namun, perlu terus memperkuat koordinasi antar lembaga dan meningkatkan cakupan program.
2. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
KATA PENGANTAR
“Karena di sana ada harapan kesuksesan dalam memerangi HIV/AIDS, seluruh dunia harus
bersatu dalam sebuah aliansi global.”
Koffi Annan, Pendahuluan – Deklarasi Komitmen (Juni, 2001)
Ketika kita memasuki dekade ketiga perjuangan melawan epidemi global AIDS, sangat jelas
– meskipun teknologi telah berkembang dan meningkat; ARV mulai tersedia di negara-negara
yang tidak pernah kita bayangkan akan mampu menyediakan obat tersebut; dan pemerintah
serta kelompok masyarakat berhasil membuka beberapa pintu yang tidak pernah dibuka
sebelumnya – namun, kita tahu bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus
dilakukan ke depannya. Sebuah pekerjaan yang tidak akan pernah bisa dilakukan sendirian.
Kami menyadari bahwa lebih banyak pemimpin dibutuhkan dari kedua belah pihak –
pemerintah dan kelompok masyarakat. Pemimpin yang tidak hanya tahu bagaimana untuk
bertindak dan berbicara, tetapi juga untuk duduk dan mendengarkan. Dan yang paling
penting, pemimpin yang tahu bagaimana caranya bekerjasama dengan konstituen mereka, dan
dengan para pemimpin lainnya. Melalui Forum UNGASS Indonesia, kami mencoba untuk
mengejar ide kolaborasi antara jaringan nasional dan organisasi yang berdiri atas dasar
keinginan dan komitmen bersama, untuk bekerja bersama dalam menghadapi salah satu
epidemi terburuk yang ada di dunia: AIDS. Dan jika dunia sekalipun pernah mengajarkan kita
tentang “ide”, adalah bahwa hal itu tidak akan pernah bisa sempurna ketika kita
merealisasikannya. Namun, pengejaran ide adalah hal yang membuat Forum UNGASS
Indonesia tetap berjalan di jalurnya.
Melalui Forum UNGASS Indonesia, kami memenuhi salah satu peran mendasar kami sebagai
pergerakan berbasis masyarakat sipil: sebagai pengawas. Namun, kami menyadari bahwa
kami tidak seharusnya hanya mengawasi kemajuan pemerintah maupun pihak luar lainnya,
namun kami juga menggunakan kesempatan untuk merefleksikan kemajuan kami sebagai
sebuah gerakan masyarakat sipil. Meskipun kami menemukan banyak kemajuan yang telah
dilakukan oleh pemerintah, lembaga bi-multilateral dan kelompok masyarakat, kami juga
menemukan banyak ruang-untuk-perbaikan yang signifikan, yang sekali lagi, hanya dapat
ditingkatkan jika kita menemukan cara untuk bekerja sama.
Forum UNGASS Indonesia ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam membentuk forum, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
untuk kemitraannya dan HIVOS untuk dukungannya. Namun, Forum UNGASS Indonesia
ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada GESTOS, LACCASO dan Ford
Foundation, khususnya, atas dukungan yang tiada akhir bagi forum.
Untuk dunia yang lebih baik,
Forum UNGASS AIDS Indonesia
Anggota forum: JOTHI – IPPI – PKNI – GWLIna – OPSI – MAP – JSG – IKON – OUR
VOICE – LP3Y – PITA – KPI – GERBANG – Pantura Plus – REMPAH – Bina Hati –
STIGMA – Solidaritas Perempuan
Hal. 1
4. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
A. PENDAHULUAN
Menguatkan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) adalah tugas penting bagi
pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam rangka memperkuat respon
nasional terhadap HIV/AIDS. Tidak dapat disangkal bahwa OMS telah terlibat dalam
respon nasional terhadap HIV dan AIDS sejak dini bahkan ketika pemerintah belum
siap untuk menghadapi stigma dan diskriminasi yang sejalan dengan perkembangan
epidemi.
Sejak tahun 2007, koalisi perwakilan masyarakat sipil telah bekerja sangat keras
untuk menangkap elemen-elemen dalam respon nasional terhadap HIV/AIDS yang
mungkin terlewatkan dalam mekanisme pelaporan nasional kepada UNAIDS
dikarenakan perumusan indikator. Pada tahun 2008, Forum UNGASS-AIDS
Indonesia menyerahkan laporan independen pertama mereka kepada UNAIDS.
Di tahun 2009, forum melanjutkan proses dengan tambahan anggota dan
diselenggarakan oleh JOTHI (Jaringan ODHA Indonesia). Saat ini Forum UNGASS
Indonesia memiliki 18 anggota OMS, yang terdiri dari lima LSM berskala nasional
yang merupakan LSM dari mereka yang terkena dampak HIV dan 13 LSM yang
bergerak di lingkup HIV. Pada periode pelaporan tahun 2010, komitmen kembali
dinyatakan untuk berkontribusi dalam pelaporan UNGASS 2010 dengan menyusun
sebuah laporan bayangan yang menyoroti aspek-aspek kualitatif dari indikator
UNGASS yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan negara. Untuk melakukan hal
tersebut, koalisi melakukan studi lapangan di enam kota, melakukan wawancara
mendalam dengan pemangku kepentingan terkait dan mengkaji data sekunder. Hasil
tersebut kemudian digunakan dalam laporan ini untuk menyoroti analisis kami
terhadap indikator terkait. Karena laporan ini didasarkan pada studi lapangan yang
didanai oleh GESTOS, LACASSO, Ford Foundation dan HIVOS untuk menilai
situasi jender dan pengawasan hak asasi manusia terkait kekerasan pada perempuan,
masalah kesehatan seksual dan reproduksi, dan HIV dan AIDS – tidak semua
indikator UNGASS relevan dengan laporan ini.
B. TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN
Tujuan dari pelaksanaan penjajakan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami bagaimana isu-isu hak asasi manusia dinyatakan,
diimplementasikan, dan diawasi dalam kaitannya dengan pencegahan HIV dan
AIDS.
2. Untuk menyoroti bagaimana isu-isu yang berkaitan dengan anak, remaja, dan
wanita dinyatakan dalam respon terhadap HIV dan AIDS yang sudah
berlangsung.
3. Untuk memahami aspek kualitatif pengalaman dalam mengakses atau
memanfaatkan layanan dan program pencegahan HIV dan AIDS.
4. Untuk memahami masalah kepemimpinan antara lembaga pemerintah, mitra
pembangunan, dan organisasi masyarakat sipil dalam pelaksanaan Strategi
Nasional yang berkaitan dengan epidemi HIV dan AIDS.
Hal. 3
5. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
C. METODOLOGI
C.1. Lokasi penjajakan dan pengumpul data
Penjajakan ini dilaksanakan di enam kota: Aceh, Jakarta, Jogjakarta, Samarinda,
Manado dan Jayapura (lihat Gambar 1). Lokasi ini ditentukan berdasarkan prevalensi
HIV dan AIDS yang terlaporkan (Depkes RI – 2009). Data dikumpulkan dari bulan
September-Desember 2009. Anggota Forum UNGASS dan anggota LSM lokal
diundang untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data. Mereka dilatih untuk
menggunakan instrumen penjajakan dan untuk mengumpulkan data sekunder dari
instansi terkait.
C.2. Nara sumber dan pengumpulan data
Nara sumber kami adalah sukarelawan yang direkrut melalui LSM lokal, kecuali
mereka yang mewakili institusi sektoral pemerintah, Komisi AIDS Nasional, dan
Lembaga Hak Asasi Manusia, serta mitra pembangunan di Jakarta. Lihat Tabel 1
(terlampir) untuk penjelasan lebih lanjut.
Tabel 1: Peta lokasi penelitian
Dalam Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah), 165 nara sumber
berpartisipasi mewakili populasi kunci (39), pekerja seks wanita (39), pasangan
seksual wanita penasun (37), kalangan pemuda (43), LSM terkait HIV (7). Exit
interview kami mampu melibatkan 13 klien. Wawancara mendalam dilakukan pada
28 individu yang bekerja di berbagai organisasi terkait HIV dan AIDS (lihat tabel 1)
Hal. 4
6. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
Data sekunder diperoleh melalui KPA, Komisi Hak Asasi Perempuan, Komisi Hak
Asasi Manusia, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak. Kami juga mengambil data
dari mitra pembangunan, khususnya UNAIDS, FHI-ASA, dan HCPI.
Tabel 1: Nara sumber
FGD Wawancara mendalam Exit interview
Nara sumber ‐ Populasi kunci1 Provinsi/Kota: Pasien HIV yang
‐ Pekerja seksual mengakses layanan
wanita Dinas Kesehatan kesehatan di rumah
‐ Pasangan seksual Komisi AIDS sakit atau puskesmas
penasun Kepala Sekolah SMA
‐ Remaja/pemuda (pemerintah)
- Nasional: -
KPA
KPAI (perlindungan anak)
Komisi Hak Asasi Manusia
Komisi Hak Asasi Perempuan
HCPI
FHI
Jumlah nara 6 – 8 nara sumber per 1 nara sumber 1 – 3 nara sumber
sumber kelompok
Jenis kelamin Proporsional - -
Pengalaman Sudah pernah Mitra pembangunan: paling (Akan) selesai
terkait AIDS mengakses layanan tidak sudah mengelola program menjalankan layanan
terkait HIV/AIDS HIV/AIDS selama 3 tahun yang sedang dijalani
Usia Remaja/pemuda - -
berusia 15-24 tahun
C.5. Analisis data
Seperti yang dinyatakan dalam tujuan penelitian dan metodologi, sebagian besar data
dan informasi yang kami kumpulkan bersifat kualitatif. Dalam analisis ini kami
tertarik untuk melihat kategori pengalaman umum dan pendapat yang berkaitan
dengan intervensi dan program HIV yang sudah ada. Analisis ini akan dihubungkan
dengan analisis kami pada data sekunder dan informasi yang tersedia.
C. 4. Persetujuan Etika
Persetujuan etika merupakan sebuah proses dan diperoleh melalui Komite Etika
Universitas Katolik Atma Jaya (Lihat surat no 827/LPPM-KE/12/2009 – terlampir).
Seluruh nara sumber beserta populasi kunci, remaja/pemuda, pekerja seks wanita, dan
pasangan seksual wanita penasun diminta untuk menandatangani informed consent
1
Anggota populasi kunci: homoseksual, waria, lesbian, pengguna narkotika, ODHA, dan pekerja seks.
Hal. 5
7. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
(surat pernyataan kesediaan) setelah diberikan informasi mengenai assessment
(penjajakan) ini. Masalah kerahasiaan diperlakukan secara serius dalam assessment
(penjajakan) ini.
D. HASIL
Uraian dari hasil penelitian kami berikut ini dikategorikan ke dalam Indikator Inti
UNGASS (Guideline of UNGASS on AIDS 2010 Reporting – Pedoman UNGASS
tentang Pelaporan AIDS 2010). Tidak semua indicator relevan dalam pelaporan ini.
Hanya indikator yang termasuk dalam penjajakan kami yang kami sertakan dalam
laporan ini. Sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya, kami lebih tertarik untuk
meneliti sisi kualitatif atau pengalaman subjektif daripada aspek kuantitatif (lingkup,
cakupan, besaran) dari indikator ini.
D.1. INDIKATOR UNGASS 1 & 2: KEPEMIMPINAN – PEMBIAYAAN
PEMERINTAH DAN KEBIJAKAN HIV
D.1.a. Kepemimpinan Pemerintah
Sejak pelaksanaan Strategi Nasional 2007-2010, kepemimpinan baru di KPA telah
mampu memobilisasi sumber daya dari pemangku kepentingan lokal, nasional, dan
internasional – termasuk Global Fund. Kami sangat menghargai komitmen
pemerintah untuk mendukung pencegahan, perawatan, serta pengobatan HIV dan
AIDS. Pendanaan untuk HIV dan AIDS telah meningkat secara signifikan dari tahun
2006 hingga 2010. Bahkan, pendanaan domestik telah melebihi pendanaan asing pada
tahun 2008/9. Dalam sambutannya, Presiden Bambang Yudhoyono menyatakan
bahwa:
“Pemerintah Indonesia juga telah secara signifikan meningkatkan alokasi sumber
daya dalam negeri untuk AIDS. Antara tahun 2006 hingga 2009, anggaran yang
dialokasikan untuk AIDS meningkat 7 kali lipat, dari US$ 11 miliar menjadi US$ 73
miliar. Anggaran provinsi dan daerah juga meningkat sekitar 350%, dari Rp 20
juta menjadi Rp 74 juta.”2
Sebagai tambahan, KPA telah mampu memberikan kesempatan dan kebebasan nyata
bagi perwakilan dari komunitas yang terkena dampak HIV untuk berpartisipasi dalam
perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program terkait
AIDS. Presiden memuji kebijakan inklusi tersebut dan menunjukkan bahwa beliau
akan mempertahankan kepemimpinan dan melanjutkan advokasi konstruksif seperti
yang tersirat di bawah ini:
“… pendekatan yang komprehansif, berbelas kasih dan inklusif.”3
Laporan ini juga menghargai upaya bersama untuk mensinergikan Strategi Nasional
2010-2014 dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2
Diunduh dari: http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2009/08/09/1202.html, 22 Maret 2010.
3
Ibid.
Hal. 6
8. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
2010-2014. Hal ini berarti bahwa strategi nasional diadopsi dan dilaksanakan oleh
seluruh departemen sektoral dan akan dilaksanakan secara sesuai.
Kami juga ingin mencatat bahwa sejak tahun 2005 pemerintah telah meluncurkan
asuransi kesehatan negara bersubsidi (JAMKESMAS) yang dapat diakses oleh
ODHA. Bahkan, Undang-Undang No. 36/2009 tentang kesehatan yang baru
diberlakukan berisikan mandat kepada pemerintah pusat untuk mengalokasikan 5%
dari anggaran nasional dan kepada pemerintah provinsi untuk mengalokasikan 10%
dari anggarannya untuk membiayai pelayanan kesehatan termasuk JAMKESMAS.
Laporan ini juga ingin mengapresiasi peningkatan transparansi dalam penganggaran
pemerintah untuk HIV dan AIDS. Kami mengakui bahwa informasi mengenai
penganggaran dan implementasi program di KPA relatif lebih mudah untuk
didapatkan.
Harus diakui bahwa kepemimpinan di KPA mampu menarik pemangku kepentingan
yang berpengaruh untuk bersama-sama secara sukses mengajukan proposal Global
Fund putaran 8 dan 9. Untuk lima tahun ke depan Global Fund akan memainkan
peran penting dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS.
Laporan ini, bagaimanapun juga, memiliki beberapa catatan antara lain:
1. Sulit untuk mendapatkan informasi mengenai penganggaran dan implementasi
program di kementerian sektoral (departemen). Sedangkan KPA, sebagai
koordinator dan lembaga multi-sektoral, telah berkomitmen pada investasi
program yang minim-biaya, berdampak-besar yang pasti berfokus pada
populasi dengan resiko tinggi, populasi dengan resiko yang tidak lebih tinggi
akan ditangani oleh program-program sektoral. OMS memiliki pengetahuan
yang sangat sedikit mengenai apa yang telah dikembangkan,
diimplementasikan, dan apa dampak program sektoral HIV dan AIDS.
Tampaknya mekanisme koordinasi di KPA belum mampu untuk menegakkan
transparansi pada lembaga sektoral. Salah satu konsekuensi koordinasi longgar
tersebut adalah praktek yang tidak dipantau oleh lembaga buruh migran yang
memberlakukan tes wajib seperti yang tercantum di bawah ini.
2. Berdasarkan NASA (National AIDS Spending Assesment 2008 – Assessment
(Penjajakan) Pengeluaran Nasional untuk AIDS tahun 2008)4 pengeluaran
keseluruhan untuk HIV dan AIDS di tahun 2008 adalah sebesar USD
50.831.105 dimana 60,97% (USD 30.989.683) dibiayai oleh sektor
internasional dan 39,03% (USD 19.841.422) oleh sektor domestik/publik
(pemerintah pusat dan daerah). Hampir separuh dari pengeluaran HIV dan
AIDS digunakan untuk pencegahan (47,5%), sedangkan pengeluaran untuk
pengelolaan program dan pembiayaan sumber daya manusia mencapai 29,06%
dan pengeluaran untuk pengobatan dan perawatan sebesar 14,41% sementara
pengeluaran bagi anak-anak rentan dan anak yatim piatu (OVC) dan
perlindungan sosial masih tetap rendah. Tidak ada data yang cukup untuk
mengetahui besarnya penyerapan oleh pemerintah. Global Fund adalah
sumber pendanaan terbesar dari sektor multilateral di Indonesia semenjak
4
KPA (2008), National AIDS Spending Assesment.
Hal. 7
9. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
tahun 2008 sementara tidak ada data yang cukup untuk menunjukkan peran
sektor swasta nasional.
3. Laporan penganggaran yang tersedia oleh pemerintah daerah tidak
dikumpulkan berdasarkan provinsi dan jumlah kontribusi. Selain itu, penting
untuk mengetahui bagaimana anggaran pemerintah daerah diinvestasikan. Ada
indikasi bahwa rencana strategis HIV dan AIDS di kementerian sektoral tidak
memperoleh cukup dukungan dari pihak berwenang di provinsi/kota atau
kabupaten5. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah,
pihak berwenang di provinsi dan kabupaten dapat menyusun prioritas
pembangunan mereka sendiri. Informasi anggaran gabungan dibutuhkan untuk
advokasi masyarakat di tingkat provinsi/kota/kabupaten.
4. Masalah administratif dan teknis dalam mengakses JAMKESMAS biasanya
menghalangi ODHA untuk memanfaatkan skema ini. Studi lapangan kami
menemukan contoh sebagai berikut:
“… tidak sebanding… Bagaimanapun juga saya harus pergi ke rumah sakit…
Pihak rumah sakit mengatakan tidak ada ruangan kosong. Saya juga harus
membayar dan harus tandatangan di sini, di sana… untuk waria seperti saya
yang ngga punya KTP… sangat sulit… saya mungkin sudah mati kalau saya
harus mengikuti keseluruhan prosedurnya…” (FGD – populasi kunci,
Jakarta)
“… Hanya di rumah sakit ini saya bisa menggunakan JAMKESMAS dan
JAMKESDA… Rumah sakit ini bisa membantu kita mengisi persyaratan
administratif untuk asuransi…” (Exit Interview – klien HIV – Jogja)
“… Jika saya menggunakan asuransi pemerintah, biasanya dokter akan
memberkan kami resep obat yang tidak disokong JAMKESMAS karena obat
yang disokong tidak tersedia… jadi, bagaimanapun juga kami harus tetap
membayar…” (FGD – populasi kunci, Jakarta)
5. Dengan merujuk pada implementasi Global Fund putaran 8, pengamatan
terbatas kami menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di CCM kurang
transparan, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan PR (resipien utama)
dan lembaga pelaksana. Meskipun OMS menjadi wakil dalam CCM pada
tahun 2007-2009, OMS berada di luar konstituensi CCM serta tidak menerima
banyak informasi dan kesempatan untuk memberikan masukan kepada CCM6.
Selain itu, semua informasi terkait CCM tersedia dalam bahasa Inggris.
Meskipun CCM sekarang ini memiliki kesekretariatan, kesekretariatan
tersebut belum mampu menciptakan mekanisme yang menjamin transparansi
dan akuntabilitas kepada publik.
5
UNESCO (2010) assessment (penjajakan) respon sektor pendidikan terhadap HIV dan AIDS
mengungkapkan komitmen yang bervariasi dari otoritas pendidikan di tingkat provinsi/kota.
6
CCM II Advocacy Project Report “Enggaging CS Representative in CCM Global Fund Indonesia”,
(Irwanto et al., 2010).
Hal. 8
10. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
D.1.b. Peran Mitra Pembangunan
Peran mitra pembangunan tidak diragukan lagi sangat penting dalam meningkatkan
respon nasional kita terhadap HIV dan AIDS. Mereka telah berperan dalam
menyediakan bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas, implementasi program,
serta dalam mengembangkan situasi kebijakan yang memungkinkan untuk
dilaksanakannya intervensi yang efektif. Saat ini kita melihat usaha yang lebih
terpadu dari mitra pembangunan untuk menyinkronkan bantuan mereka dengan
strategi nasional. Bahkan, banyak program HIV dan AIDS yang menempel pada
infrastruktur kesehatan pemerintah yang sudah ada. Sejak tahun 2006, seluruh inisiatif
mitra pembangunan telah dikoordinasikan oleh KPA sesuai dengan prinsip Tiga Pilar
(Three-ones) pada kerangka berpikir, koordinasi, serta monitoring dan evaluasi. Pada
tahap awal respon nasional kita terhdap HIV dan AIDS, mitra pembangunan sanggup
membawa wakil-wakil komunitas rentan dan terdampak untuk memiliki posisi
menonjol dalam pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Mengingat
Indonesia sekarang ini dianggap sebagai negara dengan penghasilan menengah,
dukungan internasional dan bilateral bagi negara yang akan diterima negara ini akan
menjadi lebih berkurang.
Oleh karena itu, laporan ini ingin memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Kami mengamati kurangnya negosiasi mendalam dan serius pada strategi exit
antara mitra pembangunan dan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan
respon berbasis komunitas terkait HIV dan AIDS yang didukung oleh mitra
pembangunan. Penghapusan secara bertahap oleh ASA-FHI, sebagai contoh,
telah mengurangi jumlah LSM dari 135 menjadi hanya 25 LSM per Maret
2010 yang sebagian didukung oleh ASA dan mitra pembangunan lainnya7.
Selebihnya harus mencari sumber daya sendiri demi mempertahankan
kegiatan mereka. Melaksanakan pengembangan kapasitas dan layanan kepada
masyarakat selama kurang dari seperempat tahun tidak dapat diterima. Kami
berharap bahwa dalam keadaan seperti ini pemerintah daerah (KPAD) dan
Global Fund secara alami akan mengambil alih. Tetapi hal ini tidak terjadi.
Jika banyak dari mereka akhirnya menutup kegiatan atau layanan mereka, ini
akan menjadi kehilangan yang besar bagi komunitas dan menyia-nyiakan
investasi tahunan.
2. Hasil ini mencerminkan keengganan, ketidaksiapan, atau kurangnya apresiasi
pada inisiatif dalam bentuk apapun di luar infrastruktur pemerintah.
Masyarakat lupa bahwa sebelum pemerintah mulai menyediakan layanan bagi
ODHA dan komunitas, LSM-LSM kecil tersebut sudah ada dan melakukan
penjangkauan, menyediakan informasi, dan menciptakan perbedaan. Banyak
dari mereka tidak dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan mereka, karena
mereka dikondisikan untuk tergantung pada donor.
7
Wawancara dengan perwakilan FHI tertanggal: 15 Desember 2009.
Hal. 9
11. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
D.1.c. Peran OMS dan Kepemimpinan OMS
Komunitas selalu menjadi elemen utama dalam masyarakat kita untuk merespon
tantangan atau masalah yang melanda atau mempengaruhi kesejahteraan anggotanya.
Semenjak pengakuan resmi bahwa Indonesia telah dipengaruhi HIV, sejumlah orang
di Bali, Surabaya, dan Jakarta mengambil inisiatif untuk memobilisasi sumber daya
untuk menghadapi tantangan tersebut. Sejumlah LSM berdiri dan ketika Indonesia
menerima bantuan internasional untuk mengatasi masalah ini, LSM mulai
bermunculan secara signifikan untuk mengambil peluang yang ditawarkan.
Mengingat HIV dan AIDS merupakan epidemi yang penuh dengan stigma dan
diskriminasi, infrastruktur pemerintah – termasuk rumah sakit – cukup tahan untuk
menerima atau memulai program yang berkaitan dengan HIV.
Oleh karena itu, adalah wajar jika masyarakat sipil mengambil kepemimpinan perang
melawan epidemi bersama dengan stigma dan diskriminasi. Oleh karena itu, adalah
wajar juga bahwa ketika mitra pembangunan mencari kemitraan, mereka menemukan
sebagian besar LSM yang menyambut peluang tersebut. Hanya setelah reformasi
politik dan pergerakan yang kuat berbasis hak-hak dasar di tahun 1998 dan
setelahnya, infrastruktur pemerintah lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat
sipil. KPA didirikan pada tahun 1994 melalui Keputusan Presiden No. 36 sebagai
badan multisektoral yang bertugas untuk mengkoordinasikan respon nasional
terhadap HIV dan AIDS. Badan ini tetap murni sebagai institusi negara sampai
Strategi Nasional kedua tahun 2003-2007 diluncurkan ketika prinsip GIPA diadopsi.
Kemitraan yang lebih dinamis antara instansi pemerintah, mitra pembangunan, dan
masyarakat sipil muncul belakangan ini ketika KPA menerima mandat baru di tahun
2006.
Selain dari LSM nasional yang sudah lama berdiri seperti PKBI, Spiritia dan YPI, saat
ini kami memiliki enam (6) jaringan komunitas yang terdampak HIV: Jangkar, IPPI,
GWL-Ina, PKNI, JOTHI dan OPSI. Jaringan-jaringan ini mewakili ratusan aktivitas
berbasis masyarakat di seluruh bangsa. Meskipun kami menyaksikan banyak
kemajuan dalam gerakan OMS, laporan ini ingin menekankan pada beberapa hal di
bawah ini:
1. Sebagain besar LSM tergantung pada donor atau proyek. Mereka kekurangan
masukan dari pemerintah dan komunitas. Situasi ini menempatkan mereka
pada posisi yang rentan, khususnya ketika sumber utama mereka berhenti atau
ditarik keluar.
2. Sebagain besar LSM ini melakukan kegiatan khusus yang berkaitan dengan
HIV dan AIDS. Hanya sedikit dari mereka yang menangani masalah lebih luas
seperti jender, kemiskinan, akses terhadap keadilan dan hak asasi manusia.
Dengan demikian, mereka terisolasi dari gerakan pembanguan dengan
pengarusutamaan sosial, budaya, dan politik.
3. Studi lapangan kami juga menunjukkan bahwa sebagian besar laporan yang
dibuat oleh LSM ditujukan pada penyedia dana (donor) mereka. Mereka
kekurangan transparansi, dan oleh karena itu, akuntabilitas, kepada konstituen
komunitas mereka sendiri.
Hal. 10
12. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
4. Kurangnya transparansi ini mempersulit setiap upaya bersama untuk
menyelaraskan atau mensinergikan kegiatan mereka dari dampak yang
optimal dan mengurangi tumpang tindih atau pengulangan yang tidak perlu.
REKOMENDASI:
1. KPA sebagai lembaga multi-sektoral harus memperkuat peran untuk
mengkoordinasikan kebijakan, program, dan kegiatan terkait HIV di tingkat
kementrerian sektoral. Setidaknya di KPA tersedia data mengenai kegiatan
sektoral dan praktek terbaik yang dilaporkan.
2. Pemerintah harus memberikan contoh transparansi, akuntabilitas, dan
keberlanjutan dalam respon nasional terhadap HIV dan AIDS. Mereka harus
dapat mempromosikan prinsip good governance (tata kelola yang baik) tidak
hanya untuk kebijakan kelembagaan dan program mereka sendiri tetapi juga
untuk CCM sebagai mekanisme implementasi Global Fund.
3. KPA, lembaga pemerintah lainnya (khususnya Depkes), dan mitra
pembangunan, harus mampu memformulasikan strategi keluar yang dapat
dikerjakan yang dapat menjamin keberlanjutan program dan kegiatan OMS.
KPAP (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi) dan sumber daya lainnya
harus dimobilisasi untuk mengadopsi program dan kegiatan ini ketika donor
utama mereka berhenti memberikan bantuan.
4. OMS harus lebih waspada dalam mengantisipasi akhir proyek yang
didanai. Mereka harus membiasakan diri mereka untuk mengembangkan
kemitraan dengan pemangku kepentingan lain, khususnya dengan konstituen
mereka sendiri, sektor swasta atau dengan koalisi internasional OMS. Mereka
harus mencari dan belajar dari praktek terbaik dari LSM yang lebih lama
seperti Spiritia, YPI, dan PKBI.
5. Mitra pembangunan harus mencakupkan bantuan teknis dalam hal
keterampilan manajemen bagi LSM yang akan dapat membantu
mempertahankan program dan kegiatan mereka.
D.2. INDIKATOR UNGASS 4: PERAWATAN HIV (TERAPI
ANTIRETROVIRAL)
Penyediaan ARV telah menjadi salah satu intervensi yang paling penting dalam
strategi nasional untuk mencegah kematian dan penyebaran infeksi HIV lebih
lanjut. Data yang tersedia menunjukkan bahwa saat ini (Depkes, Desember 2009)
terdapat 15.422 ODHA yang menerima dan mengkonsumsi ARV diantara 50.510
klien dengan HIV yang saat ini menjalani pengobatan (Lihat Tabel 4).
Data juga menunjukkan bahwa Indonesia semakin baik dalam menjalankan kebijakan
ini. Kematian akibat infeksi oportunistik yang mencapai 46% pada tahun 2006, pada
tahun 2008 bisa ditekan hanya menjadi 17%. Kematian setelah mengkonsumsi ARV
pada tahun 2008 adalah 11,2% dan pada tahun 2009 menjadi 10,8%. Kehilangan
Hal. 11
13. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
kontak juga semakin membaik, dari 5,6% di tahun 2008 menjadi 5% pada tahun
2009. Dibalik peningkatan secara kuantitatif, kita masih perlu memperhatikan hal-hal
berikut ini:
1. Tidak jelas dari data yang tersedia bagaimana ODHA di Papua – dimana epidemi
ini sudah bersifat umum – dapat mengakses ARV secara
berkelanjutan. Barraclaugh, et al., 2008 memperkirakan bahwa terdapat sekitar
2.600 ODHA yang membutuhkan terapi ARV pada tahun 2009-2010 dan saat ini
hanya sekitar 400 sampai 500 orang (20%) yang menerimanya. Serapan yang
rendah ini menunjukkan beberapa masalah dalam sistem kesehatan yang
menyediakan terapi ARV.
2. Kami tidak memiliki layanan untuk mendeteksi resistensi terhadap
ARV. Beberapa ODHA telah mengkonsumsi ARV untuk beberapa waktu dan
menemukan bahwa jumlah viral load tidak berkurang dan menjadi sakit.
3. Meskipun diakui bahwa penyediaan ARV semakin membaik, kita masih
menghadapi masalah dalam hal pengaturan rantai pasokan, terutama di kota satelit
atau kota-kota kecil. Masalah ini juga menyebabkan beberapa klien pada akhirnya
mengakses ARV yang dijual secara komersial.
4. Ketidaktersediaan ARV pediatrik, terutama dalam bentuk sirup dalam hampir
setiap layanan yang tersedia. Beberapa anak yang membutuhkan ARV diberikan
resep dengan dosis obat yang tidak pasti, dihitung dari dosis orang
dewasa. Karena kegiatan ini sebagian didukung oleh Global Fund, kami harus
mencatat bahwa saat ini kami tidak memiliki akses pada laporan implementasi
Global Fund terkait dengan masalah ini.
5. Studi UIC-ARC (2010) menunjukkan bahwa banyak penasun yang mengakses
ARV menemui banyak masalah kesehatan mental, termasuk kelelahan, yang
mempengaruhi kepatuhan mereka dan dapat mengakibatkan resistensi.
Studi lapangan kami menemukan hal-hal berikut:
“… Kami merasakan ketika pasokan ARV dihentikan selama dua minggu – dalam kasus ini
akhirnya kami meminjam dari teman…” (FGD – populasi kunci, Jogja)
“… Saya tinggal di Klaten, saya harus mengakses layanan di RS Sardjito di Jogja..” (Exit
interview, Jogja)
“… Saya memiliki pengalaman ketika pasokan ARV saya tidak tersedia selama dua minggu.
Dokter memberikan saya resep dimana beliau mengatakan untuk membeli substitusi ARV di
apotek… Saya tidak tahu obat apa itu…” (FGD – populasi kunci, Manado)
“… anak saya berusia tahun dan membutuhkan ARV. Dokter memberikan dia Neviral &
Duviral karena Zidofudin habis pasokannya…” (DKT Perempuan, Jakarta)
Hal. 12
14. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
Tabel 4: Situasi perawatan ARV di Indonesia (2008 dan 2009)
Tanggal November 2009 Desember 2008
Jumlah % Jumlah %
pasien pasien
Menjalani perawatan HIV 50510 36628
Tidak layak 17335 34.3 13268 36.2
Layak 33175 65.7 23360 63.8
Tidak pernah menjalani terapi ARV 7791 23.5 5480 23.5
Pernah menjalani terapi ARV 25384 76.5 17880 76.5
Meninggal dunia 2729 10.8 2005 11.2
Hilang kontak 1272 5 998 5.6
Ditransfer 932 3.7 649 3.6
Berhenti 15442 60.8 10616 59.4
Masih menjalani terapi ARV 5009 19.7 3612 20.2
Orisinil lini 1 12358 246.7 8444 233.8
Substitusi lini 1 2734 54.6 1994 55.2
Pindah ke lini 2 30 0.6 178 4.9
Jumlah rumah sakit 163 150
IV Laporan triwulan DepKes, Des 2009.
REKOMENDASI
1. Kami membutuhkan informasi lebih lanjut tentang situasi di Papua. Jarak
geografis, budaya dan faktor-faktor politik telah memberi kontribusi pada
kerentanan Tanah Papua atas ketelantaran yang dilakukan oleh pemerintah
pusat. Sangat penting bahwa semua laporan nasional harus secara eksplisit
mencakupkan situasi di daerah ini.
2. Kami akan mendukung upaya bersama pemerintah untuk meminimalkan
insiden habisnya pasokan ARV, terutama di kota-kota kecil dan
kabupaten. Mekanisme laporan dapat diciptakan yang memungkinkan klien
ARV dari tingkat kabupaten dapat melaporkan keluhan mereka.
3. Kami mendesak pemerintah untuk memberlakukan ketersediaan ARV
pediatrik sebagai hal yang mendesak.
4. Layanan terapi ARV harus dihubungkan dengan layanan kesehatan mental
lainnya untuk menangani masalah komplikasi emosional, termasuk kelelahan,
dan memastikan kepatuhan.
Hal. 13
15. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
D.3. INDIKATOR UNGASS 5: PMTCT
Indonesia mulai melihat dampak tak terelakkan dari HIV bagi anak-anak dan
pemuda. Menurut laporan tahunan Depkes (2009), selama lima tahun terakhir kita
telah menyaksikan peningkatan pesat infeksi HIV pada anak-anak dan pemuda (lihat
Gambar 2). Meskipun rendahnya cakupan PMTCT di Indonesia pada tahun 2008
(kurang dari 10%) kami ingin memberikan catatan pada beberapa hal berikut:
1. Sebagian besar layanan PMTCT di klinik antenatal di kota-kota besar di pulau
Jawa disokong oleh LSM (Gustav, 2008). Kita membutuhkan lebih banyak
investasi pada struktur kesehatan pemerintah di provinsi-provinsi, terutama di
Papua dan daerah lain dengan prevalensi tinggi HIV di antara para
perempuan. Menimbang bahwa hanya 31% penduduk di Tanah Papua, sebagai
contoh, yang mengetahui ketersediaan tempat tes dan hanya 20% dari ODHA
yang membutuhkan terapi ARV yang menerima layanan tersebut, menyediakan
layanan PMTCT di daerah tersebut tampaknya tetap menjadi tantangan besar.
2. Penjajakan lapangan kami juga menunjukkan bahwa informasi yang
menghubungkan VCT, PMTCT, dan pencegahan HIV/AIDS sering tidak begitu
jelas.
3. Kebanyakan layanan PMTCT tersedia di kota-kota besar dan di
Jawa. Peningkatan layanan di kota-kota kecil dan wilayah lain secara serius
diperlukan.
4. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk isu-isu kekerasan seksual (domestik),
trafficking, dan segala macam eksploitasi seksual lainnya terhadap perempuan dan
anak-anak saling berhubungan erat dengan kerentanan perempuan dan anak-anak
untuk terinfeksi HIV. Isu-isu ini harus diintegrasikan dalam strategi AIDS
nasional (lihat juga Indonesia Country Progress Report on Sex Trafficking of
Children and Young Person, 2009).
5. Menurut laporan UNAIDS mengenai penularan HIV dalam hubungan intim
pasangan (2009) adalah penting untuk memasukkan dan mengintegrasikan
pelayanan tentang seksualitas laki-laki dalam semua layanan kesehatan seksual
dan reproduksi yang dikhususkan bagi perempuan. Dalam hal ini, kami melihat
kebutuhan dan kurangnya ketentuan dan integrasi.
6. Ketakutan akan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, yang dapat ditemukan
dalam institusi pelayanan dan perawatan, tetap merupakan hambatan penting
dalam pemanfaatan layanan PMTCT oleh ibu atau wanita hamil (lihat UNAIDS
Intimate Partner Report, 2009).
Penjajakan lapangan kami menemukan hal-hal berikut ini:
“… tidak semua ODHA paham tentang PMTCT. Saya mempunyai teman yang HIV
positif yang terkejut dan sedih ketika dia tahu bahwa dia hamil. Dia tidak mau hamil.
Ketika dia diberitahu bahwa ada layanan PMTCT di rumah sakit lokal yang bisa
mengurangi kemungkinan bayinya terinfeksi HIV, dia merasa lega…” (FGD –
populasi kunci, Jogja)
Hal. 14
16. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
“… Di sini (di Manado) informasi mengenai PMTCT tidak cukup. Tentang apa itu…,
Saya tidak tahu…” (FGD – wanita, Manado)
“Di sini, dokter selalu menyarankan klien ODHA untuk jangan hamil… jadi, layanan
PMTCT tidak tersedia secara umum…” (FGD - wanita, Manado)
“Banyak wanita positif yang hamil merasa khawatir bahwa mereka mungkin tidak
bisa memperoleh layanan yang berkualitas dan aman karena stigma akan statusnya
sebagai ODHA… oleh karena itu, banyak dari mereka tidak terbuka mengenai
serostatus mereka… karena ketika pekerja kesehatan mengetahui bahwa klien mereka
HIV positif, banyak dari mereka ketakutan…” (FGD - wanita, Manado)
Gambar 2: Kasus kumulatif HIV dan AIDS pada usia 0-19 tahun (1995-2009)
Sumber: Depkes, 2009 (dilaporkan pada bulan Juni dan dimutakhirkan pada 7 Agustus 2009)
REKOMENDASI
1. Lebih banyak informasi dibutuhkan harus disediakan di layanan terkait HIV
yang menghubungkan VCT, PMTCT, dan ARV.
2. Penyedia layanan harus bekerja sangat keras untuk memastikan bahwa
layanan mereka bebas dari stigma dan diskriminasi. Sebagai tambahan,
layanan yang didirikan di daerah berisiko tinggi harus dapat menjangkau klien
daripada hanya menunggu klien datang untuk mengakses layanan. Lebih
penting lagi, seksualitas dan kesehatan reproduksi laki-laki juga harus menjadi
bagian dari layanan yang ada untuk membantu klien laki-laki untuk
memahami resiko dan bisa melindungi pasangannya.
Hal. 15
17. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
3. Pelayanan kesehatan mental, terutama konseling individu dan keluarga harus
tersedia di semua layanan PMTCT.
4. Sangat mendesak untuk memasukkan isu-isu kekerasan terhadap perempuan
dan isu-isu terkait lainnya dalam Rencana Strategi Nasional.
D.4. INDIKATOR UNGASS 7 & 8: TES HIV (UMUM DAN POPULASI
DENGAN RESIKO TINGGI)
Diakui bahwa VCT adalah kunci untuk intervensi dini dan pengobatan. Kami juga
menghargai upaya bersama untuk meningkatkan ketersediaan VCT melalui LSM,
klinik, dan puskesmas. Laporan ini ingin memberikan beberapa catatan sebagai
berikut:
1. Tidak ada tinjauan ataupun evaluasi terhadap kualitas standar layanan
VCT. Dikarenakan banyaknya pelatihan dan ratusan layanan VCT yang
berdiri, kualitas layanan harus dipastikan. Studi lapangan kami dan laporan
oleh Solidaritas Perempuan menunjukkan adanya praktek VCT yang tidak
tepat.
2. Ada banyak insiden tes non-sukarela yang tidak tercatat. Solidaritas
Perempuan melaporkan bahwa sebagian besar pekerja migran telah dites tanpa
konseling sebelum keberangkatan mereka sebagai bagian dari pemeriksaan
kesehatan wajib. Selama pemeriksaan kesehatan, mereka tidak diberitahu
pemeriksaan kesehatan macam apa yang akan mereka jalani. Informed consent
(surat pernyataan kesediaan) tidak diberikan. Ketika tes menunjukkan hasil
yang reaktif, pekerja migran diberitahu bahwa dia tidak layak dan karenanya
tidak dapat diberangkatkan. Untuk penjelasan lebih lanjut mereka akan dirujuk
ke LSM atau rumah sakit yang menyediakan layanan terkait HIV (Solidaritas
Perempuan, 2009).
3. Banyak klien yang pergi untuk melakukan VCT tidak mengambil hasil
tes. Mungkin ada beberapa alasan untuk ini tindakan ini. Pertama, klien begitu
takut akan hasil dan tidak yakin akan manfaat dari tes yang dilakukan. Kedua,
klien merasa bahwa mereka tidak mungkin mampu mengatasi hal yang akan
terjadi setelah mereka mengetahui hasil tes (reaktif) dan, oleh karena itu,
memilih untuk tidak tahu. Banyak klien VCT yang mungkin telah
menyaksikan teman-teman sebaya mereka yang menjadi depresi setelah
mengetahui hasil tes yang positif. Wawancara dengan penasun yang menerima
kabar buruk setelah melakukan VCT menunjukkan bahwa banyak dari mereka
yang terpuruk emosi dan jiwanya, tidak bisa berpikir jernih, dan bahkan ada
beberapa yang bunuh diri (ARC-UIC, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatkan pelayanan VCT tanpa menyediakan dukungan kesehatan mental
lanjutan dapat menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Ketiga,
banyak orang mungkin sudah pernah mendengar cerita tentang diskriminasi
terhadap ODHA. Cerita seperti itu membuat mereka percaya bahwa tidak ada
keuntungan apapun ketika seseorang didiagnosis menderita HIV.
Hal. 16
18. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
Studi lapangan kami menemukan hal-hal berikut ini:
1. Kesulitan dalam mengakses layanan VCT
“… untuk layanan terkait HIV, seharusnya disediakan di tempat-tempat yang mudah
untuk diakses. Jadi, ketika kami harus mengakses layanan, kami tidak harus pergi ke
rumah sakit… karena hal itu sulit…” (FGD – populasi kunci, Manado)
“… ya, tanpa mengatakan apapun dia mengambil darah saya… ketika saya tanya…
dia jawab… ‘Kamu tahu itu untuk apa’…” (FGD - wanita, Papua)
“… kami sering ditanya mengapa kami suka pergi keluar malam-malam… kami
diminta untuk merubah kebiasaan kami… kami melakukan itu karena itu adalah
pekerjaan kami… setelah itu kami lebih suka pergi ke VCT keliling yang disediakan
oleh LSM…” (FGD – populasi kunci, Jogja)
2. Layanan HIV dan AIDS menyediakan contoh buruk dan membantu
mempromosikan stigma negatif dan diskriminasi pada ODHA.
“… Saya sedang hamil ketika itu tetapi saya tidak terinfeksi HIV. Suami saya adalah
orang yang terinfeksi HIV. Ketika dokter memeriksa saya, secara tiba-tiba dia
langsung memasangkan masker, menggunakan sarung tangan, sesuatu yang tidak dia
lakukan ketika kehamilan saya masih berada di trimester pertama. Dia memutuskan
bahwa saya tidak bisa melahirkan anak saya di rumah sakit tersebut karena
peralatan yang tidak lengkap. Saya bilang berulang kali kalau saya sudah dites
sebanyak tiga kali dan saya dan bayi sehat. Tetapi dia tetap bersikeras kalau saya
tidak bisa melahirkan bayi saya di sana…” (FGD - wanita, Jakarta)
“… mereka tahu kalau saya HIV positif sehingga mereka membuat saya menunggu
dari pagi hingga sore (di ruang tunggu dokter). Ketika saya tanya ‘Kenapa?’…,
suster menjawab ‘Kamu HIV positif’…, saya malu di depan pasien lainnya” (FGD -
wanita, Jakarta)
“… ketika saya pergi ke dokter gigi di puskesmas, saya diminta untuk menunggu
hingga pasien habis… suster menjelaskan ke saya itu karena saya HIV positif. Dia
juga bilang kalau dia bersikap baik dengan meminta saya menunggu daripada
menolak saya…” (FGD - wanita, Jakarta)
“… di tengah-tengah wawancara pekerjaan, pihak manajemen menghentikan
wawancara ketika mereka tahu bahwa saya adalah mantan pecandu…” (FGD –
populasi kunci, Samarinda)
“… Pacar saya tidak sadar ketika dia dibawa ke rumah sakit. Darahnya dites dan
positif. Saya ikutan tidak sadar. Tetangga saya diberitahu tentang hal itu. Kami diusir
jam 1 pagi. Mereka bilang bahwa kami membawa penyakit ganas dan bisa
menginfeksi orang lain di lingkungan…” (FGD – wanita, Samarinda)
Hal. 17
19. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
REKOMENDASI
1. Lebih banyak informasi mengenai manfaat VCT bagi orang yang terlibat atau
berhubungan dengan orang yang terlibat dalam perilaku berisiko harus
tersedia di semua program dan kegiatan terkait HIV.
2. VCT harus dihubungkan langsung dengan layanan lain, khususnya dengan
konseling pasangan, konseling trauma atau kecanduan, perawatan kesehatan
dasar, IMS, LJSS, dan layanan terapi substitusi. Bila memungkinkan,
dianjurkan bahwa layanan tersebut disediakan secara terpadu.
D.5. INDIKATOR UNGASS 9: PROGRAM PENCEGAHAN PADA POPULASI
DENGAN RESIKO TINGGI
Kelompok-kelompok masyarakat yang termasuk dalam populasi dengan resiko tinggi:
a. IBBS-MARP 2007/2008 (MOH, 2008)8: Pekerja seks komersial (PSK-pria
dan wanita; langsung dan tidak langsung), pengguna narkoba suntik
(penasun), homoseksual, waria, LSL, pelanggan PSK, pria yang terlibat dalam
pekerjaan berisiko, nelayan, pengemudi truk dan ojek), dan remaja.
b. Strategi Nasional 2010-2014: Pekerja seks komersial (laki-laki/perempuan),
pelanggan PSK, pasangan seksual pelanggan PSK, LSL, dan penasun.
c. Tim estimasi tahun 2009: semua yang disebut di atas (b), narapidana9
Berdasarkan inklusi di atas, kita dapat mencatat bahwa buruh migran, pasangan
seksual penasun, petugas dan personel militer, dan mungkin kelompok masyarakat
lain yang mungkin berisiko karena pekerjaan mereka, orientasi seksual, atau
kontak/hubungan dengan individu beresiko tinggi tidak termasuk dalam penjajakan
dan strategi pencegahan/intervensi apapun.
Berikut ini adalah sejumlah tantangan dengan intervensi yang ada saat ini:
1. Data: Menurut tim estimasi 2009 (KPA, 2010) tidak semua kelompok
masyarakat bisa diperkirakan berdasarkan data yang ada, baik tingkat nasional
maupun tingkat provinsi/kota/kabupaten. Bahkan, banyak dari kelompok
masyarakat ini (PSK langsung, LSL, pelanggan dari PSK, laki-laki yang
terlibat dalam pekerjaan beresiko) memiliki data yang sangat sedikit.
2. Investasi: Karena sumber daya dan prioritas yang terbatas – tidak semua
kelompok masyarakat yang terdaftar di IBBS-MARP menerima investasi yang
seimbang untuk pencegahan. PSK, penasun, dan LSL telah diperlakukan
sebagai kelompok sasaran utama untuk pencegahan. Narapidana sudah mulai
mendapatkan perhatian. Pelanggan dari PSK dan pasangan seksual mereka,
dan semua kelompok masyarakat lainnya yang tercantum di atas (termasuk
8
Depkes (2008). Surveilans terpadu Biologik dan Perilaku 2007/2008.
9
Tim Estimasi 2009, Estimasi populasi rawan tertular HIV dan ODHA 2009. Disajikan di Jakarta, 8
Februari 2010.
Hal. 18
20. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
remaja) yang saat ini tidak dianggap sebagai kelompok sasaran prioritas.
3. Kelompok sasaran sekunder dan tersier: Strategi pencegahan yang ada saat ini
perlu mendefinisikan dan mengidentifikasi kelompok sasaran sekunder dan
tersier untuk pencegahan secara lebih serius. Pelanggan PSK dan pasangan
seks penasun harus dipertimbangkan secara serius sebagai kelompok sasaran
sekunder dan pasangan seksual pelanggan PSK sebagai kelompok sasaran
tersier untuk KIE dan program pencegahan lainnya.
4. Melampaui populasi dengan resiko tinggi: Meskipun dipahami dan penting
untuk mendefinisikan populasi dengan resiko tinggi dalam Strategi Nasional,
jelas sekali bahwa strategi ini mungkin berbahaya bagi keseluruhan strategi
pencegahan HIV jika kita mengabaikan populasi lain yang kurang berisiko
tetapi memiliki kaitan yang erat. Sudah dipahami bahwa sebagian besar
anggota populasi kunci juga terlibat dalam hubungan seksual dengan pasangan
tetap (perempuan) yang beresiko tidak sadar akan terinfeksi HIV (UNAIDS,
2009; FHI-ARC, 2010). Di sisi lain, kelompok lain yang saat ini tidak
dianggap sebagai populasi berisiko tinggi sebenarnya merupakan kelompok
yang sangat berisiko, terutama pemuda yang berhenti sekolah, mereka yang
bekerja di lingkungan dengan resiko tinggi, dll. Oleh karena itu, sangat
penting untuk menggabungkan pendekatan populasi resiko spesifik dan
sektoral. KPAN harus bertahan pada populasi dengan resiko tinggi tetapi
mendelegasikan tanggung jawab kepada lembaga-lembaga sektoral dan
membantu dalam memperkuat respon mereka. Kami percaya bahwa
mekanisme seperti ini tidak ada di KPA.
Sebagai contoh:
a. Kemenhankam: rekrutan dan personel militer
b. Kemendiknas: siswa sekolah dan keluarga mereka
c. Kemensos: PSK langsung dan tidak langsung, pelanggan dari PSK,
LSL yang tinggal di jalan, remaja yang berhenti sekolah
d. Depkes dan BKKBN: populasi umum, anak-anak usia sekolah, anak-
anak yang berhenti sekolah
e. Kemenakertrans: tempat kerja, buruh migran dan keluarga mereka
f. Kemenkum dan HAM: narapidana dan keluarga mereka
Sebagaimana yang diindikasikan sebelumnya, meskipun mekanismenya sudah
tersedia, KPA harus mendukung pelaporan dan pendistribusian sehingga
masyarakat mengetahui prestasi dan tantangan mereka.
5. Prinsip GIPA: Semenjak diadopsi oleh Paris AIDS Summit pada tahun 1994,
kami telah berusaha untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip
tersebut. Hambatan teknis, budaya, dan hukum telah menurunkan partisipasi
populasi terdampak HIV secara signifikan dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan di tingkat lokal dan nasional. KPA telah bekerja
sangat keras untuk mengembangkan lingkungan kerja yang inklusif yang
harus dihargai dan dipelihara.
Pencapaian dalam menerima Global Fund ronde 8 dan 9 merupakan bukti
nyata dari kerja keras KPA untuk melibatkan para pemangku kepentingan
penting dalam proses penulisan proposal. Kami perlu mengingatkan bahwa,
Hal. 19
21. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
bagaimanapun juga, pengamatan kami terhadap pelaksanaan program Global
Fund masih dirasa kurang dalam hal transparansi dan kolaborasi yang
konstruktif serta partisipasi organisasi masyarakat yang terdampak HIV.
Laporan ini ingin menyatakan keprihatinannya karena bahkan di antara OMS
yang mewakili masyarakat yang terdampak HIV di CCM, tidak ada cukup
penjangkauan yang melampaui batas-batas kelompok tertentu. Dengan kata
lain, anggota terpilih yang mewakili orang-orang yang positif atau jaringan
atau organisasi spesifik lainnya, misalnya, hanya akan bertanggung jawab
kepada konstituen langsung mereka sementara banyak ODHA yang mungkin
tidak termasuk dalam jaringan mereka. Dalam situasi dimana sumber daya
untuk pencegahan masih sangat terbatas, terutama pemerintah dan pendanaan
asing, kita harus bisa memberdayakan masyarakat untuk bertanggung jawab
dan membantu diri mereka sendiri dengan menggunakan sumber daya sendiri
yang tersedia.
6. Terdapat hambatan yang signifikan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip GIPA
di Indonesia selama ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif
terhadap populasi dengan resiko tinggi. Wawancara kami dengan anggota
Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa
terdapat 19 peraturan setingkat provinsi, 134 peraturan setingkat kota, dan 1
peraturan daerah yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengkriminalisasi atau
mendiskriminasi kelompok-kelompok orang tertentu berdasarkan pekerjaan
dan orientasi seksual mereka (KOMNAS Perempuan, 2010). KPA sebagai
lembaga negara multi-sektoral harus menyatakan kebijakan inklusif kepada
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri.
Penjajakan lapangan menemukan hal-hal berikut ini:
1. Ada banyak bahan KIE yang didistribusikan di masyarakat. Berbeda-beda dari
segi format dan isi. Sebagian besar materi ini didistribusikan ke
target/kelompok sasaran yang sangat terbatas, terutama yang dianggap
sebagai penerima program tertentu oleh LSM atau lembaga layanan tertentu.
2. Di Papua, kebanyakan materi KIE tidak dianggap sebagai instrumen yang
efektif untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai HIV dan
AIDS dan bagaimana menghindari infeksi tersebut. Banyak materi KIE
dirancang untuk menyentuh sub-populasi yang bisa membaca, sedangkan
banyak populasi yang terdampak HIV merupakan kelompok dengan tingkat
pendidikan yang sangat rendah atau tidak berpendidikan sama sekali.
“… ada banyak brosur tentang HIV dan AIDS tetapi didistribusikan oleh
LSM untuk orang-orang tertentu, populasi umum tidak diberitahu…” (FGD
– wanita, Jayapura)
“… kebanyakan orang dewasa dan orang tua di Papua tidak pernah sekolah
– mereka tidak tahu bagaimana caranya membaca brosur-brosur tersebut…”
(FGD – wanita, Jayapura)
Hal. 20
22. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
3. Kelompok target juga mendambakan partisipasi aktif sehingga mereka bisa
membantu membuat materi KIE cocok untuk kelompok masyarakat tertentu
dan berurusan dengan masalah tertentu spesifik yang dihadapi kelompok
tersebut.
“Mengapa tidak membuat materi KIE sesuai dengan tahapan – dari informasi
dasar hingga lanjutan? Dalam kasus ini, kami masyarakat biasa bisa
memahaminya…” (FGD – PSK, Jakarta)
“… ide yang bagus untuk melibatkan pekerja seks di Kelurahan sehingga
anggota PKK bisa paham bahaya dan posisi kami sebagai pekerja seks…”
(FGD – PSK, Jakarta)
4. Informasi mengenai HIV dan AIDS dan mengenai kesehatan seksual dan
reproduksi bagi remaja dan pemuda harus ditulis dan disampaikan melalui
media yang mengerti pemuda, seperti majalah remaja, radio, dan TV. Banyak
dana telah dihabiskan untuk mengembangkan media yang tidak efektif.
“… untuk radio… informasi mengenai HIV dan AIDS harus disusun dalam
pesan yang lebih sederhana dan mudah dipahami…” (FGD – populasi
kunci, Jakarta)
“… ada banyak uang yang dihabiskan untuk mencetak selebaran – kenapa
tidak menginvestasikan semuanya ke rumah produksi – biarkan mereka
menangani masalah dengan lebih professional yang sesuai dengan kelompok
target sehingga informasi menjadi lebih menarik. … Saya juga menyadari
partisipasi rendah dari anggota komunitas yang terdampak…” (FGD –
populasi kunci, Jakarta).
REKOMENDASI
1. Walaupun upaya terkonsentrasi untuk mengekang epidemi di populasi dengan
resiko tinggi sangat penting, tetapi selalu ada kemungkinan infeksi merebak ke
populasi umum. Perhatian lebih untuk remaja, orang yang terlibat dalam
pekerjaan yang dapat mengakibatkan perilaku berisiko, pasangan dari penasun
dan pelanggan PSK, dan narapidana harus didukung dan harus memiliki
strategi spesifik. KPA, kementerian sektoral, dan OMS harus membahas
strategi sesegera mungkin.
2. ODHA dari populasi kunci harus secara aktif terlibat untuk melindungi
pasangan seksual mereka, terutama istri-istri mereka.
3. KPA harus tegas ketika berhadapan dengan kebijakan inklusif kementerian
sektoral. Hal ini telah didukung sendiri oleh Presiden ketika ICAAP IX di
Bali.
4. Materi KIE untuk kelompok sasaran sekunder dan tersier harus disesuaikan
dengan karakteristik kelompok sasaran.
D.6. INDIKATOR UNGASS 10: DUKUNGAN BAGI ANAK YANG
Hal. 21
23. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
TERDAMPAK OLEH HIV DAN AIDS
Menurut data Depkes terakhir (Desember 2009), terdapat 1.280 anak-anak usia 0-18
tahun yang hidup dengan AIDS. Mengingat perkiraan jumlah ODHA (296.000),
mungkin ada lebih dari 500.000 orang yang terdampak HIV dan AIDS. Sudah jelas,
oleh karenanya, bahwa kita mungkin berhadapan dengan fenomena puncak gunung
es.
Perhatian kepada anak yang terdampak HIV dan AIDS di Indonesia baru
dimulai. Kementrian Sosial menyediakan paket bantuan bagi anak dengan HIV untuk
membantu mereka mengakses pelayanan kesehatan, membayar biaya yang berkaitan
dengan sekolah, dan menyediakan modal kecil untuk menambah pendapatan
keluarga. Program ini berjalan di 4 propinsi. Sejumlah LSM di Jakarta dan beberapa
kota di Jawa dan Bali telah merawat anak dengan HIV dan mereka yang terkena
dampak epidemi (yatim piatu). Mereka sering menemukan bahwa anak yang
dilahirkan dari orangtua yang terinfeksi HIV ditinggalkan oleh keluarga besar
mereka. Mereka masih kesulitan dalam memperoleh dukungan untuk mengakses tes
HIV, ARV, dan pengobatan untuk infeksi oportunistik. Banyak anak yang tidak
didiagnosis atau dites sebelum mereka sakit parah dan jumlah CD4 mereka sangat
rendah. Ketika sero-status mereka terungkap, mereka harus bersaing untuk
mendapatkan perawatan umum dan layanan pengobatan gratis dengan anak-anak sakit
lainnya. Anak-anak yang menjalani terapi ARV dan mampu bersekolah beresiko
mendapatkan stigma dan diskriminasi. Orang tua biasanya enggan untuk
mengungkapkan situasi dan kondisi anak-anak mereka dikarenakan kurangnya
kepercayaan pada sistem yang berlaku10. Di banyak kasus, biasanya sudah terlambat.
REKOMENDASI:
1. Data anak yang terinfeksi dan terdampak HIV dan AIDS harus ditingkatkan
dan dibuat tersedia bagi masyarakat umum.
2. Anak-anak mungkin menerima dampak negatif HIV karena stigma dan
diskrimasi yang terus bertahan terhadap ODHA. Orangtua dengan HIV tidak
dapat menemukan kehidupan yang layak karena masyarakat tidak memperoleh
informasi yang cukup baik tentang penyakit ini. Pemerintah memiliki banyak
pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memberikan informasi ke publik
dan untuk menghilangkan hambatan sosial dan ekonomi pada ODHA.
.
3. Seharusnya ada kebijakan yang jelas berkaitan dengan akses bagi anak dengan
HIV/AIDS di rumah sakit dan layanan perawatan lainnya sebagai bentuk
tanggung jawab akan respon yang tepat dan cepat dan bukan untuk
menciptakan konflik kepentingan bagi anak-anak lain yang sedang sakit.
4. Kementrian Pendidikan Nasional seharusnya menyusun kebijakan untuk
melindungi anak-anak yang terinfeksi dan terdampak oleh HIV dan AIDS
dalam sistem pendidikan/sekolah. Adalah kewajiban negara untuk melindungi
10
Wawancara dengan 30 orangtua anak yang terinfeksi HIV oleh Lentera Anak Pelangi, Universitas
Atma Jaya, Januari 2010.
Hal. 22
24. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan. Kementrian
maupun KPA tidak bisa menyerahkan masalah serius ini dengan hanya
menerbitkan kebijakan pemerintah di tingkat provinsi/kota/kabupaten. Hal ini
sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hak Asasi
Manusia dan hukum adalah kewenangan pemerintah pusat.
5. Anak-anak yatim piatu dan yang seringkali ditinggalkan oleh keluarga besar
mereka memerlukan bantuan dan pelayanan khusus. LSM harus bisa
mengakses paket bantuan pemerintah yang disediakan bagi anak-anak ini.
6. Intervensi bagi anak-anak ini harus meliputi layanan psikososial dan kesehatan
mental.
D.7. INDIKATOR UNGASS 11: PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
BERBASIS HIV DI SEKOLAH
Kami ingin menekankan bahwa sektor pendidikan di Indonesia, meskipun merupakan
sektor konservatif, telah membuat banyak terobosan maju dalam merespon epidemi
HIV dan AIDS. Manual bagi guru telah tersedia sejak tahun 2000 mengenai
pendidikan kecakapan hidup yang berkaitan dengan kesehatan dan perkembangan
lanjutan (terbaru) telah menyertakan kesehatan seksual dan reproduksi dan
penyalahgunaan narkoba. Isu-isu ini telah dimasukkan dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 sesuai dengan tingkat pendidikan.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 tahun 2008 tentang Pembinaan
Kesiswaan sudah diterbitkan dimana pencegahan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan
Obat adalah kegiatan wajib. Bahkan, sektor ini memiliki “Strategi Pencegahan HIV
melalui pendidikan” sendiri yang dirumuskan pada tahun 2004 dan semenjak tahun
2007 telah tersedia dalam media cetak.
Di Papua, HIV dan AIDS telah masuk dalam sektor pendidikan. Bahkan, banyak
sekolah sudah mampu memberikan pelatihan layanan di tempat bagi para guru
tentang HIV dan AIDS bekerjasama dengan LSM nasional dan internasional
(UNESCO, 2010).
Tantangan berikut ini, bagaimanapun juga, tetap harus serius ditangani:
1. Distribusi buku "Strategi Pencegahan HIV melalui Pendidikan" tidak
mencapai sekolah di tingkat provinsi atau tidak digunakan sebagai acuan
utama.
2. Walaupun topik HIV dan AIDS serta penyalahgunaan narkoba telah
terintegrasi dalam Standar Kompetensi Minimum di SMP dan SMA tahun
2006, sektor pendidikan mengalami kesulitan untuk merespon HIV dan AIDS
secara efektif karena:
a. Tidak semua sekolah memiliki materi yang tepat untuk menangani isu
HIV dan AIDS. Dapat ditemukan bahan berkualitas pada informasi
terkait HIV dan kecakapan hidup, tetapi distribusi materi dibatasi oleh
sumber daya yang tersedia.
Hal. 23
25. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
b. Kebanyakan guru belum pernah dilatih dalam penanggulangan HIV
dan AIDS dan tidak merasa mampu untuk mengajar siswa pada topik
ini.
c. Budaya dan agama menjadi hambatan bagi guru untuk memberikan
informasi mengenai seks, seksualitas, dan kesehatan seksual dan
reproduksi.
d. Prioritas guru adalah mengajar kompetensi inti untuk ujian akhir
nasional, yang mungkin secara substansial tidak berhubungan dengan
HIV dan AIDS.
3. Kami juga menyadari bahwa World Population Fund dan BKKBN telah
menyediakan informasi berbasis internet mengenai kesehatan seksual dan
reproduksi seperti DAKU (Dunia Remajaku Seru) dan CERIA. Program ini
diakses oleh sekolah dan anak-anak yang berhenti sekolah untuk belajar
tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.
penjajakan kami menunjukkan bahwa siswa memerlukan sasaran dan informasi yang
terus terang mengenai isu terkait epidemi HIV dan mereka biasanya mencari
informasi menggunakan media popular dan dunia maya.
Upaya terpadu dibutuhkan untuk mencari dan menggunakan peluang di sektor
pendidikan dalam usaha untuk memberikan informasi dan mendidik siswa tentang
pencegahan HIV. Kegiatan ekstrakurikuler, program kesehatan sekolah, pelatihan
bagi guru mengenai layanan sebelum dan layanan di tempat adalah beberapa peluang
yang telah digunakan untuk membawa isu HIV dan AIDS ke dalam sistem. Mungkin
ada lebih banyak kesempatan di luar kelas dan buku teks sekolah yang masih bisa
dieksplorasi.
REKOMENDASI:
1. Upaya terpadu harus lebih banyak diinvestasikan untuk memberikan informasi
bagi anak-anak yang berada di dalam dan di luar sekolah. Mitra pembangunan
dan KPA serta kemetrian sektoral lainnya harus bekerja sama untuk
memanfaatkan apa yang telah dikembangkan dan diuji oleh sektor pendidikan,
BKKBN, dan Kemensos untuk menjangkau khalayak yang seluas
mungkin. Tantangan yang lebih serius bisa ditemukan di Tanah Papua dimana
budaya, bahasa, tingkat pendidikan, dan wilayah geografis bisa menghambat
kegiatan pencegahan yang efektif. Usaha khusus sangat dibutuhkan di wilayah
ini.
2. Ada banyak LSM atau OMS (termasuk yang berbasis agama) yang mampu
memberikan informasi dan pelatihan yang efektif. KPA (juga Komisi
Penanggulangan AIDS tingkat provinsi/kota/kabupaten) harus menjalin
kemitraan dengan mereka. Hal ini sangat penting karena kebanyakan Komisi
Penanggulangan AIDS tingkat provinsi/kota/kabupaten yang baru dibentuk
belum siap untuk bekerja sendiri untuk menjalankan program yang efektif.
D.8. INDIKATOR UNGASS 12-21: PENGETAHUAN DAN PERILAKU DARI
Hal. 24
26. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
POPULASI DENGAN RESIKO TINGGI
IBBS-MARP 2007/8 dengan jelas mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai
pencegahan HIV di antara kelompok resiko tinggi telah membaik. Lebih dari 69
hingga 89% tahu bahwa penggunaan kondom dan hubungan setia dapat mencegah
infeksi HIV. Namun, 24 hingga 75% dari responden juga mengungkapkan
pemahaman yang salah mengenai bagaimana HIV ditularkan. Pada aspek perilaku,
pengawasan juga menunjukkan bahwa perilaku berbagi jarum suntik di antara
penasun dan keterlibatan dalam seks komersial yang tidak aman masih sering
dilakukan oleh kelompok resiko tinggi. Laporan ini ingin memberikan perhatian ada
beberapa hal di bawah ini:
1. Intervensi perubahan perilaku yang mencakup penyediaan informasi dan
keterampilan yang relevan sangat berguna dan telah membantu kelompok
resiko tinggi untuk mengubah perilaku berisiko mereka.
2. Masalah yang dihadapi, bagaimanapun juga, adalah untuk mempertahankan
atau memelihara perubahan perilaku. Di bawah ini adalah penyebab kegagalan
dalam mempertahankan perubahan perilaku yang konstruktif:
a. Pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan penanganan
pecandu narkoba dan mereka yang "terpaksa" bekerja dalam
lingkungan yang berisiko, seperti pekerja seks. Penjajakan cepat pada
penasun perempuan dan program pengurangan dampak buruk
mengungkapkan insiden pelanggaran hak asasi manusia selama
penangkapan dan penahanan oleh petugas kepolisian (Yayasan Stigma,
2010).
b. Kriminalisasi anggota populasi kunci, terutama kepada anggota
kelompok minoritas seksual, pekerja seks, penasun, dan tahanan –
seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya.
c. Intervensi yang mempromosikan hukuman dan pengucilan sosial
kepada anggota populasi dengan resiko tinggi.
d. Keyakinan dan praktek yang salah mengenai penggunaan kondom
sering kali didukung oleh tokoh masyarakat.
e. Dalam layanan pengurangan dampak buruk (Harm Reduction),
kepemimpinan di pemerintahan, khususnya di Kemenkes, KPA dan
BNN, telah gagal mencapai konsensus mengenai penyediaan jarum
bersih/steril. Program pengurangan dampak buruk yang satu ini masih
menemukan kontroversi dan menciptakan kebingungan di kalangan
pekerja lapangan, staf HR di puskesmas, dan calon klien.
f. Undang-undang mengenai otonomi daerah sering disalahartikan oleh
otoritas legislatif dan eksekutif kabupaten bahwa mereka mungkin
dapat menciptakan instrumen hukum sendiri yang menyimpang dari
hukum nasional. Beberapa Peraturan Daerah yang mengkriminalisasi
minoritas seksual, misalnya, tidak didukung oleh hukum nasional yang
berlaku.
REKOMENDASI:
Hal. 25
27. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
1. Upaya berkelanjutan untuk mengembangkan kebijakan inklusif dengan
menghilangkan atau mengurangi hambatan hukum/kebijakan, sosial-budaya,
dan agama secara serius diperlukan. Hentikan kriminalisasi kepada populasi
kunci berdasarkan mata pencaharian beresiko, penggunaan narkoba, atau
status minoritas seksual mereka. KPA dan OMS harus memberikan informasi
lebih banyak kepada masyarakat untuk menghilangkan bias dan prasangka
terhadap anggota mitra-mitra mereka.
2. Partisipasi yang berarti dan signifikan anggota populasi dengan resiko tinggi
dalam perencanaan, desain, dan implementasi program harus
difasilitasi. Koordinasi dan kerjasama dengan dan antara kelompok yang
beragam ini harus ditingkatkan.
3. Intervensi psiko-sosial dan pelayanan kesehatan mental harus ditambahkan
dalam intervensi yang ada saat ini untuk mengatasi pengalaman traumatis
yang berhubungan dengan kecanduan dan diskriminasi jangka panjang,
pengungkapan serostatus, hubungan dengan orang dekat dan mencari
pemecahan berkaitan dengan keyakinan yang salah tentang diri dan situasi
mereka.
Hal. 26
28. Forum UNGASS-AIDS Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Barraclaugh,A., Clark, M., Heltzer, N., Hudyono, Y. (February, 2008). Report of
HIV/AIDS commodities survey and supply chain status assessment in Tanah
Papua: Survey of HIV/AIDS commodities in Tanah Papua. Arlington, VA:
SCMC and Pepfar.
BPS (2009). A socio-economic impact study of HIV and AIDS on Households. Draft
report.
FHI-ARC (2010). Perilaku dan jaringan seksual pengguna napza suntik. Jakarta:
ARC-FHI.
Gustav, R. 2008. Monitoring UNGASS-AIDS Goals on Sexual and Reproductive
Health.
Irwanto et al., 2010. CCM II Advocacy Project Report “Enggaging CS Representative
in CCM Global Fund Indonesia”.
KOMNAS Perempuan (March, 2009). Atas Nama Otonomi Daerah; Pelembagaan
Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia.
KPAN (2008). Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan
Remaja 2007-2010. Jakarta: KPAN.
Solidaritas Perempuan (2009). Mandatory testing on Indonesian migrant workers:
2007 report. Jakarta: Solidaritas perempuan, CARAM Asia, UNIFEM.
STIGMA (2010). Pengalaman Perempuan Penasun dalam Mengakses Pelayanan
harm Reduction: Sebuah kajian cepat. Draft report.
UIC-ARC (2010a). Factors related to ARV adherence among IDU in Jakarta and
Bali – Report of Pilot 1 phase 2.
UNAIDS (2009). HIV transmission in intimate partner relationships in Asia. Geneva:
UNAIDS.
UNESCO (2010). Education response to HIV, drugs, and sexuality in Indonesia: An
assessment on the integration of reproductive health, HIV, and drug abuse,
issues in Junior and Senior High Schools in Papua, Maluku, West
Kalimantan, Riau islands, DKI Jakarta, and Bali. Monograph report. Jakarta:
Atma Jaya HIV/AIDS Research Center and UNESCO.
Hal. 27